PERBEDAAN TINGKAT MOTIF BERPRESTASI ANTARA REMAJA LAKI-LAKI DAN REMAJA PEREMPUAN ETNIK JAWA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  

PERBEDAAN TINGKAT MOTIF BERPRESTASI ANTARA

REMAJA LAKI-LAKI DAN REMAJA PEREMPUAN ETNIK JAWA

S k r i p s i

Diajukan untuk Memenuhi Salah satu Syarat

  

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Agustina Ganik Nurmawati

NIM : 989114082

   NIRM : 980051121705120082

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

  DAFTAR ISI Halaman

  HALAMAN JUDUL ………………….………………………..……………. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING …..…………………………. ii HALAMAN PENGESAHAN …………………….…..……………………... iii HALAMAN PERSEMBAHAN ……………….…..………………………… iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……………..……………………… v ABSTRAK ………………….………….……………………………………. vi ABSTRACT ……………….…………….……………………………..…… vii KATA PENGANTAR …………….………………………………………... viii DAFTAR ISI …………………………….………………………………….. xi DAFTAR TABEL …………………….…………………………………….. xiv DAFTAR GAMBAR …………………………..……………………………. xv DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………… xvi

  BAB I PENDAHULUAN ……….…………….……………………………. 1 A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………… 2 B. Rumusan Masalah …………….………………………………………… 5 C. Tujuan Penelitian …………….………………………………………….. 6 D. Manfaat Penelitian ………….…………………………………………… 6 BAB II LANDASAN TEORETIS …………………………..…………….... 7

  2. Pengertian Motif Berprestasi ………………………………………... 9

  3. Ciri-ciri Individu Yang Mempunyai Motif Berprestasi Tinggi ……... 11

  4. Faktor-faktor Yang mempengaruhi Motif Berprestasi ………...….… 14

  B. Remaja Laki-laki dan Remaja Perempuan dalam Budaya Jawa ….…….. 15

  1. Remaja ………………………………………………………………. 15

  2. Laki-laki dan Perempuan …………………………………………… 17

  3. Sekilas tentang Etnik Jawa …….……………………………………. 22

  4. Stereotipe Gender dalam Budaya Jawa ……….…………………….. 24

  C. Perbedaan Motif Berprestasi Remaja Laki-laki dan Remaja Perempuan Etnik Jawa ………….………………….…………… 26

  D. Hipotesis ………………………………….……………………………... 30

  BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………….……………….………… 32 A. Jenis Penelitian …………………………………………………………... 32 B. Identivikasi Variabel Penelitian …………………………………………. 32 C. Definisi Operasional ……………………………………………………... 32 D. Subyek Penelitian…………………………………………………………. 34 E. Prosedur Penelitian ………………………………………………………. 34 F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ……………………………………. 35 G. Validitas dan Reliabilitas ……………………………...………………… 37

  1. Validitas ……………………………………………………………… 37

  2. Reliabilitas …………………………………………………….……... 37

  A. Persiapan Penelitian ……………………………………………………… 39

  1. Uji coba Alat Penelitian ……………………………………………… 39

  2. Analisis Data Hasil Uji coba …………………………………………. 39

  B. Pelaksanaan Penelitian …………………………………………………… 41

  C. Hasil Penelitian ………………………………………………………….. 42

  1. Uji Asumsi …….……………..………………………………………. 42

  a. Uji normalitas ….……..…………………………………………… 42

  b. Uji homogenitas ………...…………………………………………. 42

  2. Uji Perbedaan …………………………………………………………. 43

  3. Perbedaan Rata-rata Mean ……………………………………………. 44

  D. Kategorisasi ………………………………………………………………. 44

  E. Pembahasan ………………………………………………………………. 45

  BAB V PENUTUP …………….……………………………………………... 50 A. Kesimpulan ………………………………………………………………. 50 B. Saran ……………………………………………………………………… 50 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

  

DAFTAR TABEL

  Halaman Tabel 1 : Perbedaan emosional dan Intelektual Antara

  Laki-laki dan Perempuan ………………………………….. 19 Tabel 2 : Skor Skala Motif Berprestasi ………………………………. 36 Tabel 3 : Blue-print Skala Motif Berprestasi ……………………….… 36 Table 4 : Distribusi Aitem Pra-Uji coba Skala Motif Beprestasi ….…. 37 Tabel 5 : Rincian Aitem Yang Lulus Seleksi ……………………… ... 40 Tabel 6 : Distribusi Aitem Skala Motif Berprestasi ………………….. 41 Tabel 7 : Ringkasan Hasil Uji-t ………………………………….…… 43 Tabel 8 : Norma Kategorisasi ……………………………………..….. 44 Tabel 9 : Kategori Skor Motif Beprestasi ……………………………. 45

Tabel 9.1 : Kriteria Kategorisasi Motif Berprestasi

  Remaja Laki-laki Etnik Jawa …...………………………….. 45

Tabel 9.2 : Kriteria Kategorisasi Motif Berprestasi

  Remaja perempuan Etnik Jawa …………………………….. 45

  

DAFTAR GAMBAR

  Halaman SKEMA ………………………………………………………………………. 30

  

ABSTRAK

Agustina Ganik Nurmawati (2004). Perbedaan tingkat motif berprestasi

antara remaja laki-laki dan remaja perempuan etnik Jawa. Yogyakarta:

Fakultas Psikologi, Jurusan Psikologi, Program Studi Psikologi, Universitas

Sanata Dharma.

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat motif berprestasi antara remaja laki-laki dan remaja perempuan etnik Jawa. Motif berprestasi sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai, kebudayaan dan sistem sosial yang ada dalam masyarakat. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat motif berprestasi antara remaja laki-laki dan remaja perempuan etnik Jawa, di mana motif berprestasi remaja laki-laki lebih tinggi dari pada remaja perempuan.

  Subyek dalam penelitian ini berjumlah 108 orang. Terdiri dari laki-laki dan perempuan, berusia 15-17 tahun, duduk di kelas 2 SMU dan berasal dari etnik Jawa. Metode yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah skala.

  Pengujian hipotesis menggunakan uji-t untuk dua sampel bebas. Dari hasil analisis, diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,044. p<0,05. Hal ini berarti hipotesis penelitian yang berbunyi ada perbedaan tingkat motif berprestasi antara remaja laki-laki dan remaja perempuan etnik Jawa diterima. Selain itu ditemukan mean teoritis sebesar 90, mean untuk remaja laki-laki dan remaja perempuan masing-masing sebesar 112,23 dan 108,03. Mean empiris lebih tinggi daripada mean teoritis. Hal ini menunjukkan bahwa kedua kelompok memiliki tingkat motif berprestasi yang relatif cukup tinggi.

  

ABSTRACT

Nurmawati, A. G (2004). The difference in need for achievement level on

Javanese youth based on the point of view of sex. Yogyakarta: Department of

Psychology, Faculty of Psychology, Sanata Dharma University.

  This research was aimed at investigating the difference in need for achievement level on Javanese youth based on the point of view of sex. Need for achievement as result of interactions between people and environment is dependent from values, cultures and social system. The hypothesis proposed was that there was difference in the need of achievement level between male and female Javanese youth with the assumption that male was associated with the higher level of need for achievement than female.

  Participant in this research were 108 students. They are male and female, aged 15-17, at second class and have a javanese ethnical status. The method of data collecting used in this research was scale.

  The test of hypothesis makes use of Independent SampletT-Test. From the analysis of research data, it was shown that p value was 0,044. This result indicated p<0,05 suggesting that there was difference in the need for achievement level between boy and girl on Javanese culture. It suggested that the hypothesis was accepted. While theoretical mean was 90, mean for male Javanese youth was 112,23 and mean for female Javanese youth was 108,03. Both empirical means were higher than the teoretical. Thereby, both group of participant were associated with the higher level of need for achievement.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prestasi tinggi adalah dambaan setiap orang karena suatu keberhasilan

  akan menumbuhkan rasa bangga bagi individu di dalam hidupnya, baik di tempat kerja, sekolah, keluarga, maupun masyarakat.

  Keberhasilan individu dalam suatu bidang dapat dicapai jika ada dorongan dalam diri individu untuk mencapai suatu keberhasilan. Dorongan ini dikenal dengan sebutan motif berprestasi. Motif berprestasi dalam hal ini adalah motif yang mendorong individu untuk mencapai sukses dan bertujuan untuk berhasil dalam kompetisi dengan berbagai keunggulan (Standard of Excellence). Ukuran keunggulan ini dapat berupa prestasi sendiri sebelumnya atau prestasi orang lain. Oleh karena itu, individu dengan motif terus menerus dalam meraih kesuksesan dan harapan yang tinggi. Motif bekerja dalam diri individu dengan tingkat kekuatan yang berbeda-beda (Handoko, 1992: 59). Oleh sebab itu tingkat motif berprestasi yang dimiliki oleh setiap manusia tidaklah sama. Jika seseorang memiliki motif berprestasi yang tinggi, ia akan lebih mudah mencapai prestasi yang tinggi dibandingkan dengan individu yang memiliki motif berprestasi yang

  Keinginan untuk berprestasi tidak hanya dimiliki oleh orang dewasa saja melainkan juga dimiliki oleh remaja, bahkan prestasi menjadi minat yang kuat sepanjang masa remaja dan menjadi bagian dari nilai-nilai yang dominan dalam budaya anak muda (Coleman dalam Surakhmad, 1980: 38). Minat remaja pada prestasi menunjukkan bahwa motif berprestasi telah dimiliki oleh remaja. Motif berprestasi akan berkembang menjadi minat pada prestasi.

  Pada masa remaja, individu mengalami berbagai perubahan dalam minat, antara lain minat pada prestasi. Minat pada prestasi menyebabkan remaja, baik remaja laki-laki maupun remaja perempuan berusaha untuk berprestasi tinggi, bahkan menimbulkan persaingan di kalangan remaja sebagai akibat dari terjadinya integrasi pola-pola motif berprestasi yang mengandung kompetisi dengan diri sendiri dan dengan orang lain pada masa remaja (Veroff dalam Martaniah, 1984: 51). Keadaan ini tampak dalam kehidupan sehari-hari dimana para remaja terlihat aktif dalam mengikuti Mereka berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik diantara teman- temannya.

  Prestasi yang dicapai setiap remaja berbeda-beda. Hal ini dikarenakan motif berprestasi yang diperoleh setiap individu dari pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai, kebudayaan dan kebiasaan yang berkembang dalam suatu masyarakat di perlakuan, pandangan dan harapan masyarakat terhadap masing-masing individu.

  Saat individu dilahirkan, ia telah digolongkan kedalam salah satu jenis kelamin berdasarkan alat kelaminnya. Sejak saat itu ia diperlakukan sesuai dengan jenis kelaminnya. Nantinya ia diharapkan dapat berperilaku dan berperan sesuai dengan jenis kelaminnya tersebut.

  Adanya penggolongan identitas berdasarkan jenis kelamin menyebabkan adanya perbedaan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan. Perbedaan perlakuan ini diterapkan sejak dini dalam kehidupan anak. Misalnya dalam hal warna baju, dekorasi kamar, dan lain-lain. Selain itu orang tua mengharapkan anak perempuan bersikap sopan, lemah lembut dan patuh sedangkan anak laki-laki diharapkan untuk mandiri dan tidak cengeng.

  Adanya perbedaan perlakuan menunjukkan adanya peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki diharapkan bertanggung jawab mendidik anak dan mengurus rumah tangga. Pembagian peran tersebut diterapkan sejak masa kanak-kanak misalnya dalam hal jenis permainan, pembagian tugas, hak, dan tanggung jawab.

  Meskipun terdapat kecenderungan masa kini yang mengarah pada persamaan peran gender (gender roles) antara laki-laki dan perempuan, namun perbedaan peran dan perlakuan kepada masing-masing jenis kelamin masih perempuan. Meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama dibutuhkan tenaganya dalam mengerjakan sawah atau mengerjakan pekerjaan rumah, namun sering laki-laki lebih diistimewakan daripada perempuan. Contohnya dalam hal pembagian harta warisan, ada istilah sepikul-segendongan yang artinya anak laki-laki memperoleh 2/3 bagian sedangkan anak perempuan hanya mendapat 1/3 bagian (Herusatoto, 1984: 106).

  Di dalam lingkungan kebudayaan Jawa pemisahan peran antara laki-laki dan perempuan telah lama berlangsung. Sejak dahulu, berkembang sebuah sistem yang dikenal dengan sistem patriarki. Dalam sistem patriarki, yang berkuasa dalam keluarga adalah bapak. Patriarki adalah konsep bahwa laki- laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam keluarga, masyakat, dan lain sebagainya (Ervita, 2002: 10). Perempuan hanya sebagai

  

konco wingking (teman di belakang) yang berfungsi melahirkan, memasak

dan berhias.

  diharapkan berperan sebagai pemimpin. Meskipun biasanya anak perempuan juga dapat berperan sebagai pemimpin dalam kegiatan-kegiatan ini, namun pada umumnya anak laki-laki lebih diberi kesempatan dari pada anak perempuan. Keadaan ini menurut Jay (dalam Andi, 2002: 13) disebabkan karena dalam budaya Jawa seorang laki-laki dipandang sebagai orang yang kuat, berinisiatif, berpengetahuan dan berdiri sebagai pemimpin. laki-laki berusaha mencapai prestasi yang lebih baik dari pada anak perempuan. Anak perempuan mungkin mengetahui atau menduga bahwa prestasi yang ia capai sama atau bahkan melebihi prestasi yang dicapai oleh anak laki-laki. Namun sebagai pihak yang berada dalam posisi yang “tidak menguntungkan”, ia tidak mengungkapkan kemampuannya tersebut. Meskipun anak perempuan tidak mengungkapkan kemampuannya dalam bentuk perilaku prestasi namun tidak berarti mereka memiliki motif berprestasi yang rendah. Sebab motif berprestasi bersifat laten, tidak terlihat begitu saja dari perilaku, kadang-kadang malah berlawanan dengan perilaku yang tampak.

  Berdasarkan telaah diatas, dapat diduga bahwa dalam masyarakat Jawa, laki-laki dan perempuan tidak hanya berbeda secara fisik. Mereka juga memiliki peran yang berbeda, dan menghadapi perlakuan dan harapan yang berbeda dari lingkungan. Tetapi apakah mereka juga memiliki tingkat motif ini.

B. Rumusan Masalah

  Maka masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah “apakah ada perbedaan tingkat motif berprestasi antara remaja laki-laki dan remaja perempuan etnik Jawa?”

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat motif berprestasi antara remaja laki-laki dan remaja perempuan etnik Jawa.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat teoretis

  • Memberikan bukti empiris tentang penelitian yang berkaitan dengan tingkat motif berprestasi antara remaja laki-laki dan remaja perempuan etnik Jawa.

  2. Manfaat praktis

  • Memberikan informasi bagi para pembaca mengenai motif berprestasi pada remaja etnik Jawa.

BAB II LANDASAN TEORETIS A. Motif Berprestasi

  1. Pengertian Motif Di dalam psikologi terdapat banyak teori atau konsep tentang motif.

  Berikut ini adalah konsep mengenai motif menurut beberapa ahli. McClelland (1967, dalam Martaniah, 1984: 13) berpendapat bahwa semua motif didapat dari hasil belajar. Motif merupakan dorongan untuk berubah dalam kondisi yang efektif. Motif, menurutnya tidak dapat dilihat begitu saja dari perilaku, karena motif tidak selalu seperti yang tampak, kadang-kadang malah berlawanan dengan yang tampak.

  Atkinson (dalam Martaniah, 1984: 13) menganggap motif sebagai suatu disposisi laten yang berusaha dengan kuat untuk menuju ke tujuan tertentu.

  Gerungan (1988: 140-141) berpendapat bahwa motif merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan-alasan, dorongan- dorongan, hasrat, keinginan dan tenaga penggerak lainnya yang berasal dari dalam diri manusia untuk melakukan sesuatu.

  Menurut Soetarno (1989: 39), motif merupakan dorongan, keinginan atau tenaga penggerak yang berasal dari dalam diri manusia untuk melakukan pengertian motif menurut Purwanto (1992: 60) adalah: segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk bertindak melakukan sesuatu.

  Menurut Handoko (1992: 9) motif merupakan suatu dorongan yang menyebabkan seorang berbuat sesuatu atau melakukan tindakan tertentu.

  Selanjutnya Handoko menjelaskan bahwa berdasarkan asalnya, motif dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

  1. Motif biogenetis Motif biogenetis merupakan motif berasal dari kebutuhan-kebutuhan organisme demi kelanjutan hidupnya secara biologis. Motif ini bersifat universal, artinya tidak terikat pada umur, jenis kelamin, suku, daerah dan lain-lain. Motif biogenetis juga tidak terikat pada lingkungan kebudayaan tempat orang hidup dan berkembang. Yang termasuk di dalam golongan motif biogenetis adalah motif lapar, haus, seks, bernafas dan istirahat.

  2. Motif sosiogenetis berada dan berkembang. Motif ini tidak bergantung pada keadaan fisiologis individu melainkan timbul sebagai akibat dari interaksi dengan orang atau hasil kebudayaan. Dengan kata lain motif ini bergantung pada lingkungan. Secara garis besar motif sosiogenetis dapat dibagi menjadi dua, yaitu motif darurat dan motif objektif. Motif darurat muncul untuk berhubungan dengan lingkungan dan muncul dalam keadaan tidak darurat. Yang termasuk motif darurat adalah motif untuk melepaskan diri dari bahaya, motif untuk melawan, motif untuk mengatasi rintangan dan motif untuk mengejar. Sedangkan yang dapat digolongkan ke dalam motif objektif adalah motif eksplorasi (motif untuk memeriksa dan menyelidiki) dan motif manipulasi (motif untuk berbuat atau mengerjakan sesuatu terhadap objek). Salah satu contoh motif yang termasuk motif sosiogenetis adalah motif berprestasi. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa motif adalah suatu keadaan atau dorongan yang berasal dari dalam diri individu yang menggerakkan dan mengarahkan seseorang untuk bertingkah laku. Ada motif yang dibawa sejak lahir seperti motif biogenetis dan ada motif sosiogenetis yang adanya karena pengaruh luar, yang dipelajari dan timbul sebagai akibat dari interaksi individu dengan orang atau hasil kebudayaan

  2. Pengertian Motif Berprestasi Menurut Heckhausen (dalam Martaniah, 1984: 22), penelitian mengenai motif berprestasi telah dimulai semenjak Narziss Ach pada tahun 1910, dan kemudian diteruskan oleh Kurt Lewin pada tahun 1926. Tetapi yang berhasil mengembangkan dan menyebarluaskan konsep motif berprestasi adalah McClelland. mendefinisikan motif berprestasi sebagai usaha untuk mencapai sukses, yang bertujuan untuk berhasil dalam kompetisi dengan suatu ukuran keunggulan.

  Ukuran keunggulan ini dapat berupa prestasi orang lain, akan tetapi dapat juga berupa prestasi sendiri sebelumnya. Sejalan dengan McClelland, Heckhausen (dalam Martaniah, 1984: 23) menjelaskan motif berprestasi sebagai suatu usaha untuk meningkatkan atau mempertahankan kecakapan pribadi setinggi mungkin dalam segala aktivitas, dan suatu ukuran keunggulan dipakai sebagai pembanding. Heckhausen membedakan tiga ukuran keunggulan: pertama yang berhubungan dengan tugas, yaitu menilai berdasar kesempurnaan hasil; kedua adalah yang berhubungan dengan diri sendiri, yaitu membandingkan dengan hasil sendiri atau prestasi sendiri sebelumnya; dan ketiga adalah yang berhubungan dengan orang lain, yaitu membandingkan dengan hasil orang lain.

  Menurut Maslow (1984: 50-51), setiap manusia memiliki kebutuhan dari kebutuhan harga-diri dalam hierarki kebutuhan Maslow. Lebih jauh Maslow menjelaskan bahwa pemenuhan akan harga-diri membawa perasaan percaya pada diri sendiri, kegunaan, kapabilitas, kelaikan dan rasa diperlukan oleh dunia. Menurut Murray (dalam Martaniah, 1984: 7), motif berprestasi adalah dorongan untuk berprestasi, yaitu: dorongan untuk mengatasi rintangan- usaha untuk melebihi perbuatan yang lampau, dan untuk mengungguli orang lain.

  Dari uraian mengenai motif berprestasi di atas dapat disimpulkan bahwa motif berprestasi adalah usaha yang dilakukan individu untuk mempertahankan kecakapan pribadi setinggi mungkin, untuk mengatasi rintangan-rintangan dan bertujuan untuk berhasil dalam kompetisi dengan suatu ukuran keunggulan. Ukuran keunggulan ini dapat berupa prestasi sendiri sebelumnya, prestasi orang lain dan dapat pula kesempurnaan tugas.

  3. Ciri-ciri Individu Yang Mempunyai Motif Berprestasi Tinggi Dari hasil-hasil penelitian dan eksperimen-eksperimen yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa ada sifat-sifat tertentu yang khas yang dimiliki oleh individu-individu yang mempunyai motif berprestasi yang tinggi.

  Menurut McClelland (1985: 246-253) karakteristik individu yang mempunyai motif berprestasi yang tinggi adalah sebagai berikut: b. Inovatif

  c. Membutuhkan umpan balik terhadap hasil kerja d. Cenderung memilih tugas dengan tingkat kesulitan moderat.

  Berdasarkan hasil penelitiannya bersama Potipan, Weiner (dalam Martaniah, 1984: 25-26) berpendapat bahwa orang yang mempunyai motif berprestasi yang tinggi adalah orang yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  2) menganggap penyebab sukses adalah kemampuan yang tinggi, sedang yang mempunyai motif berprestasi rendah, menganggap penyebab kegagalan karena kekurangan kemampuan. 3) melihat usaha sebagai sesuatu yang menentukan hasil, sedang yang mempunyai motif berprestasi rendah, tidak melihat usaha sebagai sesuatu yang menentukan hasil. 4) secara relatif mempunyai kemampuan yang tinggi.

  Atkitson (dalam Victoria, 2002: 24-25) menyebutkan ciri-ciri individu yang memiliki motif berprestasi yang tinggi adalah sebagai berikut:

  a. Free Choice

  Individu yang memiliki motif berprestasi yang tinggi menyenangi aktivitas-aktivitas yang prestatif dan mengaitkan keberhasilan dengan kemampuan dan usaha yang keras. Dia bangga terhadap keberhasilannya dan selalu berusaha untuk meningkatkan segala kemungkinan untuk

  b. Presistence Behavior

  Individu yang mempunyai motif berprestasi yang tinggi memiliki usaha dan harapan untuk berhasil yang tinggi.

  c. Intensity of Performance Individu yang memiliki motif berprestasi yang tinggi, berpenampilan suka bekerja keras dibanding individu yang mempunyai motif berprestasi yang

d. Risk Performance

  Individu yang mempunyai motif berprestasi yang tinggi memiliki pertimbangan untuk memilih resiko yang sedang, artinya tidak terlalu mudah dan tidak pula terlalu sukar. Menurut Morgan (dalam Sri, 2002: 17), orang-orang yang mempunyai motif berprestasi yang tinggi memiliki ciri-ciri:

  1. Cenderung mengerjakan tugas-tugas yang menantang dirinya, namun yang sesuai dengan batas kemampuannya.

  2. Lebih suka menghadapi tugas-tugas yang tidak terlalu mudah tetapi juga tidak terlalu sukar baginya.

  3. Cenderung membandingkan hasil kerjanya dengan hasil kerja orang lain untuk memperoleh umpan balik tentang hasil kerjanya di antara pekerjaan orang lain.

  4. Berkemauan keras untuk menyelesaikan tugas-tugas yang ada kepribadiannya.

  5. Senantiasa ingin meraih sukses lain bila suatu sukses tertentu telah diraihnya. Artinya ia tidak cepat puas dengan sukses sebelumnya.

  6. Menyukai pekerjaan yang hasilnya dapat diperhitungkan dengan sungguh- sungguh bukan sekedar untung-untungan.

  Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri yang paling menonjol dan usaha untuk sukses dan dapat memperhitungkan dengan sunguh-sungguh, baik kemampuan yang dimiliki maupun tugas atau rintangan yang dihadapi.

  4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Motif Berprestasi Motif berprestasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

  a. Pola asuh Pola asuh memegang peranan yang cukup penting dalam perkembangan motif berprestasi seorang anak (McClelland dalam Martaniah, 1984: 20).

  Motif berprestasi akan berkembang dengan baik pada keluarga dimana orang tua tanggap terhadap kebutuhan anak-anaknya dan tidak menuntut anak di luar batas kemampuannya, dibandingkan pada keluarga dimana orang tua selalu menuntut atau terlalu memanjakan atau tidak memperdulikan anak-anak mereka.

  b. Tingkat pendidikan orang tua Menurut Suroso (1987: 40), tingkat pendidikan ibu sangat berpengaruh langsung akan menimbulkan aspirasi dan motivasi untuk mendorong anak berprestasi setinggi-tingginya.

  c. Etnis Menurut McClelland (1985: 459), ras merupakan salah satu faktor esensial bagi pengembangan motif berprestasi. Namun pengembangan motif berprestasi bukan ditentukan oleh jenis rasnya tetapi lebih pada nilai-nilai yang besar kepada individu untuk mengembangkan motif berprestasi, maka individu tersebut akan memiliki motif berprestasi yang tinggi.

  Sebaliknya, bila kebudayaan tidak memberikan dukungan dan perhatian terhadap pengembangan motif berprestasi maka individu dalam kebudayaan tersebut cenderung memiliki motif berprestasi yang rendah. Berdasarkan uraian diatas, dapat dilihat bahwa pola asuh, tingkat pendidikan orang tua dan etnis merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motif berprestasi. Meskipun demikian, karena penelitian ini berkaitan dengan kebudayaan Jawa, maka etnis akan menjadi faktor yang paling diperhatikan.

B. Remaja Laki-laki dan Remaja Perempuan dalam Budaya Jawa

  1. Pengertian Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 1996: 206).

  Masa remaja adalah periode perkembangan antara masa anak dan masa dewasa. Masa remaja dibagi menjadi tiga tahap, yaitu remaja dini (pada saat individu mengalami pubertas); remaja tengah, usia 15-17 tahun dan remaja lanjut, antara usia 17 dan 18 tahun-21 tahun (Gunarsa, 1986: 203-204) Pada masa remaja, individu mencapai perkembangan fisik yang maksimal, dan pada masa ini pula terjadi kematangan kemampuan reproduksi.

  Selain perkembangan fisik, pada masa remaja juga terjadi perkembangan fungsi-fungsi psikologis. Pada masa remaja ini terjadi peningkatan kekuatan mental, sehingga terjadi peningkatan dalam mengemukakan pendapat, dalam kemampuan berpikir, dalam memahami, dan dalam kemampuan mengingat.

  Karena adanya peningkatan dalam kemampuan mental ini, remaja mempunyai perhatian terhadap lingkungan yang bersifat intelektual dan sosial (Martaniah, 1984: 49). Perkembangan sosial remaja juga mengalami peningkatan. Remaja lebih banyak melakukan aktivitas dengan teman sebayanya dan membuat garis batas baik antara dirinya dan orang tua maupun dengan dunia anak-anak. Pada masa remaja ini individu sangat memikirkan pendapat orang lain mengenai dirinya, dan berusaha mendapatkan peran dalam masyarakat (Erikson, 1989: 391). Berikut ini adalah tugas-tugas perkembangan pada masa remaja menurut

  1. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

  2. Mencapai peran sosial pria, dan wanita

  3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif

  4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab

  5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa

  7. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku-mengembangkan ideologi Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa remaja, individu mengalami perkembangan, baik perkembangan fisik, psikologis maupun sosial. Perkembangan ini disertai perubahan minat, peran dan pola perilaku. Pada masa remaja, individu membentuk suatu hubungan sosial baru, bergaul dan melakukan berbagai aktivitas dengan teman-teman seusianya dan sangat memikirkan pendapat orang lain tentang dirinya.

  2. Laki-laki dan Perempuan Jenis kelamin adalah suatu komponen yang kritis dalam identitas seseorang (Mahmud, 1990: 63). Jenis kelamin membedakan manusia ke dalam dua kelompok, yaitu laki-laki dan perempuan.

  Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya ditandai oleh ( biologis maupun psikologis) lainnya yang menandai seseorang sebagai laki-laki dan perempuan (Gilarso dalam Adimassana, 2001: 64).

  Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dimulai sejak terjadinya pembuahan pada ovum oleh sperma. Dalam setiap tubuh manusia terdapat 46 kromosom atau 23 pasang kromosom. Pria normal memiliki pola kromosom

  XY, sedangkan wanita memiliki kromosom XX. Perbedaan secara bilogis ini berfungsi sebagai alat reproduksi dalam meneruskan keturunan. Sedangkan perempuan mengalami menstruasi, perasaan yang sensitif, serta ciri-ciri fisik dan postur yang berbeda dengan laki-laki, serta bentuk pinggul yang lebih besar dari pada laki-laki (Ervita, 2002: 3).

  Selain memiliki identitas jenis kelamin, bentuk dan anatomis tubuh yang berbeda, laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan komposisi kimia dalam tubuh. Perbedaan ini menimbulkan akibat-akibat fisik biologis, seperti laki- laki mempunyai suara besar, berkumis, berjenggot, pinggul lebih ramping, dada yang datar. Sementara perempuan mempunyai suara yang lebih bening, buah dada menonjol, pinggul umumnya lebih lebar, dan organ reproduksi yang amat berbeda dengan laki-laki (Ervita, 2002: 6).

  Perbedaan anatomis biologis dan komposisi kimia dalam tubuh oleh sejumlah ilmuwan dianggap berpengaruh pada perkembangan emosional dan kapasitas intelektual masing-masing jenis kelamin. Unger (dalam Ervita, laki-laki dan perempuan sebagai berikut: Tabel 1 Perbedaan Emosional dan Intelektual Antara Laki-laki dan Perempuan

  Laki-laki Perempuan

  • Sangat agresif
  • Independen - Tidak emosional
  • Dapat menyembunyikan emosi
  • Lebih objektif
  • Tidak mudah terpengaruh
  • Tidak submisif
  • Sangat menyukai pengetahuan eksata
  • Tidak mudah goyah terhadap krisis
  • Lebih aktif
  • Lebih kompetitif
  • Lebih logis
  • Lebih mendunia
  • Lebih terampil berbisnis
  • Lebih berterus terang
  • Memahami seluk beluk perkembangan dunia
  • Berperasaan tidak mudah tersinggung
  • Lebih suka bertualang
  • Mudah mengatasi persoalan
  • Jarang menangis
  • Umumnya selalu tampil sebagai pemimpin
  • Penuh rasa percaya diri
  • Lebih banyak mendukung sikap agresif
  • Lebih ambisi
  • Lebih mudah membedakan rasa dan rasio
  • Lebih merdeka
  • Tidak canggung dalam penampilan
  • Pemikiran lebih unggul
  • Lebih bebas berbi>Tidak terlalu agresif
  • Tidak terlalu independen
  • Lebih emosional
  • Sulit menyembunyikan emosi
  • Lebih subjektif
  • Mudah terpengaruh
  • Lebih submisif
  • Kurang menyenangi eksata
  • Mudah goyah terhadap krisis
  • Lebih pasif
  • Kurang kompetitif
  • Kurang logis
  • Berorientasi ke rumah
  • Kurang terampil berbisnis
  • Kurang berterus terang
  • Kurang memahami perkembangan seluk beluk dunia
  • Berperasaan mudah tersinggung
  • Tidak suka bertualang
  • Sulit mengatasi persoalan
  • Lebih sering menangis
  • Tidak umum tampil sebagai pemimpin
  • Kurang rasa percaya diri
  • Kurang senang terhadap sikap agresif
  • Kurang ambisi
  • Sulit membedakan antara rasa dan rasio
  • Kurang merdeka
  • Lebih canggung dalam penampilan
  • Pemikiran kurang unggul
  • Kurang bebas berbicara Identifikasi perbedaan emosional dan intelektual yang disebutkan diatas sangat berkaitan erat dengan lingkungan. Sebab ciri-ciri, sifat dan perilaku
Perlakuan dan harapan masyarakat terhadap masing-masing jenis kelamin untuk memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri tertentu merupakan bagian dari sebuah konstruk sosial yang dikenal dengan sebutan stereotipe gender.

  Secara umum stereotipe gender adalah keyakinan yang diterapkan pada gender yaitu pria dan wanita. Konsep ini dapat pula dikatakan sebagai keyakinan mengenai pria atau wanita, yang merupakan generalisasi yang dibuat orang tentang wanita atau pria; generalisasi trait-trait yang dianggap mewakili ciri-ciri pria atau wanita; generalisasi tentang tingkah laku yang dianggap mempresentasikan kelompok gender tersebut; juga generalisasi tentang peran-peran yang dianggap cocok untuk mempresentasikan kelompok pria atau wanita (Muluk dalam Handayani, 2002: 9).

  Sejak lahir, anak laki-laki dan perempuan dibiasakan berperilaku sesuai dengan ketentuan-ketentuan masyarakat sehubungan dengan perilaku mana yang semestinya untuk laki-laki dan perilaku mana yang seharusnya bagi anak sifat maskulin. Sedangkan sifat-sifat yang dikenakan untuk perempuan, lazim disebut sifat feminin (Gilarso dalam Adimassana, 2001: 65). Sifat-sifat yang diharapkan dimiliki oleh perempuan atau sifat-sifat yang feminin antara lain: sifat lemah lembut, tergantung, emosional, pasif, ramah, suka merawat, penyayang. Sedangkan sifat-sifat yang diharapkan dimiliki oleh anak laki-laki atau sifat-sifat yang maskulin antara lain: sifat mandiri, rasional, suka bereksplorasi, agresif, aktif, egois (Gilarso dalam Adimassana, 2001: 65; Mahmud, 1990: 63). Dengan sifat-sifat seperti itu, laki-laki dianggap lebih pantas bekerja diluar rumah, lebih mampu mengerjakan pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan pikiran, tegas dalam mengambil keputusan dan dapat diandalkan sebagai pemimpin. Sedangkan perempuan, dengan sifat-sifat yang feminin, dianggap lebih pantas merawat anak, suami dan mengurus rumah tangga.

  Para psikolog yang menyetujui teori bahwa perbedaan ciri-ciri pria dan wanita tersebut berasal dari kebudayaan masyarakat, berpendapat bahwa ciri- ciri atau peran-peran yang diberikan kepada laki-laki tidak mesti dimiliki oleh laki-laki saja, melainkan dapat dimiliki pula oleh perempuan. Sebaliknya, peran-peran yang diberikan kepada perempuan tidak mesti hanya dimiliki oleh perempuan, melainkan dapat dimiliki pula oleh laki-laki. Kedua macam ciri- ciri, maskulin dan feminin itu dapat dimiliki oleh setiap manusia, baik laki- beda.

  Dari uraian mengenai jenis kelamin di atas, dapat disimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan tidak hanya berbeda dari segi identitas jenis kelamin, bentuk dan anatomis tubuh saja, mereka juga memiliki sifat-sifat tertentu yang membedakan mereka. Sifat-sifat, ciri-ciri atau peran-peran yang diharapkan dimiliki oleh perempuan dikenal dengan sebutan sifat feminin. Sedangkan harus dimiliki oleh masing-masing jenis kelamin karena kadarnya dapat berbeda-beda pada setiap orang. Selain itu, sifat-sifat ini sangat bergantung pada lingkungan kebudayaan dimana individu berada dan berkembang.

  3. Sekilas tentang Etnik Jawa Secara antropologi budaya dapat dikatakan bahwa yang disebut suku bangsa Jawa adalah orang-orang yang secara turun-menurun menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya dalam kehidupan sehari-hari serta berasal dan bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur (Herusatoto, 1983: 42). Seperti halnya etnik lain di Indonesia, etnik Jawa memiliki kebudayaan, nilai-nilai dan kebiasaan tertentu.

  De Jong (1976: 18-21) berpendapat bahwa orang Jawa menilai tinggi tiga sikap hidup, yaitu: (1) rila, yang berarti menyerahkan segala milik, kemampuan dan hasil kerjanya dengan segala keikhlasan hati kepada Yang maha Kuasa; (2) narima, yang berati merasa puas dengan nasibnya, tidak

  

narima berarti ketenangan yang afektif dalam menerima segala sesuatu dari

  dunia luar, baik berupa harta benda, kedudukan sosial, ataupun nasib untung atau malang; (3) sabar, merupakan akibat dari rila dan narima, orang yang

  

rila dan narimo akan menjadi sabar. Kesabaran merupakan

  “broadmindedness”, kelapangan dada, yang dapat merangkul segala pertentangan dan perbedaan.

  Selain menjunjung tinggi sikap hidup, pola pergaulan dalam mayarakat Jawa ditentukan oleh dua kaidah pokok (Suseno, 1958: 38-81), yaitu: prinsip kerukunan dan prinsip hormat.

  (1) Prinsip kerukunan

  

Rukun berarti “berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan tenteram”,

  “tanpa perselisihan dan pertentangan”, “bersatu dalam maksud saling membantu” (Mulder, 1978: 39).

  Prinsip kerukunan menuntut untuk mencegah segala cara kelakuan yang bisa mengganggu keselarasan dan ketenangan dalam masyarakat dan menjaga agar ketentraman dalam masyarakat tidak terganggu, jangan sampai nampak adanya perselisihan dan pertentangan. Dalam bertindak, prinsip kerukunan menuntut agar individu bersedia untuk menomorduakan, bahkan, kalau perlu, untuk melepaskan kepentingan- kepentingan pribadi demi kesepakatan bersama.

  Prinsip hormat berdasarkan pendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hirarkis. Prinsip ini dijalankan secara luas, tidak hanya di lingkungan keluarga saja tetapi juga di lingkungan kerja dan masyarakat.

  Sikap hidup dan kaidah pokok merupakan nilai-nilai yang berhubungan erat satu sama lain dan merupakan pedoman bagi setiap individu dalam terbuka dapat dihindari dan dalam setiap situasi, keselarasan yang telah terbentuk di dalam masyarakat dapat terus terjaga dan terpelihara.

  4. Stereotipe Gender Laki-laki dan Perempuan dalam Budaya Jawa Berkaitan dengan stereotipe gender, dalam budaya Jawa peran kaum wanita masih ditentukan oleh sistem kekuasaan feodal aristokratik. Menurut Kayam (dalam Ibrahim dan Suranto, 1998: 27) sistem ini telah menetapkan wanita untuk memiliki peran atau role menjadi “penjaga nilai-nilai halus-kasar dan adiluhung”. Kodrat wanita adalah sebagai mahluk dengan tugas utama (dan mulia) sebagai penyambung keturunan, lemah lembut, lebih emosional dan fisiknya kurang kuat. Dengan “kodrat” seperti itu, wanita dianggap lebih pantas bekerja di sektor domestik (berkaitan dengan urusan rumah tangga). Dalam bahasa Jawa dikenal “3M”, manak (melahirkan), masak (memasak), dan macak (berhias). Bila perempuan dianggap lebih pantas bekerja di sektor domestik maka laki-laki dianggap lebih pantas bekerja di sektor publik