T1 802011080 Full text

SIKAP REMAJA PEREMPUAN TUNA RUNGU TERHADAP MASA
PUBERTAS
OLEH
RINA DWI HAPSARI
802011080

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang
bertanda tangan di bawah ini:

Nama
: Rina Dwi Hapsari
Nim
: 802011080
Program Studi
: Psikologi
Fakultas
: Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Jenis Karya
: Tugas Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW
hal bebas royalty non-eksklusif (non-exclusive royality freeright) atas karya ilmiah saya
berjudul:
SIKAP REMAJA PEREMPUAN TUNA RUNGU TERHADAP MASA
PUBERTAS
Dengan hak bebas royalty non-eksklusif
ini, UKSW berhak menyimpan
mengalihkanmedia/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data,
merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Salatiga
Pada Tanggal : 12 Januari 2016
Yang menyatakan,

Rina Dwi Hapsari

Mengetahui,
Pembimbing

Krismi Diah Ambarwati M.Psi

PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama

: Rina Dwi Hapsari

Nim


: 802011080

Program Studi : Psikologi
Fakultas

: Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul :
SIKAP REMAJA PEREMPUAN TUNA RUNGU TERHADAP MASA PUBERTAS

Yang dibimbing oleh :
Krismi Diah Ambarwati,M.Psi

Adalah benar-benar hasil karya saya.
Didalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau
gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk
rangkaian kalimat atau gambar serta symbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya
sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis atau sumber aslinya.


Salatiga, 12 Januari 2016
Yang memberi pernyataan

Rina Dwi Hapsari

LEMBAR PENGESAHAN
SIKAP REMAJA PEREMPUAN TUNA RUNGU TERHADAP MASA
PUBERTAS

Oleh
Rina Dwi Hapsari
802011080
TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Disetujui pada tanggal :12 Januari 2016
Oleh:
Pembimbing


Krismi Diah Ambarwati, M.Psi
Diketahui oleh,

Disahkan oleh,

Kaprogdi

Dekan

Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS.

Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA.

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016

SIKAP REMAJA PEREMPUAN TUNA RUNGU TERHADAP MASA
PUBERTAS


Rina Dwi Hapsari
Krismi Diah Ambarwati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sikap remaja perempuan tuna rungu
terhadap masa pubertas. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan
teknik pengumpulan data dengan cara kuesioner dan wawancara. Partisipan berjumlah
empat orang dengan kriteria: remaja perempuan tuna rungu, usia 9-17 tahun, yang
diperoleh dari penyebaran kuesioner sikap kepada dua puluh enam siswa tuna rungu di
SLB-B Manunggal Slawi. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis tematik
berupa mereduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Dari hasil
perhitungan kuesioner terdapat 11 siswa yang memiliki sikap positif terhadap masa

pubertas, dan 15 siswa memiliki sikap negatif terhadap masa pubertas. Hasil wawancara
menunjukkan tiga dari empat partisipan memiliki sikap yang rendah terhadap pubertas.
Kata kunci: Sikap; tunarungu; remaja perempuan; pubertas

i

Abstract
This study aims to describe the attitude of deaf adolescent girl toward the puberty’s
period. This study uses qualitative research methods and data collection techniques by
means of questionnaires and interviews. There were four participants which the criteria
are: deaf adolescent girls, 9-17years old, were obtained from attitude questionnaires
toward twenty-six deaf students in SLB-B Manunggal Slawi. The analysis technique
uses thematic analysis in the form of data reduction, data presentation, and drawing
conclusion. The result of the questionaires shows that there were 11 students who
have positive attitude toward puberty period and 15 students have negative attitude
toward puberty period. The result of the interview shows that there are three
participants among the four participants who have low attitude toward the puberty.
Keywords: Attitude; deaf; adolescent girls; puberty

ii


1

PENDAHULUAN
Setiap anak ketika memasuki masa remaja akan mengalami perubahan fisik
yang sangat cepat. Masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa remaja
berlangsung sejak usia 10 atau 11 tahun, atau bahkan lebih awal sampai masa remaja
akhir atau usia dua puluhan awal. Di masa ini terjadi perubahan besar dalam aspek
fisik, kognitif, dan psikososial yang saling berkaitan (Papalia, 2009). Anak
perempuan biasanya mengalami perubahan fisik yang lebih dahulu dibandingkan
dengan anak laki-laki. Salah satu perubahan fisik tersebut adalah proses reproduksi
(proses melanjutkan keturunan) yang erat hubungannya dengan perubahan fisik yang
lebih dikenal dengan istilah pubertas (Kuryadi, 2006).
Secara umum masa remaja ditandai dengan munculnya pubertas (puberty),
proses yang pada akhirnya akan menghasilkan kematangan seksual. Masa pubertas
dapat terjadi sejak usia 7 tahun pada anak perempuan dan sekitar 9 tahun pada anak
laki-laki (Steinberg, 2002). Menurut Santrock (2011) sebagian besar anak laki-laki
mulai pubertas di usia 10 tahun atau paling lambat usia 13½ tahun dan akhir masa
pubertas paling awal terjadi pada usia 13 tahun atau paling lambat usia 17 tahun, dan
bagi anak perempuan, menarche dikatakan normal jika muncul pada usia 9 hingga 15

tahun.
Pubertas merupakan hasil dari produksi berbagai macam hormon, pelepasan
hormon gonadatropin yang meningkat (GnRH) dalam hipotalamus menyebabkan
munculnya hormon reproduksi yaitu hormon luteinizing (LH) dan hormon follicle
stimulating (FSH). Pada perempuan meningkatnya pelepasan FSH menyebabkan

2

menstruasi. Pada laki-laki, LH menyebabkan pemisahan hormon testosteron dan
androstenedion. Pubertas ditandai dalam dua tahap yaitu (1) pengaktifan kelenjar
adrenal dan (2) kematangan orangan-orangan seks dalam beberapa tahun kemudian
(Buck dalam Papalia, 2014).
Tahap pertama terjadi antara usia 6 dan 8 tahun, pada tahap ini kelenjar
adrenal secara bertahap mengeluarkan peningkatan hormon androgen terutama
dehidroepiandrosteron (DHEA). Diusia 10 tahun tingkat DHEA meningkat 10 kali
dibandingkan sebelumnya sehingga mempengaruhi rambut pubis, rambut ketiak, dan
rambut-rambut halus di wajah, mempercepat pertumbuhan badan, kulit berminyak,
dan bau badan (Rogol dalam Papalia, 2014).
Tahap kedua, sel telur perempuan mengeluarkan estrogen, yang merangsang
pertumbuhan alat kelamin perempuan dan membentuk payudara serta pubis dan

rambut ketiak, pada laki-laki juga meningkat dalam memproduksi androgen
khususnya testosteron, yang merangsang pertumbuhan alat kelamin laki-laki,
pertumbuhan otot, dan rambut di badan (Papalia, 2014).
Terdapat lima perubahan khusus yang terjadi pada remaja saat mengalami
pubertas,

yaitu

pertambahan tinggi

badan,

perkembangan seks

sekunder,

perkembangan organ-organ repoduksi, perubahan komposisi tubuh serta perubahan
sistem sirkulasi dan sistem respirasi yang berhubungan dengan kekuatan dan stamina
tubuh (Batubara, 2010). Menurut Crockett & Petersen (1987) bahwa perubahan yang
terjadi selama masa pubertas mengubah penampilan (antara remaja laki-laki dan

perempuan memiliki perbedaan), perubahan dalam penampilan berhubungan dengan
peningkatan interaksi mereka dalam hubungan dengan lawan jenisnya, karena

3

hormon yang mendasari perubahan somatik menyebabkan meningkatnya minat
dalam seks. Akhirnya perubahan hormonal dan perubahan fisik yang terjadi secara
langsung mempengaruhi keadaan emosi, kognitif, dan sosial remaja tersebut.
Perubahan biologis saat pubertas memiliki efek langsung pada sikap remaja
sehingga mempengaruhi bagaimana ia berperilaku dan perubahan biologis
menyebabkan perubahan citra diri remaja, yaitu perubahan biologis saat pubertas
mengubah penampilan remaja. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Christie &
Viner (2005) pada umumnya remaja akan mengalami kebingungan saat terjadinya
pubertas mengenai pertumbuhan yang dialaminya, perkembangan seksual yang
dialaminya membuat remaja mengembangkan ketrampilan kognitif seperti berpikir
abstrak, mengembangkan identitas seksual, interpersonal, serta mengembangkan
tingkat emosional remaja tersebut.
Menurut Lestari & Prastiti (2008) walaupun pubertas merupakan peristiwa
biologis, namun sarat dengan reaksi psikologis. Terjadinya pubertas pada remaja
dapat menimbulkan emosi positif maupun negatif. Emosi positif mencakup bahagia,
bangga, gembira, sedangkan emosi negatif mencakup malu, marah, takut, khawatir,
terkejut, jengkel, dan bingung.

Simmons & Blyth (1987) menunjukan dampak

psikologis saat pubertas adalah salah satu pemicu stres yang dialami oleh remaja
perempuan (tapi tidak terjadi pada anak laki-laki); pada remaja laki-laki ejakulasi
pertama (spearmarche) tidak menyebabkan kecemasaan, malu, atau takut.
Dengan demikian dampak pubertas secara psikologis bervariasi berdasarkan
gender, kelompok etnis, namun remaja perempuan memiliki dampak yang buruk

4

dibandingkan remaja laki-laki, resiko terbesar yang dialami adalah pengembangan
citra diri yang buruk (Steinberg, 2002).
Banyak orang dewasa menganggap bahwa kemurungan remaja secara langsung
terkait dengan perubahan hormonal saat pubertas ( Crockett & Petersen, 1987). Efek
yang kuat terjadi di awal masa pubertas dimana hormon yang berhubungan dengan
pubertas seperti testosteron, estrogen, dan berbagai adrenal androgen meningkat
secara drastis di awal masa puberatas. Hal ini berhubungan dengan peningkatan
iritabilitas, impulsif, agresi (remaja laki-laki), dan depresi (remaja perempuan),
hormon yang naik-turun di masa awal pubertas mempengaruhi suasana hati remaja.
Pada kehidupan sosial remaja, perkembangan organ reproduksi mendorong remaja
melakukan hubungan sosial, baik dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis
(Dariyo, 2004).
Asumsi di masyarakat menyebutkan bahwa orang berkebutuhan khusus tidak
memiliki perasaan seksual, kebutuhan/keinginan akan hasrat seksual, akibatnya
banyak orang berkebutuhan khusus tidak menerima pendidikan seks, baik di rumah
maupun di sekolah (Keshav & Huberman, 2006). Asumsi yang berkembang dalam
masyarakat mengenai seksualitas pada orang yang mengalami keterbatasan bahwa
(1) orang dengan keterbatasan mental/fisik tidak memiliki hasrat/keinginan untuk
berhubungan seks, (2) orang dengan keterbatasan mental/fisik memiliki sifat
kekanak-kanakan dan tergantung dengan orang di sekitarnya (Keshav & Huberman,
2006).
Remaja berkebutuhan khusus umumnya mengahadapi berbagai bentuk
diskriminasi, mengenai isu-isu kesehatan reproduksi yang sama dialami remaja

5

normal lainnya, dan situasi ini diperparah dengan adanya asumsi bahwa remaja
berkebutuhan khusus tidak aktif secara seksual (Sagowawa, 2009).
Lake (2013) menyatakan remaja penyandang disabilitas seringkali dianggap
rendah, dan ini menyebabkan mereka menjadi lebih rentan. Remaja

dikatakan

berkebutuhan khusus jika ada sesuatu yang kurang atau bahkan lebih dalam
dirinya. Macam-macam remaja berkebutuhan khusus menurut Somantri (2006)
adalah tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa, tuna laras. Tuna rungu dapat
diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan
seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera
pendengarannya. Dwidjosumarto (dalam Somantri, 2006) mengemukakan bahwa
seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tuna rungu.
Menurut Rostami (2014) remaja yang mengalami ketulian sedikit banyak akan
mempengaruhi perkembangan sosial, emosi, dan kognitif penyandang tunarungu
tersebut.
Pada masa pubertas remaja mengalami perubahan hormon yang sangat
signifikan sehingga mengakibatkan perubahan biologis serta mempengaruhi
perubahan remaja secara psikologis, dan fenomena yang ada tentang perubahan yang
dialami remaja membentuk suatu sikap pada remaja tersebut. Thurstone (dalam
Hudaniah dan Dayakisni, 2006) secara lebih spesfik menjelaskan sikap merupakan
suatu tingkatan afek, baik itu bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya
dengan obyek-obyek psikologis.
Menurut Walgito (2003), sikap melibatkan tiga aspek yang saling
berhubungan, antara lain: (a) aspek kognitif, merupakan komponen yang berkaitan

6

dengan pengetahuan, pandangan dan keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan
dengan bagaimana orang mengekspresikan dengan obyek sikap, (b) aspek afektif,
merupakan komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang
terhadap obyek sikap, rasa senang merupakan hal yang positif sedangkan rasa tidak
senang merupakan hal negatif. Komponen ini menunjukan ke arah sikap, yaitu positif
dan negatif, (c) aspek konatif, merupakan komponen yang berhubungan dengan
kecenderungan bertindak terhadap obyek sikap.
Hal ini sama dengan pendapat dari Azwar (1998), yang menyatakan bahwa
sikap terdiri dari tiga aspek yang saling berhubungan, yaitu: (a) aspek kognitif,
berhubungan dengan gejala mengenai pikiran yang berupa apa yang menjadi wujud
pengolahan, pengalaman, keyakinan, serta harapan individu tentang obyek tertentu,
(b) aspek afektif, merupakan perasaan individu terhadap obyek sikap dan perasaan
yang mengandung masalah emosional, aspek emosional ini biasanya berakar paling
dalam pada aspek sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap
pengaruh-pengaruh yang mungkin dapat merubah perilaku seseorang. Aspek ini
terwujud karena adanya proses menyangkut perasaan tertentu seperti ketakutan,
antipati yang ditunjukan ada obyek tertentu, (c) aspek konatif, atau perilaku dalam
sikap menunjukan bagaimana kecenderungan seseorang di dalam berperilaku
dikaitkan dengan obyek sikap yang dihadapinya.
Pada wawancara awal yang dilakukan oleh peneliti terhadap beberapa guru
kelas di SLB-B Manunggal Slawi, bahwa sikap remaja perempuan di masa pubertas
terjadi perubahan seperti beberapa siswinya sudah mulai berdandan, mendekati
lawan jenis. Ada salah satu siswi yang tekadang sering menyendiri, dan saat ditanya
oleh salah satu guru, siswi tersebut menjawab sedang menstruasi, ia takut dan malu

7

saat sedang menstruasi. Siswi lain mengatakan bahwa ia mengalami kecemasan saat
mengalami menstruasi pertamanya dan merasa takut saat mengalami menarche, saat
ditanya mengapa merasa takut ia hanya menjawab takut, dan tidak tahu
alasannya.Walaupun menarche adalah peristiwa biologis yang alamiah namun sarat
dengan reaksi psikologis, karena kehadiran menarche begitu tiba-tiba dan tidak dapat
diprediksi sebelumnya, tidak seperti pertumbuhan payudara dan rambut pubis yang
terjadi secara perlahan (Lestari & Prastiti, 2008) .
Penelitian sebelumnya mengenai “Depresion and Deaf Adolescents” yang
dilakukan oleh Rostami (2014) menyatakan bahwa sebenarnya remaja tunarungu
secara seksual memiliki perkembangan yang sama dengan remaja normal lainnya
namun karena adanya keterbatasan dalam pendengarannya sehingga kurang memiliki
informasi menyebabkan remaja tunarungu sering terlibat dalam seks yang tidak
aman, sehingga banyak remaja tunarungu memiliki sikap negatif dalam
perkembangan seksualnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan
sikap remaja perempuan tunarungu terhadap masa pubertas.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bertujuan untuk
memberikan gambaran atas fenomena atau permasalahan yang diangkat (Sugiyono,
2012), yaitu tentang sikap remaja perempuan tunarungu terhadap masa pubertas.

8

Partisipan
Partisipan dipilih dengan pendekatan purposif, yaitu menggunakan beberapa
karakteristik atau kriteria tertentu (Poerwandari, 2005). Pemilihan partisipan
didahului dengan pemberian kuesioner untuk mengetahui sikap siswa terhadap masa
pubertas. Partisipan untuk pengisian kuesioner adalah siswa-siswi SLB-B Manunggal
Slawi yang berusia 9-17 tahun.
Dari hasil pengisian kuesioner mengenai sikap pubertas yang diberikan pada
dua puluh enam siswa, sebanyak lima belas siswa memiliki sikap yang negatif
terhadap pubertas, dan sebelas siswa memiliki sikap positif terhadap pubertas.
Setelah diketahui hasil dari pengisian kuesioner peneliti mengambil empat partisipan
perempuan untuk wawancara. Pemilihan keempat partisipan didasarkan pada,
keempatnya memiliki sikap yang negatif terhadap pubertas, dan direkomendasikan
oleh pihak sekolah karena, keempatnya dapat berkomunikasi dengan orang baru.
Inisial Partisipan
P.1
SF
P.2
RL
P.3
AOP
P.4
NK

Usia
15 Tahun
13 Tahun
12 Tahun
12 Tahun

Kelas
V SDLB
VI SDLB
VI SDLB
V SDLB

Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner dan wawancara.
Metode kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk
dijawab (Sugiyono, 2012), sehingga menghasilkan data statistik yang dapat

9

memberikan gambaran tentang penelitian sehingga dapat memberikan data tambahan
untuk melakukan wawancara.
Alat ukur diberikan kepada siswa-siswi SLB Manuggal Slawi sebanyak 26
siswa tunarungu. Berdasarkan alat ukur sikap pubertas yang terdiri dari 30 aitem,
diperoleh aitem gugur sebanyak 14 aitem dan terdapat 16 aitem yang dapat
digunakan, karena memiliki koefisien aitem total korelasi > 0,25 (Azwar, 2012).
Sedangkan teknik pengukuran untuk menguji reliabilitas adalah menggunakan teknik
koefisien Alpha Cronbach, sehingga dihasilkan koefisien Alpha sebesar 0,920. Hal
ini berarti kuesioner sikap remaja tuna rungu terhadap masa pubertas yang digunakan
reliabel.
Metode penggalian data dalam penelitian ini ialah menggunakan metode
wawancara tidak terstruktur, adalah wawancara yang bebas dimana peneliti
menggunakan pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis besar
permasalahan yang akan ditanyakan (Sugiyono, 2012).
Analisis dan Uji Keabsahan Data
Teknik analisis data kualitatif menggunakan analisis tematik berupa mereduksi
data, penyajian data, dan penarikkan kesimpulan (Miles dan Huberman dalam
Sugiyono, 2012). Proses analisis data dimulai dengan pengetikan verbatim dengan
mendengarkan percakapan, setelahnya peneliti melakukan reduksi data, yaitu dengan
cara merangkum, dan memfokuskan pada hal-hal yang penting, selanjutnya peneliti
membuat uraian pada setiap partisipan dan menyimpulkan hasil wawancara yang
telah dilakukan.

10

Selain itu, hal penting yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kredibilitas
penelitian kualitatif menggunakan triangulasi sumber, yaitu mengecek data yang
telah diperoleh melalui beberapa sumber (Sugiyono, 2012), triangulasi sumber
dilakukan pada orang terdekat partisipan seperti orang tua, guru, dan ibu asrama.
HASIL PENELITIAN
Dari hasil perhitungan kuesioner mengenai sikap remaja terhadap pubertas,
penelitian ini menggunakan dua kategorisasi dengan menentukan lebar interval untuk
mengetahui subjek mendapat angka “positif” atau “negatif”. Bardasarkan hasil
perhitungan kuesioner dapat dilihat pada tabel 1 bahwa, terdapat 11 siswa pada
kategori sikap yang positif sedangkan 15 siswa pada kategori sikap yang negatif.
Skor yang diperoleh rata-rata 6,61 dimana siswa berada pada sikap yang negatif
terhadap pubertas.
Tabel 1
Kategorisasi Sikap Terhadap Pubertas

Kategori
Positif
Negatif

Skor
9 ≤ x ≥ 16
0≤x≤8

Frekuensi
11
15

Total Sampel

Mean
6,61
26

Setelah dilakukan perhitungan kuesioner peneliti mengambil empat partisipan
untuk diwawancara mengenai sikap terhadap pubertas. Hasil wawancara diperoleh
tema-tema sikap, yaitu: kognitif, afektif, dan konatif.

11

Aspek Kognitif
Pada P1, kurang memiliki informasi mengenai pubertas, ia tidak mengerti
mengapa wajahnya mulai berjerawat, dan tumbuh bulu-bulu halus di sekitar alat
kelamin, walaupun ia kurang memiliki informasi tentang perubahan yang terjadi
selama pubertas namun ia menyadari perubahan-perubahan yang terjadi selama
pubertas, cara P1 mendapatkan informasi mengenai merawat kebersihan tubuhnya
dengan melihat yang dilakukan kakak dan ibunya dalam menjaga kebersihan tubuh,
seperti saat melihat ibunya menggunakan pembalut saat menstruasi.
“(Isyarat) sendiri lihat ibu sama kakak pake” (S.35-S.39)
P1 menyadari perubahan yang terjadi dalam pergaulannya dengan temantemannya, ia mengaku bahwa ia lebih memiliki banyak teman dibandingkan
sebelumnya, P1 sudah memahami lawan jenis yang menarik untuknya, menurutnya
lawan jenis yang menarik adalah yang memiliki kulit putih. Menurut significant
other P1, P1 memiliki teman laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan teman
perempuannya, P1 juga tergabung dalam komunitas tunarungu melalui media sosial,
dalam pergaulannya saat ini P1 terlihat lebih percaya diri dibandingkan sebelumnya
yang kurang memiliki teman.
“,... beda dengan sekarang ya kalo sekarang dia itu cenderung rada keliatan
terlihat percaya diri” (SS.33-SS.36)
Lain halnya dengan P2 yang aktif mencari informasi dari keluarganya,
P2 selalu bertanya kepada ibunya mengenai pubertas yang sedang ia alami, P2
memahami dirinya telah memasuki masa pubertas karena ia sudah menstruasi, dan
terjadi perubahan pada bentuk tubuhnya sehingga ia memahami pubertas sebagai
orang yang sudah besar. P2 memperoleh informasi bagaimana menjaga kebersihan

12

tubuhnya karena aktif bertanya kepada ibu dan keluarga lainya seperti tante dan
neneknya, hal ini disampaikan oleh significant other P2 bahwa terkadang ia sulit
untuk menjawab pertanyaan P2 mengenai perubahan yang dialaminya saat puberatas.
“Ya iya sering tanya-tanya ...” (SR.314)
“ ... kok bisa gini kenapa, aku nya yang pusing mba..”(SR.317-SR.318)
Terjadi perubahan dalam pergaulan P2 dengan teman-temannya setelah
pubertas hal ini akui oleh orangtua P2 yang merasa P2 lebih banyak menghabiskan
waktu dengan teman-temannya dibanding belajar di rumah. Menurut P2 lawan jenis
yang menarik baginya adalah yang memiliki badan yang tinggi dan memiliki kulit
yang putih.
Sedangkan pada P3 ia mengakui kurang aktif dalam mencari informasi seperti
bertanya ataupun membaca buku, ia tidak mengetahui istilah pubertas. Namun
keluarganya memberikan informasi mengenai pubertas yaitu saat P3 mengalami
menarche, ibu P3 menyuruhnya untuk menggunakan pembalut. P3 melihat kakaknya
menggunakan pembalut serta P3 mendapatkan informasi mengenai menjaga
kebersihan dari iklan yang dilihatnya di televisi tentang sabun wajah yang dapat
mengurangi jerawat.
“Emm..di tv..tv..pake..(D2.40)
“Kakak punya.. D pake..pake.. (mengunakan isyarat)”(D2.30)
Sedangkan pada P4 ia mengakui memiliki informasi yang baik mengenai
pubertas, hal ini diakui pula oleh ibu asrama P4 yang menyatakan P4 mendapatkan
informasi mengenai pubertas dari seluruh keluarganya yaitu dari ayah, ibu, dan

13

kakak perempuannya yang memberikan informasi mengenai apa saja perubahan yang
akan terjadi saat masa pubertas serta mengenai hal-hal yang boleh/tidak boleh
dilakukan saat menstruasi.

P4 memiliki pemahaman bahwa orang yang sudah

pubertas adalah orang yang sudah dewasa, apabila perempuan sudah besar maka ia
akan menstruasi.
“Iya karna orang tua nya kan juga guru ya, bapak ibunya jadi sering kasih
info...” (SN.103-SN.104).

Aspek Afektif
Pada P1 awalnya ia mengungkapkan merasa takut saat menstruasi pertamanya,
ia takut saat melihat darah, namun setelah beberapa kali ia menstruasi ia merasa
sudah biasa melihat darah saat menstruasi. P1 merasa malu karena memiliki tubuh
yang lebih besar dibandingkan dengan teman lainnya, ia juga merasa malu karena
mulai tumbuhnya jerawat membuatnya sedikit tidak percaya diri.
“Dulu emen takut, sekarang biasa. (S.288)
“Iya malu, tidak suka” (S.270)
“Teman kecil..kecil aku..aku..besar..besar.., malu..” (S.290)
Namun ia juga senang karena merasa temannya lebih banyak dibandingkan
dengan sebelumnya. Pergaulan P1 yang lebih luas dibandingkan sebelumnya
terkadang membuat orangtua P1 melarangnya untuk bermain, saat orangtua P1
melarangnya untuk bermain, P1 merasa marah kepada orang tuanya.
P2 merasa tidak senang saat pubertas karena banyak terjadi perubahan fisik
pada dirinya dan emosi yang kurang dapat dikendalikan. Hal ini dibenarkan oleh ibu
P2 yang mengatakan saat ini P2 memiliki emosi yang kurang terkendali, walaupun

14

saat ini P2 memiliki teman yang lebih banyak dibandingkan sebelumnya, namun saat
ini ia malu ketika bertemu dengan orang yang disukainya, sebelum mengalami
pubertas ia merasa dapat bergaul dengan baik, namun setelah ia pubertas ia merasa
malu jika bertemu dengan orang yang disukainya karena tidak percaya diri saat
bertemu.
“(diam sejenak) cowo..cowo..bisa ngomong..R tidak.. “(R3.60)
P2 merasa marah ketika kakaknya mengomentari wajahnya yang lebih
berminyak dibandingkan sebelumnya.
P3 merasa malu saat muncul jerawat di wajahnya dan munculnya bulu-bulu
halus di sekitar alat kelaminnya. Saat menarche P3 dan P4 merasa takut karena
melihat darah namun setelah berapa kali mengalami menstruasi sudah biasa dengan
hal tersebut.
“Merah.. takut”(D.132)
.“Takut..merah..jijik..” (N.9)
P4 merasa senang bahwa dirinya sudah pubertas ia merasa bahwa sekarang ia
sudah menjadi besar, namun terkadang ia merasa malu pada saat ia berkeringat lebih
banyak, ia merasa malu jika temannya mencium bau dari keringatnya
“Biar tidak bau.. malu.. “ (N.135).
Aspek Konatif
Saat ini P1 lebih sering menghabiskan waktu untuk bermain dengan temantemannya sampai larut malam, sehingga membuat orang tua P1 sering
menasehatinya, saat orang tuanya menasehatinya P1 sering marah karena tidak
menerima nasehat yang diberikan oleh orangtuanya, saat ia marah P1 akan masuk
kekamar untuk menenangkan diri atau pergi bersama dengan teman-temannya, P1

15

rajin mengganti pembalut saat sedang menstruasi, menurut gurunya P1 terlihat lebih
rapi dibandingkan sebelumnya dan terlihat percaya diri dalam pergaulannya dengan
teman-temannya.
“..., beda dengan sekarang ya kalo sekarang dia itu cenderung rada keliatan
terlihat percaya diri”(SS.33-SS.36)
Pada P2 walaupun ia kurang aktif dalam membaca mengenai info tentang
pubertas namun diungkapkan oleh ibunya P2 selalu bertanya tentang pubertas kepada
ibu dan saudara-saudara perempuannya. P2 juga menyadari perubahan bentuk
payudaranya yang semakin besar sehingga membuatnya menyadari harus
menggunakan bra. Ia juga menggunakan deodorant karena merasa ia lebih
berkeringat dibandingkan sebelumnya. Terjadi perubahan penampilan yang
diungkapkan oleh ibu P2, bahwa saat ini P2 lebih suka mencoba untuk berdandan
saat ada orang yang disukai oleh P2. P2 juga menjaga kebersihan alat kelaminnya
saat sedang menstruasi ia sering mengganti pembalut supaya tidak bocor. Ia juga
menggunakan sabun wajah untuk mengurangi minyak pada wajahnya.
“Iya sering ganti yang penting gak sampe tembus aja, ...” (SR.90-SR.91)
P3 mendapatkan informasi mengenai pubertas yang diberikan oleh ibunya P3
dapat menjaga kebersihan tubuhnya dengan mandi dan mengganti pakaian dengan
terartur. Ia juga sering menganti pembalut saat sedang menstruasi ia menyadari
perubahan pada payudaranya yang semakin besar namun ia belum menggunakan bra
karena ia merasa tidak nyaman saat menggunakannya.
“Malu..gak enak”(D.142)
Ia dapat menjaga kebersihan orangan intimnya dengan rajin mencukur bulubulu halus di sekitar alat kelaminnya. Perubahan yang terjadi dirasakan oleh guru P3

16

yang mengungkapkan bahwa P3 lebih sering berdandan saat ke sekolah, P3
menggunakan lipstick dan terlihat lebih rapi.
“Eem.. pakai bedak kadang juga pakai lipstick, ...” (SD.28-SD.29)
Pada P4 ia dapat merawat kebersihan tubuh dan sekitar alat kelaminnya karena
informasi yang diberikan dari keluarganya. P4 menjaga kebersihan tubuhnya dengan
teratur mandi dan mengganti pakaiannya. P4 juga menggunakan deodorant karena
menyadari ia lebih berkeringat. Saat P4 menstruasi dan merasa sakit perut ia akan
meminum obat untuk mengurangi rasa sakitnya. Ia juga menyadari penggunaan bra
setelah menstruasi. Menurut ibu asrama P4 lebih terlihat selektif dalam berpakaian
“balik sandang” P4 terlihat tidak mau memakai baju yang sudah jelek atau pudar
warnanya.
“Sendiri.. ibu ngomong pake.. kakak juga pake..” (penggunaan bra)(N.91N.92)
“... sekarang kan bajunya aja udah berubah pakeane kalo udah jelek sedikit
kan udah gak mau kalo cara bahasa jawanya itu balik sandang” (SN.42-SN.45).

PEMBAHASAN
Empat partisipan wawancara dipilih melalui pengisian kuesioner sikap
pubertas, yang diberikan pada dua puluh enam siswa tunarungu di SLB Manunggal
Slawi setelah melakukan pengisian kuesioner keempat partrisipan memiliki sikap
yang negatif terhadap pubertas. Pada keempat partisipan keempatnya tidak mengerti
apa yang dimaksud dengan pubertas, dan tidak memahami perubahan fisik yang
terjadi selama masa pubertas walupun keempatnya menyadari perubahan yang terjadi

17

khususnya perubahan secara fisik. Keempat partisipan tidak memahami mengapa
timbul jerawat di sekitar wajah dan mulai tumbuhnya bulu pubis.
Menurut Rembeck, dkk (2006) informasi yang diberikan oleh orang dewasa
merupakan bagian yang penting untuk menjamin remaja mendapatkan informasi
yang benar dan sesuai dengan perubahan yang terjadi pada remaja. Pada P1 dan P3
keduanya kurang mendapatkan informasi dari keluarga mengenai perubahan yang
terjadi selama pubertas, keduanya hanya mendapatkan informasi mengenai
bagaimana cara menjaga kebersihan tubuh selama pubertas, yang didapatnya dengan
melihat orang di sekitarnya seperti melihat ibu dan kakak perempuannya saat
menggunakan pembalut dan menjaga kebersihan wajahnya dengan melihat iklan
pembersih wajah di televisi.
Pada P2 ia mendapatkan informasi mengenai perubahan fisik yang terjadi
selama pubertas kepada ibunya. Survei yang dilakukan oleh Indonesia Young Adult
Reproductive Health Survey (IYARSH) pada tahun 2002-2003 (dalam AlDeen dan
Nasser, 2010) menyebutkan 70% remaja perempuan bercerita kepada ibunya
mengenai pubertas dan menarche, namun P2 sering tidak mendapatkan informasi
yang sesuai karena ibu P2 kurang memiliki informasi mengenai pubertas, seperti
yang dikatakan oleh ibu P2 terkadang ia sulit menjawab pertanyaan dari P2 tentang
perubahan fisik yang terjadi selama pubertas.
Menurut Dewi dan Kamidiah (2012) orangtua utamanya ibu memiliki peranan
penting dalam membekali anak dengan pengetahuan tentang masalah dan bagaimana
untuk menghadapi fase remaja dengan penyampaian yang mudah dan dapat dipahami
oleh anak-anak. Sedangkan pada P4 ia memiliki cukup informasi mengenai pubertas,

18

P4 memahami perubahan fisik yang akan terjadi selama masa pubertas berlangsung,
ia juga mendapatkan informasi mengenai pubertas bukan hanya dari ibunya saja
namun seluruh keluarganya memberikan informasi dan pengertian mengenai apa saja
yang akan terjadi selama pubertas.
Ayah P4 memberikan informasi apabila P4 sudah menstruasi, tandanya P4
sudah besar dan akan terjadi banyak perubahan yang nantinya akan dialami,
misalnya setiap bulannya P4 akan mengalami menstruasi dan harus menjaga
kebersihannya. Ibu dan kakak perempuan P4 menyarankan agar P4 mengunakan bra
dan memberi informasi mengapa ia harus mengunakan bra.
Kurangnya informasi mengenai puberatas pada remaja dapat menyebabkan
remaja memiliki perasaan yang negatif selama masa pubertas. Menurut Dewi dan
Kamidiah (2012) jika remaja pubertas tidak diberitahu atau secara psikologis tidak
dipersiapkan tentang perubahan fisik dan psikologis yang dialaminya maka
pengalaman akan perubahan tersebut dapat merupakan pengalaman yang traumatis,
akibatnya remaja cenderung mengembangkan sikap yang kurang baik terhadap
perubahan sikap selama pubertas.
Ninawati dan Kuryadi (2006) menyatakan menarche sebagai suatu perubahan
pada anak perempuan menyangkut aspek fisik dan psikis, yang menyebabkan
bermacam konsekuensi psikologis, adanya perasaan negatif dan positif. Pada
keempat partisipan, keempatnya menyatakan merasa jijik dan takut saat mengalami
menarche, keempatnya merasa jijik saat melihat darah dan merasa tidak nyaman
apabila saat sedang menstruasi akan tembus saatditempat umum seperti disekolah.

19

Menurut Vasta, dkk (dalam Ninawati & Kuryadi, 2006), apabila seorang anak
perempuan secara psikologis tidak mempersiapkan diri menghadapi menarche,
karena kurangnya informasi mengenai menarche, maka kurangnya informasi akan
menyebabkan perasaan negatif apabila menarche terjadi. Pada P1, P2, dan P3;
ketiganya tidak memiliki informasi mengenai menarche karena tidak mendapatkan
informasi yang benar dari orang dewasa disekitarnya. Menurut Paludi (dalam
Ninawati & Kuryadi, 2006) kurang dari dua puluh persen dari anak perempuan
hanya menggunakan istilah negatif, seperti rasa takut, terganggu, dan kecewa ketika
diminta untuk menggambarkan reaksi terhadap menarche.
Pada P2 dan P3 pubertas adalah hal yang membuatnya merasa “kotor” karena
mulai tumbuhnya bulu-bulu halus di sekitar ketiak maupun bulu pubis yang mulai
tumbuh, tumbuhnya jerawat, wajah yang lebih berminyak dan saat menstruasi ia
merasa perubahan yang terjadi saat pubertas adalah hal yang tidak bisa ia kontrol
sehingga ia merasa malu dengan perubahan yang terjadi. Sama halnya yang
dinyatakan oleh Rembeck (2006), remaja menghadapi hygienic crisis dimana remaja
meningkatkan kebersihannya karena menstruasi dan perubahan fisiologis yang
terjadi.
Sikap ini memperkuat keyakinan remaja bahwa menstruasi adalah tanda
ketidakbersihan yang mengganggu dan memalukan yang tidak dapat dikontrol. Pada
P1 perubahan bentuk badan yang lebih besar setelah pubertas membuatnya kurang
percaya diri saat berkumpul dengan teman kelasnya karena ia merasa tubuhnya lebih
besar dibandingkan dengan teman-teman di kelasnya. Pada P4 walaupun saat
menarche ia merasa jijik, namun karena informasi yang didapat dari keluarga dan

20

dukungan dari ibunya yang menyatakan jika ia sudah menstruasi tandanya P4 sudah
besar, membuat P4 merasa bangga karena dirinya sudah besar.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari wawancara dan analisis data yang telah dilakukan peneliti memperoleh
data, yaitu tiga dari empat partisipan wawancara remaja perempuan tunarungu
memiliki sikap yang negatif terhadap masa pubertas, yang dipengaruhi kurangnya
informasi yang dimiliki oleh partisipan. Pada P1, P2, dan P3 ketiganya kurang
memiliki informasi mengenai perubahan yang terjadi selama masa pubertas sehingga
ketiganya merasa khawatir atau takut serta malu saat terjadi perubahan pada fisiknya.
P1 merasa malu bahwa setelah pubertas tubuhnya berkembang dengan cepat
sehingga membuatnya terlihat lebih besar dibandingkan dengan teman-teman
lainnya.
Pada P2 ia memiliki perasaan yang negatif mengenai menstruasi dan
tumbuhnya bulu halus pada ketiak serta tumbuhnya bulu pubis, membuatnya merasa
kotor dan merasa tidak dapat mengendalikan perubahan yang terjadi akibat pubertas.
Pada P3 ia merasa malu dengan wajahnya yang berjerawat dan berminyak
dibandingkan sebelumnya sehingga membuatnya marah saat ada temannya yang
mengejeknya. Pada P4 ia menunjukan sikap yang positif karena memaknai pubertas
sebagai dirinya yang sudah besar dan bukan anak-anak lagi.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa peran keluarga memiliki peran yang
cukup besar dalam memberikan informasi mengenai pubertas disamping itu iklan di
televisi juga salah satu cara menyampaikan informasi mengenai bagaimana merawat

21

kebersihan tubuh. Dalam

penelitian ini

juga diungkapkan adanya perubahan

pergaulan dan penampilan pada keempat partisipan setelah pubertas .Pada P1, ia
lebih banyak memiliki teman yang dikenalnya melalui media sosial, lalu pada P2 dan
P3 keduanya sering terlihat berdandan saat ke sekolah walaupun pihak sekolah tidak
memperbolehkan siswa nya berdandan. Pada P3 masih sering terlihat menggunakan
lipstick saat berangkat ke sekolah, sedangkan pada P4 ia terlihat lebih selektif dalam
berpakaian.
Saran
a.

Bagi remaja tuna rungu, diharapkan aktif dalam mencari informasi mengenai

pubertas, baik dengan bertanya kepada orang dewasa maupun mencari informasi dari
buku bacaan mengenai pubertas.
b.

Bagi pihak sekolah, diharapkan ikut aktif membantu memberikan informasi

mengenai pubertas dengan cara memberikan pendidikan seks secara berkala.
c.

Bagi keluarga, diharapkan aktif dalam memberikan informasi dan dukungan

berkaitan perubahan yang di alami remaja, supaya tidak terjadi kebingungan pada
remaja.
d.

Bagi peneliti selanjutnya, dapat dilakukan dengan menambah jumlah partisipan

dalam pengisian kuesioner dan karakteristik partisipan, partisipan dalam penelitian
ini adalah remaja perempuan yang sedang mengalami pubertas, bagi peneliti
selanjutnya dapat melakukan penelitian dengan remaja laki-laki dan remaja
perempuan. Serta melakukan obeservasi yang lebih luas lagi dalam pergaulan
partisipan baik di sekolah maupun diluar sekolah.

22

DAFTAR PUSTAKA

AlDeen dan Nasser. (2010). Information, Beliefs and Attitudes towards Menarche in a
Sample of Adolescent Student Girls in Baghdad City.Iraqi J.Comm.Med. April
2010.
Azwar, S. (1998). Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2012). Penyusunan Sikap Psikologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Batubara, J. R. L. (2010). Adolescent Development (Perkembangan Remaja). Vol. 12.
Indonesia. Jakarta.
Christie, D., & Viner, R. (2005) ABC of Adolescence: Adolescen Developmen In Mc
Intosh, N, Helms. P., & Smyth. R. (Eds). Forfar and Arneil’s Textbook of
Paediatrics, 6th. Edinburgh: Churchill Livingstone.
Crockett, J. L. & Petersen. C. A. (1987). Pubertal Status and Psychosocial
Development:Finding from the Early Adolescence Study. New Jersey: Lawrance
Erlbaum Associates,Inc.
Dariyo, Agus. (2004). Psikologi Perkembangan Remaja, Bogor: Ghalia Indonesia.
Dayakisni, Tri dan Hudaniah. (2006). Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.
Dewi, A.C., & Kamidiah. (2012). Hubungan Antara Pengetahuan Ibu Tentang
Kesehatan Reproduksi Remaja Dengan Upaya Mempersiapkan MasaPubertas
Pada Anak. GASTER.Vol.9, No.2, Agustus 2012.
Keshav & Huberman, (2006). Sex Education for Physically, Emotionally, and Mentally
Challenged Youth. Advocates for Youth. April 2006.
Kuryadi. (2006). Hubungan Antara Sikap Terhadap Menstruasi dan Kecemasan
terhadap Menarche. Vol.4 No.1, Juni 2006.
Lake. A. (2013). Anak Penyandang Disabilitas. UNICEF. Mei 2013.
Lestari & Prastitis. (2008). Makna Menarche dan Pengalaman Psikologis yang
Menyertainya. Arkhe. Vol.13.No.1. April 2008.
Papalia, D.E., & Feldman, R.D. (2014). Menyelami Perkembangan Manusia: Jakarta.
Salemba Humanika.
Papalia, D.E, Olds, S.W, & Feldman, R.D. (2009). Human Development
(Perkembangan Manusia). Jakarta: Salemba Humanika.
Poerwandari, E.K. (2007). Pendekatan Kulitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia.
Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi
(LPSP3).

23

Rembeck, dkk. (2006). Attitudes and feelings towards menstruation and womanhood in
girls at menarche. Acta Pediatrica. Vol. 95. 2006.
Rostami. M. (2014) Depresion and Deaf Adolescents: A review.Irian Rehabilitation
Journal. Vol 12, No. 19, Maret 2014.
Sagowawa. (2009). Sexual Practice of Deaf and Hearing Secondary School Students in
Ibadan, Nigeria. Annals of Ibadan Postgraduate Medicine. Vol.7 No.1, Juni 2009.
Santrock, John W. (2012). Life Span Development.13 th ed. Erlangga.
Simmons & Blyth. (1987). The Impact of Cumulative Change in Early Adolescents.
Diakses pada tanggal 1 Juli 2015 dari http://www.jstor.org/stable/1130616.
Somantri, T.S. (2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: P.Refika Aditama.
Steinberg. L. (2002). Adolescents. Boston: Mc Graw-Hill.
Sugiyono.( 2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Walgito, Bimo .(2003). Psikologi Sosial. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.