T1 802009028 Full text

(1)

Pendahuluan

Aqib (2002) mengatakan bahwa guru adalah faktor penentu bagi keberhasilan pendidikan di sekolah, karena guru merupakan sentral serta sumber dalam kegiatan belajar mengajar.

Sudarsyahasep (dalam Kompas, 12 Mei 2013) mengatakan bahwa, tugas guru selain mengajar dan mendidik, guru juga memiliki kewajiban dalam mempersiapkan hal-hal yang bersifat administratif, semisal membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), silabus, buku penilaian, program evaluasi, melakukan analisis hasil evaluasi, membuat daftar nilai, grafik absen, membuat buku mutasi siswa, melakukan tes atau mendata penerimaan siswa baru, membuat catatan prestasi dan hasil belajar siswa, dll. Pekerjaan guru sangatlah tidak mudah selain mengerjakan pekerjaan yang ada dirumah, mereka juga mengerjakan pekerjaan yang menumpuk yang ada disekolah, terkadang banyak waktu yang terkuras hanya untuk memikirkan permasalahan tanggung jawab di sekolah. Terkadang waktu yang sudah diberikan masih kurang sehingga terpaksa guru membawa pekerjaan dan diselesaikan dirumah.

Dengan adanya berbagai tugas atau peran guru di bidang pendidikan, guru akan mengalami stress kerja. Stress yang berkepanjangan dan menumpuk, akan menimbulkan burnout pada guru. Stress kerja juga seringkali dihubungkan sebagai salah satu fakgor burnout (Widiastuti dan Astuti, 2008). Seorang guru terkadang di perhadapkan dengan situasi yang negatif, misalkan perilaku anak didik yang susah diatur, akan menimbulkan ketegangan emosional pada guru. Apabila situasi tersebut berlangsung terus menerus terjadi akan menguras


(2)

sumber energi dalam tubuh. Ketegangan emosional akan menjadi sindrom burnout (Rahman, 2007).

Burnout adalah suatu kondisi dari stress kerja yang di akibatkan oleh banyaknya pekerjaan (Schultz, 2005). Burnout merupakan kondisi emosional dimana seorang merasa lelah dan jenuh secara fisik maupun mental, sebagai akibat dari meningkatnya tuntutan pekerjaan (Rahman, 2007). Greenberg (2002) mengatakan bahwa burnout dapat terjadi pada siapa saja, biasanya terjadi pada para pekerja professional seperti petugas sistem, polisi, guru, psikolog, perawat.Hal ini terjadi dikarenakan individu menghadapi banyak berbagai persoalan dalam pekerjaan dan tuntutan yang berhubungan dengan relasi manusia seperti klien atau siswa, tingkat dalam mencapai suatu keberhasilan kerja sangatlah rendah karena kurangnya serta kurangnya penghargaan yang adekuat terhadap kinerja (Rahman, 2007).

Guru yang mengalami burnout akan mengalami kelelahan psikologis, dan dampak yang negatif pada perilaku guru, sikap guru dalam mengatasi masalah, dan akan berakibat dalam minat bekerja guru, kinerja yang dimiliki guru akan menurun juga. Selain hal tersebut akan memicu guru untuk melakukan sikap-sikap anarkis. Jika perilaku guru negatif maka akan memicu anak didik untuk melakukan tindakan yang serupa, karena guru merupakan teladan bagi anak didiknya dan menjadi wakil dari orang tua (Daradjat, 1980).

Menurut Simamora (1995), faktor-faktor yang mempengaruhi burnout antara lain: a) kurangnya dukungan sosial dari atasan, b) imbalan yang diberikan atau tidak tepat, c) pekerjaan yang berulang-ulang atau memberikan sedikit ruang gerak bagi kreativitas, d) kondisi kerja yang tidak menyenangkan atau menekan dan e) pekerjaan yang monoton atau


(3)

tidak variatif. Sementara itu Baron dan Greenberg (dalam Rahman, 2007) membagi faktor-faktor yang memengaruhi burnout menjadi dua yaitu: Faktor eksternal berupa kondisi sekolah kerja, yang meliputi lingkungan kerja yang kurang baik, kurangnya kesempatan untuk promosi, adanya prosedur atau aturan yang kaku yang membuat orang merasa terjebak dalam sistem yang tidak adil, gaya kepemimpinan yang diterapkan supervisor yang kurang memperhatikan kesejahteraan karyawan, dan tuntutan pekerjaan, dan faktor internal adalah kondisi yang berasal dari diri individu, meliputi jenis kelamin, usia, harga diri, tingkat pendidikan, masa kerja dan karakteristik kepribadian serta kemampuan penanggulangan terhadap stress (coping with stress).

Dari semua faktor-faktor di atas, iklim sekolah merupakan salah satu faktor yang penting yang memiliki hubungan dengan burnout yang terjadi.Iklim sekolah adalah serangkain sifat lingkungan kerja, yang dinilai langsung atau tidak langsung oleh karyawan yang dianggap menjadi kekuatan utama dalam memengaruhi perilaku karyawan (Sagala, 2009). Adapun maksud dari Sagala adalah iklim sekolah merupakan suatu ciri khas atau karakter dari lingkungan kerja dan karyawanlah yang menilainya secara langsung selama menjadi bagian sekolah tersebut, dan karakter yang dimiliki sekolah tersebut memiliki pengaruh atau dampak tersendiri pada perilaku karyawan. Seorang guru yang sering mengalami stress yang berkelanjutan akan menimbulkan kelelahan psikologis pada guru tersebut, motivasi menurun dan burnout, adapun yang menyebabkan guru tersebut mengalami stress karena faktor lingkungan kerja, rekan kerja yang kurang sesuai harapan, serta hubungan antara karyawan dan atasan kurang terjalin dengan baik (iklim sekolah).


(4)

Arikunto (1990) mengemukan bahwa, Iklim sekolah dibedakan ke dalam dua macam yakni iklim sekolah yang kondusif (positif) dan iklim sekolah yang tidak kondusif (tidak baik/negatif). Iklim sekolah yang kondusif adalah suatu keadaan iklim dimana terdapat suasana yang mendukung guru untuk meningkatkan prestasi, adanya suasana kekeluargaan, dan kebebasan dalam berpendapat, serta relasi yang harmonis dengan rekan sekerja, dan terdapat tali persaudaraan. Sedangkan iklim sekolah yang tidak baik adalah suatu iklim yang terjadi dalam sekolah yang mana dalam bekerja terdapat ketidakselarasan dalam bertindak, kurangnya interaksi antar anggota, ketidak jelasan kebijakan sekolah, kurangnya individu dalam berpendapat.

Iklim yang kondusif akan menimbulkan seorang guru betah atau berlama-lama untuk bekerja, merasa nyaman dalam bekerja, motivasi kerja semakin meningkat, keinginan guru untuk berprestasi semakin tinggi (Mulyasa, 2011). Apabila keadaan lingkungan yang kurang kondusif membuat seorang guru merasa cemas, menurunnya motivasi yang dimiliki, stress yang berkepanjangan dan burnout.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Grayson & Alvarez (2007) dikatakan bahwa adanya hubungan antara iklim sekolah dengan dimensi-dimensi dalam burnout (depersonalisasi, kelelahan emosional dan menurunnya motivasi individu) jadi dapat dikatakan bahwa iklim sekolah memiliki pengaruh pada burnout pada guru. Kemudian Kumar & Singh (2013) bahwa adanya hubungan negatif yang tidak signifikan antara iklim sekolah dan dua dimensi burnout yaitu kelelahan emosi dan dipersonalisasi pada guru. Namun ada hubungan positif yang tidak signifikan antara iklim sekolah dan menurunnya prestasi individu (dimensi ketiga burnout).


(5)

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan pada kepala sekolah, guru, dan siswa di SMP Negeri 2 Sukolilo pada hari Selasa 20 Agustus 2013, diungkapkan bahwa guru-guru di SMP Negeri 2 Sukolilo mengajarkan kedisiplinan kepada anak-anak seperti adanya sanksi bagi siswa yang terlambat masuk sekolah. Guru-guru di SMP Negeri 2 Sukolilo juga terlihat tidak terlalu bersemangat dalam bekerja. Ini terlihat dari ekspresi wajah yang cemberut, jalannya terlihat lesu. Beberapa guru bahkan memanfaatkan waktu kosong mereka untuk bercerita di dalam perpustakan. Topik yang dibahas bermacam-macam mulai dari gaji yang tidak sesuai, siswa yang sulit di atur, sampai kepada sertifikasi guru. Selain itu, hubungan guru dan siswa terjalin kurang harmonis, dimana mereka masih mengenal sistem kasta sehingga siswa harus mengormati guru. Guru belum mampu menjadi sahabat bagi siswa sehingga siswa seringkali melanggar aturan bahkan takut untuk mengemukakan pendapat. Selain daripada itu berdasarkan hasil wawancara dengan wakil kepala sekolah diungkapkan bahwa ada beberapa guru yang mengalami perasaan malas saat bekerja. Alasan yang disampaikan mereka adalah bahwa siswa di sekolah disini sulit untuk diberi tahu dan bandel. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru pada hari Selasa, tanggal 20 Agustus 2013 diungkapkan bahwa individu sempat mengalami kesulitan tidur (insomnia) akibat banyak tugas yang diberikan pihak sekolah. Banyaknya tugas dan tuntutan tanggung jawab yang diberikan secara berlebihan ini berdampak pada menurunnya motivasi dalam diri guru dan membuat guru merasa lelah bahkan stres. Selain itu, ada juga guru yang mengeluh karena kurangnya perhatian dari siswa, banyak siswa yang terlambat masuk kelas, bahkan membolos. Siswa seringkali membuat keributan di dalam kelas yang


(6)

membuat dan tidak memerhatikan guru di dalam kelas sehingga guru menjadi marah. Menurut wawancara pada hari Sabtu, tanggal 20 Juli 2013 dengan salah satu siswa di sekolah ini diungkapkan bahwa guru perempuan lebih mudah emosi atau marah dibandingkan guru pria. Hipotesa dalam penelitian ini adalah:

H0: Tidak ada hubungan negatif signifikan antara iklim organisasi sekolah dengan burnout pada guru SMP N 2 Sukolilo.

H1: Adanya hubungan yang negatif signifiksn antara iklim organisasi sekolah dengan burnout pada guru SMP N 2 Sukolilo.

Metode

Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasi untuk melihat hubungan antara iklim sekolah dengan burnout pada guru SMP N 2 Sukolilo.

Partisipan

Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah sebanyak 30 orang, yaitu guru SMP Negeri 2 Sukolilo, Pati.

Prosedur sampling

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini teknik sampling jenuh yaitu jumlah populasi di jadikan sampel dalam pengambilan data.

Pengukuran

Hasil uji seleksi item dan reliabilitas pada putaran pertama dari iklim sekolah dengan 38 item didapatkan koefisien reliabilitas sebesar


(7)

0,848 yang berarti alat ukur tersebut tergolong reliabel. Kemudian item yang gugur berjumlah 10 item, yaitu nomor 5, 11, 15, 20, 21, 26, 27, 28, 36, 37. Penentuan-penentuan uji lolos diskriminasi item menggunakan ketentuan dari Azwar (2012) yang menyatakan bahwa item pada skala

pengukuran dapat dikatakan lolos apabila ≥0,30. Pada pengujian kedua

(lampiran C) didapatkan perubahan koefisien reliabilitas sebesar 0,918 dengan jumlah item tidak ada yang gugur. Nilai korelasi item total bergerak antara 0,374-0,688.

Hasil uji seleksi item dan reliabilitas pada putaran pertama dari Burnout dengan 22 item didapatkan koefisien reliabilitas sebesar 0,850 yang berarti alat ukur tersebut tergolong reliabel. Jumlah item gugur adalah 6 item yaitu nomor 4, 5, 11, 14, 18, 19. Penentuan-penentuan uji lolos diskriminasi item menggunakan ketentuan dari Azwar (2012) yang menyatakan bahwa item pada skala pengukuran dapat dikatakan lolos

apabila ≥0,30. Selanjutnya pada putaran kedua untuk mengukur

reliabilitas pengukuran dan daya diskriminan setelah mengeluarkan item gugur.Pada putaran kedua, hasil pengujian reliabilitas skala mengalami perubahan menjadi 0,893 dengan minimal indeks daya diskriminan item sebesar 0,30

Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan angket atau skala psikologi

Desain penelitian


(8)

Prosedur penelitian

Setelah semua data yang diperoleh terkumpul, peneliti mulai melakukan analisis data. Analisis data yang digunakan adalah korelasi product moment untuk menghitung korelasinya. Setelah itu digunakan uji normalitas menggunakan kolmonogrov-smirnof dan linearilitas menggunakan anova.

Hasil

Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Iklim Sekolah Descriptive Statistics

N

Minimu m

Maximu

m Mean

Std. Deviation Iklim sekolah 30 103 140 114.50 9.284 Valid N

(listwise) 30

Dari data di atas tampak skor empirik yang diperoleh pada skala iklim sekolah paling rendah adalah 103 dan skor paling tinggi adalah 140, rata-ratanya adalah 114,50 dengan standar deviasi 9.284

Kategorisasi Pengukuran Skala Iklim Sekolah

No Interval Kategori Mean N Persentase

1 117,6 ≤ x ≤ 140 Sangat Tinggi

8 26,67% 2 95,2 ≤ x<117,6 Tinggi 114.50 22 73,33% 3 72,8 ≤ x<95,2 Sedang 0 0% 4 50,4 ≤ x <72,8 Rendah 0 0% 5 28 ≤ x <50,4 Sangat 0 0%


(9)

Rendah

Jumlah 30 100%

SD = 9,248 Min = 103 Max = 140

Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa semua guru yang berjumlah 8 orang memiliki skor iklim sekolah yang berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase 26,67%, 22 guru memiliki skor iklim sekolah yang berada pada kategori tinggi dengan persentase 73,33%, dan tidak ada guru yang memiliki iklim sekolah pada kategori sedang, rendah, dan sangat rendah dengan persentase 0%. Berdasarkan rata-rata sebesar 114,50 dapat dikatakan bahwa rata-rata iklim sekolah guru berada pada kategori tinggi. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 103 sampai dengan skor maksimum sebesar 140 dengan standard deviasi 9,248.

Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Skala Burnout Descriptive Statistics

N

Minimu m

Maximu

m Mean

Std. Deviatio

n

Burnout 30 16 58 33.67 7.189

Valid N (listwise) 30

Dari data di atas tampak skor empirik yang diperoleh pada skala burnout, skor paling rendah adalah 16 dan skor paling tinggi adalah 58, rata-ratanya adalah 33,67 dengan standar deviasi 7,189


(10)

Kategorisasi Pengukuran Skala Burnout

No Interval Kategori Mean N Persentase 1 67,2 ≤ x ≤ 80 Sangat

Tinggi

0 0%

2 54,4 ≤ x < 67,2 Tinggi 1 3,33%

3 41,6 ≤ x < 54,4 Sedang 1 3,33%

4 28,8 ≤ x < 41,6 Rendah 33,67 21 70% 5 16 ≤ x < 28,8 Sangat

Rendah

7 23,34%

Jumlah 30 100%

SD = 7,189 Min = 16 Max = 58

Berdasarkan tabel 4.6 di atas, dapat dilihat bahwa tidak yang guru memiliki skor burnout yang berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase 0 %, 1 guru memiliki skor burnout yang berada pada kategori tinggi dengan persentase 3,33%, 1 guru memiliki skor burnout yang berada pada kategori sedang dengan persentase 3,33%, 21 guru memiliki skor burnout yang berada pada kategori rendah dengan persentase 70%, dan 7 guru yang memiliki skor burnout yang berada pada kategori sangat rendah dengan persentase 23,34%. Berdasarkan rata-rata sebesar 33,67, dapat dikatakan bahwa rata-rata burnout yang dialami oleh guru berada pada kategori rendah. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 16 sampai dengan skor maksimum sebesar 58 dengan standard deviasi 7,189.

Uji Normalitas

Uji asumsi dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah data yang telah memenuhi asumsi analisis sebagai syarat untuk


(11)

melakukan analisis dengan teknik korelasi Pearson Product Moment. Pengujian uji normalitas dilakukan dengan melihat hasil uji Kolmogorov-Smirnov.

Uji Normalitas Iklim Sekolah Dengan Burnout One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

iklim

sekolah Burnout

N 30 30

Normal Parametersa

Mean 114.50 33.67

Std. Deviation 9.284 7.189 Most Extreme

Differences

Absolute .186 .188

Positive .186 .188

Negative -.108 -.130

Kolmogorov-Smirnov Z 1.021 1.030

Asymp. Sig. (2-tailed) .248 .239

Berdasarkan uji hasil pengujian normalitas di atas, kedua variabel memiliki signifikansi p>0,05. Variabel iklim sekolah memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,1021 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,248 (p>0.05). Oleh karena nilai signifikansi p>0,05, maka distribusi data iklim sekolah berdistribusi normal. Hal ini juga terjadi pada variable burnout yang memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,1030 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,239. Dengan demikian data burnout juga berdistribusi normal.


(12)

b. Uji Linearitas

Uji linieritas dilakukan untuk menguji integritas hubungan data yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Dengan kata lain, pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas berhubungan dengan variabel terikat atau tidak. Untuk perhitungannya, uji linieritas dilakukan dengan menggunakan SPSS seri 17.0 for windows yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Hasil Uji Linearitas Iklim Sekolah Dengan Burnout

ANOVA Table Sum of Squares df

Mean

Square F Sig. bur

nou t * ikli m sek ola h

Between Groups

(Combined) 1332.500 17 78.382 5.661 .002 Linearity

687.626 1 687.626 49.65 8 .000 Deviation

from Linearity 644.874 16 40.305 2.911 .034 Within Groups 166.167 12 13.847

Total 1498.667 29

Dari hasil uji linearitas diperoleh nilai Fbeda sebesar 0,2911 dengan sig.= 0,034 (p>0,05) yang menunjukkan hubungan antara iklim sekolah dengan burnout adalah tidak linear


(13)

Hasil Uji Korelasi antara Iklim Sekolah Dengan Burnout Correlations

iklim sekolah Burnout iklim sekolah Pearson

Correlation 1 -.677

**

Sig. (1-tailed) .000

N 30 30

burnout Pearson

Correlation -.677

**

1 Sig. (1-tailed) .000

N 30 30

Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien korelasi antara iklim sekolah dengan burnout sebesar -0,677 dengan sig. = 0,000 (p < 0.05) yang berarti antara iklim sekolah dengan burnout ada hubungan negatif yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi iklim sekolah, maka akan semakin rendah burnout yang dialami oleh para guru. Besarnya variasi burnoutdenganiklim sekolah dapat menjelaskan bahwa iklim sekolah memberikan kontribusi terhadap burnout sebesar 46% (diperoleh dari r²) dan sisanya sebesar 54% yangdipengaruhi oleh faktor lain diluar iklim sekolah yang dapat berpengaruh terhadap burnout.

Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara iklim sekolah dengan burnout pada guru SMP Negeri 2 Sukolilo, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang negatif antara iklim sekolah dengan burnout pada guru SMP Negeri 2 Sukolilo. Berdasarkan hasil uji perhitungan korelasi, keduanya


(14)

memiliki r sebesar -0,677 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) yang berarti kedua variabel yaitu iklim sekolah dengan burnout ada hubungan negatif yang signifikan.

Hasil penelitian ini mendukung yang diutarakan oleh Lavian, (2012) bahwa penelitian yang dilakukan antara iklim organisasi sekolah/iklim sekolah dengan burnout ke beberapa sekolah antara lain sekolah regular, sekolah berpusat pada sumber daya lokal dan sekolah khusus. Dinyatakan bahwa guru yang mengajar di sekolah di sekolah yang regular dan khusus dinyatakan bahwa ada hubungan antara iklim sekolah dengan burnout pada guru sedangkan di sekolah sumber daya manusia lokal dinyatakan bahwa terdapat korelasi yang negatif signifikan, hal ini terjadi karena iklim sekolah yang dikategorikan kondusif sehingga guru untuk mengalami burnout sangat sedikit.

Dalam dunia pendidikan burnout merupakan suatu kondisi dimana individu mengalami kelelahan psikologis dan ditunjukkan melalui perilaku sinisme, yang terjadi secara berulang kali pada anggota sekolah. Maslach dan Jackson (1981) menegaskan bahwa burnout merupakan kondisi dimana individu mengalami kelelahan psikologis yang ditunjukkan dengan adanya perubahan sikap yang negatif misalkan marah, geram, kinerja menurun, tak ada gairah dalam bekerja, dan adanya keinginan untuk keluar dari pekerjaan. ekspresi dari individu yang melambangkan kondisi dimana habisnya energi dan menurunnya motivasi atau kegairahan kerja, yang


(15)

kemudian di tunjukkan dengan adanya perubahan sikap dan perilaku individu (Amimo, 2012).

Dari uraian di atas, penulis dapat mengatakan bahwa semakin kondusifnya iklim sekolah maka akan semakin rendah burnout yang terjadipada guru. Hal ini terlihat dari hasil kajian penelitian di atas, bahwa antara iklim sekolah dengan burnout pada guru memiliki hubungan yang negatif signifikan.

Berdasarkan hasil analisis deskriptif dalam penelitian ini, diperoleh data bahwa iklim sekolah sebesar 73,33% yang berada pada kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar guru-guru di SMP Negeri 2 sukolilo memiliki hubungan atau relasi yang baik dengan rekan kerja, para siswa dan kepala sekolah. Selain itu, iklim sekolah yang berada di SMP tersebut tergolong kondusif, sehingga kemungkinan bagi guru untuk mengalami burnout sangat sedikit.

Adapun yang menjadi ciri-ciri iklim sekolah yang kondusif menurut Mulyasa (2011) yaitu lingkungan sekolah yang aman, nyaman dan tertib, dipadukan dengan optimisme dan harapan yang tinggi dari seluruh warga sekolah, kesehatan sekolah yang dimaksud kesehatan sekolah adalah sekolah yang tidak bercacat dan tingginya nilai-nilai sekolah, serta kegiatan-kegiatan yang berpusat pada peserta didik (student-centered activities) merupakan iklim yang mampu membangkitkan semangat serta gairah dalam belajar. Iklim yang kondusif merupakan faktor yang penting serta menjadi tulang punggung sekolah.


(16)

Berdasarkan dari ciri-ciri diatas hamper sama dengan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti, dimana disekolah SMP N 2 Sukolilo didapati bahwa setiap pagi 20 menit sebelum bel berbunyi beberapa guru sudah berada di gerbang dan para murid yang berdatangan memberi salam dan mencium tangan guru. Selain itu untuk lingkungan sekolah di SMP N 2 Sukolilo tergolong asri dikarenakan di dalam lingkungan sekolah ditanami beberapa pohon dan bunga. Guru-guru juga sering bercerita mengenai permasalahan yang mereka hadapi terkait dengan masalah siswa.

Banyak faktor yang menyebabkan tinggi rendahnya burnout guru, iklim sekolah merupakan salah satu faktor pendukung dari semua faktor yang memengaruhi tinggi rendahnya burnout pada guru, hal ini diungkapkan oleh Baron & Greenberg (dalam Rahman, 2007). Kemudian menurut Farber (1991) dikatakan bahwa dukungan sosial, sikap keacuhan siswa dan lingkungan sekolah atau kondisi sekolah memiliki pengaruh terhadap burnout pada guru.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa iklim sekolahmemberikan kontribusi terhadap burnout guru, sehingga nampak jelas bahwa iklim sekolah yang kurang kondusif mempunyai hubungan positif dengan burnout guru, sedangkan iklim sekolah yang kondusif memiliki hubungan yang negatif signifikan dengan burnout pada guru.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara iklim sekolah dengan burnout pada guru SMP Negeri 2 Sukolilo, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:


(17)

1. Ada hubungan negatif yang signifikan antara iklim sekolah dengan burnout pada guru SMP Negeri 2 Sukolilo. Artinya semakin tinggi atau kondusifnya iklim sekolah, tingkat burnout pada guru semakin rendah. Hal ini dapat dilihat dari koefisien korelasi antara iklim sekolah dengan burnout pada guru SMP Negeri 2 Sukolilo adalah sebesar -0,677 dengan signifikansi 0,000 (p<0,05). Nilai signifikansi yang lebih kecil dari 0,05 menunjukkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima.

2. Besarnya sumbangan efektif iklim sekolah sebesar 54%. Hal ini menunjukkan bahwa ada 46% faktor-faktor lain di luar iklim sekolah yang memengaruhi burnout pada guru. 3. Sebagian besar subjek (73,33%) memiliki tingkat iklim

sekolah yang berada pada kategori tinggi, dan sebagian besar subjek (70%) memiliki tingkat burnout yang berada pada kategori rendah.

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut:

1. Bagi Pihak Sekolah

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negafitif signifikan antara iklim sekolah dengan burnout pada guru, diharapkan agar para guru dan pihak sekolah lainnya untuk selalu mencoba merubah kondisi atau iklim sekolah ketingkat yang sangat tinggi. 2. Bagi Kepala Sekolah

Bagi kepala sekolah diharapkan agar selalu menjaga kondisi atau suasana organisasi seperti hubungan antar


(18)

anggota organisasi, memberikan dukungan terhadap motivasi kerja guru, meningkatkan perbaikan sistem yang dilakukan disekolah dan selalu menjaga lingkungan sekolah.

3. Bagi peneliti selanjutnya.

Diharapkan peneliti selanjutnya dapat meneliti lebih lanjut penelitian ini dengan mengembangkan variabel-variabel lain yang dapat digunakan, sehingga terungkap faktor-faktor yang memengaruhi burnout guru dalam proses mengajar terutama di SMP Negeri 2 Sukolilo seperti dukungan sosial, konsep diri, tipe kepribadian, gender, gaya kepemimpinan kepala sekolah, atau bisa menggunakan aspek-aspek yang ada didalam iklim sekolah.


(19)

22

research reveals conventional prevention and spiritual healing.Education

Research Journal 2(11), 338-344. Retrieved from:

http://resjournals.com/ERJ/Pdf/2012/Nov/Amimo.pdf (Diunduh tanggal 1 september 2013)

Aqib, Z. (2002). Profesional guru dalam pembelajaran. Surabaya: Insan Cendekia.

Arikunto, S. (1990). Manajemen pengjaran secara manusiawi. Jakarta: Rineka Cipta

Farber, B.A. (1991). Crisis in education: stress and burnout the American teachers. San fransisco: Jossey Bass

Grayson, J.L & Alvarez, H.K. (2007). School climate factors relating to teacher burnout: A mediator model. Department of psychology, Teaching and Teacher Education 24 (2008),1349–1363. USA: Ohio university Athens.

Retrieved from

http://prinedlead.wikispaces.com/file/view/school+climate+factors+relati ng+to+teacher+burnout.pdf(Diunduh pada tanggal 2 Oktober 2013). Greenberg, J.S. (2002). Comprehensive stress management ed.8. San fransisco:

Mc Graw Hill.

Kumar, K & Singh, J. (2013). A study of burnout among face to face and distance mode femaleteachers in relation to their organizational climate. International Multidisciplinary e-Journal, Vol-II, Issue-I, ISSN 2277 4262, 38-44. Retrieved from http://www.shreeprakashan.com/Documents/2013128181239851.5. %20Jaspal%20Singh..pdf (Diunduh pada tanggal 2 oktober 2013) Lavian, R.H. (2012). The impact of organizational climate on burnout among

homeroom teachers and special education teachers (full classes/individual pupils) in mainstream schools. Teachers and Teaching: theory and

practice Volume 18, Issue 2,233-247. Retrived from

http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13540602.2012.632272#.U 2ddENhd7Uk (Diunduh pada tanggal 6 Mei 2014).

Maslach, C., & Jackson.S.E, (1981). The measurement of experienced burnout.

Journal of occupational behaviour, vol. 2, 99-113. Retrived from http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/job.4030020205/pdf (diunduh pada tanggal 12 November 2013).


(20)

Menanti guru kreatif, Sudaryahasep. Kompasnasia 12 Mei 2013, diunduh pada

tanggal 17 juli 2013, dari

http://edukasi.kompasiana.com/2013/05/12/menanti-guru-kreatif--555140.html.

Mulyasa, E. (2011). Manajemen pendidikan karakter. Jakarta: Bumi Aksara. Rahman, U. (2007). Mengenal burnout pada guru. Lentera pendidikan, edisi X,

no. 2, 216-227. Diunduh pada tanggal 6 Oktober 2013, dari

http://ejurnal.uin-alauddin.ac.id/artikel/07%20Mengenal%20Bournout%20Pada%20Guru% 20-%20Ulfiani%20Rahman.pdf.

Sagala, S. (2009). Memahami organisasi pendidikan. Bandung: Alphabeta Schultz. (2005). Psychology and work today. University of South Florida. Simamora, H. (1995). Manajemen sumber daya manusia. Yogyakarta: STIE

YKPN.

Widiastuti. D.Z., & Astuti, K. (2008). Hubungan antara kepribadian hardiness

pada burnout pada guru sekolah dasar. Yogyakarta: Fakultas psikologi universitas mercu buana, 1-15. Diunduh pada tanggal 6 Oktober 2013,

dari


(1)

kemudian di tunjukkan dengan adanya perubahan sikap dan perilaku individu (Amimo, 2012).

Dari uraian di atas, penulis dapat mengatakan bahwa semakin kondusifnya iklim sekolah maka akan semakin rendah burnout yang terjadipada guru. Hal ini terlihat dari hasil kajian penelitian di atas, bahwa antara iklim sekolah dengan burnout pada guru memiliki hubungan yang negatif signifikan.

Berdasarkan hasil analisis deskriptif dalam penelitian ini, diperoleh data bahwa iklim sekolah sebesar 73,33% yang berada pada kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar guru-guru di SMP Negeri 2 sukolilo memiliki hubungan atau relasi yang baik dengan rekan kerja, para siswa dan kepala sekolah. Selain itu, iklim sekolah yang berada di SMP tersebut tergolong kondusif, sehingga kemungkinan bagi guru untuk mengalami burnout sangat sedikit.

Adapun yang menjadi ciri-ciri iklim sekolah yang kondusif menurut Mulyasa (2011) yaitu lingkungan sekolah yang aman, nyaman dan tertib, dipadukan dengan optimisme dan harapan yang tinggi dari seluruh warga sekolah, kesehatan sekolah yang dimaksud kesehatan sekolah adalah sekolah yang tidak bercacat dan tingginya nilai-nilai sekolah, serta kegiatan-kegiatan yang berpusat pada peserta didik (student-centered activities) merupakan iklim yang mampu membangkitkan semangat serta gairah dalam belajar. Iklim yang kondusif merupakan faktor yang penting serta menjadi tulang punggung sekolah.


(2)

19

Berdasarkan dari ciri-ciri diatas hamper sama dengan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti, dimana disekolah SMP N 2 Sukolilo didapati bahwa setiap pagi 20 menit sebelum bel berbunyi beberapa guru sudah berada di gerbang dan para murid yang berdatangan memberi salam dan mencium tangan guru. Selain itu untuk lingkungan sekolah di SMP N 2 Sukolilo tergolong asri dikarenakan di dalam lingkungan sekolah ditanami beberapa pohon dan bunga. Guru-guru juga sering bercerita mengenai permasalahan yang mereka hadapi terkait dengan masalah siswa.

Banyak faktor yang menyebabkan tinggi rendahnya burnout guru, iklim sekolah merupakan salah satu faktor pendukung dari semua faktor yang memengaruhi tinggi rendahnya burnout pada guru, hal ini diungkapkan oleh Baron & Greenberg (dalam Rahman, 2007). Kemudian menurut Farber (1991) dikatakan bahwa dukungan sosial, sikap keacuhan siswa dan lingkungan sekolah atau kondisi sekolah memiliki pengaruh terhadap burnout pada guru.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa iklim sekolahmemberikan kontribusi terhadap burnout guru, sehingga nampak jelas bahwa iklim sekolah yang kurang kondusif mempunyai hubungan positif dengan burnout guru, sedangkan iklim sekolah yang kondusif memiliki hubungan yang negatif signifikan dengan burnout pada guru.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara iklim sekolah dengan burnout pada guru SMP Negeri 2 Sukolilo, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:


(3)

1. Ada hubungan negatif yang signifikan antara iklim sekolah dengan burnout pada guru SMP Negeri 2 Sukolilo. Artinya semakin tinggi atau kondusifnya iklim sekolah, tingkat burnout pada guru semakin rendah. Hal ini dapat dilihat dari koefisien korelasi antara iklim sekolah dengan burnout pada guru SMP Negeri 2 Sukolilo adalah sebesar -0,677 dengan signifikansi 0,000 (p<0,05). Nilai signifikansi yang lebih kecil dari 0,05 menunjukkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima.

2. Besarnya sumbangan efektif iklim sekolah sebesar 54%. Hal ini menunjukkan bahwa ada 46% faktor-faktor lain di luar iklim sekolah yang memengaruhi burnout pada guru. 3. Sebagian besar subjek (73,33%) memiliki tingkat iklim

sekolah yang berada pada kategori tinggi, dan sebagian besar subjek (70%) memiliki tingkat burnout yang berada pada kategori rendah.

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut:

1. Bagi Pihak Sekolah

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negafitif signifikan antara iklim sekolah dengan burnout pada guru, diharapkan agar para guru dan pihak sekolah lainnya untuk selalu mencoba merubah kondisi atau iklim sekolah ketingkat yang sangat tinggi. 2. Bagi Kepala Sekolah

Bagi kepala sekolah diharapkan agar selalu menjaga kondisi atau suasana organisasi seperti hubungan antar


(4)

21

anggota organisasi, memberikan dukungan terhadap motivasi kerja guru, meningkatkan perbaikan sistem yang dilakukan disekolah dan selalu menjaga lingkungan sekolah.

3. Bagi peneliti selanjutnya.

Diharapkan peneliti selanjutnya dapat meneliti lebih lanjut penelitian ini dengan mengembangkan variabel-variabel lain yang dapat digunakan, sehingga terungkap faktor-faktor yang memengaruhi burnout guru dalam proses mengajar terutama di SMP Negeri 2 Sukolilo seperti dukungan sosial, konsep diri, tipe kepribadian, gender, gaya kepemimpinan kepala sekolah, atau bisa menggunakan aspek-aspek yang ada didalam iklim sekolah.


(5)

22

research reveals conventional prevention and spiritual healing.Education

Research Journal 2(11), 338-344. Retrieved from:

http://resjournals.com/ERJ/Pdf/2012/Nov/Amimo.pdf (Diunduh tanggal 1 september 2013)

Aqib, Z. (2002). Profesional guru dalam pembelajaran. Surabaya: Insan Cendekia.

Arikunto, S. (1990). Manajemen pengjaran secara manusiawi. Jakarta: Rineka Cipta

Farber, B.A. (1991). Crisis in education: stress and burnout the American teachers. San fransisco: Jossey Bass

Grayson, J.L & Alvarez, H.K. (2007). School climate factors relating to teacher burnout: A mediator model. Department of psychology, Teaching and Teacher Education 24 (2008),1349–1363. USA: Ohio university Athens.

Retrieved from

http://prinedlead.wikispaces.com/file/view/school+climate+factors+relati ng+to+teacher+burnout.pdf(Diunduh pada tanggal 2 Oktober 2013). Greenberg, J.S. (2002). Comprehensive stress management ed.8. San fransisco:

Mc Graw Hill.

Kumar, K & Singh, J. (2013). A study of burnout among face to face and distance mode femaleteachers in relation to their organizational climate. International Multidisciplinary e-Journal, Vol-II, Issue-I,

ISSN 2277 4262, 38-44. Retrieved from

http://www.shreeprakashan.com/Documents/2013128181239851.5. %20Jaspal%20Singh..pdf (Diunduh pada tanggal 2 oktober 2013) Lavian, R.H. (2012). The impact of organizational climate on burnout among

homeroom teachers and special education teachers (full classes/individual pupils) in mainstream schools. Teachers and Teaching: theory and

practice Volume 18, Issue 2,233-247. Retrived from

http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13540602.2012.632272#.U 2ddENhd7Uk (Diunduh pada tanggal 6 Mei 2014).

Maslach, C., & Jackson.S.E, (1981). The measurement of experienced burnout. Journal of occupational behaviour, vol. 2, 99-113. Retrived from http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/job.4030020205/pdf (diunduh pada tanggal 12 November 2013).


(6)

23

Menanti guru kreatif, Sudaryahasep. Kompasnasia 12 Mei 2013, diunduh pada

tanggal 17 juli 2013, dari

http://edukasi.kompasiana.com/2013/05/12/menanti-guru-kreatif--555140.html.

Mulyasa, E. (2011). Manajemen pendidikan karakter. Jakarta: Bumi Aksara. Rahman, U. (2007). Mengenal burnout pada guru. Lentera pendidikan, edisi X,

no. 2, 216-227. Diunduh pada tanggal 6 Oktober 2013, dari

http://ejurnal.uin-alauddin.ac.id/artikel/07%20Mengenal%20Bournout%20Pada%20Guru% 20-%20Ulfiani%20Rahman.pdf.

Sagala, S. (2009). Memahami organisasi pendidikan. Bandung: Alphabeta Schultz. (2005). Psychology and work today. University of South Florida. Simamora, H. (1995). Manajemen sumber daya manusia. Yogyakarta: STIE

YKPN.

Widiastuti. D.Z., & Astuti, K. (2008). Hubungan antara kepribadian hardiness pada burnout pada guru sekolah dasar. Yogyakarta: Fakultas psikologi universitas mercu buana, 1-15. Diunduh pada tanggal 6 Oktober 2013, dari http://fpsi.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/naskah-burnout-tutik.pdf.