MAKALAH TEORI SOSIOLOGI KLASIK MAX WEBER

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sosiologi, sejak awal perkembangannya di permulaan abad kesembilan belas hingga
dewasa ini, telah mengalami perubahan yang terus menerus, bermula dari ilmu Auguste Comte
yaitu “Social Physics” yang kemudian dikenal dengan sosiologi, berkembang terus menerus
seiring dengan perubahan yang terjadi di masyarakat karena kita tahu bahwa objek studi
sosiologi adalah masyarakat yang sifatnya dinamis dan terus berkembang. Bahkan khusus
untuk sosiologi itu sendiri ada yang menyatakan bahwa ilmu ini adalah ilmu tentang krisis
sosial,

karena

sejak

pertumbuhannya

hingga perkembangannya dewasa ini sosiologi cenderung memperoleh bentuk-bentuk baru
bersamaan dengan krisis sosial yang ada. Perkembangan sosiologi ini tidak lepas dari tokohtokoh sosiologi yang ikut menyumbang ilmu atau teorinya untuk sosiologi salah satunya adalah
Max Weber yang terkenal dengan teori-teori sosiologi klasiknya yang menuai yaitu kontroversi
tentang etika protestan. Untuk itu kami ingin mengetahui sejauh mana Max Weber

menyumbang teori-teorinya untuk sosiologi dan mengetahui apa saja teori-teorinya seperti
tentang kelas, status, kekuasaan kemudian tentang rasionalitas dan yang terakhir adalah tentang
etika protestan dan kapitalisme.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Biografi Intelektual Max Weber?
2. Bagaimana Konsep Weber Tentang Kelas, Status Dan Kekuasaan?
3. Bagaimana Pemikiran Weber Tentang Rasionalitas Dan Tindakan Sosial?

C. TUJUAN
1. Untuk Memenuhi Tugas Final Mata Kuliah Teori Sosiologi Klasik
2. Untuk Memahami Konsep Weber Tentang Kelas, Status Dan Kekuasaan.
3. Untuk Memahami Pemikiran Weber Tentang Rasionalitas Dan Tindakan Sosial.
1

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Biografi Max Weber
Max Weber Lahir di Erfurt, Jerman pada 21 April 1864, dan meninggal di Munich


Jerman pada 14 Juni 1920. Ayahnya adalah seorang birokrat yang menempati posisi setrategis
dalam pemerintahan, sedang ibunya adalah seorang penganut calvinisme yang taat. Kedua
pribadi orang tuanya tersebut secara tak langsung—ditengarai—memberi pengaruh yang besar
dalam kehidupan Weber berikut karya-karya intelektualnya.
Pada usia 18 tahun, Weber meninggalkan rumah untuk sementara waktu dan melanjutkan
studinya di Universitas Heidelberg. Di sana, secara sosial ia berkembang layaknya karir sang
ayah dalam organisasi. Dengan cara seperti ini, ia telah mengikuti jejak ayahnya dalam bidang
hukum. Setelah 3 Tahun belajar, Weber meninggalkan universitas tersebut, dan pada tahun
1884, ia kembali ke rumah orang tuanya untuk melanjutkan studi di Universitas Berlin.
Weber mendapatkan gelar doktor dari Universitas Berlin, menjadi ahli hukum dan salah satu
dosen di universitas tersebut. Selain itu, ia juga mendalami bidang ekonomi, sejarah dan
sosiologi. Pada tahun 1896, ketekunannya dalam bekerja menghantarkan dirinya pada posisi
profesor ekonomi Universitas Heidelberg. Mengikuti jejak ibunya, Weber menjadi seorang
yang asketis dan rajin.
Weber juga menjadi salah satu pendiri German Sociological Society (1910). Rumahnya
menjadi salah satu tempat diskusi bagi para intelektual seperti George Simmel, Robert Michels
dan George Lucas. Selain itu, Weber juga aktif secara politik dan menulis banyak esai tentang
sejumlah isu pada masanya. Adapun beberapa tema yang menjadi kajian utama Weber dalam
karya-karyanya antara lain; tindakan sosial, konsep mengenai wewenang (otoritas), birokrasi,

protestanisme (calvinisme) serta kapitalisme.
Selama hidupnya Max Weber telah banyak menghasilkan karya namun berikut adalah
karya-karya utamanya : Methodological Essays (1902) , The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism (1902-4) , Economi and Society (1910-14) , Sociology of Religion (1916)

2

B.

Pemikiran Weber tentang Kelas, Status dan Kekuasaan.
Dimulai dengan kelas, kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang

menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan.
Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada
penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar
komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam
hierarkhi ekonomi.Weber berpegang pada konsep orientasi tindakannya dengan menyatakan
bahwa kelas bukanlah komunitas, kelas adalah sekelompok orang yang situasi bersama mereka
dapat menjadi, dan kadang-kadang sering kali, basis tindakan kelompok. Weber menyatakan
bahwa “situasi kelas” hadir ketika telah terpenuhinya syarat-syarat tertentu.

Berlawanan dengan kelas, biasanya status merujuk pada komunitas. “situasi status”
didefinisikan Weber sebagai “setiap komponen tipikal kehidupan manusia yang ditentukan
oleh estimasi sosial tentang derajat martabat tertentu, positif atau negatif” (1921/1968:932).
Status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian
status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama. Sudah jadi semacam
patokan umum kalo suatu status dikaitkan dengan gaya hidup. Status terkait dengan konsumsi
barang yang dihasilkan, sementara itu kelas terkait dengan produksi ekonomi. Mereka yang
menempati kelas atas mempunyai gaya hidup berbeda dengan yang ada di bawah. Dalam hal
ini, gaya hidup, atau status, terkait dengan situasi kelas. Namun, kelas dan status tidak selalu
terkait satu sama lain.
Kekuasaan menurut Weber adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak meskipun
sebenarnya mendapat tentangan atau tantangan dari orang lain. Max Weber mengemukakan
beberapa bentuk wewenang

dalam hubungan manusia yang juga menyangkut hubungan

dengan kekuasaan. Menurut Weber, wewenang adalah kemampuan untuk mencapai tujuan–
tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota–anggota masyarakat. Sedangkan
kekuasaan dikonsepsikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk
mempengaruhi orang lain tanpa menghubungkannya dengan penerimaan sosialnya yang

formal. Dengan kata lain, kekuasaan dalam pengertian yang luas adalah kemampuan untuk
mempengaruhi atau menentukan sikap orang lain sesuai dengan keinginan si pemilik
kekuasaan.

3

Weber membagi wewenang ke dalam tiga tipe berikut.
1.

Ratonal-legal authority, yakni bentuk wewenang yang berkembang dalam kehidupan

masyarakat modern. Wewenang ini dibangun atas legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak
yang berkuasa merupakan haknya. Wewenang ini dimiliki oleh organisasi – organisasi,
terutama yang bersifat politis.
2.

Traditional authority, yakni jenis wewenang yang berkembang dalam kehidupan

tradisional. Wewenang ini diambil keabsahannya berdasar atas tradisi yang dianggap suci.
Jenis wewenang ini dapat dibagi dalam dua tipe, yakni patriarkhalisme dan patrimonialisme.

Patriarkhalisme adalah suatu jenis wewenang di mana kekuasaan didasarkan atas senioritas.
Mereka yang lebih tua atau senior dianggap secara tradisional memiliki kedudukan yang lebih
tinggi. Berbeda dengan patriarkhalisme, patrimonialisme adalah jenis wewenang yang
mengharuskan seorang pemimpin bekerjasama dengan kerabat – kerabatnya atau dengan orang
– orang terdekat yang mempunyai loyalitas pribadi terhadapnya. Dalam patriarkhalisme dan
patrimonialisme ini, ikatan – ikatan tradisional memegang peranan utama. Pemegang
kekuasaan adalah mereka yang dianggap mengetahui tradisi yang disucikan. Penunjukkan
wewenang lebih didasarkan pada hubungan – hubungan yang bersifat personal/pribadi serta
pada kesetiaan pribadi seseorang kepada sang pemimpin yang terdahulu. Ciri khas dari kedua
jenis wewenang ini adalah adanya sistem norma yang diangap keramat yang tidak dapat
diganggu gugat. Pelanggaran terhadapnya akan menyebabkan bencana baik yang bersifat gaib
maupun religious.
Contoh patriarkhalisme misalnya wewenang ayah, suami anggota tertua dalam rumah
tangga, anak tertua terhadap anggota yang lebih muda, kekuasaan pangeran atas pegawai
rumah atau istananya, kekuasaan bangsawan atas orang yang ditaklukannya.
Ciri khas dari wewenang baik patriarkhalisme maupun patrimonialisme adalah adanya
system norma yang dianggap keramat yang tidak dapat diganggu gugat. Pelanggaran atasnya
akan menyebabkan adanya bencana baik yang bersifat gaib maupun yang bersifat religious. Si
pemegang kekuasaan dari wewenang sedemikian ini dalam merumuskan keputusankeputusannya adalah atas dasar pertimbangan pribadinya dan bukan atas dasar pertimbangan
fungsinya. Dalam pengertian ini wewenang tradisional sedemikian ini lebih bersifat irrasional.

3. Charismatic authority, yakni wewenang yang dimiliki seseorang karena kualitas yang luar
biasa yang dimilikinya. Dalam hal ini, kharismatik harus dipahami sebagai kualitas yang luar
4

biasa, tanpa memperhitungkan apakah kualitas itu sungguh – sungguh ataukah hanya
berdasarkan dugaan orang belaka. Dengan demikian, wewenang kharismatik adalah
penguasaan atas diri orang – orang, baik secara predominan eksternal maupun secara
predominan internal, di mana pihak yang ditaklukkan menjadi tunduk dan patuh karena
kepercayaan pada kualitas luar biasa yang dimiliki orang tersebut. Wewenang kharismatik
dapat dimiliki oleh para dukun, para rasul, pemimpin suku, pemimpin partai, dan sebagainya.

C. Pemikiran Weber tentang Rasionalitas dan Tindakan Sosial.
Weber mendefinisikan rasionalitas, ia membedakan dua jenis rasionalitas-rasionalitas
sarana-tujuan dan rasionalitas nilai. Namun, konsep-konsep tersebut merejuk pada tipe
tindakan. Itu semua adalah dasar, namun tidak sama dengan pemahaman tentang rasionalisasi
skala-luas yang dikemukakan Weber. Weber tidak terlalu tertarik pada orientasi tindakan yang
terfragmentasi: perhatian pokoknya adalah keteraturan dan pola-pola tindakan dalam
peradaban, instistusi, organisasai, strata, kelas dan kelompok.
Tipe-tipe rasionalitas:
1.


Tipe rasionalitas praktis, yang didefinisikan oleh Karl Berg sebagai “setiap jalan hidup

yang memandang dan menilai aktivitas-aktivitas duniawi dalam kaitannya dengan kepentingan
indidvidu yang murni, fragmatis dan egoistis” (1980: 1151). Tipe rasionalitas ini muncul
seiring dengan longgarnya ikatan magi primitif, dan dian terdapat dalam setiap peradaban dan
melintasi sejarah: jadi, dia tidak terbatas pada barat (oksiden) modern.
2. Rasionalitas teoritis melibatkan upaya kognitif untuk menguasai realitas melalui konsepkonsep yang makin abstrak dan bukannya melalui tindakan. Rasionalitas ini melibatkan proses
kognitif abstrak.
3. Rasionalitas substantif (seperti rasionalitas praktis, namun tidak seperti rasionalitas teoritis)
secara langsung menyusun tindakan-tindakan ke dalam sejumlah pola melalui kluster-kluster
nilai. Rasionalitas substantif melibatkan sarana untuk mencapai tujuan dalam konteks sistem
nilai. Suatu sitem nilai (secara sunstantif) tidak lebih rasional daripada sistem nilai lainnya.
Jadi, tipe rasioanalitas ini juga bersifat lintas peradaban dan lintas sejarah, selam ada postulat
nilai yang konsisten.

5

4.


rasionalitas formal, yang melibatkan kalkulasi sarana-tujuan. Meskipun seluruh tipe

rasionalitas lain juga bersifat lintas peradaban dan melampaui sejarah, rasionalitas formal
hanya muncul di Barat seiring dengan lahirnya industrialisasi.
Rasionalitas formal dan substantif. Rasionalitas formal dapat didefinisikan berdasarkan
enam ciri utama. Pertama, struktur dan institusi rasional formal menekankan kalkulabilitas.
Kedua, fokus pada efisiensi, pencarian cara terbaik untuk mencapai tujuan tertentu. Ketiga,
perhatian besar pada terjaminnya prediktibilitas. Keempat, sistem rasional formal secara
progresif mengurangi teknologi manusia dan pada akhirnya menggantikan teknologi manusia
dengan teknologi nonmanusia. Kelima, sistem rasional formal berusaha melakukan kontrol atas
ketidakpastian. Akhirnya, sistem rasional cenderung mengandung serangkaian konsekuensi
irasional bagi orang yang terlibat didalamnya dan bagi sistem itu sendiri, maupun bagi
masyarakat yang lebih luas. Rasionalitas formal beelawanan dengan semua tipe rasionalitas
lain, terutama bertentangan dengan rasionalitas substantif. Weber percaya bahwa konflik antara
kedua jenis rasionalitas tersebut memainkan peran penting dalam pemahaman terhadap proses
rasionalisasi di Barat.
Rasionalisasi dalam berbagai setting sosial. Ketika kita bergerak dari suatu setting ke
setting lainnya, seperti Weber, kadang-kadang kita memusatkan perhatian pada rasionalisasi
secara umum dan pada kesempatan lain memusatkan perhatian pada tipe rasionalisasi yang
khusus.

Beberapa masalah akan kita hadapi dalam menganalisa tindakan sosial menurut titik
pandangan ini. Para ahli filsafat sosial, pujangga, dan pengamat sosial lainnya berbeda secara
mendalam dalam memberikan prioritas pada pikiran, intelek, dan logika (kegiatan otak) atau
pada hati (seperti perasaan, sentimen, emosi) kalau menjelaskan perilaku manusia. Sejauh
mana perilaku manusia itu bersifat rasional? Tak seorangpun berbuat sesuatu tanpa pikiran,
tetapi pikiran mungkin hanya sekedar keinginan untuk menyatakan suatu perasaan, dan bukan
suatu perhitungan yang sadar atau logis. Kebanyakan kita heran mengapa kadang-kadang
pikiran kita tidak mampu membangkitkan motivasi atau mendorong kita untuk bertindak.
Kadang-kadang mungkin juga kita berpikir bahwa tindakan orang lain itu sama sekali tidak
masuk akal, hanya menjadi berarti apabila orang itu menjelaskan alasan bagi tindakan itu—
6

mesipun kriteria yang kita gunakan untuk penilaian seperti itu mungkin agak longgar.
Misalnya, mungkin kelihatannya masuk akal bahwa seseorang membayar dengan sangat mahal
sebuah mobil besar yang kurang cepat apabila kita mengetahui bahwa ada temannya yang mati
ketika mengendarai mobil kecil yang kurang bertenaga. Tetapi apabila orang-orang lalu
memberikan pembenaran-pembenaran seperti itu, kita sepertinya heran kalau pembenaran
seperti itu sebenarnya merupakan rasionalisasi yang bersifat ex post facto tentang tindakan,
yang diberikan dengan alasan-alasan yag sangat berbeda. Pareto, misalnya, melihat
kebanyakan tindakan itu bersifat nonlogis (muncul dari perasaan), dan yang lalu

dirasionalisasikan menurut motif-motif yang dapat diterima secara sosial.
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Weber tentang tindakan sosial.
Menurut Kamanto Sunarto yang dikutip dalam buku pengantar sosiologi, tindakan sosial
menurut Max Weber, “Tindakan sosial adalah tindakan manusia yang dapat mempengaruhi
individu-individu lainnya dalam masyarakat serta mempunyai maksud tertentu, suatu tindakan
sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan
berorientasi pada perilaku orang lain”.
Max Weber membedakan tindakan sosial kedalam 4 kategori
1. Zweek Rational
Yaitu tindakan yang dilaksanakan setelah melalui tindakan matang mengenai tujuan dan cara
yang akan ditempuh untuk meraih tujuan itu. Jadi, Rasionalitas instrumental adalah
tindakan yang diarahkan secara rational untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan diterapkan
dalam suatu situasi dengan suatu pluralitas cara-cara dan tujuan-tujuan dimana sipelaku bebas
memilih cara-caranya secara murni untuk keperluan efisiensi.
2. Wert Rational
Tindakan sosial jenis ini hampir serupa dengan kategori atau jenis tindakan sosial rasional
instrumental, hanya saja dalam werk rational tindakan-tindakan sosial ditentukan oleh
pertimbangan atas dasar keyakinan individu pada nilai-nilai estetis, etis dan keagamaan,
manakala cara-cara yang dipilih untuk keperluan efisiensi mereka karena tujuannya pasti yaitu
keunggulan.
3. Affectual Rational

7

Tindakan ini dilakukan seseorang berdasarkan perasaan yang dimilikinya, biasanya timbul
secara spontan karena mengalami suatu kejadian yang sebagian besar dikuasai oleh perasaan
atau emosi tanpa perhitungan dan pertimbangan yang matang.

4. Tradisional Rational
Tindakan sosial semacam ini bersifat rasional, namun sipelaku tidak lagi memperhitungkan
proses dan tujuannya terlebih dahulu, yang dijadikan pertimbangan adalah kondisi atau tradisi
yang sudah baku dan manakala baik itu cara-caranya dan tujuan-tujuannya adalah sekedar
kebiasaan.

8

BAB III
PENUTUP
A.


KESIMPULAN
Kelas

Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan
yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber
melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan
modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan
tenaga kerja.


Status

Status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian
status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama. Sudah jadi semacam
patokan umum kalo suatu status dikaitkan dengan gaya hidup. Status terkait dengan konsumsi
barang yang dihasilkan, sementara itu kelas terkait dengan produksi ekonomi. Mereka yang
menempati kelas atas mempunyai gaya hidup berbeda dengan yang ada di bawah.


Kekuasaan

Kekuasaan dikonsepsikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk
mempengaruhi orang lain tanpa menghubungkannya dengan penerimaan sosialnya yang
formal. Dengan kata lain, kekuasaan dalam pengertian yang luas adalah kemampuan untuk
mempengaruhi atau menentukan sikap orang lain sesuai dengan keinginan si pemilik
kekuasaan.


Pemikiran Weber tentang Rasionalitas dan Tindakan Sosial.
Weber mendefinisikan rasionalitas, ia membedakan dua jenis rasionalitas-

rasionalitas sarana-tujuan dan rasionalitas nilai. Namun, konsep-konsep tersebut merejuk pada
tipe tindakan. Itu semua adalah dasar, namun tidak sama dengan pemahaman tentang
rasionalisasi skala-luas yang dikemukakan Weber. Weber tidak terlalu tertarik pada orientasi
tindakan yang terfragmentasi: perhatian pokoknya adalah keteraturan dan pola-pola tindakan
dalam peradaban, instistusi, organisasai, strata, kelas dan kelompok.


Tipe-tipe rasionalitas:
9

1. Rasionalitas praktis
2. Rasionalitas teoritis
3. Rasionalitas substantive
4. Rasionalitas formal
Menurut Max Weber tindakan sosial adalah tindakan manusia yang dapat mempengaruhi
individu-individu lainnya dalam masyarakat serta mempunyai maksud tertentu, suatu tindakan
sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan
berorientasi pada perilaku orang lain.
Max Weber membedakan tindakan sosial kedalam 4 kategori:
1. Zwerk Rational yaitu tindakan yang dilaksanakan setelah melalui tindakan matang
mengenai tujuan dan cara yang akan ditempuh untuk meraih tujuan itu.
2. Wert Rational yaitu tindakan-tindakan sosial ditentukan oleh pertimbangan atas dasar
keyakinan individu pada nilai-nilai estetis, etis dan keagamaan, manakala cara-cara yang
dipilih untuk keperluan efisiensi mereka karena tujuannya pasti yaitu keunggulan.
3. Tindakan afektif yaitu tindakan ini terjadi dibawah pengaruh keadaan emosional
seseorang.
4. Tindakan sosial yang bersifat Tradisional yaitu tindakan yang dilakukan dibawah pengaruh
adat dan kebiasaan. Hal tersebut dilakukan secara sadar dan berdasarkan pada tindakan yang
tradisional, bahkan tindakan tersebut mengandung nilai subjektif dan tidak dapat dipahami.

10

DAFTAR PUSTAKA

Ritzer, George dan Douglas J Goodman. 2009. “ Teori Sosiologi”. Yogyakarta : Kreasi Wacana
Ritzer, G. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Terjemahan Alimandan.
Jakarta:Rajawali.
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
http: kekuasaan-kewenangan-dan-legitimasi.html
http://www.kompasiana.com/raudaaspalbuton/analisis-tokoh-sosiologi-maxweber_5535a76e6ea8348216da431c
https://id.wikipedia.org/wiki/Maximilian_Weber

11