Sertifikat Lestari PT. Diamond Raya Timber: Aset atau Beban? | Maryudi | Jurnal Ilmu Kehutanan 1540 2874 1 PB

Jurnal Ilmu Kehutanan
Volume I No. 1 - Januari 2007

Ulasan

SERTIFIKAT LESTARI PT. DIAMOND RAY: ASET ATAU BEBAN?
AHMAD MARYUDI*

Jurusan Manajemen Rutan, Fakultas Kehutanan, UGM, Yogyakarta

ABSTRACT

Several environmental non-government organizations and green parties pursue various strategies to
promote sustainable management offorest resource. Due to the increasing environment awareness of some
segments of timber users, they have established a certification body and developed a set of criteria and
indicators, against which the performance of participating forest companies will be assessed. Early
experiences in Indonesia showed that certification received warm welcome from several forest companies, as
there is no question that they saw the attraction of being certified. However, it appears that their enthusiasm
was dampened by the experience of a certified company. Certification might have been seen as more of a
liability than an asset as the economic benefits from market access became less clear, while the costs became
more apparent. The use of rigid standards might result in "negative" responses from forest companies. More

proactive approaches might encourage the companies to join certification.
Key word: forest, certification, asset, liability
*Alamat korespondensi: E-mail: [email protected]

PENDAHULUAN

menggunakan wahana yang lebih lunak yaitu dengan
menggunakan instrumen-instrumen berbasis pasar

Kepedulian terhadap isu-isu kerusakan hutan dan

(Cashore, 2002; Rametsteiner dan Simula, 2003).

lingkungan meningkat tajam pada tiga dekade

Belakangan, mereka mendorong konsumen untuk

terakhir. Semenjak awal dekade 1980an, secara

hanya membeli produk-produk dengan label hijau.


konstan muncul kampanye-kampanye boikot terhadap kayu tropis yang dianggap berasal dari hutan

Kecenderungan pelabelan terhadap suatu produk

yang tidak dikelola dengan baik (lihat Poore, 2003).

yang muncul di beberapa sektor, khususnya label

Kampanye-kampanye tersebut Jelah memunculkan

produk makanan, nampaknya memberi ilham bagi

"environment-related hysteria" (Ottman, 1998),

sebagian penggiat lingkungan dan kehutanan untuk

yang secara nyata mampu mempengaruhi kondisi

memunculkan sertifikasi hutan. Mereka mendirikan


psikologis sebagian konsumen kayu untuk semakin

lembaga sertifikasi, Forest Stewardship Council

peka dan peduli terhadap kerusakan lingkungan

(FSC) dan mengembangkan satu set kriteria dan

(Rosenbaum, 1995). Pada akhir 1980-an, konfigurasi

indikator pengelolaan hutan lestari. Kinerja per-

?

strategi

ー。セ@

usahaan yang mengajukan sertifikat lestari akan


penggiat lingkungan dalam upaya
dan

dinilai berdasarkan standar tersebut (Upton dan Bass,

lingkungan semakin beragam, tidak terbatas pada

1995). Sering dikatakan bahwa keuntungan yang bisa

boikot produk kayu. Sebagian dari mereka dan

didapatkan oleh perusahaan hutan yang berpartisi-

kelompok-kelompok "hijau" lainnya mulai mencoba

pasi adalah suatu anggapan yang menyatakan bahwa

mempengaruhi


agenda

politik

kehutanan

12

Jurnal Ilmu Kehutanan
Volume I No. 1 - Januari 2007

SERTIFIKAT LESTARI ...

partisipan tidak merusak hutan, yang diharapkan bisa

Pada tahun 2000, PT. Diamond Raya Timber (DRT),

memberikan keuntungan komparatif vis a vis non-

mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan lestari


partisipan

(PHL) yang dikeluarkan secara bersama oleh FSC

(Gunningham

dan

Sinclair,

2002;

dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). 1

Rametsteiner dan Simula, 2003). Oleh karena itu,
partisipan diharapkan akan bisa mendapatkan akses

Namun, sertifikasi PT. DRT tersebut menua1


pasar yang lebih baik dan harga premium untuk

berbagai prates, terutama dari kalangan penggiat

produk mereka (Upton dan Bass, 1995) karena

lingkungan. Dengan dikeluarkannya sertifikat PHL

dipercaya bahwa beberapa segmen pasar di negara-

bagi suatu perusahaan, berarti perusahaan tersebut

negara maju hanya akan membeli produk bersertifi-

dinyatakan telah mengelola
hutan sesuai dengan
/.

kat dan bahkan dengan harga yang lebih tinggi


prinsip kelestarian hutan. Banyak yang menuduh

dibanding produk serupa tanpa sertifikat lestari

sertifikasi ini cukup terburu-buru, bahwa PT. DRT

(Ozanne dan Vlosky, 1997; Ozanne dan Smith, 1998;

senyatanya "tak sehijau labelnya".

Forsyth et al., 1999).

dianggap belum mencapai benchmark sertifikasi

PT.

DRT

FSC-LEI karena beberapa kriteria kelestarian hutan
PERKEMBANGAN SERTIFIKASI HUTAN

ALAM DI INDONESIA

belum dipenuhi (lihat Valentinus dan Counsell,
2002). Perusahaan tersebut dianggap masih melaku-

Cashore et al. (2004) mengajukan hipotesis

kan beberapa pelanggaran terhadap prinsip dan

bahwa suatu negara yang export-dependent, di mana

kriteria yang dikembangkan oleh FSC. Bahkan bebe-

sebagian besar produk kayu yang dihasilkannya

rapa pemerhati menyampaikan keberatan resmi

diekspor ke negara lain, akan terdorong .untuk meng-

kepada FSC (RainForest Foundation dan WALHI,


adopsi sertifikasi hutan, khususnya internationally

2001).

recognized schemes yang didukung oleh kalangan

Pengalaman PT. DRT ini dipandang telah

penggiat lingkungan, seperti FSC. Hal ini didasarkan

merugikan kampanye lingkungan dan promosi

pada dugaan bahwa ada semacam kekhawatiran akan

sertifikasi hutan di kalangan perusahaan hutan.

hilangnya daya saing produk kayu mereka vis-a-vis

Menjacli pioneer dalam sertifikasi, sorotan publik


dengan produk saingan.

terhadap PT; DRT justru semakin tajam (increased

Menjelang masuknya milenium barn, kebenaran

scrutiny) (Maryudi, 2005). Akibat mendapatkan

hipotesis tersebut mulai terlihat di Indonesia.

sertifikasi, PT. DRT harus menanggung beban yang

Beberapa perusahaan hutan di Indonesia berkeingin-

cukup berat, karena beberapa kekurangan perusaha-

an untuk mendapatkan sertifikasi lestari dan mem-

an, yang mungkin dipandang (oleh pemberi sertifi-

perbaiki kinerja mereka untuk mencapai benchmark

kat) tidak terlalu nyata dalam keseluruhan penilaian,

yang disyaratkan. N ampaknya, gairah tersebut

justru terpublikasi. Sebuah kontradiksi dengan janji-

disebabkan adanya janji-janji bahwa sertifikasi hutan

janji bahwa sertifikasi akan meningkatkan citra

mampu memberikan citra yang baik yang akan

perusahaan yang bisa memberikan keunggulan

mendorong diperolehnya akses pasar yang lebih baik

kompetitif yang dikatakan akan bermuara pada

dan dengan harga premium. Beberapa diantara

insentif pasar, baik akses pasar yang lebih baik

mereka telah dinilai kelayakannya oleh lembaga

I. LEI adalah sebuah perusahaan pengembang sistem sertifikasi

sertifikasi tertentu (lihat Purbawiyatna et al., 2004).

nasional di Indonesia

13

Jurnalllmu Kehutanan
Volume I No. 1 - Januari 2007

SERTIFIKAT LESTARI...

maupun harga premium. Pada saat insentif pasar

ada perbedaan yang sangat nyata dalam menter-

yang dijanjikan belum nampak, sementara biaya

jemahkan ketiga pilar kelestarian tersebut. Demikian

yang dikeluarkan untuk proses sertifikasi, yang men-

juga, sebuah sertifikat kelestarian (dan sistem

cakup biaya pengajuan lamaran dan biaya untuk

penilaian serta benchmark yang digunakan lembaga

memperbaiki kinerja untuk mencapai benchmark

sertifikasi) dimaknai secara berbeda pula. Mungkin

yang disyaratkan lembaga sertifikasi, merupakan

ada harapan-harapan cukup tinggi terhadap PT. DRT,

sebuah

mampu

bahwa perusahaan ini "benar-benar layak lestari",

mengurangi tekanan yang hams ditanggung per-

karena lembaga pengeluar sertifikat (FSC) dikenal

usahaan dari kampanye-kampanye lingkungan. Fakta

mengembangkan

inilah yang diduga menurunkan gairah perusahaan

(prescriptive). Sebuah hal yang cukup wajar ter-

hutan lainnya untuk melakukan proses sertifikasi.

utama jika mengingat pada saat PT. DRT mendapat

keniscayaan,

sertifikasi

tidak

'

standar

yang

cukup

tinggi

Dalam kasus PT. DRT, FSC-LEI sebenamya

sertifikat kelestarian, isu sertifikasi relatih masih

memainkan strategi yang cukup menarik dalam

fresh from the oven. Namun, lembaga pemberi

mendorong pengelolaan hutan yang lebih baik di

sertifikat nampaknya mempunyai justifikasi-justifi-

Indonesia.

kasi lain, tidak sebatas pada standar yang dimaksud.

Mereka mempertimbangkan kualitas

pengelolaan hutan secara umum di Indonesia yang

Mungkin perlu disadari bahwa kualitas pengelo-

masih jauh dari pengelolaan lestari, sehingga tidak

laan hutan di Indonesia secara umum belum

mungkin mengharapkan secara penuh sesuai dengan

memuaskan kalau tidak dikatakan masih sangat

prinsip

mereka

buruk. Oleh karena itu, penerapan standar sertifikasi

kembangkan. Nampak jelas bahwa lembaga sertifi-

yang kaku bisa menimbulkan resistensi dari para

kasi (FSC-LEI) menghargai komitmen dan usaha PT.

pengelola hutan. Belakangan, sering disarankan

DRT untuk terns memperbaiki kinerjanya menuju

untuk memilih langkah proaktif dengan berkerja

kualitas pengelolaan yang jauh lebih baik. Hal ini

lebih erat dengan perusahaan hutan untuk memper-

tercermin dalam komentar Heiko Leideker (Direktur

baiki kualitas pengelolaan hutannya. Selain itu perlu

Eksekutif FSC), yang menyatakan bahwa PT. DRT

pula prosedur sertifikasi secara bertahap (phased

selama ini dianggap sebagai salah satu pemegang

approach) untuk perusahaan hutan yang kualitas

HPH yang progresif di Indonesia, namun bukan

pengelolaan hutannya relatiftertinggal (lihat Fischer

berarti bahwa perusahaan ini bebas
dari kekurangan
,.

et al., 2005; ITTO, 2005; PEFC, 2006). Dengan

(lihat van Assen, 2005). Nampaknya, tujuan FSC

pendekatan ini, perusahaan hutan masih dimungkin-

memberikan sertifikat PHL kepada perusahaan ini

kan untuk mendapatkan rekognisi dengan interim

adalah untuk menumbuhkan minat perusahaan lain

certificate dengan target capaian tertentu dalam

untuk melakukan sertifikasi hutan.

rentang waktu tertentu,

dan

kriteria

kelestarian yang

sebelum mendapatkan

sertifikasi penuh. Pendekatan ini diharapkan bisa

PENUTUP

mendorong perusahaan hutan untuk mengadopsi
sertifikasi,

Filosofi kelestarian hutan, walaupun sudah sering

sehingga keinginan

agar sertifikasi

mampu mendorong improved forest management

didefinisikan hams terbangun di atas 3 pilar utama

bisa diwujudkan.

(ekonomi, sosial dan lingkungan), sering diinterpretasikan dan dimaknai secara berbeda. Kadangkala
14

Jurnal Ilmu Kehutanan
Volume I No. 1 - Januari 2007

SERTIFIKAT LESTARI...

DAFTAR PUSTAKA

Ozanne, L.K. & Vlosky, R.P. 1997. Willingness to
pay for environmentally certified wood products:

Cashore, B. 2002. Legitimacy and the privatization

a consumer perspective, Forest Products Journal

.

of environmental governance: how non-state

'

47 (6): 39-48.

market-driven (NSMD) governance systems gain

Ozanne, L.K. & Smith, P. 1998. Segmenting the

rule-making authority, Governance, 15 (4): 503-

market for environmentally certified wood

529.

products, Forest Science, 44 (2): 379-389.

Cashore, B., Auld, G. & Newsom, D. 2004.

Poore,

Governing Through Markets: Forest certification

D.

2003.

Changing

Landscape:

The

and the emergence of non-state authority, Yale

development ofJhe International Tropical Timber

University Press, New Haven&London.

Organization and its influence on tropical forest
management, Earthscan Publication Ltd. London.

Fischer, C., Aguilar, F., Jawahar, P. & Sedjo, R.

Programme

2005. Forest Certification: Toward Common

for

the

of Forest

Endorsement

Standards? Discussion Paper 05-10. April2005.

Certification (PEFC). 2006. The PEFC Council's

Resources for the Future, Washington, D.C.

position towards the phased approach
certification.

Forsyth, K, Haley, D. dan Kozak, R. 1999. Will

Purbawiyatna, A., Suntana, A.S., Muhtaman, D.R.,

International Tropical Timber Organization (ITTO).

Asycarya, D., Riva, W.F., Dewi, I.S., Bayunanda,

2005. ITTO International Workshop on Phased

A., Simanjuntak, L., Sugianto, Hendrawati, D.,

Approaches to Certification. 19-21 April 2005.

Abimanyu, B.M., Ferry &Hardiyanto, G. 2004.

Diakses dari: www.itto.or.jp/live/Live_Server/

Memoar Satu Dekade Pergulatan Sertifikasi di

969/Main-Report.pdf (23 Februari 2006)

Indonesia:

Gunningham, N. & Sinclair, D. 2002. Leaders and
Generation

A.

2005.

Politics

RainForest' Foundation

within

Markets:

Resources,

dipublikasikan.

Environment

and

School
Society,

ke

transformasi
Pustaka LEI,

and

WALHI.

2001.

Complaint Concerning Certification of PT.
Diamond Raya (SGS Project No. 6489 !D).

Malaysian forest certification governance. Thesis
Tidak

formasi

Lembaga Ekolabel Indonesia, Bogor.

Convergence and divergence in Indonesian and
Master.

Dari

Lembaga Ekolabe{ Indonesia,

Environmental

Regulation, Greenleaf, Sheffield.
Maryudi,

dari:

file.1449.pdf (23 Februari 2006)

Journal ofForestry, 99 (2): 18-22.

Next

Diakses

www.pefc.org/internet/resources/5 _1177_1270

consumers pay more for certified wood products?

Laggards:

Lembar Posisi.

to

Diakses dari: www.rainforestfoundationuk.org/

of

files/PTDR_complaint_200 1.pdf (8 Juni 2005)

the
Rametsteiner, E. & Simula, M. 2003. Forest

Australian National University. Canberra.

certification-an instrument to promote sustainable
Ottman, J.A. 1998. Green Marketing: Opportunities
for

innovation.

2nd

Ed.

NTC

forest management?, Journal of Environmental

Business

Management, 67: 87-98.

Books.Chicago.

Rosenbaum, W.A. 1995 Environmental Politics and
Policy.

3rd

Edition. Congressional Quarterly.

Washington, DC.

15

Jurnalllmu Kehutanan

Volume I No. 1 - Januari 2007

SERTIFIKAT LESTARI ...

Upton, C. & Bass, S. 1995. The Forest Certification

Handbook. Earthscan, London.
Valentinus. A & Counsell, S. 2002. PT. Diamond
Raya Timber, Indonesia Case Study 9. Dalam:

Trading in Credibility: The Myth and Reality of
the Forest Stewardship Council. S. Counsell and
K. Loraas (eds). Rainforest Foundation UK, Hal.

136-143.
Van Assen, B.W. 2005. Kasus Diamond Raya
Timber: Abadikah berlian? E-Label (Jurnal

Sertijikasi Ekolabel). Edisi III

Hs・ーエセュ「イ@

2005):

59-66.

>'

16