BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevan - Nurva Ringga Romadhona BAB II
BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevan Penelitian yang telah dilaksanakan oleh Ipit Dyarini Purnomo tahun
2002, dengan judul Kajian Pragmatik Wacana Kartun Pak Bei Terbitan Suara
Merdeka Periode Februari
- – Mei 2001 dilakukan untuk mendeskripsikan
bentuk kepragmatikan wacana kartun Pak Bei. Bentuk tersebut berupa tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi, presuposisi, implikatur, entailment, prinsip kerja sama, dan prinsip kesopanan. Dari segi tipe wacana, wacana kartun Pak
- – Bei merupakan wacana kartun dialog karena menampilkan sekurang kurangnya dua tokoh yang berinteraksi secara verbal.
Sri Elsita Lisan Ningrum pada tahun 2005 melakukan penelitian yang berjudul Analisis Kohesi Wacana Kartun Majalah Bobo, dia menyimpulkan bahwa terdapat beberapa penanda kohesi pada wacana kartun majalah bobo, diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti, penanda kohesi subsitusi / penggantian, penanda kohesi ellipsis / pelesapan, penanda kohesi konjungsi / perangkai, dan penanda kohesi leksikal. Pada setiap penanda tersebut datanya dijabarkan secara jelas dan rinci.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Entin Atikasari tahun 2012, dengan berjudul
Kesantunan Berbahasa Dalam Acara Diskusi “Indonesia Lawyers Club” di Stasiun TV ONE. Penelitian tersebut dilakukan untuk
mendeskripsikan kepatuhan prinsip kesantunan berbahasa, penyimpangan
13 prinsip kesantunan berbahasa, serta tingkat kesantunan berbahasa dalam acara diskusi “Indonesia Lawyers Club” di stasiun TV ONE. Dari hasil penelitian tersebut diharapkan kesantunan berbahasa seseorang di mana pun, kapan pun, dan dengan siapapun harus dijaga, sehingga komunikasi yang harmonis akan tetap terjaga.
Penelitian yang peneliti lakukan dengan judul “Pelanggaran Prinsip
- – Kesantunan di dalam Wacana Kartun Terbitan Kompas Periode Oktober Desember 2013
” bertujuan untuk mendeskripsikan pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa di dalam wacana kartun terbitan Kompas periode Oktober
- – Desember 2013 yang meliputi (1) maksim kebijaksanaan (tact
maxim ), (2) maksim kedermawanan (generosity maxim), (3) maksim
penghargaan (approbation maxim), (4) maksim kesederhanaan (modesty
maxim) , (5) maksim pemufakatan (agreement maxim), dan (6) maksim simpati (sympath maxim) . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian yang
peneliti lakukan berbeda dengan penelitian Ipit Dyarini Purnomo, Sri Elsita Lisan Ningrum, dan Entin Atikasari. Di dalam bab hasil penelitian, peneliti akan menjelaskan hasil penelitian dari permasalahan yang ada di atas.
B. Pragmatik
Menurut Leech (2011: 5) pragmatik sebagai pokok bahasan utama dalam buku yang menyelidiki makna dalam konteks penggunaan bahasa dan bukan makna sesuatu yang abstrak. Sementara itu Yule (2006: 3) mengemukakan bahwa pragmatik adalah studi tentang maksud penutur yang ditafsirkan oleh pendengar. Sebagai akibatnya, studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan
- – tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri. Sedangkan Levinson (dalam Rahardi, 2005: 48) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa pragmatik dapat diartikan sebagai kajian penggunaan bahasa dalam konteks yang mendasari penjelasan mengenai makna bahasa dalam hubungannya dengan konteks penggunaan bahasa. Pragmatik berkaitan dengan ilmu lain sehingga menghasilkan beberapa kajian. Seluruh bidang kajian ini berpokok pada penggunaan bahasa dalam konteks.
C. Kesantunan Berbahasa 1. Pengertian Kesantunan Berbahasa
Lakoff (dalam Eelen, 2006: 2) mendefinisikan kesantunan sebagai sistem hubungan interpersonal yang dirancang untuk mempermudah interaksi dengan memperkecil potensi bagi terjadinya konflik dan konfrontasi yang selalu ada dalam semua pergaulan manusia. Dari hubungan tersebut, orang dapat memahami maksud satu sama lain di luar kata
- – kata harfilah yang diucapkan. Namun demikian, dalam percakapan informal biasa, seseorang akan berusaha mengkomunikasikan pesan secara langsung. Jika tujuan utamanya
Tujuan utama kesantunan penutur adalah untuk memberikan arah di antara masing
- – masing status para partisipan dalam wacana yang menunjukkan di mana masing
- – masing dalam perkiraan penutur akan berupa pencapaian kejelasan yang lebih kecil daripada ekspresi kesantunan sebagai lawannya. Dengan demikian, jika penutur sangat jelas, maka mungkin mereka sedang berusaha untuk tidak melakukan sesuatu yang membuat orang marah. Sebab, sebuah tuturan dapat dikatakan santun apabila tuturan itu tidak terdengar memaksa atau angkuh sehingga lawan tutur merasa tenang.
2. Prinsip Kesantunan Berbahasa Leech
Prinsip kesantunan (politiness principle) berkenaan dengan aturan tentang hal
- – hal yang bersifat sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak tutur. Leech (Rahardi, 2005: 59) merumuskan prinsip kesantunan yang sampai saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan, dan relatif paling komprehensif. Rumusan itu selengkapnya tertuang dalam enam maksim interpersonal sebagai berikut : (1) maksim kebijaksanaan (tact maxim), (2) maksim kedermawanan (generosity maxim), (3) maksim penghargaan
(approbation maxim) , (4) maksim kesederhanaan (modesty maxim), (5) maksim pemufakatan (agreement maxim), dan (6) maksim simpati (sympath maxim).
g. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
Prinsip kesantunan maksim kebijaksanaan memuat saran agar penutur membuat kerugian orang lain sekecil mungkin dan membuat keuntungan orang lain sebesar mungkin. Tuturan impositif dan komisif lazim digunakan untuk menyatakan tuturan yang mematuhi maksim ini. Apabila penutur menyimpang dari saran yang ada, penutur dapat dikatakan melanggar maksim kebijaksanaan. Tindakan ini dapat dinilai berdasarkan anggapan apakah tindakan tersebut menguntungkan atau merugikan. Namun setiap peserta tutur untuk meminimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan orang lain (Rahardi, 2005: 60). Sementara itu, Oka (2011: 116) mendefinisikan maksim kebijaksanaan atau yang disebut maksim kearifan mengacu pada tindakan yang akan dilaksanakan oleh penutur (komisif) atau oleh petutur (direktif). Tindakan ini dapat disebut dan dapat dinilai berdasarkan anggapan tindakan tersebut menguntungkan atau merugikan.
Dari dua pendapat para ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa maksim kebijaksanaan dapat diartikan sebagai suatu tuturan yang mengacu pada tindakan yang dilaksanakan oleh penutur kepada mitra tutur. Tindakan penutur agar mengurangi kerugian orang lain atau mitra tuturnya dan menambahkan keuntungan orang lain sebanyak mungkin. Berikut ini contoh tuturan (1) B mematuhi prinsip kesantunan, sedangkan tuturan (2) B melanggar maksim kebijaksanaan : (1) A : Mari, saya antarkan Anda ke kampus.
B : Jangan, tidak usah! (2) A : Mari, saya antarkan Anda ke kampus. B : Asyik, itu baru namanya sahabat yang baik!
Dalam tuturan (1) B mematuhi maksim kebijaksanaan karena penutur meminimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan pada mitra tutur. Pemaksimalan keuntungan pada mitra tutur tampak pada tuturan (1)
B, yakni Jangan, tidak usah!. Tuturan itu disampaikan sekalipun penutur sebenarnya membutuhkan kendaraan agar segera sampai ke kampus.
Sebaliknya pada tuturan (2) B memaksimalkan kerugian orang lain dan meminimalkan keuntungan pada mitra tutur. Peminimalan keuntungan bagi mitra tutur tampak pada tuturan, yakni Asyik, itu baru namanya sahabat yang
baik! . Tuturan tersebut disampaikan sekalipun jarak masih dapat dijangkau
dengan berjalan kaki. Penyimpangan penutur dari saran maksim kebijaksanaan dapat dinilai berdasarkan tindakan menguntungkan atau merugikan.
h. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)
Menurut Rahardi (2005: 61) tentang prinsip kesantunan maksim kedermawanan ini terbagi dalam ujaran impositif dan komisif yaitu buatlah keuntungan kepada diri sendiri sekecil mungkin dan buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Tuturan maksim ini mewajibkan setiap peserta tutur untuk meminimalisir keuntungan diri sendiri sekecil mungkin dan memaksimalkan kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Begitu ditekannya sifat kedermawanan itu, penutur harus merelakan keuntungan yang maksimal berada pada mitra tuturnya. Dengan demikian tuturan dapat dikatakan melanggar prinsip kesantunan maksim kedermawanan apabila penutur tidak meminimalkan keuntungan kepada diri sendiri dan tidak memaksimalkan pihak lain.
Apabila setiap orang melaksanakan inti pokok maksim kedermawanan ini dalam ucapan dan perbuatan sehari
- – hari, maka kedengkian, iri hati, sakit hati antara sesama dapat terhindar. Perlu disadari bahwa dalam praktiknya terdapat aspek bilateral dalam tindak ujar impositif dan komisif. Bilateral berarti bahwa dalam praktiknya sedikit sekali manfaatnya membedakan yang
„terpusat pada orang lain‟ dalam maksim kebijaksanaan dari „yang berpusat pada diri sendiri‟, pada maksim kedermawanan Tarigan (2009: 77).
Dari pendapat dua para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa maksim kedermawanan memberi penghormatan terhadap orang lain apabila orang dapat mengurangi keuntungan untuk dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Dalam prakteknya sedikit manfaat untuk membedakan terpusat pada orang lain dan berpusat pada diri sendiri sehingga tidak perlu lagi dibedakan. Tuturan (3) B berikut ini memenuhi maksim kedermawanan, sedangkan tuturan (4) B melanggar. (3) A : Tulisanmu sangat rapi.
B : Saya kira biasa saja, Pak. (4) A : Tulisanmu sangat rapi.
B : Siapa dulu? Tuturan (3) B mematuhi maksim kedermawanan karena penutur mengurangi keuntungan diri sendiri sekecil mungkin. Kesantunan pembicara yang dilakukan dengan bahasa tutur untuk membuat kerugian sebesar mungkin. Keuntungan yang dilakukan penutur sementara itu, tuturan (4) B sebaliknya, membuat keuntungan kepada diri sendiri sebesar mungkin dan membuat kerugian diri sendiri sekecil mungkin. Dalam tuturan pembicara terlihat berusaha memaksimalkan keuntungan untuk dirinya sendiri tanpa memperoleh kerugian yang didapatkannya.
i. Maksim Penghargaan (Approbation Maxim)
Prinsip kesantunan ini diungkapkan dalam ilokusi
- – ilokusi ekspresif dan asertif yaitu kurangilah cacian pada orang lain dan tambahkan pujian pada orang lain. Dengan demikian, maksim ini berkenaan dengan masalah penjelekan dan pujian kepada pihak lain. Apabila penutur tidak meminimalkan penjelekan kepada pihak lain dan tidak memaksimalkan pujian kepada pihak lain,tuturannya dapat dikatakan sebagai tuturan yang melanggar maksim penghargaan (Rahardi, 2005: 62). Sementara itu, Oka (2011: 211) menyebutkan bahwa nama lain yang kurang baik, yakni, „Maksim Rayuan‟ tetapi istilah „rayuan‟ biasanya digunakan untuk pujian yang tidak tulus. Dalam aspeknya yang lebih negatif lagi, maksim ini melarang orang untuk berkata yang tidak menyenangkan mengenai orang lain terutama tentang penyimak.
Kesimpulan yang peneliti ambil dari dua pendapat ahli di atas yaitu penutur dituntut untuk dapat meminimalkan penjelekan kepada pihak lain dan memaksimalkan pujian kepada pihak lain. Seseorang dilarang berkata kurang menyenangkan mengenai orang lain, terutama orang itu seorang penyimak.
Ketika dalam hal memberikan pujian kepada pihak lain itu tidak tulus maka pujian itu merupakan sebuah rayuan. Tuturan (5) B berikut ini mematuhi maksim penghargaan, sebaliknya tuturan (6) B melanggar.
(5) A : Maaf Pak, lantainya kotor.
B : Terlalu bersih, sampai – sampai saya takut menginjaknya. (6) A : Maaf Pak, lantainya kotor.
B : Ya, memang lantai rumah ini tidak sebersih lantai rumah saya. Dalam tuturan (5) B mematuhi maksim penghargaan karena penutur mengurangi cacian pada orang lain dan menambahkan pujian pada orang lain sebanyak mungkin. Tuturan memaksimalkan pujian pada orang lain tersebut dituturkan saat ia berkunjung dan mendapati lantai yang bersih sehingga ia takut untuk menginjak lantai itu. Sebaliknya, tuturan (6) B melanggar maksim ini karena menambah cacian pada orang lain dan mengurangi pujian pada orang lain. Penyimpangan tuturan ditentukan berdasarkan pujian terhadap orang lain yang sesedikit mungkin atau yang dilakukan dengan tidak tulus. Dari tuturan “tidak sebersih lantai rumah saya” menggambarkan bahwa lantai rumah mitra tutur memang kotor apabila dibandingkan dengan lantai rumah penutur.
j. Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim)
Prinsip kesantunan maksim kesederhanaan ini diungkapkan dalam ilokusi
- – ilokusi ekspresif dan asertif yaitu kurangilah pujian pada diri sendiri dan tambahkan cacian pada diri sendiri. Hal ini terlihat dari kata yang menggambarkan kesederhanaan atau sikap yang tidak sombong. Penutur berusaha semaksimal mungkin agar tuturannya tidak terkesan menyombongkan diri. Tuturan dapat dikatakan melanggar prinsip kesantunan maksim kesederhanaan apabila tuturan tidak meminimalkan pujian kepada diri sendiri dan tidak memaksimalkan penjelekan kepada diri sendiri (Rahardi, 2005: 64).
Menurut Oka (2011: 214) maksim kesederhanaan tampak dalam bentuk
- – bentuk asimetris. Akan tetapi, terkadang maksim kesederhanaan berkonflik dengan maksim
- – maksim yang lain, dan bila demikian salah satu maksim harus diberi prioritas. Dari dua pendapat para ahli maka penulis menyimpulkan bahwa maksim kesederhanaan yaitu tuturan yang meminimalkan pujian kepada diri sendiri dan memaksimalkan penjelekan kepada diri sendiri. Namun untuk menghindari konflik maka maksim kesederhanaan perlu adanya prioritas lebih. Seperti contoh tuturan (7) dan (8) berikut ini mematuhi maksim kesederhanaan, sebaliknya tuturan (9) dan (10) melanggar. (7) Maaf, saya ini orang biasa saja. (8) Sulit bagi saya untuk memiliki mobil sebagus itu. (9) Saya ini orang kaya raya. (10) Hanya saya yang dengan mudah memiliki mobil sebagus itu. Tuturan (7) dan (8) mematuhi maksim kesederhanaan karena tut
- – tuturan itu memaksimalkan penjelekan kepada diri sendiri dan meminimalkan pujian kepada diri sendiri. Dari penjelekan yang disebutkan, penutur tidak menampakkan kesombongannya akan tetapi dia berusaha untuk bertutur serendah mungkin dari kenyataan. Sementara itu, tuturan (9) dan (10) melanggar maksim ini karena tuturannya memaksimalkan pujian kepada diri sendiri dan meminimalkan penjelekan kepada diri sendiri. Pengucapan tuturan diri sendiri yang ditunjukan kepada diri kita sendiri pula dengan tidak sependapat atas pujian orang lain akan mengesankan bahwa tuturan itu melebih - lebihkan.
k. Maksim Permufakatan (Agreement Maxim)
Prinsip kesantunan pada maksim ini diungkapkan dalam ilokusi asertif yaitu kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain dan tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Tuturan asertif lazim digunakan untuk menyatakan kepatuhan penutur terhadap maksim ini.
Sebaliknya, tuturan dapat dikatakan tidak santun atau melanggar prinsip kesantunan maksim permufakatan apabila tuturan tidak meminimalkan ketidaksesuaian antara diri sendiri dan pihak lain dan tidak memaksimalkan persesuaian antara diri sendiri dan pihak lain (Rahardi, 2005: 64). Hal ini senada dengan pendapat Chaniago (2011: 119), yakni usahakan agar ketaksepakatan antara diri dan yang lain atau antara pembicara dan lawan bicara terjadi sesedikit mungkin dan membuat kesepakatan antara diri dan yang lain terjadi sebanyak mungkin.
Dari dua pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa maksim permufakatan ditekankan agar para penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur dapat saling membina kemufatakan atau kecocokan. Dari usaha penutur tersebut maka ketaksepakatan antara diri dengan orang lain dapat terjadi sesedikit mungkin. Berikut tuturan (11) B mematuhi maksim permufakatan, sebaliknya tuturan (12) B melanggar.
(11) A : Bagaimana kalau lemari ini kita pindah? B : Saya setuju sekali. (12) A : Bagaimana kalau lemari ini kita pindah? B : Jangan, sama sekali saya tidak setuju.
Tuturan (11) B mematuhi maksim permufakatan karena mengurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Tuturan “Saya setuju
sekali
” dituturkan oleh seorang yang menyatakan kesetujuan atas pendapat mitra tutur sehingga tuturan yang diucapkan menyesuaikan antara dirinya dengan orang lain. Sementara itu, tuturan (12) B melanggar maksim permufakatan karena menambah ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain dan menurunkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Penuturan Jangan, sama sekali saya tidak setuju yang diucapkan penutur pada pihak lain menunjukkan tidak adanya kesepakatan atas pendapat yang sudah diajukan penutur (12) A.
l. Maksim Kesimpatisan (Sympath Maxim)
Menurut Rahardi (2005: 65) prinsip kesantunan maksim simpati ini diungkapkan dalam ilokusi asertif yaitu kurangilah rasa antipati antara diri dengan pihak lain hingga sekecil mungkin dan tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan pihak lain. Kedua hal tersebut sebagai saran atau rambu
- – rambu bagi penutur agar tuturannya santun. Karena menekankan peminimalan antipati dan pemaksimalan simpati antara diri sendiri dan pihak lain, penutur harus dengan tulus bersimpati kepada mitra tuturnya atau pihak lain. Dengan demikian, yang dimaksud wacana yang melanggar prinsip kesantunan maksim simpati adalah wacana yang
- – meningkatkan antipati antara diri sendiri dengan pihak lain sebanyak banyaknya dan mengurangi rasa simpati antara diri sendiri dengan pihak lain sekecil mungkin. Tuturan (13) B berikut ini mematuhi maksim simpati, sebaliknya tuturan (14) B melanggar :
(13) A : Hari ini saya sukses dalam ujian skripsi.
B : Saya turut bahagia atas kesuksesan kamu dalam ujian skripsi. (14) A : Tuan, saya belum makan.
B : Semua orang membutuhkan makan. Tuturan (13) B mematuhi maksim simpati karena meningkatkan rasa simpati sebanyak
- – banyaknya antara diri dan pihak lain. Tuturan itu dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya pada saat temannya telah menyelesaikan ujian skripsinya dengan sukses. Sebaliknya, tuturan (14) B melanggar maksim simpati karena meningkatkan rasa antipati penutur sebanyak
- – banyaknya dan mengurangi rasa simpati sekecil mungkin antara penutur dengan pihak lain. Pelanggaran pada tuturan “Semua orang membutuhkan makan” terjadi ketika penutur 14 (A) meminta makanan, namun penutur (B) justru bertutur dengan rasa antipati yang tinggi. Dengan demikian, tuturan (13) B merupakan tuturan yang mematuhi prinsip kesantunan maksim. Sedangkan tuturan (24) B merupakan tuturan yang tidak atau kurang santun.
Terkait dengan prinsip kesantunan, di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan maksim
- – maksim prinsip kesantunan yang dikemukakan Leech sebagai acuan. Sebab, istilah
- – istilah yang dicipta oleh Leech lebih mudah dipahami oleh orang banyak dan lebih tepat digunakan untuk judul penelitian yang telah peneliti pilih. Dalam kemudahan memahami istilah dapat ditunjukkan dengan sopan, santun kepada pihak lain dari pihak yang tidak hadir dalam situasi tuturan.
D. Konteks
Konteks adalah bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Sementara Preston (dalam Supardo, 2000: 46) menjelaskan bahwa yang dimaksud konteks adalah seluruh informasi yang berada di sekitar pemakaian bahasa, bahkan termasuk juga pemakaian bahasa yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, hal
- – hal seperti situasi, jarak tempat dapat merupakan konteks pemakaian bahasa. Di dalam pemakaian bahasa konteks sangat penting karena dapat menentukan makna dan maksud suatu ujaran.
Pendekatan umum terhadap kajian bahasa adalah suatu pendekatan yang memberi tekanan pada konteks sosial, yaitu pada fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa dan bagaimana perkembangannya. (Halliday, 1994: 3). Selanjutnya, menurut Hymes (dalam Brown dan Yule, 1996: 39) menyebutkan bahwa ciri
- – ciri konteks sebagai berikut : (1) pembicara dan mitra bicara
(participant) , (2) topik (topic), (3) latar (setting), (4) saluran (channel), (5)
kode (code), (6) bentuk pesan (message form), (7) peristiwa (event), (8) kunci (key) , dan (9) tujuan (purpose).
1. Pembicara dan Mitra Bicara (Participant)
Pembicara adalah penutur atau penulis yang membuat ujaran, sedangkan mitra bicara adalah pendengar atau pembaca yang menjadi penerima ujaran. Dengan demikian, pengetahuan tentang pembicara dan mitra bicara pada peristiwa komunikatif tertentu memungkinkan penganalisis membayangkan apa yang mungkin akan dikatakan oleh seseorang. Dalam hal ini pengetahuan tentang latar belakang partisipan (penutur dan pendengar) pada suatu situasi akan memudahkan penganalisis menginterpretasikan maksud penuturnya (Brown dan Yule, 1996: 39). Sementara itu, Moeliono (dalam Mulyana, 2005: 23) peserta tuturan yaitu orang
- – orang yang terlibat dalam percakapan, baik langsung maupun tidak langsung. Hal – hal yang berkaitan dengan partisipan, seperti usia, pendidikan, latar sosial, dsb juga menjadi perhatian.
2. Topik (Topic) Topik adalah apa yang dibicarakan oleh pembicara dan mitra bicara.
Dengan demikian, topik akan memudahkan seseorang untuk menangkap dan memahami pembicaraan atau tulisan karena banyak kata yang mempunyai makna lain di dalam bidang
- – bidang tertentu. Di samping itu, dengan mengetahui topik pembicaraan, pendengar akan sangat mudah memahami isi wacana, sebab topik pembicaraan yang berbeda akan menghasilkan bentuk wacana yang berbeda pula (Brown dan Yule, 1996: 39).
3. Latar (Setting)
Latar (setting) adalah waktu, tempat pembicaraan itu dilakukan, termasuk hubungan fisik orang yang berinteraksi berkenaan dengan sikap tubuh, gerakan tangan, dan air muka. Tempat lebih banyak berpengaruh pada peristiwa tutur lisan tatap muka sedangkan keadaan psikologis partisipan disamping berpengaruh pada peristiwa tutur lisan juga banyak berpengaruh pada peristiwa tutur tulis. Di pasar, orang akan menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa di masjid atau gereja; bahasa dalam situasi resmi berbeda dengan bahasa dalam situasi tidak resmi (Brown dan Yule, 1996: 40).
Sementara itu, Moeliono (dalam Mulyana, 2005: 23) mengartikannya latar suasana. Latar (setting) lebih bersifat fisik, yang meliputi tempat dan waktu terjadinya tuturan. Sementara scene adalah latar psikis yang lebih mengacu pada suasana psikis yang lebih mengacu pada suasana psikologis yang menyertai peristiwa tuturan.
4. Saluran (Channel)
Saluran (channel) adalah bagaimana hubungan antara para peserta di dalam peristiwa tutur, misalnya dengan wicara, tulisan, tanda
- – tanda atau tanda
- – tanda asap. Untuk menyampaikan informasi, seorang penutur dapat mepergunakan saluran dengan bahasa tuturan atau tulisan. Tuturan dibangun berdasarkan kontruksi yang utuh dalam satu wacana yang lebih luas. Jika kontruksi tersebut digambarkan dalam satu wacana, maka akan tampak suatu kesatuan makna yang menyeluruh, sehingga muncul hubungan antara pragmatik dengan semantik (Brown dan Yule, 1996: 41).
5. Kode (Code)
Kode (code) adalah bahasa, dialek, atau gaya bahasa yang digunakan dalam interaksi. Kode dipilih diantara salah satu dialek bahasa yang ada. Atau bisa juga memakai salah satu register (ragam) bahasa yang paling tepat. Pemilihan kode ini dimaksudkan untuk kesenangan penutur maupun pendengar. Akan sangat ganjil jika ragam bahasa baku dipakai untuk tawar- menawar barang di pasar (Brown dan Yule, 1996: 40).
6. Bentuk Pesan (Message Form)
Bentuk pesan (message form) adalah bentuk yang dimaksudkan, apakah obrolan, perdebatan, khotbah, dongeng, sonata, surat cinta, dan sebagainya. Banyak pesan yang tidak sampai kepada si pendengar karena jika pendengarnya bersifat umum dan dari berbagai lapisan masyarakat maka harus dipilih bentuk pesan yang bersifat umum. Sebaliknya, jika pendengar kelompok yang bersifar khusus atau hanya dari satu lapisan masyarakat tertentu, bentuk pesan haruslah bersifat khusus. Isi dan bentuk pesan harus sesuai karena apabila keduanya tidak sesuai maka pesan atau informasi yang disampaikan akan susah dicerna oleh pendengar (Brown dan Yule, 1996: 40). Sementara itu, Moeliono (dalam Mulyana, 2005: 23) pesan / amanat, terdiri dari bentuk pesan
(message form ) dan isi pesan (message content). Dalam kajian pragmatik, bentuk pesan meliputi; lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
7. Peristiwa (Event)
Peristiwa (event) adalah sifat peristiwa komunikatif yang di dalamnya mungkin disisipkan suatu genre, jadi khotbah atau doa yang mungkin merupakan bagian dari peristiwa yang lebih besar, misalnya kebaktian di gereja. Peristiwa tutur yang dimaksud disini adalah peristiwa tutur tertentu yang mewadahi kegiatan bertutur. Setiap peristiwa akan berbeda cara penuturannya karena peristiwa selalu menghendaki tuturan tertentu. Sesuai dengan konteks situasinya, suatu peristiwa tutur mungkin akan lebih tepat diantarkan dengan bahasa yang satu sedangkan peristiwa tutur yang lain lebih cocok diantarkan dengan bahasa yang lain (Brown dan Yule, 1996: 41).
8. Kunci (Key)
Kunci (key) adalah nada suara dan ragam bahasa yang digunakan dalam menyampaikan pendapatnya dan cara mengemukakan pendapatnya.
Kunci ini melibatkan evaluasi, apakah itu khotbah yang baik, apakah sudah menggunakan ragam bahasa yang tepat. Hal ini menyebabkan evaluasi mengenai tuturan dapat dilakukan lebih spesifik lagi dapat lebih spesifik lagi dalam pembahasannya. (Brown dan Yule, 1996: 41). Sedangkan menurut Moeliono (dalam Mulyana, 2005: 23) key, meliputi cara, nada, sikap, atau semangat dalam melakukan percakapan. Semangat percakapan antara lain, misalnya serius, santai, akrab.
9. Tujuan (Purpose)
Tujuan (purpose) adalah hasil akhir dalam komunikasi antara pembicara dan mitra bicara. Tujuan komunikasi itu akan menunjukkan ke arah pembicaraan yang dilakukan oleh si penutur. Dalam komunikasi pembicaraan yang dilakukan oleh penutur antara pembicara dan mitra bicara haruslah terarah agar tidak kelewat tentang isi pembicaraan dari luar jalur akhir yang akan dituju (Brown dan Yule, 1996: 41). Sementara itu, Moeliono (dalam Mulyana, 2005: 23) end, hasil yaitu hasil atau tanggapan suatu pembicaraan yang memang diharapkan oleh penutur (ends as outcomens), dan tujuan akhir pembicaraan itu sendiri (ends in view goals).
Dengan lengkapnya ilmu dan pengetahuan seseorang tentang ciri
- – ciri konteks tersebut maka interpretasi yang telah dipahami pelaku ilmu dan pengetahuan terhadap sebuah makna wacana akan dirasakan lebih tepat. Namun apabila semakin kurang ilmu dan pengetahuan yang dimiliki pelaku tentang ciri
- – ciri konteks maka menjadi kurang tepat pula interpretasinya itu terhadap makna sebuah wacana (Brown dan Yule, 1996: 41).
E. Wacana 1. Pengertian Wacana
Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang biasa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan). Sebagai satuan gramatikal
- – yang tertinggi atau terbesar, wacana itu dibentuk dari kalimat atau kalimat kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya (Chaer, 2007 : 267).
Sementara menurut Norman Fairclough (dalam Sumarlam, 2003: 12), wacana adalah pemakaian bahasa tampak sebagai sebuah bentuk praktik sosial mengenai bagaimana teks bekerja atau berfungsi dalam praktik sosial budaya. Analisis seperti itu mengutamakan perhatian pada bentuk struktur, dan organisasi tekstual pada semua tataran fonologis, gramatikal, leksikal (kosakata) dan tataran yang lebih tinggi dari organisasi tekstual yang berkenaan dengan sistem perubahan (pembagian giliran percakapan), struktur argumentasi dan struktur umum (tipe aktivitas).
Berdasarkan dua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang tertinggi dalam hierarki gramatikal yang menyatakan satu topik tertentu yang disajikan secara teratur dan sistematis dalam satu kesatuan yang koheren. Satuan kalimat yang koheren merupakan satuan gramatikal dalam wacana dan kalimat koheren juga merupakan basis pokok pembentukan wacana. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk kata, kalimat, paragraf, atau karangan utuh sehingga menjadi sebuah buku, yang membawa amanat lengkap.
2. Jenis – Jenis Wacana
Klasifikasi atau pembagian wacana sangat tergantung pada aspek dan sudut pandang yang digunakan. Itu sebabnya, klasifikasi diperlukan untuk memahami, mengurai, dan menganalisis wacana secara tepat. Ketika analisis dilakukan, perlu diketahui terlebih dahulu jenis wacana yang dihadapi.
Pemahaman ini sangat penting agar proses pengkajian, pendekatan, dan teknik
- – teknik analisis wacana yang digunakan tidak keliru. Menurut Mulyana (2005:
47), wacana dapat dipilah atas dasar beberapa segi, yaitu : a) media penyampaian, dan b) sifat.
a. Berdasarkan Media Penyampaian 1) Wacana Tulis
Menurut Mulyana (2005: 51) wacana tulis (written discourse) adalah jenis wacana yang disampaikan melalui tulisan. Berbagai bentuk wacana sebenarnya dapat di-presentasikan atau direalisasikan melalui tulisan. Sampai saat ini, tulisan masih merupakan media yang sangat efektif dan efisien untuk menyampaikan berbagai gagasan, wawasan, ilmu pengetahuan, atau apapun yang dapat mewakili kreativitas manusia.
2) Wacana Lisan
Wacana lisan (spoken discourse) adalah jenis wacana yang disampaikan secara lisan atau langsung dengan bahasa verbal. Jenis wacana ini sering disebut sebagai tuturan (speech) atau ujaran (utterance). Untuk dapat menerima dan memahami wacana lisan, maka sang penerima harus menyimak atau mendengarkannya. Di dalam wacana lisan terjadi komunikasi secara langsung antara pembicara dengan pendengar (Mulyana, 2005: 47).
b. Berdasarkan Sifat 1) Wacana Fiksi
Menurut Mulyana (2005: 54) wacana fiksi adalah wacana yang bentuk dan isinya berorientasi pada imajinasi. Bahasanya menganut aliran konotatif, analogis, dan multiinterpretable. Umumnya penampilan dan rasa bahasanya dikemas secara literer atau estetis. Disamping itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa karya fiksi mengandung fakta, dan bahkan hampir sama dengan kenyataan. Namun sebagaimana proses kelahiran dan sifatnya karya semacam ini tetap termasuk dalam kategori fiktif. Wacana fiksi umumnya menganut asas kebebasan berpuisi dan kebebasan bergramatikal. Dalam hal ini wacana fiksi dapat dibedakan menjadi tiga jenis; yaitu wacana prosa, wacana puisi, dan wacana drama.
2) Wacana Nonfiksi
Menurut Mulyana (2005: 54) wacana nonfiksi disebut juga sebagai wacana ilmiah. Jenis wacana ini disampaikan dengan pola dan cara-cara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bahasa yang digunakan bersifat denotatif, lugas, dan jelas. Aspek estetika bukan lagi menjadi tujuan utama. Secara umum penyampaiannya tidak mengabaikan kaidah-kaidah gramatika bahasa yang bersangkutan. Beberapa contoh wacana nonfiksi antara lain adalah laporan penelitian, buku materi perkulaihan, petunjuk mengoperasikan pesawat terbang, dan sebagainya.
Berdasarkan jenis - jenis wacana di atas, penelitian ini termasuk jenis wacana tulis dan wacana fiksi. Di dalam penelitian wacana tulis karena sebuah wacana disampaikan melalui tulisan. Sedangkan penelitian wacana fiksi bentuk dan isinya berorientasi pada imajinasi yang penampilan dan rasa bahasanya mengandung fakta yang dikemas secara linier atau estetis.
F. Kartun 1. Pengertian Kartun
Kartun berasal dari bahasa Inggris cartoon yang diangkat dari bahasa Italia cartone. Istilah ini muncul setelah tahun 1843 untuk menamai sketsa pada kertas a lot (siout paper) yang berisi lukisan dinding. Namun sekarang pengertian kartun menjadi gambar yang bersifat humor atau satire, jadi kartun merupakan satu wujud ekspresi seni yang bermaksud melucu, menyindir, dan mengkritik. Ensiklopedi Nasional Indonesia dalam Muslich (2010: 143) menyebutkan ciri kartun, yaitu pesan atau komentar humoris atau satiris tentang suatu peristiwa aktual, kartun biasanya berpanel tunggal. Muslich (2010: 143)
Menurut Sudjana (2005: 58) Kartun adalah penggambaran dalam bentuk lukisan atau karikatur tentang orang, gagasan atau situasi yang didisain untuk mempengaruhi opini masyarakat. Walaupun terdapat sejumlah kartun yang berfungsi untuk membuat orang tersenyum, seperti halnya kartun
- – kartun yang dimuat dalam surat kabar. Kartun sebagai alat bantu mempunyai manfaat penting dalam pengajaran, terutama dalam menjelaskan rangkaian isi bahan dalam satu urutan logis atau mengandung makna.
Sementara itu, Sadiman (2005: 45) menyatakan bahwa kartun sebagai salah satu bentuk komunikasi grafis kartun merupakan suatu gambar interpretatif yang menggunakan simbol
- – simbol untuk menyampaikan sesuatu pesan secara cepat dan ringkas atau sesuatu sikap terhadap orang, situasi, atau kejadian
- – kejadian tertentu. Kemampuannya besar sekali untuk menarik
- – simbol serta karakter yang mudah dikenal dan dimengerti dengan cepat sehingga pesannya kurang tersampaikan. Itu sebabnya makna kartun harus mengena, pesan yang besar bisa disajikan secara ringkas dan kesannya akan tahan lama untuk diingat.
Dari beberapa pendapat di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa kartun adalah suatu gambar atau serangkaian gambar yang berwujud ekspresi bernilai seni yang telah didesain seseorang dengan sedemikian rupa untuk menyampaikan pesan yang berisi sesuatu maksud untuk menyindir, mengkritik dan melucu yang diekspresikan oleh kartunis atau seseorang kepada para penikmat kartun maupun kepada para pembaca.
2. Jenis – Jenis Kartun
Sebagai pijakan awal untuk membicarakan kartun di dalam penelitian ini, peneliti membatasi diri pada kartun yang berkaitan dengan media cetak saja. Hal ini disebabkan di luar media cetak, masih ada jenis kartun lain yang sering disebut dengan kartun animasi, yaitu kartun gerak yang dapat disaksikan melalui tayangan siaran televisi (media elektronik). Menurut Sudarmo (2004: 63), kartun di dalam media cetak terbagi menjadi dua bagian, yaitu kartun editorial (editorial cartoon) dan kartun bebas atau humor (gag cartoon).
a. Kartun Editorial (editorial cartoon)
Menurut Sudarmo (2004: 63) kartun editorial merupakan kolom gambar sindiran di surat kabar yang mengomentari berita dan isu yang sedang ramai dibahas di masyarakat. Sebagai editorial visual, kartun tersebut mencerminkan kebijakan dan garis politik media yang memuatnya, sekaligus mencerminkan pula budaya komunikasi masyarakat pada masanya. Masalah aspek pragmatik dalam kartun, menyatakan bahwa kartun editorial merupakan visualisasi tajuk rencana surat kabar atau majalah yang membincangkan masalah politik atau peristiwa aktual. Oleh karena sifatnya inilah, kartun editorial sering disebut dengan kartun politik. Kartun politik tidak hanya sekadar berfungsi sebagai ilustrasi yang sarat kritik tajam, namun merupakan media untuk refleksi suatu permasalahan.
b. Kartun Bebas atau Humor (gag cartoon)
Kartun bebas atau humor merupakan gambar kartun yang dimaksudkan hanya sekadar sebagai gambar lucu berbentuk gambar olok-olok tanpa bermaksud mengulas suatu permasalahan atau peristiwa aktual. Kartun murni biasanya tampil menghiasi halaman-halaman khusus humor yang terdapat di surat kabar atau terbitan lainnya. Adapun jaringan pembuat kartun murni yang terkenal adalah Kokkang yang karyanya banyak dimuat di berbagai terbitan surat kabar atau majalah. (Sudarmo, 2004: 63)
Berdasarkan pengertian dan karakteristik tentang kedua jenis kartun di atas, kartun yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah jenis kartun editorial dan kartun bebas atau humor (gag cartoon) karena kartun editorial perwujudannya tidak hanya sekedar ingin mengomentari permasalahan, tetapi juga memperbincangkan masalah politik atau peristiwa aktual. Sedangkan kartun bebas atau humor sifatnya mengolok olok atau lucu tanpa mengulas permasalahan atau peristiwa aktual.
G. Surat Kabar
- – Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia koran artinya lembaran lembaran kertas bertuliskan kabar (berita), dsb, terbagi di kolom
- – kolom (8-9 kolom), terbit setiap hari atau secara periodik; surat kabar; harian. Berdasarkan Tampubolon, 1990:194), koran adalah bacaan paling umum dalam masyarakat, terutama masyarakat modern, mengandung berbagai isi (informasi) yang perlu bagi para pembaca. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa koran adalah lembaran kertas berisikan kabar berita yang mengandung berbagai isi (informasi) dan terbagi dalam k
- – kolom (8-9) kolom yang perlu bagi para pembaca.