T1 802010084 Full text

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN
PENERIMAAN DIRI IBU YANG MEMPUNYAI
ANAK RETARDASI MENTAL

OLEH
NOVIA DWI WAHYUNINGJATI
80 2010 084

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN
PENERIMAAN DIRI IBU YANG MEMPUNYAI

ANAK RETARDASI MENTAL

Novia Dwi Wahyuningjati
Christiana Hari Soetjiningsih
Ratriana Y. E. Kusumiati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015

ABSTRAK

Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui
signifikansi hubungan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri ibu yang mempunyai
anak retardasi mental. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa ada
hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri ibu yang
mempunyai anak retardasi mental. Penelitian ini dilakukan di SLB ABCD Wahid Hasyim,

Bringin. Partisipan sebanyak 30 orang diambil dengan menggunakan teknik sampel
purposive sampling . Metode pengumpulan data dengan skala, yaitu skala dukungan sosial

dan penerimaan diri. Variabel penerimaan diri diukur dengan menggunakan skala yang terdiri
dari 36 item, sedangkan variabel dukungan sosial diukur menggunakan skala yang terdiri dari
24 item. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik korelasi Pearson Product Moment
dari Pearson. Dari hasil analisa data diperoleh koefisien korelasi (r) 0,685 dengan nilai
signifikansi 0,000 (p < 0,05) yang berarti ada hubungan positif dan signifikan antara
dukungan sosial dengan penerimaan diri. Hal ini bermakna bahwa semakin tinggi dukungan
sosial berarti semakin tinggi pula penerimaan dirinya.
Kata Kunci: Dukungan Sosial, Penerimaan Diri

i

ABSTRACT

It is a type of correlation study with the purpose is to find out the significant correlation
between social support and self – acceptance of the mothers with mentally retarded children.
The proposed hypothesis in this study is that there is a significantly positive correlation
between social support and self – acceptance of the mothers with mentally retarded children.

This study is done in a school for disabled children called SLB ABCD Wahid Hasyim,
Bringin. There are 30 participants taken as the samples by using the purposive sampling

technique. The collection data method applies a scale, namely a scale of social support and
self – acceptance. The self – acceptance variable is measured by using a scale consisting of
36 items. The data analysis technique used in this study is the Pearson Product Moment
correlation from Pearson. The result of the data analysis shows that there is coefficient
correlation (r) 0,685 with the significant value of 0,000 (p < 0,05) which means that there is a
positive and significant correlation between social support and self – acceptance. It indicates
that the higher the social support, the higher the self – acceptance.
Keywords: Social Support, Self - Acceptance

ii

1

PENDAHULUAN
Salah satu tugas perkembangan remaja menurut Havighurst (1950) adalah
menyiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga. Tujuan utamanya adalah untuk
mengembangkan sikap positif terhadap kehidupan keluarga. Khususnya pada wanita untuk

mendapatkan pengetahuan penting dalam mengelola rumah dan mengasuh anak.
Semua orangtua berharap mempunyai anak yang sehat dan normal. Tidak ada
orangtua yang berharap mempunyai anak yang cacat fisik maupun secara mental. Orangtua
merasa senang ketika melihat pertumbuhan dan perkembangan anaknya menjadi dewasa.
World Health Organization (WHO) merumuskan konsep sehat dalam cakupan yang

sangat luas, yaitu keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya
terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat. Dalam definisi ini, sehat bukan sekadar terbebas
dari penyakit atau cacat. Orang yang tidak berpenyakit pun tentunya belum tentu dikatakan
sehat. Dia semestinya dalam keadaan yang sempurna, baik fisik, mental maupun sosial.
Namun demikian sering terjadi keadaan dimana anak menunjukkan masalah dalam
perkembangan sejak usia dini
Retardasi mental adalah salah satu bentuk gangguan yang dapat ditemui di berbagai
tempat, dengan karakteristik penderitanya yang memiliki tingkat kecerdasan dibawah ratarata (IQ di bawah 75), dan mengalami kesulitan dalam beradaptasi maupun melakukan
berbagai aktivitas sosial di lingkungan (Hendriani, dkk, 2006). Dalam retardasi mental,
individu tidak mampu mengembangkan aneka keterampilan sampai ke taraf secukupnya yang
dibutuhkan untuk menghadapi tuntutan-tuntutan lingkungan secara memadai dan mandiri.
Undang-undang Indonesia No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, pasal 1 ayat 1
menjelaskan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik
dan/ atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya

untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari : penyandang cacat fisik,,

2

penyandang cacat mental, dan penyandang cacat fisik dan mental (Karyanta, ). Menurut
catatan UNESCAP (2009), di Indonesia tercatat 1,38% penduduk dengan disability atau
sekitar 3.063.000 jiwa. Berdasarkan Kemensos RI tahun 2010 dari 14 propinsi di Indonesia
yang menjadi sasaran survey tercatat 1.167.111 jiwa penyandang disability.
The American Association on Intelektual dan Pembangunan Cacat (AAIDD, 2002)
mendefinisikan MR sebagai keterbatasan yang signifikan baik dalam fungsi intelektual dan
perilaku adaptif, yang mencakup banyak keterampilan sosial dan praktis sehari-hari. Sekitar
3% dari populasi memiliki intelligence quotient (IQ) kurang dari 70, di antaranya penyebab
untuk keterbelakangan mental dapat dibentuk dalam waktu kurang dari setengah dari semua
kasus (Flint et al., 1995).
Peneliti menjumpai fenomena yang terjadi, adanya gangguan yang dimiliki oleh
seorang anak terkadang tidak bisa diterima oleh orangtua bahkan lingkungan tempat
tinggalnya pun tidak dapat menerima jika keluarganya ada yang mempunyai gangguan
mental atau pun fisik. Tidak semua orang tua mampu menerima dirinya yang mempunyai
anak dengan retardasi mental.
Menurut hasil wawancara penulis terhadap dua orang ibu yang mempunyai anak

retardasi mental di SLB ABCD Wahid Hasyim Bringin, menunjukkan bahwa penerimaan diri
ibu masih cukup rendah. Hal itu nampak pada kurangnya kepercayaan atau keyakinan dalam
menjalani hidupnya, kurang bisa menerima saran dan kritikan dari orang lain, masih merasa
bahwa dirinya berbeda dari orang lain.
Orang tua dengan latar belakang apapun seharusnya bisa menerima dengan baik
apapun keadaan anaknya karena anak adalah titipan dan anugrah dari Tuhan bagaimanapun
keadaan anak tersebut (Khoiri, 2012). Mampu menerima dirinya dengan mampu menerima
pujian atau kritikan dari orang lain, yakin dengan hidup yang sedang ia jalani, tidak merasa
bahwa dirinya beda dengan orang lain.

3

Menurut salah seorang guru di SLB ABCD Wahid Hasyim Bringin, penerimaan diri
ibu memang masih cukup rendah. Karena tidak ada atau kurangnya dukungan yang diberikan
keluarga terhadap ibu yang mempunyai anak retardasi mental, bahkan terkadang mereka
memaksakan anaknya untuk selalu bisa melakukan hal-hal yang dilakukan oleh anak-anak
normal pada umumnya, kurangnya pengetahuan tentang retardasi mental. Mereka malu
dengan anaknya sendiri karena menderita retardasi mental. Tidak mau mengantar ke sekolah,
memaksakan anaknya bersekolah di sekolah umum, tidak menyekolahkan anaknya karena
malu, dsb.

Mempunyai anak retardasi mental bila tidak disikapi dengan baik dapat menimbulkan
kecemasan, bingung, bahkan mengalami stres dalam diri seorang ibu. Belajar menerima
keadaan, dalam hal ini adalah menerima anak yang mengalami retardasi mental. Seringkali
seseorang cenderung melihat suatu peristiwa dari sisi yang negatif dan jarang sekali
melihatnya dari sisi positif. Ada 2 faktor yang berpengaruh dalam proses penerimaan, yaitu :
(1) faktor keluarga yaitu adanya hubungan yang relatif harmonis antara ibu dengan ayah dan
(2) faktor lingkungan sosial yaitu di dalam lingkungan sosial mengembangkan sikap
perhatian, dukungan, penerimaan, dan sikap empatik kepada sesama.
Medinnus dan Curtis (dalam Wardhani, 2012) menemukan terdapat hubungan yang
sangat tinggi antara penerimaan diri sendiri dan penerimaan orangtua terhadap anaknya. Hal
ini menyatakan bahwa ibu yang dapat menerima diri dapat menyesuaikan diri sehingga dapat
berperilaku yang matang yang nantinya akan dapat lebih mudah untuk menerima anaknya.
Orangtua akan lebih sulit dalam penerimaan diri dalam menerima anaknya yang mengalami
kekurangan, misalnya MR (mental retardation), yaitu kecacatan yang ditunjukkan dengan
keterbatasan fungsi intelektual dan perilaku adaptif selama masa perkembangan atau sebelum
usia 18 tahun. Penerimaan ditandai dengan sikap positif, adanya pengakuan atau penghargaan

4

terhadap nilai-nilai individual tetapi menyertakan pengakuan terhadap tingkah lakunya

(Chaplin, 2000).
Penerimaan diri disini dimaksudkan adalah penerimaan diri atau pengakuan orangtua
terhadap anaknya dengan kekurangan atau pun kelebihannya. Biasanya orangtua akan merasa
sedih, kecewa, dan marah terhadap kondisi anaknya. Terlebih jika tanpa adanya dukungan
sosial dari keluarga ataupun lingkungan sosialnya, serta rendahnya nilai religiusitas. Orangtua
dengan anak retardasi mental, cenderung mempunyai rasa malu, minder serta kecemasan
terhadap penilaian orang lain terhadap dirinya dan anaknya. Bahkan tidak jarang mereka
tidak mengakui anak mereka.
Sheerer (Cronbach, 1954) mengemukakan bahwa penerimaan diri adalah sikap untuk
menilai diri dan keadaannya secara objektif, menerima segala yang ada pada dirinya
termasuk kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahannya. Aspek-aspek penerimaan diri
menurut Supratiknya (dalam Rahmawati) dan Sheerer (dalam Cronbach, 1954), meliputi
pembukaan diri, percaya kemampuan diri, kesehatan psikologis, orientasi keluar,
bertanggung jawab, berpendirian, dan menyadari keterbatasan.
Hurlock (dalam Utami, 2013) menyatakan bahwa penerimaan diri adalah suatu
kesadaran individu tentang karakteristik diri dan kemauan untuk hidup dengan keadaan
dirinya. Ketika individu dapat menerima diri akan terbentuk sikap positif terhadap suatu
keadaan yang tidak menyenangkan, sehingga individu mampu melihat keadaan yang dialami
secara rasional, tidak mudah putus asa atau menghindar dari keadaan yang tidak
menyenangkan tetapi akan mencari jalan keluar atas permasalahan yang dihadapi. Dengan

demikian individu akan mempunyai mental yang kuat.
Dukungan sosial menurut Sarafino (1994) ketika seseorang memiliki persepsi yang
positif atas dukungan itu dan merasa nyaman atas segala bentuk perhatian, penghargaan, dan
bantuan yang diterimanya. Taylor (2009) mendefinisikan dukungan sosial sebagai adanya

5

informasi dari orang lain, bahwa seseorang dicintai, dijaga, dan dihargai, serta merupakan
bagian dari suatu jaringan sosial tertentu yang ia terlibat di dalamnya. Sheridan dan
Radmacker (dalam Utami, 2013) menyebutkan bahwa adanya dukungan sosial dapat
membuat individu menyadari bahwa ada lingkungan terdekat individu yaitu keluarga yang
siap membantu individu dalam menghadapi tekanan.
Pada penelitian-penelitian sebelumnya, yang dilakukan oleh Rahmayanti dan
Zulkaida (2007), menunjukkan hasil bahwa subjek penelitian dapat menerima sepenuhnya
kondisi anak mereka. Adanya penerimaan tersebut dipengaruhi oleh faktor dukungan dari
keluarga besar, kemampuan keuangan keluarga, latar belakang agama, tingkat pendidikan,
status perkawinan, usia serta dukungan para ahli dan masyarakat umum. Hasil penelitian
Amalia dan Indati (2005), menunjukkan hasil bahwa keadaan ibu yang memiliki anak
retardasi mental tetap merasa bahagia dan sejahtera terpenuhi karena mendapat dukungan
sosial dari lingkungan sekitar khususnya suami. Pada penelitian Mira Kania, Makmuroh, dan

Rosiana (2012) menunjukkan hasil semakin rendah personal adjustment maka semakin
rendah penerimaan terhadap anak berkebutuhan khusus pada ibu. Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Rahmawati, Machmuroch, serta Nugroho

menyatakan bahwa variabel

penerimaan diri dan dukungan sosial secara bersama-sama memiliki hubungan signifikan
dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan diri
dan dukungan sosial dapat dijadikan prediktor untuk memprediksi stres pada ibu yang
memiliki anak autis. Siklos, Kimberly A., Kerns (2006), menyatakan bahwa orang tua dari
anak-anak dengan Autism memiliki kepuasan penerimaan yang lebih dibandingkan dengan
orangtua yang mempunyai anak dengan Down Syndrome.
Peneliti tertarik melakukan penelitian ini karena ingin mengetahui apakah hasil
penelitian yang dilakukan memiliki hasil yang sama dengan penelitian-penelitian
sebelumnya. Peneliti mengambil subjek ibu yang mempunyai anak retardasi mental karena

6

pada penelitian-penelitian sebelumnya beberapa penelitian lebih mengarah terhadap anak
autis, sehingga peneliti tertarik mengambil dengan subjek lain.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang penelitian, maka
perumusan masalah adalah apakah ada hubungan antara dukungan sosial dengan penerimaan
diri ibu yang mempunyai anak retardasi mental?
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji secara empirik
hubungan positif dan signifikan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri ibu yang
mempunyai anak retardasi mental.
Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan tentang dukungan
sosial dengan penerimaan diri ibu yang mempunyai anak retardasi mental. Diharapkan dapat
membantu ibu yang mempunyai anak retardasi mental untuk selalu dapat menerima anaknya.

TINJAUAN PUSTAKA
Penerimaan Diri
Definisi Penerimaan Diri
Sheerer (Denia, 2012) menjelaskan bahwa penerimaan diri adalah sikap dalam
menilai diri dan keadaannya secara objektif, menerima kelebihan dan kelemahannya.
Menerima diri berarti telah menyadari, memahami dan menerima apa adanya dengan disertai
keinginan dan kemampuan untuk selalu mengembangkan diri sehingga dapat menjalani hidup
dengan baik dan penuh tanggung jawab.
Definisi penerimaan diri menurut Sheerer yang kemudian dimodifikasi Berger adalah
sebagai berikut yaitu yang pertama nilai-nilai dan standar diri tidak dipengaruhi lingkungan
luar, keyakinan dalam menjalani hidup, bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan,
mampu menerima kritik dan saran seobjektif mungkin, tidak menyalahkan diri atas
perasaannya terhadap orang lain, menganggap dirinya sama dengan orang lain, tidak ingin

7

orang lain menolaknya dalam kondisi apapun, tidak menganggap dirinya berbeda dari orang
lain, dan tidak mau atau rendah diri (Denmark, 1973).
Komponen Penerimaan Diri
Komponen penerimaan diri yang telah diadaptasi Berger (Denmark, 1973) terdiri dari
9 karakteristik, yaitu:
1. Nilai-nilai dan standar diri tidak dipengaruhi lingkungan luar
2. Keyakinan dalam menjalani hidup
3. Bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan
4. Mampu menerima kritikan dan saran seobjektif mungkin
5. Tidak menyalahkan diri atas perasaannya terhadap orang lain
6. Menganggap dirinya sama dengan orang lain
7. Tidak ingin orang lain menolaknya dalam kondisi apa pun
8. Tidak menganggap dirinya berbeda dari orang lain
9. Tidak mau atau rendah diri
Dukungan Sosial
Definisi Dukungan Sosial
Cutrona (1987) dukungan sosial merupakan suatu proses hubungan yang terbentuk
dari individu dengan persepsi bahwa seseorang dicintai dan dihargai, disayangi untuk
memberikan bantuan kepada individu yang mengalami tekanan-tekanan dalam hidupnya.
Katz dan Kahn (Hasan, 2013) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan
perasaan positif, menyukai kepercayaan dan perhatian dari orang lain yang berarti dalam
hidup manusia, pengakuan kepercayaan seseorang dan bantuan langsung dalam bentukbentuk tertentu.
Menurut Weiss dukungan sosial adalah pertukaran interpersonal dimana salah seorang
memberikan bantuan atau pertolongan kepada yang lain.

8

Komponen Dukungan Sosial
Weiss (dalam Cutrona dan Russell, 1987) mengemukakan “Social Provision Scale”
yang digunakan untuk mengukur ketersediaan dukungan sosial yang diperoleh individu dari
individu dengan orang lain. Terdapat enam komponen didalamnya yaitu guidance, reliable
alliance, attachment, reassurance of worth, social integration, opportunity to provide
nurturance.

a. Ikatan/hubungan yang dapat diandalkan (reliable alliance)
Reliable alliance adalah pengetahuan yang dimiliki individu bahwa ia dapat
mengandalkan bantuan yang nyata ketika dibutuhkan. Individu yang menerima
bnatuan iniakan merasa tenang karena ia menyadari ada orang yang dapat
diandalkan untuk menolongnya bila ia menghadapi masalah dan kesulitan.
b. Bimbingan (guidance)
Guidance adalah dukungan sosial berupa nasehat dan informasi dari sumber yang
dapat dipercaya. Dukungan ini juga dapat berupa pemberian feedback (umpan
balik) atas sesuatu yang telah dilakukan individu.
c. Pengakuan/penghargaan (reassurance of worth)
Dukungan sosial ini berbentuk pengakuan atau penghargaan terhadap kemampuan
dan kualitas individu. Dukungan ini akan membuat individu merasa dirinya
diterima dan dihargai.
d. Kelekatan (attachment)

Merupakan perasaan akan kedekatan emosional dan rasa aman. Dukungan sosial
ini berupa pengekspresian dari kasih saying, cinta, perhatian dan kepercayaan
yang diterima individu yang dapat memberikan rasa aman kepada individu yang
menerima.

9

e. Integrasi sosial (social integration)

Merupakan perasaan menjadi bagian dari keluarga, tempat orang tua berada, dan
tempat saling berbagi minat dan aktivitas. Dukungan sosial ini memungkinkan
individu

untuk

memperoleh

perasaan

memiliki

suatu

kelompok

yang

memungkinkannya untuk membagi minat, perhatian serta melakukan kegiatan
secara bersama-sama.
f.

Kesempatan untuk menolong orang lain (opportunity to provide nurturance)
Suatu perasaan bahwa dirinya dibutuhkan orang lain. Dukungan sosial ini
memungkinkan individu mulai mengambil tanggung jawab untuk kesejahteraan
orang lain, sehingga dapat mengembangkan perasaan dibutuhkan.

Retardasi Mental
Seorang individu dapat dikatakan sehat secara mental, salah satunya apabila dia
merasa dirinya utuh dengan dasar satu kepribadian. Fisik dan psikis adalah kesatuan dalam
eksistensi manusia. Yang menyangkut kesehatannya juga terdapat saling berhubungan antara
kesehatan fisik dan mental. Seseorang dikatakan mengalami gangguan jika secara klinis
dijumpai terdapat suatu penyakit, ketidaknormalan, atau terganggunya fungsi tertentu
(fisiologis, psikologis).
Klasifikasi retardasi mental menurut DSM-IV (1994) adalah sebagai berikut :


Retardasi mental
317

Retardasi mental ringan

318.0 Reardasi mental sedang
318.1 Retardasi mental berat
318.2 Retardasi mental sangat berat
319

Retardasi mental yang beratnya tidak terspesifikasi pada yang lain (YTT)

10

Retardasi mental adalah fungsi intelektual umum dibawah rata-rata disertai dengan
ketidakmampuan beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan, yangmuncul selama masa
pertumbuhan. Dari hasil pengukuran inteligensi, mereka yang ber-IQ kurang dari 70 dan
tidak memiliki keterampilan sosial atau menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan
usianya, dikategorikan mengalami retardasi mental, keterbelakangan mental, atau lemah
mental.
Karakteristik retardasi mental :
a. Retardasi Mental Ringan
Penderita memiliki IQ antara 52-67. Penyesuaian sosial mereka hampir setara dengan
remaja normal, namun kalah dalam hal imajinasi, kreativitas, dan kemampuan
membuat penilaian-penilaian. Bila kasus mereka diketahui sejak dini dan selanjutnya
mendapatkan pendampingan orang tua serta mendapatkan pendidikan luar biasa,
sebagian besar dari mereka mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan, mampu
menguasai keterampilan akademik dan keterampilan kerja sederhana.
b. Retardasi Mental Sedang
Golongan ini memiliki IQ 36-51. Secara fisik mereka tampak “wagu” dan biasanya
memiliki sejumlah cacat fisik. Koordinasi motornya buruk, sehingga gerakan tangankaki maupun tubuhnya tidak luwes. Mereka lamban belajar dan kemampuan mereka
membentuk konsep amat terbatas. Namun mereka trainable atau dapat dilatih.
c. Retardasi Mental Berat
Golongan ini memiliki IQ 20-35. Mereka sering disebut “dependent retarded” atau
penderita lemah mental yang tergantung. Perkembangan motor dan bicara mereka
sangat terelakang, sering disertai gangguan penginderaan dan motor. Mereka dapat
dilatih melakukan tugas-tugas sederhana, sedangkan untuk semua hal lain yang lebih
kompleks mereka sangat tergantung pada pertolongan oranglain.

11

d. Retardasi Mental Sangat Berat
Golongan ini memiliki IQ kurang dari 20. Mereka sering disebut golongan “life
support retarded”, glongan lemah mental yang perlu disokong secara penuh agar
dapat bertahan hidup. Kemampuan adaptasi dan bicara mereka sangat terbatas. Sering
mereka juga dihinggapi kejang-kejang, mutisme, ketulian, dan kelainan tubuh lain.
Kesehatan mereka cenderung buruk dan rentan terhadap penyakit.
Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Penerimaan Diri
Katz dan Kahn (Hasan, 2013) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan
perasaan positif, menyukai kepercayaan dan perhatian dari orang lain yang berarti dalam
hidup manusia, pengakuan kepercayaan seseorang dan bantuan langsung dalam bentukbentuk tertentu.
Melalui dukungan sosial keluarga, kesejahteraan psikologis akan meningkat karena
adanya perhatian dan pengertian yang akan menimbulkan perasaan memiliki, meningkatkan
harga diri dan kejelasan identitas diri serta memiliki perasaan positif mengenai diri sendiri
(Irwanto, dalam Utami 2013).
Penerimaan diri dapat membuat individu dapat memandang diri lebih positif, stres
yang dialami dapat menurun, dan individu juga menjadi lebih mudah dalam menyesuaikan
diri secara emosional maupun penyesuaian diri dengan lingkungan (Hurlock, 2004).
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang positif dan
signifikan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri ibu yang mempunyai anak
retardasi mental. Semakin tinggi dukungan sosial, maka semakin tinggi penerimaan dirinya.

12

METODE PENELITIAN
Identifikasi Variabel
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel penelitian yang digunakan, yaitu variabel
bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dukungan sosial,
sedangkan variabel terikat adalah penerimaan diri.
Definisi Operasional
1. Dukungan Sosial

: dukungan yang berupa nasehat, saran, motivasi yang diterima
dari keluarga besar.

2. Penerimaan Diri

: mampu menerima apapun keadaan yang dimilikinya

Partisipan
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa yang bersekolah di SLB Wahid
Hasyim (TK, SD, SMP, SMA) yang berjumlah 50 orang. Dalam penelitian ini, partisipan
yang digunakan adalah semua Ibu yang memiliki anak retardasi mental usia sekolah yang
bersekolah di SLB ABCD Wahid Hasyim berjumlah 30 orang, yang semuanya duduk di
bangku TK-SD. Dikarenakan sekolah tersebut tidak menggolongkan antara tingkat retardasi
mental ringan, sedang, dan berat maka dalam penelitian tidak ada pembagian anak dengan
retardasi mental ringan, sedang dan berat.
Alat Ukur Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua alat ukur berupa skala dukungan
sosial Weiss (Cutrona, 1987) dan skala penerimaan diri Sheerer yang diadaptasi berger
(Denmark, 1973). Kedua skala telah dimodifikasi oleh peneliti dengan cara menerjemahkan
skala asli ke dalam Bahasa Indonesia terlebih dahulu kemudian peneliti juga mengubah
kalimat yang terlalu panjang atau sulit dipahami menjadi kalimat yang lebih singkat dan jelas.
Skala dukungan sosial menggunakan skala Social Provision Scale yang disusun berdasarkan
dimensi dukungan sosial yang diungkapkan oleh Weiss yang digunakan untuk mengukur

13

dukungan sosial yang dirasakan oleh subjek. Jumlah item yang diuji dalam skala dukungan
sosial sebanyak 24 item dan yang sudah di uji coba menjadi 15 item dengan daya
diskriminasi bergerak antara 0,272-0,741 dengan alpha cronbach’s sebesar 0,854. Sedangkan
untuk mengukur penerimaan diri, peneliti menggunakan skala Sheerer yang dimodifikasi oleh
Berger. Jumlah item dalam skala penerimaan diri sebanyak 36 item dan yang sudah diuji
menjadi 19 item dengan daya diskriminasi bergerak antara 0,382-0,781 dengan alpha
cronbach’s sebesar 0,887. Salah satu contoh item skala dukungan sosial yang diambil dari
item nomor 1 sebagai berikut: ada orang yang bisa saya andalkan jika saya membutuhkan
bantuan mereka. Salah satu contoh item skala penerimaan diri yang diambil dari item nomor
1 sebagai berikut: jika ada yang mendukung, saya berani untuk melakukan sesuatu.
Prosedur Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 10 Maret 2015. Jumlah skala psikologi yang
disebar sebanyak 30 buah skala psikologi yang dibagikan pada ibu yang mempunyai anak
retardasi mental. 30 merupakan jumlah keseluruhan ibu yang mempunyai anak retardasi
mental yang bersekolah di SLB Wahid Hasyim, yang berada pada tingkat TK-SD.
Sebelumnya, terlebih dahulu peneliti memperkenalkan diri dan memberikan penjelasan
mengenai maksud dan tujuan peneliti melakukan penelitian kepada ibu-ibu dan meminta
partisipasi ibu-ibu tersebut untuk berperan serta dalam penelitian ini dengan mengisi skala
yang disebarkan kepada mereka. Selama pengisian skala, subjek diperkenankan bertanya jika
ada materi yang terdapat di dalam skala dianggap sulit dipahami atau tidak jelas. Selama
pengisian skala, peneliti berada di dalam ruangan untuk memberikan penjelasan jika terdapat
persoalan yang tidak dimengerti subjek. Setelah pengisian skala selesai, skala langsung
diberikan kepada peneliti dan peneliti langsung mengecek skala yang telah diisi subjek.
Selama pelaksanaan penelitian, subjek-subjek dapat bekerjasama dengan baik meskipun ada
beberapa subjek yang meminta bantuan peneliti untuk menjelaskan semua materi di dalam

14

skala psikologi dari awal hingga akhir. Pada penelitian ini, penulis menggunakan try out
terpakai yaitu subjek yang digunakan untuk try out digunakan sekaligus untuk penelitian.
Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian diolah menggunakan bantuan program
computer SPSS 16.0 for windows.
Teknik Analisis Data
Metode analisis menggunakan uji korelasi untuk melihat hubungan signifikan
dukungan sosial dengan penerimaan diri ibu yang mempunyai anak retardasi mental. Analisis
data dilakukan dengan bantuan program bantu computer SPSS 16.0 for windows.

HASIL PENELITIAN
Analisis deskriptif hasil pengukuran dukungan sosial dan penerimaan diri
Tabel 4.5 Kategorisasi pengukuran skala dukungan sosial
No.
1.
2.
3.

Interval
Kategori Mean
N
x ≥ 49
Tinggi
28
30 ≤ x < 49
Sedang
39,53
2
x < 30
Rendah
0
Jumlah
30
SD = 9,28 Min = 19 Max = 54
Keterangan: x = dukungan sosial

Persentase
93,33%
6,67%
0%
100%

Berdasarkan tabel 4.5 di atas, dapat dilihat bahwa 28 subjek memiliki skor dukungan
sosial yang berada pada kategori tinggi dengan persentase 93,33%, 2 subjek memiliki skor
dukungan sosial yang berada pada kategori sedang dengan persentase 6,67%, dan tidak ada
subjek yang berada pada kategori rendah dengan persentase 0%. Berdasarkan rata-rata
sebesar 39,53, dapat dikatakan bahwa rata-rata dukungan sosial berada pada kategori sedang.
Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum 19 sampai dengan skor maksimum
sebesar 54 dengan standard deviasi 9,28.

15

Table 4.6 Kategorisasi pengukuran skala penerimaan diri
No.
1.
2.
3.

Interval
Kategori Mean
N
x ≥ 53
Tinggi
29
30 ≤ x < 53
Sedang
41,6
1
x < 30
Rendah
0
Jumlah
30
SD = 11,65 Min = 18 Max = 61
Keterangan: x = penerimaan diri

Persentase
96,67%
3,33%
0%
100%

Berdasarkan tabel 4.6 di atas, dapat dilihat bahwa 29 subjek memiliki skor
penerimaan diri yang berada pada kategori tinggi dengan persentase 96,67%, 1 subjek
memiliki skor penerimaan diri yang berada pada kategori sedang dengan persentase 3,33%,
dan tidak ada subjek yang berada pada kategori rendah dengan persentase 0%. Berdasarkan
rata-rata sebesar 41,6, dapat dikatakan bahwa rata-rata penerimaan diri berada pada kategori
sedang. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum 18 sampai dengan skor
maksimum sebesar 61 dengan standard deviasi 11,65.
Uji Asumsi
Dari uji normalitas kedua variabel memiliki signifikansi p > 0,05. Variabel dukungan
sosial memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,480 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar
0,976 (p > 0,05). Oleh karena nilai signifikansi p > 0,05, maka distribusi data dukungan
sosial berdistribusi normal. Hal ini juga terjadi pada variabel penerimaan diri yang memiliki
nilai K-S-Z sebesar 0,666 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,767. Dengan
demikian data penerimaan diri juga berdistribusi normal.
Dari hasil uji linearitas, maka diperoleh nilai Fbeda sebesar 0,1314 (p > 0,05) dengan
signifikansi 0,360 (p > 0,05) yang menunjukkan hubungan antara dukungan sosial dengan
penerimaan diri adalah linier.

16

Uji Hipotesis
Analisis data untuk uji hipotesis menggunakan teknik korelasi product moment dari
Pearson.
Tabel 4.9 Hasil Uji Korelasi antara Dukungan Sosial dengan Penerimaan Diri Ibu
Correlations

Dukungan Sosial

Dukungan

Penerimaan

Sosial

Diri

Pearson Correlation

1

Sig. (1-tailed)
N
Penerimaan Diri

Pearson Correlation
Sig. (1-tailed)
N

.685

**

.000
30

30

**

1

.685

.000
30

30

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien korelasi antara
dukungan sosial dengan penerimaan diri sebesar 0,685 dengan signifikansi 0,000 (p < 0,05)
yang berarti ada hubungan positif dan signifikan antara dukungan sosial dengan penerimaan
diri ibu. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan sosial, maka semakin tinggi
penerimaan dirinya. Sumbangan efektif dukungan sosial terhadap penerimaan diri adalah
sebesar 47%. Yang artinya masih terdapat 53% faktor lain yang dapat mempengaruhi
penerimaan diri.
PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian tentang hubungan dukungan sosial dengan penerimaan diri ibu
yang mempunyai anak retardasi mental, didapatkan hubungan positif dan signifikan antara
kedua variabel tersebut dengan besar korelasi 0,685 dengan signifikansi 0,000 (p < 0,05). Hal
ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara dukungan sosial
dengan penerimaan diri ibu yang mempunyai anak retardasi mental. Dengan demikian

17

hipotesis yang diajukan oleh peneliti diterima. Hasil korelasi tersebut mempunyai makna
bahwa semakin tinggi dukungan sosial, maka semakin tinggi penerimaan dirinya. Begitu pula
sebaliknya, semakin rendah dukungan sosial, maka semakin rendah penerimaan dirinya.
Dengan begitu dukungan sosial mempunyai kontribusi terhadap penerimaan diri ibu,
yang artinya berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa penerimaan diri
ibu yang mempunyai anak retardasi mental di SLB ABCD Wahid Hasyim dapat dipengaruhi
oleh faktor dukungan sosial.
Hasil penelitian dari Hendriani, dkk (2006) menunjukkan bahwa penerimaan terhadap
individu yang mengalami keterbelakangan mental memiliki keterkaitan dengan beberapa
faktor, yaitu: (1) Hubungan/interaksi antar anggota keluarga; (2) Ada tidaknya informasi
tentang kondisi calon anak; (3) Ada tidaknya pemahaman tentang keterbelakangan mental;
(4) Ada tidaknya kesiapan menghadapi kondisi calon anak; dan (5) Persepsi terhadap
individu yang mengalami keterbelakangan mental.
Dukungan sosial Skala Ketetapan Sosial (Cutrona dan Russell, 1987) digunakan
untuk mengukur dukungan sosial yang diterima. Skala ini menilai enam hubungan ketetapan
yang diidentifikasi oleh Weiss (1974). Keenam hubungan tersebut adalah: bimbingan (nasihat
atau informasi), aliansi yang bisa dipercaya (jaminan bahwa orang lain bisa diandalkan untuk
membantu), ketentraman hati (pengakuan nilai seseorang oleh orang lain), kesempatan untuk
pengasuhan (perasaan seseorang dibutuhkan oleh orang lain), kasih sayang (kedekatan emosi
yang memberikan rasa aman), dan integrasi sosial (perasaan menjadi bagian dari kelompok
yang mempunyai ketertarikan yang sama). Konsistensi internal untuk skor total berkisar dari
0.85 sampai 0.92 dari responden yang bermacam-macam. Koefisien alpa untuk sub-skala
individu berkisar dari 0.64 sampai 0.76. Struktur enam-faktor yang cocok dengan enam
ketetapan sosial sudah dikonfirmasi oleh analisa faktor. Validitas dari Skala Ketetapan Sosial
didukung oleh beberapa penelitian (Cutrona et al., 1986; Russell dan Cutrona, 1991).

18

Berdasarkan kategorisasi data empirik variabel penerimaan diri , dengan rata-rata 41,6
dan standar deviasi sebesar 11,65 diketahui bahwa tidak ada subjek yang berada pada
kategori rendah (0%), 1 subjek (3,33%) berada pada kategori sedang, dan 29 subjek (96,67%)
berada pada kategori tinggi. Sedangkan berdasarkan kategorisasi data empirik variabel
dukungan sosial, dengan rata-rata 39,53 dan standar deviasi 9,28 diketahui bahwa tidak ada
subjek yang berada pada kategori rendah (0%), 2 subjek (6,67%) berada pada kategori
sedang, dan 28 subjek (93,33%) berada pada kategori tinggi.
Dari hasil kajian penelitian diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan
sosial, semakin tinggi penerimaan diri ibu. Hal ini menunjukkan bahwa antara dukungan
sosial dengan penerimaan diri memiliki hubungan positif signifikan.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya,
koefisien korelasi antara antara dukungan sosial dengan penerimaan diri ibu yang mempunyai
anak retardasi mental di SLB ABCD Wahid Hasyim sebesar (r) 0,685 dengan signifikansi
sebesar 0,000 (p < 0,05). Nilai signifikansi yang lebih kecil dari 0,05 menunjukkan bahwa Ho
ditolak dan H1 diterima. Hal ini berarti terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara
dukungan sosial dengan penerimaan diri ibu yang mempunyai anak retardasi mental.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, maka peneliti memberi saran sebagai
berikut :
1. Bagi ibu yang mempunyai anak retardasi mental
Diharapkan dapat meningkatkan sikap menerima keadaan dirinya sebagai ibu dari
anak retardasi mental. Meningkatkan penerimaan diri dapat dilakukan dengan lebih

19

terbuka dengan keluarga maupun orang lain, sehingga orang lain bisa mengerti apa
yang dibutuhkan dan dapat memberikan bantuan bagi ibu dengan anak retardasi
mental.
2. Bagi keluarga
Saran yang dapat diberikan kepada keluarga yang memiliki anggota keluarga yang
mempunyai anak retardasi mental agar lebih memberikan dukungan sosial. Baik
berupa bimbingan, nasehat, saran, dan juga dukungan sosial yang berupa
pengekspresian dari kasih sayang, cinta, perhatian dan kepercayaan yang diterima
individu yang dapat memberikan rasa aman kepada individu yang menerima.
3. Bagi peneliti selanjutnya
a. Penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan, mencari faktor-faktor lain yang
mempengaruhi penerimaan diri
b. Peneliti selanjutnya diharapkan lebih spesifik dalam memilih subjek ibu yang
memiliki anak retardasi mental ringan, sedang, atau berat.

20

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, M., dkk. (n.d). Hubungan antara dukungan sosial dengan kesejahteraan
psikologis pada ibu yang memiliki anak retardasi mental
Arif K., N. (n.d). Self-esteem pada penyandang tuna daksa. Surakarta: Program Studi
Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Armatas, V. (2009). Mental retardation: definitions, etiology, epidemiology and
diagnosis. Journal of Sport and Health Research. 1(2):112-122
Arikunto S. (1998). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek, edisi revisi IV. Jakarta:
PT Rineka Cipta
Azwar, S. (1997). Metode penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi, Edisi Kedua. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan validitas, Edisi 4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Benny, F., dkk. (2014). Penerimaan ibu yang memiliki anak retardasi mental di SLB
YPAC Padang. Jurnal kesehatan andalas, 3(2)
Cozby, Paul C. (2009). Methods in behavioral research, Edisi 9. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Cutrona, C. E., & Russell, D. W. (1987). The provisions of social relationship and
Adaptation to stress. Advances in personal relationship, 1(37-67)
Denmark, Kenneth L. (1973). “Self-Acceptance and Leader Effectiveness”. Journal
Extensions. Texas A & M University
Fausiah, Fitri., Widury, Julianti. (2005). Psikologi abnormal : klinis dewasa. Jakarta:
UI-Press
Handayani, M.M., dkk. (1998). Efektifitas pelatihan pengenalan diri terhadap
peningkatan penerimaan diri dan harga diri. Jurnal psikologi, No. 2, hal 47-55
Hasan, N., dkk. (2013). Hubungan antara dukungan sosial dengan strategi coping pada
penderita stroke RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Talenta psikologi, II(1)
Hendriani, W., dkk. (2006). Penerimaan keluarga terhadap individu yang mengalami
keterbelakangan mental. INSAN, 8(2)
Hendrianti, A. (2006). Psikologi perkembangan pendekatan ekologi kaitannya dengan
konsep diri dan penyesuaian diri pada remaja. Bandung: PT Refika Aditama
Hurlock, E. B. (1999). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan, edisi kelima. Jakarta: Erlangga
Hurlock, E. B. (2004). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan. In R. M. Sijabat (Ed.). Jakarta: Erlangga.
Ismail, A. (2008). Hubungan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri ibu
dari anak autis. Skripsi (tidak diterbitkan). Semarang: Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Soegijapranata
Kartono, K. (1990). Psikologi anak (psikologi perkembangan). Bandung: Mandar

21

Maju
Khoiri, H. (2012). Penerimaan orang tua terhadap anak retardasi mental ditinjau dari
kelas sosial. Developmental and clinical psychology. 1(1): 10
Machdan, D. M., dkk. (2012). Hubungan antara penerimaan diri dengan kecemasan
menghadapi dunia kerja pada tunadaksa di UPT rehabilitasi sosial cacat tubuh
Pasuruan. Jurnal psikologi klinis dan kesehatan mental, 1(2)
Maharani, Triana I. (2008). Hubungan antara dukungan sosial dan kecemasan dalam
menghadapi persalinan pada ibu hamil trimester ketiga. Skripsi (tidak diterbitkan).
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
Moningsih, Indah. (n.d). Penerimaan orangtua pada anak mental retardation. Skripsi
(tidak diterbitkan). Jakarta: Universitas Gunadarma
Notosoedirdjo, M. dan Latipun. (2001). Kesehatan mental : konsep dan penerapan, Edisi
Ketiga. Malang : UMM Press
Notosoedirdjo, M. dan Latipun. (2005). Kesehatan mental, Edisi Keempat. Malang:
UMM Press
Noviana Utami, N. (2013). Hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan
penerimaan diri individu yang mengalami asma. Jurnal Psikologi Udayana, 1(1)
Nurlailiwangi, E., dkk. (2011). Studi mengenai dukungan sosial orang tua dalam melatih
“self help’ anak yang mengalami “down syndrome” di PKA PUSPPA Suryakanti
Bandung. Prosiding SNaPP2011: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora. Bandung:
Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung
Nurmalasari, Y. (n.d). Hubungan antara dukungan sosial dengan harga diri pada remaja
penderita penyakit lupus. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
Putra, A. K. (2010). Hubungan dukungan sosial keluarga dengan stres kerja pada sopir
bus malam PO. Safari Dharma Raya Temanggung. Skripsi (tidak diterbitkan).
Salatiga: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana
Putri, Getrudis G., dkk. (2013). Perbedaan self-acceptance (penerimaan diri) pada anak
panti asuhan ditinjau dari segi usia
Rachmayanti, S., Anita Z. (n.d). Penerimaan diri orangtua terhadap anak autism dan
peranannya dalam terapi autism. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas
Gunadarma
Rahmawati, N. A., dkk. (n.d). Hubungan antara penerimaan diri dan dukungan sosial
dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta.
Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Ristianti, A. (n.d). Hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan identitas diri
pada remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas
Gunadarma
Sari, Kartika. (2011). Konsep dukungan sosial.
http://artidukungansosial.blogspot.com/2011/02/teori-dukungan-sosial.html
diunduh pada 8 April 2014
Siklos, S., Kimberly A. K. (2006). Assessing need for social support in parents of
children with autism and down syndrome. Journal Autism Dev Disord (2006) 36:

22

921-933
Sumiatin, T. (n.d). Stimulasi pengajaran dengan media gambar terhadap prestasi belajar
anak retardasi mental. Tuban: Poltekkes Kemenkes Surabaya Prodi Keperawatan
Supratiknya, A. (1995). Mengenal perilaku abnormal. Yogyakarta : Kanisius
Suroso., & Alif Dian C. T. (2013). Hubungan antara dukungan sosial dan kualitas
attachment pada ibu dengan resiliensi remaja quasi broken home di SMP Negeri 3
Babat. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia, Vol. 2(3), hal 248-256
Suryabrata, S. (2000). Pengembangan alat ukur psikologis, edisi pertama. Yogyakarta:
ANDI
Suryabrata, S. (2005). Pengembangan alat ukur psikologis, edisi 3. Yogyakarta: ANDI
Wardhani, Mira K., dkk. (2012). Hubungan antara “personal adjustment” dengan
penerimaan terhadap anak berkebutuhan khusus pada ibu yang memiliki anak
berkebutuhan khusus di rsud x. Prosiding SNaPP2012: Sosial, Ekonomi, dan
Humaniora. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung
Wibowo, M. A. (n.d). Penerimaan diri pada individu yang mengalami prekognisi. Jakarta:
Universitas Gunadarma