Validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar ampisilin menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin - USD Repository

  VALIDASI METODE SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL UNTUK PENETAPAN KADAR AMPISILIN MENGGUNAKAN PEREAKSI ASETILASETON DAN FORMALIN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi Oleh : ARNIE ROOSITA NIM : 038114006

  Penelitian untuk Skripsi

VALIDASI METODE SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL UNTUK PENETAPAN KADAR AMPISILIN MENGGUNAKAN PEREAKSI ASETILASETON DAN FORMALIN

  Oleh : ARNIE ROOSITA

  NIM : 038114006 telah disetujui oleh : Pembimbing Prof. Dr. Sudibyo Martono, M. S., Apt. tanggal ...................................... Pengesahan Skripsi

VALIDASI METODE SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL UNTUK PENETAPAN KADAR AMPISILIN MENGGUNAKAN PEREAKSI ASETILASETON DAN FORMALIN

  Oleh : ARNIE ROOSITA

  NIM : 038114006 Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi

  Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma pada tanggal : 31 Januari 2007

  Mengetahui Fakultas Farmasi

  Universitas Sanata Dharma Dekan Rita Suhadi, M. Si., Apt.

  Pembimbing : Prof. Dr. Sudibyo Martono, M. S., Apt. ............................

  Panitia Penguji : Tanda tangan 1. Prof. Dr. Sudibyo Martono, M. S., Apt. ............................

  2. Drs. Sulasmono, Apt. ............................ Semalam aku bermimpi sedang berjalan menyisir pantai bersama TUHAN. Di cakrawala terbentang adegan kehidupanku. Pada setiap adegan aku melihat dua pasang jejak kaki di pasir, sepasang jejak kakiku dan sepasang lagi jejak kaki TUHAN.

  Setelah adegan terakhir dari kehidupanku terhampar di hadapanku, aku menoleh ke belakang melihat jejak kaki di pasir. Aku memperhatikan bahwa berkali-kali di sepanjang jalan hidupku, terutama pada saat-saat paling gawat dan mencekam, hanya terdapat sepasang jejak kaki saja.

  “TUHAN, di manakah Engkau? Engkau mengatakan bila aku memutuskan untuk mengikuti Engkau, Engkau akan berjalan bersama aku sepanjang jalan hidupku. Namun aku memperhatikan bahwa pada saat-saat paling gawat dan beban menindas hidupku, hanya terdapat sepasang jejak kaki saja, dan aku tidak mengerti

mengapa pada waktu aku sangat membutuhkan Engkau,

justru Engkau meninggalkan aku”.

  “AnakKu, engkau sangat berharga di mataKu, Aku sangat mengasihi engkau dan Aku tidak akan meninggalkan engkau.

  Pada waktu engkau dalam bahaya dan dalam penderitaan, Engkau hanya melihat sepasang jejak kaki saja, karena pada waktu itu Aku menggendongmu”.

  Karya kecilku ini kupersembahkan untuk :

  Hati Kudus Yesus dan Bunda Maria sebagai ungkapan syukurku, Bapak dan ibu sebagai tanda hormat dan baktiku,

  Kakakku yang kukasihi, Diriku sendiri,

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan kasih dan kemurahan-Nya sehingga penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Validasi Metode Spektrofotometri Visibel untuk Penetapan Kadar Ampisilin Menggunakan Pereaksi Asetilaseton dan Formalin” dapat diselesaikan.

  Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Dalam pelaksanaan penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

  1. Rita Suhadi, M. Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  2. Prof. Dr. Sudibyo Martono, M. S., Apt., selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, memberi saran dan koreksi selama penelitian sampai penyusunan skripsi ini.

  3. Drs. Sulasmono, Apt., selaku Dosen Penguji atas diskusi, saran dan koreksinya.

  4. Dra. A. Nora Iska Harnita, M. Si., Apt., selaku Dosen Penguji atas diskusi, saran dan koreksinya.

  5. Bapak dan ibu yang telah dengan penuh kesabaran dan susah payah mendidik sepanjang hidupku hingga aku mampu menyelesaikan tugas belajar di Universitas Sanata Dharma.

  6. Pak Bambang dan Bu Kis (Laboran Laboratorium Analisis Obat dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) atas bantuan, arahan dan kerjasamanya selama penelitian. Juga untuk seluruh laboran Fakultas Farmasi UGM yang telah membantu selama penelitian.

  7. Mas Ottok yang sudah membantu dalam penyediaan bahan penelitian.

  8. Teman seperjuanganku, Marga dan Eta, untuk kerjasama dan kebersamaan dalam kegagalan dan keberhasilan kita. Gagal itu biasa. Berhasil, itu baru luar biasa.

  9. Mas Fahrul yang mau meluangkan waktu untuk berdiskusi.

  10. Mas Anang dan Mbak Wiek yang sudah memberi dorongan semangat, mau mendengar keluh kesahku, menjadi teman ngobrol sepanjang hari. Terima kasih juga sudah banyak membantu dalam penyusunan naskah skripsi ini. Thank a lot! Tanpa kalian aku akan kesepian.

  11. Lilik yang senantiasa memberiku dorongan semangat, penghiburan, perhatian, doa, cinta, dan menjadi tempat untuk menumpahkan segala kebahagiaan dan kesedihanku.

  12. Mas Koko yang sudah membantu menerjemahkan. Teman-teman “Silvester I” dan “de Bronth” untuk hari-hari yang penuh tawa dan kebersamaan kalian selama ini.

  (untuk pinjaman laptopnya), dan juga untuk kelas A angkatan 2003 atas kebersamaan kita.

  Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Harapan penulis semoga skripsi ini memberi sedikit tambahan pengetahuan khususnya di bidang kefarmasian dan dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

  Yogyakarta, Januari 2007 Penulis

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, Januari 2007 Penulis

  Arnie Roosita

  

INTISARI

  Ampisilin termasuk antibiotik golongan β-laktam yang sampai saat ini masih digunakan untuk pengobatan penyakit infeksi seperti infeksi saluran kemih dan saluran nafas. Pada penelitian ini dilakukan pengembangan metode analisis untuk penetapan kadar ampisilin yang berpedoman pada penelitian Patel et al. (1992) tentang penetapan kadar sefaleksin dengan pereaksi asetilaseton dan formalin secara spektrofotometri visibel, karena ampisilin memiliki kemiripan struktur dengan sefaleksin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah metode analisis tersebut memiliki validitas yang baik dan dapat diaplikasikan untuk penetapan kadar ampisilin dalam kapsul.

  Penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental deskriptif. Penetapan kadar ampisilin didasarkan pada reaksi antara ampisilin dengan hasil kondensasi asetilaseton dan formalin yang menghasilkan senyawa kuning. Kadar ampisilin ditetapkan dengan mengolah data serapan larutan kuning tersebut pada panjang gelombang serapan maksimum 398,0 nm dengan persamaan garis regresi linier. Validasi metode analisis ditentukan berdasarkan akurasi, presisi, dan linearitas yang diperoleh berturut-turut dari nilai % perolehan kembali, koefisien variasi (KV), dan koefisien korelasi (r).

  Hasil yang diperoleh adalah % perolehan kembali = 99,85-102,37 %; KV = 1,05 %; r = 0,9992; dan rata-rata kadar ampisilin dalam kapsul = 567,16 mg/kapsul atau 113,43 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode analisis tersebut memiliki validitas yang baik, meliputi: akurasi, presisi, dan linearitas untuk penetapan kadar ampisilin dan dapat diaplikasikan untuk penetapan kadar ampisilin dalam kapsul.

  Kata kunci : validasi metode analisis, spektrofotometri visibel, ampisilin, asetilaseton, formalin.

  

ABSTRACT

  Ampicillin is one of β-lactam antibiotic which in recent still used for treatment the infection, such as urinary tract infection and respiratory tract infection.

  This research focuses on developing methods for ampicillin determination based on Patel et al. (1992) about visible spectrophotometry method with acetylaceton and formalin reagent for determination of cephalexin because ampicillin has structure similarity with cephalexin. This research intends to find out whether that method shows good validity and able to be applied to determine the rate ampicillin in the capsule.

  This research can be categorized as descriptive non experimental one. The determination of ampicillin is based on the reaction between ampicillin with acetylaceton and formalin that yields yellow compound. The rate of ampicillin is determined by analyzing the data of yellow solution absorption within maximum wavelength 398,0 nm using linear regression equation The validation of the method is determined by its continuous accuracy, precision, and linearity from the percentage of the recovery, variation coefficient, and correlation coefficient..

  It is found out that the result of the recovery = 99.85-102.37 %; variation coefficient = 1.05 %; correlation coefficient = 0.9992; and the average rate of ampicillin in the capsule = 567.16 mg/capsule or 113.43 %. The result shows that visible spectrophotometry method with acetylaceton and formalin reagent shows good validity in terms of accuracy, precision, and linearity for ampicillin determination and can be applied to determine the rate of ampicillin in the capsule.

  Keyword : validation of method, visible spectrophotometry, ampicillin, acetylaceton, formalin.

  DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ iii HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... iv KATA PENGANTAR ........................................................................................... v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................ viii

  INTISARI ............................................................................................................. ix

  

ABSTRACT ............................................................................................................. x

  DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ................................................................................................. xiv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xvi BAB I PENGANTAR .........................................................................................

  1 A. Latar Belakang .................................................................................................

  1 1. Perumusan masalah ...................................................................................

  3 2. Keaslian penelitian ....................................................................................

  4 3. Manfaat penelitian ....................................................................................

  5 B. Tujuan Penelitian .............................................................................................

  5 BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ..................................................................

  6

  C. Formalin .......................................................................................................... 10

  9. Analisis kuantitatif..................................................................................... 20

  G. Hipotesis .......................................................................................................... 28

  F. Landasan Teori ................................................................................................ 27

  3. Kesalahan dalam analisis .......................................................................... 26

  2. Kategori metode analisis ........................................................................... 25

  1. Parameter validasi metode analisis ........................................................... 23

  E. Parameter Validasi, Kategori Metode Analisis, dan Kesalahan dalam Analisis 23

  10. Reaksi pembentukan warna ...................................................................... 21

  8. Analisis kualitatif ...................................................................................... 19

  D. Spektrofotometri UV-Vis ................................................................................ 11

  7. Kesalahan fotometrik ................................................................................. 18

  6. Hukum Lambert-Beer ................................................................................ 17

  5. Pembacaan serapan dan transmitan .......................................................... 15

  4. Tipe-tipe transisi elektron ......................................................................... 13

  3. Konsep dasar radiasi elektromagnetik ....................................................... 12

  2. Interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik .................................... 11

  1. Definisi spektrofotometri UV-Vis ............................................................. 11

  BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 29 A. Jenis dan Rancangan Penelitian ....................................................................... 29 B. Definisi Operasional ........................................................................................ 29

  E. Tata Cara Penelitian ........................................................................................ 30

  1. Pembuatan larutan ..................................................................................... 30

  2. Optimasi penetapan kadar ampisilin ......................................................... 31

  3. Pembuatan kurva baku .............................................................................. 33

  4. Aplikasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar ampisilin dalam kapsul “X” menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin........ 33

  5. Validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar ampisilin menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin .................................... 34 F. Analisis Hasil .................................................................................................. 35

  BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 37 A. Penetapan Operating Time ............................................................................. 37 B. Penetapan pH Optimum ................................................................................. 42 C. Penetapan Volume Pereaksi Optimum ........................................................... 44 D. Penetapan Panjang Gelombang Serapan Maksimum ( maks )........................... 45 λ

  E. Penetapan Kurva Baku Ampisilin .................................................................. 47

  F. Penetapan Kadar Ampisilin dalam Kapsul “X” ............................................. 50

  G. Analisis Validasi Metode Analisis ................................................................. 52

  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 56 A. Kesimpulan ..................................................................................................... 56 B. Saran ............................................................................................................... 56 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 57

  DAFTAR TABEL

  Halaman Tabel I. Kriteria penerimaan akurasi pada konsentrasi analit yang berbeda .... 23 Tabel II. Kriteria penerimaan presisi pada konsentrasi analit yang berbeda ..... 24 Tabel III. Parameter validasi yang dipersyaratkan untuk validasi metode analisis..................................................................................................

  26 Tabel IV. Hasil penetapan operating time reaksi antara ampisilin dengan asetilaseton dan formalin ..................................................................... 41 Tabel V. Hasil penetapan pH optimum reaksi antara ampisilin dengan asetilaseton dan formalin ..................................................................... 44 Tabel VI. Hasil penetapan volume pereaksi optimum ........................................ 45 Tabel VII. Hasil penetapan kurva baku ampisilin sesudah direaksikan dengan asetilaseton dan formalin ..................................................................... 48 Tabel VIII. Hasil modifikasi data penetapan kurva baku ampisilin sesudah direaksikan dengan asetilaseton dan formalin ..................................... 49 Tabel IX. Hasil penetapan kadar ampisilin dalam kapsul “X” dengan metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin ...............................................................................................

  51 Tabel X. Hasil penetapan % perolehan kembali sampel ampisilin .................... 52 Tabel XI. Hasil penetapan % perolehan kembali ampisilin baku ........................ 53 Tabel XII. Hasil penetapan nilai KV .................................................................... 54

  

DAFTAR GAMBAR

  Halaman Gambar 1. Struktur sefaleksin ............................................................................

  2 Gambar 2. Struktur ampisilin .............................................................................

  3 Gambar 3. Struktur asetilaseton ......................................................................... 10 Gambar 4. Struktur formalin .............................................................................. 10 Gambar 5. Diagram tingkat energi elektronik ................................................... 15 Gambar 6. Reaksi antara asetilaseton dan formalin ........................................... 38 Gambar 7. Usulan reaksi antara ampisilin dengan senyawa hasil kondensasi asetilaseton dan formalin .................................................................. 40 Gambar 8. Spektrum hasil pengukuran stabilitas reaksi antara ampisilin dengan asetilaseton dan formalin .................................................................. 41 Gambar 9. Spektra hasil penetapan ampisilin pada konsentrasi 0,081; 0,113;

  maks

  λ 0,145 mg/ml yang bereaksi dengan asetilaseton dan formalin ......... 46

  Gambar 10. Hubungan antara konsentrasi ampisilin dengan serapan senyawa hasil reaksi ampisilin dengan asetilaseton dan formalin .................. 50

  DAFTAR LAMPIRAN

  Halaman Lampiran 1. Perhitungan konsentrasi larutan ampisilin baku pada penetapan kurva baku .....................................................................................

  60 Lampiran 2. Spektrum ampisilin baku dan sampel ampisilin pada konsentrasi 0,145 mg/ml ..................................................................................

  61 Lampiran 3. Perhitungan kadar ampisilin dalam kapsul “X” ............................ 62 Lampiran 4. Perhitungan % perolehan kembali ampisilin ................................. 65 Lampiran 5. Perhitungan nilai koefisien variasi fungsi (Vx ) ........................... 68 Lampiran 6. Sertifikat analisis ampisilin ........................................................... 70

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Sampai saat ini penyakit infeksi masih banyak terjadi di Indonesia. Oleh

  karena itu, ketersediaan obat-obat untuk terapi penyakit infeksi masih sangat dibutuhkan. Antibiotik merupakan salah satu obat yang dapat digunakan untuk terapi penyakit infeksi, khususnya infeksi oleh bakteri. Ampisilin adalah salah satu contoh antibiotik yang termasuk dalam golongan

  β-laktam turunan penisilin yang mempunyai masalah pada resistensi. Walaupun demikian, sampai saat ini ampisilin masih digunakan untuk mengobati infeksi saluran kemih dan infeksi saluran pernapasan seperti sinusitis, otitis media, bronchitis kronik, dan epiglotis (Petri, 2001).

  Seperti halnya obat-obat pada umumnya, penggunaan ampisilin selain memberikan efek terapeutik juga dapat menghasilkan efek toksik bila dosisnya berlebih atau malah tidak berefek bila dosisnya kurang. Oleh karena itu, pemberiannya harus dilakukan dengan benar agar kerja obat tersebut efektif dan aman. Tercapainya keefektifan dan keamanan obat tersebut juga didukung oleh kualitas dan mutu obat yang baik. Oleh karenanya, kontrol kualitas dan mutu obat sangat penting untuk dilakukan. Salah satu langkah dalam kontrol kualitas dan mutu obat adalah dengan analisis kimia terhadap zat aktif yang meliputi analisis kualitatif

  Penetapan kadar ampisilin menurut Farmakope Indonesia IV (1995) dapat dilakukan dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Metode analisis ini memiliki sensitivitas dan daya pisah yang baik, cepat, dan dapat digunakan untuk penetapan kadar senyawa dalam campuran tanpa perlu pemisahan terlebih dahulu.

  Namun, operasionalnya mahal. Ampisilin juga dapat ditetapkan kadarnya berdasarkan penetapan kadar antibiotik secara iodometri (Anonim, 1995). Metode analisis ini spesifik untuk penetapan kadar ampisilin utuh sehingga sekaligus dapat menggambarkan potensi ampisilin. Namun, metode ini kurang sensitif untuk penetapan kadar ampisilin dalam kadar kecil.

  Pengembangan metode analisis untuk penetapan kadar obat perlu untuk dilakukan. Tujuannya adalah untuk mencari metode analisis alternatif dan untuk perkembangan ilmu. Metode analisis yang dikembangkan tersebut harus memenuhi persyaratan validasi metode analisis.

  Patel et al. (1992) melakukan penelitian tentang penetapan kadar sefaleksin menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin dengan metode spektrofotometri visibel.

  COOH O CH 3 H O H N C C N S NH 2 Gambar 1. Struktur sefaleksin Gugus fungsi pada sefaleksin yang berperan dalam reaksi dengan asetilaseton dan formalin adalah gugus amin primer. Dilihat dari strukturnya, ampisilin mirip dengan sefaleksin. Ampisilin juga memiliki gugus amin primer seperti halnya sefaleksin.

  COOH H O CH 3 H O N CH 3 C C N S H NH 2 Gambar 2. Struktur ampisilin

  Berdasarkan kemiripan struktur tersebut, diharapkan metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin juga dapat digunakan untuk penetapan kadar ampisilin. Metode analisis yang dikembangkan dalam penelitian ini merupakan metode analisis baru untuk penetapan kadar ampisilin sehingga perlu dilakukan validasi metode analisis. Dari penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan metode analisis alternatif untuk penetapan kadar ampisilin yang sederhana, murah, sensitif, dan memiliki akurasi, presisi, dan linearitas yang baik.

1. Perumusan masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat disusun permasalahan sebagai berikut : a. apakah metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan b. apakah metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin dapat diaplikasikan untuk penetapan kadar ampisilin dalam kapsul?

2. Keaslian penelitian

  Sejauh pengetahuan penulis, penelitian tentang validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar ampisilin menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin belum pernah dilakukan. Penelitian tentang ampisilin yang pernah dilakukan dan dipublikasikan antara lain penetapan kadar ampisilin utuh secara spektrofotometri UV dengan reagen imidazole (Bundgaard, 1974), penetapan kadar ampisilin dalam tablet dengan nama generik dan dagang menggunakan KCKT fase terbalik (Putra, 2002), perbandingan metode spektrofotometri UV dengan menggunakan reagen imidazole dan iodometri pada penetapan kadar ampisilin utuh dalam suspensi ampisilin terdegradasi (Hermanto, 2004), dan pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap kadar ampisilin utuh dalam suspensi oral ampisilin (Nyoman, 2004).

  Penelitian tentang antibiotik golongan β-laktam yang lain menggunakan metode analisis yang sejenis juga pernah dilakukan, yaitu penelitian tentang penetapan kadar sefaleksin dalam berbagai bentuk sediaan dengan pereaksi asetilaseton dan formalin secara spektrofotometri visibel oleh Patel et al. (1992), penetapan kadar sefadroksil secara spektrofotometri visibel dengan pereaksi etil asetoasetat dan formalin (Rianti, 2005), penetapan kadar sefadroksil dalam kapsul kadar sefadroksil menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin (Mirmayanti, 2007), dan validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar amoksisilin menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin (Sunarto, 2007).

3. Manfaat penelitian

  Hasil penelitian nantinya diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :

  a. manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang validasi metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin untuk penetapan kadar ampisilin.

  b. manfaat metodologis dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang pengembangan metode analisis untuk penetapan kadar ampisilin agar nantinya dapat digunakan sebagai metode analisis alternatif untuk penetapan kadar ampisilin.

B. Tujuan Penelitian

  1. Untuk mengetahui apakah metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin memenuhi parameter validasi metode analisis yang meliputi akurasi, presisi, dan linearitas jika digunakan untuk penetapan kadar ampisilin.

  2. Untuk mengetahui apakah metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin dapat diaplikasikan untuk penetapan kadar

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Ampisilin Ampisilin berbentuk anhidrat dengan bobot molekul (BM) 349,40 atau

  trihidrat dengan BM 403,45. Ampisilin mengandung tidak kurang dari 900 µg dan tidak lebih dari 1050 µg per mg C

  16 H

  19 N

  3 O

  4 S, dihitung terhadap zat anhidrat. pH

  ampisilin antara 3,5 sampai 6,0. Ampisilin berupa serbuk hablur, putih, dan praktis tidak berbau. Kelarutan ampisilin adalah sukar larut dalam air dan metanol; tidak larut dalam benzena, dalam karbon tetraklorida, dan dalam kloroform. Kapsul ampisilin mengandung sejumlah ampisilin (anhidrat atau trihidrat) setara dengan tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 120,0% C

  16 H

  19 N

  3 O

  4 S jumlah yang tertera pada etiket (Anonim, 1995).

  Ampisilin termasuk dalam antibiotik golongan β-laktam karena memiliki struktur dasar cincin

  β-laktam. Perubahan pada cincin β-laktam dapat mengubah aktivitasnya sebagai anti bakteri. Ampisilin adalah salah satu antibiotik golongan β- laktam turunan penisilin yang digolongkan dalam aminopenisilin karena di dalam strukturnya terdapat gugus amino. Aminopenisilin memiliki aktivitas anti bakteri yang hampir sama dengan penisilin G namun spektrum kerjanya lebih luas daripada penisilin G (Petri, 2001). Mekanisme kerja ampisilin sebagai anti bakteri adalah menghambat pembentukan dinding sel bakteri dengan cara berikatan dengan

  

penicillin binding proteins (PBPs) sehingga akan menghambat fase transpeptidase

akhir dari sintesis peptidoglikan pada dinding sel bakteri (Lacy et al., 2003).

  Ampisilin bersifat bakterisida terhadap beberapa bakteri gram positif dan bakteri gram negatif (Petri, 2001) tetapi ampisilin tidak tahan terhadap penisilinase.

  Oleh karena itu, ampisilin resisten terhadap bakteri pembentuk penisilinase (Mutschler, 1991). Ampisilin menunjukkan stabilitas yang baik dalam suasana asam, efektif pada konsentrasi hambat minimum, diabsorpsi dengan baik dalam usus sehingga dapat diberikan secara oral (Hou and Poole, 1969). Namun, penggunaan ampisilin setelah mengkonsumsi makanan akan menurunkan absorpsi obat (Petri, 2001). Oleh karena itu, ampisilin harus diminum dalam keadaan perut kosong yaitu 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan (Lacy et al., 2003).

  Beberapa metode analisis yang dapat digunakan untuk penetapan kadar ampisilin adalah : 1. metode iodometri

  Penetapan kadar ampisilin secara iodometri didasarkan pada reduksi iodium oleh penisilamin yang terbentuk melalui inaktivasi ampisilin oleh alkali atau enzim penisilinase dan diikuti dengan penambahan asam. Larutan alkali atau enzim penisilinase akan menghidrolisis ampisilin sehingga terjadi pemecahan cincin

  β- laktam dan terbentuk asam α-aminobenzilpenisiloat. Senyawa ini dengan penambahan asam akan membentuk penisilamin. Ampisilin tidak dapat bereaksi dengan iodium, tetapi penisilamin dapat mereduksi iodium (Ivashkiv, 1973). Kadar ampisilin ditetapkan dengan menambahkan iodium berlebih ke dalam larutan yang mengandung penisilamin. Kelebihan iodium dititrasi kembali dengan natrium tiosulfat. Perbedaan volume iodium yang dikonsumsi larutan sampel dengan blangko menggambarkan kadar ampisilin dalam larutan (Ivashkiv, 1973).

  2. metode spektrofotometri UV Metode ini didasarkan pada pengikatan merkurium oleh

  α-asetamido benzilpenisilin yang merupakan hasil asetilasi ampisilin dengan asetat anhidrat dalam larutan pada pH 9. Hasil reaksi antara merkurium dengan

  α-asetamido benzilpenisilin adalah asam α-asetamido benzilpenisilinat yang mengikat merkurium. Kadar ampisilin ditentukan dengan mengukur asam

  α-asetamido benzilpenisilinat yang mengikat merkurium dengan spektrofotometri UV (Ivashkiv, 1973).

  3. metode KCKT Menurut Farmakope Indonesia IV (1995) penetapan kadar ampisilin dapat dilakukan dengan KCKT dengan fase gerak air : asetonitril : KH

  2 PO

  4

  1 M : asam asetat 1 M (909 : 80 : 10 : 1) dan fase diam berupa kolom analisis 4 mm x 30 cm dengan bahan pengisi L1 yaitu oktadesil silana terikat secara kimiawi pada partikel mikrosilika berpori dengan ukuran partikel 5-10 µm. Sistem KCKT ini juga menggunakan pra kolom dengan ukuran 4 mm x 5 cm. Laju aliran fase gerak lebih kurang 2 ml/ menit. Detektor yang digunakan adalah detektor UV 254 nm. Pelarut yang digunakan berupa campuran KH PO

  1 M dan asam asetat 1 M (10 : 1). Selain

  2

  

4

  itu, juga dapat digunakan fase gerak lain yaitu 0,067 M KH

  2 PO 4 pH 4,6 : methanol

  4. metode fluorometri Ampisilin dapat ditetapkan kadarnya dengan fluorometri karena ampisilin dalam larutan asam pada suhu yang dinaikkan akan memendarkan warna kuning

  (Ivashkiv, 1973). 5. metode penetapan kadar ampisilin yang lainnya adalah titrasi dengan basa, biasanya menggunakan NaOH (Auterhoff and Kovar, 1987), metode polarigrafi, kromatografi lapis tipis, kromatografi kertas, dan metode mikrobiologi (Ivashkiv, 1973).

  Ampisilin memiliki kemiripan struktur dengan sefaleksin yaitu keduanya sama-sama memiliki cincin β-laktam dan gugus amin primer. Patel et al. (1992) melakukan penelitian tentang penetapan kadar sefaleksin dengan pereaksi asetilaseton dan formalin secara spektrofotometri visibel. Pada penelitian tersebut terlebih dahulu dilakukan optimasi kondisi reaksi yang meliputi konsentrasi pereaksi, pH pereaksi, waktu reaksi, suhu reaksi, dan pelarut. Selektivitas reaksi juga ditentukan dengan cara mengamati pengaruh penambahan berbagai macam eksipien ke dalam sefaleksin terhadap nilai % perolehan kembali.

  Penetapan kadar sefaleksin didasarkan pada reaksi antara sefaleksin dengan hasil kondensasi asetilaseton dan formalin dalam bufer asetat. Gugus fungsi pada sefaleksin yang bertanggung jawab dalam reaksi tersebut adalah gugus amin primer. Hasil reaksi antara gugus amin primer pada sefaleksin dengan hasil kondensasi asetilaseton dan formalin adalah larutan berwarna kuning yang memiliki gelombang 400,0 nm. Kadar sefaleksin ditentukan dengan mengolah data pengukuran serapan larutan tersebut menggunakan persamaan garis regresi linier.

  Hasil penelitian Patel et al. (1992) menunjukkan bahwa metode tersebut sederhana, cepat, akurat, dan selektif untuk penetapan kadar sefaleksin baik dalam bentuk murni (senyawa baku) maupun dalam berbagai macam sediaan obat.

  B.

  

Asetilaseton

O O H C C CH C CH 3

2

3 Gambar 3. Struktur asetilaseton

  Asetilaseton P (gambar 3) mengandung tidak kurang dari 98% C H O dan

  5

  8

  2

  memiliki bobot molekul 100,11. Senyawa ini berupa cairan jernih, tidak berwarna hingga kuning lemah, dan mudah terbakar. Kelarutan asetilaseton P adalah larut dalam air dan dapat bercampur dengan etanol, dengan kloroform, dengan aseton, dengan eter, dan dengan asam asetat glasial. Asetilaseton P memiliki indeks bias

  o 1,4505 dan 14525 pada suhu 20 (Anonim, 1995).

  C.

  

Formalin

O H C H

  

Gambar 4. Struktur formalin Formalin (larutan formaldehid) adalah larutan yang mengandung 37 % formaldehid dalam air, biasanya ditambahkan 10-15 % metanol untuk mencegah polimerisasi. Larutan formalin 100 % atau larutan formalin 40 adalah larutan yang mengandung 40 gram formaldehid dalam 100 ml pelarut. Formalin berupa cairan tidak berwarna dan berbau sangat tajam. Formaldehid berupa gas yang mudah terbakar, berbau sangat tajam, sangat larut air; larut dalam alkohol dan dalam eter, sangat reaktif, dan mudah mengalami polimerisasi (Anonim, 1989).

  D.

  

Spektrofotometri UV-Vis

1. Definisi spektrofotometri UV-Vis

  Spektrofotometri UV-Vis adalah salah satu teknik analisis fisiko-kimia yang mengamati interaksi atom atau molekul dari suatu zat kimia dengan radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190-380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan menggunakan spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995).

2. Interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik

  Suatu berkas radiasi elektromagnetik bila dilewatkan melalui suatu zat kimia maka sebagian dari radiasi elektromagnetik tersebut akan diserap (Khopkar, 1990). Molekul dalam zat tersebut akan menyerap radiasi elektromagnetik pada daerah panjang gelombang yang energinya sesuai dengan beda energi antara keadaan dasar dan keadaan eksitasi dalam molekul (Roth and Blaschke, 1981). Molekul dapat mengalami transisi elektron dari tingkat energi rendah ke tingkat energi tinggi yaitu tingkat eksitasi (Khopkar, 1990). Elektron molekul organik yang menyerap meliputi elektron yang digunakan pada ikatan antara atom-atom dan elektron nonbonding atau elektron tak berpasangan yang pada umumnya terlokalisasi (Skoog, 1985).

  Gugus fungsi pada suatu molekul organik yang bertanggung jawab terhadap serapan radiasi ultraviolet dekat dan sinar tampak adalah kromofor. Molekul organik yang mengandung gugus kromofor disebut kromogen (Christian, 2004). Pada senyawa organik dikenal pula gugus auksokrom, yaitu gugus fungsi heteroatom yang mempunyai elektron valensi nonbonding seperti –OH, -NH

  2 dan -OCH 3 yang tidak menyerap radiasi pada panjang gelombang >200 nm (Pecsok et al., 1976).

  Terikatnya gugus auksokrom pada gugus kromofor akan mengakibatkan pergeseran pita serapan menuju ke panjang gelombang yang lebih panjang dan disertai perubahan intensitas serapan (Mulja dan Suharman, 1995).

3. Konsep dasar radiasi elektromagnetik

  Energi radiasi elektromagnetik yang diserap menyebabkan perubahan energi elektronik suatu molekul sehingga menyebabkan terjadinya transisi elektron valensi molekul tersebut. Hubungan antara energi yang diserap untuk transisi elektron dengan frekuensi, panjang gelombang, dan bilangan gelombang adalah : c

  = h x c x v ∆E = h x v = h x

  λ ……………………... (1) dengan : E = energi (Joule)

  • 34

  h = konstante Planck (6,63 x 10 Joule. detik) v = frekuensi radiasi (Hertz)

  10 -1

  c = kecepatan radiasi (3 x 10 cm. detik ) λ = panjang gelombang (cm)

  • 1

  v = bilangan gelombang (cm )

  (Silverstein et al., 1991) Berdasar persamaan di atas, energi yang dibutuhkan suatu molekul untuk bertransisi berbanding terbalik dengan panjang gelombang. Molekul yang membutuhkan energi transisi lebih besar akan menyerap radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang yang lebih pendek, sebaliknya molekul yang membutuhkan energi transisi lebih kecil akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih panjang.

4. Tipe-tipe transisi elektron

  Radiasi ultraviolet dan cahaya tampak akan meningkatkan energi elektronik sebuah molekul. Artinya energi yang disumbangkan oleh foton-foton memungkinkan elektron-elektron mengatasi kekangan inti dan pindah ke orbital baru yang lebih tinggi energinya (Day and Underwood, 2002). Oleh karena itu, serapan radiasi

  • ultraviolet dan sinar tampak dapat menyebabkan terjadinya transisi elektron ,

  σ→σ

  n , n , dan (gambar 5). dan adalah orbital atom antibonding, →σ →π π→π σ π sedangkan n adalah orbital atom nonbonding yang mempunyai energi diantara orbital atom bonding dan antibonding (Khopkar, 1990). Transisi elektron yang dapat terjadi meliputi :

  • akan tereksitasi ke orbital antibonding. Transisi ini tidak terjadi pada daerah radiasi ultraviolet dekat, tetapi terjadi pada daerah radiasi ultraviolet jauh (Khopkar, 1990). Transisi ini membutuhkan energi yang terbesar dan terjadi pada molekul dengan ikatan tunggal, misalnya alkana (Mulja dan Suharman, 1995).

  a. transisi elektron . Pada tipe transisi ini elektron di orbital σ→σ σ bonding

  • b. transisi elektron n . Pada transisi ini terjadi eksitasi elektron dari

  →σ orbital nonbonding ke orbital antibonding. Transisi ini terjadi pada senyawa-senyawa jenuh dengan elektron nonbonding, membutuhkan energi yang lebih rendah daripada transisi elektron

  • dan terjadi karena radiasi pada daerah 150-250 nm (Khopkar, 1990).
  •   σ→σ

      c. transisi elektron n dan transisi elektron . Kebanyakan →π π→π penerapan spektrofotometri UV-Vis pada senyawa organik didasarkan pada transisi n

    • ataupun
    • . Energi yang diperlukan untuk transisi menghasilkan serapan

      →π

      π→π

    • maksimum pada daerah 200-700 nm (Khopkar, 1990). Transisi n terjadi pada

      →π senyawa yang memiliki elektron nonbonding yang tereksitasi ke orbital antibonding, contohnya senyawa-senyawa yang mengandung gugus C=O, C=S, C=N, dan N=O (Daglish,1969). Transisi

    • dihasilkan oleh senyawa dengan ikatan rangkap dua dan tiga (alkena dan alkuna) bila menyerap energi yang sesuai dan terjadi di daerah ultraviolet dekat (Mulja dan Suharman, 1995).

      π→π

      antibonding σ* antibonding

      π* E n nonbonding

      bonding

      π

      bonding

      σ

      

    Gambar 5. Diagram tingkat energi elektronik

      (Mulja dan Suharman, 1995) 5.

       Pembacaan serapan dan transmitan

      Jika suatu radiasi elektromagnetik dilewatkan pada suatu larutan dengan intensitas radiasi semula (I o ), maka sebagian radiasi tersebut akan diteruskan (I t ), dipantulkan (I r ), dan diserap (I a ), sehingga :

      I o = I t + I r + I a ………………………… (2)

      Pada prakteknya nilai I sangat kecil (~ 4%) sehingga dapat diabaikan. Maka

      r

      persamaan di atas menjadi : I o = I t + I a

      …………………………... (3) (Mulja dan Suharman, 1995) Analisis dengan spektrofotometri UV-Vis selalu melibatkan pembacaan serapan radiasi elektromagnetik oleh molekul atau radiasi elektromagnetik yang teruskan. Keduanya dikenal sebagai serapan (A) tanpa satuan dan transmitan dengan satuan persen (%T) (Mulja dan Suharman, 1995). Serapan (A) adalah logaritma perbandingan intensitas cahaya yang dipancarkan (I o ) terhadap intensitas cahaya yang diteruskan (I t ) (Roth and Blaschke, 1981). Serapan dirumuskan:

      

    I

    o

      A = log

      

    I

    t

      …………………………….. (4) (Skoog, 1985)

      Transmitan (%T) adalah perbandingan intensitas dari sinar yang diteruskan (I )

      t terhadap sinar yang dipancarkan (I o ) dalam persen (Roth dan Blaschke, 1981).

      Transmitan dirumuskan:

      I t

      T =

      I o

      …………………………… (5) (Skoog, 1985)

      Panjang gelombang terjadinya serapan bergantung pada kekuatan elektron terikat dalam molekul (Day and Underwood, 2002). Panjang gelombang yang digunakan untuk dalam pengukuran serapan adalah panjang gelombang serapan maksimum ( maks ), karena perubahan serapan untuk setiap satuan konsentrasi adalah

      λ paling besar pada , sehingga akan diperoleh kepekaan analisis yang maksimum.

      maks

      λ Selain itu, pita serapan di sekitar maks datar sehingga mengurangi kesalahan pada

      λ

    6. Hukum Lambert-Beer

      Serapan radiasi elektromagnetik oleh suatu zat penyerap pada panjang gelombang monokromatis digambarkan oleh 2 hukum. Kedua hukum tersebut adalah:

      a. hukum Lambert yaitu intensitas radiasi yang diteruskan (I) menurun secara eksponensial dengan meningkatnya tebal larutan (b).

      b. hukum Beer yaitu intensitas radiasi yang diteruskan (I) menurun secara eksponensial dengan meningkatnya konsentrasi larutan (c).

      Kombinasi kedua hukum tersebut menghasilkan hukum Lambert-Beer yang dirumuskan :

      I o

      log = A = k x b x c

      I

      ...…………………….. (6) dengan I adalah intensitas radiasi yang terjadi, A adalah serapan dan k adalah daya

      o serap (liter/g/cm) (Fell, 1986).

      Daya serap adalah serapan larutan 1 gram/liter pada kuvet setebal 1 cm. Daya serap disebut daya serap molar (

      ε) bila satuannya liter/mol/cm. Daya serap molar adalah serapan 1 molar larutan pada kuvet setebal 1 cm (Fell, 1986). Daya serap molar dirumuskan : 1 %

      A x 0,1 x BM ε = 1 cm 1 %

      ..……………... (7) dengan A adalah serapan jenis dan BM adalah bobot molekul. 1 cm (Mulja dan Suharman, 1995) Nilai daya serap molar tergantung pada area molekul sasaran (a) dan probabilitas transisi elektron (p) yang dirumuskan :

      20

      x p x a ε = 0,87 x 10

      ..………………………... (8) (Skoog, 1985)

      4

      5 Nilai p antara 0,1 – 1 memberikan serapan yang kuat ( - 10 ). Puncak

      ε = 10

      3

      spektrum yang memiliki nilai (nilai p kurang dari 0,01) dikatakan ε kurang dari 10 intensitas serapannya lemah (Skoog, 1985).

      Bila konsentrasi dinyatakan dalam gram/100 ml maka k dideskripsikan 1 % sebagai serapan jenis yang dilambangkan dengan A (Fell, 1986). Serapan jenis 1 cm adalah serapan dari larutan 1% b/v zat terlarut dalam kuvet setebal 1 cm. Harga serapan jenis pada panjang gelombang tertentu dalam suatu pelarut merupakan sifat dari zat terlarut (Anonim, 1995).

    7. Kesalahan fotometrik

      Ketepatan prosedur fotometrik dibatasi oleh nilai serapan. Pada nilai serapan rendah, intensitas radiasi yang terjadi dan yang diteruskan hampir sama sehingga kesalahan dalam pembacaan serapan relatif besar karena yang dibaca oleh alat adalah perbedaan antara intensitas radiasi yang terjadi dan yang diteruskan. Pada nilai serapan tinggi, intensitas radiasi yang diteruskan terlalu kecil sehingga tidak dapat terukur dengan akurat (Pecsok et al., 1976).

      Untuk pembacaan serapan (A) atau transmitan (T) pada daerah yang terbatas, kesalahan penentuan kadar hasil analisis dinyatakan : ∆ C 0,4343 ∆ T

      = x C log T T

      ……… ………………………… (9) ∆T adalah harga rentang skala transmitan terkecil dari alat yang masih dapat terbaca pada analisis dengan metode spektrofotometri UV-Vis. Dari rumus di atas dapat diperhitungkan kesalahan pembacaan A atau T pada analisis dengan spektrofotometri UV-Vis. Pembacaan A (0,2-0,8) atau %T (15-65%) akan memberikan persentase kesalahan analisis yang dapat diterima (0,5-1%) untuk