T1 802011098 Full text

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DAN RESILIENSI PADA
INDIVIDU YANG GAGAL DALAM SELEKSI KEPOLISISAN DI
SURAKARTA
OLEH
HERDIN CAHYO PRASETYO
802011098

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DAN RESILIENSI PADA
INDIVIDU YANG GAGAL DALAM SELEKSI KEPOLISISAN DI
SURAKARTA


Herdin Cahyo Prasetyo
Berta Esti Ari Prasetya

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara religiusitas dan resiliensi
pada individu yang gagal dalam seleksi kepolisian di Surakarta. Sampel penelitian
adalah individu yang gagal dalam seleksi kepolisian di Surakartapadatahun 2015, yang
berjumlah 45 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah snowball
sampling. Data penelitian diambil menggunakan skala resiliensi menggunakan skala
Resilience Question yang dikemukakan oleh Reivich dan shatte (2002) yang terdiridari
56dan 46 item yang dinyatakan lolos seleksi daya diskriminasi item dengan koefisien
alpha cronbach 0,928.Skala yang digunakan untuk mengukur tingkat religiusitas

menggunakan skala yang dikemukakan oleh Kendler, dkk (2003)terdiridari 74 item dan
60 item yang dinyatakan lolos seleksi daya diskriminasi item koefisien alpha cronbach
0,957. Berdasarkan uji linearitas yang telah dilakukan diperoleh nilai F = 0,410 (Ftabel
= 2,21) dengan deviation from linearity sebesar 1,141 (p>0,05). Metode pengumpulan
data dalam penelitian skala ini menggunakan skala model Likert

dan

analisis

statistiknya menggunakan SPSS versi 17.0. Metode penelitian menggunakan metode
kuantitatif korelasional. Data dianalisis dengan menggunakan korelasi Pearson product
moment, didapat koefesien korelasi (r) sebesar -0,105 dengan taraf signifikansi
0,246 (p > 0,05). Hasil uji korelasi tersebut menunjukan bahwatidak terdapat hubungan
antara religiusitas dan resiliensi pada individu yang gagal dalam seleksi kepolisian di
Surakarta.
Kata kunci

: Religiusitas, Resiliensi, Seleksi Kepolisian.


i

Abstract
The purpose of the research is to know about relationship between religiosity and
resilience in individuals who fail in the selection of police in Surakarta. The research
subjects are individuals who fail in the selection of police in Surakarta in 2015, totaling
45 people. Sampling technique used is snowball sampling. Data research is taken with
resilience scale using scale Resilience Question proposed by Reivich and shatte (2002),
which consists of 56 items and 46 item that got away of from item discrimination power
with alpha cronbach’s coefficient is 0,928. scale used to measure the level of religiosity
using scales proposed by Kendler et al (2003) consists of 74 items and 60 item that got
away of from item discrimination power with alpha cronbach’s coefficient is 0.957.
Based on the linearity test that has been carried out the F value = 0.410 (F table =
2.21) with a deviation from linearity 1.141 (p> 0.05). Methods of data collection in this
research using Likert scale models and statistical analysis using SPSS version 17.0.
Method correlational studies using quantitative methods. Data were analyzed using
Pearson product moment correlation, obtained the correlation coefficient (r) of -0.105
with a significance level of 0.246 (p> 0.05). The correlation test results showed that
there was no correlation between religiosity and resilience in individuals who fail in the
selection of police in Surakarta

Key Word

: Religiosity, Resilience, Police Selection

ii

1

PENDAHULUAN
Negara Indonesia sebagai suatu negara yang besar dengan luas wilayah terbentang
dari Sabang hingga Merauke merupakan suatu negara kesatuan dengan berbagai suku,
budaya dan adat istiadat. Keanekaragaan tersebut membuat Indonesia kaya akan
budaya, adat istiadat serta alam. Pada sisi lain, keanegarakan tersebut juga memiliki
potensi yang sangat rawan terhadap timbulnya konflik baik secara vertikal maupun
horisontal, untuk mencegah timbulnya konflik yang terjadi perlu adanya suatu lembaga
atau instansi yang memiliki tugas menjaga, memelihara dan mengantisipasi munculnya
konflik Zam, (2013). Di Indonesia, salah satu lembaga atau institusi yang memiliki
tugas dan wewenang untuk hal tersebut adalah kepolisian.
Menurut Sadjijono ( 2008 ) Kepolisian merupakan lembaga hukum dan hidup
dalam komunitas manusia yang lebih besar yang dapat membentuk segala sesuatu yang

di lakukan organisasi. Kepolisian sebagai lembaga yang memiliki peran dan fungsi yang
begitu penting dan signifikan tentu memerlukan putra-putri bangsa dengan kualitas
tertentu, selain kemampuan fisik yang baik juga diperlukan psikis yang baik agar dapat
menjadi seorang anggota Kepolisian Republik Indonesia ( sesudah itu di sebut POLRI) .
Ketatnya persaing untuk dapat menjadi bagian dari lembaga kepolisian tersebut tentu
akan menjadikan ujian masuk kepolisian sebagai saringan untuk menjaring bibit unggul
dan potensi yang ada. Untuk menjadi anggota kepolisian seseorang harus terlebih
dahulu mengikuti seleksi polisi. Seleksi kepolisian sendiri memiliki hanya boleh di ikuti
oleh seseorang yang sudah memiliki ijazah SMA dan berusia maksimal 21 tahun
sehingga dapat digolongkan kedalam masa remaja.

2

Dalam seleksi kepolisi ada beberapa faktor - faktor yang sudah menjadi suatu
standar dalam seleksi penerimaan calon Polri baru diantaranya wawancara, test tulis
atau psikotes dan tes lapangan. Setiap faktor memiliki nilai bobot tersendiri. Nilai bobot
dari tiap faktor inilah yang pada akhirnya akan dipakai sebagai perbandingan antara
setiap pelamar sehingga diperoleh calon – calon Polri yang sesuai dengan kriteria. Pihak
panitia penerimaan calon Polri baru saat ini menggunakan cara manual dalam
menentukan nilai akhir dari seluruh tahapan test dari seorang calon Polri yang melamar.

Penilaian tahapan test dengan jumlah pelamar kerja yang banyak akan menyulitkan
pihak panitia penerimaan calon Polri baru sehingga hasil penilaian dan pertimbangan
pengambilan keputusan cenderung bias dan subjektif. Hal ini membuat pengambil
keputusan melakukan penilaian dan pertimbangannya secara “intuitif” sehingga
kecenderungan yang terjadi adalah besarnya tingkat kegagalan apenerimaan Polri baru
yang sesuai dengan kriteria dari wilayah secara maksimal (dalam Dahria, Ishak, &
Yanti, t.t).
Seleksi polisi tiap tahunnya memilki pendaftar yang cukup banyak. Hal ini bisa
dilihat dari jumlah pendaftar Polri pada tahun 2014 sebanyak 204.400 orang yang
mendaftar ke Polri, dan yang telah lulus ujian awal masuk kepolisian sebanyak 127.375
orang yang terdiri dari 88.572 laki-laki dan wanita sebanyak 38.803 orang. Penerimaan
tersebut

dilaksanakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan personel kepolisian di

seluruh Indonesia. Bagi brigadir laki-laki, Polri menerima sebanyak 10.750 anggota
baru, dan bagi polisi wanita, Polri menerima 7.000 anggota baru. Banyaknya jumlah
Polwan yang baru diterima oleh Polri berkenan dengan kebutuhan pemenuhan Polwan
di setiap Polsek di Indonesia (Wawancara Polda & Solopos, kamis 17/4/2014, Kurnia).
Data yang di dapatkan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah jawa tengah,


3

Surakarta terdapat 246 pendaftar yang terdiri dari 132 Pria dan 114 wanita, dengan
peserta yang diterima berjumlah 15 orang (2 pria, 13 wanita). Sedangkan quota yang
diambil terkadang sangatlah kecil jika dibandingkan dengan jumlah pendaftarnya. Oleh
sebab itu calon siswa tidak hanya mempersiapkan dirinya untuk mencapai persyaratan
untuk seleksi saja, namun ia juga harus berlomba menjadi yang terbaik agar tidak gugur
dalam seleksi dan lolos menjadi yang mereka inginkan. Jumlah pendaftar yang cukup
banyak membuat seleksi Polisi juga semakin ketat, tiap tahap penyelesaian pasti ada
pendaftar yang gugur. Hal ini juga berfungsi sebagai upaya untuk mendapatkan anggota
yang terbaik nantinya. Gugur dalam seleksi ini bearti gagal untuk menjadi anggota
Polisi.
Menurut Jati (t.t) Mereka yang gagal dalam seleksi kepolisian cenderung kecewa
dan putus asa, karena mereka merasa bahwa mereka telah mempersiapkan semuanya
dengan benar dan hati-hati, usaha yang mereka lakukan dirasa sia-sia. Kegagalan ini
yang menjadi faktor utama begi mereka yang benar-benar menginginkan profesi
tersebut. Beberapa dari mereka yang gagal cenderung malu dengan kegagalannya, ada
juga yang menyalurkan rasa kekecewaan sebagai akibat dari kegagalan dengan
mengubah pola hidupnya, seperti merokok dan mengkonsumsi minuman beralkhohol,

dan banyak lainnya. Hal ini mereka lakukan sebagai upaya untuk terbebas dari tekanan
kegagalan yang dialaminya, sebagian juga karena sikap pesimis terhadap cita-cita
menjadi Polri. Kegagalan ini cenderung membuat hidup mereka terpuruk, mereka
menjadi hilang tujuan dan akhirnya melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat dan
merugikan diri mereka sendiri. Kegagalan itu seolah menjadi pukulan keras dalam
hidup mereka. Proses yang direncanakan yang memakan waktu lama hingga

4

mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan, seolah-olah lenyap tidak ada hasil, yang
apabila ingin kembali harus memulai dari awal lagi.
Selain dampak yang di jelaskan diatas terdapat informasi dari salah satu subjek,
terdapat calon polisi yang gagal dalam seleksi kepolisian yang mengalami depresi yang
di tunjukan dengan perilakunya yang mengaku kepada orang umum seakan-akan dia
menjadi anggota kepolisian.
Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada 25 september 2015,
kepada orang yang pernah mengikuti seleksi Kepolisian dan mengalami kegagalan,
orang tersebut menganggap kegagalannya adalah kesalahan dari dirinya sendiri dan
merasa kecewa karena tidak dapat lolos dalam seleksi kepolisian. Perasaan kecewa yang
dialami oleh subjek masih dirasakan hingga saat ini. Setelah mengalami kegagalan

subjek cenderung mencari pelampiasan atas kekecewaannya dengan merokok dan
minum-minuman berakohol. Oleh karena itu di perlukannya sikap resiliensi pada remaja
yang mengalami kegagalan didalam seleksi kepolisian.
Menurut Grotberg Pratiwi, (2011) resiliensi adalah manusia untuk menghadapi,
mengatasi, mempelajari, kesulitan dalam hidup dan bahkan ditransformasi oleh
kesulitan dalam hidup tersebut. Selain itu, menurut Rew & Horner, Aisha, (2014)
resiliensi sendiri adalah kemampuan individu dalam menghadapi berbagai masalah agar
dapat beradaptasi terhadap kondisi tersebut dimana dapat meningkatkan potensi diri
setelah menghadapi situasi yang penuh tekanan. Pada remaja yang gagal dalam seleksi
kepolisian cenderung menyalahkan diri sendiri sehingga mempengaruhi kehidupan
sehari-hari mereka. Menurut Reivich dan Shatte (2002) suatu kemampuan yang dimiliki

5

individu untuk dapat bertahan, beradaptasi, dan bangkit dari keadaan yang menekan
dalam hidupnya.
Berdasarkar teori yang dikemukakan oleh Reivich dan Shatte (2002) pengukuran
resiliensi dapat menggunakan Resilience Question. Terdapat tujuh aspek dalam
pengukuran resiliensi, yaitu a.) Aspek pertama Regulasi emosi adalah kemampuan
untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan. bahwa individu yang memiliki

kemampuan untuk mengatur emosinya dengan baik dan memahami emosi orang lain
akan memiliki self-esteem dan hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Hal ini
dikarenakan mengekspresikan emosi yang kita rasakan baik emosi positif maupun
negatif merupakan hal yang konstruksif dan sehat, bahkan kemampuan untuk
mengekspresikan emosi secara tepat merupakan bagian dari resiliensi. b.) Aspek kedua
Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk mengendalikan keinginan,
dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. c.) Aspek ketiga
optimis adalah Individu yang resilien adalah individu yang optimis, jadi Optimisme
adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang. d.) Aspek keempat Causal
Analysis merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat
penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu
mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan
terus menerus berbuat kesalahan yang sama. e.) Aspek kelima Empati sangat erat
kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional
dan psikologis orang lain. Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir
dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain,
seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang
dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki

6


kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif. f.) Aspek
keenam Self-Efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Self-Efficacy
merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan masalah yang
kita alami dan mencapai kesuksesan. g.) Aspek ketujuh Reaching out adalah
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari sekedar
bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan
bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari itu resiliensi juga merupakan kemampuan
individu meraih aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa.
Ibeagha dkk, Masdianah (2010) menyatakan seorang anak dapat disebut sebagai
anak yang mengalami resiliensi apabila mereka memenuhi kriteria yang diperlukan.
Kriteria pertama adalah terdapatnya sebuah keadaan yang merupakan ancaman dan
sifatnya berbahaya bagi individu tersebut. Keadaan demikian disebut juga sebagai
faktor resiko. Kedua, kualitas penyesuaian individu terhadap keadaan tersebut sesuai
dengan tahap perkembangannya dimana hal ini juga dikenal sebagai faktor protektif.
Faktor resiko dalam Bern Masdianah (2010) didefinikan sebagai keadaan yang
membahayakan. Mash dan Wolfe Masdianah (2010) mengemukakan definisi serupa
mengenai faktor resiko yaitu variabel yang berkemungkinan memberikan dampak
negatif dari kejadian yang dialami individu. Faktor protektif adalah hal-hal yang
membantu individu bertahan dari dampak yang diakibatkan oleh tekanan yang diterima,
membantu mengatasi keadaan tidak menyenangkan tersebut dan mampu menyesuaikan
diri dalam keadaan mengancam tersebut (Ibeaghadkk, Masdianah 2010). Sejalan dengan
definisi tersebut dikatakan pula bahwa faktor protektif adalah keadaan yang mengurangi
dampak dari stres dini dan cenderung memprediksi hal positif dan keadaan tidak
menyenangkan (Masten dan Coatsworth dalam Papalia, dalam Masdianah 2010). Faktor

7

protektif berasal dari dua sumber yaitu internal dan eksternal. Faktor protektif internal
meliputi self esteem dan self effcacy dimana adalah aset atau faktor protektif yang secara
konstan muncul dalam pembahasan mengenai karakteristik siswa yang resilien dan
meliputi kopetensi sosial, kemampuan memecahkan masalah, aktif dalam pembelajaran,
otonomi dan kesadaran akan tujuan dan masa depan. Hal ini sering disebut juga sebagai
kekuatan pribadi dan merupakan manifestasi dari resiliensi itu sendiri. Faktor-faktor ini
dimiliki setiap individu dalam derajat yang berbeda-beda (Chavkin dan Gonzles, dalam
Masdianah 2010). Sementara faktor eksternal adalah faktor yang mendukung timbulnya
resiliensi individu dari luar diri mereka. Faktor protektif eksternal dapat dikelompokan
kedalam tiga katagori yaitu keluarga, sekolah dan lingkungan sehari-hari.
Holaday Haddiningsih (2014) berpendapat individu yang memiliki resiliensi
mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma, terlihat kebal dari
berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif, serta mampu beradaptasi terhadap
stress

yang ekstrim dan kesengsaraan. Newcomb Haddiningsih (2014) melihat

resiliensi sebagai suatu mekanisme perlindungan yang memodifikasi respon individu
terhadap situasi-situasi yang beresiko pada titik – titik kritis sepanjang kehidupan
seseorang. Menurut Pratiwi (2011) dalam mengembangkan resiliensi, peran religiusitas
juga penting, karena salah satu faktor internal yang mempengaruhi resiliensi seseorang
adalah religiusitas.
Religiusitas menurut Nashori, Reza, (2013) adalah seberapa jauh pengetahuan,
seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah, dan seberapa
dalam penghayatan atas agama yang dianut. Religiusitas diyakini mampu memberikan
kontribusi dalam meningkatkan kemampuan resiliensi individu, tidak terkecuali
individu yang mengalami kegagalan didalam seleksi kepolisian. Jika religiusitas yang

8

dimiliki individu tinggi maka akan berpengaruh pula pada kemampuan resiliensinya
sehingga akan terbentuk sikap- sikap positif, begitu juga sebaliknya religiusitas yang
rendah akan mempengaruhi kemampuan resiliensi individu sehingga sikap-sikap yang
terbentuk pada diri individu cenderung negatif Aisha (2014). Menurut Stark dan Glock
(1986) religiusitas sebagai komitmen religius,yang dapat dilihat aktivitas atau perilaku
individu yang bersangkutan dengan agama yang dianut. Ada beberapa dimensi yang
mendukung religiusitas sendiri.
Menurut Kendler. Et al. (2003), dalam jurnal Dimension of Religiosity and Their
Relationship to Lifetime Psychiatric and Substance Use Disorders, ada tujuh dimensi,
yaitu: a.) Dimensi religiusitas General Religiosity, dimensi yang menggambarkan
bagaimana hubungan individu dengan Tuhannya, dimensi General Religiosity
merefleksikan tentang perhatian dan keterlibatan individu dengan hal-hal yang berkaitan
dengan spiritual, termasuk perasaan (sense) tempat mereka selama didunia; dan
keterlibatan aktif dengan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari maupun saat mengalami
keadaan bermasalah (krisis). b.) Dimensi Religiusitas Social Religiosity, bagaimana
individu tersebut membina hubungannya dengan individu sesama manusia, lebih
khususnya dengan sesama penganut agamanya, dimensi ini selain merefleksikan tingkat
interaksi dengan individu religios lainnya, juga menggambarkan bagaimana frekuensi
kehadiran individu di tempat beribadah. c.) Dimensi religiusitas invoved God, segala
sesuatu yang menurut manusia melambangkan Tuhan. Dimensi ini mencerminkan
sebuah kepercayaan dan kenyakinan terhadap keterlibatan Tuhan yang secara aktif dan
positif dalam urusan manusia. d.) Dimensi religiusitas forgiveness, bagaimana
menggambarkan pendekatan keperdulian, rasa kasih sayang, dan saling maafmemaafkan. Dimensi ini merefleksikan sikap, perhatian, kasih sayang, dan pendekatan

9

memaafkan kepada dunia. e.) Dimensi religiusitas God as judge, Dimensi ini
menggambarkan kekuasaan yang dimiliki Tuhan. Mencerminkan persepsi Tuhan
sebagai Penetap Takdir, juga menegaskan tentang takdir, serta hukum dan nilai-nilai
dari Tuhan. f.) Dimensi religiusitas Unvengefulness, dalam dimensi ke eenam ini,
menggambarkan perilaku individu yang tidak mendendam. Dimana dimensi religiusitas
Unvengefulness mencerminkan suatu perilaku yang tidak menaruh rasa dendam
terhadap dunia. g.) Dimensi religiusitas thankfulness, dimensi yang terakhir ini adalah
bagaimana individu menggambarkan rasa syukur (thankfulness). Dimensi ini
merefleksikan perasaan berterimakasih, yang berlawanan dengan marah terhadap
kehidupan dan Tuhan.
Tingkat religiusitas yang tinggi dapat dikatakan mampu meningkatkan
kemampuan seseorang dalam mengatasi segala permasalahan yang berat dan menekan.
Pargment dan Cummings (dalam Aisha, 2014) menjelaskan bahwa religiusitas
merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi resiliensi. Individu yang memiliki
pengetahuan agama yang baik mampu menentukan tindakan positif atau negatif.
Individu yang menjalankan kegiatan ibadahnya dengan baik lebih mampu mengontrol
emosinya (Aisha, 2014). Kepercayaan dan kenyakinan terhadap keterlibatan Tuhan
yang secara aktif dan positif dalam urusan manusia, mampu menjadi pedoman ketika
individu mengalami kesulitan. Dengan adanya kenyakinan tersebut pada saat kondisi
tertekan dan dalam masalah, maka individu pasti akan kembali menyakini bahwa Tuhan
akan selalu menolong dan memberi petunjuk, hal ini membantu individu untuk bersikap
sabar dan pasrah serta membangun resiliensi pada individu (Aisha, 2014). Religiusitas
mampu memberikan kepercayaan diri kepada individu, melalui religiusitas individu
akan lebih percaya diri dan tenang dalam menyelesaikan masalahnya. Individu yang

10

memilki religiusitas yang tinggi diharapkan akan selalu siap menghadapi masalah dan
tantangan, karena mereka yakin bahwa dalam kesulitan apapun Tuhan akan selalu
membantunya sehingga individu akan berfikir jernih dan optimis. Religiusitas juga
mampu meningkatkan kompetensi-kompetensi pribadi seseorang seperti, optimisme,
kemampuan beradaptasi, pengambilan keputusan Aisha, (2014).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ayu (2012) menemukan adanya
hubungan antara religiusitas dengan resiliensi pada ibu yang memiliki anak retardasi
mental diperoleh hasil koefisien korelasi (r) 0,831 dengan P0,05).
Penelitian ini ingin melihat “Apakah ada hubungan positif yang signifikan antara
Religiusitas dengan Resiliensi pada remaja yang gagal dalam seleksi Kepolisian di
Surakarta.”

Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif yang signifikan
antara religiusitas dengan resiliensi pada remaja yang gagal dalam seleksi kepolisian di
surakarta.

11

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Menurut
Azwar (2008), pada pendekatan penelitian kuantitatif, data penelitian hanya akan dapat
diinterpretasikan dengan lebih objektif apabila diperoleh lewat suatu proses pengukuran
di samping valid dan reliabel, juga objektif.
Variabel-variabel yang akan dilibatkan dalam penelitiani adalah:
a. Variabel terikat (Y) : Resiliensi
b. Variabel bebas (X) : Religiusitas

Populasi dan Sampel
Populasi adalah serumpun atau sekelompok objek yang menjadi sasaran
penelitian. Penentuan populasi harus berpedoman pada tujuan dan permasalahan
penelitian (Bungin, 2006). Purwanto (2008) juga berpendapat populasi adalah
keseluruhan objek yang mempunyai satu karakteristik yang sama.
Populasi dalam penelitian ini adalah individu yang mengalami kegagalan dalam
seleksi kepolisian di Surakarta. Sedangkan sampel dari penelitian ini berjumlah 45 dari
Surakarta.

12

Tehnik Pengambilan Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang ditentukan dengan teknik tertentu
sehingga mempunyai sifat yang sama dengan populasi (Purwanto 2008). Tehnik
Sampling adalah merupakan tehnik pengambilan sampel. Teknik pengambilan sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Snowball Sampling. Snowball sampling
merupakan salah satu metode dalam pengambilan sampel dari suatu populasi. Dimana
snowball sampling ini adalah termasuk dalam teknik non-probability sampling yang
pengambilan sampel dilakukan secara berantai.

Alat Ukur Penelitian
A. Skala Resiliensi
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala resiliensi.
Skala resiliensi

menggunakan skala Resilience Question yang dikemukakan oleh

Reivich dan shatte (2002). Terdapat Tujuh aspek didalam pengukuran resiliensi yaitu a.)
Regulasi Emosi, b.)Pengendalian Impuls, c.) Optimis , d.) Casual Analysis, e.) Empati
f.) Self-Efficacy, g.) Reaching out. Skala Resilience Question menggunakan 5 poin
skala likert dengan 1 menujukkan tidak sesuai sama sekali dan poin 5 menunjukan
benar dan sesuai selalu setiap saat. Jumlah keseluruhan item pada skala Resilience
Question berjumlah 56 aitem, dengan koefisien realibilitas sebesar 0,894.
B. Skala Religiusitas
Skala yang digunakan untuk mengukur tingkat religiusitas menggunakan skala
yang dikemukakan oleh Kendler, dkk (2003). Aspek didalam skala ini terdiri dari 7

13

aspek yaitu a.) general religiosity, b.) social religiosity, c.) involved God,

d.)

forgiveness/love, e.) God ad judge, f.) unvengefulness, dan g.) thankfulness. Skala Seven
Religiosity Dimensions menggunakan 5 poin skala likert dengan 1 menunjukan tidak
sesuai sama sekali dan poin 5 menunjukan benar dan sesuai selalu setiap saat. Jumlah
keseluruhan aitem pada skala Seven Religiosity Dimensions berjumlah 75 aitem,
dengan koefesien realibilitas sebesar 0,98. Penguji validitas dan reliabilitas akan
dilakukan lagi pada peneliti ini dengan menggunakan data yang
didapat dari sampel ketika pengambilan data dilakukan (try out terpakai).

Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji t (Independent
Sample t test) dengan bantuan SPSS. 17 for Windows. Beberapa pengujian sebelum
dilakukan uji perbedaan atau uji t adalah pengujian terhadap normalitas data dan
homogenitas varian

14

HASIL PENELITIAN
Analisa Deskriptif

Tabel 1
Statistik Deskriptif Skala Religiusitas Dan Resiliensi Pada Individu Yang Gagal
Seleksi Kepolisian Di Surakarta
NO.

Skala

1.

Religiusitas

2.

Resiliensi

N

Min

Max

M

SD

8

48

279,82

23,981

8

64

140,18

24,670

45

Tabel 1 merupakan statitik deskriptif dari skor partisipan untuk setiap variabel.
Peneliti

kemudian membagi skor dari setiap skala menjadi 5 kategori mulai dari

“sangat tinggi” hingga “sangat rendah”.

Tabel 2
Kriteria Skor Religiusitas
N
Interval

1.
268,8 ≤ x ≤ 320

Kategor
i
Sangat
Tinggi

Frekuens

Presentas

i

e

45

100%

2.

217,6 ≤ x < 268,8

Tinggi

0

0

3.

166,4 ≤ x < 217,6

Sedang

0

0%

Mean

SD

279,8
23,981

15

4.

115,2 ≤ x < 166,4

5.

64 ≤ x < 115,2

Rendah
Sangat
Rendah

Jumlah

0

0%

0

0%

45

100 %

x = skor Religiusitas
Berdasarkan tabel kategorisasi pengukuran skala Religiusitas diatas dapat dilihat
bahwa 45 subjek yang memiliki skor Religiusitas yang berada pada kategori sangat
tinggi dengan persentase 100% subjek Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor
minimum sebesar 64 sampai dengan skor maksimum sebesar 320 dengan standard
deviasi 23,981.

Tabel 3
Kriteria Skor Resiliensi
No

Interval

1.176,4≤ x≤ 210

Kategor

Frekuens

i
Sangat
Tinggi

Presentas

i

e

13

28,9%

2.

142,8≤ x< 176,4

Tinggi

28

62,2%

3.

109,2≤ x< 142,8

Sedang

4

8,9%

4.

75,6≤ x< 109,2

Rendah

5.

42≤ x< 75,6

Jumlah
x = skor Resiliensi

Mean

SD

140,18
24,6

Sangat
Rendah

0

0%

0

0%

45

100 %

16

Berdasarkan tabel kategorisasi pengukuran skala Resiliensi diatas dapat dilihat
bahwa 13 subjek yang memiliki skor Resiliensi yang berada pada kategori sangat tinggi
dengan persentase 28,9%, 28 subjek memiliki skor Resiliensi yang berada pada kategori
tinggi dengan persentase 62,2 %, 4 subjek memiliki skor Resiliensi yang berada pada
kategori sedang dengan persentase 8,9%. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor
minimum sebesar 42 sampai dengan skor maksimum sebesar 210 dengan standard
deviasi 24,670. Tabel 2 dan 3 menunjukkan bahwa rata-rata tingkat Religiusitas pada
kategori sangat sangat tinggi, sedangkan rata-rata Resiliensi pada remaja yang gagal
dalam seleksi kepolisian berada pada kategori tinggi.

Uji asumsi
Penelitian ini adalah penelitian korelasional yang digunakan untuk mengetahui
ada atau tidaknya korelasi antara religiusitas dan resiliensi pada individu yang gagal
dalam seleksi kepolisian di Surakarta. Namun, sebelum dilakukan uji korelasi, peneliti
harus melakukan uji asumsi terlebih dahulu untuk menentukan jenis statistik parametrik
atau non parametrik yang akan digunakan untuk uji korelasi.

Uji Normalitas
Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov yang menunjukkan skala
Resiligiusitas (K-S-Z = 894, p = 401 > 114) menunjukkan data-data normal dan skala
resiliensi (K-S-Z = 1.197, p = 894 > 114) menunjukkan data-data berdistribusi normal.

17

Uji Linearitas
Dari hasil uji linearitas menunjukkan adanya hubungan linear antara Religiusitas
dan Resiliensi pada remaja yang gagal dalam seleksi kepolisian dengan deviation from
linearity sebesar 1,141 (p>0,05)

Uji Korelasi
Berdasarkan uji asumsi yang telah dilakukan, diketahui bahwa data yang
diperoleh berdistribusi normal dan variabel-variabel penelitian linear, maka uji korelasi
dilakuka dengan menggunakan statistik parametik. Uji korelasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Product moment dari Pearson, karena data normal dan linear.

Tabel 4
Hasil Uji Korelasi Antara Religiusitas Dan Resiliensi
Correlations
Religiusitas Resiliensi
Religiusitas Pearson

1

-.105

Correlation
Sig. (1-tailed)

Resiliensi

.246

N

45

45

Pearson

-.105

1

Correlation
Sig. (1-tailed)

.246

N

45

45

18

Hasil dari uji korelasi menunjukkan tidak adanya korelasi yang signifikan antara
Religiusitas dan resiliensi pada remaja yang gagal dalam seleksi kepolisian di Surakarta
r = -0,105 dengan p = 0,246 maka p>0,05.

Pembahasan
Hasil uji korelasi pada penelitian ini menunjukkan skor (r= -0,105) dengan
signifikansi sebesar 0,246 (p>0,05), yang berarti antara religiusitas dan resiliensi
memiliki korelasi negatif yang sangat rendah dan tidak signifikan atau dapat dikatakan
tidak ada korelasi antara religiusitas dan resiliensi pada individu yang gagal seleksi tes
Kepolisian di Surakarta. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ayu (2012) dan pertiwi (2011) yang menghasilkan temuan bahwa
terdapat hubungan antara religiusitas dengan resiliensi. di sisi lain hasil penemuan dari
penelitian ini mendukung penelitian Soakokone (2015), Hutapea (2016) dan Lestari
(2015) yang menghasilkan temuan bahwa tidak ada hubungan antara religiusitas dan
resiliensi. Terdapat beberapa alasan yang dapat menjelaskan tidak adanya hubungan
antara religiusitas dan resiliensi. Untuk dapat melihat lebih jelas mengenai penyebab
tidak adanya hubungan antara religiusitas dan resiliensi maka dapat dilihat melalui
hubungan antara aspek pada resiliensi. Tidak adanya hubungan antara religiusitas dan
resiliensi mungkin dapat dikaji dari aspek resiliensi menurut Reivich dan Shatte (2002)
yaitu : a) Regulasi emosi, b) Empati, c) Self-efficacy.
Aspek pertama yang ada didalamnya adalah regulasi emosi. Dalam penelitian
soekokone juga ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara religiusitas dan regulasi
emosi dengan skor ( r = 0,87 p>0,05 ). Alasanya karena terdapat banyak faktor lain

19

yang menyebabkan tinggi rendahnya regulasi emosi individu pada usia dewasa dini.
Faktor-faktor yang dimaksudkan adalah usia, jenis kelamin, kepribadian, pola asuh,
budaya, tujuan dilakukannya regulasi emosi (goal), frekuensi individu melakukan
regulasi emosi (strategies), kemampuan individu dalam melakukan regulasi emosi
(capabilities), perkembangan bahasa, nilai-nilai budaya (Gross, 2007; Anggreiny,
2014). Bahkan lebih lanjut Semplonius et al., (2014) dalam penelitiannya juga memberi
bukti yang mendukung penelitian ini, bahwa aktivitas sosial (non-religiusitas) justru
yang memiliki hubungan dengan regulasi emosi. Karena lebih lanjut menurutnya faktor
inilah yang dapat menjadi dasar dalam memprediksi seseorang mampu meregulasi
emosinya dengan baik pada usia dewasa dini, sehingga tidak menjadi masalah jika
seseorang memiliki tingkat religiusitas (Praktik keagamaan) yang rendah karena hal ini
tidak berhubungan sama sekali.
Aspek kedua dari resiliensi adalah empati. Duriez (2004) juga menghasilkan
temuan bahwa tidak terdapat hubungan antara religiusitas dengan salah satu aspek
resiliensi yaitu Empati dengan nilai signifikansi sebesar 0,16 (p>0,05). Hasil penelitian
tersebut mengungkapkan bahwa empati menjadi dasar dari perilaku menolong dan sikap
altruisme individu terhadap orang lain. Hal ini lebih berfokus pada bagaimana seseorang
berproses pada esensi dari sebuah ajaran agama, daripada apa keyakinannya terhadap
agama itu sendiri. Sehingga religiusitas dalam hal ini tidak menentukan apakah
seseorang memiliki empati yang tinggi terhadap orang lain. Namun, bagaimana
seseorang memaknai sebuah peristiwa tersebut sebagai bagian atau proses partisipatif
kepada Tuhan.
Sementara itu, pada aspek ketiga dari resiliensi yaitu Self-efficacy. Penelitian yang
dilakukan oleh Mc Entee (2013) menghasilkan temuan bahwa tidak terdapat hubungan

20

antara religiusitas dengan salah satu aspek resiliensi yaitu self efficacy dengan skor (tau
b(93)=.055, p=.457). Hasil penelitian yang dilakukan oleh McEntee mengungkapkan
bahwa keyakinan diri seseorang dalam menyelesaikan suatu tugas tidak dipengaruhi
oleh tingi rendahnya religiusitas orang tersebut. Efikasi diri seseorang lebih banyak
dipengaruhi kemampuan penyelesaian masalah (problem solving), kemampuan
mengelola stress (coping stress), dan pengalaman seseorang terkait dengan bidang yang
ia kerjakan. Tingkat religiusitas mungkin sedikit memberikan pengaruh dalam
mengangkat keyakinan bahwa seseorang memiliki kemampuan dalam dirinya untuk
menyelesaikan sesuatu, namun sekali lagi hal tersebut tidak terlalu signifikan dalam
meningkatkan efikasi diri seseorang.
Garmezy, Lestari, (2007) menyampaikan resiliensi sebagai hasil transaksi yang
dinamis antara kekuatan dari luar dengan kekuatan dari dalam individu. Resiliensi tidak
dilihat sebagai atribut yang pasti atau keluaran yang spesifik namun sebaliknya sebagai
sebuah proses dinamis yang berkembang sepanjang siklus kehidupan manusia.
Resiliensi dipengaruhi oleh faktor internal yang meliputi kemampuan kognitif, gender,
dan keterikatan individu dengan budaya, serta faktor eksternal dari keluarga dan
komunitas. Keluarga dan komunitas adalah pihak-pihak potensial penyedia dukungan
sosial bagi penyintas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa religiusitas tidak
berkorelasi dengan resiliensi pada seseorang yang gagal dalam seleksi kepolisian. Dari
hasil wawancara dengan salah satu subjek ditemukan bahwa dia bisa bertahan lebih
karena adanya dukungan sosial dari keluarga maupun teman yang sama gagal dari
seleksi yang saling menguatkan. Adanya perasaan didukung oleh lingkungan membuat
segala sesuatu menjadi lebih mudah terutama pada waktu menghadapi peristiwa yang
menekan. Cobb menekankan orientasi subyektif yang memperlihatkan bahwa dukungan

21

sosial terdiri atas informasi yang menuntun orang meyakini bahwa ia diurus dan
disayangi.
Banaag (2002), menyatakan bahwa resiliensi adalah suatu proses interaksi antara
faktor individual dengan faktor lingkungan. Faktor individual ini berfungsi menahan
perusakan diri sendiri dan melakukan kontruksi diri secara positif, sedangkan faktor
lingkungan berfungsi untuk melindungi individu dan “melunakkan” kesulitan hidup
individu.

Individu

yang

tetap

mampu

menjaga

interaksi

sosialnya

dengan

lingkungannya akan mampu membantu dirinya untuk memahami karakteristik dirinya
sendiri dan orang lain. Ini membantu individu untuk mengetahui seberapa banyak waktu
yang diperlukan untuk berkomunikasi, dan seberapa banyak ia dapat menangani
berbagai macam situasi. Selain itu, individu yang resilien juga dapat menemukan
seseorang untuk meminta bantuan, untuk menceritakan perasaan dan masalah, serta
mencari cara untuk menyelesaikan masalah pribadi dan interpersonal. Hal tersebut
didukung oleh pendapat ketiga subjek bahwa, mereka masih membutuhkan orang lain
apabila mereka memiliki masalah.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan religiusitas dan resiliensi pada
individu yang gagal dalam seleksi kepolisian di Surakarta, diperoleh kesimpulan tidak
ada hubungan religiusitas dan resiliensi pada individu yang gagal dalam seleksi
kepolisian di Surakarta.

22

DAFTAR PUSTAKA

AGAMA. ( Skripsi ). Tidak diterbitkan. Salatiga: Universitas Kristen Satya
Wacana.
Aisha, D.L. (2014). Hubungan antara Religiusitas dengan Resiliensi pada remaja di
panti asuhan keluarga yatim Muhammadiyah Surakarta. Skripsi (tidak
diterbitkan). Surakarta : Fakultas psikologi universitas muhamaddyah.
Anggreiny, N. (2014). Rational emotive behaviour therapy (REBT) untuk meningkatkan
regulasi emosi pada remaja korban kekerasan seksual.Tesis (tidak diterbitkan).
Universitas Sumatera Utara, Medan.

Ayu, R.A. (2012). Hubungan religiusitas dengan resiliensi pada ibu yang memilih anak
retardasi mental. Skripsi (tidak diterbitkan). Salatiga : Fakultas psikologi
Universitas kristen Satya Wacana.
Banaag, C. G. 2002. Reiliency, street Children, and substance abuse prevention.
Prevention Preventif, Nov. 2002, Vol 3
Bungin, B. (2010). Metodologi penelitian kuantitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Dahria, M., Ishak, Yanti, F.Y. (t.t). Pendukung keputusan seleksi calon polri baru di
Polda kota Medan menggunakan metode multifaktor evoluation process (MFEP).
Jurnal Ilmiah Saintikom. 13, 83-95.
Desmita, (2005). Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya

Duriez. B. ( 2004). Are religious people nicer people?Taking a closer look at the
religion–empathy relationship. Mental Health, Religion & Culture Volume 7,
Number 3, 2004, 249–254.

Gross, J. (2007). Handbook of regulation emotion. New York: Guilford Press.
Haddiningsih, T.T. (2014). Hubungan antara dukungan sosial dengan Resiliensi pada
remaja di panti asuhan keluarga yatim Muhammadiyah Surakarta. Surakarta;
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah.

23

Hutapea, B. (2016). RELIGIOSITY AND RESILIENCE AMONG"UNDERCLASS"
INTERNAL MIGRANT YOUNG MEN IN JAKARTA: A STUDY OF TWO
DIFFERENT ETHNIC GROUPS. Proceeding of The International Conference on
Psychology of Resilience 2011.

INDIVIDU PADA USIA DEWASA DINI YANG TIDAK MELAKUKAN
PRAKTIK
Jati, C.k. (t.t). Resiliensi Remaja Yang Gagal Dalam Seleksi TNI/ POLRI.
Kendler, K.S., Liu, X.Q., Gardner, C.O., McCullough, M.E., Larson, D., & Prescott,
C.A. (2003). Dimension of religiosity and their relationship to lifetime psychiatric
and substance use disorder. Am J Psychiatry, 160, 496–503.
Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Jawa Tengah PABANRIM RESTAKA
BRIG POL TA.2014. Berita Acara Rapat Kelulusan Hasil Pemerikasaan
Administrasi Awal Penerimaan Brigadir Polisi TA.2014. Polresta Surakarta.
Lestari, W. (2015). Hubungan antara Religiusitas dengan Resiliensi pada single parent.
(Skripsi). Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Masdianah. (2010). Hubungan antara resiliensi dengan prestasi belajar anak binaan
yayasan smart ekseliensi Indonesia. (Skripsi).Jakarta : Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah.
McEntee. K. (2013). The Effects of Religiosity on Stress, Self-Efficacy and Autonomy
Among College Students. Dublin: Department of Psychology DBS School of
Arts.
Pertiwi. (2011). Dimensi Religiusitas dan Resiliensi pada residen Narkoba di BNN
Lido. (Skripsi). Jakarta ; Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Purwanto. (2008). Metodologi peneltian kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Reivich, K. & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Essential Skills For
Overcoming Life’s Inevitable Obstacles. Newyork: Broadway Book.
Reza, I.F. (2013). Hubungan antara Religiusitas dengan Moralitas pada remaja di
Madrasah Aliyah (MA). (Skripsi).Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah.
Sadjijono. (2006). Mengemal Hukum Kepolisian : Perspektif Keududukan dan
Hubungannya Dalam Hukum Administrasi. Surabaya : Lakbang Mediatama.

24

Semplonius, T., Good, M., & Willoughby, T. (2014). Religious and Non-religious
Activity Engagement as Assets in Promoting Social Ties Throughout University:
The Role of Emotion Regulation. Journal of youth and adolescence, 1-15.

Soakokone, Y.A.T. (2015). HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN REGULASI
EMOSI

Solopos.com. (2014). Pendaftaran Polisi 2014 masa pendaftaran tinggal 2 hari sudah
204.440
orang
mendaftarkan
diri.
http://www.solopos.com/2014/04/17/pendaftaran-polisi-2014-masa-pendaftarantinggal-2-hari-sudah-204-440-orang-mendaftarkan-diri-503096
Zam, A.R. (2013). Budaya kerja kepolisian dalam sistem pelayanan masyarakat di
Polres Bone. (Skripsi). Makasar: Universitas Hasanuddin Makasar.