T1 802009070 Full text

PERBEDAAN PERILAKU CYBERSEX DITINJAU DARI
JENIS KELAMIN
OLEH
ELISABET NATALIA GRATIA
80 2009 070

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014

ABSTRAK
Salah satu bentuk dari kecanggihan teknologi komputer di bidang komunikasi adalah internet.
Tidak hanya situs–situs yang menampilkan informasi yang penting saja, banyak juga bisnis gelap
yaitu bisnis seks, salah satunya adalah situs–situs yang berisi pornografi/cybersex. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui perbedaan perilaku cybersex ditinjau dari jenis kelamin. Subjek
dalam penelitian ini adalah mahasiswa S1 di Kota Solo yang berjumlah 80 orang, diantaranya 40
mahasiswa laki-laki dan 40 mahasiswa perempuan yang pernah mengakses muatan
pornografi/seksual di internet (cybersex) dan pengambilan sampel dilakukan dengan
menggunakan teknik snowball sampling. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam
penelitian dengan cara menyebar skala. Skala Perilaku Cybersex dari Delmonico & Miller (2003)
digunakan yang berisi bentuk-bentuk perilaku cybersex, yaitu online sexual compulsivity, online
sexual behaviour-social, online sexual behaviour-isolated, online sexual spending dan interest in
online sexual behaviour. Analisis data yang digunakan untuk melihat perbedaan perilaku
cybersex pada jenis kelamin tersebut adalah Independent Sample Test. Hasil yang diperoleh dari
perhitungan tersebut adalah nilai t-test sebesar -0,450 (p>0,05). Rata-rata perilaku cybersex
mahasiswa perempuan (5,025) dibandingkan mahasiswa laki-laki (4,65). Kesimpulannya bahwa
tidak ada perbedaan perilaku cybersex ditinjau dari jenis kelamin.
Kata kunci: Perilaku Cybersex, Jenis Kelamin

Abstract
One form of sophistication of computer technology in the field of communication is the internet.
Not only the sites that display important information, many dark businesses like sex businesses,
one is the sites that contain pornographic/cybersex. This study aimed to determine the
differences in cybersex behaviour in terms of the sex. The subjects of this study are scholar

students from Solo city. Amounting to 80 people, contain 40 male students and 40 female
students who has been accessed pornographic/sexuality material from the internet (cybersex)
and sampling was done using snowball sampling technique. The sampling technique in this study
was done with spreading scale. There is one scale wich used, cybersex behaviour scale from
Delmonico & Miller (2003) about the forms of cybersex behaviour, that is online sexual
compulsivity, online sexual behaviour-social, online sexual behaviour-isolated, online sexual
spending and interest in online sexual behaviour. The analysis of the data that used to see the
difference cybersex behaviour to the sex is Independent Sample Test. The result from the
calculation is t-test value -0,450 (p>0,05). The average of cybersex behaviour from female
students (5,025) compare to male students (4,65). The conclusion is there no difference of
cybersex behaviourin terms of the sex.
Key word: Cybersex Behaviour, Sex

1

PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini semakin memudahkan
manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari, terutama yang dibatasi oleh jarak,
ruang, dan waktu. Salah satu bentuk dari kecanggihan teknologi komputer di bidang
komunikasi adalah internet (dalam Pribadi & Putri, 2009). Menurut Surono (dalam

Andini, 2009), fasilitas internet ini sangat diminati oleh sebagian besar kalangan pria
dan wanita dewasa muda. Mereka memanfaatkan berbagai layanan internet mulai dari
menjelajah informasi ilmu pengetahuan, layanan info sekolah ke luar negeri, surat
elektronik dan chatting. Sekarang ini chatting dengan banyak orang dari berbagai
negara menjadi salah satu kegemaran para dewasa awal. Berkomunikasi di dunia maya
juga memberikan keleluasaan karena identitas mereka umumnya dapat dirahasiakan
(hanya menggunakan inisial), sehingga mereka dapat bebas mengungkapkan apa saja
yang mereka inginkan.
Internet digunakan sebagai media bagi semua orang dari berbagai belahan dunia
untuk mengakses informasi apapun sacara mudah dan cepat, serta memudahkan bagi
penggunanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa internet mengubah tatanan kehidupan
sosial budaya, bahkan lebih ekstrim lagi mampu mengubah pola perilaku seksual para
penggunanya karena adanya situs-situs yang berisi pornografi (dalam Pribadi & Putri,
2009). Tidak Sebagaimana yang dinyatakan oleh Barrett dan Rasch (1997) bahwa
internet mempunyai sisi gelap, sebagai sarana yang mendukung kejahatan, sebab 80%
gambar di internet adalah gambar porno. Berdasarkan data yang dituliskan oleh Papu
(2008) bahwa sekitar 1,8 juta warga Indonesia yang sudah mengenal dan mengakses

2


internet, 50% di antaranya ternyata tidak bisa menahan diri untuk tidak membuka situs
porno.
Menurut Cooper (dalam Erawati, Kristiyawati, & Solechan, 2011), cybersex
didefinisikan sebagai penggunaan internet untuk terlibat dalam aktivitas kesenangan
seksual, seperti melihat gambar-gambar erotis, chatting tentang seks, saling tukarmenukar gambar atau email tentang seks, dan lain sebagainya yang terkadang diikuti
oleh masturbasi. Cooper & Griffin-Shelley (dalam Sari & Purba, 2012), adapun tujuan
mereka melakukan hal tersebut adalah untuk kesenangan seksual dan tak jarang dari
mereka dapat merasakan orgasme, baik itu hanya dengan berfantasi melalui alam
pikiran atau bisa juga diimbangi dengan melakukan onani atau masturbasi. Selain itu
Goldberg (2004) mengatakan bahwa banyaknya orang yang menggunakan internet
untuk cybersex yang telah meningkat secara dramatis 10 tahun terakhir ini, akan
berdampak serius pada dorongan seksual pengguna, bahkan seringkali pengguna tidak
mampu menahan dorongan seksualnya karena sajian seks di internet tersebut.
Menurut Suler (dalam Shvoong, 2011), seseorang mengakses situs yang
berhubungan dengan seks di internet dengan alasan, yaitu: untuk memuaskan kebutuhan
biologisnya dan untuk memenuhi kebutuhan psikis dan sosialnya. Kebutuhan biologis
yang dimaksud adalah seks itu sendiri, sedangkan kebutuhan psikis dan sosial adalah
kebutuhan untuk berkomunikasi secara mendalam dengan orang lain tentang hal-hal
yang berhubungan dengan seks.
Wawancara dengan 2 orang mahasiswa (1 laki-laki dan 1 perempuan), pada bulan

Agustus 2013, yang menyatakan bahwa mahasiswa tersebut melakukan perilaku
cybersex pertama kali didorong oleh rasa keingintahuannya. Kemudian dari rasa
keingintahuan ini berkembang menjadi suatu kebutuhan untuk melakukan cybersex,

3

selain itu juga karena kesepian, stress. Kemudian menikmati kesenangan yang terlibat
dalam aktivitas seksual online dan secara bertahap menghabiskan banyak waktu untuk
melakukan cybersex.
Perilaku seseorang dalam mengakses cybersex berbeda-beda antara satu orang
dengan orang yang lain. Menurut Delmonico & Miller (2003), terdapat 5 bentuk
perilaku cybersex, yaitu: Online sexual compulsivity (perilaku cybersex yang
kompulsif/mengenai masalah seksual online), Online sexual behaviour-social (perilaku
cybersex yang terjadi dalam konteks hubungan sosial atau melibatkan interaksi
interpersonal dengan orang lain ketika online, seperti chat room dan email), Online
sexual behaviour-isolated (perilaku cybersex yang terjadi tanpa ada hubungan sosial di
dalamnya, seperti melihat pornografi), Online sexual spending (banyaknya uang yang
dikeluarkan individu untuk aktivitas cybersex, seperti bergabung dengan semacam grup
seks/website di internet), dan Interest in online sexual behaviour (kecenderungan untuk
menggunakan komputer untuk tujuan seksual, seperti bookmarked/menandai situs

seksual).
Menurut Cooper & Sportolari (dalam Cooper, Delmonico, Shelley, & Mathy,
2004), ada 3 karakteristik yang menyebabkan individu melakukan aktivitas cybersex
disingkat dengan triple A engine yaitu: accessibility (mengacu pada kenyataan bahwa
internet menyediakan jutaan situs porno dan menyediakan ruang chatting yang akan
memberikan kesempatan untuk melakukan cybersex), affordability (mengacu pada
mengakses situs porno yang disediakan internet dan tidak perlu mengeluarkan biaya
mahal), dan anonymity (mengacu pada individu tidak perlu takut dikenali oleh orang
lain).

4

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cybersex menurut Young (dalam
Haryanthi, 2001) yaitu faktor yang berasal dari kondisi personal individu (faktor
internal), dan faktor yang berasal dari luar diri individu (faktor eksternal). Faktor
internal, terdiri dari: faktor kepribadian yaitu tipe kepribadian dan kontrol diri. Faktor
ini merupakan faktor internal yang membedakan antara satu individu dengan individu
yang lain (Young, 1997). Faktor situasional, yang merupakan faktor yang merujuk pada
riwayat kesehatan dan kehidupan seks, faktor ini didukung dengan hasil penelitian yang
menyatakan bahwa depresi dapat meningkatkan potensi peningkatan kecanduan internet

sebagai salah satu tempat untuk melarikan diri dari kenyataan (Young & Robert, 1998).
Jenis kelamin yang termasuk faktor internal yaitu suatu konsep yang digunakan untuk
mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan yang dilihat dari sudut anatomi
atau biologis. Sedangkan faktor eksternal, terdiri dari: faktor interaksional yang berasal
dari aspek interaksi aplikasi dua arah yang ada didalam internet yang bersifat adiktif,
karena memungkinkan adanya interaksi yang dapat membangun suasana kondusif bagi
pengguna untuk mencari persahabatan, kesenangan seksual dan perubahan identitas
(Young, 1997), dan faktor lingkungan yang berupa faktor pendidikan seks secara formal
maupun informal dan juga lingkungan itu sendiri, seperti adanya kontrol sosial sebelum
menikah yang berupa agama, keluarga, teman dan masyarakat (Surono, 2000).
Menurut Cooper dan Scherer (dalam Andini, 2009), dalam hal ini yang memiliki
jenis kelamin laki-laki sangat menentukan pemilihan media yang digunakan di dalam
internet. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan secara biologis dan psikologis antara
pria dan wanita. Bila dilihat dari faktor biologis perubahan hormonal pada pria yakni
dengan meningkatnya hormon testosteron dapat membangkitkan minat yang tinggi
terhadap hal yang berkaitan dengan seksual. Lebih lanjut dijelaskan oleh Dagun (dalam

5

Andini, 2009) selain itu secara psikis pria umumnya lebih agresif, sangat aktif, sangat

berterus terang dan tidak malu untuk membicarakan masalah seks. Berbeda halnya
dengan wanita yakni tidak agresif, pasif, merasa tidak bebas untuk membicarakan
masalah seks. Berdasarkan hasil penelitian Elmer-Dewit (dalam Rahmawati, dkk.,
2002) bahwa 98,9% orang yang melakukan cybersex adalah laki-laki dan 1,1%
perempuan.
Hasil penelitian Taufik & Anganthi (2005) menunjukkan bahwa faktor yang
mempengaruhi munculnya perilaku seks bebas diantaranya penggunaan media
pornografi. Hal ini terlihat dari banyaknya subjek yang pernah menggunakan media
pornografi. Subjek (laki-laki) yang mengaku telah melakukan hubungan seksual
semuanya pernah menggunakan media pornografi. Ditemukan 76% subjek perempuan
yang telah melakukan hubungan seksual mengaku pernah menggunakan media
pornografi.
Velea (dalam Andini, 2009) menjelaskan mengapa pria menyukai seks maya.
Alasannya adalah pria berusaha mencari perlindungan dengan membebaskan diri dari
kenyataan. Pada intinya persoalan komunikasi biasanya menjadi penyebab seseorang
lari ke dalam dunia seks maya dan umumnya menyerang pria. Dalam hal ini pria
memang memiliki kekurangan dalam komunikasi verbal untuk mengemukakan perasaan
mereka. Perbedaan mencolok lainnya pria lebih terangsang oleh stimulus visual atau
pengamatan, sedangkan wanita lebih kepada stimulus pendengaran. Di internet lebih
sering ditemui gambar erotis atau porno dari pada tulisan yang tidak pantas.

Hasil penelitian Jufri (dalam Pribadi & Putri, 2009) mengatakan bahwa terdapat
perbedaan permisivitas perilaku seksual antara remaja laki-laki dengan remaja
perempuan, laki-laki lebih permisif dibandingkan perempuan. Menurut hasil survey

6

terbaru yang dilakukan oleh Goodson bersama rekan-rekannya di Texas A & M
University terhadap 506 siswa perguruan tinggi pengguna internet, dan hasilnya telah
diterbitkan pada jurnal Archieves of Sexual Behavior yang menunjukkan bahwa
sebanyak 43,5% siswa mengatakan telah memasuki materi seksual dengan jelas melalui
internet. Laki-laki lebih cenderung mencari materi seksual secara terhubung
dibandingkan perempuan. Sekitar 56,5% laki-laki betul-betul melakukannya dibanding
35,2% perempuan. Hanya 2,9% dari jumlah siswa secara keseluruhan yang masuk ke
materi seksual ini secara teratur dan lebih banyak laki-laki melakukan masturbasi pada
saat online (15%). Namun demikian diperoleh data yang cukup mengejutkan yaitu 5,3%
perempuan melaporkan telah melakukan hubungan seks dunia maya dengan pasangan
online-nya dibandingkan laki-laki yang hanya 3,1%.
Hasil penelitian Jufri dan sebagian hasil survey Goodson (dalam Pribadi dan Putri,
2009) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sikap di antara mahasiswa dan
mahasiswi perguruan tinggi terhadap seks dunia maya, yaitu ada mahasiswa laki-laki

yang bersikap lebih positif (bagaimana mereka menerima cybersex) terhadap fenomena
seks dunia maya, namun demikian hasil survey Goodson menunjukkan ada pula
mahasiswa perempuan yang bersikap positif terhadap seks dunia maya. Sedangkan
survey yang dilakukan oleh Self pada tahun 2000 (dalam Surono, 2001) pada 1100
responden dalam rentang usia 18 – 50 tahun menemukan bahwa 60% dari responden
wanita mengaku bahwa mereka pernah menikmati beberapa akses internet yang
berkaitan dengan aktivitas seksual, mulai dari situs dewasa, chatting dan mengirim foto
erotis. Kondisi ini dilakukan karena melalui internet lebih “private” dibandingkan
dengan meminjam video porno secara langsung. Selain itu, melalui internet, wanita juga
tidak takut dianggap murahan oleh pria maupun teman sesama wanita.

7

Maka berdasarkan uraian fenomena perilaku cybersex, peneliti merasa tertarik
untuk meneliti mengenai perbedaan perilaku cybersex ditinjau dari jenis kelamin.
Manfaatnya bagi pengguna cybersex, agar dapat memberikan informasi tentang manfaat
situs cybersex dan penggunaannya dan memberikan informasi tentang hal-hal yang
berkaitan dengan pornografi.

METODE

Desain Penelitian
Dalam penelitian yang berjudul perbedaan perilaku cybersex ditinjau dari jenis
kelamin, menggunakan penelitian kuantitatif komparasi yang menunjukkan ada
tidaknya perbedaan berupa angka pada hasil penelitian.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa S1 di Kota Solo, yang pernah
mengakses muatan pornografi/seksual di internet. Teknik pengambilan sampel
menggunakan snowball sampling, yaitu teknik penentuan sampel yang mula-mula
jumlahnya kecil, kemudian sampel ini disuruh memilih temannya yang pernah
mengakses muatan pornografi/seksual di internet (cybersex) untuk dijadikan sampel,
begitu seterusnya. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 80 mahasiswa, di
antaranya 40 mahasiswa laki-laki dan 40 mahasiswa perempuan.
Alat Ukur Penelitian
Peneliti menggunakan satu skala, yaitu skala perilaku cybersex. Skala ini
menggunakan skala ISST (The Internet Sex Screening Test). ISST disusun oleh
Delmonico & Miller (2003). Metode skoring yang digunakan dalam penelitian ini
adalah, setiap respon “ya” mendapat skor 1 dan setiap respon “tidak” mendapat skor 0.

8

Berdasarkan pengujian yang dilakukan sebanyak tiga kali, didapati koefisien
korelasi item total yaitu bergerak antara 0,323 sampai dengan 0,688. Dalam penelitian
ini ada 7 item yang tidak memiliki daya diskriminasi baik, dan tersisa 16 item yang
memiliki daya diskriminasi baik.
Dari hasil uji reliabilitas setelah 7 item yang gugur dihilangkan, diperoleh α =
0,847 maka dapat disimpulkan bahwa skala perilaku cybersex yang digunakan dalam
penelitian ini reliabel.

HASIL PENELITIAN
A. Uji Asumsi
a. Hasil Uji Normalitas
Sebelum menggunakan uji Independent Samples Test adalah melakukan Uji
asumsi, yaitu uji normalitas yang bertujuan untuk mengetahui normal atau
tidaknya distribusi data penelitian pada masing-masing variabel. Data dari
variabel penelitian diuji normalitasnya menggunakan metode KolmogorovSmirnov Test. Data dapat dikatakan berdistribusi normal apabila nilai p > 0,05.
Tabel 1
Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
PRIA
N
Normal Parametersa,,b
Most Extreme Differences

Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.

Mean
Std. Deviation
Absolute
Positive
Negative

40
4.6500
3.74542
.145
.145
-.107
.918
.368

WANITA
40
5.0250
3.71061
.146
.146
-.089
.926
.358

9

Hasil uji normalitas pada Tabel 1 menunjukan bahwa variabel perilaku
cybersex memiliki koefisien Kolmogorov-Smirnov Test pada pria sebesar 0,918,
dan wanita sebesar 0,926 dengan probabilitas (p) atau signifikansi pada pria
sebesar 0,368, dan wanita sebesar 0,358 dengan demikian variabel perilaku
cybersex memiliki distribusi normal karena p>0,05.
b. Hasil Uji Homogenitas
Uji homogenitas bertujuan untuk melihat apakah sampel-sampel dalam
penelitian berasal dari populasi yang sama. Data dapat dikatakan homogen apabila
nilai probabilitas p > 0,05.
Tabel 2
Uji Homogenitas
Test of Homogeneity of Variances
Perilaku cybersex
Levene Statistic
.004

df1

df2
1

Sig.
78

.950

Dari hasil uji homogenitas menunjukan bahwa nilai koefisien Levene Test
sebesar 0,004 dengan signifikansi sebesar 0,950 oleh karena nilai signifikansi
lebih dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut homogen.

B. Analisis Deskriptif
Hasil analisis perbedaan kategori perilaku cybersex antara mahasiswa laki-laki
dan perempuan, sebagai berikut:

10

Tabel 3
Kategori Skor Perilaku Cybersex Keseluruhan
No.

Interval

Kategori

Frekuensi

%

Mean

1.
2.
3.
4.

12 < x 16
8 < x 12
4