PENGARUH PENERAPAN MODEL KONSIDERASI TERHADAP SIKAP TENGGANGRASA: Penelitian Quasi-Eksperimental Pada Pengajaran PMP Di SLTA Di Kota Madya Dan Kabupaten PAsuruan.

PENGARUH PENERAPAN MODEL KONSIDERASI
TERHADAP SIKAP TENGGANG RASA
(Penelitian Quasi - Experimental pada Pengajaran PMP di SLTA
di Kotamadya dan Kabupaten Pasuruan)

T

E

S

I S

Diajukan kepada Panitia Ujian Tesis
Institut Keguruan dan llmu Pendidikan Bandung

dalam rangka menyalesaikan Studi Program Strata - 2
Bidang Studi Pendidikan Umum

SUTARNQ


Nornor Pokok : 8832074

FAKULTAS PASCA SARJANA

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BANDUNG
1991

;A'-jgaataiw^.i>»'

• .•,«»•,,'

„•**&>•***.;

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH:

DR. H. MOEHAMMAD ISA SOELAEMAN

Pembimbing I


DR. NURSID SUMAATMADJA

Pembimbing II

FAKULTAS PASCA SARJANA

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BANDUNG

1991

E.

1. Hubungan Antara Lingkun.gan dan Sikap ..

70

2. Hasil-hasil Penelitian

72


Siswa

74

F. Pengaruh Metode Mengajar terhadap Sikap
Tenggang Rasa
BAB

III

MET0D0L0GI

76

PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel Penelitian ...........

82


B. Rancangan Penelitian

87

C.

88

Instrumen Penelitian

D. Pelaksanaan Perlakuan Eksperimen

100

E. Pengumpulan Data ......................... 102
F.
BAB

IV


Teknik Analisis Data

ANALISIS

HASIL

103

EKSPERIMEN

A. Pengolahan Hasil Eksperimen .............. 106

BAB

V

B. Hasil Pengujian Hipotesis

109


C. Posthoc Comparisons

113

PENUTUP

A. Kesimpulan
B.

.....

117

Diskusi

1. Kaitan Antara Kesimpulan dengan
Kerangka Teoritis ...................... 119
2. Sumbangan Model Konsiderasi dalam
Pendidikan


Umurn

a.

Tujuan

126

b.

Hainan

133

C. Saran-saran

135

DAFTAR PUSTAKA


136

LAMP IRAN-LAMP I RAN

Lampiran A (Uji Coba Instrumen Penelitian)
Lampiran B (Pengolahan Hasil Eksperimen)
Lampiran C (Instrumen Penelitian)

IX

DAFTAR TABEL

label

Halaman

2.1. Perbandingan Metode Mengajar

76


3.1. Kelompok Sub-kelas Menurut Lingkungaa
Sekolah dan Metode Mengajar

86

3.2. Penentuan Bobot Tiap Skaia Sikap .........

89

3.3. Hasil Bobot Alternatif Tiap Skala Sikap...

90

3.4. Analisis Daya Pembeda Skala Sikap

91

3.5. Hasil Uji Daya Pembeda Tiap Soal


93

3.6. Hasil Seleksi Soal Tes

95

3.7.

Nomor Urut Pre Test dan Post Test dengan

Bobot Penilaiannya

99

4.1. Data untuk Analisis Kouarian.

107

4.2. Aaalisis Variaa


108

4.3. Analisis Kouariaa

108

A.l. Hasil Perhitungan Pembobotan Tiap Skala

Sikap
A.2.

142

Korelasi Butir Pernyataan dengan Seluruh

Perangkat Skala Sikap

155

A.3. Analisis Butir Skala Sikap

156

B.l.

Distribusi Frekuensi Skor Skala Sikap .... 170

B.2. Uji Normalitas Distribusi Populasi

171

B.3. Ringkasan Data uatuk Analisis Varian dan
Kouarian

177

B.4. Perhitungan Data untuk menghituag
£

..

yyjk

dan. E

.,

xyjk

B.5. Adjusted Criterion Cell Means

Exxjk >
178

181

BAB

I

PENOAHULUAN

•"•• Latar Belakang Masalah

Kemajuan dalam teknologi, perkembaagan sains dan kebutuhan sosial secara bersama-sama meauntut adaaya pengaae-

karagaman program pendidikan di sekolah-sekolah sebagai penopang

itu,

berbagai jenis bidang keahlian.

Sehubungan dengan

McConnel (Nelson. B. Henry, 1952 : 2) mengatakan bahwa

dengan semakin terpusatkannya perhatian pada bidang spesial-

isasi dan bahan pelajaraanya yang bersifat teknis ini, maka

pertimbangan manusiawi (human considerations)mulai terdesak
keluar. Hal ini dapat terj.adi karena masing-masing. j.urusaa

memperlakukan siswa-siswanya sebagai spesialis,

yang hanya

menekuni bidang keahlian masing-masing, hingga

melalaikan

nilai-nilai dasar insani.

mengatakan,

Selanjutnya

McConnel

pendidikan muagkin sudah lepas koatak dengan semangat insani

(the human spirit). Keadaan ini ironis dengan makaa peadidik

an itu sendiri sebagai "sarana proses humanisasi kita" (Ali
Murtopo, 1978 : 48).
Latar belakang keberadaan Pendidikan Umum antara lain

adalah untuk menjawab persoalan di atas. Pendidikan Umum mua-

cul sebagai reaksi atas terpilah-pilahnya

peagalam-

an. belajar siswa sebagai dampak spesialisasi dan berupaya

membina manusia yang utuh (Nelson B. Henry, 1952 ; 2), Kehadiran Peadidikan Umum dalam sistem pendidikan ini penting un

tuk mencegah terjadiaya "pengeringan makna keberadaan. insani"

siswa dalam masyarakatnya. Kita harus mencegah agar peadi
dikan tidak terjerumus dalam kegiatan

yaag semata-mata

bersifat rutin dan mekanis. R.W. Livingstone (Nelson B.

Henry, 1952 : 2) mengatakan : "So easily can education
decline into routine and mechanism". Sekolah yang hanya mem-

fokuskan perhatian pada pengalaman belajar yang terbatas pa

da bidang keahlian saja akan membuat siswa itu terkotak-kotak
oleh bidang spesialisasi dan kurang mempedulikan bidang lain

yang seharusnya mendapat perhatian secara seimbang.

Menurut Monroe (1952 : 491) Pendidikan Umum seyogyanya
mencakup dasar-dasar umum yang diperlukan bagi kehidupan in

san yang normal (the common basis for normal human living).
Pendidikan Umum membekali berbagai pengalaman belajar

agar

siswa itu memiliki pribadi yang utuh, menjadi insan yang sha-

leh, menjadi anggota keluarga yang bahagia, menjadi anggota
masyarakat yang baik, dan menjadi warga negara yaag bertanggung jawab.

Pendidikan Moral Pancasila (PMP) merupakan

salah satu

dari bidang studi yaag tergolong dalam program Pendidikan
Umum.

Kedudukannya sebagai bagian dari program Pendidikan

Umum menunjukkannya sebagai pendidikan yang wajib diikuti
oleh semua siswa yang secara garis besar berfungsi

sebagai

program pendidikan yang membina manusia Indonesia untuk men

jadi warga negara yang baik (A. Suyitno, 1984 : 21). Pendi
dikan Moral Pancasila (PMP) merupakan salah satu jalur pe -

nyampaian P4 di sekolah yang bertujuan agar

"nilai-nilai,

norma-norma, sikap dan tingkah laku yang dijabarkan dari kelima sila Pancasila sebagai yang tercantum dalam P4 terwujud
dan menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari setiap insan

bangsa Indonesia" (Kurikulum SMA 1984, GBPP PMP).
Dengan kata lain tujuan PMP adalah menghayati dan mengamalkan
nilai-nilai Pancasila dalam tata pikir, tata tutur dan tata

laku. PMP mempunyai peranan strategis dalam usaha meayiapkan.

generasi muda yang berbudi pekerti luhur, berkepribadian, cinta tanah air dan tebal semangat kebangsaannya.

Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan bahan pendu-

kung yang antara lain mencakup ruang lingkup :

2iPenekanan diberikan kepada pengembangan ranah afektif
yang mendorong semangat, merangsang ilham, dan menyeimbangkan kepribadian siswa.

iisasaran'aknir'pMP adalah dihayati dan diamalkannya Pan'casila oleh setiap siswa/lulusan di dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.

(Kurikulum SMA 1984, GBPP PMP)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PMP pada hakekatnya

adalah pendidikan moral yang menekankan pada'ranah afektif,
menyeimbangkan kepribadian siswa dengan sasaran akhir pengha-

yatan dan pengamalan Pancasila.Hasan Walinono(Dikdasmen,199D: 2)
mengatakan bahwa PMP adalah pendidikan tentang nilai-nilai
yang sasarannya bukan semata-mata pengalihan pengetahuan melainkan lebih ditekankan pada pembentukan sikap. Dengan demi
kian meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotor dengan
titik berat ranah afektif.

Masalah yang menjadi sorotan utama dalam Pendidikan Moral

Pancasila

.ialah mencari metode penyampaian yang benar-

benar mengarah pada hakekat Pendidikan Umum . Sehubungan

dengan raasalah metode penyampaian ini Umar Kayam mengata
kan

:

Kita sudah mencapai titik jenuh dengan metode penatar
an P4 dalam usaha menanamkan nilai-nilai Pancasilake -

pada masyarakat. Karena itu perlu dicari metode lain
dengan memperhatikan tingkat usia dan daya pemahaman
kelompok peserta. Sehingga para lulusan tidak sekedar

memahami nilai-nilai itu karena metode yang lebih ber-

sifat hapalan (Kompas, 4 Oktober 1989)

Persoalan mencari metode penyampaian ini sangat pen

ting bahkan sempat menjadi salah satu dari lima isu politik

terbesar pada tahun 1990 (Rudini dalam Surya, 14 Juni 1990).
Metode penyampaian yang ada pada saat ini, terutama

penataran P4 telah menjadi sorotan. yang bernada negatif da
ri herbagai pihak.. Ruslan Abdulgani mengatakan bahwa pena -

taran P4 terkesan haaya itu-itu saja (Kompas. 15 Nopember

1989)• J-Riberu mengatakan bahwa penataran P4 lebih menjurus pada pembentukan. Pancasilalog dibanding Pancasilais
(Kompas, 30 Maret 1990). Penataran P4 telah melahirkan orang

orang yang memahami Pancasila, tetapi belum berhasil membentuk orang yang berperilaku yaag benar-benar selaras dengan
nilai-nilai Pancasila. J.Riberu mengatakan bahwa penataran

P4 terlalu menekankan pada kognitif-intelektual.. Padahal

.menurut Team Pembinaan Penatar (1978 : 54), nilai-nilai mo
ral Pancasila tidak untuk sekedar dipahami, melainkan untuk

dihayati. Penyerapaa nilai-nilai Pancasila diarahkan, berjalan secara manusiawi dan alamiaru Aririn.ya dilakukan secara:

wajar dan. bukan lewat cara-cara indoktrinasi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan : ada kesenjangan antara tujuan PMP yang lebih menekankan ranah afek

tif dengan metode penyampaian yang lebih menekankan ranah

kognitif. Hal ini menuntut kita untuk mengadakan
tentang

metode

penyampaian

kajiaa

yang benar-benar meaekan -

kan ranah afektif untuk ra.engimb.angi metode lain yang ceaderung mengarah. pada ranah kognitif.

Mencari dan memilih metode penyampaian yang benarbenar cocok untuk. menanamkan. nilai-nilai Pancasila ini bu-

kanlah merupakan persoalan. yang mudah mengingat bahwa :
a. Model-model pendidikan moral yang diperkenalkan saat

ini banyak yang hersifat rasional-kognitif.

b. Pada berhagai model pendidikan moral yang

diperkenalkan

moralitas lebih dipandang sebagai persoalan penalaran,
padahal dalam kultur masyarakat Indonesia, "faktor

empati atau kepedulian terhadap oraag lain menjadi salah
satu tolok ukur tinggi rendahnya moralitas seseorang"

(Sagimun Mulus Dumadi,. 1955 : 17).
c. Berbagai model pendidikan moral yang diperkenalkan me

miliki dasar-dasar, tujuan dan cara-cara pendidikan yaag

berbeda-beda

(Merlin C.Wittrock, 1986 : 918)

Richard H. Hersh (1980) mangajukan enam model pendi-dikan moral yaitu rationale-building, consideratiLon model,
values clarification model, values analysis model, cognitive
moral development mo del,

dan social-action, model. Fritz K..

Oser (Merlin C. UJittrock* 1986 : 918.)mengatakan bahwa keenam
model ini didasarkan. atas teori tindakan (action theory)

yang mencakup caring (kepedulian, perhatian), judging (per-

timbangan) dan acting (tindakan). Meskipun demikian,, keenam
model ini memiliki perbedaan dalam hal : dasar-dasar, tuj,uan
dan cara-cara pendidikannya.

Dari keenam model ini, penulis memilih model konsiderasi

(consideration-model) untuk diuji apakah efektif untuk mengajarkan nilai-nilai Pancasila.

Dasar pertimbangan dipilihaya model ini adalah :
a.

Model ini meaekankan. ranah afektif.

b. Model ini memandang moralitas

sebagai gaya kepribadiaa

dan bukan sekedar persoalan penalaran sebagaimana halnya
heberapa model pendidikan moral yang lain.

c. Model ini memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan.
martabatnya sebagai manusia..

d. Model ini raenggunakan cara yaag non-indoktrinatif.

Karena keterbatasan kemampuan, dana dan waktu

yang

ada pada penulis, penelitian iai dihatasi pada peaerapan

model konsiderasi (consideration model) dalam bidang studi
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di SLTA.
Untuk mertguji efektivitas model konsiderasi ini,

perlu diuji dengan. membandingkannya dengan metode yang lazim
dipakai oleh guru saat ini,

yang biasa disebut metode tra

disional. Menurut T.W. Moore (ia?9 : 20) metode
tradisional memiliki ciri-ciri :

mengajar

penyampaian materi daa

berpusat pada guru. Moch. Adaan. (Mimbar. Pendidikan No.l

IX

1990) mengatakan bahwa dalam mengajar tradisional, gurulah
yang dominan.

Metode tradisional menempatkan. metode ceramah pada posisi

yang domlnan. Penelitian. P3T IK IP Malang (1978) menunjuk
kan, bahwa metode ceramah tetap mendominasi bidang studi
PMP.

Penelitian ini akan membandingkan keberhasilan meto
de mengajar dengan. model konsiderasi dan. metode tradisio

nal dalam meacapai tujuan. afektif tertentu dari PMP. u"n> -

tuk mengujimya dibutuhkan tujuan instruksional umum (TIU)
dari bidang. studi PMP yang benar-beaar herailai strategls
dan. menekankan. pada ranah afektif raengingat tujuan yang

iagia dicapai hidang studi PMP juga mengandung ranah kog
nitif dan psikomotor.

Salah satu tujuan instruksional umum (TIU) yang pen
ting dan strategis untuk dikembangkan dalam hidang studi
PMP yang termasuk dalam. ranah afektif adalah sikap tenqqang
rasa. Pentingnya sikap tenggang, rasa ini tercermin dari
pencantuman sikap ini sebagai salah satu butir dari 36

butir pengamalan Pancasila (P4).
Sikap tenggang rasa ini sengaja dipilih. untuk. dikem

bangkan, dalam penelitian. ini karena sikap ini sangat dibu
tuhkan; untuk menangkal terjadinya berbagai konfilik yang

berkaitan, dengan masalah rawan : Suku, Agama, Ras, Antar gploragan. Masalah. ini perlu. mendapat perhatian, mengingat
akhir-akhir ini suhu dan tensi politik. negara sedang naik;

sebagai akibat dari mencuataya berbagai persoalan,

yaag

'8

berlatar belakang SARA ini, seperti kasus "Monitor",

"Gerakan Pengacau Keamanan" (GPK), "Huru-hara Anti Cina;

Solo-Samarang", "Organisasi Papua Merdekai" (OPM), "Cimacan".

Beg itu penting dan strategisnya sikap tenggang ra
sa atau toleransi ini, hingga Presiden Soeharto perlu
menegaskan :

Saya selalu menganjurkan ttmleransi aatar uraat bera-

gama.....Toleransi ini berwujud ketenangan, saling
harga raenghargai dan kebebasan yang sepenuh-penuh
bag! setiap penduduk dalam raenjalankan ibadah agama
menurut kayakinan masing-masing.Bahkan dihina kegotong-royongan..... Sikap bermusuhaa, sikap prasangka
dan buruk sangka harus kita buang jauh-jauh

(Krissaatono, 1976 : 31).
Lebih lantjut Presiden Soeharto mengatakan :

.. ..mengbaruskant kita mengbilangkan, penontjolan kesukuan,, keturuaan ataupun perbedaan warna kulit....
kita tidak raembesar-hesarkan. perbedaaan suku, perbe da an go long an,, perbedaan kepeaitingan,, perbedaan. ke -

yakinan agama dan segala perbedaan. lain yang tidak
penting,

(Krissantoraa,. 1976 : 48 - 49)
Dari uraiaa di atas dapat disimpulkan. bahwa kita harus

berusaha untuk mewujudkan ketenaagan, saling harga raeng
hargai, gotong royong dengan cara : merabuang sikap bex rausuhan, sikap prasangka serta sikap yang membesar-beaar-

kan perbedaan,.

Jadi persoalan pokoknya faukan menghilangkan perbe-

daan.-perhedaan. itu. Yaag. kita usahakaa adalah bagaimaaa
perhedaaa-perbedaan itu dapat tetap mempersatukan kita.

Menurut Koentjaraningrat (1973 : 378), untuk mem
persatukan perbedaan-perbedaan itu kita perlu

roengenal

potensi untuk bersatu dan, potensi konflik itu sendiri.

Poteasi untuk bersatu itu adalah sikap para warga

dari

masing-masing golongan yang dijiwai semangat toleransi

dengan menjauhkan. pandangan yang menganggap buruk, jahat,
hina dan tak dapat dipercaya pada golongan lain. Sehu -

bungan dengan. itu, E.Sukardoao (Berita Buaaa, 15 Desem-

ber 1990) mengatakan bahwa :
Tak dapat kita ingkari, kita adalah bangsa multi etaik
dengan segenap implikasinya. Salah satu keniscayaan

sosial yaag laten dan sewaktu-waktu dapat meletup ada
lah teraktifkannya suhu sosial-politik-kemasyarakatan
oleh; munculnya gelombang prasangka sosial yang destruktif

yang raenjurus ke pertentangan kesukuan, keagamaan,rasial
dan antar golongan. Prasangka itu dapat diminimalkan

kehadirannya dengan asas kesamaan persepsi.

Dengan perkataan lain, sikap toleransi atau tenggang rasa
dapat ditimbulkan. bila prasangka, stereotype dan, etnosea-

trisme dapat dihilangkan (Babari dalam Aaalisa No.9 Th.1984).
Penelitian ini akan membandiagkan keberhasilan metode
mengajar dengan model konsiderasi dan metode tradisional

dalam meningkatkan sikap tenggang rasa siswa SMTA terhadap
masalah-masalah kesukuan., agama dan ras. Yang akan dicoba

untuk diubah dengan metode mengajar ini adalah cara pandang
dan penilaian yang keliru yang disebabkan oleh prasangka,
stereotype dan etnosentrisme.

10

2.

Rumusan Masalah

Penelitian ini dipusatkan pada masalah :

"Apakah terdapat perbedaan. efek metode mengajar antara

model konsiderasi dan metode tradisional terhadap peningkatan sikap tenggang rasa siswa SLTA yang berasal

dari

lingkungan sekolah yang berbeda ?"

Sebelum menguraikan tentang bagaimana langkah-langkah
pengujiannya perlu terlebih dahulu dijelaskan variabel-

variabel yang ada dalam penelitian ini. Variabel bebas pe
nelitian ini adalah metode mengajar dan lingkungan sekolah.
Variabel terikatnya adalah sikap tenggang rasa.

Variahel metode mengajar terdiri atas metode mengajar
dengan model konsiderasi dan metode tradisional. Yang di -

maksud dengan model konsiderasi adalah metode mengajar
ciptaaa Peter McPhail yang memberi bermacam-macam latihan.

agar siswa menunjukkan. kepedulian atau perhatian pada orang
lain. Di dalamnya terdapat sejumlah bahan program yang ter
diri atas tiga seksi dan tiap seksi terdiri dari sejumlah
unit. Seksi-seksi tersebut adalah :

Seksi I

_In other people's shoes

Seksi II

Proving the rule

Seksi III

What would you have done ?

Seksi I

terdiri dari tiga unit : sensitivity,

consequences, point of view. Seksi. II terdiri dari : rules

and individuals, what do you expect ?, what do you think
I am, In. whose interests ?, why should I ?

11

Yang dimaksud dengan metode tradisional adalah meto

de mengajar yaag biasa digunakan guru, yaitu yang mengutamakan penyampaian materi dan didominasi oleh metode cera -

mah. Dalam pengertian ini guru mengajar sesuai dengan ke -

biasaan dia mengajar selama ini. Guru menyajikan pelajaran
tentang fakta,konsep atau ide secara lisan baik dengan atau

pun. tanpa alat-alat bantu peraga-pandang-dengar.
Lingkungan sekolah diartikan sebagai letak lokasi se
kolah yang berada di kota dan di desa. Pembedaan kota dan

desa ini didasarkan atas sudut pandang sosiologis,. geo -grafis dan administratif. Secara sosiologis pembedaan ma -

syarakat desa dan masyarakat kota atas dasar pola hidupaya.

Menurut Durkheim (j.Goode, 1977 : 200 7 201), ciri masyara
kat desa adalah terdapatnya kerja sama dan kepatuhan mengikuti aturan bersama di antara orang-orang yang tinggal di
desa. Hal ini dimungkinkan karena setiap orang memiliki

persamaan dalam keyakinan (believes), nilai-nilai (values),

dan norma-norma (norms.). Pada masyarakat kota, terdapat
perbedaan yang besar dalam keyakinan, nilai, norma. Ciri ma

syarakat desa ditandai dengan adanya hubungan primer (primary

relationships) dan bersifat kekeluargaan. (kinship) di antara
wargaaya, sedangkan ciri masyarakat kota ditandai dengan

adanya hubungan formal (secondary relationships) dan bersi

fat birokratis. Ferdinand Tonnies (1887) raenyebut keadaan

pertama dengan istilah "Gemeinschaft" (paguyuban) dan. menyebut keadaan kedua dengan "Gesellschaft"(patembayan).

12

Tetapi pembagian secara tegas seperti dikemukakan di

atas tidak (murni) ada dalam masyarakat. Dalam maayarakat
kota bukan tidak ada hubungan kekeluargaan antar tetangga,
tetapi karena jarangnya perjumpaan. antar warga sebagai aki-

bat dari adanya heterogenitas pekerjaan dan kepentingan,
maka intensitas hubungan tidaklah sekuat di pedesaan.
Sebaliknya pada masyarakat pedesaan yang sudah mengenal pem
bagian kerja, maka nilai paguyuban tidaklah semurni dulu.
Dengan kata lain., pembedaan kota dan desa atas dasar sudut
pandang sosiologis saja belum mencukupi. Untuk raembantu mem-

pertegas pembedaan itu, diperlukan pandangan geografis.
Secara geografis letak kota berada di seputar nol kilometer

kota yang menjadi lokasi penelitian (dalam hal ini kota Pa-

suruan). Sedangkan letak desa, berada di luar wilayah yaag
termasuk, kota. Namun, dengan semakin majuaya komuaikasi dan
transportasi maka pembedaan yang hanya herdasarkan atas da

sar letak geografis dan tempat kediaman ini dipandang perlu

dipertegas lagi dengan memberi batas administratif, yaitu
pembedaan kotamadya dan kabupaten. Dengan kata lain, yang
dimaksud dengan lingkungan-sekolah-kota adalah sekolah

yang terletak di kotamadya, sedangkan lingkungan-sekolah-desa
adalah sekolah yang berada di kabupaten.

Sikap tenggang rasa adalah derajat penerimaan seseorang terhadap keyakinan dan cara hidup orang lain. Secara

operasional, untuk mengukur derajat penerimaan ini, siswa

diminta untuk memberi tanda check pada salah satu dari.lima

13

rentang skala dari sangat setuju ke sangat tidak setuju.

Skala yaag dimaksud adalah skala sikap model Likert yang
diberikan kepada siswa. Skala sikap Likert ini dipilih se
bagai alat ukur dalam penelitian ini karena menurut Mehrens

dan Lehmann (1984 : 241), skala sikap ini mudah disusun dan

diskor, menghasilkan skala yang lebih horaogen, menunjukkan.
tingkat dan intensitas perasaan seseorang, dan yang lebih
penting lagi alat ini cukup efektif untuk lebih memahami
sikap seseorang.

Yang dimaksud dengan, "siswa SMTA yang berasal dari

lingkungan sekolah yaag berbeda" di sini adalah siswa ke

las II SMTA yang terdapat di kotamadya dan kabupaten. Alas
an dipilihaya kelas II ini sebagai subyek penelitian. adalah

karena adanya keteatuan kurikulum yaag menyebutkan bahwa

Tujuan Instruksional Umum (TIU) sikap tenggang rasa ini
diajarkan di kelas II SMTA. Alasan dipilihaya siswa SMTA
sebagai subyek penelitian adalah karena siswa-siswa SMTA

termasuk dalam kelompok masa remaja. Pada masa ini terjadi
"proses transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa"

(Winarno Surakhmad, 1980 : 54). Mereka ingin diakui seba
gai "pribadi yang bertangg.ung jawab atas hidupnya sendiri

dan mulai meayadari arti hubungan yang baik dengan masyarakatnya" (Soesilowiadradini, tt. : 148).
Sesuai dengan persyaratan .minimal 30 satuan (S.Nasution, 1987 : 114), jumlah sampel penelitian ini adalah 32
kelas dengan. perincian :

14

- kelompok model

konsiderasi-kota (kotamadya) = 8 kelas

- kelompok model

konsiderasi-desa (kabupaten) = 8 kelas

- kelompok metode tradisional-kota (kotamadya) = 8 kelas

- kelompok metode tradisional-desa (kabupaten) = 8 kelas.
Istilah "peningkatan" di dalam rumusan masalah di

atas diartikan sebagai perubahan skor skala sikap Likert

pada pre-test (uji awal) ke arah yang lebih tinggi

pada

post-test (uji akhir). Pengertian "perubahan" dalam skor
skala sikap ini diperlihatkan oleh hasil selisih antara
post-test dan pre-test siswa.

Pengertian "perbedaan efek" metode mengajar dalam

penelitian ini dituajukkan oleh keberartian perbedaan

selisih skor post-test dan pre-test di antara keempat
kelompok tersebut di atas. Hal ini berarti bahwa

pada

keempat kelompok itu dilakukan dua kali test (skala si

kap Likert), yaitu pre-test dan post-test.
Dari hasil skala sikap Likert yang dikerjakan sis
wa itu akan dihitung :

Pertama, perbedaan skor (post-test dan pre-test) di an
tara kelompok model konsiderasi dan metode tradisional

di mana siswa kota dan desa dikelompokkan menjadi satu.
Jadi kriteria yang digunakan dalam perhitungan pertama

ini adalah variabel metode mengajar, sedangkan variabel
lingkungan sekolah diabaikan.

Cara penghitungan ini untuk mengukur sumbangan metode

15

mengajar terhadap keseluruhan efek perlakuan.

Kedua, perbedaan skor (pre-test dan post test) di antara

kelompok kota dan desa di raaaa peagelompokan metode meng
ajar diabaikan- Jadi kriterianya adalah variabel lingkung
an sekolah. Cara penghitungan semacam ini digunakan untuk
mengukur sumbangan faktor lingkungan sekolah siswa terha
dap efek perlakuan secara menyeluruh.

Ketiga» perbedaan skor di antara keempat kelompok secara

terpisah untuk melihat efek yang saling tergantung antara
metode mengajar dan lingkungan sekolah terhadap keseluruh
an efek perlakuan.

Masalah-masalah yang akan dikaji dalam penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah terdapat perbedaan sikap tenggang rasa antara
siswa yang mendapat treatment model konsiderasi dan me
tode tradisional

?

2. Apakah terdapat perbedaan, sikap tenggang rasa antara
siswa yang berasal dari lingkuagan-sekolah-kota dan

siswa yang berasal dari lingkungan-sekolah-desa ?

3. Apakah terdapat efek yang saling tergantung antara me

tode mengajar dan lingkungan sekolah terhadap sikap
tenggang rasa siswa ?
Model Konsiderasi
Metode

Mengajar
XT-

Metpde Tradisional
Kota

Lingkungan
Sekolah

Gambar 1

D

a

a

a

: Variabel-variabel Penelitian

SIKAP
TENGGANG
RASA

16

Obyek sikap tenggang rasa dalam penelitian ini di-

fokuskan pada keyakinan dan cara hidup suku, agama dan
ras orang lain. Dengan skala sikap Likert akan dilihat

derajat penerimaan seseorang terhadap :
- keyakinan yang dimiliki suku lain,

- cara hidup dari suku yang lain dengan dirinya,
- keyakinan pemeluk agama lain,

- cara menjalankan keyakinan dari pemeluk agama lain,
- nilai-nilai atau keyakinan yang menjadi pedoman
hidup ras lain, dan
- cara-cara hidup orang dari ras lain.

Kita mengetahui bahwa sikap pada dasaraya adalah

konsep evaluasi (Mar'at, 1982 : 15). Penilaian bisa saja
salah atau keliru. Penelitian ini berangkat dari asumsi

bahwa sikap dapat berubah dan yang akan diubah dengan

treatment metode mengajar adalah penilaian dan pendapat
yang keliru. Secara khusus, yaag akan diperbaiki adalah

penilaian dan pendapat yang keliru tentang anggota ke -

lompok suku, agama dan ras yang berbeda dengan dirinya.
Cara-cara menilai yang salah ini disebabkan oleh

adanya prasangka, stereotype dan etnosentrisme (Analisa,

No. 9 Tahun 1984). Prasangka dalam penelitian ini didefi-

nisikan sebagai penilaian atau sikap yang mengganggap
rendah suku, ras dan agama yang lain dengan dirinya.
Prasangka untuk kepentingan penelitian ini dipakai dalam

17

arti yang negatif. Stereotipe dalam penelitian ini diartikan sebagai pendapat yang dianut secara keliru oleh sese

orang tentang keyakinan dan cara hidup suku, agama dan

ras lain sebagai akibat generalisasi yang gegabah.

Etnosentrisme dalam penelitian ini diartikan sebagai kecen
derungan menilai suku, agama dan ras lain dengan mengguna-

kan nilai-nilai atau norma-norma yang ada pada dirinya
sendiri sebagai tolok ukurnya. Hal ini terjadi karena ter

dapat kecenderungan untuk melihat norma atau nilai yang dimilikinya sendiri sebagai sesuatu yang dapat digunakan un tuk mengukur pihak lain.

Dari uraian di atas dapat dibuat kisi-kisi rancaagan
skala sikap Likert.
KISI-KISI SKALA SIKAP
—-

Item,

prasangka
1.

stereotype

etnosentrisme

SUKU

1.1. Keyakinan
1*2. Cara hidup
2.

AGAMA

2.1.

Kayakinan

2*2. Cara hidup
3.

RAS

3..1. Keyakinan

3.2. Cara hidup
...........

Item-item rnelibatkari komponen : kognisi, afeksi dan konaai

18

3. Asumsi dan Hipotesis
3.1*

Asumsi

a. Sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh meijialul

interaksinya dengan obyek/peristiwa sosial.Sebagai ha
sil belajar, sikap dapat mengalami perubahan.

b. Siswa memiliki sikap yang berheda-beda terhadap obyek
sosial.

c. Semua guru yang telah dilatih dengan, model konsiderasi

diasumsikan telah mempunyai kemampuan teknis untuk me-

laksanakan treatment sesuai dengan petunjuk yang telah
diberikan.

3..2.. Hipotesis

a., Hipotesis penelitian 1

H, Terdapat perbedaan sikap tenggang rasa yaag signifikan antara siswa yang mendapat treatment model kon -

siderasi dan siswa yang mendapat treatment metode
tradisional

H

*

Tidak terdapat perbedaan sikap teaggaag rasa antara
siswa yang mendapat treatmeat model konsiderasi dan,
siswa yang mendapat treatment metode tradisional

b. Hipotesis penelitian 2
H,

Terdapat perbedaan sikap tenggang rasa antara siswa

yang berada di lingkungan-sekolah-kota dan yang berberada di lingkuagan-sekolah-desa

H

Tidak terdapat perbedaan sikap tenggang rasa antara

19

siswa yang berada di lingkungan-sekolah-kota dan
yang berasal dari lingkungan-sekolah-desa
c. Hipotesa penelitian 3

H1 Terdapat efek yang saling tergantung antara metode

mengajar dan lingkungan-sekolah terhadap sikap teng
gang

rasa

Ho Tidak terdapat efek yang saling tergantung antara
metode mengajar dan lingkungan-sekolah terhadap si
kap tengtang rasa
4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan :

a. Efek treatment metode mengajar terhadap sikap tenggang
rasa

b. Terdapat-tidaknya perbedaan sikap tenggang rasa

antara

siswa yang berada di lingkungan-sekolah-kota dan yang
berada di lingkungan-sekolah-desa

c. Terdapat-tidaknya efek yang saling tergantung antara me

tode mengajar dan lingkungan-sekolah terhadap sikap teng
gang

5.

rasa

Manfaat

Penelitian

Secara umum bila ternyata terdapat efek yang positif
dan signifikan dari

penerapan model konsiderasi

ini akan menambah perbendaharaan metode mengajar pada umumnya dan sebagai alternatif pilihan metode mengajar untuk.
pelajaran-pelajaran yang menekankan ranah afektif.. Model

20

ini dapat menarnbah variasi sistem penyampaian yang memuagkinkaa terjadiaya peaingkatan mutu pendidikan. Model ini

dapat digunakan untuk melengkapi metode penyampaian yang
selama ini dipakai dalam bidang studi Pendidikan Moral Pan

casila dan, penataran P4,. terutama untuk tujuan-tujuan yang
tergolong ranah afektif.

Secara khusus —

ditiajau

dari sudut Pendidikan Umum-

model ini dapat menimbulkan kebiasaan mempedulikan orang
lain, suatu kebiasaan yang telah mulai mengendur dan melentur sejalan dengan semakin kompleksaya bidang spesialisasi
dan
6.

industrialisasi.
Sistematika
BAB

I

BAB

II

BAB

III

BAB

IV

BAB

V

Tesis

PENDAHLILUAN

TINJAUAN KONSEPTUAL
MET0D0L0GI

ANALISIS
PENUTUP

PENELITIAN

HASIL

EKSPERIMEN

BAB III
METODOLOGI

Dalam Bab III ini

PENELITIAN

berturut-turut akan

dibahas

:

populasi dan sampel penelitian, rancangan penelitian, ins
trumen penelitian, pelaksanaan perlakuan eksperimen, pengumpulan data serta teknik analisis data.
A. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas II
SMTA negeri dan swasta di kotamadya dan kabupaten Pasuruan,

yang sedang mengikuti pelajaran PMP dalam tahun ajaran 1990/
1991. Jumlah kelas II SMTA di kotamadya Pasuruan ada 59 ke

las, sedangkan jumlah kelas II SMTA di kabupaten Pasuruan
ada 62 kelas. Berarti jumlah seluruh kelas II SMTA di kota

madya dan kabupaten Pasuruan ada 121 kelas.

Sebagai sampel dipilih siswa kelas II SMTA di kotama
dya dan kabupaten Pasuruan sebanyak 32 kelas. Penetapan sam

pel sebanyak 32 kelas ini didasarkan pada penggunaan sub
sampel n = 8 (jumlah kelas untuk tiap metode mengajar dan

tiap lingkungan sekolah), sehingga seluruh sampel N = npq =
8 X 2 X 2 = 32 (Q = 2 metode mengajar dan p = 2 lingkungan
sekolah).

Penggunaan sub kelas sebagai unit sampel terkecil di
dalam penelitian ini sesuai dengan pendapat Baker dan Schutz
yang menyatakan bahwa karena banyak faktor yang menyebabkan
kelas yang satu berbeda dari kelas lain, jika lebih dari sa
tu kelas digunakan dalam penelitian itu, maka kelas cenderung
82

83

digunakan

- " sebagai unit analisis statistik, bukan ang-

ka dari siswa-siswa secara individual (Baker dan Schutz,

1972 : 148 ; Cronbach, 1976 : 522).
Jumlah 32 kelas ini telah memenuhi persyaratan mini

mal yang telah ditetapkan untuk eksperimen, yaitu 30 satu-

an (S.Nasution, 1987 : 114). Untuk penentuan sampel diterapuh 2 tahap yaitu : tahap penentuan sampel sekolah (seba gai lokasi penelitian) kemudian penentuan sampel kelas.
Penentuan sampel sekolah ini diperlukan untuk memudahkan

proses administrasi dan ijin penelitian.
Prosadur penentuan sampel adalah sebagai berikut :
Pertama, orientasi untuk memperoleh data secara lebih terinci mengenai keaetaraannya.. Kesetaraan dalam segi

sosial budaya, sosial ekonomi yang mewakili .kate

gori kabupaten dan kotamadya. Identifikasi ini di

dasarkan atas pertimbangan pejabat setempat (dalam
hal ini Kepala Hantor Depdikbud Kabupaten dan Kepa-

la Kantor Depdikbud Kotamadya Pasuruan).
Kedua,

sekolah tersebut harus memiliki kelas II sedikit nya empat kelas. Bmpat kelas itu untuk keperluan :

2 kelas kelompok eksperimen (model konsiderasi) dan
2 kelas kelompok kontrol (metode tradisional). Pe
nentuan empat kelas ini merupakan indikator bagi

kesetaraan sekolah karena menurut Kepala Kantor Dep
dikbud jumlah kelas menunjukkan tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap sekolah itu. Jumlah kelas yang

84

kecil menggambarkan kekurang percayaan masyara
kat pada sekolah tersebut.

Ketiga,

sekolah-sakolah tersebut harus memiliki jumlah
siswa untuk setiap kelas II antara 30 sampai 50
orang siswa. Kelas yaag terlalu besar atau terla

lu kecil tidak mencerminkan kelas II umumnya di
SMTA negeri dan swasta di kotamadya dan kabupa
ten Pasuruan.

Keempat,

sekolah-sekolah tersebut harus memiliki guru PMP
kelas II yang berijasah Sarjana Pendidikan atau

Sarjana Muda (03) jurusan PMP. Syarat ini meru
pakan persyaratan minimal bagi guru SMTA. Per syaratan ini perlu ditegaskan kembali untuk men-

dapatkan guru yang berkorapeten di bidangnya dan
dapat menggunakan strategi baru dalam proses bel
ajar mengajar PMP. Kenyataan di lapangan menun jukkan bahwa pengajar PMP dari sampel penelitian
telah berijasah Sarjana Pendidikan jurusan PMP

dengan pengalaman mengajar minimal 2 tahun.
Kelima,

dari jumlah 32 kelas yang dibutuhkan dan persya
ratan minimal 4 kelas di tiap sekolah itu, raaka
dibutuhkan sebanyak 8 sekolah sebagai lokasi pe

nelitian. Penentuan sekolah dilakukan secara acak

dengan terlebih dahulu mengelompokkannya dalam ka
tegori kabupaten dan kotamadya. Sekolah yang ter
letak di kabupaten diasumsikan. sebagai lingkungan
sekolah-desa dan sekolah yang terletak di kotamadya

85

diasumsikan

sebagai lingkungan-sekolah-kota.

Nama-nama sekolah yang terpilih secara acak ter
sebut diusulkan kepada pejabat yang berwenang un
tuk mendapatkan ijin penelitian.
Nama-nama sekolah tersebut adalah

Kabupaten J

Kotamadya :

SMAN Grati

(ada 5 kelas II'

SMAN Pandaan.

(ada 8 kelas II

SMAN Bangil

(ada 6 kelas. II]

SMEA

(ada 4 kelas II

A.YANI

SMAN I

(ada 6 kelas II

SMAN

II

(ada 5 kelas II

SMAN

III

(ada 4 kelas II

SMEA PGRI

Keenam,

:

I

(ada 5 kelas II

dari sejumlah kelas yang ada pada masing-masing
sekolah yang terpilih ditetapkan secara acak

2 kelas. yang diperlakukan sebagai kelompok eks

perimen (model konsiderasi) dan. 2 kelas sebagai
kelompok kontrol (metode tradisional). Penugasan
tiap-tiap sub kelas menjadi unit-unit perlakuan
eksperimen ini dilaksanakan secara acak.

Hasil penugasan secara acak tersebut dapat dilihat
pada tabel 3.1.

86

Tabel 3.1. KELOMPOK SUB-KELAS MENURUT LINGKUNGAN
SEKOLAH DAN METODE MENGAJAR

Met. o d e

Me

B2

Bl

Metode T]radisional

Model Konsiderasi

Al
Kota

A2
D

e

II

A1.2. SMA

I

II A3

SMA

I

II

A2.U SMA

I

II

SMA

I

II

A2

SMA

II

II Al

SMA

II

II

A3.1.

SMA

II

II

SMA

II

II

A3.1.

SMA

III

II A2.

SMA

III

II

Al

SMA

III

II A3.2.

SMA III

Al.l.

A3.2.

II KU 1

SMEA PGRI

I

II KU 2

SMEA PGRI

I .

II PKT 2

SMEA PGRI

I

II PKT 2

SMEA PGRI

I

II

Al

SMA Grati

II A3.2.

SMA Grati

II

A3.1.

SMA Grati

II

SMA Grati

II

A2.2.

SMA

Pandaan

II A2.1.

SMA Pandaan.

II

A4

SMA Pandaan

II A3.2.

SMA Pandaan

SMA Bangil

II

A4

SMA Bangil

II A2.2.

SMA Bangil

II

SMEA A.YANI

II A2.1.
si a

n g a j a r

II

A3.1. SMA Bangil

II

KU

II

PDG 1

2

SMEA

A.YANI

SMEA A.YANI

A2

KU

1

II PDG 2

SMEA A.YANI

Untuk pembahasan selanjutnya, kelas-kelas tersebut di atas
secara berturut-turut disebut kelompok 1, kelompok 2, ke -

lompok 3, kelompok 4, kelorapok 5, kelompok 6, kelompok 7
dan kelompok 8 pada masing-masing sel. Dengan .demikian
sel A,B,

ada 8 kelorapok

sel A.B2

ada 8 kelompok

Sel A-B,

ada 8 kelompok

Sel A2B-

ada 8 kelorapok

87

Karena jumlah kelas yang dilibatkan cukup besar

(32 kelas), sedangkan kemampuan, waktu dan dana yang ada
pada penulis sangat terbatas, maka untuk keperluan pene
litian ini dipilih secara acak sebanyak 256 siswa untuk
dianalisis. Juralah itu diperoleh dari pengambilan sebanyak

8 orang siswa secara acak dari tiap-tiap kelompok. Berarti
8 X 8 X 4 = 256 Siswa.

' :

B. Rancangan Penelitian
Berdasarkan. rumusan masalah dan hipotesis yang dike

mukakan di atas, rancangan penelitian yang sesuai untuk

digunakan. dalam penelitian ini adalah rancangan analisis
kovarian. faktorial acak atau completely randomized factori

al analysis of covariance design yang disingkat CRFAC-pq

(Kirk, 1982 : 743-748). Yang menjadi kovariat adalah ha sil tes. awal (pre-test) dan. uariabel terikatnya adalah
hasil tes akhir (post-test).
Penjelasan mengenai mengapa analisis kovarian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Karena pokok bahasan/bahan pelajaran. yang diberikan pada
semester I kelas II ini mungkin pernah diberikan. di kelas

aebelumnya dan keraungkinan adanya faktor dalam pribadi

siswa yang dapat mempengaruhi hasil eksperimen, maka di perlukan adanya kontrol terhadap pengaruh ini.
Oleh karena itu pelaksanaan tes awal tersebut diperlukan

untuk mengontrol secara statistik hasil eksperimen dengan

88

menggunakan analisis hovarian.
Dengan melaksanakan prosedur acak serta prosedur
analisis kovarian berarti hahwa di dalam penelitian ini
dilaksanakan gabungan antara pengontrolan secara langsung

atau pengontrolan secara eksperimen (experimental control)

dan pengontrolan secara statistik (statistical control)
terhadap hasil eksperimen

itu

(Uiner,. 1971 :.753, Kirk,

1982 :. 719).
C.. Instrumen Penelitian

Alat ukur sikap tenggang rasa siswa kelas II SMTA

ini berupa skala sikap. Format alat ukur tersebut adalah
skala sikap model Likert. Sebenarnya untuk mengukur sikap
seseorang dapat digunakan metode wawancara langsung dan

observasi langsung (Mar'at, 1982 : 148-149), tetapi kare
na besarnya jumlah sampel dan terbatasnya kemampuan pene-

liti maka penggunaan angket berupa skala sikap akan lebih

tepat (Suharsimi Arikunto, 1989 : 133).
Untuk keperluan proses pembakuan alat ukur tersebut,

dilakukan langkah uji coba. Uji coba diterapkan kepada se

jumlah 120 siswa kelas II SMA Grati, Bangil, dan Pandaan
di luar sampel yang masih berada dalam populasi yang sama.

Uji coba ini dilakukan untuk mendapatkan butir-butir tes/
skala yang memenuhi syarat : validitas dan reliabilitas,.

dengan menggunakan sistem analisis butir-butir pernyataan

yang dikembangkan oleh. Edwards (1957) seperti dikemukakan
juga oleh Subino (1987 : 124 - 126).

89

Pertama, penentuan skor skala sikap Likert.
Penentuan skor skala sikap Likert dalam peneliti
an ini didasarkan atas hasil uji coba. Cara ini disebut

aposteriori (Subino, 1987 : 124). Edwards (1957 : 149-151)
memerinci langkah-langkah sebagai berikut :

1. Setiap alternatif jawaban untuk tiap pernyataan sampel
uji coba dihitung frekuensinya,

2* Menghitung proporsi frekuensi untuk setiap kategori ja
waban.

3. Menghitung proporsi kumulatif.

4. Menghitung nilai tengah (mid-point) proporsi kumulatif
yang ada di bawah alternatif ditambah setangah propor
si berikutnya.

5. Menentukan nilai Z pada tabel (Edwards, 1957 : 246-247,

Sutrisno Hadi, 1987 : 183).
6. Menambahkan. hasil langkah (5) positif.

7. Membulatkan langkah (6), diperoleh bohot skor skala,
Tabel 3.2.. PENENTUAN BOBOT TIAP SKALA SIKAP

Sangat
Setuju.

Setuju

Netral

Tidak

Sangat

Setuju

Tidak

Setuju

(1)
(2)
(3)
(4)

ia
f
0,15
p
0,15
cp
midpoint cp 0,075

(5) Z
(6) Z + 1,439
(7) Z rounded

-1,439

24

7

39

32

0,2

0,058

0,325

0,267

0,35

0,408

0,733

1

0,25

0,379

0,571

0,867

-0,319

0,176

1,103

-0,6.75

0

0,764

1,12

1,615

2,542

0

1

1

2

3

*) Contoh butir tes nomor 1

90

Proporsi jumlah subyek (N = 120) yang menjatuhkan pilihan
pada satu dari lima kategori respons untuk pernyataan-pernyataan yang negatif, Bobot skala sikap Likert berdasarkan
jumlah proporsi respons.
Tabel 3.3. HASIL BOBOT ALTERNATIF

TIAP SKALA SIKAP

Pernyataan yang negatif

Pernyataan yang positif

No.

SS

S

N

TS

STS

No.

STS

TS

.N

S

SS

1.
3.

0
0
0
0

1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1

1

2
2
2

2.
5.
6.
9.
10.

0

1
1
1
1
1
1
1
1
1

3
3
3
3

2

3

0

1
1
1
1
1
1

2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

2
2
2

2

3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3

0

1

1

0
0

1

1
1
1
1
1
1
1
1
1

4.
7.
8.
11.
14.
15.

16.
17.
18.
21.
22.
24.
25.
26.
32.
36.
38.

40.
42.
43.
44.
45.
47.
49.
50.

53.
57.
58.
60.
67.

69.
70.

7U
72.

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0

0
0
0
0

0
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
0

1
1
1

1
1

1

2

2
1

3

1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

2
2
2
2
2
2
2
2

2
2
2

1

2

1
1

2
2

2
1

* 2

1
1
1

2
2

1
1
1
2
2
1

1
1
1
1

3
3
3
3
3
3

12.
13.
19.
20..
23.
27.
28.
29.
30.
31.
33.
34.
35.
37.
39.

41.

0
0
0
0

0
0

0
0
0
0
0

0
0
0
0
0

0
1

1

0

3
3
3
3

46.
48.
51.
52.

0
0

1
1'

0
0

2

' 3

2
1
2

3

54.
55.
56.
59. •
61.
62.
63.
64.
65.

0
0
0
0
0

2
2

3
3
3
3
3
3
3

1
1
1

2

66.

3

68.

0
0

2

2
2
2
2
2

0
0
0
0

1
1
0
1
1
1
1
1
1
1

1
1
1
1
1
1
1
1

2
2

2
2
2
2
2
2

2
2
2

3
3
3
3
3
3
3
3
3
3

2

3

2
2

3
3

2
2

3
3

2
2
2
2

3
3
3
3

2
2

3
3
3
3
3

2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2

3
3
3
3
3
3

3
3

93

Tabel 3.5.

PERNYATAAN YANG
No.

NEGATIF
No.
Soal

Harga t

Soal

HASIL UJI DAYA PEMBEDA

Harga t

TIAP SOAL

PERNYATAAN YANG
No.

Soal

Harga t

POSITIF
No.
Soal

Harga t

* 1

3,66

*38

3,25

*

2

4,44

*37

5,71

*

3

3,40

*40

3,72

*

5

2,68

39

0,37

*

4

3,20

42

1,38

*

6

4,88

*41

4,79

*

7

4,15

*43

3,86

9

0,12

*46

3,76.

*

8

8,7

44

0,88

10

1,36.

*48

6,43

*11

3,64

45

1*20

*12

2,94

*51

5,85

*14

3,77

*47

2,87

*13

2,90

*52

3,87

*15

2,87

*49

3,46

*19

7,05

54

1,29

*16

4,76

*50

3,16

20

0,03

55

1,91

*17

4,11

*53

3,69

*23

3,06

56

0,39

*18

2,70

*57

3,20

*27

3,66

*59

4,67

*21

3,40

*5B

4,08

*28

3,13

61

0,18

*22

5,36

60

1,93

29

0,91

62

0,45

24

1,04

67

0,93

30

1,71

63

1,67

*25

3,42

69

1,24

*31

3,13

*64

2,95

26

0,58

*70

3,26

33

0,19

*65

3,71

*32

3,88

71

1,19

*34

3,75

*66

4,81

*36

4,06

72

0,34

35

1,49

*68

3,40

L=====

——









—S =



————



=========

———————

—————————

=: =

=

s

=

s :=

rzs:s — = ; ~ =

Ketiga, memilih butir tes yang memiliki Daya Pembeda

yang signifikan, yaitu yang lebih besar dari harga t tabel

intrapolasi = 2,002 pada p^0,05. Dari 72 butir yang diujicobakan, ternyata ada 48 butir (yang bertanda *) yang memenuhi syarat berdasarkan tinggi nilai t.

r:

94

Keempat, menghitung validitas isi (content validity)
Menurut C. Mauritz Lindvall dan Anthony J. Nitko

(1975 : 130) validitas isi suatu tes diperoleh dengan meng
hitung korelasi antara skor yang diperoleh setiap pernyata

an dengan skor keseluruhan (total score).
Proses perhitungan korelasi dilakukan dengan menggu nakan kalkulator Casio fx-3600 PA. Hasil perhitungan untuk

pernyataan nomor 1 diperoleh r. T

= 0,721 pada taraf ke -

percayaan 99 %, Pada pemeriksaan keterpaduan setiap pernya
taan ini ternyata terdapat tiga buah pernyataan (nomor 5,

15 dan 18) yang mempunyai indeks korelasi yang tidak signi
fikan pada batas signifikansi 5 % (taraf kepercayaan 95 %).
Jadi hanya 45 buah pernyataan yang memenuhi syarat validitas

isi. Bukti perhitungan .validitas ini dapat dilihat dalam

Lampiran A

(Tabel A.2.).

Butir skala sikap yang berjumlah 45 buah itu terdiri

dari 15 butir pengukur sikap tenggang rasa dalam masalah
agama, 16 butir pengukur sikap tenggang rasa dalam masalah

ras dan 14 butir pengukur sikap tenggang rasa dalam masalah
suku.

Hasil seleksi tersebut disajikan dalam tabel 3.6.

95

Tabel 3.6.

Masalah Ag a

ma

Masalah

Masalah

Ras

Baru

Harga t

Lama

Baru

I

Suku

Noraor

Nomor

Nomor

Lama

HASIL SELEKSI SOAL TES

Harga t

Lama

Baru

Harga t

= = = = = = = = := =
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = := = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

1

1

3,66

50

16

3,16

51

32

5,85

11

2

3,64

14

17

3,77

28

33

3,13

7

3

4,15

22

18

5,36

66

34

4,81

2

4

4,44

23

19

3,06

41

35

4,79

46

5

3,76

17

20

4,11

57

36

3,20

19

6

7,05

16

21

4,76

31

37

3,13

3

7

3,40

48

22

6,43

57

38

3,20

4

8

3,20

59

23

4,67

34

39

3,75

12

9

2,94

68

24

3,40

32

40

3,88

10

4,88

70

25

3,2 6

36

41

4,06

13

11

2,90

43

26

3,86

65

42

3„71

8

12

8,70

52

27

3,87

38

43

3,25

47

13

2,87

31

28

3,13

40

44

3,72

49

14

3,46

64

29

2,95

25

45

3,42

21

15

3,40

27

30

3,66

37

31

5,71

6 '

j
= =

Yang dimaksud dengan nomor lama adalah nomor item.
pada waktu uji coba, sedangkan nomor baru adalah nomor

item pada pre-test (uji awal). Item tes yang telah baku
ini dicantumkan dalam Lampiran C (nomor urut sesuai dengan
nomor pre-test).

96

Keliraa, mengontrol validitas hasil penelitian
Suatu eksperimen harus memenuhi syarat validitas
internal dan validitas eksternal. Suatu eksperimen mempu-

nyai validitas internal jika hasil-hasilnya dapat disim pulkan sebagai akibat dari perlakuan eksperimen

itu

dan

bukan akibat dari faktor lain yang bukan perlakuan ekspe

rimen tersebut. Suatu eksperimen mempunyai validitas eks-:

ternal jika hasil-hasilnya dapat digeneralisasikan kepada

populasi yang lebih luas daripada sampel yang digunakan

dalam eksperimen tersebut (Campbell dan Stanley, 1966 : 5),
Agar suatu eksperimen memenuhi syarat validitas internal
dan eksternal, faktor-faktor yang mengancam validitas ter
sebut harus dikontrol.

a.

Validitas internal

Faktor-faktor yang mengancam validitas internal yang
harus dikontrol adalah sebagai berikut :

1) Pengaruh historis dan kematangan
Pengaruh kedua faktor ini dapat diabaikan karena peneli

tian berlangsung dalam waktu yang tidak terlalu panjang.
2) Pengaruh instrumentasi

Pengaruh instrumentasi teratasi dengan menggunakan
instrumen obyektif. Lagi pula penilaian terhadap sikap
tenggang rasa dilakukan oleh satu orang dengan mengguna
kan jawaban obyektif.

3) Pengaruh regresi statistik dan seleksi
Pengaruh regresi statistik teratasi dengan penggunaan

sampel yang dipilih secara acak dan penugasan unit-unit

97

sampel juga dilakukan secara acak.
4) Pengaruh mortalitas

Dengan menggunakan sub-kelas sebagai unit sampel terkecil maka pengaruh mortalitas dapat diatasi.

5) Pengaruh kontaminasi antar kelompok

Pengaruh ini dapat diatasi dengan menggunakan kelas-kelas
dari sekolah-sekolah yang berbeda.
b. Validitas eksternal

Faktor-faktor yang mengancam validitas eksternal yang
harus dikontrol adalah sebagai berikut :

1) Pengaruh dari selection bias

Pengaruh ini dikontrol dengan menggunakan sampel yang dipilih secara acak.

2) Pengaruh reaktif dari pengaturan eksperimen
Pengaruh reaktif dari pengaturan eksperimen dikontrol

dengan jalan melaksanakan perlakuan eksperimen pada kelaskelas dalam suasana kelas sehari-hari secara wajar, dilak
sanakan oleh guru kelas. Bahan perlakuan eksperimen diam
bil dari bahan yang diajarkan di sekolah sesuai dengan
kurikulum atau buku paket yang berlaku.
Soal-soal disusun oleh penulis sendiri dengan memper -

hatikan saran-saran dari dua orang guru bidang studi PMP,

dua orang dosen PMP IKIP Malang (anggota Lapasila Malang),
seorang dosen statistik dan bantuan pembimbing untuk mengo reksi.

98

Keenara, mencari reliabilitas butir tes

Tes yang telah memenuhi syarat validitas itu kemudian
dicari reliabilitasnya dengan menggunakan teknik Alpha.
Rumus Alpha
2

r"= LV~tX1" ~Sz"~3
(Suharsimi A.,1989 : 165)
Mueller,1986 : 20

Keteranqan : r,, k

reliabilitas instrumen

= banyaknya butir pertanyaan

Cf.2 = jumlah varians butir
Cf. 2 *» varians total

Penggunaan teknik Alpha untuk pengujian reliabilitas
ini didasarkan atas pendapat Suharsimi Arikunto yang menya
takan

bahwa

:

Untuk tes prestasi belajar yang berbentuk angket dan

skala bertingkat diuji dengan rumus Alpha. Rumus Alpha
digunakan untuk mencari reliabilitas instrumen yang

skornya bukan 1 dan 0 (Suharsimi A., 1989 : 164)

Dari hasil perhitungan dengan rumus Alpha (Lampiran
A.

) ini diperoleh r = 0,951. Harga r = 951 ini tergolong

mempunyai reliabilitas sangat tinggi. Dengan kata lain,
45 butir tes tersebut memenuhi syarat reliabilitas.

Masing-masing nomor diberi bobot seperti yang tercan

tum dalam Tabel 3.3. dan. pada uji akhir butir-butir tes itu,

diaduk, sehingga tidak lagi -bernomor urut seperti pada uji

9$

awal (pre test). Nomor-nomor tes pada uji awal dan pada
uji akhir serta bobot penilaiannya tercantum di dalam ta
bel

di

bawah ini
Tabel

3.7.

.
NOMOR URUT

PRE TEST

DAN POST TEST

DENGAN BOBOT PENILAIANNYA
=

=

=

=

Nomor
Pre

:=

==== === === ===

=

tes
Post

Bo bot Penil aian
SS

S

N

TS

STS

Nomor

=

=

=

=

tes

==== =

=

=

=

=

=

=== ====

Bobot Penilaian

Pre

Post

SS

s

N

TS STS

3

1

0

1

1

2

3.

37

24

3

2

1

1

0

10

2

3

2

1

1

0

28

25

3

2

1

1

0

1

3

0

1

1

2

3

20

26

0

1

1

2

3

5

4

3

2

1

1

0

16

27

0

1

1

2

3

13

5

0

1

1

2

3

15

28

0

1

1

2

3.

4

6

3

2

2

1

0

42

29

3

2

1

1

0

23

7

3

2

1

0

0

39

30

3

2

1

1

0

21

8

0

1

1

2

3

14

31

3

2

1

1

0

6

9

3

2

1

1

0

18

32

0

1

1

9

3

22

10

3

2

1

1

0

28

33

3

2

1

1

0

7

11

0

1

1

2

3

31

34

3

2

1

1

0

19

12

3

2

1

0

0

40

35

0

1

1

2

3

8

13

0

1

1

2

3

44

36

0

0

1

2

3

32

14

3

2

1

1

0

24

37

3.

2

1

1

0

2

15

0

1

1

2

3

43

38

0

0

1

2

3

45

16

0

1

1

2

3

35

39

3

2

1

1

0

12

17

0

1

2

3

3

26

40

0

0

1

2

3

9

18

3

2

1

1

0

34

41

3

2

1

1

0

30

19

3

2

1

1

0

25

42

0

1

1

2

3

11

20

3

2

1

1

0

36

43

0

0

1

2

3

33

21

3

2

1

1

0

38

44

0

0

1

2

3

29

22

3

2

1

1

0

41

45

0

0

1

2

3.

27

23

3

2

1

0

0

100

D. Pelaksanaan Perlakuan Eksperimen .

Di dalam

penelitian ini peayelenggaraan tes awal,

perlakuan eksperimen dan tes akhir dilaksanakan oleh guru
kelas dalam suasana kegiatan belajar mengajar sehari-hari.

Hal itu perlu dilakukan untuk menjaga

agar suasana kelas

berlangsung secara wajar sehingga hasil-hasilnya dapat di
generalisasikan pada kelas lain. Tindakan ini sesuai dengan
pendapat Campbell dan Stanley yang menyatakan :
... experimentation within schools must be conducted
by reguler staff of the schools concerned, whenever
possible,