MAKALAH PERBANDINGAN PENDIDIKAN ISLAM St

MAKALAH PERBANDINGAN PENDIDIKAN ISLAM
(Studi Perbandingan Konsep Pendidikan Islam Menurut Mohammad Natsir dan
Ikhwan Al-Shafa)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf

Disusun Oleh:
ROHMADI
(15913218)

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER STUDY ISLAM
FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2016
1

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat allah swt, yang telah memberikan taufik dan
hidayah-Nya serta memberikan kekuatan, kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas

makalah mata kuliah Perbandingan Pendidikan Islam yang berjudul “Studi Perbandingan Konsep
Pendidikan Islam Menurut Mohammad Natsir dan Ikhwan Al-Shafa”.
Dalam hal ini besar kemungkinan makalah yang penulis susun ini masih kurang dari kesempurnaan
yang diharapkan, itu semua karena terbatasnya kemampuan yang ada pada penulis. Dalam rangka
pengumpulan data yang diperlukan dalam penyusunan makalah ini, penulis telah menerima bantuan dari
berbagai pihak, untuk itu penulis hanturkan terimakasih. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih juga kepada
dosen pembimbing mata kuliah Perbandingan Pendidikan Islam,

yang telah memberikan amanat dan

mempercayakan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini.
Demi penyempurnaan dari isi makalah ini, maka kritik dan saran dari semua pihak, akan penulis
terima dengan senang hati. Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada penulis
khususnya, serta kepada semua pihak pembaca makalah ini demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya
dibidang pendidikan. Amiin Ya Rabbal ‘Alamiin.

Yogyakarta, Oktober 2016

Penyusun,


2

DAFTAR ISI

HALAMAN MUKA ..................................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ 2
DAFTAR ISI ................................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Mohammad Natsir.............................................................................................. 5
B. Konsep Pendidikan Islam Menurut Mohammad Natsir................................................ 5
C. Biografi Ikhwan al-Shafa ................................................................................................. 9
D. Konsep Pendidikan Islam Menurut Ikhwan Al-Shafa ..................................................... 10
BAB III ANALISIS PERBANDINGAN ....................................................................................... 14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 17


3

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap lembaga pendidikan khususnya lembaga pendidikan Islam berperan sebagai wahana yang
strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas bagi pembangunan suatu
bangsa.
Manusia yang berkualitas sebagai produk pendidikan Islam ditandai dengan kemampuan dia dalam
mengabdikan dirinya hanya kepada Allah Swt. juga memiliki kemampuan untuk menjalankan peranan
hidupnya sebagai Khalifah fi al-Ardhi, yaitu mampu memakmurkan bumi dan melestarikannya,
mewujudkan rahmat bagi alam sekitarnya, sesuai dengan tujuan penciptaannya, dan sebagai konsekuensi
setelah menerima Islam sebagai pedoman hidupnya (Ramayulis, 2004: 67).
Untuk mewujudkan harapan tersebut, lembaga pendidikan Islam harus dikelola dengan baik,
benar, teratur dan terencana. Karena, sesuatu yang dilakukan dengan cara yang baik, teratur dan
terencana dapat memberikan peluang yang besar dalam pencapaian tujuan yang dikehendaki, termasuk
pencapaian tujuan pendidikan Islam. Di samping itu, dalam pandangan Islam hal yang demikian
merupakan sesuatu yang disyariatkan

bahkan akan


mengundang kecintaan Allah Swt. Hal ini

digambarkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani:
“Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melakukan sesuatu pekerjaan, dilakukan
secara itqan (tepat, terarah, jelas dan tuntas).” (HR Thabrani)
Di samping perencanaan yang matang, para pendidik atau praktisi pendidikan pun mesti
memperhatikan teori-teori pendidikan yang telah diungkapkan oleh para pakar pendidikan muslim, hal
ini sangat penting karena dapat membantu dalam mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Teoriteori tersebut dapat dijadikan pijakan dan arahan bagi para pendidik dalam proses belajar mengajar.
Diantara konsep pendidikan ilmuwan muslim yang masih relevan yang dapat dijadikan rujukan oleh para
pendidik dalam penyelenggaraan pendidikan saat ini adalah Mohammad Natsir dan Ikhwan al- Shafa.
Untuk itu penulis mencoba mengkomparasikan pemikiran ke dua tokoh tersebut mengenai konsep
Pendidikan Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa perbandingan konsep pendidikan Islam menurut Mohammad Natsir dan Ikhwan al- Shafa?

4

BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Mohammad Natsir
Muhammad Natsir lahir di Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat,
pada hari Jumat’ 17 Jumadil Akhir 1326 Hijriah, bertepatan dengan 17 Juli 1908 Masehi. Ibunya
bernama Khadijah, sedang ayahnya bernama Mohammad Idris Sutan Saripado, seorang pegawai rendah
yang pernah menjadi juru tlis pada kantor kontroler di Maninjau dan sipir penjara di Sulawesi selatan
(Ajib Rosyidi, 1990: 150.
Mohammad Natsir dilahirkan di Kampung Jembatan, Baukia, Alahan, Alahan

Panjang.

Minangkabau, pada tanggal 17 Juli 1908. Kampung Jembatan terletak di balik Gunung Talang olok
Profinsi Sumatra Barat. Mohammad Natsir adalah putra ketiga Idris Sutan Sari Pado dan Khadijah.
Ayahnya adalah seorang pegawai bawahan, yakni sebagai juru tulis kontrolir di masa pemerintahan
Hindia Belanda. ( Badiatul Roziqin (dkk), 2009: 221).
Ketika pindah ke Bekeru, dia diajak oleh mamaknya Ibrahim pindah kepadang. Mamaknya
yang biasa dikenal dengan makcik Ibrahim adalah bekerja sebagai buruh harian disebuah pabrik kopi
yang hanya memperoleh upah beberapa puluh sen sehari. Sehari-hari mereka hidup sangat sederhana,
bahkan dalam urusan makanan hanya ketika hari raya saja atau peristiwa- peristiwa penting saja.
Sehingga dapat dikatakan bila sejak kecil Natsir sudah belajar hidup sederhana.
Pada tanggal 20 Oktober 1934, M. Natsir melangsungkan pernikahannya dengan Putri Nur

Nahar, guru Taman Kanak-kanak Pendidikan Islam. Pernikahan dilaksanakan dengan sederhana saja.
Tamu-tamu makan di langgar yang terletak di depan rumah tempat pernikahan dilangsungkan. Pergaulan
selama dua tahun sesama pengasuh Pendidikan Islam, menambah perkenalan sebelumnya tatkala
keduanya sama-sama aktif di JIB, telah mengeratkan kedua insan yang sama-sama tulus mengabdikan
hidupnya bagi kemajuan umat Islam(Ajib Rosyidi, 1990: 177)
Natsir wafat pada tanggal 6 Februari 1993, bertepatan dengan tanggal 14 Sya’ban 1413 H, di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 85 tahun. Berita wafatnya menjadi berita utama
diberbagai media cetak dan elektronik. Berbagai komentar muncul, baik dari kalangan kawan
seperjuangan maupun lawan politiknya. Ada yang bersifat pro terhadap kepemimpinannya dan ada pula
yang bersifat kontra. Mantan Perdana Menteri Jepang yang diwakili oleh Nakadjima, menyampaikan
bela sungkawa atas kepergian M. Natsir dengan ungkapan, “Berita wafatnya M. Natsir terasa lebih
dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hirosima”(Thohir Luth, 1999: 28).
B. Konsep Pendidikan Islam Menurut Mohammad Natsir
1. Peran dan Fungsi Pendidikan Islam
Dalam hubungan ini paling kurang terdapat enam rumusan yang dimajukan Natsir.
a. Pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk memimpin dan membimbing agar manusia
yang dikenakan sasaran pendidikan tersebut dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan
jasmani dan rohani secara sempurna.

5


b. Pendidikan harus diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki sifat-sifat kemanusiaan dan
mencapai akhlaq al- Karimah yang sempurna.
c. Pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk menghasilkan manusia yang jujur dan benar
(bukan pribadi yang hipokrit).
d. Pendidikan agar berperan membawa manusia agar dapat mencapai tujuan hidupnya, yaitu
menjadi hamba Allah SWT.
e. Pendidikan harus dapat menjadikan manusiayang dalam segala perilaku atau interaksi vertikal
maupun horisontal selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam.
f. Pendidikan

harus

benar-benar

mendorong

sifat-sifat kesempurnaan dan bukan

sebaliknya, yaitu menghilangkan dan menyesatkan sifat-sifat kemanusiaan (Abudin Nata,

2005:81).
2. Tujuan Pendidikan Islam
Kaitannya dalam menjelaskan tujuan pendidikan Islam, Natsir terlebih dahulu menyarankan agar
terlebih dahulu mengetahuai apakah kiranya yang menjadi tujuan hidup kita di dunia?. Natsir mengutip
dalamn al-Qur’an bahwa manusia diciptakan oleh Allah tidak lain adalah untuk menyembah Allah.
Menurut M Natsir, tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah merealisasikan idealitas Islam yang
pada intinya adalah menghasilkan manusia yang berperilaku islami, yaitu manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Ketaatan kepada Allah yang
mutlak itu mangandung makna menyerahkan diri secara total kepada Allah, menjadikan manusia
menghambakan diri hanya kepada Allah.
Akan menjadi orang yang memperhambakan segenap ruhani dan jasmaninya kepada Allah SWT
untuk kemenangan dirinya dengan arti yang seluas-luasnya yang dapat dicapai oleh manusia, itulah
tujuan hidup manusia diatas dunia. Dan itulah tujuan didikan yang harus kita berikan kepada anak- anak
kita kaum Muslimin.
Inilah “Islamietisch Paedagogische Ideaal” yang gemerlapan yang harus member suar kepada
tiap-tiap pendidik Muslimin dalam mengemudikan perahu pendidikannya(Ajib Rosyidi, 1990: 175-176).
Selanjutnya Natsir mengatakan bahwa apabila manusia telah menghambakan diri sepenuhnya kepada
Allah, berarti ia telah berada dalam dimensi kehidupan yang menyejahterakan di dunia dan
membahagiakan di akhirat. Menurut Natsir, dalam menetapkan tujuan pendidikan Islam, hendaknya
mempertimbangkan posisi manusia sebagai ciptaan Allah yang terbaik dan sebagai kholifah di muka bumi

(Abudin Nata, 2005: 82-83).
3. Landasan Pendidikan Islam
a. Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan Islam
Pidato beliau pada rapat Persatuan Islam di Bogor, 17 juni 1934, dengan judul
“Idiologi Didikan Islam” maupun tulisan beliau di Pedoman Masyarakat tiga tahun kemudian
(1937). Dengan judul “Tauhid Sebagai Dasar Didikan” dengan jelas dan gambling sekali
menggariskan ideologi pendidikan ummat Islam yang harus bertitik tolak dari dan berorientasi
6

kepada kata Tauhid, yang bersimpul dalam dua kalimah syahadah itu (Abibullah Djaini,
1996: 100).
Pentingnya tauhid sebagai dasar pendidikan ini menurut Natsir barhubungan erat
dengan akhlak yang mulia. Tauhid dapat terlihat manifestasinya pada kepribadian yang mulia
seperti yang dirumuskan dalam tujuan pendidikan. Yaitu pribadi yang memiliki keikhlasan,
kejujuran, keberanian, dan tanggung jawab untuk melaksanakan tugas atau kewajiban yang
diyakini kebenarannya (Abudin Nata, 2005:86).
Pak Natsir menyarankan kepada kita bahwa landasan pendidikan bagi umat Islam
sebagai butir dari berbagai butir dalam sistem pendidikan, adalah Tauhid. Keyakinan akan
keesaan Allahakan menempa ketangguhan pribadi seseorang dalam melaksanakan tugas
kemanusiaannya sebagai hamba Allah. Maupun yang beribadah kepada-Nya sebagai

makhluk sosial, yang mampu melaksanakan kewajiban dengan penuh tanggung jawab demi
kepentingan masyarakat. Tauhid pada hakikatnya adalah landasan seluruh aspek kehidupan
manusia dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT (Abibullah Djaini, 1996: 89).
b. Pendidikan Akhlak
Akhlak adalah sikap yang terpuji yang harus dimiliki oleh seorang guru. Kemudian ia
memerintahkan kepada murid-muridnya untuk berakhlak baik. Ucapan yang baik, senyuman,
dan raut muka yang berseri dapat menghilangkan jarak yang membatasi antara seorang guru
dengan muridnya. Sikap kasih dan saying, serta kelapangan hati seorang pendidik akan dapat
menangani kebodohan seorang murid(Muhammad Syafii Antoni, 2009: 201).
Dalam agama islam pendidikan akhlak mengajarkan tentang bekerja dengan giat,
rajin, optimis, toleransi, tidak boleh curang dan sebagainya. Jadi bias disimpilkan jika
seseorang memiliki akhlak yang baik maka anak juga memiliki kecerdasan yang baik pula.
4. Pengembangan Pendidikan Islam
a. Adanya koordinasi perguruan-perguruan Islam
Akibat tidak adanya koordinasi antara perguruan-perguruan Islam, mengakibtakan
banyak sekali murid-murid sekolah kita yang terlantar pelajarannya, bilaman mereka
terpaksa pindah dari satu tempat ketempat yang lainnya.
Natsir juga menghimbau akan pentingnya koordinasi antara sekolahan rendah,
menengah dan universitas, agar peserta didik yang ketika menamatkan sekolah mereka di
pendidikan dasar dan akan melanjutkan ke sekolah menengah akan terjadi kesinambungan.

Begitu pula mereka yang dari sekolah menengah yang akan melanjutkan ke universitas
Islam. Sehingga pendidikan yang didapat sejak sekolah dasar samapi perguruan tinggi tidak
akan terjadi adanya pengulangan dalam pelajaran dan juga kurang bisa mengikutinya siswa
ketika berada di suatu perguruan tinggi, dikarenakan di sekolahnya dahulu belum diajarkan.
Cara

memulai koordinasi yang pertama yaitu:

perguruan tinggi menawarkan

beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh kandidat student yang akan diterima. Berdasar
7

kepada tawaran itu, Perguruan Menengah mengatur rencana pelajarannya yang sepadan dengan
itu. Sesudah itu terus pula menawarkan kepada Perguruan Rendah, syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh kandidat-kandidat murid Sekolah Menengah nantinya. Dengan begitu rencana
pelajaran segenap lapisan dapat tersusun
Sehingga Natsir bercita-cita untuk membentuk semacam wadah bersama bagi
perguruan-perguruan Islam itu, yang mnamanya pun sudah dia temukan, yaitu “Perikatan
Perguruan-perguruan Muslim Indonesia” disingkat menjadi “Permusi”. Dia menganggap
karangannya yang dimuat dalam majalah Panji Islam itu sebagai seruan kepada perguruanperguruan Islam yang ada, yang diminta agar dikirimi majalah tersebut supaya mereka
dapat menyatakan persetujuaanya melaluai redaksi. Tetapi harapan itu sia-sia. Tak ada
sambutan yang antusias terhadap gagasan tersebut, sehinnga ia terbengkalai begitu saja. Dan
perguruan-perguruan Islam tetap saja berjalan menurut garisnya masing-masing tanpa
memperdulikan kesulitan yang dihadapi murid-muridnya yang misalnya karena orang tuanya
pindah kerja dia pun harus pindah sekolah pula (Ajib Rosyidi, 1990: 204-205).
b. Fungsi Bahasa Asing
Menurut natsir, dengan berbahasa Indonesia berarti telah mempertahankan sifat-sifat
dan kebudayaan sendiri. dikarenakan bahasa bagi seluruh bangsa adalah sebuah tulang
punggung dari sebuah kebudayaan suatu bangsa.
Ini semua tidak berarti bahwa untuk kemajuan dan kecerdasan bangsa kita, yakni
kecerdasan yang lebih luas, kita sudah memadakan saja dengan bahasa kita itu sendiri.
Kemajuan berfikir, bergantung sangat kepada keluasan medan yang mungkin dikuasai oleh
bahasa yang dipakai. Dan apabila suatu bahasa seperti bahasa Indonesia, masih berada pada
tingkat seperti sekarang, dan belum pula cukup kekayaannya untuk mengutarakan bermacammacam pengertian yang ma’nawi, maka bahasa itu sendiri akan menjadi kurungan yang
membatasi ruang-gerak kita dalam menuju kecerdasan umum yang lebih luas. Yaitu sekiranya
kita puaskan diri dengan sekedar mengetahui bahasa kita sendiri itu saja. Bentuk dan bangunan
fikiran suatu bangsa berjalin rapat dan boleh dikatakan terpaksa menurut bentuk dan bangun
yang diizinkan oleh kekayaan bahasa bangsa itu. Daerah kita untuk berfikir dibatasi oleh
luas atau sempitnya daerah bahasa itu pula (Ajib Rosyidi, 1990: 208-209).
Meskipun mempertahankan bahasa sendiri sangtlah penting, Natsir juga mengatakan
kalau bahasa asing juga sangat penting dipelajari untuk menjerdaskan suatu bangsa dalam
mengetahui istilah-istilah dan ilmu pengetahuan yang masih belum diketahui oleh ilmuanilmuan dari lokal.

c. Sifat-sifat yang harus dimiliki Guru

8

Natsir pernah berujar bahwa tidaklah realistis cita-cita hendak mendirikan Sekolah
Tinggi Muballighin yang muridnya akan diambil dari lulusan H.B.S. atau A.M.S. Menurut
pendapatnya,

untuk

menjadi muballig tidaklah cukup dasar ilmu pengetahuan saja,

melainkan harus memenuhi syarat yang lain seperti tabi’at, syifat, akhlak dan tujuan hidupnya
yang sesuai dengan pekerjaannya. Misalnya ketabahan hati, keimanan dan kesediaan
berkurban. Kalau memerhatikan latar belakang mubaligin yang bertebaran dalam masyarakat,
maka akan Nampak bahwa mereka bukan berasal dari keluarga yang cukup mampu untuk
menyekolahkan anak-anaknya ke A.M.S. atau H.B.S. Keluarga seperti itu bahkan memandang
pekerjaan mubalig itu sebagai “kiai kampong” yang disertai dengan ejekan.
Guru adalah sosok teladan bagi anak-anak sehingga tidak hanya peeandai dalam
pengajaran saja tapi juga sebagai contoh bagi anak-anak dalam tingkah laku dan tutur katanya.
Pendidikan Islam tidak sesempit yang difikirkan oleh kebanyakan orang,
mempelajari

ilmu-ilmu

tentang

yang

hanya

peribadatan.

Natsir juga terkenal sebagai seorang yang selain taat

beragama juga sangat

mengecam kepada seseorang yang dalam mengerjakan ibadah hanya mengikuti gurunya saja
alias taqlid, sehingga untuk menjadi guru juga harus seorang yang memang memiliki ilmu
yang benar-benar tau dari mana sumbernya bukan hanya tau dari gurunya yang telah
mengajarinya dahulu.
Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan kurang lebihnya konsep guru menurut Natsir
haruslah memiliki sifat sabar, tekun, ramah, menghargai setiap murid, selalu melayani
murisd-murid dengan penuh perhatian, dan selalu member kesempatan kepada murid
untuk menanyakan hal-hal yang belum diketahui.
C. Biografi Ikhwan al-Shafa
Ikhwan al-Shafa adalah perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang lebih banyak
memperhatikan bidang pendidikan. Perkumpulan ini berkembang pada akhir abad kedua Hijriyah di
kota Bashrah, Iraq. Organisasi ini antara lain mengajarkan tentang dasar-dasar agama Islam yang
memperkokoh ukhuwah Islamiyah, dengan sikap pandangan bahwa “Iman seorang muslim tidak
sempurna sampai ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.” Sebagai sebuah organisasi
mereka memilki semangat dakwah dan tabligh yang militan terhadap orang lain. Semua anggota
perkumpulan ini wajib menjadi pengajar atau muballigh terhadap orang lain dalam masyarakat (Arifin,
1996: 92-93).
Informasi lain menyebutkan bahwa organisasi ini didirikan oleh kelompok masyarakat yang
terdiri dari para filosof. Organisasi yang mereka dirikan bersifat rahasia. Namun bersamaan dengan itu
ada pula yang mengatakan bahwa organisasi ini lebih bercorak kebatinan.

Mereka

sangat

mengutamakan pendidikan dan pengajaran yang berkenaan dengan pembentukan pribadi, jiwa dan
akidah (Nata, 2005: 231).

9

Dari dua informasi di atas menunjukan bahwa istilah Ikhwan al-Shafa bukanlah nama seseorang
melainkan istilah yang digunakan untuk menyebut sebuah kelompok gerakan dalam pendidikan Islam,
kelompok tersebut terdiri dari para filosof yang memiliki perhatian terhadap pengembangan pendidikan
Islam.
Selanjutnya, secara umum kemunculan Ikhwan al-Shafa dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap
pelaksanan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran dari luar Islam dan untuk membangkitkan
kembali rasa cinta pada ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam. Kelompok ini sangat merahasiakan
nama- nama anggotanya. Mereka bekerja dan bergerak secara rahasia disebabkan kekhawatiran akan
ditindak penguasa pada waktu itu yang cenderung menindas gerakan-gerakan pemikiran yang timbul.
Kondisi

ini antara

lain

yang

menyebabkan

Ikhwan al-Shafa memiliki anggota yang terbatas.

Mereka sangat selektif dalam menerima anggota baru dengan melihat berbagai aspek. Di antara syarat
yang mereka tetapkan dalam merekrut anggota adalah : memiliki ilmu pengetahuan yang luas,
loyalitas yang tinggi, memiliki kesungguhan, dan berakhlak mulia (Ramayulis, 2005:101-102).
Selanjutnya, anggota kelompok Ikhwan al-Shafa

yang dapat diketahui nama-namanya adalah

sebanyak lima orang, yaitu : (1) Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Masyar al-Basti dikenal dengan nama
al-Maqdisy; (2) Abu al-Hasan Ali Ibnu Harun ad-Zanzany; (3) Abu Ahmad al-Mahrajani; (4) Al-Qufy;
dan (5) Zaid Ibnu Rifa’ah (Madjidji, 1997: 66). Nama-nama tersebut hanya sebagian kecil dalam daftar
kelompok gerakan pendidikan Ikhwan al-Shafa
D. Konsep Pendidikan Islam Menurut Ikhwan Al-Shafa
1. Tujuan Pendidikan Islam
Dari hasil studi terhadap pemikiran Ikhwan al Shafa, diketahui dengan jelas bahwa tujuan
pendidikan yang ingin dicapai melalui pendidikan adalah mendapatkan ridha Allah Swt. Keridhaan Allah
itu terjabar dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 201, yaitu Pertama, mendapatkan kebaikan di dunia
seperti memiliki ilmu yang bermanpaat, rizki yang halal dan pasangan yang saleh/shalehah. Kedua,
kebaikan di akhirat seperti mendapatkan surga. Ketiga,

selamat dari api neraka. Ketiga hal ini

merupakan harapan kita semua.
Kalaulah tujuan tersebut sudah tertanam dalam hati setiap pecinta ilmu, maka bukan suatu hal yang
mustahil mereka akan menjadi hati-hati dalam belajarnya, hati-hati dalam mengamalkannya, dan akibat
kehati-hatiannya itu mereka akan berusaha untuk menjauhi dari hal-hal yang tidak baik.
Dengan demikian seorang pendidik punya kewajiban untuk meluruskan motivasi peserta didiknya
dalam menentukan tujuan menuntut ilmu, jangan sampai tujuan belajar mereka hanya terpokus
pada hal-hal yang bersifat duniawi seperti agar mudah mencari lapangan kerja, ingin dipuji orang, untuk
mendapatkan pangkat,

dan sebagainya. Pendidik harus terus memotivasi sekaligus meyakinkan kepada

peserta didiknya bahwa menuntut ilmu disamping kewajiban, juga harus diposisikan sebagai sarana
untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah Swt. dengan ilmu yang diimilikinya.
2. Sifat dan Syarat-syarat Seorang Pecinta Ilmu

10

Untuk mencapai tujuan pendidikan sesuai dengan harapan, maka seorang pecinta ilmu perlu
memperhatikan hal-hal yang membuat dia berhasil dalam belajarnya. Dalam hal ini, Ikhwan al- Shafa
menetapkan sifat-sifat dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pecinta ilmu, di antaranya:
seorang pecinta ilmu harus tawadhu, banyak berdzikir, banyak bertanya, senantiasa mendengarkan ketika
guru sedang menyampaikan materi, mangamalkan ilmunya, tidak merasa kagum atas prestasi, dan
senantiasa banyak berdzikir.
Dengan demikian, apabila sifat-sifat dan syarat-syarat yang ditawarkan oleh Ikhwan al-Shafa
tersebut diindahkan oleh para peserta didik, maka insya Allah mereka akan berhasil dalam menggapai
tujuan yang diharapkannya.
3. Pendidik dan Peserta Didik
Dalam dunia pendidikan, komponen pendidik ternyata dapat mempengaruhi keberhasilan tujuan
pendidikan yang diharapkan, oleh karena itu Ikhwan al-Shafa mencoba menawarkan konsep pendidik
yang baik, yang akan mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Diantaranya adalah seorang pendidik harus
memiliki kasih saying terhadap peserta didiknya, sabar dalam menghadapi peserta didik yang lambat untuk
memahami materi yang disampaikannya, pendidik tidak boleh rakus dan minta imbalan. Rupanya
karakteristik pendidik yang ditawarkan oleh Ikhwan al-Shafa ini perlu untuk dimiliki oleh setiap
pendidik, agar dapat membantu dalam pencapaian tujuan pendidikan yang diharapkan.
Ikhwan al-Shafa menempatkan pendidik (guru) pada posisi strategis dan inti pada kegiatan
pendidikan. Mereka mempersyaratkan kecerdasan, kedewasaan, kelurusan moral, ketulusan hati, kejernihan
pikir, etos keilmuan dan tidak fanatik buta pada diri si pendidik. Ikhwan al-Shafa menganggap bahwa
mendidik sama dengan menjadikan “orang tua” kedua, karena pendidik atau guru merupakan bapak
pemelihara (spiritual father) pertumbuhan dan perkembangan jiwamu; sebagaimana halnya kedua orang tua
adalah pembentuk rupa fisik-biologis, maka guru adalah pembentuk rupa mental dan rohani. Sebab guru
telah menyuapi jiwa dengan ragam pengetahuan dan membimbing pada jalan keselamatan dan keabadian,
serta apa yang telah dilakukan orang tua yang menyebabkan tubuh seseorang lahir ke dunia, mengasuh dan
mengajari mencari nafkah hidup di dunia ini.
Senada dengan pendapat Ikhwan al-Shafa, pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh
potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), psikomotorik (karsa). Pendidik juga berarti
orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan
jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya
sebagai khalifah Allah, dan mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan makhluk individu
yang mandiri.
Sedangkan mengenai anak didik (peserta didik), Ikhwan al-Shafa meyakini bahwa setiap anak
dilahirkan dengan aptitudenya, artinya dengan potensi yang harus di aktualisasikan.31Pemikiran Ikhwan alShafa kemudian berkembang dalam dunia pendidikan secara luas bahwa emosi dan intelligence si
terdidik harus dikembangkan secara optimal.Hal ini untuk memacu si terdidik mampu mandiri baik dalam
11

aspek kehidupan sehari-hari sampai pada menjaga tawhid dalam dirinya. Hasilnya akan lahir manusia yang
cenderung optimis dan tidak mudah putus asa dalam menghadapi tantangan. Dengan demikian akan tercipta
manusia yang berkecenderungan belajar seumur hidup (long life education).
Oleh karena itu, guru atau pendidik memiliki fungsi membantu si terdidik mengembangkan
potensinya secara optimal, baik melalui metodologi yang digunakan maupun melalui ilmu yang sedang
dipelajari. Pendidik tidak harus mengisi otak si terdidik dengan ide-idenya, akan tetapi share dengan si
terdidik untuk menemukan kebutuhan dan potensinya yang harus dikembangkan.
Antara konsep pendidik perspektif Ikhwan al-Shafa maupun konsep pendidik dalam pendidikan
Islam secara umum sama-sama menghendaki agar seorang pendidik mampu memberikan contoh yang baik
(uswatun hasanah) bagi peserta didik.Menurut an-Nahlawi manusia telah di beri fitrah untuk mencari suri
tauladan agar menjadi pedoman hidup bagi mereka.
4. Kurikulum Pendidikan
Dilihat dari segi kurikulum, Ikhwan al-Shafa memberikan porsi yang seimbang antara materimateri yang harus diberikan kepada peserta didik, mereka tidak hanya mempokuskan pada ilmu-ilmu yang
dikaji dari ayat-ayat kauniyah seperti ilmu jiwa, akan tetapi ditekankan pula pengkajian terhadap ayat-ayat
tanziliyah.
Sebagaimana kita maklumi bahwa hakikat ilmu kauniyah dan ilmu tanziliyah dilihat dari
sumbernya adalah sama yaitu bersumber dari Allah Swt. Namun saja perbedaannya terletak pada
fungsinya; ilmu kauniyah berfungsi sebagai wasilah al-hayah, sedangkan ilmu tanziliyah berfungsi sebagai
minhaj al-hayah. Dari uraian ini nampaknya pandangan Ikhwan al-Shafa cukup baik untuk diterapkan di
lembaga pendidikan kita, karena Ikhwan al-Shafa mengangap penting terhadap kedua disiplin ilmu
tersebut. Dengan dua disiplin ilmu itu insya Allah kebahagiaan di dunia dan akhirat dapat tercapai.
5. Metode Pengajaran
Dalam pandangan Ikhwan al-Shafa menganggap metode bagian dari komponen yang dapat
menunjang untuk pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu menurut mereka seorang pendidik
harus memilih metode yang dianggap cocok untuk menyampaikan materi dan sesuai dengan kemampuan
peserta didik. Dalam hal ini Ikhwan al-shafa menekankan salah satu metode pembelajaran adalah metode
contoh dan tamsil (perumpamaan), sebab dengan metode ini peserta didik lebih cepat untuk
memahaminya. Sehingga peluang besar peserta didik itu dengan mudah untuk mengamalkannya.
Dalam proses pendidikan, metode pembelajaran yang ditawarkan oleh Ikhwan al-Shafa sangat baik
untuk diterapkan oleh para pendidik dalam mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Dan kalau kita
lihat sejarah, nampaknya keberhasilan Rasulullah Saw. dalam mendidik para sahabatnya, rupanya tidak
lepas dari keteladanan Rasulullah SAW itu sendiri.

12

BAB III
ANALISIS PERBANDINGAN
Dari

uraian

banyak

tentang

“Konsep

Pendidikan

Islam

Menurut Mohammad Natsir dan

Ikhwan al-Shafa”, maka dapat diambil point-point mendasar mengenai perbedaan atau persamaan dari ke
dua tokoh tersebut;
Pemikiran pendidikan Moh. Natsir ber- sifat akomodatif dan dapat berlaku di segala waktu dan
tempat. Idenya ini “ndak lapuak dek

hujan

jo

ndak

lakang

dek

paneh”. Konsep pendidikannya

mengakomodasi ke- pentingan manusia di dunia dan akhirat. Walaupun ide-idenya ini belum dapat diterapkannya pada saat beliau menekuni langsung dunia pendidikan karena situasi dan kondisi yang belum
kondusif, namun beliau telah mewariskan satu alternatif sistem pendidikan yang tidak ternilai harganya bagi
pendidikan Islam di Indonesia.
Hasil pemikiran M. Natsir ini sangat penting

dipertimbangkan

oleh

pemerintah dan pengelola

lembaga pendidikan swasta untuk diterapkan dengan alasan: 1) Masyarakat muslim telah mengalami kerugian besar selama ini akibat pengotak- otakan ilmu. 2) Dengan mewujudkan sistem pendidikan ini,
insyaallah akan dapat melahirkan cen- dikiawan yang ulama, ulama yang cedi- kiawan, serta umara yang
cendikiawan lagi ulama. 3) Untuk mengatasi dekadensi moral dan penguatan karakter peserta didik dengan
penggabungan materi ajar agama dengan umum secara seimbang dan proporsional.
Menurut M. Natsir Pendidikan harus dapat membawa manusia mencapai tujuan hidupnya, yaitu
menghambakan diri kepada Allah, berakhlakul karimah dan mendapat kehidupan yang layak di dunia.
Landasan pendidikan Islam adalah mengenal Tuhan, mentauhidkan Tuhan dan tidak menyekutukan
sedikitpun Allah kepada siapapun. Selain itu akhlakul karimah juga dijadikan sebagai landasan pendidikan
Islam. Relevansi Pemikiran Mohammad Natsir terhadap pendidikan di Indonesia sekarang ini, dengan bukti
adalah telah adanya sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Islam yang telah mengintegrasikan antara
pendidikan agama dan pendidikan umum, juga telah adanya koordinasi dari sekolah-sekolah dengan adanya
ujian secara bersam, baik itu Ujian Nasional maupun Ujian Sekolah.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Ikhwan al-Shafa merupakan persaudaraan suci yang
terdiri dari para ilmuwan dan filsuf muslim. Mereka bergerak secara rahasia dan memiliki tujuan politis
melakukan transformasi sosial, namun tidak melalui cararadikal-revolusioner, tetapi melalui cara
transformasi pola pikir masyarakat luas. Mereka sangat peduli dengan nasib Islam di zamannya.Kepedulian
tersebut terutama dalam pemikiran pendidikan, yang selanjutnya terefleksi dalam karya spektakulernya,
Rasa’il Ikhwan al-Shafa, sebuah karya dalam bentuk ensiklopedi yang di dalamnya terdapat beberapa
disiplin ilmu pengetahuan sekaligus kurikulum pendidikan.
Perhatian

Ikhwan

al-Shafa

terhadap

pendidikan

intelektual telah menyebabkan mereka

dikelompokkan ke dalam golongan rasional, namun pada hakikatnya mereka hanya bertujuan untuk
mengarahkan tindakan dan tingkah laku peserta didik. Hal itu didasarkan atas keyakinan bahwa akal yang
terlatih dan terbina dengan baik akan mampu mengarahkan dan mengendalikan tindak tanduk manusia
sesuai dengan fungsinya sebagai Khalifatullah. Perhatian Ikhwan al-Shafa terhadap pendidikan moral dan
13

keterampilan sesungguhnya tidak lebih kecil dibanding perhatian mereka terhadap pendidikan intelektual,
bahkan dapat dikatakan bahwa sasaran utama pendidikan Ikhwan al-Shafa adalah pendidikan moral.Dilihat
dari segi moral dan keterampilan, isi pendidikan yang diinginkan Ikhwan al-Shafa adalah moral dan
keterampilan yang sesuai dengan fungsi manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi.
Ikhwan al-Shafa adalah suatu perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang lebih banyak
memperhatikan pendidikan. Di antara kosep pendidikan yang ditawarkan oleh Ikhwan al-Shafa adalah: (a)
mencari dan menyampaikan ilmu kepada orang lain adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim; (b) setiap
pencinta ilmu harus memiliki beberapa sifat dan memenuhi beberapa syarat diantaranya, tawadhu, al-amalu
fil ‘Ilmi, dan katsrudz-dzikri annahu min ni’aamillah; (c) setiap pendidik harus memiliki beberapa sifat
diantaranya, kasih sayang terhadap peserta didik dan memiliki sifat sabar; (d) kurikulum pendidikan
harus memuat ilmu-ilmu yang bersifat tanziliyah dan ilmu-ilmu yang bersifat kauniyah; dan (e) dalam
proses pendidik, seorang pendidik perlu memilih metode pendidikan yang relevan dengan bahan ajar dan
kemampuan peserta didik. Salah satu metode pembelajaran yang ditawarkannya adalah metode keteladanan
dan perumpaman.
Konsep pendidikan yang ditawarkan Ikhwan al-Shafa tersebut rupanya masih relevan untuk di
terapkan dalam dunia pendidikan saat ini, karena konsep-konsep yang ditawarkannya dipandang dapat
memberikan pertimbangan-pertimbangan atau masukan-masukan yang positif khususnya bagi para pendidik
dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik.

14

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai penutup tulisan ini, dari uraian di atas dapat ditarik simpulan bahwa Ikhwan alShafa adalah suatu perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang lebih banyak
memperhatikan pendidikan. Di antara kosep pendidikan yang ditawarkan oleh Ikhwan al-Shafa
adalah: (a) mencari dan menyampaikan ilmu kepada orang lain adalah suatu kewajiban bagi setiap
muslim; (b) setiap pencinta ilmu harus memiliki beberapa sifat dan memenuhi beberapa syarat
diantaranya, tawadhu, al-amalu fil ‘Ilmi, dan katsrudz-dzikri annahu min ni’aamillah; (c) setiap
pendidik harus memiliki beberapa sifat diantaranya, kasih sayang terhadap peserta didik dan
memiliki sifat sabar; (d) kurikulum pendidikan harus memuat ilmu-ilmu yang bersifat tanziliyah dan
ilmu-ilmu yang bersifat kauniyah; dan (e) dalam proses pendidik, seorang pendidik perlu memilih
metode pendidikan yang relevan dengan bahan ajar dan kemampuan peserta didik. Salah satu metode
pembelajaran yang ditawarkannya adalah metode keteladanan dan perumpaman.
Konsep pendidikan yang ditawarkan Ikhwan al-Shafa tersebut rupanya masih relevan untuk di
terapkan dalam dunia pendidikan saat ini, karena konsep-konsep yang ditawarkannya dipandang
dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan atau masukan-masukan yang positif khususnya bagi
para pendidik dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik.
Sedangkan Konsep

Pendidikan Islam

Menurut Mohammad Natsir”, maka dapat disimpulkan

bahwa :
a. Pendidikan harus dapat membawa manusia mencapai tujuan hidupnya, yaitu menghambakan diri
kepada Allah, berakhlakul karimah dan mendapat kehidupan yang layak di dunia.
b. Landasan pendidikan Islam adalah mengenal Tuhan, mentauhidkan Tuhan dan tidak menyekutukan
sedikitpun Allah kepada siapapun. Selain itu akhlakul karimah juga dijadikan sebagai landasan
pendidikan Islam.
c. Relevansi Pemikiran Mohammad Natsir terhadap pendidikan di Indonesia sekarang ini, dengan bukti
adalah telah adanya sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Islam yang telah mengintegrasikan antara
pendidikan agama dan pendidikan umum, juga telah adanya koordinasi dari sekolah-sekolah dengan
adanya ujian secara bersam, baik itu Ujian Nasional maupun Ujian Sekolah.

15

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi,Abu dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, Jakarta PT Rieneka Cipta, 1997
Alavi,

Zianuddin, Pemikiran
Penerbit Angkasa, 2003

Pendidikan

Islam

Pada Abad Klasik dan Pertengahan, Bandung:

al-Nimr, Abdul Mun’iem, Sejarah dan Dokumen-Dokumen Syi’ah, Terj. Yayasan Alumni Timur
Tengah, Tanpa Penerbit, 1988
al-Shafa, Ikhwan, Risalat al-Jami’ah, (Damascus: Al-Tarqqi Press, 1994
Bakri, Sama’un, Menggagas Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005
Badiatul Roziqin, Badiatul Mukhlisin Junaidi dan Abdul Munif,
Yogyakarta, 2009, Hlm.221

101 Jejak Tokoh Islam, e-Nusantara,

Darajat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2006
Nata, Abudin. 2005, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,
Natsir, M. 1954, Capita Selekta, Jakarta: Bulan Bintang.
Natsir, M. 1988, Islam dan Akal Merdeka, Jakarta: Media Da’wah.

16