makalah seminar padang

TIN D AK PID AN A PERBAN KAN
D AN PEN CU CIAN U AN G ( M ON EY
LAU N D ER IN G)
b y D r . Zu lk a r n a in Sit o m p u l, SH , LL.M
( b ) e in g t h e m a n a g e r o f o t h e r p e o p le ’s m o n e y t h a n o f t h e ir
o w n , it ca n n o t w e ll b e e xp e ct e d , t h a t t h e y s h o u ld w a t c h
o v e r it w it h t h e s a m e a n xio u s v ig ila n ce w it h w h ich
p a r t n e r s in a p r iv a t e co p a r t n e r y fr e q u e n t ly w a t c h o v e r
t h e ir o w n …N e g lig e n ce a n d p r o fu s io n , t h e r e fo r e , m u s t
a lw a y s p r e v a ils , m o r e o r le s s , in t h e m a n a g e m e n t o f t h e
a ffa ir s o f s u ch c o m p a n y .

Ad am Sm ith

I. Pe n d ah u lu an
Kasus bobolnya Bank BNI dengan jum lah cukup spektakular yang
kem udian disusul dengan “peram pokan” Bank BRI seolah judul rom an “tak
putus dirundung m alang”. Kasus ini juga m em pertebal kepercayaan kita akan
rendahnya etika profesionalism e pengelola industri perbankan dan lem ahnya
system pengawasan bank terutam a system pengawasan internal.1 Padahal
etika profesionalism e sangat penting bagi pengelolaan bank karena pada

dasarnya kekayaan yang dikelola oleh pengurus bank sebagian besar
m erupakan kekayaan m asyarakat yang dipercayakan padanya. Pada tahuntahun terakhir ini perbankan m em ang telah m engalam i suatu ujian yang
sangat berat terutam a dalam profesionalism e kepengurusan bank. Sebenarnya
hal tersebut tidak hanya terjadi pada industri perbankan Indonesia tetapi
juga pada industri perbankan di luar negeri. Hal ini dapat dilihat dari
besarnya kerugian yang diderita oleh bank m ultinasional yang disebabkan
oleh pengurus bank seperti pada the Daiw a Bank,2 Baring Bank dan Bank of
Credit and Com m erce International (BCCI) yang berakibat ditutupnya bankbank tersebut. Masing-m asing bank ini m enderita kerugian m elebihi US$ 1
m illiar yang disebabkan oleh tindakan m anajem en yang m elawan hukum . 3
1. Zulkarnain Sitom pul, “Skandal BNI dan Pengawasan Internal”, Pilars, No.32/ Th.VI/ 17-23
Novem ber 20 0 3, hal. 10 0 .
2 . Toshihide Iguchi, Executive Vice President Daiwa Bank Cabang New York m elakukan transaksi
illegal sebesar USD 1,1 m ilyar yang m enyebabkan ditutupnya bank tersebut oleh Pem erintah AS.Untuk
lengkapnya lihat Keterangan Pers United States Attorney Southern District of New York, tanggal 2
Novem ber
1995. Keterangan
Pers
ini dapat
diperoleh
pada

website
http:/ / www.
leclaw.com / files/ cur45.htm .
3 . Pada Baring Bank dilakukan oleh Pedagang derivative dan kom oditi dan pada BCCI dilakukan
oleh Presiden dan wakilnya. Thom as C. Baxter, J r. and Ram asastry, "The Im portance of Being Honest Lesson from an Era of Large-Scale Financial Fraud," Saint Louis University Law Review , (Winter 1996),
hal. 19.

1

Pentingnya etika profesi dalam pengelolaan bank terkait dengan potensi
bank “diram pok” oleh pem ilik dan pengelola bank. Potensi ini disebabkan
karena ciri khas transaksi perbankan yaitu volum e transaksi sangat besar,
likuid, m udah dipalsukan dan m elibatkan jum lah uang yang besar serta
seringkali m elintasi batas negara. Masing-m asing faktor ini m em perm udah
terjadinya kejahatan oleh orang dalam . Volum e transaksi yang besar seperti
kredit perum ahan dan kredit konsum si yang dilakukan oleh perbankan
sangat sulit dim onitor. Dengan dem ikian m udah untuk m elakukan penipuan
ditengah banyaknya jum lah transaksi yang legal. J um lah transaksi yang besar
dapat juga m em buat upaya pendeteksian dini m enjadi sulit seperti asset yang
dipindahkan m elalui perusahaan boneka dalam suatu seri transkasi yang

kompleks. Asset yang likuid juga merupakan suatu kem udahan bagi pelanggar
hukum . Singkatnya adalah lebih m udah m encuri uang tunai dibandingkan
dengan m encuri m esin cetak. 4
Padahal, fungsi bank sebagai lem baga perantara keuangan, dalam arti
m enerim a sim panan dari m asyarakat sangat penting bagi pertum buhan
ekonom i suatu negara. Untuk itu dana yang diterim a dari m asyarakat
haruslah dikelola secara berhati-hati sehingga nasabah penyim pan tidak
khawatir tentang keam anan dan ketersediaan sim panannya.5 Agar fungsi
bank sebagai lem baga perantara dapat berjalan dibutuhkan adanya
kepercayaan m asyarakat. Pentingnya kepercayaan m asyarakat bagi bank
paling tidak karena dua alasan, pertam a, m eningkatkan efisiensi penggunaan
bank dan efisiensi interm ediasi, dan kedua, m encegah terjadiny a bank runs
and bank panics.6
Sem entara itu, perkem bangan
industri perbankan, globalisasi dan
liberalisasi pasar keuangan telah m engakibatkan terjadinya persaingan di
antara bank-bank terutam a dalam penghim punan dan penanam an dana.
Untuk itu, m anajem en bank dituntut m em punyai keteram pilan m engelola
kekayaan, utang dan m odal bank yang tercerm in dalam neraca bank dengan
baik. Suatu hal yang lebih m endasar dari keahlian dan keteram pilan tersebut

adalah adanya itikad baik. Artinya pengurus bank seharusnya adalah pihak
yang m enjunjung tinggi etika profesionalism e.
Pem bobolan BNI dan BRI serta kebangkrutan BCCI pada tahun 1991
m isalnya, adalah suatu jenis kasus dari penipuan besar yang dilakukan oleh
orang dalam (insider)yang tidak terdeteksi selam a bertahun-tahun. Transaksi
bank yang sangat besar yang m elibatkan asset likuid, siap untuk dipalsukan
dan ditem patkan di perusahaan-perusahan yang terpisah sebanyak m ungkin
diberbagai negara. BCCI m em ang suatu kasus ekstrem , tetapi tetap m asuk
akal bahwa penipuan oleh insider yang jum lahnya jauh lebih besar m asih
dapat terjadi pada bank dibandingkan pada perusahaan bukan bank. 7

4 . Peter P. Swire, "Bank Insolvency Law Now That It Matters Again," Duke Law Journal,
(Decem ber 1992), hal.844.
5 A Robert Abboud, Money in the Bank How Safe Is It, (Hom ewood: Bank Adm inistration Institute,
1988), hal.32.
6 Zulkarnain Sitom pul, Perlindungan Dana N asabah Bank Suatu Gagasan tentang Pendirian
Lem baga Penjam in Sim panan di Indonesia, (J akarta: Program Pascasarjana FH UI, 20 0 2), hal.2.
7. Ibid, hal.845

2


Disam ping penipuan yang dilakukan oleh orang dalam perbankan, bentuk
transaksi bank telah pula m enyebabkan perbankan dapat digunakan sebagai
sarana untuk m enyem bunyikan dan atau m engaburkan asal usul dana yang
berasal dari tindak pidana. Upaya pengaburan ini dikenal dengan pencucian
uang (m oney laundering) yang beberapa tahun terakhir ini sem akin m enjadi
sorotan internasional. Hal ini tidak terlepas dari sem akin m eningkatnya
tindak kejahatan m oney laundering yang secara langsung m aupun tidak
langsung dapat m em pengaruhi sistem ekonom i suatu negara.8
Untuk Indonesia isu pencucian uang m enjadi m asalah penting oleh karena
dalam beberapa kali review oleh FATF (Financial Action task Force on Money
Laundering) 9 terhadap pelaksanaan rezim anti m oney laundering di
Indonesia, yaitu pada bulan J uni 20 0 110 , Februari 20 0 3 11 dan terakhir
Februari 20 0 4, Indonesia m asih dicantum kan dalam daftar NCCTs (NonCooperative Countries and Territories). Penyebab dicantum kannya Indonesia
dalam daftar tersebut pada J uni 20 0 1 adalah tidak adanya undang-undang
yang m enetapkan pencucian uang sebagai tindak pidana.
Masuknya Indonesia dalam daftar NCCTs berdampak kurang
m enguntungkan bagi perekonom ian m engingat seluruh transaksi perbankan
yang berasal dari bank-bank di Indonesia dapat dianggap sebagai transaksi
yang m encurigakan (suspicious transaction) yang berakibat pem erintah dari

negara-negara anggota FATF akan m em inta bank-banknya untuk m enetapkan
persyaratan yang lebih berat atau m ahal apabila m elakukan transaksi dengan
bank di Indonesia karena dianggap berisiko tinggi.
II. Tin d ak Pid an a Pe rban kan
Terdapat dua istilah yang seringkali dipakai secara bergantian walaupun
m aksud dan ruang lingkupnya bisa berbeda. Pertam a, adalah “Tindak Pidana
Perbankan” dan kedua, “Tindak Pidana di Bidang Perbankan”. Yang pertam a
m engandung pengertian tindak pidana itu sem ata-m ata dilakukan oleh bank
atau orang bank, sedangkan yang kedua tam paknya lebih netral dan lebih luas
karena dapat m encakup tindak pidana yang dilakukan oleh orang di luar dan
di dalam bank atau keduanya.12
Istilah “tindak pidana di bidang perbankan” dim aksudkan untuk
m enam pung segala jenis perbuatan m elanggar hukum yang berhubungan
8 Menurut prediksi IMF, kegiatan m oney laundering telah m elam paui batas 5 % dari GDP dunia,
yang besarnya m encapai 30 0 – 40 0 Milyar USD.
9 FATF m erupakan organisasi yang dibentuk oleh Kelom pok 7 Negara (G-7) dalam G-7 Sum m it di
Perancis pada bulan J uli 1989.
10 Selain Indonesia, 18 negara lainnya adalah Cook Islands, Mesir, Guatem ala, Myanm ar, Nauru,
Nigeria, Phillipin, Ukraina, St. Vincent , Grenada, Hungaria, Israel, Lebanon, St. Kitts, Nevis, Dom inika,
Marshall Islands, Niue.

11 Pada posisi tersebut, negara yang m asih tercatat dalam daftar NCCT’s berkurang menjadi 10
negara yaitu Indonesia, Cook Islands, Mesir, Guatem ala, Myanm ar, Nauru, Nigeria, Phillipin, Ukraina,
dan St. Vincent.
12 Istilah “Tindak Pidana Di Bidang Perbankan dipergunakan oleh Brigjen Pol Drs. HAK Moch
Anwar, SH dan Prof Mardjono Reksodiputro, SH, MA. Lihat, HAK Moch Anwar, Tindak Pidana di
Bidang Perbankan, (Bandung: Alum ni, 1986). Lihat juga Marjono Reksodiputro, Kem ajuan
Pem bangunan Ekonom i dan Kejahatan, Kum pulan Karangan Buku Kesatu, (J akarta: Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum , 1994), hal. 74.

3

dengan kegiatan-kegiatan dalam m enjalankan usaha bank. Tidak ada
pengertian form al dari tindak pidana di bidang perbankan. Ada yang
m endefinisikan secara popular, bahwa tindak pidana perbankan adalah tindak
pidana yang m enjadikan bank sebagai sarana (crim es through the bank) dan
sasaran tindak pidana itu (crim es against the bank).
A. Je n is -je n is Tin d ak Pid an a d i Bid an g Pe rban kan
Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaim ana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya
disebut UU Perbankan) terdapat tiga belas m acam tindak pidana yang diatur

m ulai dari pasal 46 sam pai dengan Pasal 50 A. Ketiga belas tindak pidana itu
dapat digolongkan ke dalam em pat m acam :
a. Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan, diatur dalam Pasal 46.
b. Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank, diatur dalam Pasal
47 ayat (1) ayat (2) dan Pasal 47 A.
c. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pem binaan
bank diatur dalam pasal 48 ayat (1) dan ayat (2).
d. Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank diatur dalam pasal
49 ayat (1) huruf a,b dan c, ayat (2) huruf a dan b, Pasal 50 dan Pasal
50 A.
a. Tin d ak Pid an a Yan g Be rkaitan D e n gan Pe rizin an
Tindak pidana ini disebut juga dengan tindak pidana bank gelap. Pasal
46 ayat (1) m enyebutkan, bahwa barang siapa m enghim pun dana dari
m asyarakat dalam bentuk sim panan tanpa izin usaha dari pim pinan Bank
Indonesia sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana
penjara sekurang-kurangnya 5 (lim a) tahun dan paling lam a 15 (lim a belas)
tahun serta denda sekurang-kurangnya 10 .0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (sepuluh m iliar
rupiah) dan paling banyak 20 0 .0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (dua ratus m iliar rupiah).
Ketentuan ayat (2) menyebutkan, bahwa dalam hal kegiatan sebagaim ana
dim aksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk

perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, m aka penuntutan
terhadap badan-badan dim aksud dilakukan baik terhadap m ereka yang
m em beri perintah m elakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai
pim pinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. Pasal ini satusatunya pasal dalam UU Perbankan yang m engenakan ancam an hukum an
terhadap korporasi dengan m enuntut m ereka yang m em beri perintah atau
pim pinannya.
Ketentuan Pasal 46 ayat (1) sering m enim bulkan perm asalahan yaitu:
Pertam a, apakah yang dim aksud dengan “m enghim pun dana dari
m asyarakat”. Kedua, apakah sim panan yang dim aksudkan dalam pasal ini
hanya berupa giro, tabungan, deposito dan sertifikat deposito atau juga
m eliputi bentuk lain yang dipersam akan dengan itu. Ketiga, apakah si pelaku
harus m enggunakan nam a bank atau tidak. J awaban atas pertanyaan di atas
dapat dilihat pada putusan pengadilan yang m enerapkan Pasal 46 yaitu dalam

4

kasus PT BMA yang berkedok sebagai usaha Multi Level Marketing. PT BMA
m enghim pun dana dari m asyarakat dalam bentuk yang kurang jelas. Kepada
penyim pan dana diberikan seperangkat tekstil dan atau hak untuk m em injam
sejum lah uang. Menurut Bank Indonesia, MLM ini telah melakukan kegiatan

bank gelap yang m elanggar Pasal 46 UU Perbankan. Pendapat diterim a oleh
pengadilan.
b. Tin d ak Pid an a Yan g Be rkaitan D e n gan Rah a s ia Ban k
Pasal 47 ayat (1) UU Perbankan m enyebutkan bahwa barang siapa tanpa
m em bawa perintah tertulis atau izin dari pim pinan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan
sengaja m em aksa bank atau Pihak Terafiliasi untuk m em berikan keterangan
sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 40 , diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lam a 4 (em pat) tahun serta
denda sekurang-kurangnya Rp. 10 .0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (sepuluh m iliar rupiah)
dan paling banyak Rp. 20 0 .0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (dua ratus m iliar rupiah).
Ayat (2) Anggota Dewan Kom isaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak
Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja m em berikan keterangan yang wajib
dirahasiakan m enurut Pasal 40 , diancam dengan pidana penjara sekurangkurangnya 2 (dua) tahun dan paling lam a 4 (em pat) tahun serta denda
sekurang-kurangnya Rp. 4.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (em pat m iliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 8.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (delapan m iliar rupiah).
Pasal 47A. UU Perbankan m enyebutkan bahwa Anggota Dewan Kom isaris,
Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak m em berikan
keterangan yang wajib dipenuhi sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 42A dan
Pasal 44A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua)

tahun dan paling lam a 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
4.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (em pat m iliar rupiah) dan paling banyak Rp.
15.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (lim a belas m iliar rupiah).
c. Tin d ak Pid an a Yan g
Pe m bin aan Ban k

Be rkaitan

D e n gan

Pe n gaw as an

D an

Pasal 48 ayat (1) UU Perbankan m enyebutkan bahwa Anggota Dewan
Kom isaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak
m em berikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaim ana dim aksud dalam
Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lam a 10
(sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0
(lim a m iliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10 0 .0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (seratus
m iliar rupiah).
Ayat (2) UU Perbankan m enyebutkan bahwa, Anggota Dewan Kom isaris,
Direksi, atau pegawai bank yang lalai m em berikan keterangan yang wajib
dipenuhi sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan
Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana kurungan sekurangkurangnya 1 (satu) tahun dan paling lam a 2 (dua) tahun dan atau denda

5

sekurang-kurangnya Rp. 1.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (satu m iliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 2.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (dua m iliar rupiah).
d. Tin d ak Pid an a Yan g Be rkaitan D e n gan U s ah a Ban k
Pasal 49 ayat (1) UU Perbankan m enyebutkan bahwa, Anggota Dewan
Kom isaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :
a. m em buat atau m enyebabkan adanya pencatatan palsu dalam
pem bukuan atau dalam laporan, m aupun dalam dokum en atau laporan
kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
b. m enghilangkan atau tidak m em asukkan atau m enyebabkan tidak
dilakukannya pencatatan dalam pem bukuan atau dalam laporan,
m aupun dalam dokum en atau laporan kegiatan usaha, laporan
transaksi atau rekening suatu bank;
c. m engubah, m engaburkan, m enyem bunyikan, m enghapus, atau
m enghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pem bukuan atau
dalam laporan, m aupun dalam dokum en atau laporan kegiatan usaha,
laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja
m engubah, m engaburkan, m enghilangkan, m enyem bunyikan atau
m erusak catatan pem bukuan tersebut,
diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lim a) tahun dan
paling lam a 15 (lim a belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
10 .0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (sepuluh m iliar rupiah) dan paling banyak Rp.
20 0 .0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (dua ratus m iliar rupiah).
Ayat (2) Pasal 49 UU Perbankan m enyebutkan bahwa, Anggota Dewan
Kom isaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja :
a. m em inta atau m enerim a, m engizinkan atau m enyetujui untuk
m enerim a suatu im balan, kom isi, uang tam bahan, pelayanan, uang
atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk
keuntungan keluarganya, dalam rangka m endapatkan atau berusaha
m endapatkan bagi orang lain dalam m em peroleh uang m uka, bank
garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pem belian
atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat prom es,
cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainya, ataupun dalam
rangka m em berikan persetujuan bagi orang lain untuk m elaksanakan
penarikan dana yang m elebihi batas kreditnya pada bank;
b. tidak m elaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk
m em astikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang
ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainya yang berlaku
bagi bank,
diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan
paling lam a 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
5.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (lim a m iliar rupiah) dan paling banyak Rp.
10 0 .0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (seratus m iliar rupiah).
Selanjutnya Pasal 50 UU Perbankan m enyebutkan bahwa, Pihak Terafiliasi
yang dengan sengaja tidak m elaksanakan langkah-langkah yang diperlukan

6

untuk m em astikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang
ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank,
diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan
paling lam a 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
5.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (lim a m iliar rupiah) dan paling banyak Rp.
10 0 .0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (seratus m iliar rupiah).
Pasal 50 A. UU Perbankan m enyebutkan bahwa, Pemegang saham yang
dengan sengaja m enyuruh Dewan Kom isaris, Direksi, atau pegawai bank
untuk m elakukan atau tidak m elakukan tindakan yang m engakibatkan bank
tidak m elaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk m em astikan
ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan
perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan
pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lam a 15 (lima
belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10 .0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0
(sepuluh m iliar rupiah) dan paling banyak Rp. 20 0 .0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (dua
ratus miliar rupiah).
Suatu pertanyaan yang sering tim bul adalah apakah tindak pidana yang
diatur dalam UU Perbankan m erupakan tindak pidana um um atau khusus.
Hal ini berkaitan dengan tugas penyidikan terhadap tindak pidana ini.
Terdapat kesan, bahwa pihak Kepolisian m enganggapnya sebagai tindak
pidana um um , karena walaupun tindak pidana ini diatur di luar KUHP, tetapi
UU Perbankan tidak m engatur Hukum Acara khusus m engenai tindak pidana
perbankan. Ada pihak lain yang m enyebut sebagai tindak pidana khusus,
karena diatur di luar KUHP, ancam an hukum berat dan kum ulatif dengan
m inim um hukum an dan ada sedikit hukum acara seperti yang diatur dalam
Pasal 42 yang berkaitan dengan perm intaan keterangan yag bersifat rahasia
bank dalam proses peradilan perkara pidana.
Menurut Keputusan Menteri Kehakim an Republik Indonesia No. :
M0 1.PW.0 7.0 3 Tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982 tentang Pedom an
Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tindak pidana
perbankan term asuk dalam tindak pidana khusus (sebagai penjelasan dari
Pasal 284 KUHAP).
Dalam kaitannya dengan tindak pidana di bidang perbankan ini kejahatan
yang dilakukan oleh orang dalam perlu m endapat perhatian khusus.
Kejahatan orang dalam adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang dalam
bank terhadap bank (crim es against the bank). Kejahatan “orang dalam ”
dalam bentuk penipuan (fraud) dan self dealing m erupakan penyebab utam a
kehancuran bank karena bagian terbesar asset bank berbentuk likuid.13 Di
Am erika Serikat m isalnya insider fraud m erupakan 50 % dari kejahatan yang
terjadi pada perbankan.14 Kejahatan oleh “orang dalam ” ini dapat dilakukan
oleh pengurus dan atau pem egang saham dom inan (pemegang saham
pengendali) yang m em pengaruhi pengurus bank.15 Kejahatan yang dilakukan
tersebut dapat digolongkan ke dalam dua cara. Pertam a, dilakukan dengan
m em anfaatkan kedudukannya untuk kepentingan diri sendiri
secara
13 . J onathan R. Macey and Geoffrey P. Miller, “Bank Failures, Risk Monitoring, and the Market for
Bank Control”, Colum bia Law Review , (October 1988), hal.255
14 .FDIC DOS Manual of Exam Policies Bank Fraud and Insider Abuse, Section 9.3
15 . Peter P. Swire, . Op.cit., hal.8 41

7

m elawan hukum. Kedua, m ism anagem ent berat berupa tindakan ceroboh
yang oleh hakim pasti dikecualikan dari prinsip business judgem ent.16
Kejahatan “orang dalam ” sangat erat kaitannya dengan dom inasi terhadap
kebijakan dan adm inistrasi oleh seorang atau beberapa orang dan lem ahnya
pengawasan baik pengawasan yang dilakukan oleh pengawas internal m aupun
eksternal (regulator). Di sam ping itu, berbagai ketentuan yang berlaku
m enyebabkan bank sering m engam bil risiko yang berlebihan, yang
m enyebabkan turunnya tingkat pengawasan internal, sehingga kegagalan
bank yang disebabkan oleh penipuan oleh orang dalam m enjadi lebih tinggi. 17
Dalam hal terjadi suatu tindak pidana di bidang perbankan yang dilakukan
oleh orang dalam terdapat beberapa undang-undang yang dapat dan biasanya
diterapkan yaitu Pertam a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Ketentuan
KUHP yang biasa dipakai m isalnya Pasal 263 (pemalsuan) Pasal 372
(penggelapan), 374 (penggelapan dalam jabatan), 378 (penipuan), 362
(pencurian), dll. Pasal-pasal KUHP diterapkan biasanya apabila bank m enjadi
korban dari suatu tindak pidana m isalnya kasus pem bobolan BNI 46 New
York oleh salah seorang m antan pegawainya dikenakan pasal 362 KUHP
(pencurian).
Kedua, Undang-undang Pem berantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.
3/ 1971, UU No. 31/ 99 jo UU no. Tahun 20 0 2. Ketentuan UU Korupsi biasanya
diterapkan terhadap kasus yang m enim pa bank pem erintah.18 UU ini
dipergunakan untuk m em udahkan m enjerat pelaku, m engenakan hukum an
yang berat dan m em peroleh uang pengganti atas kerugian negara.
Ketiga, UU Perbankan. Ketentuan dalam undang-undang ini biasanya
diterapkan apabila Kom isasris, Direksi, Pegawai dan pihak terafiliasi dengan
bank (“orang dalam ”) atau orang yang m engaku m enjalankan usaha bank
sendiri sebagai pelakunya.
III. Tin d ak Pid an a Pe n cu cian U an g
Tindak Pidana Pencucian Uang ( m oney laundering) secara populer dapat
dijelaskan sebagai aktivitas m em indahkan, m enggunakan atau m elakukan
perbuatan lainnya atas hasil dari tindak pidana yang kerap dilakukan oleh
organized crim e m aupun individu yang m elakukan tindakan korupsi,
perdagangan narkotik dan
tindak pidana lainnya dengan tujuan
m enyem bunyikan atau m engaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil
tindak pidana tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang
yang sah tanpa terdeteksi bahwa uang tersebut berasal dari kegiatan illegal. 19
Adapun latar belakang para pelaku pencucuian uang m elakukan aksinya
adalah dengan m aksud m em indahkan atau m enjauhkan para pelaku itu dari
16 .

Ibid
J onathan R Macey, et.al. , Op.cit., hal 256
18 Dalam kasus Bank Duta,bank swasta nasional, Mahkam ah Agung m enghukum Dicky Iskandar Di
Nata, (Wakil Direktur Utam a) karena tindak pidana korupsi selam a 18 tahun penjara ditam bah dengan
denda sebesar Rp.30 juta serta m em bayar uang pengganti sebesar Rp.410 .0 66 juta kepada Bank Duta
Mahkam ah Agung m enghukum . Putusan Reg. No.14K/ Pid/ 1992 tanggal 26 Mei 1992.
19 Yunus Husein, “PPATK: Tugas, Wewenang, dan Peranannya Dalam Mem berantas Tindak Pidana
Pencucuian Uang”, Jurnal Hukum Bisnis, (Volum e 22 No.3, 20 0 3), hal.26.
17.

8

kejahatan yang m enghasilkan proceeds of crim e, m em isahkan proceeds of
crim e dari kejahatan yang dilakukan, m enikmati hasil kejahatan tanpa adanya
kecurigaan kepada pelakukanya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan
tersebut untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam kegiatan usaha yang
sah.20 Sem entara itu, Black’s Law Dictionary m em berikan batasan tentang
pencucian uang sebagai :"Term used to describe investm ent or other transfer
of m oney flow ing from racketeering, drug transaction, and other illegal
sources into legitim ate channels so that its original source cannot be traced”.
21

Kegiatan m oney laundering dalam sistem keuangan pada um um nya dan
sistem perbankan pada khususnya memiliki risiko yang sangat besar. Risiko
tersebut
antara lain risiko operasional, risiko hukum , risiko
terkonsentrasinya transaksi, dan risiko reputasi. Bagi perbankan Indonesia
tindakan pencucian uang m erupakan suatu hal yang sangat rawan karena
pertam a, peranan sektor perbankan dalam sistem keuangan di Indonesia
diperkirakan m encapai 93%. Oleh sebab itu sistem perbankan m enjadi
perhatian utam a dalam pelaksanaan rezim anti m oney laundering. Kedua,
tingginya tingkat perkem bangan teknologi dan arus globalisasi di sektor
perbankan m em buat industri perbankan m enjadi lahan yang em puk bagi
tindak kejahatan pencucian uang dan m erupakan sarana yang paling efektif
untuk melakukan kegiatan m oney laundering. Pelaku kejahatan dapat
m em anfaatkan bank untuk kegiatan pencucian uang karena jasa dan produk
perbankan m em ungkinkan terjadinya lalu lintas atau perpindahan dana dari
satu bank ke bank atau lem baga keuangan lainnya, sehingga asal usul uang
tersebut sulit dilacak oleh penegak hukum .
Keterlibatan perbankan dalam kegiatan pencucian uang dapat berupa:
a.

Penyim panan uang hasil kejahatan dengan nam a palsu atau dalam
safe deposit box;

b.

Penyim panan uang dalam bentuk deposito/ tabungan/ giro;

c.

Penukaran pecahan uang hasil perbuatan illegal;

d.

Pengajuan perm ohonan kredit dengan jam inan uang yang disim pan
pada bank yang bersangkutan;

e.

Penggunaan fasilitas transfer atau EFT;

f.

Pem alsuan dokum en-dokum en L/ C yang bekerjasam a dengan oknum
pejabat bank terkait; dan

g.

pendirian/ pem anfaatan bank gelap.

DASAR – DA
LAUNDERI N

20 Rick McDonnel, “Regional Im plem entation, Regional Conference on Com bating
Money
Laundering and Terrorist Financing, Denpasar, 17 Desem ber 20 0 2.
21 Lihat juga batasan yang digunakan oleh
Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa, the United
Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang
m engartikan m oney laundering sebagai :“The convention or transfer of property , know ing that such
property is derived from any serious (indictable) offence or offences, or from act of participation in
such offence or offences, for the purpose of concealing or disguising the illicit of the property or of
assisting any person w ho is inv olved in the com m ission of such an offence or offences to evade the legal
consequences of his action; or The concealm ent or disguise of the true nature, source, location,
disposition, m ovem ent, rights w ith respect to, or ow nership of property , know ing that such property is
deriv ed from a serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in such an
offence or offences.”

9

Hal tersebut dapat terjadi m engingat adanya kem udahan dalam proses
pengelolaan hasil kejahatan pada berbagai kegiatan usaha bank. Disam ping
itu, karena organisasi kejahatan m em butuhkan pengelolaan cash flow
keuangan dengan cara m enem patkan dananya dalam kegiatan usaha
perbankan m aka penggunaan bank m erupakan suatu hal yang sangat
diperlukan dalam upaya m engaburkan asal-usul sum ber dana. Hal tersebut
m enunjukkan eratnya keterkaitan antara organisasi kejahatan dan lem baga
keuangan terutam a bank. 22
Disam ping itu, dengan berlakunya sistem Real Tim e Gross Settlem ent
(RTGS), m aka dalam hitungan detik pelaku kejahatan dapat dengan m udah
m em indahkan dana hasil kejahatan yang dilakukan. Penggunaan m edia
pem bayaran yang bersifat elektronik (electronic funds transfer) akan lebih
m enyulitkan pelacakan ditam bah pula apabila dana tersebut m asuk ke dalam
sistem perbankan di negara yang ketat dalam m enerapkan ketentuan rahasia
bank.
Secara sederhana terdapat tiga tahap dalam proses pencucian yaitu
placem ent, lay ering dan integration.23
Placem ent m erupakan upaya m enem patkan atau m emasukkan dana
atau instrum ent keuangan lainnya yang dihasilkan dari suatu aktifitas
kejahatan pada system keuangan yaitu bank atau lem baga keuangan lainnya.
Dalam hal ini terdapat pergerakan phisik dari uang tunai atau surat berharga ,
m isalnya m elalui penyeludupan uang tunai atau instrum en keuangan dari
suatu negara ke negara lain, m enggabungkan antara uang tunai yang berasal
dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah,
ataupun dengan m em ecah uang tunai atau instrum en keuangan dalam
jum lah besar m enjadi jum lah kecil ataupun didepositokan di bank atau
dibelikan surat berharga seperti m isalnya saham -saham atau juga
m engkonversikan kedalam m ata uang lainnya atau ditukarkan kedalam
valuta asing. Inilah tahap yang apaling rawan dari proses pencucian uang,
karena proses inilah yang paling m udah dideteksi.
Dalam rangka m encegah industri jasa keuangan dipakai oleh para
pelaku tindak pidana untuk m encuci uangnya dan untuk m endeteksi proses
placem ent diciptakanlah Cash Transaction Report atau CTR (laporan
transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai). Kadangkala placem ent ini
dapat dideteksi juga dengan m enggunakan
Laporan Transaksi Yang
Mencurigakan (Suspicious Transaction Report atau STR). Kedua laporan ini
diatur dalam Pasal 13 UU NO. 15 Tahun 20 0 2.. Laporan transaksi tunai yang
diatur undang-undang adalah untuk transaksi tunai yang
berjum lah
kum ulatif sebesar lim a ratus juta atau lebih suatu jum lah yang dianggap oleh
sem entara orang sebagai jum lah yang terlalu besar.
Proses placem ent ini dideteksi juga dengan adanya kewajiban orang
yang m embawa uang tunai ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik
Indonesia sejum lah seratus juta ruliah atau lebih untukm elaporkan kepada
22 Guy Stessens, Money Laundering : A N ew International Law Enforcem ent Model, Cam bridge
University Press, First Published 20 0 0 , hal.9
23 . J ane E. Hughes dan Scott B. MacDonald, International Banking Text and Cases, (Boston:
Addison Wesley, 20 0 2), hal 317.

10

Direktorat J enderal Bea Cukai. Kem udian Direktorat J enderal Bea Cukai
m elaporkannya kepada PPATK (Pasal 16 UU No. 15 Tahun 20 0 2).
Lay ering, diartikan sebagai m em indah-m indahkan hasil kejahatan
dari suatu tem pat ke tem pat lainnya dengan m aksud agar sum ber dan
pem iliknya dapat dikaburkan. Dalam hal ini terdapat proses pem indahan
dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placem ent
ketem pat lainnya m elalui serangkaian transaksi yang kom pleks yang didesain
untuk m enyam arkan/ m engelabui sum ber dana “haram ” tersebut. Lay ering
dapat pula dilakukan m elalui pem bukaan sebanyak m ungkin rekeningrekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan m em anfaatkan ketentuan
rahasia bank, terutam a di negara-negara yang tidak kooperatif dalam upaya
m em erangi kegiatan pencucian uang.
Proses “lay ering” ini dideteksi dengan adanya laporan transaksi keuangan
yang m encurigakan (suspicious transaction report atau STR) seperti diatur
dalam Pasal 13. Laporan STR ini m engingat m em erlukan judgement dari bank
sudah tentu lebih berbobot dibandingkan CTR. Sem entara itu yang dim aksud
dengan tarnsaksi keuangan yang m encurigakan adalah transaksi yang
m enyim pang dari profil dan karakteristik nasabah serta kebiasan nasabah
term asuk transaksi yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk
m enghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan
oleh penyedia jasa keuangan.(pasal 1 angka 6).
Integration, yaitu suatu proses dim ana uang hasil kejahatan yang telah
dicuci di investasikan kem bali pada suatu bisnis yang legal sehingga tam pak
tidak berhubungan sam a sekali dengan aktifitas kejahatan sebelum nya yang
m enjadi sum ber dari uang yang di-laundry . Pada tahap ini uang yang telah
dicuci dim asukkan kem bali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan
dengan aturan hukum . Proses integration ini dideteksi dengan CTR atau
STR.
Dalam ketiga tahap proses pencucian uang tersebut, laporan yang
disam paikan oleh penyedian jasa keuangan sangat penting untuk digunakan
sebagai upaya m elakukan deteksi. Itu pulalah sebabnya m engapa penyedia
jasa keuangan yang dengan sengaja tidak m enyam paikan laporan kepada
PPATK dipidana dengan denda paling banyak dua ratus lim a puluh juta
rupiah dan paling banyak satu m iliar rupiah. Denda pidana ini sudah tentu
diputuskan m elalui proses pengadilan. (Pasal 8) Selain itu, apabila
tindakpidana pencucian uang dilakukan oleh korporasi, m isalnya penyedia
jasa keuangan, m aka terhadap korporasi tersebut dapat dijatuhkan pidana
denda dengan ketentuan m aksim um pidana ditam bah satu pertiga. Korporasi
tersebut dapat juga dikenakan hukum an tam bahan berupa pem cabutan izin
usaha dan/ atau pem bubaran korporasi yang diikuti denganlikuidasi. (Pasal 5)
Untuk bank, sanksi seperti ini m erupakan suatu hal yang sangat berat,
karena bank begitu banyak m em iliki kreditur, debitur dan pegawai serta
m engingat begitu pentingnya peranan perbankan dalam perekonom ian.
Tingginya tingkat perkem bangan teknologi dan arus globalisasi di
sektor perbankan m em buat industri ini m enjadi lahan yang em puk bagi
tindak kejahatan pencucian uang . Pelaku kejahatan dapat m em anfaatkan
bank untuk kegiatan pencucian uang karena jasa dan produk perbankan
m em ungkinkan terjadinya lalu lintas atau perpindahan dana dari satu bank ke

11

bank atau lem baga keuangan lainnya sehingga asal usul uang tersebut sulit
dilacak oleh penegak hukum . Bahkan m elalui sistem perbankan pelaku dalam
waktu yang sangat cepat dapat m em indahkan dana hasil kejahatan
m elam paui batas yurisdiksi negara, sehingga pelacakannya akan bertam bah
sulit apalagi kalau dana tersebut m asuk ke dalam sistem perbankan yang
negaranya m enerapkan ketentuan rahasia bank yang sangat ketat.
IV.Pe n ce gah an Tin d ak Pid an a Pe rban kan d an Tin d ak Pid an a
Pe n cu cia n U an g
a. Tin d ak Pid an a Pe rban kan
1. Pengawasan Internal
2. Pengawasan Eksternal
b. Tin d ak Pid an a Pe n cu cian U an g
1. Pe ran an PPATK
Dalam rangka m encegah dan m em berantas tindak pidana pencucian uang,
Undang-undang No.15 Tahun 20 0 2 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
(TPPU) m em bentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) suatu lem baga independen yang bertanggung jawab langsung
kepada Presiden. PPATK pada dasarnya adalah unit intelijen keuangan
(Financial Inteligent Unit/ FIU). Pentingnya PPATK dilatarbelakangi
kesadaran bahwa untuk m em erangi pencucian uang dibutuhkan keahlian
khusus bagi penegak hukum . Pendirian unit intellijen keuangan
yang
bertugas m enerim a dan m em proses inform asi keuangan dari penyedia jasa
keuangan harus dilihat dari latar belakang phenom ena sem akin
m eningkatnya kebutuhan akan lem baga penegak hukum khusus.
Tidak ada aturan baku yang m engatur bentuk dan peranan yang harus
dijalankan oleh FIU. Rekom endasi Caribbean Drug Money Laundering
Conference hanya m ensyaratkan tentang perlunya suatu badan khusus yang
bertanggung jawab m elakukan tindakan penyidikan, penuntutan dan
penyitaan. Sedangkan Rekom endasi FATF hanya m enyebutkan perlunya
com petent authorities yang bertugas m enerim a laporan dari penyedia jasa
keuangan. Sedangkan European Money Laundering Directive m enyebut
badan yang berwenang m em erangi m oney laundering dan m ewajibkan
anggota Uni Eropa untuk m enjam in bahwa badan tersebut m em iliki
kewenangan m em inta laporan dari penyedia jasa keuangan.
Egm on Group, suatu kelom pok longgar dari FIU, m em berikan suatu
defenisi um um tentang tentang FIU yaitu:” A central.national agency
responsible for receiving (and as perm itted, requesting), analy zing and
dissem inating to the com petent authorities, disclosures of financial
inform ation: (1) concerning suspected proceeds from crim e, or (ii) required
by national legislation or regulation, in order to counter m oney
laundering.24

24 Guy Stessens, Money Laundering A New International Law Enforcem ent Model, (Cam bridge:
University Press, 20 0 0 ), hal. 184.

12

Definisi di atas berisikan tiga fungsi dasar yang dim iliki oleh sem ua jenis
FIU yaitu: Pertam a, setiap FIU m em iliki fungsi sebagai repository artinya
unit ini adalah pusat inform asi tentang m oney laundering. FIU tidak saja
m enerim a inform asi tentang transaksi keuangan akan tetapi FIU juga
m enikm ati paling tidak kontrol terhadap inform asi. Fungsi kedua adalah
fungsi analisis. Dalam m em proses inform asi yang diterim anya FIU kem udian
m em berikan nilai tam bah terhadap inform asi tersebut. Kinerja fungsinya ini
tergantung pada pada sum ber inform asi yang dapat diakses oleh FIU. Dalam
m em proses inform asi FIU berwenang m em utuskan apakah suatu inform asi
bernilai untuk ditindaklanjuti m enjadi investigasi/ penyidikan. Fungsi terakhir
FIU adalah sebagai clearing house. Dalam kapasitas ini FIU m em fasilitasi
pertukaran inform asi tentang transaksi keuangan tidak lazim atau transaksi
keuangan m encurigakan. Pertukaran inform asi ini dapat terkait dengan
inform asi dalam segala bentuk (individual atau um um ) dan dapat
berlangsung dengan berbagai m itra kerja di dalam m aupun di luar negeri.
Pilihan m endirikan FIU sebagai pusat inform asi dibandingkan dengan
laporan dari penyedia jasa keuangan langsung diserahkan kepada penegak
hukum berdasarkan beberapa alasan yaitu: Pertam a, kebutuhan adanya ahli
yang terkum pul di suatu tem pat, dim ana keahlian tersebut tidak dim iliki oleh
penegak hukum . Kedua, m em usatkan seluruh laporan dan proses analisisnya
pada suatu instansi m em buat pem erintah dapat bergerak cepat dalam
m em erangi kejahatan. Ketiga, FIU m em iliki fungsi ekonom is. Pada satu sisi
m engum pulkan inform asi secara efisien sedangkan disisi lain FIU
m eringankan pekerjaan penegakan hukum sehingga lem baga penegak hukum
dapat berkonsentrasi dalam m enyelesaikan m asalah. Di negara yang tidak
m em iliki unit Pusat Pelaporan seperti J erm an, upaya gerak cepat m engalam i
kesulitan besar. Keem pat, pendirian suatu lem baga sebagai perantara antara
lem baga keuangan dengan penegak hukum dalam banyak hal dim aksudkan
untuk m eningkatkan iklim kepercayaan antara lem baga keuangan dan
penguasa. Hal ini terjadi karena lembaga keuangan tidak diwajibkan
m elaporkan transaksi keuangan m encurigakan langsung kepada kepolisian
atau kejaksaan akan tetapi cukup m elaporkan kepada FIU yang kem udian
m elakukan analisa sebelum m elaporkannya kepada penegak hukum . Hal ini
akan m engurangi kem ungkinan nasabah yang tidak berdosa harus
berhadapan dengan aparat penegak hukum . Alasan keem pat ini juga secara
tegas digaris bawahi oleh UN Model Law on Money Laundering yang
m enyarankan dibentuknya FIU.
PPATK m em iliki tugas dan wewenang sebagaim ana yang dinyatakan
dalam Pasal 26 dan 27 UU-TPPU antara lain:
a. Mengum pulkan, m enyim pan, m enganalisis, m engevaluasi inform asi
yang diperoleh.
b. Mem berikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang.
c. Melaporkan hasil anilisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak
pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan.
d. Mem inta dan m enerim a laporan dari Penyedia J asa Keuangan (PJ K).

13

e. Melakukan audit terhadap PJ K m engenai kewajiban sesuai dengan
ketentuan dalam UU-TPPU dan terhadap pedom an pelaporan
m engenai transaksi keuangan.
f. Mem berikan pengecualian kewajiban pelaporan m engenai transaksi
keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaim ana dim aksud dalam
Pasal 13 ayat (1) huruf b.
Dalam m enjalankan tugas dan kewenangannya tersebut, PPATK bersifat
independen sebagaim ana yang dim uat dalam UU-TPPU yaitu :
a. Bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
b. Tidak diperkenankannya setiap pihak untuk m elakukan segala bentuk
cam pur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK.
c. Diwajibkannya kepala dan wakil kepala PPATK untuk m enolak setiap
cam pur tangan dari pihak m anapun dalam pelaksanaan tugas dan
kewenangannya.
Sesuai dengan ketentuan tersebut, setiap PJ K diwajibkan untuk
m elaporkan kepada PPATK transaksi keuangan yang m encurigakan (STR)
dan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai (CTR) dalam jum lah
kum ulatif sebesar Rp.50 0 .0 0 0 .0 0 0 ,- atau lebih atau yang nilainya setara, baik
dilakukan dalam satu kali transaksi m aupun beberapa kali transaksi dalam 1
(satu) hari kerja.
2 . Pe n e rap an Prin s ip Me n ge n al N a s abah ( Kn o w Yo u r Cu s to m e r
Prin cip le / KYC)
Menurut Peraturan Bank Indonesia, yang dim aksud dengan Prinsip KYC
adalah prinsip yang diterapkan bank untuk m engetahui identitas nasabah,
m em antau kegiatan transaksi nasabah term asuk pelaporan transaksi yang
m encurigakan. Di sam ping itu, penerapan prinsip ini dim aksudkan untuk
m encegah dipergunakannya bank sebagai sarana pencucian uang oleh
nasabah bank.
Dalam m enerapkan Prinsip KYC dimaksud bank diwajibkan :
a. Menetapkan kebijakan m engenai penerim aan nasabah, prosedur
identifikasi nasabah, dan prosedur pem antauan terhadap rekening dan
transaksi nasabah, serta prosedur m anajem en risiko yang berkaitan
dengan penerapan KYC.
b. Melaporkan transaksi yang m encurigakan (suspicious transaction)
kepada BI selam bat-lam batnya 7 hari kerja setelah diyakini oleh bank.
c. Menerapkan prinsip KYC yang berlaku di suatu negara bagi kantor
cabang bank yang berada di luar negeri, sepanjang standar KYCnya
sam a atau lebih ketat dari yang diatur dalam PBI, dan jika ketentuan
setem pat lebih longgar wajib diterapkan PBI KYC. Dalam hal
penerapan PBI KYC m engakibatkan pelanggaran ketentuan negara
setem pat, wajib dilaporkan kepada kantor pusatnya dan BI.

14

d. Bank wajib m enerapkan prinsip KYC dan m elakukan pengkinian data
base nasabah yang telah ada (existing custom er) selam bat-lam batnya
tanggal 13 J uni 20 0 2.
e. Bank wajib m elaksanakan program pelatihan kepada karyawan bank
m engenai prinsip KYC selam bat-lam batnya tanggal 13 Februari 20 0 2.
f. Penerapan sistem inform asi yang dapat m engidentifikasi, m enganalisa,
m em antau dan m enyediakan laporan secara efektif m engenai
karakteristik transaksi yang dilakukan oleh nasabah bank sudah harus
siap selam bat-lam batnya tanggal 13 J uni 20 0 2.
Adapun sanksi apabila apabila bank tidak
m elaporkan perubahan
Pedom an Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah selam bat-lam batnya 7 hari
kerja sejak ditetapkannya perubahan tersebut serta tidak m elaporkan kepada
BI transaksi yang m encurigakan yang terjadi di bank yang bersangkutan
selam bat-lam batnya 7 hari kerja sejak transaksi tersebut diketahui oleh bank,
dikenakan sanksi berupa kewajiban m em bayar sebesar Rp.1 juta per hari
kelam batan dan setinggi-tingginya Rp.30 juta.
Sedangkan sanksi apabila bank tidak m elaksanakan kewajiban lainnya
adalah dengan pengenaan sanksi adm inistratif sebagaim ana dim aksud dalam
Pasal 52 ayat (2) huruf b, c, e, f atau g Undang-undang No.7 tahun 1992
tentang Perbankan sebagaim ana telah diubah dengan Undang-undang No.10
tahun 1998 yaitu berupa :
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan bank;
c.

pem bekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu
m aupun untuk bank secara keseluruhan;

d. pem berhentian pengurus bank dan selanjutnya m enunjuk dan
m engangkat pengganti sem entara sam pai Rapat Um um Pem egang
Saham atau Rapat Anggota Koperasi m engangkat pengganti yang tetap
dengan persetujuan BI, atau;
e. pencantum an anggota pengurus, pegawai bank, pem egang saham
dalam daftar orang tercela di bidang Perbankan.
Disam ping sanksi adm inistratif tersebut di atas, terhadap anggota Dewan
Kom isaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak
m elaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk m em astikan ketaatan
bank terhadap ketentuan dalam undang-undang perbankan dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank (term asuk PBI KYC),
diancam dengan pidana penjara m inim al 3 tahun dan m aksim al 8 tahun serta
denda m inim al Rp. 5 m iliar dan m aksim al Rp.10 0 m iliar (Pasal 49 ayat (2)
huruf b Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaim ana
telah diubah dengan Undang-undang No.10 tahun 1998).
Terdapat beberapa kendala yang dialam i dalam pelaporan STR dari bankbank baik yang berasal dari internal (bank) m aupun dari eksternal
(m asyarakat) antara lain adalah :

15

Kendala yang dihadapi bank dalam m elaksanakan prinsip KYC berupa:
a. Takut kehilangan nasabah
Bank m erasa khawatir kehilangan nasabah apabila m enerapkan
sepenuhnya prinsip KYC baik terhadap nasabah lam a (existing custom er)
m aupun terhadap nasabah baru (new custom er). Hal tersebut karena tidak
serentaknya bank-bank dalam m enerapkan prinsip KYC pada nasabah.
Kondisi ini m em berikan peluang bagi nasabah untuk m enolak m em berikan
inform asi dan m em indahkan dananya ke bank yang belum m enerapkan
prinsip KYC.
b. Skala usaha bank
Bagi bank yang tergolong dalam skala besar (sebagai contoh m em iliki
karyawan lebih dari 21.0 0 0 dengan 80 0 kantor cabang dan 8 juta nasabah di
seluruh Indonesia) cenderung lebih sulit
menerapkan prinsip KYC
sepenuhnya, seperti pendataan profil nasabah, pelatihan bagi karyawan, dan
pengadaan sistem inform asi, yang untuk itu dibutuhkan waktu yang panjang,
biaya yang besar dan keahlian yang m em adai.
c. Ketidakpercayaan perbankan terhadap penegakan hukum
Walaupun UU-TPPU telah m em berikan kepastian akan jam inan
keam anan bagi bank dalam pelaksanaan penyam paian laporan sebagaim ana
yang tercantum dalam Pasal 15, dan Pasal 40 – Pasal 42 UU-TPPU nam un
bank m asih m eragukan pelaksanaannya khususnya terhadap aparat penegak
hukum.
Disam ping itu kurangnya perhatian m asyarakat terhadap ketentuan
KYC m erupakan kendala utam a yang dihadapi oleh seluruh bank dalam
m enerapkan prinsip KYC. Hal tersebut karena:
a. pengisian form ulir KYC m enyusahkan nasabah dan dirasa terlalu
berlebihan (m isal pengisian jabatan, nam a ibu kandung, hobi,
pinjam an dari bank lain) dan tidak nyam an;
b. takut rahasia keuangannya diketahui oleh pihak lain m isalnya
perpajakan;
c.

tidak m erasa m em peroleh m anfaat dari pengisian KYC dan
m enganggap bank terlalu ingin tahu m asalah internal nasabah.

Selain itu, dam pak yang dihadapi bank pada saat m enerapkan prinsip KYC
antara lain
a.

nasabah m enolak m engisi form ulir KYC yang sudah dikirim kan dan
akan m enarik dananya apabila tetap diharuskan m engisi;

b.

nasabah cenderung tidak jujur dalam m engisi data penghasilan
dan sulit ditem ui;

c.

nasabah penyim pan dana berkeberatan m em berikan slip gaji karena
beranggapan bukan sebagai pem injam dana.

16

V. Pe n u tu p
Sekalipun Indonesia telah m elakukan berbagai upaya untuk dapat
m enerapkan rekom endasi yang dikeluarkan FATF, tapi dalam evaluasi yang
dilakukan oleh lem baga ini pada bulan Februari 20 0 3, Indonesia m asih saja
dinilai kurang dengan tetapnya posisi Indonesia dalam daftar Non –
Cooperative Countries and Teritories (NCCTs). Alasan utam a tetap
dim asukkannya Indonesia dalam daftar itu, antara lain adanya kelem ahan
(loopholes) dalam beberapa ketentuan dari UU No.15 Tahun 20 0 2, antara
lain:
a. Adanya batasan “hasil tindak pidana” (proceed of crim e) m inim al Rp
50 0 juta. Adanya batasan ini, selain ia tidak lazim juga terdapat celah
yang dapat dim anfaatkan bagi para pencuci uang untuk m em ecahm ecah hasil kejahatannya dalam jum lah yang lebih kecil.
b. Batasan waktu penyam paian laporan transaksi tunai. Dalam Pasal 13
ayat (3), penyam paian laporan transaksi keuangan yang dilakukan
secara tunai sebagaim ana dim aksud dalam ayat 1 huruf b dilakukan
paling lam bat 14 hari kerja setelah transaksi dilakukan. Batasan waktu
ini dinilai terlalu lama, diusulkan batasan waktu penyam paian dapat
dipersingkat.
c. Tidak dim asukkannya klausul “anti tipping off” yaitu larangan bagi
Penyedia J asa Keuangan untuk m em beritahukan kepada nasabahnya
berkaitan dengan laporan Transaksi Keuangan Mencurikagakan yang
terkait dengan nasabah tersebut. Larangan ini sangat penting karena
apabila pem ilik rekening tersebut m engetahui bahwa dirinya
dilaporkan, dikhawatirkan yang bersangkutan dapat m engham bat
jalannya penyidikan, atau bahkan m enarik sim panannya.
d. Pengertian transaksi keuangan yang m encurigakan perlu diperluas
dengan m enam bahkan unsur “transaksi yang berkaitan dengan hasil
tindak pidana.”
Padang, 19 Mei 20 0 3

ooo oo

17