T1 802007089 Full text

(1)

Pendahuluan

Masa remaja merupakan masa peralihan antara kanan dan masa dewasa. Secara umum masa remaja dibagi menjadi masa remaja awal, masa remaja tengah dan masa remaja akir. Sedangkan Santrock (2002) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal yang berada pada rentang usia 12-17 tahun, dan masa remaja akhir berada pada rentang usia 17-21 tahun.

Terkait dengan masa peralihan tersebut, Erikson (dalam Hurlock, 1999) menyebutkan bahwa status individu pada masa itu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukannya. Hal tersebut disebabkan karena dalam masa peralihan, remaja bukan lagi anak-anak, tetapi juga bukan orang dewasa. Lebih lanjut Erikson mengemukakan bahwa ciri khas remaja yaitu terdapat krisis identitas, dimana remaja berusaha untuk mejelaskan siapa dirinya, apa peranannya di masyarakat, apakah ia seorang anak atau dewasa. Menurut Wattenberg (dalam Mappiare, 1982) salah satu tugas perkembangan yang harus dikerjakan remaja adalah memiliki kemampuan mengontrol diri sendiri seperti orang dewasa.

Tidak semua remaja dapat memenuhi tugas-tugas perkembangan dengan baik. Pada tahun 1904, G. Stanley Hall (dalam Santrock, 2012) mengajukan pandangan “badai dan stress (storm-and-stress)” untuk menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa bergejolak yang diwarnai oleh konflik dan perubahan suasana hati (mood). Menurut Hurlock (1999) ada beberapa masalah yang dialami remaja dalam memenuhi tugas-tugas tersebut, diantaranya adalah masalah yang timbul akibat status yang tidak jelas pada remaja,


(2)

seperti masalah pencapaian kemandirian, kesalah pamahan atau penilaian berdasarkan stererotip yang keliru, serta adanya perubahan secara hormonal yang mengakibatkan emosi yang labil sehingga mengakibatkan remaja berada pada masa yang sulit. Pada fase ini akan ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang.

Salah satu bentuk penyimpangan perilaku yang sering terjadi di sekolah adalah perilaku bullying. Terjadinya bullying di sekolah merupakan proses dinamika kelompok dan di dalamnya ada pembagian peran. Peran tersebut menurut Salmivalli, Lagerspetz, Björkqvist, Kaukiainen dan Österman (1996) adalah bully, asisten bully, reinforcer, victim, defender dan outsider. Bully adalah pelaku atau sebagai pengambil inisiatif, yang terlibat secara aktif dan menjadi pemimpin dalam perilaku bullying. Bully adalah pelaku atau sebagai pengambil inisiatif, yang terlibat secara aktif dan menjadi pemimpin dalam perilaku bullying. Asisten bullying adalah orang yang juga terlibat aktif dalam perilaku bullying namun lebih cenderung menjadi pengikut yang memberi dukungan kepada bully. Reinforcer adalah orang yang menjadi penguat dalam peristiwa bullying (ikut menertawakan, ikut memprovokasi dan atau mengajak orang lain untuk ikut serta menyaksikan kejadian bullying). Victim adalah orang yang selalu menjadi target atau menjadi korban perilaku bullying. Sedangkan defender adalah orang yang berusaha secara aktif untuk menghentikan perilaku bullying dengan membela korban baik secara langsung maupun tidak langsung.

Bully adalah „pemimpin‟ dari asisten bully, reinforcer, victim, defender atau awal mula terjadinya bullying.


(3)

Bully juga seseorang atau sekelompok orang yang terlibat langsung terhadap korban bullying. untuk itu, bisa dikatakan tidak ada bullying jika tidak ada seorang/sekelompok bully. Oleh karena itu dapat diartikan bahwa setiap orang yang ikut andil dalam proses atau terjadinya tindakan bullying kecuali victim dan defender sudah dapat dikatakan atau disebut sebagai pelaku bully.

Menurut Hidayati (2012), fenomena bullying ibarat fenomena gunung es yang nampak „kecil‟ di permukaan, namun menyimpan berjuta permasalahan yang kasat mata oleh orang tua, bahkan meremehkan fenomena bullying sehingga mengesampingkan dampak buruk yang bisa terjadi.

Menurut Quiroz (dalam Anesty, 2009), teman sebaya merupakan dunia yang tak terpisahkan dan penting bagi anak. Namun disisi lain, saat terjadi bullying atau intimidasi dari teman sebaya akan berdampak negatif bagi korban. Korban bullying akan menjadi mudah stress saat bertemu atau berhadapan dengan pelaku. Selain itu, korban akan mengalami masalah kecemasan, depresi juga dapat mengalami penurunan kemampuan belajar dikarenakan mengalami kesulitan konsentrasi dan penurunan dalam memorinya sehingga prestasi anak secara akademis akan menurun.

Akibat buruk tidak hanya didapat oleh korban bullying saja, hal ini juga berakibat buruk untuk pelaku bullying itu sendiri. Menurut Boyle (2005), pelaku bullying akan beresiko negatif dikemudian hari. Pelaku beresiko terlibat vandalisme, mengutil, pembolosan yang menyebabkan prestasi mereka menurun, dan juga beresiko terlibat penyalahgunaan zat (obat terlarang). Tidak hanya itu, pelaku bullying saat dewasa cenderung akan terlibat perilaku antisosial.


(4)

Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA), faktor penyebab bullying antara lain: perilaku feodal (pemaknaan senior/junior), pubertas pada masa remaja (pencarian jati diri), krisis identitas, kekerasan dalam rumah tangga dan sekolah, pengawasan perilaku anak yang kurang dari orang tua dan sekolah, imitasi dari tontonan media yang mengandung unsur kekerasan, seksualitas/pornografi, fanatisme yang berlebihan, pendisiplinan dengan kekerasan baik di rumah dan sekolah (Maria, 2008).

Dari beberapa faktor yang memengaruhi perilaku bullying di atas, tampak bahwa salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah faktor keluarga, dalam hal ini keharmonisan keluarga. Faktor ini menjadi penting untuk dipertimbangkan dalam penelitian ini karena mengutip pendapat Lock (1985), bahwa posisi pertama didalam mendidik seorang individu terletak pada keluarga. Keluargalah yang mengisi “kertas kosong” sang anak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) keluarga dapat diartikan sebagai ibu dan bapak (orangtua) beserta anak-anak dan juga sebagai kesatuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat. Setiap anggota keluarga memiliki peran yang berbeda-beda dan saling terkait antara satu dan yang lain.

Kedudukan dan fungsi suatu keluarga dalam kehidupan manusia bersifat primer dan fundamental. Keluarga pada hakekatnya merupakan wadah pembentukan masing-masing anggotanya, terutama anak-anak yang masih berada dalam bimbingan tanggung jawab orangtuanya. Perkembangan anak pada umumnya meliputi keadaan fisik, emosional sosial dan intelektual.


(5)

Bila kesemuanya berjalan secara harmonis maka dapat dikatakan bahwa anak tersebut dalam keadaan sehat jiwanya (Asfriyati, 2003). Dalam perkembangan jiwa terdapat periode-periode kritis yang berarti bahwa bila periode-periode ini tidak dapat dilalui dengan harmonis maka akan timbul gejala-gejala yang menunjukkan misalnya keterlambatan, ketegangan, kesulitan penyesuaian diri kepribadian yang terganggu bahkan menjadi gagal sama sekali dalam tugas sebagai makhluk sosial untuk mengadakan hubungan antar manusia yang memuaskan baik untuk diri sendiri maupun untuk orang di lingkungannya (Asfriyati, 2003).

Keharmonisan keluarga ialah apabila seluruh anggota merasa bahagia dan ditandai dengan berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya dan keberadaan dirinya meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial. Keluarga harmonis akan tercapai apabila anggota keluarganya menempatkan diri sesuai dengan perannya masing-masing (Gunarsa, 2004).

Efek yang ditimbulkan jika terjadi ketidak-harmonisan sebuah keluarga adalah timbulnya pengaruh-pengaruh negatif terhadap perkembangan sosial anak. Hal ini didukung dengan temuan Stury (dalam Gerungan, 2002) yang melaporkan bahwa 63% dari anak nakal dalam suatu lembaga pendidikan adalah anak-anak yang berasal dari keluarga-keluarga yang tidak harmonis.

Anak akan meniru berbagai nilai dan perilaku anggota keluarga yang ia lihat sehari-hari sehingga menjadi nilai dan perilaku yang ia anut (hasil dari imitasi).


(6)

Menurut Bandura (dalam Feist, 2010) anak-anak melakukan modelling atau imitasi lebih banyak daripada orang dewasa. Anak belajar melalui proses modelling meliputi menambahi atau mengurangi suatu perilaku yang diobservasi dan mengeneralisasi dari suatu observasi ke observasi yang lain. Sehubungan dengan perilaku imitasi anak, jika anak dibesarkan dalam keluarga yang mentoleransi kekerasan atau bullying, maka ia mempelajari bahwa bullying adalah suatu perilaku yang bisa diterima dalam membina suatu hubungan atau dalam mencapai apa yang diinginkannya, sehingga kemudian ia meniru (imitasi) perilaku bullying tersebut. Sebagaimana biasanya ditemui dalam bentuk keluarga yang tidak harmonis menurut Rahayu dkk (2013). Hal ini sama seperti yang dikatakan Candidate (2013) bahwa anak yang menunjukkan perilaku agresif merupakan dampak dari permodelan pada perilaku orang tua atau keluarga dimana anak itu ada.

Perilaku bullying, yang timbul di SMP N 2 Ungaran berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan pihak sekolah adalah adanya siswa yang saling mengejek dan menyindir antar siswa satu dan yang lainnya. Sementara itu, perilaku bullying dalam bentuk tindakan seperti berkelahi, mengambil barang milik teman atau bullying secara fisik dan emosional kurang diungkapkan oleh pihak sekolah. Namun dari hasil observasi yang dilakukan, ditemukan beberapa perilaku bullying lainnya yang dilakukan oleh siswa-siswi sekolah tersebut.

Berdasarkan fenomena yang terjadi di SMP N 2 Ungaran, maka penulis tertarik untuk meneliti „Hubungan Keharmonisan Keluarga dengan Kecenderungan Perilaku Bullying pada siswa SMP N 2 Ungaran‟.


(7)

Perumusan masalah dalam penelitian ini, apakah ada hubungan antara keharmonisan keluarga dengan kecenderungan perilaku bullying pada siswa SMP N 2 Ungaran?

Kecenderungan Perilaku Bullying

Berbagai macam definisi perilaku Bullying dikemukakan oleh para ahli. Menurut Colorosa dan Ericson (dalam Lizt, 2005) adalah perilaku agresi yang biasanya dilakukan secara berulang-ulang dari seseorang atau sekelompok orang yang lebih kuat atau lebih besar terhadap seseorang atau sekelompok orang yang lebih lemah atau lebih kecil, dan perilaku ini menyebabkan seseorang atau sekelompok orang yang di bully merasa menderita baik secara fisik, maupun psikis.

Jadi yang dimaksud dengan kecenderungan perilaku bullying adalah kecenderungan perilaku agresi yang biasanya dilakukan secara berulang-ulang dari seseorang atau sekelompok orang yang lebih kuat atau lebih besar terhadap seseorang atau sekelompok orang yang lebih lemah atau lebih kecil, dan perilaku ini menyebabkan seseorang atau sekelompok orang yang di bully merasa menderita baik secara fisik, maupun psikis


(8)

Aspek-aspek Perilaku Bullying

Aspek-aspek menurut Colorosa dan Ericson (dalam Lizt, 2005) yaitu: a. Bullying secara verbal

Bullying atau intimidasi secara verbal ditandai oleh sikap memberi „nama panggilan‟, mengejek, meremehkan, mengkritik secara tajam, menfitnah, menghina RAS, pelecehan seksual, pemerasan, menggunakan telepon atau email untuk mengganggu). Mengintimidasi secara verbal termasuk intimidasi yang tergolong kasat mata namun sangat berbahaya atau sangat berdampak buruk bagi korban karena dilakukan secara berulangkali

b. Bullying secara fisik

Intimidasi dalam bentuk fisik adalah bentuk intimidasi yang paling mudah terlihat. Hal ini terwujud seperti menampar, memukul, mencolek, menendang, menggigit, mencakar, meludah atau bentuk melukai yang lainnya. Mengintimidasi secara fisik sangat membahayakan tubuh ornag lain (korban)

c. Bullying secara emosional

Intimidasi secara emosional atau psikologis biasanya berbentuk mengabaikan, mengisolasi korban dari teman-teman, merusak hubungan orang lain juga beberapa intimidasi psikologis lainnya. Dalam intimidasi bentuk ini, pelaku biasanya meyakinkan orang lain untuk menolak korban sehingga secara otomatis korban akan terasingkan dari lingkungan sosial.


(9)

Jadi aspek kecenderungan perilaku bullying adalah kecenderungan Bullying secara verbal, kecenderungan Bullying secara fisik dan kecenderungan Bullying secara emosional.

Faktor yang memengaruhi memperilaku bullying

Quiroz (dalam Anesty, 2009) mengemukakan sedikitnya terdapat tiga faktor yang dapat menyebabkan perilaku bullying, sebagai berikut :

a. Hubungan Keluarga

Anak akan meniru berbagai nilai dan perilaku anggota keluarga yang ia lihat sehari-hari sehingga menjadi nilai dan perilaku yang ia anut (hasil dari imitasi). Sehubungan dengan perilaku imitasi anak, jika anak dibesarkan dalam keluarga yang mentoleransi kekerasan atau bullying maka ia mempelajari bahwa bullying adalah perilaku yang bisa diterima dalam membina suatu hubungan atau dalam mencapai apa yang diinginkan, sehingga kemudian ia meniru (imitasi) perilaku bullying tersebut.

b. Teman Sebaya

Salah satu faktor besar dari perilaku bullying pada remaja disebabkan oleh adanya teman sebaya yang memberikan pengaruh negatif dengan cara menyebarkan ide (baik secara pasif maupun aktif) bahwa bullying bukanlah suatu masalah besar dan merupakan suatu hal yang wajar untuk dilakukan. Jadi bullying terjadi karena adanya tuntutan konformitas.


(10)

c. Pengaruh Media

Survey yang dilakukan harian kompas memperlihatkan bahwa 56,9% anak meniru adegan-adegan film yang ditontonya, umumnya mereka meniru geraknya (64%) dan kata-katanya (43%).

Keharmonisan Keluarga

Lam, Fielding, Mcdowell, Johston, Chan, Leung dan Lam (2012) mengatakan keharmonisan keluarga adalah situasi dimana antar anggota keluarga hidup bahagia adanya sikap saling peduli, menghormati, saling mendukung dan kurangnya konflik yang terjadi.

Aspek-aspek Keharmonisan Keluarga

Lam et al. (2012) mengkategorikan 4 (empat) aspek keharmonisan keluarga, empat:

a. Komunikasi

Adanya kesempatan dan keinginan untuk berhubungan atau berkomunikasi antar anggota keluarga, dan bersikap secara proaktif dalam berkomunikasi satu sama lain. Adanya kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama-sama. Juga adanya keinginan untuk saling mengerti atau memahami meskipun terdapat perbedaan generasi (antar anak dan orang tua), orang tua berusaha mengerti situasi anak begitu juga sebaliknya yang harus dilakukan oleh anak.


(11)

b. Sikap saling menghormati

Sikap saling menghormati dianggap sebagai salah satu faktor paling penting untuk terwujudnya keluarga yang harmonis. Hal ini tercipta oleh adanya sikap saling menghormati dengan nilai-nilai atau ketetapan yang di sepakati bersama. Mampu menyelesaikan perselisihan atau konflik yang terjadi sampai situasi tenang atau kembali seperti semula juga diperlukan dalam terwujudnya keluarga yang harmonis. Dalam keluarga yang harmonis, antar anggota keluarga juga perlu bertenggang-rasa satu sama lain. Tidak bersikeras dengan pandangan pribadi serta mampu menerima pandangan orang lain.

c. Kurangnya konflik

Saat adanya komunikasi yang baik antar anggota keluarga, kurang atau tidak adanya konflik merupakan salah satu faktor penting untuk mempertahankan keluarga yang harmonis. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) konflik adalah percekcokan, perselisihan, pertentangan. Selain itu, menunjukkan sikap peduli antar anggota keluarga juga merupakan hal yang perlu dilakukan.

d. Waktu keluarga

Salah satu faktor yang sangat penting untuk menciptakan keluarga yang harmonis adalah adanya waktu untuk berkumpul dan menghabiskan waktu bersama keluarga (pentingnya rasa kebersamaan antar seluruh anggota keluarga).


(12)

Remaja

Masa remaja dibagi menjadi masa remaja awal dan masa remaja akhir. Menurut Santrock (2002), masa remaja awal berada pada rentang usia 12-17 tahun, sedangkan masa remaja akhir berada pada rentang usia 17-21 tahun. Secara umum siswa dan siswi SMP meliputi rentang usia 12-14 tahun, dimana usia ini masuk dalam rentang usia remaja awal.

Konflik pada remaja

Konformitas dengan tekanan teman-teman sebaya pada masa remaja dapat bersifat positif maupun negatif (Camarena,1991; Foster-Clark & Blyth,1991; Pearl, Bryan, & Herzog, 1990 ; Wall, 1993).

Umumnya remaja terlibat dalam semua bentuk perilaku konformitas yang negatif, seperti : menggunakan bahasa yang jorok, mencuri, merusak, dan mengolok-olok orangtua dan guru. Akan tetapi banyak sekali konformitas teman sebaya yang tidak negatif dan terdiri atas keinginan untuk dilibatkan didalam dunia teman sebaya, seperti berpakaian seperti teman-teman dan keinginan untuk meluangkan waktu dengan anggota-anggota suatu kelompok (Santrock, 2003).

Dilihat dari usia pelaku, bullying lebih mengarah pada kenakalan remaja. Dimasa remaja perbuatan seorang anak berada dalam masa mencari identitas diri, mengalami perkembangan atau pertumbuhan fisik, dan mental yang belum stabil, sehingga dapat dikatakan masa remaja merupakan masa kritis identitas.

Hasil penelitian dari Ling dan Chang (1997) menyatakan bahwa kenakalan remaja berhubungan dengan peran keluarga. Hawari (1997) juga menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab timbulnya perilaku deliquent adalah tidak


(13)

berfungsinya orang tua sebagai figur teladan anak. Selain itu suasana keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman dan tidak menyenangkan serta hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologis bagi setiap usia terutama pada masa remaja (Hurlock, 1980).

Hubungan Antara Keharmonisan Keluarga dengan Kecenderungan Perilaku Bullying.

Perilaku bullying dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya adalah keharmonisan keluarga. Keluarga dikatakan harmonis apabila seluruh anggota merasa bahagia dan ditandai dengan berkurangnya ketegangan, kekecewaan, dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya. Keluarga yang harmonis akan tercapai apabila anggota keluarganya menempatkan diri sesuai dengan perannya masing-masing (Gunarsa, 2004).

Keterkaitan antara keharmonisan keluarga dan perilaku bullying dapat dijelasakan dari aspek-aspek keharmonisan keluarga dengan aspek-aspek perilaku bullying. Aspek-aspek keharmonisan keluarga seperti komunikasi, sikap saling menghormati, kurangnya konflik dan sikap saling menghormati memiliki keterkaitan dengan perilaku bullying. Seperti yang dijelaskan oleh Hertinjung dkk (2012) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya bullying adalah kondisi keluarga yang kurang harmonis. Efek yang ditimbulkan dari ketidakharmonisan keluarga adalah timbulnya pengaruh-pengaruh negatif terhadap perkembangan sosial anak.


(14)

Hal ini didukung dengan temuan Stury (Gerungan, 2002) yang melaporkan bahwa 63% dari anak nakal dalam suatu lembaga pendidikan adalah anak-anak yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis.

Penelitian lain yang memperkuat hubungan antara keharmonisan keluarga dengan perilaku bullying adalah penelitian Adriyansyah dan Gusniarti (2008) mengemukakan bahwa perilaku bullying pada remaja disebabkan karena adanya tanggapan orang tua yang menilai perilaku bullying merupakan sesuatu yang wajar dan biasa dilakukan oleh remaja dan salah satu anggota keluarganya ada yang menjadi pelaku bullying.

Hipotesis Penelitian

Ada Hubungan Negatif dan Signifikan antara Keharmonisan Keluarga dengan Kecenderungan Perilaku Bullying pada Siswa SMP N 2 Ungaran. Makin tinggi tingkat keharmonisan keluarga maka makin rendah tingkat kecenderungan perilaku bullying.

Metode Penelitian Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan strategi korelasional. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah Kecenderungan Perilaku Bullying dan variabel bebas dalam penelitian ini adalah Keharmonisan Keluarga.


(15)

Definisi Operasional

Kecenderungan perilaku bullying adalah kecenderungan perilaku agresi yang dilakukan oleh siswa terhadap teman yang berada dilingkungan sekolah. Biasanya dilakukan secara berulang-ulang dari seorang atau sekelompok orang yang lebih kuat atau lebih besar terhadap seorang atau sekelompok orang yang lebih lemah atau lebih kecil, dan perilaku ini menyebabkan seseorang atau sekelompok orang yang dibully merasa menderita baik secara fisik, maupun psikis (Colorosa & Ericson, dalam Lizt, 2005)

Keharmonisan keluarga adalah situasi dimana antar anggota keluarga hidup bahagia, adanya sikap saling peduli, menghormati, saling mendukung yang kurangnya konflik yang terjadi (Lam et al., 2012).

Partisipan Penelitian

Populasi dalam penelitian ini yang direncanakan semula adalah siswa SMP N 2 Ungaran, namun dari pihak sekolah hanya memperkenankan dua (2) kelas yang telah ditetapkan yaitu kelas VIII. Subjek untuk penelitian ini berjumlah 80 siswa yang terdiri dari 2 kelas di kelas VIII.

Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan data dilakukan oleh peneliti pada hari Senin, 4 Agustus 2014, pada pukul 10.00 hingga sekitar pukul 12.00. Saat itu peneliti melakukan penelitian setelah usai acara halal bihalal yang dilakukan oleh seluruh pihak SMP N 2 Ungaran.


(16)

Skala Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan 2 alat ukur skala psikologi : 1. Skala Kecenderungan Perilaku Bullying yang dimodifikasi oleh penulis

berdasarkan pada aspek menurut Colorosa dan Ericson (dalam Lizt, 2005), yang terdiri dari 3 aspek yaitu : Kecenderungan bullying secara verbal, kecenderungan bullying secara fisik dan kecenderungan bullying secara emosional.

Pernyataan skala kecenderungan perilaku bullying disusun dalam bentuk favourable dan unfavourable dengan empat tingkatan penilaian (skala likert) yaitu nilai 1 sampai 4. Respon respon subjek untuk pernyataan favourable diberikan bobot masing-masing nilai 4 untuk jawaban sangat sering, nilai 3 untuk jawaban sering, nilai 2 untuk jawaban jarang, dan nilai 1 untuk jawaban tidak pernah. Sebaliknya pernyataan unfavourable diberi nilai 1 untuk jawaban sangat sering, nilai 2 untuk jawaban sering, nilai 3 untuk jawaban jarang dan nilai 4 untuk jawaban tidak pernah.

Perhitungan seleksi aitem dilakukan dengan menggunakan teknik statistik Corrected Item-Total Correlation. Kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem total dengan batasan koefisien korelasi yang dianggap memuaskan dan memberikan kontribusi yang baik adalah sebesar ≥0,30 (Azwar, 2012). Pada Skala Kecenderungan Perilaku Bullying dari 36 aitem yang diuji terdapat 11 aitem gugur, sehingga terdapat 25 aitem terpakai. Nilai r (corrected item-total correlation) bergerak dari angka 0,345 – 0,896 dengan koefisien alpha cronbach sebesar 0,970 yang berarti alat ukur ini tergolong reliabel.


(17)

2. Skala Keharmonisan Keluarga yang dimodifikasi penulis berdasarkan pada aspek Keharmonisan Keluarga menurut Lam et al. (2012), yang terdiri dari 4 aspek yaitu: Komunikasi, Sikap Saling Menghargai, Kurangnya Konflik, dan Waktu Keluarga.

Pernyataan skala keharmonisan keluarga disusun dalam bentuk favourable dan unfavourable dengan 5 tingkat penilaian (skala likert) yaitu nilai 0 – 4. Respon-respon subjek untuk pernyataan favourable diberikan nilai masing-masing 4 untuk jawaban sangat sesuai, nilai 3 untuk jawaban sesuai, nilai 2 untuk jawaban netral, nilai 1 untuk jawaban tidak sesuai, dan nilai 0 untuk jawaban sangat tidak sesuai. Sebaliknya pernyataan unfavourable diberi nilai 0 untuk jawaban sangat sesuai, nilai 1 untuk jawaban sesuai,

nilai 2 untuk jawaban netral, nilai 3 untuk jawaban tidak sesuai, dan nilai 4 untuk jawaban sangat tidak sesuai.

Pada skala keharmonisan keluarga, dari 30 aitem yang diuji terdapar 6 aitem gugur, sehingga terdapat 24 aitem terpakai. Nilai r (corrected item-total correlation) bergerak dari angka 0.313 – 0,746 dengan koefisien alpha cronbach sebesar 0.970 yang berarti alat ukur ini tergolong reliabel.

Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini menggunakan analisis data korelasi Pearson Product Moment. Sesudah data dianalisis terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yaitu uji normalitas dan uji linieritas.


(18)

Hasil Penelitian 1. Hasil Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Berdasarkan hasil pengujian normalitas, diperoleh kecenderungan perilaku bullying (Y) memiliki nilai signifikansi sebesar 0,426 dan keharmonisan keluarga (X) nilai signifikansi sebesar 0,693. Karena signifikansi lebih dari 0,05 jadi data perilaku bullying dan keharmonisan keluarga berdistribusi normal.

b. Uji Linieritas

Berdasarkan hasil uji linieritas variabel kecenderungan perilaku bullying dan keharmonisan keluarga, diperoleh nilai signifikansi pada F.beda sebesar 0,572 (p>0,05), maka dapat disimpulkan bahwa kecenderungan perilaku bullying dan keharmonisan keharmonisan keluarga memiliki hubungan yang linier. Dengan ini maka telah memenuhi syarat untuk dilakukan analisis korelasi product moment. 2. Hasil Deskriptif

a. Deskriptif Skala Perilaku Bullying

Skala kecenderungan perilaku bullying terdiri dari jumlah aitem terpakai 25. Pemberian skor dari 1 – 4 sehingga diperoleh interval yaitu ((25x4)-(25x1))/3=25


(19)

Pengukuran Variabel Kecenderungan Perilaku Bullying Kategori Interval N Prosentase

Rendah 25 - 50 13 17,81%

Sedang 51 -75 31 42,46%

Tinggi 25 -50 29 39,73%

Jumlah 73 100%

Berdasarkan hasil analisis deskriptif diperoleh 17,81% peserta didik memiliki skor perilaku bullying dengan kategori rendah, dan 42,46 berada pada kategori sedang, sedangkan 39,73% berada pada kategori tinggi. Secara umum dikatakan bahwa kecenderungan perilaku bullying pada siswa SMP N 2 Ungaran berada pada kategori sedang (42,46%).

b. Deskriptif Skala Kehamonisan Keluarga

Skala keharmonisan keluargaterdiri dari jumlah aitem terpakai 24. Pemberian skor dari 0 – 4 sehingga diperoleh interval yaitu ((24x4)-(25x0))/3=32.

Pengukuran Variabel Keharmonisan Keluarga Kategori Interval N Prosentase

Rendah 0 – 32 0 0%

Sedang 33 – 64 15 20,55%

Tinggi 65 - 96 58 79,45%

Jumlah 73 100%

Berdasarkan hasil analisis deskriptif diperoleh 0% peserta didik memiliki skor keharmonisan keluarga dengan kategori rendah,


(20)

dan 20,55% berada pada kategori sedang, sedangkan 79,45% berada pada kategori tinggi. Secara umum dikatakan bahwa tingkat keharmonisan keluargapada siswa SMP N 2 Ungaran berada pada kategori tinggi (79,45). 3. Uji Hipotesis

Korelasi Antara Keharmonisan Keluarga Dengan

Kecenderungan Perilaku Bullying Pada Siswa SMP Negeri 2 Ungaran

Berdasarkan hasil pengujian hubungan antara dua variabel yaitu keharmonisan keluarga dengan kecenderungan perilaku bullying pada siswa SMP N 2 Ungaran, menunjukkan koefisien korelasi r= -0,435 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05).

Hal ini menunjukkan adanya hubungan negatif yang signifikan antara keharmonisan keluarga dengan kecenderungan perilaku bullying pada siswa

Correlations Kecenderungan Perilaku Bullying (Y) Keharmonisan Keluarga (X) Perilaku Bullying (Y) Pearson

Correlation 1 -0,435

**

Sig. (1-tailed) 0.000

N 73 73

Keharmonisan Keluarga (X)

Pearson

Correlation -0,435

**

1

Sig. (1-tailed) 0,000

N 73 73


(21)

SMP N 2 Ungaran. Dari angka korelasi r= -0,435 diperoleh angka koefisien determinan (r2) sebesar 0,189. Hal ini menunjukkan bahwa variasi sumbangan efektif yang dapat diberikan keharmonisan keluarga dengan kecenderungan perilaku bullying sebesar 18,9% sedangkan sisanya 81.1% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini

Pembahasan

Berdasarkan analisis diatas, didapatkan hasil perhitungan korelasi sebesar r = -0,435 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Dengan demikian maka hipotesis dalam penelititian ini yang menyebutkan adanya hubungan yang negatif dan signifikan antara keharmonisan keluarga dengan kecenderungan perilaku bullying pada siswa SMP N 2 Ungaran dinyatakan diterima. Semakin tinggi keharmonisan keluarga maka semakin rendah perilaku bullying pada siswa, dan begitu juga sebaliknya semakin rendah keharmonisan keluarga maka semakin tinggi kecenderungan perilaku bullying pada siswa. Hal ini menunjukkan bahwa keharmonisan keluarga cukup memiliki peran dalam mengurangi perilaku bullying pada siswa. Hal tersebut sesuai yang diungkapkan Gunarsa (2004) yaitu perilaku bullying dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kehamonisan keluarga.

Jika terjadi ketidak-harmonisan suatu keluarga akan berdampak pada timbulnya pengaruh-pengaruh negatif terhadap perkembangan sosial anak.


(22)

Hal ini didukung dengan temuan Stury (dalam Gerungan, 2002) yang melaporkan bahwa 63% dari anak nakal dalam suatu lembaga pendidikan adalah anak-anak yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis.

Hasil penelitian menunjukkan hubungan jumlah efektif keharmonisan keluarga terhadap kecenderungan perilaku bullying adalah 18,9% sedangkan 81,1% faktor kecenderungan perilaku bullying dimungkinkan terjadi karena faktor lain. Menurut Quiroz (dalam Anesty, 2009), selain faktor keluarga, faktor lain seperti teman sebaya yang memberikan pengaruh negatif, pengaruh media yang memperlihatkan/mencontohkan adegan/perilaku negatif. Tidak hanya itu, Anderson dan Bushman (dalam Usman, 2011) mengemukakan bahwa perilaku bullying dapat terjadi karena faktor personal (self esteem yang rendah) dan faktor situasional (seperti provokasi, frustasi dan drugs). Beberapa faktor itu yang memungkinkan menjadi 81,1% faktor lain penyabab terjadinya perilaku bullying. Berdasarkan paparan tersebut diatas, keharmonisan keluarga jiga merupakan faktor yang sangat penting diwujudkan dalam usaha mengurangi perilaku bullying pada anak yang terbukti faktor keharmonisan keluarga ikut menentukan terjadinya perilaku bullying. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Atmoko (2010) bahwa persepsi keharmonisan keluarga mempunyai hubungan negatif yang signifikan dengan perilaku delinkuensi pada remaja (kenakalan remaja). Selanjutnya Adriyansyah dan Gusniarti (2008) menegaskan perilaku bullying pada remaja disebabkan karena adanya tanggapan orang tua yang menilai perilaku bullying merupakan sesuatu yang wajar dan biasa dilakukan oleh remaja dan salah satu anggota keluarganya ada yang menjadi pelaku bullying.


(23)

Lebih lanjut diungkapkan Thornberry (dalam Benitez, & Justicia, 2006) bahwa 60% remaja yang melakukan perilaku kekerasan atau bullying berasal dari keluarga yang sering melakukan kekerasan dalam rumah dan menerapkan komunikasi yang tertutup. Akan tetapi muncul hal berbeda pada penelitian Sindy (2006) yang menemukan bahwa tidak ada hubungan secara langsung antara faktor keluarga dengan perilaku bullying siswa-siswi SD dan SMP di Hongkong. Meski demikian hasil penelitian Ulfah (2007) memperkuat bahwa keharmonisan keluarga berperan dalam kecenderungan kenakalan remaja dengan sumbangan sebesar 7,2%

Oleh karena itu dapat diargumentasikan bahwa dengan adanya keharmonisan keluarga maka perilaku bullying pada siswa akan menurun, karena faktor keluarga penting dalam menentukan munculnya kenakalan siswa. Anak akan meniru berbagai nilai dan perilaku anggota keluarga yang ia lihat sehari-hari sehingga menjadi nilai dan perilaku yang dianut (Feist, 2010). Hal tersebut mencerminkan bahwa keharmonisan keluarga akan ikut menentukan tingkat kenakalan remaja/perilaku bullying siswa.

Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis data-data yaitu hasil analisis deskriptif pada penelitian terhadap keharmonisan keluarga dan kecenderungan perilaku bullying menunjukkan bahwa kecenderungan perilaku bullying dengan Bullying secara verbal, Bullying secara fisik, dan Bullying secara emosional secara umum diperoleh 42,46% pada siswa SMP N 2 Ungaran berada pada kategori sedang.


(24)

Kecenderungan perilaku bullying ini tidak terlepas dari adanya tingkat keharmonisan keluarga yang nampak pada komunikasi, sikap saling menghormati, kurangnya konflik, dan waktu keluarga secara umum diperoleh pada kategori tinggi yaitu 79,45% siswa SMP N 2 Ungaran merasakan keharmonisan keluarga tinggi. Dari hasil wawancara dengan guru BK didapati bahwa sekolah ini tidak ada perilaku bullying yang parah. Meski demikian terkadang juga masih didapati beberapa siswa yang melakukan bullying, dan dari hasil analisis deskriptif diperoleh siswa memiliki perilaku bullying pada kategori sedang. Lebih lanjut berdasarkan hasil wawancara dengan pihak sekolah yang diwakili oleh guru BK, perilaku bullying yang masih dilakukan siswa yaitu saling mengejek dan menyindir antar siswa satu dengan siswa yang lainnya. Selain itu, penulis juga menjumpai beberapa siswa yang menjadi bully melakukan bullying secara fisik seperti mendorong dan memukul. Akan tetapi pihak sekolah menganggap bahwa hal tersebut adalah hal biasa yang dilakukan anak-anak dan dianggap sebagai bahan untuk bercanda. Selain itu juga karena para siswa masih dalam masa remaja yang merupakan masa dimana emosi anak masih bergejolak serta kemampuan untuk mengelola emosi mereka masih belum berkembang secara matang.

Mereka belum mampu untuk mengendalikan serta mengontrol emosi mereka sehingga membuat remaja melakukan suatu perilaku bullying.

Dari beberapa penjelasan tersebut maka penulis menarik suatu kesimpulan bahwa kecenderungan perilaku bullying pada siswa yang sedang dikarenakan adanya keharmonisan keluarga.


(25)

Oleh karena itu, dengan adanya pengawasan orang tua yang memadai, komunikasi yang baik, adanya waktu untuk berkumpul dan menghabiskan waktu bersama keluarga, penerapan disiplin yang efektif, tidak adanya perselihan keluarga atau stres yang dialami keluarga yang akan bermuara pada kenakalan remaja, akan sangat berdampak terhadap perilaku bullying, sehingga perilaku bullying akan menjadi berkurang/rendah yang terlihat di sekolah keadaan terlihat kondusif dan tidak banyak terjadi tindak perilaku bullying pada siswa di SMP N 2 Ungaran.

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Ada hubungan yang negatif dan signifikan antara kehamonisan keluarga dengan kecenderungan perilaku bulllying pada siswa SMP N 2 Ungaran adalah sebesar -0,435 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05)

2. Sumbangan efektif yang dapat diberikan keharmonisan keluarga dengan kecenderungan perilaku bullying pada siswa sebesar 18.9%.

3. Kecenderungan perilaku bullying pada siswa SMP N 2 Ungaran sebesar 42,46% berada pada kategori sedang, begitu pula dengan tingkat keharmonisan keluarga sebesar 79,45% berada pada kategori tinggi.


(26)

Saran-Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah dikemukakan, maka peneliti mengajukan saran-saran sebagai berikut

1. Bagi sekolah dan Guru BK

Bagi pihak sekolah terutama guru BK disarankan agar lebih memantau atau melakukan kontrol terhadap perilaku anak didiknya di sekolah supaya tidak terjadi perilaku bullying.

Pihak sekolah juga perlu sesekali melakukan pertemuan dengan orang tua murid untuk membicarakan perkembangan yang terjadi pada anak murid di sekolah. Hal ini penting karena dapat dipakai sebagai acuan untuk menerapkan kebijakan disekolah, misalnya dengan membuat program untuk mengarahkan siswa agar menghindari dan menjauhi perilaku bullying, memberikan tambahan materi saat pelajaran BK yang terkait dalam upaya mengatasi kendala-kendala atau masalah-masalah siswa diusia remaja.

2. Bagi Siswa

Bagi para siswa perlu adanya sikap yang lebih menghargai hubungan antar teman di sekolah. Selain itu, jika melihat atau mengetahui terjadinya tindakan bullying diharapkan dapat segera bekerja sama dengan melaporkan pada pihak sekolah khususnya guru BK supaya ditindak lanjuti. Disisi lain, bagi para siswa perlu meningkatkan adanya sikap yang mau lebih membuka diri untuk berkomunikasi dengan orang tua juga anggota keluarga yang lain.


(27)

Seperti halnya yang dilakukan orang tua untuk mengindari konflik antar anggota keluarga, mau saling menghormati dan menyediakan waktu untuk mau berkumpul bersama, begitupun yang perlu dilakukan siswa untuk keluarga.

3. Bagi Pihak Lain

Bagi peneliti selanjutnya yang berminat dalam kajian mengenai keharmonisan keluarga dengan perilaku bullying pada siswa, semoga penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi yang akan menambah pengetahuan pembaca dan dapat menjadi dasar untuk mengadakan penelitian sejenis yang lebih baik. Selain itu perlu mempertimbangkan variabel-variabel lain yang memengaruhi perilaku bullying seperti teman sebaya, pengaruh media, faktor personal (seperti self esteem yang rendah), dan faktor situasional (seperti provokasi, frustasi dan drugs). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah menggunakan data tambahan dengan lebih lengkap seperti observasi dan wawancara agar hasil yang didapati lebih mendalam dan sempurna, karena tidak semua hal dapat diungkap hanya dengan skala psikologi.


(28)

Daftar Pustaka

Anesty, E. (2009). Konseling kelompok behavioral untuk mereduksi perilaku bullying siswa sekolah menengah atas: Penelitian eksperimen kuasi terhadap siswa kelas XI SMA Negeri 10 Bandung. (Skripsi tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Pendidikan dan Bimbingan UPI, Bandung.

Asfriyati, S. K. M. (2003). Pengaruh keluarga terhadap kenakalan remaja. Retrieved from http://repository.usu.ac.i

Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ______. (1997) Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Boyle, D.J. (2005). Youth bullying: incidence, impact, and interventions. Journal of Ney Jersey Psychological Association, 22(3), 22-24.

Candidate, F. H. (2013). Risky and protective factors of bullying‟s acts. Mediterranean Journal of Social Sciences,4(10), 594-597.

Feist, J., & Feist, G. (2010). Teori kepribadian. Jakarta: Salemba. Gerungan, W. A. (2002). Psikologi sosial. Bandung: Refika Aditama.

Gunarsa, S. (2004). Psikologi perkembangan anak, remaja dan keluarga. Jakarta: Gunung Mulia

Hawari, D. (1997). Al Qur’an, ilmu kedokteran jiwa dan kesehatan jiwa. Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa.

Hidayati, N. (2012). Bullying pada anak: Analisis dan alternatif solusi. Jurnal, 14(01), 43-45.

Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga.

_________. (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Lam, W. W. T., Fielding, R., McDowell, I., Johnston, J., Chan, S., Leung, G. M., & Lam, T. G. (2012). Perspectives on family health, happiness and harmony among Hong Kong Chinese people. Journal Health Education Research, 27(5), 767-779.


(29)

Litz, E. W. (2005). An analiysis of bullying behaviors at E. B. Stanley Middle School in Abingdon, Virginia. (Doctoral Dissertation). Retrieved from http://dc.etsu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article =2259&context=etd

Lock, J. (1985). The quarterlyy review of education. Journal education, 24(1/2), 61-76.

Mappiare, A. (1982). Psikologi remaja. Surabaya: Usaha nasional.

Maria, K. (2008). Pencegahan bullying di sekolah. Retrieved from http://kristamariapujantoro.blogspot.com

Rahayu, K. S. I., Zikra., Yusri. (2013). Hubungan antara keharmonisan keluarga dan motivasi belajar siswa. Jurnal Ilmiah Konseling, 2(01), 56-64.

Salmivalli, C., Lagerspetz, K., Björkqvist, K., Kaukiainen, A., & Österman, K. (1996). Bullying as a group process: Participant roles and their relations to social status within the groups. Aggressive Behavior, 22, 1-15.

Santrock, J. W. (2002). Live-span development: Perkembangan masa hidup. Jakarta: Erlangga.

Santrock, J. W. (2012). Live-span development: Perkembangan masa hidup. Jakarta: Erlangga.


(1)

Kecenderungan perilaku bullying ini tidak terlepas dari adanya tingkat keharmonisan keluarga yang nampak pada komunikasi, sikap saling menghormati, kurangnya konflik, dan waktu keluarga secara umum diperoleh pada kategori tinggi yaitu 79,45% siswa SMP N 2 Ungaran merasakan keharmonisan keluarga tinggi. Dari hasil wawancara dengan guru BK didapati bahwa sekolah ini tidak ada perilaku bullying yang parah. Meski demikian terkadang juga masih didapati beberapa siswa yang melakukan bullying, dan dari hasil analisis deskriptif diperoleh siswa memiliki perilaku bullying pada kategori sedang. Lebih lanjut berdasarkan hasil wawancara dengan pihak sekolah yang diwakili oleh guru BK, perilaku bullying yang masih dilakukan siswa yaitu saling mengejek dan menyindir antar siswa satu dengan siswa yang lainnya. Selain itu, penulis juga menjumpai beberapa siswa yang menjadi bully melakukan bullying secara fisik seperti mendorong dan memukul. Akan tetapi pihak sekolah menganggap bahwa hal tersebut adalah hal biasa yang dilakukan anak-anak dan dianggap sebagai bahan untuk bercanda. Selain itu juga karena para siswa masih dalam masa remaja yang merupakan masa dimana emosi anak masih bergejolak serta kemampuan untuk mengelola emosi mereka masih belum berkembang secara matang.

Mereka belum mampu untuk mengendalikan serta mengontrol emosi mereka sehingga membuat remaja melakukan suatu perilaku bullying.

Dari beberapa penjelasan tersebut maka penulis menarik suatu kesimpulan bahwa kecenderungan perilaku bullying pada siswa yang sedang dikarenakan adanya keharmonisan keluarga.


(2)

Oleh karena itu, dengan adanya pengawasan orang tua yang memadai, komunikasi yang baik, adanya waktu untuk berkumpul dan menghabiskan waktu bersama keluarga, penerapan disiplin yang efektif, tidak adanya perselihan keluarga atau stres yang dialami keluarga yang akan bermuara pada kenakalan remaja, akan sangat berdampak terhadap perilaku bullying, sehingga perilaku bullying akan menjadi berkurang/rendah yang terlihat di sekolah keadaan terlihat kondusif dan tidak banyak terjadi tindak perilaku bullying pada siswa di SMP N 2 Ungaran.

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Ada hubungan yang negatif dan signifikan antara kehamonisan keluarga dengan kecenderungan perilaku bulllying pada siswa SMP N 2 Ungaran adalah sebesar -0,435 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05)

2. Sumbangan efektif yang dapat diberikan keharmonisan keluarga dengan kecenderungan perilaku bullying pada siswa sebesar 18.9%.

3. Kecenderungan perilaku bullying pada siswa SMP N 2 Ungaran sebesar 42,46% berada pada kategori sedang, begitu pula dengan tingkat keharmonisan keluarga sebesar 79,45% berada pada kategori tinggi.


(3)

Saran-Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah dikemukakan, maka peneliti mengajukan saran-saran sebagai berikut

1. Bagi sekolah dan Guru BK

Bagi pihak sekolah terutama guru BK disarankan agar lebih memantau atau melakukan kontrol terhadap perilaku anak didiknya di sekolah supaya tidak terjadi perilaku bullying.

Pihak sekolah juga perlu sesekali melakukan pertemuan dengan orang tua murid untuk membicarakan perkembangan yang terjadi pada anak murid di sekolah. Hal ini penting karena dapat dipakai sebagai acuan untuk menerapkan kebijakan disekolah, misalnya dengan membuat program untuk mengarahkan siswa agar menghindari dan menjauhi perilaku bullying, memberikan tambahan materi saat pelajaran BK yang terkait dalam upaya mengatasi kendala-kendala atau masalah-masalah siswa diusia remaja.

2. Bagi Siswa

Bagi para siswa perlu adanya sikap yang lebih menghargai hubungan antar teman di sekolah. Selain itu, jika melihat atau mengetahui terjadinya tindakan bullying diharapkan dapat segera bekerja sama dengan melaporkan pada pihak sekolah khususnya guru BK supaya ditindak lanjuti. Disisi lain, bagi para siswa perlu meningkatkan adanya sikap yang mau lebih membuka diri untuk berkomunikasi dengan orang tua juga anggota keluarga yang lain.


(4)

Seperti halnya yang dilakukan orang tua untuk mengindari konflik antar anggota keluarga, mau saling menghormati dan menyediakan waktu untuk mau berkumpul bersama, begitupun yang perlu dilakukan siswa untuk keluarga.

3. Bagi Pihak Lain

Bagi peneliti selanjutnya yang berminat dalam kajian mengenai keharmonisan keluarga dengan perilaku bullying pada siswa, semoga penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi yang akan menambah pengetahuan pembaca dan dapat menjadi dasar untuk mengadakan penelitian sejenis yang lebih baik. Selain itu perlu mempertimbangkan variabel-variabel lain yang memengaruhi perilaku bullying seperti teman sebaya, pengaruh media, faktor personal (seperti self esteem yang rendah), dan faktor situasional (seperti provokasi, frustasi dan drugs). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah menggunakan data tambahan dengan lebih lengkap seperti observasi dan wawancara agar hasil yang didapati lebih mendalam dan sempurna, karena tidak semua hal dapat diungkap hanya dengan skala psikologi.


(5)

Daftar Pustaka

Anesty, E. (2009). Konseling kelompok behavioral untuk mereduksi perilaku bullying siswa sekolah menengah atas: Penelitian eksperimen kuasi terhadap siswa kelas XI SMA Negeri 10 Bandung. (Skripsi tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Pendidikan dan Bimbingan UPI, Bandung.

Asfriyati, S. K. M. (2003). Pengaruh keluarga terhadap kenakalan remaja. Retrieved from http://repository.usu.ac.i

Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ______. (1997) Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Boyle, D.J. (2005). Youth bullying: incidence, impact, and interventions. Journal of Ney Jersey Psychological Association, 22(3), 22-24.

Candidate, F. H. (2013). Risky and protective factors of bullying‟s acts. Mediterranean Journal of Social Sciences, 4(10), 594-597.

Feist, J., & Feist, G. (2010). Teori kepribadian. Jakarta: Salemba. Gerungan, W. A. (2002). Psikologi sosial. Bandung: Refika Aditama.

Gunarsa, S. (2004). Psikologi perkembangan anak, remaja dan keluarga. Jakarta: Gunung Mulia

Hawari, D. (1997). Al Qur’an, ilmu kedokteran jiwa dan kesehatan jiwa. Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa.

Hidayati, N. (2012). Bullying pada anak: Analisis dan alternatif solusi. Jurnal, 14(01), 43-45.

Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga.

_________. (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Lam, W. W. T., Fielding, R., McDowell, I., Johnston, J., Chan, S., Leung, G. M., & Lam, T. G. (2012). Perspectives on family health, happiness and harmony among Hong Kong Chinese people. Journal Health Education Research, 27(5), 767-779.


(6)

Litz, E. W. (2005). An analiysis of bullying behaviors at E. B. Stanley Middle School in Abingdon, Virginia. (Doctoral Dissertation). Retrieved from http://dc.etsu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article =2259&context=etd

Lock, J. (1985). The quarterlyy review of education. Journal education, 24(1/2), 61-76.

Mappiare, A. (1982). Psikologi remaja. Surabaya: Usaha nasional.

Maria, K. (2008). Pencegahan bullying di sekolah. Retrieved from http://kristamariapujantoro.blogspot.com

Rahayu, K. S. I., Zikra., Yusri. (2013). Hubungan antara keharmonisan keluarga dan motivasi belajar siswa. Jurnal Ilmiah Konseling, 2(01), 56-64.

Salmivalli, C., Lagerspetz, K., Björkqvist, K., Kaukiainen, A., & Österman, K. (1996). Bullying as a group process: Participant roles and their relations to social status within the groups. Aggressive Behavior, 22, 1-15.

Santrock, J. W. (2002). Live-span development: Perkembangan masa hidup. Jakarta: Erlangga.

Santrock, J. W. (2012). Live-span development: Perkembangan masa hidup. Jakarta: Erlangga.