ketentuan dasar Akuntansi Pendapatan doc
Akuntansi Pendapatan: Ketentuan Dasar
Pengakuan Pendapatan
Akuntansi pendapatan sekilas nampak sederhana, tetapi menjadi makin rumit ketika
didalami. Dalam menetukan kapan pendapatan (revenue) bisa diakui, meskipun PSAK
telah mengikuti IFRS, pada kenyataannya masih banyak perusahaan yang betah
menggunakan panduan PSAK-lama yang berkiblat ke US-GAAP. Apakah itu salah? Nanti
kita jawab. Yang ingin saya bahas dalam tulisan ini adalah ketentuan dasar pengakuan
pendapatan.
Secara umum, prinsip dan prosedur dalam akuntansi—yang kemudian dijabarkan dalam standarstandar, dibuat agar laporan keuangan perusahaan menjadi “adil/fair” bagi semua pihak yang
berkepentingan (stakeholders).
‘Fair’ dalam hal ini mengandung makna: tidak ‘diakali’. Apa ya kata yang lebih tepat? Ya
intinya tidak dimanipulasi. Kesannya koq jadi negative ya? Sebenarnya saya ingin
menghaluskannya, tetapi itulah kata yang paling tepat menurut saya.
Mau disampaikan secara halus (dengan bahasa normative yang cederung bersayap dan
membingugka) atau disampikan secara vulgar (versi saya), pada kenyataanya ketentuan
mengenai pengakuan pendapatan lebih banyak dimaksudkan untuk mengurangi potensi
manipulasi (abuse).
Manipulasi seperti apa?
Pendapatan diakui lebih besar dibandingkan kenyataannya—agar perusahaan kelihatan
lebih profitable (ini tidak fair bagi investor dan kreditor)
Pendapatan diakui lebih kecil dari kenyataannya—agar perusahaan kelihatan tidak
profitable (ini tidak fair bagi pemerintah yang diwakili oleh Ditjen Pajak).
Pendapatan diakui lebih awal—untuk tujuan yang sama seperti yang pertama
Pendapatan diakui lebih belakangan—untuk tujuan yang sama seperti yang kedua
Dan tindakan-tindakan manupulatif lainnya, termasuk tindakan manajemen yang memanipulasi
pengakuan pendapatan untuk memperoleh penilian kinerja tinggi dari pemegang saham sehingga
menerima bonus atau bentuk reward lainnya.
Itulah yang ingin dicegah oleh regulator dan pembuat standar, sehingga perlu dibuatkan
ketentuan pasti mengenai pengakuan pendapatan.
Sejak dahulu, akuntansi telah menentukan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan ketika
menjalankan proses akuntansi, termasuk pengakuan pendapatan.
Dalam Prinsip-prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU) atau GAAP misalnya,
pengakuan pendapatan hendaknya mempertimbangkan “prinsip kehati-hatian” (conservatism
principle). Prinsip ini mensyaratkan agar:
Tidak mengakui pendapatan yang belum pasti atau masih berupa potensi, di satu sisinya;
dan
Mengakui biaya meskipun masih belum pasti atau masih berupa potensi, di sisi lainnya.
Mengapa perlu memperhatikan prinsip kehati-hatian? Ya untuk mencegah manipulasi-manipulasi
tadi itu.
Seiring perkembangan waktu, prinsip kehati-hatian dianggap sudah usang, sudah tidak
relevan lagi, sehingga oleh IFRS diperkenalkan prinsip baru yang disebut dengan “prudent”—
sebagai pengganti “conservatism principle.” Kata ‘prudence’ (benda) atau “prudent” (sifat)
bukan perbendaharaan baru dalam kosa-kata bahasa Inggris. Secara harfiah, prudent
mengandung makna “bijak” dan prudence artinya kebijaksanaan.
Apa yang dimaksud dengan “bijak” alias prudent dalam IFRS—terutama sehubungan
dengan pengakuan pendapatan?
Ada yang mengatakan prudent artinya: “pendapatan boleh diakui meskipun masih berupa
potensi, sepanjang memenuhi ketentuan pengakuan pendapatan (revenue recognition) dalam
IFRS”.
Seperti apa ketentuan IFRS mengenai pengakuan pendapatan? Benarkah prudence? Benarkah
lebih bijak jika dibandingkan dengan prinsip kehati-hatian (conservatism principle)? Mari kita
lihat sama-sama….
Secara garis besar, Kerangka Kerja IASB (cikal-bakalnya IFRS) mengikutsertakan “gain” dan
“revenue” sebagai bagian dari “income”.
Dalam IAS 18, revenue itu sendiri didefinisikan sebagi pendapatan yang timbul dari aktivitas
normal suatu entitas—baik perseorang atau badan usaha yang melakukan aktivitas usaha—dalam
berbagai varian, mungkin disebut:
Penjualan;
Fee;
Bunga;
Dividend;
Royalti
Mengenai besarnya pendapatan yang diakui, IAS 18 menyatakan bahwa, pendaatan diukur
pada nilai wajar piutang atau kemungkinan pendapatan yang diterima, setelah dikurangi diskon
maupun potongan (rebate) yang diberikan kepada pembeli atau pelanggan.
Kapan pengakuan pendapatan dilakukan, menurut IFRS? Menurut IAS 18, pendaptan diakui
saat risiko yang melekat pada barang/jasa (yang diperjualbelikan) berpindah ke pembeli atau
pengguna jasa.
Lebih rinci, mengenai saat pengkuan pendapatan, IFRS memberikan 2 ketentuan utama
dan beberapa ketentuan tambahan, sebagai berikut:
1. Pengakuan Pada Titik Penyerahan (at point of delivery) – Perusahaan atau seseorang hanya
mengakui pendapatan ketika barang/jasa diserahkan ke pembeli atau pelanggan. Misalnya:
Pedangan eceran (retail) mengakui pendapatan saat barang diserahkan ke pembeli yang
biasanya bersamaan dengan proses pembayaran di kasir—sebab, jika barang itu rusak
atau hilang setelah pembeli pergi dari kasir, risiko tersebut sudah menjadi tanggungjawab
pembeli itu sendiri.
Perusahaan eksportir yang menggunakan kondisi FOB, mengakui pendapatan ketika
barang sudah berada di atas kapal laut atau pesawat udara pengangkut barang—sebab,
dalam kondisi ‘Free on Board (FOB), tanggungjawab eksportir berakhir hanya sampai
barang berada di atas kapal/pesawat. Jika ada kehilangan atau kerusakan setelahnya,
sudah menjadi risiko pembeli.
2. Pengkuan Pada Saat Pembayaran (at time of payment) – Bisa dibilang prosedur yang kedua
ini merupakan penyempurna prosedur yang pertama di atas. Di sini disebutkan bahwa: meskipun
barang/jasa telah diserahkan secara penuh (dan risiko yang melekat pada barang/jasa telah
berpindah ke pembeli), jika kepastian pembayaran belum diperoleh, maka pendapatan belum
bisa diakui.
Misalnya:
Sebuah perusahaan batako menngirimkan batako ke pelanggannya (sebuah toko bahan
bangunan.) Jika si perusahaan batako tidak memperoleh keyakinan mengenai pembayaran yang
akan diterima, maka perusahaan itu tidak bisa mengakui penyerahan tersebut sebagai pendapatan
—meskipun barangnya telah berpindah tangan.
Menurut saya, ini agak membingungkan. Penjualan kredit macam apapun, tidak mengandung
keyakinan seratus persen mengenai kepastian pembayaran yang akan diterima. Jika salah
diartikan, aturan yang kedua ini ‘seolah-olah’ tidak mengijinkan adanya pengakuan pendapatan
untuk penjualan kredit, seolah-olah sistim akuntansi akrual sudah tidak berlaku lagi—digantikan
oleh cash-basis.
TETAPI saya yakin maksudnya tidak demikian. Sayangnya, sampai saat ini saya belum
menemukan penjelasan mengenai batasan pasti sehubungan dengan prosedur pengakuan
pendapatan yang kedua (at time of payment) ini.
Dibandingkan menggunakan istilah “saat pembayaran” (at time of payment)—yang cenderung
disalahartikan sebagai penerimaan kas, saya lebih suka menggunakan istilah “saat komitmen
pembayaran” (at time of pay-commitment)—yang disatu sisinya tetap menekankan pentingnya
kepastian (melalui komitmen yang jelas) tanpa potensi bias makna di sisi lainnya.
Dalam kasus pedagang batako tadi misalnya; tanpa dipesan dan tanpa komitmen (janji
membayar) dari toko bangunan, saya rasa si perusahaan batako tak akan mengirimkan barangnya
begitu saja. Atau untuk skala yang lebih besar, perusahaan eksportir tidak mungkin mengirimkan
barang ke pelanggannya di luar negeri sana, tanpa komitmen membayar yang pasti.
Disamping 2 ketentuan utama tadi, IFRS juga menyertakan beberapa ketentuan tambahan
—yang mungkin membuat ketetuan pengakuan pendapatan versi IFRS ini menjadi lebih
gamblang. Dalam ketentuan tambahan, pendapatan dapat diakui oleh seorag penjual barang/jasa
bila:
1. Tidak Ada Kewajiban Membantu Pembeli Untuk Menjual – Penjual bisa mengakui
pendapatan bila tidak memiliki kewajiban untuk membantu pembelinya dalam menjual kembali
barangnya kepada pihak ketiga. Dengan kata lain, kewajiban berakhir saat barang diserahkan ke
pembeli. Dalam kasus konsinyasi misalnya, suatu perusahaan belum bisa mengakui pendapatan
pada saat mengirimkan barangnya ke toko, melainkan masih harus menunggu hingga pihak
tokonya berhasil menjual barang tersebut kepada konsumen akhir.
2. Kerusakan Barang Tidak Mempengaruhi Komitmen Pembayaran – Penjual bisa
mengakui pendapatan bila kerusakan setelah penyerahan tidak mempengaruhi komitmen pembeli
untuk membayar secara penuh. Dalam kasus penjualan barang bergaransi, penjual bisa memilih
salah satau cara berikut ini:
(a) Pendapatan diakui ketika barang diserahkan, asalkan porsi ‘potensi-beban-atas-garansi’
sudah dialokasikan ke dalam harga jual dan mengakui kewajiban garansi (secara terpisah) saat
pengakuan pendapatan dilakukan. Saya pikir, ini bisa dilakukan dengan memasukan jurnal:
[Debit]. Piutang = 5,000,000
[Kredit]. Penjualan = 5,000,000
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = 3,000,000
[Debit]. Biaya Sparepart Diakrualkan = 500,000 (karena belum pasti ada klaim garansi)
[Kredit]. Persediaan = 3,000,000
[Kredit]. Kewajiban Kontinjensi – Garansi = 500,000 (cadangan kewajiban bila garansi di klain)
Atau
(b) Pendapatan diakui setelah masa garansi berakhir, sehingga ketahuan berapa porsi garansi
yang harus dibebankan.
3. Transaksi Jual-beli Harus Dengan Entitas Lain – Dalam pengertian tidak memiliki
hubungan istimewa (misal: perusahaan induk dengan cabang). Transaksi jual-beli antara
perusahaan induk dengn cabang dianggap perdangan dalam perusahaan (inter-company) dan
harus dieliminasi dari laporan keuangan.
Nah, bagaimana menurut anda, apakah ketentuan IFRS ini bisa disebut ‘prudent’? Apakah
lebih bijak jika dibandingkan prinsip kehati-hatiannya GAAP?
Sambil menunggu pertimbangan anda, saya sangat tertarik terhadap ketentuan pengakuan
pendapatan yang diterapkan di Amerika Serikat, terutama sekali klausul pengakuan “Recognition
When Customer Acceptance is Secured” sebagai bentuk konkret penerapan prinsip kehati-hatian
di AS sana.
Security Exchange Commission (SEC)—Bappepam-nya AS—menerbitakan “Staff Accounting
Bulletin” (SAB) No. 101 untuk mencegah potensi manipulasi sehubungan dengan pengakuan
pendapatan oleh perusahaan publik di negara tersebut.
Di bawah ketentuan SAB 101, transaksi penjualam yang mengandung klausul konfirmasi
penerimaan (approval) baru boleh diakui sebagai pendapatan setelah konfirmasi penerimaan di
peroleh.
Misalnya: Sebuah perusahaan di Chicago mengirimkan barang ke salah satu pelanggannya di
Indonesia dengan ketentuan: pelanggan akan melakukan inspeksi terhadap kwalitas barang
ketika tiba di pelabuhan—bila tidak sesuai kesepakatan maka barang akan dikembalikan.
Dengan klausul tersebut, penjual barang yang ada di Chicago baru boleh mengakui pendapatan
setelah perusahaan di Indonesia selesai melakukan inspeksi dan menyatakan menerima
pengiriman barang tersebut.
Intinya, sama saja: KOMITMEN
Sekalilagi, menurut anda apakah ketentuan IFRS di atas bisa dibilang prudent (lebih bijak)
jika dibandingkan prinsip kehati-hatinnya GAAP? (silahkan sampaikan pendapatnya via ruang
komentar du ujung halaman ini)
Di luar prudent atau tidak, daripada menggunakan aturan ‘mbulet-njlimet’ yang
membingungkan, saya lebih suka menggunakan “HAK” sebagai patokan dasar:
Pendapatan diakui bila sudah menjadi ‘HAK’.
Kapan menjadi HAK?
Pendapatan Menjadi HAK ketika kewajiban menyerahkan barang/jasa telah ditunaikan dan
komitmen pembayaran telah diperoleh sesuai kesepakatan.
Menurut saya itu saja. Jauh lebih sederhana tanpa menimbulkan kebingungan.
Bagaimanapun juga, ketika terjadi sengketa—dimana pembeli melakukan wan-prestasi
(mengingkari janjinya untuk membayar), yang menjadi acuan dasar penyelesaian tetap saja
komitmen yang sah menurut peraturan dan perundang-undangan, bukan parameter-parameter di
luar itu. Dalam pengertian, hukumlah yang menjamin ‘hak’ itu mendekati pasti akan diterima—
sepanjang kewajiban menyerahkan barang/jasa telah ditunaikan.
“Lalu mana yang benar? Mana yang diikuti?” Mungkin ada yang berpikir demikian.
Tidak ada yang salah atau benar dalam akuntansi—termasuk perlakuan pendapatan.
Untuk perusahaan-perusahaan yang berstatus publik (terbuka) atau skalanya sudah
besar—apalagi yang membuka diri untuk investor atau partner bisnis antar-negara, tentu
mengikuti ketentuan IFRS menjadi krusial, sehingga keterterimaan di kancah global
menjadi lebih tinggi.
Sedangkan untuk perusahaan berstatus non-publik dengan skala kecil hingga
menengah, saya selalu menyarankan agar tidak usah terlalu ambil-pusing mengenai
perlakuan akuntansi (termasuk akuntansi pendapatan)—apakah perlu mengikuti IFRS
atau tidak.
Situasi yang paling sering dihadapi oleh akuntan yang bekerja di dalam perusahaan yaitu:
terjebak dalam situasi antara memilih mengikuti setiap perkembangan standar akutansi (yang
berubah dari waktu-ke-waktu) DAN efektifitas fungsi akuntansi (yang mestinya menjadi alat
yang mempermudah operasional perusahaan, bukan menjadi beban apalagi menghambat.)
Mengikuti perkembangan standar itu penting, tetapi jangan sampai tenaga dan sumberdaya habis
terkuras untuk hal-hal yang sifatnya tidak incremental.
Jalan tengah paling bijak, menurut saya, adalah mengikuti yang dirasa bisa diikuti, bersifat
penting, memberi nilai tambah, dan bisa menjadi piranti untuk meningkatkan profitabilitas
perusahaan yang se-real-realnya. Buat saya pibadi, yang terpenting masih patuh terhadap prinsip
dan aturan dasar akuntansi, rasional, mudah dipahami, serta tidak dimaksudkan untuk
memanipulasi atau mengelabui pihak lain. Selebihnya, saya memilih fokus pada usaha-usaha
untuk membuat nilai tambah, membuat perusahaan menjadi lebih profitable, buka peluang kerja
yang lebih banyak dan sejahterakan orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Pengakuan Pendapatan
Akuntansi pendapatan sekilas nampak sederhana, tetapi menjadi makin rumit ketika
didalami. Dalam menetukan kapan pendapatan (revenue) bisa diakui, meskipun PSAK
telah mengikuti IFRS, pada kenyataannya masih banyak perusahaan yang betah
menggunakan panduan PSAK-lama yang berkiblat ke US-GAAP. Apakah itu salah? Nanti
kita jawab. Yang ingin saya bahas dalam tulisan ini adalah ketentuan dasar pengakuan
pendapatan.
Secara umum, prinsip dan prosedur dalam akuntansi—yang kemudian dijabarkan dalam standarstandar, dibuat agar laporan keuangan perusahaan menjadi “adil/fair” bagi semua pihak yang
berkepentingan (stakeholders).
‘Fair’ dalam hal ini mengandung makna: tidak ‘diakali’. Apa ya kata yang lebih tepat? Ya
intinya tidak dimanipulasi. Kesannya koq jadi negative ya? Sebenarnya saya ingin
menghaluskannya, tetapi itulah kata yang paling tepat menurut saya.
Mau disampaikan secara halus (dengan bahasa normative yang cederung bersayap dan
membingugka) atau disampikan secara vulgar (versi saya), pada kenyataanya ketentuan
mengenai pengakuan pendapatan lebih banyak dimaksudkan untuk mengurangi potensi
manipulasi (abuse).
Manipulasi seperti apa?
Pendapatan diakui lebih besar dibandingkan kenyataannya—agar perusahaan kelihatan
lebih profitable (ini tidak fair bagi investor dan kreditor)
Pendapatan diakui lebih kecil dari kenyataannya—agar perusahaan kelihatan tidak
profitable (ini tidak fair bagi pemerintah yang diwakili oleh Ditjen Pajak).
Pendapatan diakui lebih awal—untuk tujuan yang sama seperti yang pertama
Pendapatan diakui lebih belakangan—untuk tujuan yang sama seperti yang kedua
Dan tindakan-tindakan manupulatif lainnya, termasuk tindakan manajemen yang memanipulasi
pengakuan pendapatan untuk memperoleh penilian kinerja tinggi dari pemegang saham sehingga
menerima bonus atau bentuk reward lainnya.
Itulah yang ingin dicegah oleh regulator dan pembuat standar, sehingga perlu dibuatkan
ketentuan pasti mengenai pengakuan pendapatan.
Sejak dahulu, akuntansi telah menentukan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan ketika
menjalankan proses akuntansi, termasuk pengakuan pendapatan.
Dalam Prinsip-prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU) atau GAAP misalnya,
pengakuan pendapatan hendaknya mempertimbangkan “prinsip kehati-hatian” (conservatism
principle). Prinsip ini mensyaratkan agar:
Tidak mengakui pendapatan yang belum pasti atau masih berupa potensi, di satu sisinya;
dan
Mengakui biaya meskipun masih belum pasti atau masih berupa potensi, di sisi lainnya.
Mengapa perlu memperhatikan prinsip kehati-hatian? Ya untuk mencegah manipulasi-manipulasi
tadi itu.
Seiring perkembangan waktu, prinsip kehati-hatian dianggap sudah usang, sudah tidak
relevan lagi, sehingga oleh IFRS diperkenalkan prinsip baru yang disebut dengan “prudent”—
sebagai pengganti “conservatism principle.” Kata ‘prudence’ (benda) atau “prudent” (sifat)
bukan perbendaharaan baru dalam kosa-kata bahasa Inggris. Secara harfiah, prudent
mengandung makna “bijak” dan prudence artinya kebijaksanaan.
Apa yang dimaksud dengan “bijak” alias prudent dalam IFRS—terutama sehubungan
dengan pengakuan pendapatan?
Ada yang mengatakan prudent artinya: “pendapatan boleh diakui meskipun masih berupa
potensi, sepanjang memenuhi ketentuan pengakuan pendapatan (revenue recognition) dalam
IFRS”.
Seperti apa ketentuan IFRS mengenai pengakuan pendapatan? Benarkah prudence? Benarkah
lebih bijak jika dibandingkan dengan prinsip kehati-hatian (conservatism principle)? Mari kita
lihat sama-sama….
Secara garis besar, Kerangka Kerja IASB (cikal-bakalnya IFRS) mengikutsertakan “gain” dan
“revenue” sebagai bagian dari “income”.
Dalam IAS 18, revenue itu sendiri didefinisikan sebagi pendapatan yang timbul dari aktivitas
normal suatu entitas—baik perseorang atau badan usaha yang melakukan aktivitas usaha—dalam
berbagai varian, mungkin disebut:
Penjualan;
Fee;
Bunga;
Dividend;
Royalti
Mengenai besarnya pendapatan yang diakui, IAS 18 menyatakan bahwa, pendaatan diukur
pada nilai wajar piutang atau kemungkinan pendapatan yang diterima, setelah dikurangi diskon
maupun potongan (rebate) yang diberikan kepada pembeli atau pelanggan.
Kapan pengakuan pendapatan dilakukan, menurut IFRS? Menurut IAS 18, pendaptan diakui
saat risiko yang melekat pada barang/jasa (yang diperjualbelikan) berpindah ke pembeli atau
pengguna jasa.
Lebih rinci, mengenai saat pengkuan pendapatan, IFRS memberikan 2 ketentuan utama
dan beberapa ketentuan tambahan, sebagai berikut:
1. Pengakuan Pada Titik Penyerahan (at point of delivery) – Perusahaan atau seseorang hanya
mengakui pendapatan ketika barang/jasa diserahkan ke pembeli atau pelanggan. Misalnya:
Pedangan eceran (retail) mengakui pendapatan saat barang diserahkan ke pembeli yang
biasanya bersamaan dengan proses pembayaran di kasir—sebab, jika barang itu rusak
atau hilang setelah pembeli pergi dari kasir, risiko tersebut sudah menjadi tanggungjawab
pembeli itu sendiri.
Perusahaan eksportir yang menggunakan kondisi FOB, mengakui pendapatan ketika
barang sudah berada di atas kapal laut atau pesawat udara pengangkut barang—sebab,
dalam kondisi ‘Free on Board (FOB), tanggungjawab eksportir berakhir hanya sampai
barang berada di atas kapal/pesawat. Jika ada kehilangan atau kerusakan setelahnya,
sudah menjadi risiko pembeli.
2. Pengkuan Pada Saat Pembayaran (at time of payment) – Bisa dibilang prosedur yang kedua
ini merupakan penyempurna prosedur yang pertama di atas. Di sini disebutkan bahwa: meskipun
barang/jasa telah diserahkan secara penuh (dan risiko yang melekat pada barang/jasa telah
berpindah ke pembeli), jika kepastian pembayaran belum diperoleh, maka pendapatan belum
bisa diakui.
Misalnya:
Sebuah perusahaan batako menngirimkan batako ke pelanggannya (sebuah toko bahan
bangunan.) Jika si perusahaan batako tidak memperoleh keyakinan mengenai pembayaran yang
akan diterima, maka perusahaan itu tidak bisa mengakui penyerahan tersebut sebagai pendapatan
—meskipun barangnya telah berpindah tangan.
Menurut saya, ini agak membingungkan. Penjualan kredit macam apapun, tidak mengandung
keyakinan seratus persen mengenai kepastian pembayaran yang akan diterima. Jika salah
diartikan, aturan yang kedua ini ‘seolah-olah’ tidak mengijinkan adanya pengakuan pendapatan
untuk penjualan kredit, seolah-olah sistim akuntansi akrual sudah tidak berlaku lagi—digantikan
oleh cash-basis.
TETAPI saya yakin maksudnya tidak demikian. Sayangnya, sampai saat ini saya belum
menemukan penjelasan mengenai batasan pasti sehubungan dengan prosedur pengakuan
pendapatan yang kedua (at time of payment) ini.
Dibandingkan menggunakan istilah “saat pembayaran” (at time of payment)—yang cenderung
disalahartikan sebagai penerimaan kas, saya lebih suka menggunakan istilah “saat komitmen
pembayaran” (at time of pay-commitment)—yang disatu sisinya tetap menekankan pentingnya
kepastian (melalui komitmen yang jelas) tanpa potensi bias makna di sisi lainnya.
Dalam kasus pedagang batako tadi misalnya; tanpa dipesan dan tanpa komitmen (janji
membayar) dari toko bangunan, saya rasa si perusahaan batako tak akan mengirimkan barangnya
begitu saja. Atau untuk skala yang lebih besar, perusahaan eksportir tidak mungkin mengirimkan
barang ke pelanggannya di luar negeri sana, tanpa komitmen membayar yang pasti.
Disamping 2 ketentuan utama tadi, IFRS juga menyertakan beberapa ketentuan tambahan
—yang mungkin membuat ketetuan pengakuan pendapatan versi IFRS ini menjadi lebih
gamblang. Dalam ketentuan tambahan, pendapatan dapat diakui oleh seorag penjual barang/jasa
bila:
1. Tidak Ada Kewajiban Membantu Pembeli Untuk Menjual – Penjual bisa mengakui
pendapatan bila tidak memiliki kewajiban untuk membantu pembelinya dalam menjual kembali
barangnya kepada pihak ketiga. Dengan kata lain, kewajiban berakhir saat barang diserahkan ke
pembeli. Dalam kasus konsinyasi misalnya, suatu perusahaan belum bisa mengakui pendapatan
pada saat mengirimkan barangnya ke toko, melainkan masih harus menunggu hingga pihak
tokonya berhasil menjual barang tersebut kepada konsumen akhir.
2. Kerusakan Barang Tidak Mempengaruhi Komitmen Pembayaran – Penjual bisa
mengakui pendapatan bila kerusakan setelah penyerahan tidak mempengaruhi komitmen pembeli
untuk membayar secara penuh. Dalam kasus penjualan barang bergaransi, penjual bisa memilih
salah satau cara berikut ini:
(a) Pendapatan diakui ketika barang diserahkan, asalkan porsi ‘potensi-beban-atas-garansi’
sudah dialokasikan ke dalam harga jual dan mengakui kewajiban garansi (secara terpisah) saat
pengakuan pendapatan dilakukan. Saya pikir, ini bisa dilakukan dengan memasukan jurnal:
[Debit]. Piutang = 5,000,000
[Kredit]. Penjualan = 5,000,000
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = 3,000,000
[Debit]. Biaya Sparepart Diakrualkan = 500,000 (karena belum pasti ada klaim garansi)
[Kredit]. Persediaan = 3,000,000
[Kredit]. Kewajiban Kontinjensi – Garansi = 500,000 (cadangan kewajiban bila garansi di klain)
Atau
(b) Pendapatan diakui setelah masa garansi berakhir, sehingga ketahuan berapa porsi garansi
yang harus dibebankan.
3. Transaksi Jual-beli Harus Dengan Entitas Lain – Dalam pengertian tidak memiliki
hubungan istimewa (misal: perusahaan induk dengan cabang). Transaksi jual-beli antara
perusahaan induk dengn cabang dianggap perdangan dalam perusahaan (inter-company) dan
harus dieliminasi dari laporan keuangan.
Nah, bagaimana menurut anda, apakah ketentuan IFRS ini bisa disebut ‘prudent’? Apakah
lebih bijak jika dibandingkan prinsip kehati-hatiannya GAAP?
Sambil menunggu pertimbangan anda, saya sangat tertarik terhadap ketentuan pengakuan
pendapatan yang diterapkan di Amerika Serikat, terutama sekali klausul pengakuan “Recognition
When Customer Acceptance is Secured” sebagai bentuk konkret penerapan prinsip kehati-hatian
di AS sana.
Security Exchange Commission (SEC)—Bappepam-nya AS—menerbitakan “Staff Accounting
Bulletin” (SAB) No. 101 untuk mencegah potensi manipulasi sehubungan dengan pengakuan
pendapatan oleh perusahaan publik di negara tersebut.
Di bawah ketentuan SAB 101, transaksi penjualam yang mengandung klausul konfirmasi
penerimaan (approval) baru boleh diakui sebagai pendapatan setelah konfirmasi penerimaan di
peroleh.
Misalnya: Sebuah perusahaan di Chicago mengirimkan barang ke salah satu pelanggannya di
Indonesia dengan ketentuan: pelanggan akan melakukan inspeksi terhadap kwalitas barang
ketika tiba di pelabuhan—bila tidak sesuai kesepakatan maka barang akan dikembalikan.
Dengan klausul tersebut, penjual barang yang ada di Chicago baru boleh mengakui pendapatan
setelah perusahaan di Indonesia selesai melakukan inspeksi dan menyatakan menerima
pengiriman barang tersebut.
Intinya, sama saja: KOMITMEN
Sekalilagi, menurut anda apakah ketentuan IFRS di atas bisa dibilang prudent (lebih bijak)
jika dibandingkan prinsip kehati-hatinnya GAAP? (silahkan sampaikan pendapatnya via ruang
komentar du ujung halaman ini)
Di luar prudent atau tidak, daripada menggunakan aturan ‘mbulet-njlimet’ yang
membingungkan, saya lebih suka menggunakan “HAK” sebagai patokan dasar:
Pendapatan diakui bila sudah menjadi ‘HAK’.
Kapan menjadi HAK?
Pendapatan Menjadi HAK ketika kewajiban menyerahkan barang/jasa telah ditunaikan dan
komitmen pembayaran telah diperoleh sesuai kesepakatan.
Menurut saya itu saja. Jauh lebih sederhana tanpa menimbulkan kebingungan.
Bagaimanapun juga, ketika terjadi sengketa—dimana pembeli melakukan wan-prestasi
(mengingkari janjinya untuk membayar), yang menjadi acuan dasar penyelesaian tetap saja
komitmen yang sah menurut peraturan dan perundang-undangan, bukan parameter-parameter di
luar itu. Dalam pengertian, hukumlah yang menjamin ‘hak’ itu mendekati pasti akan diterima—
sepanjang kewajiban menyerahkan barang/jasa telah ditunaikan.
“Lalu mana yang benar? Mana yang diikuti?” Mungkin ada yang berpikir demikian.
Tidak ada yang salah atau benar dalam akuntansi—termasuk perlakuan pendapatan.
Untuk perusahaan-perusahaan yang berstatus publik (terbuka) atau skalanya sudah
besar—apalagi yang membuka diri untuk investor atau partner bisnis antar-negara, tentu
mengikuti ketentuan IFRS menjadi krusial, sehingga keterterimaan di kancah global
menjadi lebih tinggi.
Sedangkan untuk perusahaan berstatus non-publik dengan skala kecil hingga
menengah, saya selalu menyarankan agar tidak usah terlalu ambil-pusing mengenai
perlakuan akuntansi (termasuk akuntansi pendapatan)—apakah perlu mengikuti IFRS
atau tidak.
Situasi yang paling sering dihadapi oleh akuntan yang bekerja di dalam perusahaan yaitu:
terjebak dalam situasi antara memilih mengikuti setiap perkembangan standar akutansi (yang
berubah dari waktu-ke-waktu) DAN efektifitas fungsi akuntansi (yang mestinya menjadi alat
yang mempermudah operasional perusahaan, bukan menjadi beban apalagi menghambat.)
Mengikuti perkembangan standar itu penting, tetapi jangan sampai tenaga dan sumberdaya habis
terkuras untuk hal-hal yang sifatnya tidak incremental.
Jalan tengah paling bijak, menurut saya, adalah mengikuti yang dirasa bisa diikuti, bersifat
penting, memberi nilai tambah, dan bisa menjadi piranti untuk meningkatkan profitabilitas
perusahaan yang se-real-realnya. Buat saya pibadi, yang terpenting masih patuh terhadap prinsip
dan aturan dasar akuntansi, rasional, mudah dipahami, serta tidak dimaksudkan untuk
memanipulasi atau mengelabui pihak lain. Selebihnya, saya memilih fokus pada usaha-usaha
untuk membuat nilai tambah, membuat perusahaan menjadi lebih profitable, buka peluang kerja
yang lebih banyak dan sejahterakan orang-orang yang terlibat di dalamnya.