24 D iktat Kimia Koordinasi

TEORI IKATAN DALAM KOMPLEKS

  Teori mengenai ikatan dalam senyawa kompleks mulai berkembang sekitar tahun 1930. Sampai dengan saat ini ada 3 teori yang cukup menonjol :  Teori Ikatan Valensi (TIV)

  Teori ini menyatakan bahwa dalam senyawa terbentuk ikatan kovalen koordinasi antara ligan dengan atom, dimana pasangan elektron bebas disumbangkan oleh ligan dan logam menyediakan orbital kosong untuk ditempati oleh PEB yang disumbangkan oleh ligan

   Teori Medan Kristal Menurut teori ini, ikatan antara logam dan ligan dalam senyawa kompleks murni merupakan interaksi elektrostatik.

   Teori Orbital Molekul Dalam teori orbital molekul, interaksi antara ligan dengan logam pusat dapat berupa interaksi ionik maupun pembentukan ikatan kovalen, dengan menggunakan pendekatan mekanika gelombang

a. Teori Ikatan Valensi (Valence Bond Theory)

  Teori ini dikemukakan oleh Linus Pauling sekitar tahun 1931. Teori ini menyatakan bahwa ikatan antara ligan dengan logam merupakan ikatan kovalen koordinasi, dengan pasangan elektron bebas yang disumbangkan oleh ligan. Logam pusat menyediakan orbital-orbital kosong yang telah mengalami hibridisasi untuk ditempati oleh PEB dari ligan. Jenis hibridisasi orbital menentukan bentuk geometris senyawa kompleks yang terbentuk. Pembentukan ikatan dalam senyawa kompleks juga dapat ditinjau sebagai reaksi Asam-Basa Lewis, dimana ligan merupakan Basa Lewis yang memberikan PEB.

  Hibridisasi Geometris Contoh sp 2 Trigonal planar [HgI 3 ] - sp 3 Tetrahedral [Zn(NH 3 ) 4 ] 2+ d 2 sp 3 Oktahedral [Fe(CN) 6 ] 3- dsp 2 Bujur sangkar/ segi empat planar [Ni(CN) 4 ] 2- dsp 3 Bipiramida trigonal [Fe(CO) 5 ] 2+ sp 3 d 2 Oktahedral [FeF 6 ] 3-

  Pembentukan ikatan melibatkan beberapa tahapan, meliputi promosi elektron; pembentukan orbital hibrida; dan pembentukan ikatan antara logam dengan ligan melalui overlap antara orbital hibrida logam yang kosong dengan orbital ligan yang berisi pasangan elektron bebas.

  Pada hibridisasi yang melibatkan orbital d, ada dua macam kemungkinan hibridisasi. Jika dalam hibridisasi orbital d yang dilibatkan adalah orbital d yang berada di luar kulit dari orbital s dan p yang berhibridisasi, maka kompleks yang terbentuk disebut sebagai kompleks orbital luar, atau outer

  

orbital complex. Sebaliknya, jika dalam hibridisasi yang dilibatkan adalah

  orbital d di dalam kulit orbital s dan p yang berhibridisasi, maka kompleks tersebut dinamakan kompleks orbital dalam atau inner orbital complex. Umumnya kompleks orbital dalam lebih stabil dibandingkan kompleks orbital luar, karena energi yang dilibatkan dalam pembentukan kompleks orbital dalam lebih kecil dibandingkan energi yang terlibat dalam pembentukan kompleks orbital luar. Untuk menghibridisasi orbital d yang berada di dalam orbital s dan p diperlukan energi yang lebih kecil, karena tingkat energinya tidak terlalu jauh.

  Contoh :  [Ni(CO)

  4 ]; memiliki struktur geometris tetrahedral

  8

2 Ni : [Ar] 3d 4s

  28

  : [Ar] 8 2

  

3d 4s 4p

  • Elektron pada orbital 4s mengalami promosi ke orbital 3d, sehingga orbital 4s kosong dan dapat mengalami hibridisasi dengan orbital 4p membentuk orbital
  • 3 hibrida
  • Ni

  28 : [Ar] 8 3d 4s 4p 3 hibridisasi sp3

  • Orbital hibrida sp yang telah terbentuk kemudian digunakan untuk berikatan dengan 4 ligan CO yang masing-masing menyumbangkan pasangan elektron bebas

  [Ni(CO)

  4 ] : [Ar] 10 3 3d sp

  •  Karena semua elektron berpasangan, maka senyawa bersifat diamagnetik

  • Karena orbital d yang digunakan dalam hibridisasi ini berasal dari orbital d yang berada disebelah dalam orbital s dan p, maka kompleks dengan orbital hibrida semacam ini disebut sebagai kompleks orbital dalam (inner orbital complex)

  : [Ar] 3d

  : [Ar]

  3d 6 d 2 sp 3 Orbital hibrida d 2 sp 3 yang terbentuk diisi oleh pasangan elektron bebas dari ligan CN

  • - Dalam kompleks terdapat satu elektron yang tidak berpasangan, sehingga kompleks bersifat paramagnetik.

   [Ni(CN)

  4 ] 2-

  , memiliki bentuk geometris segiempat planar Ni

  28

  8

  ]

  4s

  2

  : [Ar]

  3d 8 4s 2 4p

  Ni

  2+

  : [Ar]

  3-

  6

  hibridisasi d 2 sp 3

  4s

   [Fe(CN)

  6

  ]

  3-

  ; memiliki bentuk geometris oktahedral Fe

  26 : [Ar] 3d

  6

  2 Fe 3+

  [Fe(CN)

  : [Ar] 3d

  5

  4s : [ Ar]

  3d 5 4s

  • 1 4p Dua buah elektron pada orbital d yang semula tidak berpasangan dipasangkan

  dengan elektron lain yang ada pada orbital d tersebut, sehingga 2 orbital d yang semula ditempati oleh kedua elektron tersebut kosong dan dapat digunakan untuk membentuk orbital hibridal d

2

sp 3 Fe

  3+

  : [Ar]

  membentuk orbital hibrida dsp 3 Salah satu elektron pada orbital d yang tidak berpasangan dipasangkan dengan  elektron lain, sehingga salah satu orbital d kosong dan dapat digunakan untuk membentuk orbital hibrida dsp3

  2-

  [Ni(CN

  4 )] : [Ar] 8 3

3d dsp

Semua elektron dalam kompleks ini berpasangan sehingga kompleks bersifat  diamagnetik

  Sebagian besar kompleks lebih memilih konfigurasi kompleks orbital dalam, karena energi yang diperlukan saat hibridisasi untuk melibatkan orbital d sebelah dalam lebih kecil dibandingkan energi yang diperlukan untuk melibatkan orbital d sebelah luar. Meskipun demikian, jika dilihat dari pengukuran momen magnetnya, beberapa kompleks ternyata berada dalam bentuk kompleks orbital luar.

  Contoh :

  3-

   Ion [FeF

  6 ] , memiliki bentuk geometris oktahedral. Jika

  diasumsikan kompleks ini merupakan kompleks orbital dalam dengan hanya satu elektron yang tidak berpasangan, maka seharusnya momen magnet senyawa adalah sebesar 1,73 BM.

  3-

  Menurut hasil pengukuran, momen magnet ion [FeF

  6 ] adalah

  sebesar 6,0 BM, yang akan sesuai jika terdapat lima elektron tidak

  3+

  berpasangan. Berarti ion Fe dalam kompleks mengalami

  3

  2

  hibridisasi sp d dengan melibatkan orbital d sebelah luar, dan disebut sebagai kompleks orbital luar (outer orbital complex).

  6

  2 Fe : [Ar] 3d 4s

  26 3+

  5 Fe : [Ar] 3d 4s

  : [Ar] 5 1

  3d 4s 4p 4d 3 2 membentuk orbital hibrida sp d Elektronetralitas dan Backbonding

  Dalam TIV, reaksi pembentukan kompleks merupakan reaksi Asam Basa Lewis. Atom logam sebagai asam Lewis mendapatkan elektron dari ligan yang bertindak sebagai basa Lewis, sehingga mendapatkan tambahan muatan negatif. Dengan demikian densitas elektron pada atom logam akan menjadi semakin besar sehingga kompleks menjadi semakin tidak stabil. Pada kenyataannya senyawa kompleks merupakan senyawa yang stabil, sehingga diasumsikan walaupun mendapatkan tambahan muatan negatif dari PEB yang didonorkan oleh ligan, atom pusat memiliki muatan yang mendekati nol atau hampir netral. Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menerangkan hal ini :

  (1) Elektronetralitas

  Ligan donor umumnya merupakan atom dengan elektronegativitas yang tinggi, sehingga atom ligan tidak memberikan keseluruhan muatan negatifnya, sehingga elektron ikatan tidak terdistribusi secara merata antara logam dengan ligan

  (2) Backbonding

  Pada atom logam dengan tingkat oksidasi yang rendah, kerapatan elektron diturunkan melalui pembentukan ikatan balik (backbonding) atau resonansi ikatan partial. Ionpusat memberikan kembali pasangan elektron kepada ligan melalui pembentukan ikatan phi (π). Teori Ikatan Valensi cukup mudah untuk dipahami, dapat meramalkan bentuk geometris dari sebagian besar kompleks, dan berkesesuaian dengan sifat kemagnetan dari sebagian besar kompleks. Meskipun demikian, ada beberapa kelemahan dari Teori Ikatan Valensi ini. Sebagian besar senyawa kompleks merupakan senyawa berwarna, TIV tidak dapat menjelaskan warna dan spektra elektronik dari senyawa kompleks. Selain itu, meskipun berkesesuaian dengan sifat kemagnetan senyawa, TIV tidak dapat menjelaskan mengapa kemagnetan senyawa dapat berubah dengan kenaikan suhu. Teori Ikatan Valensi tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan mengapa sejumlah kompleks berada dalam bentuk kompleks orbital luar. Kelemahan-kelemahan dari TIV ini dapat dijelaskan dengan lebih baik oleh Teori Medan Kristal (Crystal Field Theory).

b. Teori Medan Kristal (Crystal Field Theory)

  Teori ini mula-mula diajukan oleh Bethe (1929) dan Vleck (1931 – 1935), dan mulai berkembang sekitar tahun 1951. Teori ini merupakan usaha untuk menjelaskan hal-hal yang menjadi kelemahan dari Teori Ikatan Valensi.

  Dalam Teori Medan Kristal (TMK), interaksi yang terjadi antara logam dengan ligan adalah murni interaksi elektrostatik. Logam yang menjadi pusat dari kompleks dianggap sebagai suatu ion positif yang muatannya sama dengan tingkat oksidasi dari logam tersebut. Logam pusat ini dikelilingi oleh ligan-ligan bermuatan negatif atau ligan netral yang memiliki pasangan elektron bebas (PEB). Jika ligan merupakan suatau spesi netral/tidak bermuatan, maka sisi dipol negatif dari ligan terarah pada logam pusat. Medan listrik pada logam akan saling mempengaruhi dengan medan listrik ligan.

  Dalam Teori Medan Kristal, berlaku beberapa anggapan berikut :

  a. ligan dianggap sebagai suatu titik muatan

  b. tidak ada interaksi antara orbital logam dengan orbital ligan

  c. orbital d dari logam kesemuanya terdegenerasi dan memiliki energi yang sama, akan tetapi, jika terbentuk kompleks, maka akan terjadi pemecahan tingkat energi orbital d tersebut akibat adanya tolakan dari elektron pada ligan, pemecahan tingkat energi orbital d ini tergantung orientasi arah orbital logam dengan arah datangnya ligan

  Bentuk Orbital-d

  Karena orbital d seringkali digunakan pada pembentukan ikatan dalam kompleks, terutama dalam teori TMK, maka adalah penting untuk mempelajari bentuk dan orientasi ruang orbital d. Kelima orbital d tidak identik, dan dapat dibagi menjadi dua kelompok; orbital t 2g dan e g . Orbital- orbital t 2g –d xy ; d xz ; dan d yz – memiliki bentuk yang sama dan memiliki orientasi arah di antara sumbu x, y, dan z. Orbital-orbital e –d 2 2 dan d 2 – memiliki

  g x -y z bentuk yang berbeda dan terletak di sepanjang sumbu. x y x y z z

xy xz yz

d d d x x y y d - x 2 y 2 d z 2 Kompleks Oktahedral

  Pada kompleks oktahedral, logam berada di pusat oktahedron dengan ligan di setiap sudutnya. Arah mendekatnya ligan adalah sepanjang sumbu x, y dan 2 2 2 z. Karena orientasi arah orbital d dan d adalah sepanjang sumbu x; y; z,

  

x -y z

  dan menghadap langsung ke arah mendekatnya ligan, maka kedua orbital tersebut mengami tolakan yang lebih besar dari ligan dibandingkan orbital d ;

  xy

  d dan d yang berada di antara sumbu-sumbu x; y; dan z. Dengan demikian

  xz yz

  orbital d pada kompleks oktahedral mengalami pemecahan (splitting) tingkat energi dimana orbital-orbital e g memiliki tingkat energi yang lebih besar dibandingkan orbital t .

  2g Z d x y d 2 2 z 2

  • L

  e g

  Y 0,6∆ o

  L

  X + L L M 2 2 2 d xz yz x y z d d d

  • o

  ∆

  L d xy 0,4 ∆ o

  (a) (b)

  Gambar a. kompleks oktahedral Gambar b. pemecahan energi yang terjadi pada orbital d menjadi orbital e g dan t 2g

  atau 10Dq. Setiap Jarak antara kedua tingkat energi ini diberi simbol  orbital pada orbital t

  , dan

  2g menurunkan energi kompleks sebesar 0,4

  sebaliknya setiap orbital pada orbital e g menaikkan energi kompleks sebesar . Tingkat energi rata-rata dari kedua tingkat energi orbital t dan e

  0,6

  2g g merupakan energi hipotetik dari orbital d yang terdegenerasi. o terutama ditentukan oleh kuat atau lemahnya suatu

  Besarnya harga  ligan. Semakin kuat medan suatu ligan, makin besar pula pemecahan tingkat energi yang disebabkan, sehingga harga  juga semakin besar. Harga  dalam suatu kompleks dapat ditentukan melalui pengukuran spektra UV-Vis dari kompleks. Kompleks akan menyerap energi pada panjang gelombang yang sesuai untuk mempromosikan elektron dari tingkat energi t 2g ke tingkat e . Panjang gelombang yang diserap dapat ditentukan berdasarkan puncak

  g serapan dari spektrum serapan UV-Vis.

  Karena setiap orbital t 2g dari tingkat menurunkan energi sebesar 0,4 energi hipotetis, setiap elektron yang menempati orbital t 2g akan meningkatkan kestabilan kompleks dengan menurunkan energi kompleks

  . Besarnya penurunan energi ini disebut sebagai Energi sebesar 0,4 Stabilisasi Medan Kristal (CFSE, Crystal Field Stabilization Energy). Sebaliknya, setiap elektron di orbital e g akan menurunkan kestabilan . kompleks dengan menaikkan energi kompleks sebesar 0,6 Tabel berikut menunjukkan besarnya CFSE untuk kompleks dengan

  10 konfigurasi d – d .

  Konfigurasi Jumlah elektron d CFSE t 2g e g

  1

  • 0,4

  2

  • 0,8

  3

  • 1,2 4 (kompleks high spin)
  • 0,6 4 (kompleks low spin) -1,6∆ 5 (kompleks high spin) 5 (kompleks low spin) -2,0∆ 6 (kompleks high spin) -0,4∆ 6 (kompleks low spin) -2,4∆ 7 (kompleks high spin) -0,8∆ 7 (kompleks low spin) -1,8∆

  8

  • 1,2∆

  9

  • 0,6∆

10 Besarnya harga ∆ ditentukan oleh jenis ligan yang terikat dengan

  logam pusat. Untuk ligan medan lemah (weak field ligand), perbedaan selisih energi antara orbital t dan e yang terjadi dalam splitting sangat kecil,

  2g g

  dengan demikian elektron-elektron akan mengisi kelima orbital tanpa berpasangan terlebih dahulu. Kompleks dengan ligan medan lemah semacam ini disebut sebagai kompleks spin tinggi (high spin complex).

  Ligan medan kuat (strong field ligand) menyebabkan perbedaan energi yang besar antara orbital t 2g dengan orbital e g . Karena energi yang diperlukan untuk menempatkan elektron ke orbital e g yang tingkat energinya lebih tinggi lebih besar dibandingkan energi yang diperlukan untuk memasangkan elektron, elektron akan mengisi orbital t terlebih dahulu hingga penuh

  2g sebelum mengisi orbital e g .

  Besrnya harga ∆ dapat ditentukan secara Spektrofotometri UV-Vis.

  o

  Kompleks akan menyerap cahaya dengan frekuensi yang berkesesuaian dengan energi yang diperlukan untuk mengeksitasikan elektron dari orbital t 2g ke orbital e g (v = ∆ /h, h= konstanta Planck). Dari pita serapan ini dapat dilihat intensitas maksimum dari serapan oleh kompleks terletak pada frekuensi berapa.

  Menurut hasil studi eksperimen dari spektra sejumlah kompleks dengan berbagai macam jenis logam pusat dan ligan, ternyata ligan-ligan dapat diurutkan sesuai kemampuannya untuk menyebabkan pemecahan tingkat energi pada orbital d. Deretan ligan ini disebut Deret Spektrokimia.

  • - - - - - - 2-

  I < Br < Cl < F < OH < C 2 O 4 < H 2 O < NCS < py < NH 3 < en < bipy < o-

  • - - phen < NO
  • 2 < CN Distorsi Tetragonal dalam Kompleks Oktahedral (Distorsi Jahn Taller)

      Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tolakan oleh elektron dari keenam ligan dalam suatu kompleks oktahedral memecah orbital d menjadi orbital t dan e . Jika elektron-elektron d dari logam tersusun/terdistribusi

      2g g

      secara sistematis, maka elektron-elektron tersebut akan memberikan tolakan yang setara pada keenam ligan, sehingga kompleks merupakan suatu oktahedral sempurna. Akan tetapi jika elektron d terdistribusi secara tidak merata dalam orbital (memiliki penataan yang asimetris), maka ada ligan yang mengalami gaya tolak yang lebih besar dibandingkan ligan yang lainnya. Dengan demikian struktur kompleks menjadi terdistorsi.

      Orbital-orbital e berhadapan langsung dengan ligan, sehingga

      g

      penataan elektron yang asimetris dalam orbital e g akan menyebabkan ligan mengalami tolakan yang lebih besar dibandingkan ligan lainnya dan menghasilkan distorsi yang signifikan. Sebaliknya orbital-orbital t tidak

      2g

      berhadapan langsung dengan ligan, sehingga penataan elektron yang asimetris dalam orbital t 2g tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap struktur kompleks, distorsi yang terjadi biasanya sangat lemah sehingga tidak terukur.

      Penataan simetris Jumlah Medan t2g eg Contoh elektron d ligan d0 kuat atau IV 2 IV 2- 6 IV 2- 6 Ti O ; [Ti F ] ; [Ti Cl ] lemah d3 kuat atau III 3- III 3+ [Cr (oksalat) 3 ] ; Cr (H 2 O) 6 ] lemah d5 II 4- 6 III 3- 6 lemah [Mn F ] ; [Fe F ] d6 II 4- III 3+ kuat [Fe (CN) 6 ] ; [Co (NH 3 ) 6 ] d8 II 4- 2+ 6 2 6 lemah [Ni F ] ; [Ni(H O) ] d10 kuat atau II 2+ II 2+ [Zn (NH 3 ) 6 ] ; [Zn (H 2 O) 6 ] lemah

      Penataan asimetris Jumlah Medan t2g eg Contoh elektron d ligan d4 lemah Cr(+II); Mn(III+) d7 kuat Co(+II); Ni(+III) d9 kuat dan Cu(+II) lemah

      Jika orbital d

      2 berisi lebih banyak elektron dibandingkan orbital d

      2

    • z

      2 , x y

      maka ligan yang berada pada sumbu z akan mengalami gaya tolak yang lebih besar dibandingkan keempat ligan lainnya (yang berada pada sumbu x dan y). Gaya tolak yang tidak seimbang tersebut akan menghasilkan distorsi berupa perpanjangan oktahedron di sepanjang sumbu z, dan disebut sebagai

      

    distorsi tetragonal. Lebih tegasnya, distorsi berupa pemanjangan sumbu x

    semacam ini disebut sebagai elongasi (perpanjangan) tetragonal.

      Sebaliknya, jika orbital yang berisi lebih banyak elektron adalah orbital d x y , elongasi akan terjadi sepanjang sumbu x dan sumbu y, sehingga ligan 2 2

    • dapat lebih mendekat ke arah logam pusat melalui sumbu z. Berarti akan ada empat ikatan yang panjang dan dua ikatan yang lebih pendek, dan struktur yang terbentuk mirip dengan oktahedron yang ditekan sepanjang sumbu z. Distorsi semacam ini disebut kompresi tetragonal. Distorsi berupa elongasi tetragonal lebih sering terjadi dibandingkan kompresi tetragonal.

      perpanjangan pada sumbu z

      Gambar (c)

      Gambar (d)

      

    Gambar (c) Elongasi tetragonal yang terjadi pada suatu kompleks oktahedral. Elektron-

    elektron pada orbital dz2 menimbulkan gaya tolak yang meneybabkan ligan pada sumbu z menjauh dari logam pusat

    Gambar (d) Kompresi tetragonal. Elektron-elektron pada orbital dx2-y2 menimbulkan

    gaya tolak yang cukup kuat sehingga ligan-ligan yang terikat pada sumbu x dan y menjauh dari logam pusat.

      2

      2 2 Dapat disimpulkan bahwa jika pengisian orbital d - x y dan d z tidak sama, maka akan terjadi distorsi. Hal ini disebut sebagai Distorsi Jahn Taller.

      Teorema Jahn-Taller menyatakan bahwa : “ sistem molekuler yang tidak linear dalam suatu keadaan elektron yang terdegenerasi tidaklah stabil; dan akan mengalami distorsi untuk menurunkan simetrinya dan menghilangkan degenerasi yang terjadi”.

    KOMPLEKS SEGI EMPAT PLANAR

      8 Jika logam pusat dalam kompleks memiliki konfigurasi d , maka enam elektron akan mengisi orbital t dan dua elektron akan mengisi orbital e . 2g g

      Penataan elektronnya ditunjukkan dalam Gambar (a). Orbital-orbital terisi oleh eletron secara simetris, dan suatu kompleks oktahedral terbentuk. e g

      ∆E t 2g Gambar (e) Gambar (f)

      

    Gambar (e) Penataan elektron yang simetris di orbital t 2g dan e g pada logam dengan

    8 konfigurasi elektron d g

      

    Gambar (f) Pemecahan tingkat energi orbital e , untuk mencapai kestabilan, kedua

    2 elektron mengisi orbital d z yang tingkat energinya lebih rendah

    • Elektron yang berada pada orbital d x y mengalami tolakan dari empat
    • 2 2 ligan yang berada pada sumbu x dan y; sementara elektron yang ada pada 2 orbital d z hanya mengalami tolakan dari dua ligan yang berada pada sumbu z. Jika medan ligan cukup kuat, maka perbedaan energi di antara dua orbital ini (orbital d dan d ) menjadi lebih besar dibandingkan energi yang 2 2 2<
    • x y z

      diperlukan untuk memasangkan elektron. Pemecahan orbital e ini

      g ditunjukkan pada Gambar(f).

      Dalam kondisi demikian, kompleks akan menjadi lebih stabil jika orbital d kosong dan kedua elektron yang seharusnya menempati orbital e ditata 2 2

    • x y
    • 2 g

        secara berpasangan pada orbital d z . Dengan demikian, empat buah ligan dapat terikat dalam kompleks pada sumbu x dan y dengan lebih mudah 2 2 karena tidak mengalami tolakan dari orbital d - yang telah kosong.

        x y

        Sebaliknya ligan tidak dapat mendekati logam pusat melalui sumbu z, karena 2 mengalami tolakan yang sangat kuat dari orbital d z yang terisi dua elektron.

        Oleh karena itu hanya terbentuk empat ikatan antara logam pusat dengan ligan, dan struktur geometris kompleks menjadi segiempat planar.

        Kompleks segiempat planar terbentuk pada ion logam dengan

        8

        konfigurasi elektron d dan ligan yang memiliki medan yang sangat kuat,

        2-

        misalnya [Ni (CN) ] . Semua kompleks Pt(II) dan Au(II) merupakan kompleks

        II

        4 segi empat planar, meskipun dengan ligan medan lemah.

        Besarnya pemecahan energi orbital e g tergantung pada jenis ligan dan logam

      II II

        yang menjadi ion pusat. Pada kompleks segiempat planar dari Co ; Ni dan

        II 2 Cu , orbital d z memiliki tingkat energi yang hampir sama dengan orbital d xz 2- 2

        dan d yz . Sedangkan dalam kompleks [PtCl

        4 ] , orbital d z memiliki tingkat energi yang lebih rendah dibandingkan orbital d dan d . xz yz

      KOMPLEKS TETRAHEDRAL

        Orientasi ruang dari suatu kompleks dengan geometris tetrahedral dapat dihubungkan sebagai suatu kubus, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar (g).

        Z Logam pusat Y

        X Y Ligan

        (g)

        Gambar g. Struktur kompleks tetrahedral sebagai suatu kubus

        Berdasarkan gambar tersebut, ligan berada di antara sumbu-sumbu x, y dan z. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, orbital-orbital t 2g (d xy , d xz , dan d yz ) berada di antara sumbu x, y dan z, sementara orbital-orbital e (d dan d ) berada dalam posisi yang berimpit dengan sumbu x, y dan z. 2 2 2

      • g x y z

        Oleh karena itu, pada kompleks tetrahedron, ligan berada lebih dekat dengan orbital-orbital t 2g , meskipun posisi ligan tidak tepat berimpit dengan orbital- orbital tersebut. Oleh karena itu, pada kompleks tetrahedron terjadi pemecahan energi yang berkebalikan dengan pemecahan energi pada kompleks oktahedron.

        Pada kompleks tetrahedron, terjadi pemecahan tingkat energi dimana orbital t mengalami kenaikan tingkat energi (karena berada dalam posisi

        2g

        yang lebih berdekatan dengan ligan) sementara orbital e g mengalami penurunan tingkat energi. Pemecahan tingkat energi dalam kompleks tetrahedron ditunjukkan dalam Gambar (h).

        ∆E (∆ t ) (h)

        Gambar (h) Pemecahan tingkat energi yang terjadi dalam kompleks tetrahedron

        Untuk membedakannya dengan kompleks oktahedron, selisih energi antara orbital e g dan t 2g dalam kompleks tetrahedron diberi notasi ∆ t Setiap elektron yang menempati orbital e maupun t dalam kompleks

        g 2g

        tetrahedron memberikan kontribusi terhadap harga CFSE dari kompleks tetrahedron. Setiap elektron pada orbital e g akan menurunkan energi sebesar 0,6∆ , sementara setiap elektron yang menempati orbital t akan menaikkan

        t 2g

        energi sebesar 0,4 ∆ . Secara sederhana, harga CFSE dari suatu kompleks

        t

        tetrahedral dapat dirumuskan sebagai berikut :

        

      CFSE = -0,6∆ + 0,4∆

      tetrahedron t t

        Besarnya CFSE dari suatu kompleks tetrahedron diramalkan lebih kecil dibandingkan CFSE kompleks oktahedron. Hal ini dikarenakan jumlah ligan yang terikat dalam kompleks tetrahedron juga lebih sedikit, hanya ada empat ligan, sementara pada kompleks oktahedron ada 6 ligan yang terikat pada logam pusat. Selain itu, berbeda dengan kompleks oktahedron dimana arah orbital tepat berimpit dengan arah datangnya ligan, ligan yang terikat pada kompleks tetrahedron tidak tepat berimpit dengan orbital.

      c. Teori Orbital Molekul (Molecular Orbital Theory)

        Teori Medan Kristal didasarkan atas asumsi bahwa interaksi yang terjadi antara ligan dan logam pusat murni merupakan interaksi elektrostatik. Teori ini dapat menjelsakan bentuk geometris; spektra; dan kemagnetan dari senyawa kompleks dengan memuaskan. Meskipun demikian, teori ini mengabaikan kemungkinan terbentuknya ikatan kovalen dalam kompleks, hal ini ternyat bertentangan dengan fakta yang diperoleh sdari sejumlah eksperimen. Beberapa kelemahan dari Teori Medan Kristal adalah sebagai berikut :

        1. Sejumlah senyawa dengan tingkat oksidasi nol (misalnya pada kompleks [Ni(CO) ] tidak mengalami gaya tarik-menarik

        4

        elektrostatik antara logam dengan ligan, sehingga dapat dipastikan bahwa ikatan yang terbentuk dalam kompleks merupakan suatu ikatan kovalen

        2. Urutan ligan dalam spektrokimia tidak dapat dijelaskan hanya dengan berdasarkan pada keadaan elektrostatik

        3. Bukti dari spektrum resonansi magnetik inti dan resonansi spin elektron menunjukkan keberadaan densitas elektron tidak berpasangan pada ligan, hal ini mengindikasikan adanya pembagian elektron bersama, sehingga dapat diasumsikan terjadi kovalensi dalam kompleks

        Teori Orbital Molekul (Molecular Orbital Theory) melibatkan pembentukan ikatan kovalen. Dalam Teori Orbital Molekul (TOM), ikatan dalam kompleks terjadi melalui pembentukan orbital molekul. Orbital molekul merupakan orbital yang terbentuk sebagai kombinasi antara orbital atom yang dimiliki logam dengan orbital atom yang dimiliki oleh ligan. Oleh karena itu orbital molekul dapat dipelajari dengan menggunakan pendekatan Linear

        Combination Atomic Orbital (LCAO).

        Setiap penggabungan orbital atom menjadi orbital molekul akan menghasilkan orbital bonding (orbital ikatan) dan orbital antibonding (orbital anti ikatan). Bagaimana orbital molekul ini terbentuk akan dibahas lebih terperinci dalam Ikatan Kimia.

        PEMBENTUKAN ORBITAL σ

        Pembentukan ikatan melalui orbital σ yang paling sederhana dapat dicontohkan dalam pembentukan ikatan antar atom hidrogen dalam molekul H2. orbital σ* (orbital molekul antibonding)

        1s 1s

        H H H

        2

        orbital σ (orbital molekul bonding) Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa tiap atom H memiliki masing- masing satu buah elektron pada orbital 1s. kedua orbital atom H tersebut kemudian bergabung membentuk orbital molekul σ, sehingga terbentuk dua macam orbital, orbital σ yang merupakan orbital bonding, dan orbital σ* yang merupakan orbital antibonding. Sesuai dengan aturan Hund, maka mula- mula elektron dari salah satu atom H mengisi orbital molekul σ yang terbentuk, kemudian elektron dari atom H yang lain juga mengisi orbital σ tersebut. Dengan terbentuknya orbital molekul yang diisi oleh elektron dari kedua atom H, maka terbentuklah ikatan antar atom H tersebut menjadi molekul H . Molekul H ini merupakan molekul yang stabil, karena elektron-

        2

        2

        elektronnya berada pada orbital molekul σ yang tingkat energinya lebih rendah dibandingkan tingkat energi orbital atom pembentuknya.

        Pembentukan orbital molekul ini dapat digunakan untuk menjelaskan ketidakstabilan dari molekul He . Perhatikan diagram berikut :

        2

        orbital σ* (orbital molekul antibonding) He He He

        2

        orbital σ (orbital molekul bonding) Setiap atom Helium memiliki dua elektron pada setiap orbital 1s. saat orbital-orbital atom 1s dari kedua atom Helium tersebut membentuk orbital molekul, terbentuk 2 macam orbital molekul pula, orbital σ dan σ*. Elektron- elektron mula-mula mengisi orbital bonding σ yang tingkat energinya lebih rendah, kemudian mengisi orbital antibonding σ*. Karena baik orbital bonding maupun orbital antibonding sama-sama terisi elektron, maka keduanya akan saling meniadakan, sehingga molekul He 2 menjadi sangat tidak stabil.

        Kedua contoh diatas menunjukkan pembentukan orbital molekul untuk molekul diatomik yang heterogen, sehingga orbital atom yang digunakan dalam pembentukan orbital molekul memiliki tingkat energi yang sama. Pada molekul diatomik yang heterogen, atom yang lebih elektronegatif orbital atomnya memiliki tingkat energi yang lebih rendah. Perbedaan tingkat energi antar orbital atom dari dua atom berbeda yang saling berikatan merupakan ukuran dari sifat ionik ikatan yang terbentuk antara kedua atom tersebut. Sedangkan perbedaan tingkat energi antara orbital bonding molekul yang terbentuk dengan orbital atom (dari atom yang tingkat energinya lebih rendah) merupakan ukuran sifat kovalen ikatan yang terbentuk. Untuk lebih jelasnya, perhatikan ilustrasi yang diberikan dalam diagram berikut : orbital σ*

        a

        1s A

        1s

        b B orbital σ AB

        Pada diagram tersebut, atom B memiliki tingkat energi yang lebih rendah dibandingkan orbital atom A. Oleh karena itu, orbital molekul (OM) σ yang terbentuk memiliki karakteristik yang lebih mirip dengan orbital atom B. Selisih energi antara orbital atom A dan orbital atom B, dinotasikan dengan a, menunjukkan ukuran sifat ionik ikatan yang terbentuk antara A dan B. Sedangkan selisih energi antara OM σ dengan orbital atom B, dinotasikan dengan b, menunjukkan sifat kovalen ikatan AB.

        

      PEMBENTUKAN ORBITAL MOLEKUL σ DALAM SENYAWA KOMPLEKS

        Pada senyawa kompleks, orbital molekul terbentuk sebagai gabungan/ kombinasi dari orbital atom logam dengan orbital atom dari ligan. Orbital atom logam dapat bergabung dengan orbital atom ligan jika orbital-orbital atom tersebut memiliki simetri yang sama.

        Untuk logam transisi pertama, orbital yang dapat membentuk orbital

        

      2

      • 2

        2 molekul adalah orbital-orbital e (d dan d ), 4s, 4p, 4p , 4p dan 4p . g x y z x y z

        Orbital-orbital t (d , d dan d ) dari logam tidak dapat membentuk orbital σ

        2g xy xz yz

        karena orientasi arahnya yang berada di antara sumbu x, y dan z. Oleh karena itu ketiga orbital tersebut disebut sebagai orbital nonbonding. Meskipun tidak dapat membentuk oribtal σ, orbital-orbital t tersebut dapat

        2g

        membentuk orbital molekul π dengan orbital atom dari ligan yang tidak searah dengan orbital atom logam.

        Ligan dapat membentuk orbital molekul dengan orbital logam jika posisinya segaris dengan logam, atau berada tepat pada sumbu/garis penghubung ion pusat dan ligan. Adapun orbital atom dari ligan yang dapat bergabung dengan orbital atom dari logam adalah orbital s atau orbital hasil hibridisasi antara orbital s dan p.

        Karena jauh lebih banyak orbital dan elektron yang terlibat, maka diagram pembentukan orbital molekul dalam senyawa kompleks lebih rumit dibandingkan diagram pembentukan orbital molekul untuk molekul diatomik sederhana. Umumnya orbital atom dari ligan tingkat energinya lebih rendah dibandingkan orbital atom dari logam pusat, sehingga karakteristik dari orbital molekul yang terbentuk lebih mirip dengan karakteristik orbital atom ligan dibandingkan orbital atom logam. Berikut ini contoh diagram pembentukan

        3+

        orbital molekul untuk kompleks [Co(NH

        

      3 )

      6 ]

        σ* s σ* p

        4p

        σ* d

        4s

        ∆ 2 3d 2 2

         xy xz yz x -y z orbital non bonding

        6 orbital p x dari 6 ligan

        σ d NH 3 ,masing-masing berisi

        σ

        p

        σ

        s

        2

        2 Pada kompleks [Co(NH ) ], orbital-orbital 4s, 4p , 4p , 4p , dan - , 3d

        3 6 x y z x y

        2

        3d dari logam Co bergabung dengan keenam orbital p dari atom ligan NH

        z x

        3

        membentuk orbital molekul. Orbital molekul σ yang terbentuk masing-masing diisi dengan sepasang elektron dari ligan NH

        3 . Orbital 3d xy , 3d xz , dan 3d yz dari 3+

        Co tidak bergabung membentuk orbital molekul, ketiga orbital tersebut merupakan orbital nonbonding (non ikatan) dalam kompleks ini. Selisih antara tingkat energi nonbonding dengan orbital σ* (orbital antibonding) merupakan harga Δ dari kompleks tersebut. Dalam TOM, splitting/pemecahan tingkat energi yang terjadi merupakan akibat dari kovalensi. Makin besar

        3+

        kovalensi,makin besarpula harga Δ . Dalam kompleks [Co(NH

        3 ) 6 ] tersebut,

        harga Δ cukup besar, sehingga semua elektron lebih memilih untuk mengisi orbital nonbonding, kompleks merupakan kompleks low spin. Karena semua elektron dalam kompleks berpasangan, maka dapat diramalkan bahwa kompleks tersebut bersifat diamagnetik.

        3-

        Pada kompleks [CoF ] , selisih tingkat energi antara orbital

        6

        nonbonding dengan orbital antibonding /orbital σ* yang terbentuk relatif cukup kecil, sehingga elektron dapat mengisi orbital σ* terlebih dahulu. Kompleks ini merupakan kompleks high spin. Diagram pembentukan orbital molekul pada

        3-

        kompleks [CoF ] dapat dilihat berikut ini :

        6

        σ* s σ* p

        4p 4s

        σ*

        

      d

        ∆

        3d

        2 2 2 x -y z xy xz yz

      orbital non bonding

      -

        6 orbital p x dari 6 ligan F ,

        σ

        d masing-masing berisi 2 elektron

        σ

        p

        σ

        s

        2

        2

      2 Orbital-orbital 3d x y ; 3d ; 4s; 4p - z x; 4p y ; dan 4p z dari logam bergabung

        dari keenam ligan F

      • dengan 6 buah orbital p yang mengelilingi logam pusat

        x

        tersebut. Orbital-orbital t 2g dari logam membentuk orbital nonbonding atau non-ikatan. Selisih tingkat energi antara orbital nonbonding ini dengan orbital antibonding σ* yang terbentuk dinotasikan dengan Δ . Pada kompleks

        3-

        [CoF ] , karena harga Δ relatif cukup kecil, maka sebelum mengisi orbital

        6

        nonbonding secara berpasangan, elektron dari ligan mengisi orbital σ* terlebih dahulu. Akibatnya setiap orbital σ* yang merupakan orbital antibonding masing-masing terisi satu buah elektron. Terisinya orbital antibonding ini mengakibatkan ikatan antara logam Co dengan ligan NH

        3

        tersebut menjadi lebih lemah. Karena dalam kompleks terdapat sejumlah elektron yang tidak berpasangan, maka dapat diramalkan bahwa kompleks

        3-

        [CoF 6 ] merupakan kompleks yang bersifat paramagnetik.

        PEMBENTUKAN ORBITAL π

        Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, orbital σ dapat terbentuk

      • terbentuk antara orbital p , p , p , d , d , dan d dari logam dengan orbital
        • antar orbital atom dengan simetri yang sama. Adapun orbital π dapat

        x y z xy xz yz

      • atom dari ligan yang tidak searah dengan orbital logam. Salah satu contoh
        • bagaimana orbital π dapat terbentuk antara orbital atom dari logam dengan orbital atom yang dimiliki ligan ditunjukkan dalam gambar berikut :

      Gambar (i)

        Gambar (i) Kombinasi orbital d xz dari logam dengan orbital p y dan p z dari ligan

        Dari Gambar (i) di atas dapat dilihat bahwa orbital d xz berada sejajar dengan orbital p y dan p z dari ligan, sehingga kombinasi dari orbital atom logam dan orbital atom ligan tersebut dapat menghasilkan orbital molekul π. Selain dari penggabungan orbital d dari logam dengan orbital p dan p ,

        xz y z

        orbital molekul π juga dapat terbentuk dari penggabungan antara orbital p z dari logam dengan orbital p dari ligan. Ilustrasi kedua orbital atom tersebut

        z dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

        • z z (j)

          Gambar (j) Posisi orbital atom p dari logam dan orbital p ligan berada dalam posisi yang sejajar, sehingga juga dapat bergabung dan menghasilkan orbital molekul π. Jika pada pembentukan ikatan σ ligan berperan sebagai Basa Lewis yang menyumbangkan pasangan elektron, maka dalam pembentukan ikatan π ini, ligan dapat bertindak sebagai asam Lewis yang menerima pasangan elektron yang didonorkan oleh logam.

          Adanya ikatan π akan memperkuat ikatan antara logam dengan ligan, sehingga meningkatkan kestabilan kompleks. Selain itu, konsep mengenai pembentukan ikatan π juga dapat menjelaskan urutan kekuatan ligan dalam Deret Spektrokimia.

          Ligan dapat berperan sebagai akseptor π atau donor π, tergantung keterisian orbital π yang dimiliki oleh ligan tersebut.

          (a) Ligan akseptor π

          Sejumlah ligan seperti CO, CN dan NO memiliki orbital π kosong yang dapat bertumpang tindih dengan orbital t dari logam, membentuk

          2g

          ikatan π. Interaksi semacam ini seringkali disebut sebagai pembentukan ikatan balik (backbonding). Tingkat energi dari orbital π yang dimiliki ligan ini seringkali lebih tinggi dibandingkan tingkat energi dari logam, sehingga dapat menaikkan harga ∆ . Ligan-ligan semacam ini merupakan ligan medan kuat dan pada Deret Spektrokimia berada di sebelah kanan.

          (b) Ligan Donor π

          Sejumlah ligan tertentu memiliki orbital π yang telah terisi elektron dan mengalami overlap dengan orbital t dari logam, menghasilkan ikatan

          2g

          π. Rapatan elektron akan ditransfer dari ligan menuju logam melalui ikatan π ini. Selain dari ikatan π yang terbentuk tadi, transfer elektron dari ligan ke logam juga terjadi melalui ikatan σ. Interaksi semacam ini lebih sering terjadi pada kompleks dari logam dengan bilangan oksidasi yang tinggi, sehingga logam tersebut ”kekurangan elektron”. Orbital π dari ligan biasanya memiliki tingkat energi yang lebih rendah dibandingkan orbital t logam, sehingga delokalisasi elektron π dari

          2g

          ligan melalui cara ini akan memperkecil harga ∆ . Ligan yang merupakan donor π terletak di sebelah kiri dari Deret Spektrokimia.

          LATIHAN

          

        1. Berdasarkan Teori Ikatan Valensi, jelaskan bentuk geometris dari ion

        • 3

          kompleks [HgI ] !

          

        2. Berdasarkan Teori Ikatan Valensi, ramalkan jumlah elektron tidak

        2- 2- 2+

          berpasangan dalam kompleks [NiCl

          4 ] ; [Ni(CN) 4 ] ; dan [Cu(NH 3 ) 4 ] !

          

        3. Jelaskan dengan menggunakan Teori Ikatan Valensi, mengapa kompleks

        2-

          [NiCl ] dan [Ni(CO) ] sama-sama memiliki bentuk geometris tetrahedral,

          4

          4

          tetapi momen magnetiknya berbeda!

          4- 3-

          4. Untuk masing-masing kompleks [Fe(CN) 6 ] dan [Fe(CN)] , dengan

          menggunakan Teori Ikatan Valensi, jelaskan :

          a. hibridisasi yang terjadi!

          b. Apakah kompleks yang terbentuk kompleks orbital dalam atau kompleks orbital luar!? c. Ramalkan sifat kemagnetan kompleks-kompleks tersebut!

          d. Hitung momen magnetik dari setiap kompleks tersebut!

          2+

          O) (NO)] adalah sebesar 3,89

          5. Jika diketahui momen magnetik dari [Fe(H

          2

          5 BM, tentukan tingkat oksidasi dan jenis hibridisasi yang terjadi! 3+

          

        6. Ion Fe dalam larutan berair tidak berwarna, akan tetapi penambahan ion

        • NCS ke dalam larutan akan mengubah warna larutan menjadi merah. Jelaskan mengapa!

          

        7. Hitunglah jumlah elektron tidak berpasangan dan harga CFSE dari

          kompleks :

          3+ 3+ 2-

          a. [Fe(H O) ]

          b. [Cr(NH ) ]

          c. [CoCl ]

          2

          6

          3

          6