M01560

 



KAWIN CAMPUR, GENDER, DAN PEREMPUAN ASING DI DALAM EZRA
(Suatu Analisa Poskolonial Feminist terhadap Perceraian Perempuan Asing di
dalam Ezra 9-10)
Ira Mangililo1

Salah satu unsur penting di dalam masyarakat Israel kuno adalah keluarga atau bet ab
yang terdiri dari ayah, ibu, anak-anaknya laki-laki beserta dengan istri-istri mereka dan
anak-anak mereka, anak-anak baik laki-laki maupun perempuan yang belum menikah
maupun anak-anak perempuan yang telah dikembalikan oleh suami mereka atau yang
telah menjadi janda, dan satu atau lebih orang tua mereka (Lemche, 1985:245). Di dalam
masyarakat yang kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani ini, hubungan
kekerabatan di antara setiap anggota keluarga biasanya sangat erat. Setiap individu
melihat dirinya sebagai bagian yang tidak terpisah dari bet ab-nya sehingga setiap orang
selalu mengukur keberhasilannya dari seberapa besar jumlah kontribusi yang
diberikannya kepada keluarganya baik secara sosial maupun ekonomi. Di sinilah sikap
saling bergantung di antara para anggota keluarga menyebabkan tumbuhnya identitas
bersama di mana seseorang tidak memperjuangkan tujuan dan keuntungan pribadi tetapi

kepentingan keluarga (Meyers, 1997:21). Seorang individu di dunia Israel kuno dengan
demikian selalu menempatkan dirinya sebagai bagian dari anggota keluarganya sehingga
ia mempunyai pola pikir yang berorientasi pada kelompok (Meyers, 1997:22).

Melihat pentingnya arti keluarga bagi setiap orang maka perceraian di dalam suatu rumah
tangga mungkin saja terjadi tetapi tidak sering. Perceraian diperbolehkan tetapi
merupakan suatu hal yang tidak dianggap biasa. Hukum yang mengatur tentang
perceraian di dalam Ulangan 24:1-4 menunjukkan bahwa perceraian boleh dilakukan
tetapi hak untuk mengajukan perceraian hanya diberikan kepada suami, bukan istri. Hak
untuk memulai proses perceraian ini dapat dilakukan kapan saja suami tersebut mau
ketika ia mendapati kesalahan fatal yang dilakukan oleh istrinya kepadanya. Pada kondisi
tersebut, sang suami diperbolehkan menceraikan istrinya tanpa adanya kewajiban

 



 




memberikan dukungan finansial kepada istrinya. Sang suami hanya diwajibkan untuk
memberikan surat cerai kepada sang istri agar sang istri dapat menikah kembali (King
and Stager, 2001:57). Lain halnya ketika sang suami menceraikan istrinya semata-mata
karena ia membencinya. Pada kondisi ini, sang suami tidak hanya diwajibkan untuk
memberikan surat cerai kepada istrinya melainkan harus pula memberikan kompensasi
kepadanya baik berupa mas kawin yang merupakan hak sang istri, hadiah-hadiah yang
pernah diberikan kepadanya oleh sang suami selama masa pernikahan mereka atau pada
masa sebelum pernikahan maupun bagian mahar yang telah diberikan kepada pasangan
oleh ayah sang perempuan (Frymer-Kensky, 1998:65).

Hukum seperti ini memang menempatkan perempuan pada posisi yang rentan karena ia
tidak dapat berinisiatif untuk mengajukan perceraian meskipun ia berada di dalam
perkawinan yang tidak membahagiakan dirinya. Di samping itu, hukum yang mengatur
tentang perceraian dan pernikahan kembali seorang perempuan dengan laki-laki lain
menunjukkan ketergantungan perempuan secara finansial kepada laki-laki. Hal ini terjadi
karena ketika perempuan masih berada di bet ab ayahnya maka ia berada di bawah
tanggung jawab ayahnya. Ketika ia telah menikah, ia berada di bawah tanggung jawab
suaminya; ketika suaminya telah meninggal maka ia berada di bawah tanggung jawab
anak laki-lakinya. Demikianlah nasib perempuan di dalam masyarakat yang menjunjung

tinggi budaya patriarkal seperti Israel kuno. Di dalam Ezra 9 dan 10, nasib perempuan
yang rentan kembali kita jumpai. Hal ini disebabkan karena adanya tindakan Ezra yang
memerintahkan orang-orang Israel yang pulang dari pembuangan untuk mengusir para
istri yang merupakan para perempuan asing (nasim nokriyyot) beserta dengan anak-anak
mereka dari tengah-tengah komunitas Israel. Namun jika Ulangan 24:1-4 di atas masih
memperhatikan nasib para perempuan Israel setelah perceraian maka Ezra 9-10 tidak
mengungkapkan tentang bagaimana nasib para perempuan asing tersebut. Hal yang
diungkapkan di dalam kedua pasal tersebut adalah bahwa tindakan kawin campur
tersebut dikutuk sebagai tindakan ketidaksetiaan dan merupakan percampuran yang tidak
diinginkan dengan benih kudus (zera haqqades).

 



 



Membaca tulisan ini sebagai seorang perempuan Indonesia yang hidup di sebuah negara

yang memiliki kemajemukan dengan keragaman yang sangat heterogen meliputi agama,
etnisitas dan lokalitas (Hefner, 2005:75) mengingatkan saya tentang keadaan di Indonesia
sendiri yang masih melihat pernikahan lintas agama dan bahkan antar etnis sebagai
sesuatu yang tidak bisa dihindari oleh karena itu ditoleransi namun masih dianggap
sebagai sesuatu yang dikutuk atau tidak disetujui. Banyak orang tua yang berusaha
memisahkan anaknya yang ingin menikah dengan pasangan beda agama karena merasa
sayang jika anaknya tersebut harus pindah agama mengikuti agama pasangannya.
Ketakutan para orang tua ini dapat dipahami mengingat bahwa negara Indonesia secara
spesifik hanya mengatur pernikahan satu agama yang tercantum di dalam Undangundang nomor 1 tahun 1974 khususnya pasal 2 yang berbunyi, “Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.”
Dengan demikian jika ada pasangan yang ingin menikah lintas agama dan ingin diakui
secara hukum maka tentu saja salah satu di antara mereka harus mengalah untuk
mengikuti agama suaminya. Tentu saja hal ini akan berbeda bagi mereka yang memiliki
keadaan ekonomi yang memadai. Orang-orang ini dapat pergi ke luar negeri seperti
Australia dan Singapur untuk mengesahkan pernikahan mereka. Fenomena artis Jonas
Rivanno yang beragama Kristen yang berpura-pura pindah agama Islam demi bisa
menikahi kekasihnya Asmirandah merupakan salah satu contoh dilema pernikahan lintas
agama yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Tindakan salah satu ormas garis keras di
Indonesia yang mengutuk dan membawa kasus ini ke ranah hukum menunjukkan
intervensi publik terhadap masalah yang seharusnya menjadi urusan pribadi setiap warga

negara Indonesia.

Di dalam kekristenan sendiri, khususnya di wilayah Indonesia Timur seperti Nusa
Tenggara Timur, banyak orang tua yang mendasari larangan mereka kepada anakanaknya untuk menikah lintas agama dengan bagian-bagian Alkitab seperti Ezra 9-10 ini.
Tidak jarang banyak pasangan yang telah menikah lintas agama secara diam-diam
kemudian dipisahkan secara paksa oleh orang tua ketika mengetahui adanya pernikahan
tersebut. Dokrin-doktrin yang ditanamkan berdasarkan pembacaan terhadap kedua teks
ini di antaranya adalah bahwa pernikahan dengan perempuan asing yang merupakan para

 



 



penyembah berhala telah membuat orang-orang Israel berpaling dari hukum Tuhan dan
merupakan wujud ketidaktaatan mereka kepada perjanjian mereka denganNya. Mereka
hanya bisa kembali menjadi bagian dari komunitas Israel ketika mereka mau berbalik dari

dosa mereka ini dengan cara mengusir istri-istri penyembah berhala mereka dan
memperbaharui komitmen mereka untuk menjadi umat yang mengabdi hanya kepada
Yahweh. Doktrin seperti ini dengan demikian menekankan pada pentingnya kekudusan
hidup orang Israel yang baru pulang dari pembuangan. Di sini, kekudusan dipandang
sebagai unsur penting yang dapat menjamin kelangsungan dan kesejahteraan kehidupan
mereka. Dengan kata lain, kekudusan adalah lebih penting dibandingkan dengan
hubungan relasi yang terdekat yang dimiliki oleh manusia seperti pernikahan (Brown,
2005:457-58). Ketika dikaitkan dengan konteks masyarakat Timor sendiri maka
pernikahan dengan mereka yang berbeda kepercayaan dianggap sebagai menikah dengan
orang-orang “yang menyembah dewa asing,” orang-orang yang derajatnya lebih rendah
dari pada mereka sendiri. Hingga tidak jarang banyak orang tua yang rela menghapus
nama anak-anak mereka sendiri dari daftar kartu keluarga mereka – suatu tindakan
pembuangan terhadap anak mereka – ketika anak-anak tersebut bersikeras untuk menikah
dengan orang yang berbeda agama apalagi pindah keyakinan mengikuti agama pasangan
mereka tersebut. Tidak jarang orang tuapun rela membunuh anak mereka sendiri karena
keputusan anak-anak mereka untuk menikah lintas agama. Tindakan kejahatan dan
kekerasan tersebut lantas dianggap sebagai suatu tindakan terpuji mengingat mereka
sementara membela Tuhan mereka.

Cara pembacaan seperti ini menunjukkan bahwa para orang Kristen telah

mengidentifikasikan diri mereka dengan orang Israel di dalam cerita Ezra 9-10 – suatu
sikap yang telah dibangun dan dibentuk di dalam diri orang Kristen baik dari sekolah
minggu, Pemahaman Alkitab, dan melalui khotbah-khotbah di gereja. Keberpihakan ini
tanpa sadar telah menuntun kita untuk melihat tindakan perceraian dan pengusiran
perempuan-perempuan asing beserta dengan anak-anak mereka sebagai sesuatu yang baik
bahkan perlu demi mempertahankan identitas orang percaya. Pertanyaan-pertanyaan yang
mengganggu adalah bagaimana jika kita membaca dari sudut pandang para perempuan
asing dan anak-anak mereka yang diusir secara paksa dari komunitas mereka? Mengapa

 



 



teks ini tidak memberikan keterangan tentang bagaimana penderitaan yang dialami oleh
para perempuan dan anak-anak tersebut? Apakah memang benar bahwa Tuhan sendiri
lebih mengutamakan kekudusan dibandingkan dengan keutuhan relasi antara umat

manusia seperti istri dan suami, ayah dan anak-anak? Karena saya membaca dari sudut
pandang seorang perempuan maka pertanyaan ini kemudian saya kembangkan dengan
memperhatikan identitas dari nasim nokriyyot. Siapa sebenarnya mereka yang merupakan
“Sang Liyan” ini? Bagaimana cara orang Israel melihat mereka? Mengapa kehadiran
mereka dianggap sebagai ancaman bagi keutuhan komunitas Israel?

Di dalam tulisan ini saya akan membaca Ezra 9-10 dengan menggunakan metode
poskolonial guna memeriksa kondisi-kondisi sosial, kebudayaan dan politik di koloni
Yehud pada saat puncak kekuasaan kekaisaran Persia. Tujuannya adalah untuk
menunjukkan hubungan di antara kekuasaan dan pengetahuan dalam merekonstruksi
“Sang Liyan” sebagai pihak yang termarginalisasikan di dalam interaksi tersebut
(Sugirtharajah, 2006:64). R. S. Sugirtharajah mengusulkan tiga tugas utama dari kritik
poskolonial di dalam studi biblika yaitu: 1) berusaha untuk menempatkan kolonialisme
pada pusat Alkitab dan penafsiran Alkitab; 2) berusaha untuk meneliti penafsiran Alkitab
dan menelanjangi isi ideologi tersembunyi di balik klaim akan netralitas; 3) berusaha
untuk membaca kembali Alkitab di dalam terang keprihatinan poskolonial dan situasisituasi seperti pluralitas, multikulturalisme, nasionalisme, diaspora, pengungsi, dan
pencaharian suaka (Sugirtharajah, 2006:67). Melalui cara pembacaan seperti ini saya
ingin melihat hubungan kompleks di antara Persia dan koloni Yehuda dan menjelajahi
keterhubungan yang erat di antara sistem ekonomi, politik dan kebudayaan di antara
bangsa yang menjajah dan yang terjajah. Melalui cara ini maka kita bisa melihat bahwa

setiap kebijakan, tindakan, keputusan atau bahkan idiologi yang dibangun dan
dikembangkan oleh bangsa yang terjajah seperti Israel merupakan reaksi mereka terhadap
kebijakan, tindakan dan keputusan yang dibuat oleh sang penjajah dan merupakan cara
mereka untuk mempertahankan diri di tengah situasi yang terjepit.

Namun, tulisan ini juga akan memberi perhatian terhadap hubungan imperialisme dengan
gender. Anne McClintock menulis bahwa imperialisme tidak dapat dimengerti tanpa

 



 



menggunakan teori kekuasan gender. Kekuasaan gender sejak awal merupakan modal
utama untuk pengamanan dan pemeliharaan kekuasaan imperial (McClintock, 1995:6-7).
Di sinilah penting sekali untuk memahami teks Ezra 9-10 di dalam keterhubungannya
dengan isu gender guna melihat bagaimana penggambaran perempuan asing sebagai

“Sang Liyan” merupakan salah satu strategi yang digunakan untuk mengkonstruksi
identitas keagamaan bangsa Israel yang dipercaya sebagai salah satu cara untuk
mempertahankan eksistensi mereka. Lebih lanjut ahli poskolonial seperti Kwok Pui lan
menekankan pentingnya menggunakan analisa ras, kelas dan status kolonial di dalam
mendekati setiap teks guna mengungkapkan berbagai bentuk penindasan yang terjadi di
bawah bayang-bayang dominasi imperialisme (Kwok Pui-lan, 2005:78-81). Demikianlah
di dalam pembahasan ini saya akan memeriksa keterhubungan erat di antara
pensimbolisasian perempuan dan penggunaan gender dalam teks dengan kepentingan
kelas, bentuk kekuasaan lokal dan dominasi kolonial (Kwok Pui-lan, 2005:81).

Tulisan ini akan saya mulai dengan membahas tentang pengaruh Persia di dalam
masyarakat poskolonial Yehuda. Saya akan melanjutkan dengan pembahasan tentang
penggunaan perempuan asing oleh Ezra dan para pendukungnya untuk mengkonstruksi
identitas etnisitas mereka yang baru pulang dari pembuangan. Kemudian saya akan
membahas tentang keterhubungan antara kawin campur, gender, dan perceraian
perempuan asing. Saya akan menutup tulisan ini dengan pembahasan tentang implikasi
pembahasan tentang Ezra 9-10 terhadap permasalahan kawin lintas agama dan kawin
campur yang terjadi di negara kita ini.

Pengaruh Persia di dalam Masyarakat Poskolonial Yehuda


Kitab Ezra yang pada awalnya dilihat sebagai suatu kesatuan dengan kitab Nehemiah
yang muncul dengan satu nama yaitu kitab Ezra merupakan kitab yang
mendokumentasikan kemunculan era baru dan dilahirkannya kembali suatu bangsa yang
dikenal dengan nama Israel. Bagi sisa-sisa orang Israel yang tinggal di pembuangan,
penaklukan Babilonia oleh Raja Koresh yang berasal dari Persia di tahun 539 Sebelum
Zaman Bersama (SZB) merupakan suatu tanda kehidupan baru dari keterpurukan akibat

 



 



peristiwa penghancuran Yerusalem yang mereka alami 50 tahun sebelumnya oleh
Babilonia (587/586 SZB) dan yang diikuti oleh pembuangan para elitnya. Hingga
tidaklah berlebihan untuk dikatakan bahwa penaklukan Babilonia menimbulkan
kegoncangan yang luar biasa karena struktur kehidupan Israel yang aman; tanah yang
sangat erat dilihat keterhubungannya dengan agama dan politik bangsa kini dikuasai oleh
bangsa asing; Bait Allah telah diruntuhkan; Yerusalem telah dihancurleburkan. Namun
ketika Koresh menjadi penguasa ia mengijinkan bangsa Israel yang tinggal di
pembuangan untuk pulang dan membangun kembali bukan hanya tanah tumpah darah
mereka melainkan identitas mereka sebagai sebuah bangsa dan sebuah agama (Eskenazi,
1998:123).

Di dalam konteks imperialisme Persia seperti ini maka Persia dipandang sebagai agen
yang digunakan oleh Allah Israel untuk menghukum Babilonia yang telah menyebabkan
Israel mengalami exodus/atau peristiwa keluaran kedua dan membebaskan Israel dari
pembuangan (Gafney, 2011:163). Seperti yang tercatat di dalam Ezra 1:1-2, Koresh tidak
hanya dipandang sebagai individu biasa melainkan seorang pendiri dan penguasa
kekaisaran Persia. Koresh berhasil menaklukkan seluruh wilayah di wilayah Timur Dekat
kecuali Mesir. Seiring dengan hal tersebut maka tanah dan orang yang pada awalnya
dikenal sebagai Yehuda kemudian dikenal sebagai Yehud – bagian dari kekaisaran
Persia.

Di sini, pengkolonisasian terhadap Yehud dapat dilihat melalui pendominasian
imperialisme Persia terhadap kehidupan dan kebudayaan di Yehud serta pemanfaatan
wilayah jajahan tersebut untuk kepentingan-kepentingan Persia terutama di dalam hal
penarikan berbagai hasil ekonomi dan penguatan unsur militer. Pengkolonialisasian ini
dapat digambarkan di dalam istilah sosial sebagai sebuah pendominasian yang saling
bergantung (Berquist, 1995: 243-45) atau dikenal dengan istilah core and
periphery/hubungan antara inti dan pinggir/luar (Berquist, 1995:245-47). Di dalam hal ini
kekaisaran Persia menggunakan provinsi-provinsi yang telah ditundukkan atau kolonikoloni mereka sebagai sumber tenaga kerja lokal, sumber pajak dan sebagai pos militer.
Hubungan kekaisaran dengan wilayah yang dikuasainya biasanya sangat intens terutama

 



 



ketika dilihat dari upaya kekaisaran memaksimalkan keuntungan-keuntungan yang
diberikan oleh koloni bagi kekaisaran; pada saat yang sama kekaisaran tetap memelihara
basis produksi dan reproduksi koloni. Dengan demikian, kekaisaran Persia menjadikan
koloni-koloninya sebagai asset yang dari padanya kekaisaran memperoleh keuntungan
secara berkesinambungan. Guna mencapai tujuan tersebut maka kekaisaran Persia sangat
memperhatikan kelangsungan jangka panjang dari koloni-koloninya sehingga dapat
mendatangkan pendapatan secara terus-menerus (Berquist, 2007:195). Wujud perhatian
Persia terhadap Israel dapat dilihat dengan diijinkannya Israel kembali ke wilayah
leluhurnya dan diijinkannya pembangunan kembali bait Allah dan peribadahan kepada
Tuhan mereka (Ezra 1:7).

Melalui pemaparan tentang sejarah periode Persia dan relasi di antara imperial dan
wilayah-wilayah kolonial maka kitab Ezra harus dipahami sebagai upaya dari mereka
yang hidup di periphery untuk kembali menyesuaikan diri dengan kehidupan yang baru
di tanah kelahiran mereka sendiri. Dengan kembalinya mereka ke tanah Israel, maka ada
banyak hal yang harus dipertimbangkan untuk mengamankan posisi mereka di situasi
yang baru tersebut. Di dalam perspektif mereka, hal ini hanya mungkin tercapai jika
mereka mampu mengembalikan unsur-unsur penting dari identitas mereka sebelum
dibuang khususnya yang berhubungan dengan Bait Allah dan kultusnya. Dengan kata
lain, mereka harus merekonstruksi apa yang telah hilang (Esler, 2003:417). Upaya
perekonstruksian identitas ini dipandang Berquist sebagai indikasi bahwa kekuatan
hegemoni Persia selalu bersifat terbatas; bahwa sekuat apapun kekaisaran Persia berusaha
untuk mengontrol bangsa Israel dengan peraturan dan kebijakan-kebijakannya yang
mengikat namun selalu saja ada ruang bagi mereka yang dijajah untuk menunjukkan
perlawanan kepada kekuasaan imperialisme tersebut. Di sinilah, kekuatan imperialisme
bersaing dengan hasrat mereka yang terjajah untuk menggenggam otonomi lokal melalui
upaya penegasan identitas diri (Berquist, 2007, 196-97). Di dalam pembahasan berikut
saya akan menguraikan pentingnya upaya pembentukan identitas etnis di dalam
masyarakat Israel. Saya juga akan menunjukkan bagaimana penggambaran tentang para
perempuan asing yang berbahaya dijadikan sebagai sarana untuk menciptakan batasan

 



 



etnisitas yang memisahkan diri mereka dengan orang-orang luar guna memperkuat
kesatuan di dalam tubuh Israel sendiri.

Perempuan Asing dan Upaya Pembentukan Identitas

Kitab Ezra mengisyaratkan adanya tanda-tanda perjuangan untuk mengidentifikasikan
diri sendiri maupun kelompok. Sebagai pembaca kita dapat melihat bagaimana identitas
kelompok dikonstruksi, diatur dan diterapkan di dalam suatu komunitas. Salah satunya
adalah berhubungan dengan etnisitas. Hal ini ternyata jelas di dalam Ezra 9-10 di mana
pernikahan dengan perempuan asing sangat ditentang. Namun seperti yang dikatakan
oleh Tamara Eskenazi dan Eleanore Judd, ada persoalan penting yang ditimbulkan oleh
kedua teks tersebut yang berkenaan dengan arti dan signifikansi dari tindakan perceraian
dan pengusiran para perempuan asing dan anak-anak mereka. Di dalam kedua teks
tersebut, tidak ada informasi tentang dakwaan-dakwaan terhadap kawin campur dan apa
yang membuat seorang perempuan dikategorikan sebagai “yang asing”; kita tidak juga
mendapati jumlah orang yang bersalah karena telah menikah dengan perempuan asing
dan mengapa para laki-laki mau menikah dengan perempuan dengan latar belakang
seperti itu; apakah para perempuan Israel juga menikahi para laki-laki asing?; siapa saja
yang dikategorikan sebagai seorang asing dan siapa yang dianggap sebagai orang Israel
sejati? (Eskenazi and Judd, 1994:266-85). Di dalam analisa mereka, Eskenazi dan Judd
mengusulkan bahwa para perempuan ini dapat diidentifikasikan dengan salah satu
kelompok berikut: 1) Mereka bisa saja merupakan orang Yehuda atau Israel yang tidak
ikut ke pembuangan atau yang memiliki etnisitas keadaan sosial ekonomi yang berbeda
dengan kelompok yang baru pulang. Dengan demikian maka keyahudian seseorang
ditentukan berdasarkan garis keturunan nenek moyang dan juga partisipasi di dalam
peristiwa pembuangan; 2) Para perempuan ini dapat saja merupakan bagian dari bangsabangsa asing; 3) Para perempuan ini dapat saja berasal dari keluarga-keluarga Yahudi dan
Israel di tanah Israel yang terlibat di dalam praktek keagamaan yang berbeda dari orangorang yang kembali dari pembuangan. Jika hal tersebut yang menjadi dasar
pertimbangannya maka konflik yang terjadi menurut Eskenazi dan Judd lebih disebabkan

 



 

10 

oleh adanya cara memandang Yudaisme sebagai agama dan bukan sebagai kelompok
orang (Eskenazi and Judd, 1994:269-70).

Pendapat serupa juga berasal dari Claudia Camp yang mengatakan bahwa istilah zar dan
nokri memiliki arti yang beragam karena dapat saja mengacu pada orang-orang yang
memiliki kewarganegaraan asing tetapi juga dapat mengacu pada orang-orang yang
berada di luar rumah tangga seseorang atau keluarga, orang-orang yang bukan merupakan
bagian anggota dari kelompok para imam atau praktek-praktek keagamaan sehingga
mereka diperhitungkan sebagai yang berada di luar hubungan perjanjian dengan Yahweh
(Camp, 1991: 17-38).

Pendapat yang berbeda datang dari Harold Washington yang menilai tindakan perceraian
dan pengusiran terhadap para perempuan asing di dalam Ezra 9-10 sebagai upaya
komunitas Yahudi untuk mengontrol tanah mereka. Di sini Washington berpendapat
bahwa pernikahan dengan perempuan asing menimbulkan masalah karena perempuan di
dunia Israel kuno berhak untuk mewarisi tanah. Dengan demikian para laki-laki yang
melakukan pernikahan lintas etnis dapat saja kehilangan hak atas tanahnya (Washington,
1994:230-35). Senada dengan Washington, Eskenazi juga berpendapat bahwa penceraian
dan pengusiran para perempuan asing didorong oleh perasaan takut akan adanya
kemungkinan bahwa perempuan asing dapat mewarisi properti tanah (Eskenazi,
1992:35). Namun Berquist berpendapat bahwa kepentingan yang sebenarnya dari bangsa
Israel bukanlah hanya berkaitan dengan tanah semata melainkan berhubungan dengan
kekayaan secara keseluruhan. Menikah di dalam kelas seseorang akan membantu untuk
memusatkan kontrol elit atas tanah dan kekayaan. Sementara dengan pernikahan di luar
kelas seseorang maka para orang yang kaya mampu memastikan bahwa anak-anak
mereka memiliki koneksi hanya dengan keluarga kaya lainnya. Menurut Berquist
masyarakat tidak bernar-benar tertarik untuk membubarkan perkawinan dengan bangsa
asing melainkan hanya untuk memastikan bahwa orang kaya menikah dengan orang kaya
(Berquist, 1995:118-19).

 

10 

 

11 

Pendapat yang lain berasal dari Camp yang melihat adanya dua isu utama bagi orangorang yang kembali dari pembuangan yang mempengaruhi adanya larangan untuk
menikah dengan perempuan asing: 1) adanya sebuah kebutuhan bagi stabilitas keluarga
sebagai bentuk mekanisme pertahanan dan untuk membangun klaim atas wilayah
kekuasaan politik; dan 2) adanya kebutuhan untuk mempromosikan bentuk ibadah yang
murni dan tepat bagi Yahweh (Camp, 1991:17-18). Menurut Camp kedua isu tersebut
berhubungan satu dengan lainnya dan krisis mulai terjadi ketika beberapa laki-laki mulai
menikah ke dalam keluarga-keluarga bangsa asing. Pernikahan-pernikahan tersebut
mengancam stabilitas struktur kekuasaan terutama karena pernikahan lintas etnis dapat
membawa tantangan-tantangan dari luar untuk menantang kekuasaan kepemimpinan
kelompok (Ezra 10). Fokus kepada para istri yang merupakan perempuan asing
merepresentasikan sebuah situasi yang mana para laki-laki Yahudi telah menikahi para
perempuan tersebut namun tidak mengijinkan anak-anak perempuan mereka untuk
menikah dengan para laki-laki asing karena para mempelai perempuan asing membawa
mas kawin berupa hak kepemilikan atas tanah yang kemudian telah diklaim oleh anggota
dari komunitas golah/mereka yang kembali dari pembuangan (Camp, 1991:18).

Di dalam penelitian mereka, Eskenazi dan Judd melihat Yehuda sebagai komunitas
imigran yang berada di dalam masa transisi, berusaha menyesuaikan diri pada situasi
yang baru. Hal ini menuntut mereka untuk mengevaluasi kembali norma-norma yang
mereka anut di dalam terang situasi yang baru tersebut dan sebagai bagian di dalam
proses menetapkan tanda-tanda batasan yang baru. Konflik tentang perkawinan campur
yang ada di dalam Ezra 9-10 harus dievaluasi di dalam hubungannya dengan jaringan
kompleks dari variable-variable yang rumit yang membentuk komunitas tersebut di
dalam masa transisi itu. Eskenazi dan Judd lebih lanjut membandingkan ketegangan
antara orang-orang Yahudi pada masa Persia dengan ketegangan yang juga terjadi di
antara orang Yahudi yang datang dari berbagai latar belakang etnis, antara orang Yahudi
dan bukan orang Yahudi, dan antara orang Yahudi ortodoks and bukan ortodoks di abad
ke-20. Dengan memfokuskan diri pada pembahasan tentang konflik di antara orang
Yahudi ortodoks dan bukan ortodoks maka Eskenazi dan Judd berpendapat bahwa para
perempuan asing yang ada di Ezra 9-10 bisa saja adalah orang Yahudi atau Israel yang di

 

11 

 

12 

dalam proses pendefinisian kembali dianggap sebagai orang luar. Dengan demikian,
meskipun mereka telah dilihat sebagai pasangan-pasangan yang layak untuk dinikahi oleh
orang-orang yang kembali dari pembuangan lebih dahulu dari Ezra, pada masa
kedatangan Ezra mereka dianggap sebagai yang berada di luar batas-batas yang baru
ditetapkan (Eskenazi and Judd, 1994).

Di dalam analisanya, Daniel L. Smith-Christopher juga melihat keterhubungan antara hak
kepemilikan tanah dan asosiasi-asosiasi ekonomi (Smith-Christopher, 1994:243-65).
Hanya saja ia melihat bahwa orang-orang yang kembali dari pembuanganlah yang
sebenarnya merupakan kelompok minoritas yang terancam yang melihat diri mereka di
dalam posisi yang tidak menguntungkan baik secara sosial maupun ekonomi
dibandingkan dengan mereka yang tidak turut dibuang. Di dalam penafsirannya terhadap
Ezra, Smith-Christopher melihat bahwa mereka yang dianggap bersalah akibat kawin
campur adalah mereka yang berusaha untuk “menikah ke atas” sebagai cara untuk
mengubah status rendah mereka sebagai yang dibuang agar dapat berpartisipasi dalam
masyarakat aristokrat. Kesadaran akan “kita” dan “mereka” dengan demikian
berhubungan dengan kelompok minoritas yang terancam (mereka yang kembali dari
pembuangan) yang menaruh perhatian pada persoalan-persoalan internal mereka dan
pada usaha untuk bertahan hidup menghadapi kelompok mayoritas (orang-orang asing –
mereka yang tidak memiliki hubungan dengan kelompok yang kembali dari
pembuangan). Smith-Christopher juga mempertanyakan tentang siapa yang menganggap
perkawinan yang telah dilakukan sebagai perkawinan campur. Ia berpendapat bahwa
kemungkinan hanya Ezra dan para pendukungnya sajalah yang menganggap perkawinan
tersebut sebagai perkawinan campur sementara mereka sendiri yang terlibat di dalam
pernikahan tidak merasa demikian. Para imam tidak dimasukkan sebagai pendukung Ezra
(Ezra 9:1) karena mereka tidak setuju dengan Ezra yang bersikeras bahwa perkawinan
yang telah dilakukan adalah perkawinan campur. Dasar penolakan terhadap Ezra adalah
bahwa para orang asing sebenarnya adalah orang-orang Yahudi yang tidak dibuang ke
pembuangan.

 

12 

 

13 

Pembahasan di atas tentang keputusan Ezra untuk memerintahkan orang-orang yang
kembali dari pembuangan untuk menceraikan dan mengusir istri-istri mereka yang
berasal dari bangsa asing menunjukkan betapa kompleksnya isu yang berhubungan
dengan pendefinisian tentang kelompok, batasan dan kesalingterhubungannya yang erat
dengan dinamika ekonomi, politik, sosial dan agama. Namun pembahasan para ahli di
atas hanya terfokus pada upaya untuk melihat pengaruh imperialisme terhadap kehidupan
orang Yahudi yang telah kembali dari pembuangan dan bagaimana orang-orang yang
kembali tersebut berusaha untuk memahami situasi mereka dan mencari cara untuk
mempertahankan diri. Mereka membuat garis batas yang jelas di antara diri mereka
dengan orang-orang yang tidak dibuang. Dengan demikian maka perhatian masih belum
diberikan sepenuhnya pada hubungan yang rumit di antara kolonialisme dan patriarki.
Akibat tindakan yang tidak mempertimbangkan isu gender tersebut maka pembahasan di
atas terkesan mengabaikan kenyataan bahwa tindakan pengkolonialisasin sebenarnya
melibatkan pendemonstrasian kekuasaan laki-laki terhadap perempuan dan bahwa
ideologi patriarkal terus dibentuk dan diformulasikan ulang di dalam proses kolonial
(Kwok Pui-lan, 2005:80-81).

Untuk itu, di dalam pembahasan selanjutnya saya akan menambahkan gender sebagai alat
analisa yang penting untuk meneliti mengapa perempuan asinglah yang dianggap sebagai
yang mengancam identitas Israel. Identitas itu dibangun melalui penggambarannya
sebagai yang tidak kudus sehingga persatuan dengannya mendatangkan kecemaran bagi
bangsa Israel. Di sinilah dapat dikatakan bahwa demi menggariskan batasan yang jelas di
antara “yang Israel” dengan “yang bukan Israel” maka perempuan dikorbankan; dan jika
kita menghubungkan penetapan identitas itu sebagai upaya untuk melawan imperialisme
Persia maka tanpa sadar perempuanpun telah dijadikan sebagai simbol resistensi atau
perlawanan terhadap imperialisme. Hingga tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa
perempuan di dalam Ezra 9-10 mengalami penindasan ganda baik oleh kekuatan struktur
patriarkal maupun oleh sistem imperialisme yang meninggalkan sedikit ruang bagi Israel
untuk mengekspresikan diri mereka.

 

13 

 

14 

Kawin Campur, Gender, dan Perceraian Perempuan Asing

Claudia Camp mengatakan bahwa perempuan asing kerap kali ditampilkan di dalam
Alkitab Ibrani di dalam berbagai bentuk yang berbeda. Di dalam kerangka ideologis ia
dipandang berbahaya karena dapat mempengaruhi para laki-laki Israel untuk berbalik dari
Tuhan akibat pengaruh penyembahan dewa-dewa asing yang dibawa serta olehnya ketika
menikah dengan suaminya. Perempuan asing juga digambarkan sebagai yang terlibat di
dalm aktivitas seksualitas yang tidak diterima oleh masyarakat seperti persinahan dan
pelacuran. Lebih lanjut Alkitab Ibrani juga mendeskripsikan perempuan asing sebagai
yang mengucapkan kata-kata dusta sehingga tidak boleh dipercaya. Perempuan asing
juga adalah lambang kejahatan dan kematian. Ia menyebabkan laki-laki Israel kehilangan
hak waris dan garis keturunan (Camp, 2000:28). Semua penggambaran itu bertujuan
untuk menghadirkan pencitraan yang negatif terhadap perempuan asing. Para ahli
poskolonial seperti Musa Dube menggarisbawahi penggunaan seksualitas perempuan
asing sebagai simbol penaklukan tanah dan sebagai pengkhianat yang berpihak dengan
sang penjajah guna menghancurkan bangsanya sendiri. Dengan demikian menurut Dube,
perempuan asing merupakan alat yang digunakan oleh penjajah untuk melegitimasikan
ideologinya (Dube, 2000:28).

Diskusi tentang pencitraan negatif terhadap perempuan asing juga datang dari Esther
Fuchs yang mencatat adanya penggambaran yang ambigu tentang sosok perempuan
asing. Ia digambarkan sebagai sosok yang menarik dan ditakuti, sama namun lain,
diinginkan dan dilarang. Jika identitas nasionalnya mengisyaratkan adanya jarak antara
dirinya dengan bangsa Israel maka seksualitasnya merupakan sesuatu yang ditakuti dan
dicemburui karena ia tampil sebagai sesorang yang memiliki daya tarik seksual yang
tinggi dan memiliki kemampuan reproduksi. Kemerdekaannya untuk bergerak di antara
batasan-batasan nasional membebaskannya dari aturan-aturan ketat yang dikenakan
kepada perempuan Israel yang berperan sebagai istri atau ibu (Fuchs, 2009:76). Fuchs
menekankan bahwa penggambaran yang bersifat kontradiktif tentang para perempuan
asing sebagai yang mengancam sekaligus memikat, berbahaya namun menarik adalah
sesuai dengan kontradiksi yang ada di dalam penggambaran diri Israel sendiri yang di

 

14 

 

15 

satu sisi hanya menerima sistem endogami dan menolak pernikahan dengan orang
asing/exogami namun pada sisi yang lain bersifat terbuka terhadap pernikahan dengan
orang asing (Fuchs, 2009:76).

Penggambaran secara umum tentang pencitraan perempuan asing menghantarkan kita
pada Ezra 9-10. Dengan memberi perhatian khusus pada persoalan gender maka
pertanyaan yang muncul dari kedua teks ini adalah tentang mengapa perempun tidak
diperkenankan untuk menjadi bagian di dalam komunitas Israel. Lebih lanjut, ketika Ezra
mendasarkan langkah pengusirannya terhadap perempuan asing (Ezra 9:12) pada hukum
di dalam Ulangan 7:3 yang melarang orang Israel untuk mengambil suami dan istri dari
bangsa asing maka mengapa hanya para istri saja beserta dengan anak-anaknya yang
diusir? (Anderson, 2009:55). Washington, yang mendasarkan analisanya dengan
menggunakan kerangka analisa Julia Kristeva, berpendapat bahwa pengusiran perempuan
asing dari tengah-tengah komunitas Israel disebabkan karena para perempuan tersebut
mengancam kekudusan komunitas dan membuat masyarakat tercemar. Kosa kata-kosa
kata yang digunakan untuk menggambarkan Israel sebagai umat yang kudus adalah zera
haqqodes “benih kudus” (Ezra 9:2) dan nidda “mestruasi/ketidakmurnian (Ezra 9:11)
(Washington, 2003:431). Lebih lanjut, Washington mengatakan bahwa karena benih
berhubungan dengan lambang kemurnian laki-laki sementara kecemaran menstruasi
adalah polusi yang sangat berhubungan dengan perempuan maka tentu saja perempuan
harus diposisikan kedudukannya sebagai orang asing yang berada di dalam komunitas
(Washington, 2003:431). Dengan demikian maka perempuana adalah makluk yang hina
dan oleh karena itu harus disingkirkan. Kata nidda kemudian digunakan untuk
menggambarkan tanah Yehuda sebagai tanah yang tidak bersih/haram (eres nidda)
sehingga otomatis penduduk yang mendiami wilayah tersebutpun pastilah bangsa-bangsa
yang tidak bersih/haram (Washington, 2003:434). Pendapat Washington ini didukung
oleh Willa Johnson yang melihat bahwa penggambaran terhadap kawin campur sebagai
kekejian di mata Tuhan (ezra 9:1, 11, 14) atau sebagai tindakan ketidaksetiaan yang
memiliki kekuatan untuk mencemari tanah dengan ketidaksucian adalah sejajar dengan
penggambaran kawin campur sebagai tindakan pornografi (Anderson, 2009:56). Johnson
mengatakan bahwa konotasi-konotasi seksual yang bersifat negatif ini tidak dapat

 

15 

 

16 

dihindari karena penggunaan kata nasim nokriyyot atau perempuan asing yang digunakan
di Ezra 9-10 ini biasanya digunakan di bagain Alkitab Ibrani lainnya untuk
mengambarkan istri yang aneh, sundal dan serong (Anderson, 2009:56).

Analisa di atas menunjukkan ketersinggungan di antara gender dan ketercemaran; bahwa
perempuanlah yang tercemar akibat mestruasi yang dialaminya. Hal ini menurut
Christine Hayes dapat menjelaskan alasan mengapa para perempuan harus diceraikan dan
diusir dari tengah-tengah komunitas. Hayes berpendapat bahwa alasan utamanya adalah
karena dari tubuh mereka yang tercemar telah lahir jenis pencemaran yang baru yaitu
pencemaran geneologi – pencemaran anak-anak yang lahir dari perkawinan campur
tersebut. Di sini kata yang digunakan untuk menjelaskan hal itu adalah maal atau tidak
setia (Ezra 9:2, 4, 10:6) yang merujuk pada ketidaksetiaan anak-anak yang dilahirkan dari
perempuan asing (Hayes, 2002:30). Penjelasan Hayes ini sekaligus menjawab pertanyaan
yang cukup mengganggu tentang mengapa anak-anak juga ikut serta diusir dari
komunitas Israel? Salah satu alternatif jawaban yang dapat ditawarkan berdasarkan
pembahasan Hayes ini adalah karena keadaan anak-anak itu sendiri yang telah tercemar –
mereka merupakan produk dari ibu yang tercemar sehingga kehadiran mereka akan
mencemari seluruh komunitas. Di sinilah, tindakan pengusiran mereka adalah suatu hal
yang tidak bisa dihindari. Hal ini sekaligus menandai bahwa identitas etnisitas yang
dikonstruksi oleh Ezra bukan saja menjadikan perempuan sebagai alat untuk mencapai
tujuan. Kita juga berbicara tentang anak-anak yang tidak berdosa yang juga harus
dikorbankan dalam upaya mempertahankan eksistensi diri yang dilakukan oleh Ezra dan
para pendukungnya.

Lebih lanjut, baik Ezra 9-10 tidak berbicara sedikitpun tentang nasib para perempuan
asing yang diceraikan oleh para suami mereka yang merupakan orang Israel yang
kembali dari pembuangan. Namun pembahasan saya di awal tulisan ini yang menekankan
tentang kondisi perempuan yang tidak pernah lepas dari kekuasaan para laki-laki di
sepanjang kehidupannya dapat memberikan kepada kita gambaran tentang kehidupan
para istri paska perceraian. Di dalam kedua teks tersebut, tidak dijelaskan apakah para
istri dan anak-anak itu diberikan dukungan secara finansial ataupun tidak. Kita hanya

 

16 

 

17 

dapat membayangkan bahwa para perempuan ini mungkin saja kembali ke rumah orang
tua mereka seperti yang dilakukan oleh Orpa ketika ia tidak lagi menerima perlindungan
dari suaminya (Rut 1:14). Di rumah orang tua itulah mereka kemudian menerima
dukungan moril dan finansial. Namun tidak selamanya mereka yang kembali ke rumah
orang tuanya disambut dengan tangan terbuka karena meskipun para orang tua tentu tidak
akan membuang anak-anak perempuannya sendiri namun para perempuan dan anak-anak
yang kembali ke keluarga mereka dapat saja menambah beban kehidupan keluarga
terutama bagi yang memiliki kondisi perekonomian yang pas-pasan. Selain kemungkinan
di atas, ada pula kemungkinan bahwa tidak sedikit dari para perempuan asing ini yang
tidak mempunyai tempat untuk ditujuh sehingga banyak yang mungkin saja terpaksa
berkelana tidak tentu arah dengan anak-anak mereka tanpa mempunyai sumber-sumber
pendapatan ekonomi yang dapat membantu mereka bertahan hidup. Keadaan hidup yang
sulit akibat tidak mempunyai tempat berteduh dan juga tanpa adanya sumber pendapatan
tentu saja menempatkan para perempuan dan anak-anak mereka ini pada posisi marginal.
Gambaran akan kehidupan perempuan asing beserta dengan anaknya yang diusir oleh
suaminya tanpa adanya dukungan finansial yang dapat menopang kehidupan mereka
dapat dilihat para cerita Hagar dan Ismael (Kej 21:8-21).

Demikianlah dengan mencoba membayangkan apa yang terjadi pada para perempuan
asing dan anak-anak mereka setelah diceraikan dan diusir dari komunitas Israel maka
tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa para perempuan ini telah menjadi lambang
penindasan. Seluruh keberadaan diri mereka dan anak-anak mereka dipertaruhkan dan
dikorbankan oleh Ezra dan para pendukungnya demi untuk mempertahankan identitas
diri bangsa Israel di tengah-tengah penjajahan imperialis Persia. Sungguh, perceraian
merupakan harga yang sangat mahal yang harus dibayar demi tetap terpeliharanya
generasi-generasi yang murni yang mempraktekkan hukum dan peraturan Israel secara
ketat. Kita dapat pula membayangkan bahwa banyak pula para suami yang tersakiti dan
terpukul akibat kebijakan ini mengingat bahwa tidak semua mereka dengan rela mau
menceraikan dan mengusir para istri mereka dari komunitas Israel. Ezra 10:15 mencatat
bahwaYonatan bin Asael, dan Yahzeya bin Tikwa, berdiri menentang perkara itu,
disokong oleh Mesulam dan Sabetai, orang Lewi. Namun suara-suara mereka tentu saja

 

17 

 

18 

dengan mudahnya dihilangkan oleh orang-orang seperti Ezra yang memegang kekuasaan
dan otoritas di dalam komunitas pada saat itu.

Kawin Campur, Kawin Lintas Agama di Indonesia: Refleksi Lanjut

Pembahasan panjang lebar tentang perceraian dan pengusiran perempuan asing beserta
dengan anak-anak hasil perkawinan tersebut mengantarkan kita pada bagian akhir dari
tulisan ini di mana penulis akan berusaha memahami permasalahan yang dialami oleh
bangsa kita sendiri sehubungan dengan kawin lintas agama. Memang ketika kita berusaha
memperhatikan dengan seksama maka hal yang digumuli di dalam kitab Ezra 9-10 ini
adalah berkenaan dengan pelarangan dan pembatalan kawin campur yang dilakukan oleh
orang-orang Israel yang pulang dari pembuangan dengan mereka yang berasal dari
kelompok etnis yang lain. Sementara hal yang digumuli di Indonesia adalah berhubungan
dengan perkawinan lintas agama yang sampai saat ini tidak diatur oleh undang-undang
negara kita. Hal ini menimbulkan problem karena pasangan yang kemudian ingin
menikah lintas agama diharuskan untuk memikirkan tentang kemungkinan pindah agama
agar kemudian mereka dapat menikah secara sah. Secara sepintas kedua permasalahan ini
adalah berbeda tetapi kalau kita kaji secara cermat maka sebenarnya ada benang merah
yang membuat keduanya sama yaitu bahwa keduanya sama-sama mengusung isu yang
berhubungan dengan upaya pengkonstruksian identitas keagamaan yang dicapai melalui
tindakan mengharuskan setiap individu untuk hanya menikah dengan orang yang
memiliki keyakinan yang sama. Hal ini bertujuan agar generasi-generasi yang terlahirpun
dapat menjadi generasi yang murni.

Hal kedua yang menjadikan kedua keadaan ini sama adalah adanya upaya oleh pemimpin
bangsa dalam hal ini Ezra dan pemerintah Indonesia sendiri untuk menciptakan peraturan
dan hukum yang memastikan kemurnian identitas agama ini di dalam keluarga dan
komunitas. Ini menunjukkan bahwa negara mengintervensi kemerdekaan setiap individu
untuk memilih siapa yang menjadi pasangan mereka. Di dalam konteks Indonesia sendiri
kita melihat bahwa campur tangan pemerintah untuk memastikan bahwa setiap pasangan
yang ingin menikah haruslah memiliki agama yang sama menunjukkan bahwa apa yang

 

18 

 

19 

menjadi konsep privat dan publik sebenarnya adalah bagian dari konstruksi sosial. Hal ini
berarti pula bahwa kegiatan pernikahan yang kita pikirkan sebagai urusan pribadi
sebenarnya merupakan masalah publik dan bukan masalah privat. Hal ini ditegaskan lagi
oleh menteri agama Lukman Hakim Saifuddin yang merasa bahwa tuntutan sejumlah
mahasiswa dan alumni Fakultas Hukum dari Universitas Indonesia untuk mengadakan uji
materi terhadap Pasal 2 ayat (1) UU Nomor I tahun 1974 akan sangat sulit dikabulkan
oleh Mahkama Konstitusi. Ia mengatakan bahwa masyarakat Indonesia pasti akan
menolak hal tersebut karena, “Masyarakat Indonesia sangat religius, sangat menjunjung
tinggi nilai agama. Di negara manapun, pernikahan adalah sesuatu yang sakral, dan ritual
pernikahan tidak bisa lepas dari nilai-nilai religiositas dari yang menjalani” (Kompas,
2014).

Ada setidaknya dua hal yang dapat dianalisa dari pernyataan Saifuddin tersebut. Pertama,
memang benar bahwa rakyat sendiri telah melihat agama sebagai bagian dari indentitas
diri mereka. Di sini kita dapat memahami sikap para orang tua di pulau Timor yang akan
melakukan apapun untuk memastikan bahwa anak-anak mereka tidak akan menikah
lintas agama apalagi pindah agama mengikuti pasangannya. Mereka melakukan hal
tersebut untuk menjaga kemurnian identitas diri mereka dan kemurnian generasi yang
akan lahir dari pernikahan anak-anak mereka tersebut. Tidak jarang kita menjumpai ada
pasangan yang beda agama namun memutuskan menikah kemudian bercerai karena tidak
kuat menghadapi tekanan dari luar baik itu dari keluarga sendiri maupun masyarakat luas.
Tentu saja di dalam situasi seperti ini para istri dan anak-anak adalah pihak-pihak yang
paling dirugikan apalagi ketika mereka tidak diperlengkapi dengan ketrampilan khusus
untuk menopang kehidupan sendiri secara finansial. Kedua, negara menggunakan
momentum ini untuk mengontrol dan mengintervensi urusan masyarakatnya. Contoh
wujud pengontrolan pemerintah yang paling jelas adalah dengan diharusnya setiap setiap
orang menuliskan keterangan tentang jenis agama yang dianutnya. Sikap pemerintah
yang mengkontruksi perkawinan sebagai sesuatu yang bersifat publik tentu saja akan
memberikan hak istimewa kepada pihak tertentu tetapi mendiskriminasikan pihak yang
lain seperti mereka yang tidak menganut kepercayaan yang diakui oleh pemerintah.
Orang-orang ini tentu saja tidak bisa menikah sehingga akhirnya mereka harus jatuh di

 

19 

 

20 

dalam tindakan kemunafikan dan penyangkalan diri. Mereka terkadang berpura-pura
menganut agama tertentu ketika akan menikah namun tidak akan mempraktekkan agama
itu di dalam kehidupan selanjutnya.

Menghadapi hal di atas maka saya rasa sudah saatnya bangsa Indonesia memikirkan
solusi-solusi yang tepat untuk menampung segala kebutuhan hidup masyarakatnya agar
tidak ada pihak yang merasa didiskriminasi di negara ini. Salah satu pilihan yang ada
adalah dengan mengijinkan setiap individu untuk menggunakan haknya untuk memilih
pasangannya dengan latar belakang agama dan etnis apapun dan sudah saatnya negara
mengatur hukum yang bisa mengakomodasi pasangan-pasangan ini untuk menuju ke
jenjang pernikahan. Karena jika tidak maka apa yang terjadi hingga saat ini akan terus
terulang lagi; bahwa orang lain di luar dari hubungan suatu pasangan dapat dengan
mudah menentukan yang mana hubungan yang diterima dan yang mana yang dilarang.
Hukum pernikahan yang demikian mempertimbangan kepentingan setiap warganya inilah
menurut hemat saya dapat menjadi salah satu cara untuk mengatasi intervensi luar yang
terkadang dengan tega memisahkan istri dari suaminya, ayah dari anak-anaknya atau ibu
dari anak-anaknya – suatu tindakan yang telah kita jumpai di Ezra 9-10 namun tidak
ingin kita temui lagi di masa kini.

 

20 

 

21 

Daftar Pustaka:
Anderson, Cheryl B. “Reflections in Interethnic/Racial Era on Interethnic/Racial
Marriage in Ezra.” In They were All Together in One Place? Toward Minority
Biblical Criticm. Edited by by Randall C. Bailey, Tat-siong Benny Liew, and
Fernando F. Segovia. Atlanta, Society of Biblical Literature, 2009.
Berquist, Jon L. Judaism in Persia’s Shadow: A Social and Historical Approach.
Minneapolis: Fortress, 1995.
__________ “Psalm, Postcolonialism, and the Construction of the Self.” In Approaching
Yehud: New Approaches to the Study of the Persian Period. Edited by Jon L.
Berquist. Atlanta: Society of Biblical Literature, 2007.
Brown, Philip A. “The Problem of Mixed Marriages in Ezra 9-10.” In Bibliotheca Sacra
162 (October-December 2005).
Camp, Claudia. “What’s So Strange about the Strange Woman?” In The Bible and the
Politics of Exegesis. Cleveland, OH: Pilgrim Press, 1991.
__________ Wise, Strange, and Holy: The Strange Woman and the Making of the Bible.
Sheffield, U.K.: Sheffield Academi Press, 2000.
Dube, Musa W. Postcolonial Feminist Interpretation of the Bible. St. Louis: Chalice
Press. 76.
Eskenazi, Tamara C. “Ezra-Nehemiah.” In Women’s Bible Commentary. Edited by Carol
A. Newsom and Sharon H. Ringe Louisville, Kentucky: Westminster John Knox
Press, 1998.
__________“Out of the Shadows: Biblical Women in the Post-Exilic Era.” JSOT (1992)
54.
__________ and Eleanora P. Judd. “Marriage to a Stranger in Ezra 9-10.” In Second
Temple Studies 2: Temple and Community in the Persian Period. Edited by
Tamara C. Eskenazi and Kent Harold Richards. Sheffield: Sheffield Academic
Press, 1994.
Esler, Philip. E. “Ezra-Nehemiah as A Narrative of (Re-invented) Israelite Identity.” In
Biblical Interpretation 11, 3/4 (2003).
Frymer-Kensky, Tikva. “Deuteronomy.” In Women’s Bible Commentary. Edited by Carol
A. Newsom and Sharon H. Ringe. Louisville, Kentucky: Westminster John
Knox Press, 1992.

 

21 

 

22 

Fuchs, Esther. “Intermarriage, Gender, and Nation in the Hebrew Bible.” In The
Passionate Torah: Sex and Judaism. Edited by Danya Rutternberg. New York
and London: New York University Press, 2009.
Gafney, Wilda. “A Prophet-Terrorist (A) and An Imperial Sympathizer: An Empirecritical, Postcolonial Reading of the No’adyah/Nechemyah Conflict.” BT 9.2
(2011).
Hefner, Robert W. “Social Legacies and Possible Future.” In Indonesia the Great
Transition. Edited by John Bresnan. Lanham: Rowman & Littlefield Publisher
Inc, 2005.
Hayes, E. Christine. Gentile Impurities and Jewish Identities: Intemarriage and
Conversion from the Bible to the Talmud. Oxford: Oxford University, 2002.
King, Phillip J. and Lawrence E. Stager. Life in Biblical Israel. Louisville, KY:
Westminster John Knox Press, 2001.
Kwok Pui-lan. Postcolonial Imagination & Feminist Theology. Louisville, KY:
Westminster John Knox Press, 2005.
Lemche, Neils. P. Early Israel: Anthropological and Historical Studies on the Israelite
Society Before the Monarchy. Leiden: E. J. Brill, 1985.
McClintock, Anne. Imperial Leather: Race, Gender and Sexuality in the Imperial
Contest. London: Routledge, 1995.
Meyers, Carol. “The Family in Early Israel.” In Families in Ancient Israel. Edited by Leo
Perdue, J. Blenkinsopp, John J. Collins, and Carol Meyers. Louisville, KY:
Westminster John Knox Press, 1997.
Smith-Christopher, Daniel. L. “The Mixed Marriage Crisis in Ezra 9-10 and Nehemiah
13: A Study of the Sociology of the Post Exilic Judean Community.” In Second
Temple Studies 2: Temple and Community in the Persian Period. Edited by
Tamara C. Eskenazi and Kent Harold Richards. Sheffield: Sheffield Academic
Press, 1994.
Washington, Harold. “The Strange Woman (‘iššâ zarâ/nokrîyyâ) of Proverbs 1-9 and
Post-Exilic Judaean Society.” In Second Temple Studies 2: Temple and
Community in the Persian Period. Edited by Tamara C. Eskenazi and Kent
Harold Richards. Sheffield: Sheffield Academic Press, 1994.
__________. “Israel’s Holy Seed and the Foreign Women of Ezra-Nehemiah: A
Kristevan Reading. BibInt (2003)11.

 

22 

 

23 

Internet:
Kompas, “Menteri Agama: Sulit jika Nikah Beda Agama Dilegalisasi,” Jumat 2
September 2014,
http://nasional.kompas.com/read/2014/09/05/08303691/Menteri.Agama.Sulit.jik
a.Nikah.Beda.Agama.Dilegalisasi. [Diunduh: 5 September 2014].

                                                        
1
Dosen Tetap di Fak. Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, mengajar
Perjanjian Lama dan Bahasa-bahasa Alkitab. Makalah disampaikan di dalam Seminar
Hasil Penelitian tentang “Perceraian dalam Tinjauan Biblika (PL)” yang diselenggarakan
oleh Departemen Penelitian, Literatur dan Penerbitan Fakultas Teologi Universitas
Kristen Duta Wacana, Yogyakarta

Dokumen yang terkait