BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan - DIAN FITRI APRILIANI BAB II

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan Penelitian tentang gaya bahasa pernah dilakukan oleh Hendra Bharata. Penelitian tersebutu tentang gaya bahasa sindiran pada rubrik komik. Penelitian

  tersebut berjudul Gaya Bahasa Sindiran pada Rubrik Kartun Terbitan Kompas Edisi April-Juni 2014. Penelitian tersebut merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini berupa wacana kartun yang mengandung gaya bahasa sindiran pada rubrik kartun terbitan Kompas edisi April-Juni 2014. Penelitian ini menggunakan tiga tahap penelitian yaitu tahap. Pada tahap penyediaan data, peneliti menggunakan teknik simak, dan teknik lanjutannya yaitu teknik simak bebas libat cakap. Dalam tahap analisis data, peneliti menggunakan metode agih dengan teknik dasar yaitu teknik bagi unsur langsung (teknik BUL). Adapun teknik lanjutannya yakni menggunakan teknik ganti. Dalam tahap penyajian hasil analisis data, peneliti menggunakan metode informal. Hasil dari penelitian tersebut adalah pada rubrik kartun terbitan Kompas terdapat 4 jenis gaya bahasa sindiran dan 3 fungsi gaya bahasa. Jenis gaya bahasa sindiran yang ditemukan adalah ironi, sinisme, sarkasme, inuendo. Ironi, data yang ditemukan sebanyak 12 data. Sinisme, data yang ditemukan sebanyak 23 data. Sarkasme, data yang ditemukan sebanyak 12 data. Inuendo, data yang ditemukan sebanyak 5 data. Selain itu ditemukan 3 fungsi gaya bahasa meliputi personal, instrumental, imajinatif. Personal, data yang ditemukan sebanyak 15 data. Instrumental, data yang ditemukan sebanyak 7 data, imajinatif, data yang ditemukan sebanyak 7 data. Kesamaan atau relevansi penelitian yang berjudul Gaya Bahasa

  9 Sindiran pada Rubrik Kartun Terbitan Kompas Edisi April-Juni 2014 dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah sama-sama meneliti masalah gaya bahasa.

  Perbedaannya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Hendra Bharata membahas gaya bahasa sindiran pada rubrik kartun terbitan Kompas dengan menggunakan metode agih, sedangkan pada peneliti membahas gaya bahasa sindiran dalam rubrik komik “Cempluk” pada tabloid Cempaka dengan menggunakan metode padan.

  Penelitian serupa juga dilakukan oleh Dewi Widyantika Eka Putri berjudul Gaya Bahasa Sindiran pada Novel Pelangi di Pasar Kembang Karya Dion Febrianto (Sebuah Kajian Stilistika). Penelitian tersebut memperoleh hasil, (1) gaya bahasa sindiran yang terdapat dalam Novel Pelangi di Pasar Kembang karya Dion Febrianto, meliputi gaya bahasa ironi, sinisme, sarkasme, antifrasis, dan inuendo. Gaya bahasa yang paling banyak digunakan dalam novel tersebut adalah gaya bahasa sindiran ironi (6 data atau 35, 29%), sedangkan gaya bahasa sindiran yang paling sedikit digunakan adalah gaya bahasa sindiran inuendo dan antifrasis (1 data atau 5, 88%), (2) dari segi fungsi bahasa, ditemukan gaya bahasa sindiran dengan fungsi emotif, retorikal, interpersonal, dan fungsi imajinatif. Fungsi bahasa yang paling banyak digunakan dalam gaya bahasa sindiran adalah fungsi imajinatif (10 data atau 58, 82%), karena pengarang menggunakan gaya bahasa tersebut hanya sebagai gurauan untuk kesenangan penutur atau pendengarnya saja. Fungsi bahasa yang paling sedikit digunakan yaitu fungsi emotif (2 data atau 11, 76%). Kesamaan atau relevansi penelitian yang berjudul “Gaya Bahasa Sindiran pada Novel Pelangi di Pasar

  Kembang

  Karya Dion Febrianto (Sebuah Kajian Stilistika)”dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah sama-sama meneliti masalah gaya bahasa sindiran.

  Perbedaannya yaitu penelitian yang dilakukan Dewi Widyantika Eka Putri membahas gaya bahasa sindiran dalam Novel Pelangi di Pasar Kembang Karya Dion Febrianto, sedangkan pada peneliti membahas gaya bahasa sindiran dalam rubrik komik “Cempluk” tabloid Cempaka.

B. Gaya Bahasa 1. Pengertian Gaya Bahasa Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style.

  Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak penggunaannya dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah (Keraf, 2010:112). Menurut Sudaryat (2009:92) majas atau gaya bahasa (Ing: style) adalah bahasa berkias yang disusun untuk meningkatkan efek dan asosiasi tertentu. Persoalangaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan yaitu: pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan. Bahkan, nada yang tersirat di balik sebuah wacana termasuk pula persoalan gaya bahasa. Jadi, jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung corak-corak tertentu, seperti yang umum terdapat dalam retorika-retorika klasik (Keraf, 2010:112).

  Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang mengunakan bahasa itu. Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya; semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian diberikan padanya (Keraf, 2010:113). Depdikbud (dalam Pateda, 2001:233) secara leksikologis yang dimaksud dengan gaya bahasa, yakni: (1) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis, (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, (3) keseluruhan ciri bahasa, (4) cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan. Slamet Muljana (dalam Waridah, 2016:364) mengemukakan gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca.

  Gaya bahasa disebut pula majas. Gaya bahasa adalah bahasa kias dan indah yang digunakan untuk mempercantik susunan kalimat yang dipergunakan untuk tujuan menimbulkan kesan imajinatif serta mampu menciptakan efek-efek tertentu baik itu melalui lisan atau tertulis untuk pembaca dan pendengarnya (Tim Ilmu Bahasa, 2016:71). Gaya bahasa seseorang pada saat mengungkapkan perasaannya, baik secara lisan maupun tulisan dapat menimbulkan reaksi pembaca berupa tanggapan. Menurut Minderop (2011:51) gaya bahasa adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa yang biasa digunakan dalam gaya tradisional dan literal untuk menjelaskan orang atau objek. Beberapa definisi mengenai gaya bahasa yang dikemukakam oleh Ratna (2013:10) adalah sebagai berikut: (1) ilmu tentang gaya bahasa, (2) ilmu interdisipliner antara linguistik dengan sastra, (3) ilmu tentang penerapan kaidah-kaidah linguistik dalam penelitian gaya bahasa, (4) ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, (5) ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, dengan mempertimbangkan aspek-aspek keindahannya sekaligus latar belakang sosialnya.

  Dari pengertian gaya bahasa di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah perwujudan penggunaan bahasa oleh seorang penulis untuk mengungkapkan gagasan, pendapat, pikiran, dan perasaan. Pengungkapannya dalam bentuk tulisan maupun lisan dengan kata-kata indah. Cara pengungkapannya tidak hanya menggunakan kata-kata, melainkan menggunakan frasa, kalusa, dan kalimat. Menggunakan gaya bahasa berdasarkan perasaan dari hati seorang penulis (pemakai bahasa) untuk menimbulkan suatu perasaan dalam hati pembaca. Penggunaan gaya bahasa dapat menilai watak, pribadi, dan kemampuan seseorang (pemakai bahasa).

2. Sendi Gaya Bahasa

  Menurut Keraf (2010:113-115) sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik. Sejalan dengan Keraf, Sudaryat (2009:92) berpendapat bahwa terdapat syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh sebuah majas yang baik, ialah kejujuran, sopan-santun, dan menarik. Kejujuran adalah suatu pengorbanan, karena kadang-kadang ia meminta kita melaksanakan sesuatu yang tidak menyenangkan diri kita sendiri. Kejujuran dalam bahasa berarti: kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Pemakaian kata-kata yang kabur dan tak terarah, serta penggunaan kalimat yang berbelit-belit, adalah jalan untuk mengundang ketidakjujuran. Di pihak lain, pemakaian bahasa yang berbelit-belit menandakan bahwa pembicara atau penulis tidak tahu apa yang akan dikatakannya. Ia mencoba menyembunyikan kekurangannya di balik berondongan kata-kata hampa. Bahasa adalah alat untuk kita bertemu dan bergaul. Sebab itu, ia harus digunakan pula secara tepat dengan memperhatikan sendi kejujuran.

  Sopan-santun adalah memberi penghargaan atau menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca. Rasa hormat dalam gaya bahasa dimanifestasikan melalui kejelasan dan kesingkatan. Menyampaikan sesuatu secara jelas berarti tidak membuat pembaca atau pendengar memeras keringat untuk mencari tahu apa yang ditulis atau dikatakan. Kejelasan akan diukur dalam beberapa butir kaidah berikut, yaitu: (1) kejelasan dalam struktur gramatikal kata dan kalimat, (2) kejelasan dalam korespondensi dengan fakta yang diungkapkan melalui kata-kata atau kalimat tadi, (3) kejelasan dalam pengurutan ide secara logis, (4) kejelasan dalam penggunaan kiasan dan perbandingan. Kesingkatan sering jauh lebih efektif daripada jalinan yang berliku-liku. Kesingkatan dapat dicapai melalui usaha untuk mempergunakan kata-kata secara efisien, meniadakan penggunaan dua kata atau lebih yang bersinonim secara longgar, menghindari tautologi; atau mengadakan repetisi yang tidak perlu. Di antara kejelasan dan kesingkatan sebagai ukuran sopan-santun, syarat kejelasan masih jauh lebih penting daripada syarat kesingkatan.

  Kejujuran, kejelasan serta kesingkatan harus merupakan langkah dasar dan langkah awal. Bila seluruh gaya bahasa hanya mengandalkan kedua (atau ketiga) kaidah tersebut di atas, maka bahasa yang digunakan masih terasa tawar, tidak menarik. Sebab itu, sebuah gaya bahasa harus pula menarik. Sebuah gaya yang menarik dapat diukur melalui beberapa komponen berikut: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup (vitalitas), dan penuh daya khayal (imajinasi).

  Penggunaan variasi akan menghindari monotoni dalam nada, struktur, dan pilihan kata. Untuk itu, seorang penulis perlu memiliki kekayaan dalam kosa kata, memiliki kemauan untuk mengubah penjang pendeknya kalimat, dan struktur-struktur morfologis. Humor yang sehat berarti: gaya bahasa itu mengandunng tenaga untuk menciptakan rasa gembira dan nikmat. Vitalitas dan daya khayal adalah pembawaan yang berangsur-angsur dikembangkan melalui pendidikan, latihan, dan pengalaman.

3. Jenis-jenis Gaya Bahasa

  Menurut Waridah (2016:364) secara garis besar, gaya bahasa terdiri atas empat jenis, yaitu majas penegasan, majas pertentangan, majas perbandingan, dan majas sindiran. Begitu pula menurut Ratna (2013:439) majas dibedakan menjadi empat macam, yaitu: penegasan, perbandingan, pertentangan, dan sindiran (dihimpunan dari berbagai sumber, khususnya Gorys Keraf (1996), disusun secara alfabetis). Menurut Fitri (2015:100-107) gaya bahasa (majas) terdiri atas empat bagian, yaitu majas penegasan, majas sindiran, majas pertentangan, dan majas perbandingan. Sejalan dengan Keraf, Ganesha Operation (2012:169-170) mengemukakan bahwa gaya bahasa dibagi menjadi empat bagian, yaitu gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa penegasan, gaya bahasa pertentangan, dan gaya bahasa sindiran.

  Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandangan. Oleh sebab itu, sulit diperoleh kata sepakat mengenai suatu pembagian yang bersifat menyeluruh dan dapat diterima oleh semua pihak. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dibedakan menjadi dua, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa retoris terdiri atas aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis,

  

apostrof, asindenton, polisindenton, kiasmus, elipsis, eufemismus, litotes, histeron,

pleonasme, perifasis, prolefsis, erotesis, silepsis, koreksio, hiperbola . Sedangkan gaya

  bahasa kiasan terdiri atas persamaan, metafora, alegori, personifikasi, metonimia,

  

ironi, sarkasme, inuendo, dan antifrasis. Menurut Waridah (2016:372) gaya bahasa

  sindiran terdiri atas ironi, sarkasme, sinisme, antifrasis, dan inuendo. Pandangan- pandangan atau pendapat-pendapat tentang gaya bahasa sejauh ini sekurang- kurangnya dapat dibedakan, pertama, dilihat dari segi nonbahasa, dan kedua dilihat dari segi bahasanya sendiri (Keraf, 2010:116). Dilihat dari sudut bahasa atau unsur- unsur bahasa yang digunakan, maka gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang dipergunakan, yaitu: (1) gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, (2) gaya bahasa berdasarkan nada yang terkadung dalam wacana, (3) gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, (4) gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.

a. Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata

  Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang paling tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat (Keraf, 2010:117). Dengan kata lain, gaya bahasa ini mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. Dalam hal ini, kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang dalam mempergunakan gaya bahasa ketika menghadapi situasi-situasi tertentu. Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi, dan gaya bahasa percakapan.

1) Gaya Bahasa Resmi

  Gaya bahasa resmi menurut Keraf (2010:117) adalah gaya dalam bentuknya yang lengkap, gaya bahasa yang digunakan dalam situai resmi. Contohnya yaitu pada saat amanat kepresidenan, berita negara, khotbah-khotbah mimbar, pidato, artikel- artikel yang bersifat serius atau esai yang memuat subyek-subyek penting. Gaya bahasa resmi menggunakan gaya bahasa dengan gaya tulisan dalam tingkat tertinggi dan sering digunakan dalam pidato-pidato umum. Lalu contoh yang lain yaitu pada Mukadimah UUD ‟45. Dapat dikatakan bahwa nadanya bersifat mulia dan serius. Kecenderungan kalimatnya adalah panjang-panjang dan biasanya mempergunakan inversi. Tata bahasanya lebih bersifat konservatif dan sering sintaksisnya agak kompleks. Gaya ini memanfaatkan secara maksimal segala perbendaharaan kata yang ada, dan memilih kata-kata yang tidak membingungkan. Selain itu, gaya bahasa resmi juga memanfaatkan bidang-bidang bahasa yang lain, seperti nada, tata bahasa, dan tata kalimat. Namun, unsur yang paling penting adalah pilihan kata yang diambil dari bahasa baku.

2) Gaya Bahasa Tak Resmi

  Gaya bahasa tak resmi menurut Keraf (2010:118)adalah gaya bahasa yang umum dan normal bagi kaum terpelajar. Menurut sifatnya, gaya bahasa tak resmi ini dapat juga memperlihatkan suatu jangka variasi, mulai dari bentuk informal yang paling tinggi (yang sudah bercampur dan mendekati gaya resmi) hingga gaya bahasa tak resmi yang sudah bertumpang tindih dengan gaya bahasa percakapan kaum terpelajar. Gaya bahasa tak resmi biasanya dipergunakan dalam karya-karya tulis, buku-buku pegangan, artikel dalam perkuliahan. Pilihan kata yang digunakan lebih sederhana dan santai, serta kalimatnya lebih singkat dibandingkan dengan gaya bahasa resmi. Sebagai pengguna bahasa tidak boleh menyimpulkan bahwa tulisan-tulisan dengan gaya bahasa resmi lebih bagus dari tulisan-tulisan dengan gaya bahasa tak resmi, atau sebaliknya. Secara ideal, penggunaan gaya bahasa disesuaikan dengan situasi dan topiknya, serta pembaca atau pendengar. Bagi pendengar atau pembaca tertentu gaya dan kelincahan bahasa resmi lebih menarik. Tetapi bagi pendengar atau pembaca yang lain dalam situasi yang sama, kejelasan dan kemudahan untuk menangkap maknanya lebih penting. Karenanya, mereka lebih menyukai gaya bahasa tak resmi.

3) Gaya Bahasa Percakapan

  Pilihan kata dalam gaya bahasa percakapan menurut Keraf (2010:120) adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Namun, di sini harus ditambahkan segi- segi morfologis dan sintaksis, secara bersama-sama membentuk gaya bahasa percakapan ini. Jika dibuat perbandingan, gaya bahasa resmi diumpamakan sebagai pakaian resmi, pakaian upacara; dan gaya bahasa tak resmi diumpamakan sebagai pakaian kerja (berpakaian secara baik), maka gaya bahasa percakapan ini dapat diumpamakan sebagai dalam pakaian sport.

b. Gaya Bahasa Berdasarkan Nada Yang Terkadung Dalam Wacana

  Gaya bahasa berdasarkan nada tergantung pada sugesti yang dipancarkan dari rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Seringkali sugesti ini akan lebih nyata kalau diikuti dengan sugesti suara dari pembicara. Menurut Keraf (2010:121)antara rangkaian kata yang terkandung dalam wacana dengan sugesti suara dari pembicara memiliki hubungan yang erat. Hubungan tersebut akan menghidupkan wacana yang dibaca menggunakan suara dan nada yang tepat. Jenis gaya bahasa berdasarkan nada dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga, dan gaya menengah.

  1) Gaya Sederhana

  Gaya ini dipakai dalam memberikan instruksi, perintah, pelajaran, dan sebagainya. Menurut Keraf (2010:121) gaya ini juga digunakan untuk menyampaikan fakta atau pembuktian-pembuktian. Untuk membuktikan sesuatu, kita tidak perlu memancing emosi dengan menggunakan gaya mulia dan bertenaga. Apabila untuk maksud-maksud tersebut kita menggunakan emosi, maka fakta atau jalan pembuktian akan merosot peranannya. Gaya ini dapat memenuhi keinginan dan keperluan dalam penggunaan tanpa bantuan gaya mulia dan bertenaga.

  2) Gaya mulia dan bertenaga

  Gaya mulia dan bertenaga penuh dengan vitalitas dan energi, dan biasanya dipergunakan untuk menggerakkan sesuatu (Keraf, 2010:122). Menggerakkan sesuatu tidak saja dengan menggunakan tenaga dan vitalitas pembicara, tetapi juga mempergunakan nada keagungan dan kemuliaan. Nada yang agung dan mulia akan sanggup pula menggerakkan emosi setiap pendengar. Dalam keagungan terselubung sebuah tenaga yang halus tetapi aktif.

  3) Gaya menengah

  Menurut Keraf (2010:122) gaya menengah adalah gaya yang diarahkan kepada usaha untuk menimbulkan suasana senang dan damai. Tujuan dari gaya menengahyaitu menciptakan suasana senang dan damai, maka nadanya juga bersifat lemah lembut, penuh kasih sayang, dan mengandung humor yang sehat. Pada kesempatan-kesempatan khusus seperti pesta, pertemuan, dan rekreasi, orang lebih menginginkan ketenangan dan kedamaian. Akan ganjil rasanya apabila suatu pesta pernikahan ada orang yang memberi sambutan berapi-api, mengeluarkan segala emosi dan tenaga untuk menyampaikan sepatah kata. Sifatnya yang lemah lembut dan sopan santun, maka gaya ini biasanya mempergunakan metafora dalam memilih kata. Lebih menarik bila mempergunakan perlambang-perlambang. Kata-kata seolah-olah mengalir dengan lemah lembut bagaikan sungai yang jernih, bening airnya dalam bayangan dedaunan yang hijau di hari cerah.

  c. Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat

  Struktur sebuah kalimat dapat dijadikan landasan untuk menciptakan gaya bahasa. Struktur kalimat merupakan tempat sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat tersebut. Ada kalimat yang bersifat periodik, apabila yang terpenting atau gagasan yang mendapat penekanan di tempatkan pada akhir kalimat. Ada kalimat yang bersifat kendur, yaitu bila bagian kalimat yang mendapat penekanan ditempatkan pada awal kalimat. Bagian-bagian yang kurang penting atau semakin kurang penting dideretkan sesudah bagian yang dipentingkan tadi. Jenis yang ketiga adalah kalimat

  

berimbang , yaitu kalimat yang mengandung dua bagian atau lebih yang

  kedudukannya sama tinggi atau sederajat. Jenis gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dapat dibedakan menjadi lima jenis, yaitu klimaks, antiklimaks, paralelisme, antisesis, dan repetisi (Keraf, 2010:124).

  d. Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna

  Menurut Keraf (2010:129) gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Bila acuan yang digunakan itu mempertahankan makna dasar, maka bahasa itu masih bersifat polos. Tetapi bila sudah ada perubahan makna, entah berupa makna konotatif atau sudah menyimpang jauh dari makna denotatifnya, maka acuan itu dianggap sudah memiliki gaya bahasa.

  Jenis gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dapat dibedakan menjadi dua, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan (a) gaya bahasa retoris terdiri atas aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis, apostrof, asindenton, polisidenton, kiasmus, alipsis, aufemismus, litotes, histeron, pleonasme, perifasis, prolefsis, arotesis, silepsis, koreksio, hiperbola; dan (b) gaya bahasa kiasan terdiri atas persamaan, metafora, alegori, personifikasi, metonimia, ironi, sarkasme, inuendo, antifrasis.

C. Gaya Bahasa Sindiran

  Gaya bahasa sindiran ialah kata-kata berkias yang menyatakan sindiran untuk meningkatkan kesan dan pengaruhnya terhadap pendengar atau pembaca (Fitri, 2015:102). Menurut Tim Ilmu Bahasa (2016:77) gaya bahasa atau majas sindiran ialah kata-kata berkias yang menyatakan sindiran untuk meningkatkan kesan dan pengaruhnya terhadap pendengar atau pembaca. Majas sindiran dibagi menjadi 5, yaitu: ironi, sinisme, sarkasme, satire, dan inuendo. Gaya bahasa sindiran menurut Fitri (2015:102) terdiri atas ironi, sinisme, dan sarkasme. Sejalan dengan Fitri, Pusat Bimbingan Belajar Ganesha Operation (2012:170) gaya bahasa sindiran terbagi atas gaya bahasa ironi, sinisme, dan sarkasme. Menurut Ratna (2013:447) majas sindiran ada 6, yaitu antifrasis, inuendo, ironi, permainan, sarkasme, dan sinisme. Sedangkan menurut Waridah (2016:372) gaya bahasa sindiran terdiri atas ironi, sarkasme, sinisme, antifrasis, dan inuendo. Oleh karena itu berikut penulis paparkan jenis gaya bahasa yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menurut Waridah antara lain: ironi, sarkasme, sinisme, antifrasis, dan inuendo.

1. Ironi Ironi diturunkan dari kata eironeia yang berarti penipuan atau pura-pura.

  Sebagai bahasa kiasan, ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi merupakan suatu upaya literer yang efektif karena ia menyampaikan impresi yang mengandung pengekangan yang besar. Entah dengan sengaja atau tidak, rangkaian kata-kata yang dipergunakan itu mengingkari maksud yang sebenarnya. Sebab itu, ironi akan berhasil kalau pendengar juga sadar akan maksud yang disembunyikan di balik rangkaian kata-katanya (Keraf, 2009:143). Rakhmat (2006:130) berpendapat bahwa ironi (berasal dari kata Yunani eiron “seseorang yang mengatakan lebih sedikit dari apa yang dipikirkan”) adalah penggunaan kata-kata untuk menyampaikan makna yang bertentangan dengan makna harfiahnya. Ironi adalah sindiran halus (Ratna, 2013:447). Menurut Fitri (2015:102) ironi adalah majas yang menyatakan hal yang bertentangan dengan maksud menyindir. Sedangkan pendapat Waridah (2016:372) ironi adalah gaya bahasa untuk mengatakan suatu maksud menggunakan kata-kata yang berlainan atau bertolak belakang dengan maksud tersebut. Contoh dari gaya bahasa ironi: Rapi sekali

  

kamarmu sampai-sampai tidak satupun sudut ruangan yang tidak ditutupi sampah

kertas. Rapi sekali berarti tempat yang bersih dan tertata rapi. Hal yang berlawanan

  dengan rapi sekali adalah tidak satupun sudut ruangan yang tidak tertutupi sampah

  

kertas . Penggunaan kata rapi sekali, tidak secara langsung menyebutkan kata kotor

(ruangan kotor). Namun, bagian kalimat tidak satupun sudut ruangan yang tidak

tertutupi sampah kertas menyebutkan bahwa ruangan tersebut sangat kotor. Jadi, dapat disimpulkan ironi adalah sindiran halus bertujuan untuk menyatakan sesuatu dengan menggunakan kata-kata yang bertentangan atau bertolak belakang dengan maksud yang ingin disampaikan.

2. Sarkasme

  Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Ia adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Sarkasme dapat saja bersifat ironis, dapat juga tidak, tetapi yang jelas adalah bahwa gaya ini selalu akan menyakiti hati dan kurang enak didengar. Kata sarkasme diturunkan dari kata Yunani sarkasmos, yang lebih jauh diturunkan dari kata kerja sakasein yang berarti “merobek-robek daging seperti anjing”, “menggigit bibir karena marah”, atau “berbicara dengan kepahitan”. MenurutRatna (2013:447) berpendapat bahwa sarkasme adalah sindiran kasar. Selaras dengan pendapat Ratna, Tim Ilmu Bahasa (2016:78) sarkasme adalah majas sindiran yang paling kasar. Sarkasme adalah majas sindiran yang biasanya diucapkan oleh orang yang sedang marah (Fitri, 2015:102).

  Sedangkan menurut Waridah (2016:372) sarkasme adalah gaya bahasa yang berisi sindiran kasar. Contoh dari gaya bahasa sarkasme: Mulutmu harimaumu. Mulut adalah alat ucap manusia, sedangkan harimau adalah binatang yang menakutkan. Ungkapan tersebut dapat diartikan bahwa dalam berbicara kita harus hati-hati, karena apa yang kita ucapkan dapat saja menjatuhkan diri sendiri. Pada kalimat di atas, mulut

  

manusia disamakan dengan harimau karena kata-kata yang dikeluarkan dari mulut

  manusia dapat menjatuhkan dirinya sendiri. Jadi, dapat disimpulkan sarkasme adalah sindiran yang kasar, mengandung kepahitan dan celaan untuk mengungkapkan rasa marah. Gaya bahasa ini kurang enak didengar sehingga menyakiti hati.

  3. Sinisme

  Sinisme diartikan sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Sinisme diturunkan dari nama aliran filsafat Yunani yang mula-mula mengajarkan bahwa kebajikan adalah satu-satunya kebaikan, serta hakikatnya terletak dalam pengendalian diri dan kebebasan. Selanjutnya, mereka menjadi kritikus yang keras atas kebiasaan-kebiasaan sosial dan filsafat-filsafat lainnya (Keraf, 2009:143). Menurut Ratna (2013:447) sinisme adalah sindiran agak kasar. Sinisme adalah majas yang menyatakan sindiran secara langsung (Fitri, 2015:102). Sedangkan Waridah (2016:372) menyebutkan bahwa sinisme merupakan sindiran yang berbentuk kesangsian terhadap cerita atau mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Contoh dari gaya bahasa sinisme: Memang Anda adalah seorang gadis yang tercantik di seantero jagad ini

  

yang mampu menghancurkan seluruh isi jagad ini. Tuturan tersebut

  menggambarkan seorang wanita pekerja tuna susila, karena dengan kecantikan yang dia miliki, dia dapat melakukan apa saja termasuk menghancurkan generasi muda. Hal inilah yang menyebabkan moral masyarakat dan moral bangsa menjadi hancur. Gadis

  

tercantik dapat diartikan sebagai gadis yang pekerjaannya adalah sebagai kupu-kupu

  malam (wanita tuna susila), pekerjaan mereka selalu menggoda para lelaki atau pun menjajakan dirinya di pinggir jalan. Jadi, dapat disimpulkan sinisme adalah sindiran secara langsung, agak kasar dan berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan secara langsung.

  4. Antifrasis

  Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, atau kata- kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya (Keraf 2009:145). Menurut Ratna (2013:447) antifrasis adalah sindiran dengan makna berlawanan. Selaras dengan Ratna, Waridah (2016:372) mengemukakan bahwa antifrasis adalah gaya bahasa ironi dengan kata atau kelompok kata yang maknanya berlawanan. Contoh dari antifrasis: Lihatlah sang Raksasa telah tiba (maksudnya si

  

Cebol). Raksasa adalah sosok yang sangat besar dan menakutkan, tetapi pada contoh

  tersebut maksudnya adalah si Cebol, yang artinya pendek sekali. Bila diketahui yang datang adalah seorang Cebol, maka contoh tersebut jelas disebut antifrasis karena tidak memiliki maksud agar pembaca melakukan sesuatu terhadap hal yang bersangkutan. Dapat disimpulkan antifrasis adalah sindiran semacam ironi dengan menggunakan kata yang mengasilkan makna berlawanan. Gaya bahasa antifrasis hanya mengungkapkan sindiran dengan makna yang berlawanan tidak memiliki maksud yang lain. Antifrasis akan diketahui dengan jelas, bila pembaca atau pendengar mengetahui bahwa yang dikaitkan itu adalah sebaliknya. Berbeda dengan gaya bahasa ironi, selain menyindir halus dengan tujuan untuk menyatakan hal yang bertentangan juga memiliki maksud agar pembaca melakukan sesuatu terhadap hal yang bersangkutan.

5. Inuendo

  Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati kalau dilihat sambil lalu (Keraf, 2009:144). Menurut Tim Ilmu Bahasa (2016:78) inuendo adalah sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya. Inuendo adalah sindiran berupa mengecilkan keadaan yang sesungguhnya (Ratna, 2013:447). Waridah (2016:373) menjelaskan bahwa inuendo adalah sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya. Contoh dari gaya bahasa inuendo: Setiap kali ada pesta, pasti ia akan mabuk karena

  

terlalu banyak minum. Minum adalah suatu kegiatan yang selalu kita lakukan setiap

  hari. Namun, minum yang dimaksud di sini adalah minum alkohol yang dapat menyebabkan orang bisa menjadi mabuk. Jadi dapat disimpulkan inuendo adalah sindiran dengan mengecilkan kenyataan atau fakta yang sesungguhnya.