Politik Uang atau Uang Politik?

(halaman)@@

~ibun Jabar

(kolom
)O@

o Selasao
123
17

18

OJan

5

4
19
OPeb


20

6

Rabu

7
22

21

o Mar OApr

o Kamis 0 Jumat
8
23

OMei

10


9

OJun

24

11
25

OJul

o Sabtu o Minggu

12

14

13


26

27

0 Ags

OSep

28
OOkt

.

29

15

16

@

Nov

31
0 Des

Politil~ Uang
at an Uang Politil~?
referat
MOH ILHAM A HAMUDY
Stat Puslit Otda Balitbang Depdagri
Alumnus Universitas Padjadjaran
dan Universiti Kebangsaan Malaysia

MUSY AWARAH daerah
(Musda) pemilihan ketua
OPO I Golkar Jabar resmi
dibuka 29 November dan
berlangsung di salah satu
hotel berbintang di Bandung hingga besok, 1 Oesember. Musda tersebut dibuka oleh Ketua Umum
Golkar Aburizal Bakrie dan

dihadiri 500 undangan.
Para calon ketua OPO I
Golkar Jabar akan memperebutkan 30 suara yang
terdiri atas 26 suara OPO
tingkat II Kabupaten/Kota,
1 suara OPP, dan sisanya
dari ormas pendiri Golkar.
Sejauh ini, ada tiga nama
yang beredar sebagai bakal
calon, yakJ\i Bupati Indramayu Irianto M Syafiuddin,
Wali Kota Bandung Oada
Rosada, serta anggota OPR
RI dari Partai Golkar Eldie
Suwandie.
Oi tengah persiapan Musda, isu politik transaksional
(politik uang) kembali menyeruak. Adalah Ketua
OPO I Golkar Jabar, Uu
Rl!kmana, yang menyebutkan politik uang tidak bisa
dihindari dalam Musda ini.
Kontan, pemyataan Uu itu

menuai kritikan keras dari
pelbagai kalangan. Pengamat
politik
Herman
Ibrahim, misalnya, menilai
pernyataan Uu itu adalah
bodoh dan menjijikkan (Repllblikn,18/11/09). Malahan,
Sekretaris Koordinator Bi-

dang PPOK OPO Golkar Jabar, Sunatra, sudah mewanti-wanti akan mendiskualifikasi bakal calon yang terbukti melakukan politik
uang dalam pemilihan ketua
DPO I Golkar Jabar.
Uang, tampaknya, selalu
menggelayut dalam setiap
perhelatan politik, tidak
terkecuali dalam Musda
OPO I Golkar Jabar kali ini.
Oalam konteks itu, uang
dianggap menampakkan
wujudnya yang buruk ketika dimainkan untuk tujuan

kekuasaan. Padahal, untuk
meraih dukungan dari para
pemilih, khususnya pengurus OPO II dan ormas pendiri Partai Golkar, para bakal
calon ketua OPO I memerlukan uang sebagai ongkos
politik. Mengapa uang selalu dipandang negatif dalam setiap kegiatan politik?
Seburuk itukah citra uang
ketika ia disandingkan dengan politik? Lantas, pada
batas mana penggunaan
uang dapat ditoleransi sebagai hal yang "wajar" dalam
kegiatan politik?
Jika dalam ekonomi uang
adalah tenaga untuk menggerakkan sistem perekonomian, dalam politik pula
uang adalah tenaga untuk
menggerakkan
sumber
daya politik. Hal ini menunjukkan, uang dan politik
tidak bisa dipisahkan. Oilihat ~ri

aspe~


ini, ma.ka_ s_~~..

tiap penggunaan uang dalam politik bukanlah tindakan yang selalu kotor, tetapi sebagai uang politik
yang perlu dibelanjakan
oleh pelaku politik untuk
berkampanye. Perbedaan
an tara politik uang dan
uang politik perlu dibahas
dengan terperinci, supaya
tidak timbul kekeliruan tafsir dalam menilai penggunaan uang dalam aktivitas
politik, termasuk pemilihan
ketua OPO I Golkar Jabar.
Mengikut pendapat Ahmad Fawzi (1995:22)politik
uang adalah kejahatan politik yang bersumber pad a
kekuatan keuangan seorang calon untuk mendapatkan kedudukan di dalam partai. Senapas dengan
pendapat Fawzi, Ahmad A
Husin dalam tulisannya
BlIdaya Politik MelaYIl
(1998:244) berpandangan,
politik uang adalah tingkah

laku negatif karena digunakan untuk membeli suara
pemilih, atau anggota partai
un tuk memenangkan
si
pemberi uang.
Kedua definisi tersebut,
jika diI;umuskan, memberikan satu makna bahwa politik uang adalah penggunaan keuangan yang besar dan
secara berlebihan oleh seorang calon untuk mendapatkan sokongan dari para
pemilih,agarmenangdalam
satu pemilihan. Kendati begitu,GomezdanJomodalam
bukunya Malaysia's Political
Economy (1997:120) mendefinisikan politik uang dalam cakupan yang lebih luas
lagi. Menurut mereka, politik uang merujuk pada beberapa isu yang saling berkaitan, termasuk keterlibahln p~rt~d~l..am...E.er-:..-

Kllplng

Humo~

Un pod


niagaan, penyalahgunaan
kekuasaan
dengan cara
melakukan penyuapan dan
patronase politik.
Semua tafsiran politik
uang itu pada dasamya memiliki banyak kekurangan.
Sebab, tafsiran itu mengabaikan penggunaan uang
untuk berkampanye
dan
membayar
transportasi
serta akomodasi konstituen. Oefinisi seperti itu tidaklah tepat untuk menggambarkan amalan politik
uang yang sebenarnyapolitik uang hanya dimaknai sebagai sesuatu yang
negatif. Padahal, tindakan
para calon untuk bertemu
konstituen, menyampaikan
visi dan misi dalam kampanye, membiayai transportasi serta akomodasi konstituen, sejatinya bukanlah
praktik politik uang.
Untuk mencapai tujuan

politik, setiap calon pemimpin, selain harus mempunyai kewibawaan, jiwa kepemimpinan, gagasan yang
cerdas, kreatif, dan realistis,
serta strategi kampanye
untuk mendekatkan dirinya
dengan para pemilih, juga
mesti memiliki keuangan
yang cukup.
Uang yang digunakan itu
bukanlah politik uang yang
negatif, tetapi uang politik
atau ongkos politik yang
mesti dikeluarkan untuk
bersaing dalam pemilihan.
Ringkasnya, sumber daya
politik tidak bisa bergerak
tanpa uang, dan para penyokong tim kampanye
tidak ma u bekerja tanpa
uang. Penggunaan
uang
seperti ini tidak hanya berlaku dalam pemilihan ketua
OPO I Golkar, tetapi juga
lazim berlaku d~lam ~tiap

2009

pemilihan umum ataupun
pilkada di pelbagai negara
demokrasi lainnya.
Oalam ranah politik, uang
merupakan
faktor yang
sangat penting. Uang bisa
memberikan
pengaruh
yang sangat signifikan bagi
terbentuknya
keseimbangan demokrasi. Kendati
begitu, pada batas tertentu,
uang juga bisa menjadi
bencana manakala pemanfaatannya 1:idak didasarkan
pada atl!ran legal-formal dan
cenderung untuk mendanai
aktivitas-akivitas
ilegal.
Misalnya, uang dianggap
sebagai dewa penolong dan
mantra ampuh yang seolah
menjad.i satu-satunya
instrurnen fundamental untuk
mendapatkan kekuasaan.
Qalam konteks yang demikian, uang acap menjadi alat
membelisuara (baca:money
politics)atau sebagaialatjualbeli jabatan yang dilakukan
oleh beberapa oknum untuk
mengejar kepentingan poIitik sesaa t.
Jadi, kalau pemyataan Uu
ataupun kekhawatiran Sunatra tentang politik uang
di atas dianggap sebagai
alat membeli suara pemilih,
maka penggunaan
uang
yang demikian adalah sesuatu yang haram dalam
politik. Namun, jika politik
uang yang dimaksud itu
sebagai ongkos politik yang
mesti dikeluarkan oleh para
bakal calon, tentulah tidak
bisa dipersalahkan begitu
saja. Oleh karena itu, sudah
sepatutnya definisi politik
uang dapat dipahami secara
lebih jerriih lagi sehingga
prasangka negatif terhadap
semua bakal calon Ketua
DPO I Golkar dalam Musda
nanti bisa dielakkan. (*)