PENGARUH MODEL PROBLEM SOLVING TERHADAP HASIL BELAJAR SMAN 4 SUNGAI RAYA PADA MATERI LAJU REAKSI
PENGARUH MODEL PROBLEM SOLVING TERHADAP HASIL BELAJAR
SMAN 4 SUNGAI RAYA PADA MATERI LAJU REAKSISinggih Mahasin, Husna Amalya Melati, Lukman Hadi
Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Untan Pontianak Email:
Abstract
The purposes of this research were to determine whether there was a significant difference
of achievement between student who taught using problem solving learning and
conventional model, and to determine effect size of problem solving learning model towards
learning outcomes. The form the research was intact group comparison type at pre-
exprimental design. The sampels were chosen based on the purposive sampling technique.
The XI science classe of SMAN 4 Sungai Raya had divided intotwo groups which are
exprimen and control classes based on thermochemistry score. The tools of data collection
on this research were achievement test and interview guideline. According to data analysis
on postttest used T test, the probability was asymp.sig 0,0000 (0,000 < 0,05) which meant
there was a significant different of achievement between students who thought a problem
solving learning and conventional model. According to the calculation using cohens
formula, the effect size of problem solving learning model towards learning outcomes was
1,6 which meant categorized as excellent.Keywords: Problem solving, learning outcomes, reaction rate PENDAHULUAN
Pembelajaran adalah suatu sistem yang dirancang sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya suatu proses belajar siswa (Firdaus, 2012). Ada tujuh komponen dalam pembelajaran di mana satu dengan yang lain saling terintegrasi, yaitu tujuan pendidikan dan pengajaran, peserta didik atau siswa, tenaga pendidikan khususnya guru, perencanaan pengajaran sebagai segmen kurikulum, strategi pembelajaran, media pengajaran, evaluasi pengajaran (Hamalik, 2005). Satu diantara tujuh komponen tersebut yang sangat penting adalah strategi pembelajaran. Strategi pembelajaran sangat penting karena sebagai penentu ketertarikan siswa untuk mengikuti suatu pembelajaran di kelas.
Proses pembelajaran yang pertama dilakukan oleh guru kimia adalah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membangun kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah (Polya, 2002). Hal ini menjadi penting karena siswa (bahkan guru, kepala sekolah, orang tua, dan setiap orang) setiap harinya selalu dihadapkan pada suatu masalah, disadari atau tidak. Pembelajaran pemecahan masalah sejak dini diperlukan agar siswa dapat menyelesaikan permasalahan di kehidupan sehari – hari.
Pemecahan masalah tersebut harus secara sistematis, mengingat karakteristik kimia pada materi laju reaksi yakni pemahaman konsep dan aplikatif. Pembelajaran juga bukan saja terfokus kepada hasil yang dicapai peserta didik, namun bagaimana proses pembelajaran yang ideal mampu memberikan pemahaman yang baik, kecerdasan, ketekunan, kesempatan dan mutu serta dapat melatih siswa untuk menghadapi berbagai masalah dan dapat mencari pemecahan masalah atau solusi dalam kehidupan mereka. Proses pembelajaran masih menggunakan metode ceramah yang berpusat kepada guru. Pada proses pembelajaran ini siswa cenderung hanya bertindak sesuai dengan apa yang diinstruksikan oleh guru, tanpa berusaha sendiri untuk memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Berdasarkan hasil observasi dikelas saat pembelajaran, guru menggunakan metode ceramah saat proses pembelajaran berlangsung. Guru berusaha mengaktifkan siswa dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya namun hanya sedikit siswa yang bertanya. Kemudian guru menjelaskan contoh soal namun siswa kurang memperhatikan. Sehingga pada saat diberikan latihan soal, siswa kesulitan mengerjakan soal tersebut karena masih belum paham konsep dan contoh soal yang sudah diberikan. Hal ini membuat sebagian besar siswa kesulitan dalam mengerjakan soal. Kesulitan siswa khususnya pada soal perhitungan, siswa bingung untuk memulai langkah pertama yang harus dilakukan dalam penyelesaian soal, sehingga siswa akhirnya meninggalkan soal tersebut dan tidak ingin mengerjakannya.
Kesulitan siswa tersebut dibuktikan dengan hasil belajar siswa yang rendah pada materi stoikiometri. Stoikiometri memiliki karakteristik sama dengan laju reaksi yaitu terdapat konsep dan perhitungan yang diperlukan tahapan- tahapan secara sistematis dalam pengerjaannya. Rendahnya hasil belajar siswaSelain itu, kesulitan siswa akibat pembelajaran hanya dengan metode ceramah ini juga dibuktikan dengan rendahnya hasil belajar siswa pada materi laju reaksi yang menunjukkan bahwa 100% siswa tidak tuntas mencapai nilai KKM yang telah ditentukan yaitu 75. Hal tersebut sejalan dengan hasil wawancara dengan guru kimia pada tanggal 2 januari 2016, bahwa siswa masih kesulitan dalam menentukan orde reaksi yakni pada saat perhitungan pangkat dan saat mengkonversikan waktu ke laju reaksi pada tabel soal yang diberikan
Hasil wawancara dengan guru mata pelajaran kimia di SMA Negeri 4 Sunga Raya, diperoleh informasi bahwa metode pembelajaran yang pernah dilakukan guru dalam pelaksanaan pembelajaran meliputi ceramah, tanya jawab dan diskusi. Guru mengatakan lebih sering menggunakan metode ceramah dalam menyampaikan materi karena lebih mudah dilakukan dan lebih efektif dari segi penggunaan waktu. Berdasarkan hasil wawancara guru kimia serta observasi kelas pada proses pembelajaran kimia, dapat disimpulkan bahwa, proses pembelajaran yang diterapkan guru kimia di SMA Negeri 4 Sungai Raya masih berpusat pada guru sehingga diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat dijadikan solusi dalam memecahkan permasalahan pembelajaran kimia di SMA Negeri 4 Sungai Raya.
Fakta di atas menimbulkan keinginan peneliti untuk mengatasi permasalahan yang ada menggunakan model yang dapat membantu siswa untuk mengatasi kesulitan dalam mengerjakan soal perhitungan. Model tersebut harus dapat mengatasi kesulitan siswa. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah adalah dengan menerapkan model pembelajaran
problem solving pada pembelajaran yang dapat
menguatkan kemampuan dalam memecahkan permasalahan. Dengan problem solving siswa dilatih untuk terampil dalam menghadapi dan memecahkan masalah, serta siswa dilatih untuk dapat mengerjakan soal secara bertahap dan sistematis agar siswa dapat menyelesaikan masalah secara terarah. Penerapan model pembelajaran problem solving dapat menjadi solusi dalam permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya. Ada empat langkah pokok cara pemecahan masalah, yaitu (1) memahami masalah yang sedang dihadapinya, (2) menyusun rencana yang akan digunakannya dalam menyelesaikan soal, (3) melaksanakan rencana penyelesaian masalah dengan melihat contoh atau dari buku dan bertanya pada guru, (4) memeriksa kembali penyelesaian yang telah
METODE PENELITIAN
sehingga dilakukan uji T. Sedangkan hasil
Langkah
Tahap Persiapan
tahap,yaitu: 1) Tahap persiapan, 2) Tahap pelaksanaan penelitian, 3) Tahap penyusunan laporan akhir (skripsi).
Size. Prosedur dalam penelitian ini terdiri dari 3
uji T dan dilanjutkan dengan menghitung Effect
posttest berdistribusi normal sehingga dilakukan
posttest diperoleh data berdistribusi normal
dilaksanakan. Dengan adanya langkah-langkah penyelesaian masalah atau soal, siswa dapat menyelesaikan masalah secara terarah dan siswa tidak akan mengalami kesulitan dalam memulai pengerjaan soal (Polya, 2002)
Hasil posttest dianalisis menggunakan rumus sebagai berikut: pemberian skor sesuai dengan pedoman penskoran, uji normalitas menggunakan uji Shapiro-Wilk, pada soal
Berdasarkan hasil uji coba soal yang dilakukan di SMAN 4 sungai raya diperoleh keterangan bahwa tingkat reliabilitas soal yang disusun tergolong sedang dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,59.
X O 1 O 2 Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMAN 4 sungai raya tahun ajaran 2016/2017. Jumlah siswa 28 orang yang dibagi dua kelompok yakni 14 siswa masuk ke kelas kontrol dan 14 siswa masuk ke kelas eksprimen. Pembagian kelas ini berdasarkan hasil ulangan harian siswa pada materi termokimia dan di uji dengan uji levene untuk melihat penyebaran sampel telah homogeny (sama) atau heterogen (tidak sama). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah tes tertulis (postest) berbentuk essay sebanyak 3 soal. Instrumen penelitian berupa Rancangan Perencanaan Pembelajaran (RPP), dan soal tes yang telah divalidasi oleh satu orang dosen Pendidikan Kimia dan satu orang guru Kimia SMAN 4 sungai raya dengan hasil validasi bahwa instrumen yang digunakan valid.
Treatment Posttest
Tabel 1 Desain Penelitian Intact Group Comparison Design
Bentuk penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan model pre-experimental design. Menurut Sugioyono (2013), pre-experimental design merupakan variabel dependen bukan semata- mata dipengaruhi oleh variabel independen, hal ini terjadi karena tidak adanya variabel kontrol dan sampel tidak dipilih secara random. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Intact Grup Comparison dengan pola sebagai berikut.
Beberapa hasil penelitian tentang pembelajaran menggunakan model pembelajaran problem solving yang memberikan hasil positif yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Asikin (2010), telah dibuktikan bahwa penerapan model problem solving dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi matamatika. Hasil penelitian Desi Permata Sari (2014) menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran model problem solving dapat meningkatkan prestasi siswa dari 35% menjadi 68% pada materi laju reaksi.
- – langkah yang dilakukan pada tahap persiapan antra lain :(1) Melakukan analisis masalah di kelas XI SMA N 4 Sungai Raya. (2) Melakukan analisis kajian pustaka. (3) Perumusan masalah penelitian yang didapat dari
- – masing kelas untuk mengetahui perkembangan hasil belajar siswa didalam kelas pada materi laju reaksi.
hasil analisis masalah dan studi literature atau kajian pustaka. (3) Persiapan penelitian yaitu:(a)Penyusun perangkat penelitian dan instrument penelitian.(b)Melakukan validasi perangkat penelitian dan instrumen penelitian kepada satu orang dosen pendidikan kimia dan satu orang guru kimia.(c)Merevisi perangkat penelitian dan istrumen penelitian berdasarkan hasil validasi.(d) Melakukan uji coba soal tesyang telah divalidasi.(e) Menganalisis hasil uji coba soal tes.(f) Mengukur realibilitas terhadap data hasil uji coba instrumen soal tes.(g) Menentukan kelas ekperimen dan kelas control. (h) Menentukan jadwal penelitian yang disesuaikan dengan jadwal pelajaran kimia di sekolah.
14
19,0 for windows dengan uji-uji sebagai berikut: a.
Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan hasil belajar yang diajarkan pada materi laju reaksi antara siswa kelas eksperimen dengan siswa kelas kontrol, maka dilakukan uji statistik dengan menggunakan program SPSS
Pada penelitian ini yang menjadi kelas eksprimen berjumlah siswa sebanyak 14 orang siswa. Pada proses pembelajaran dan pemberian soal posttest seluruh siswa mengikuti. Karena ada 1 siswa tidak mengikuti pembelajaran maka keseluruhan siswa yang diolah sebanyak 13 orang siswa. Pada tabel 2 menunjukkan perbedaan pemahaman tiap indikator kelas eksprimen dan kelas kontrol dilihat dari indikator soal
42 Rata – Rata 36,64 65,62
Jumlah tuntas 0 siswa 7 siswa
15
82 Nilai Terendah
73
13 Nilai Tertinggi
Jumlah Siswa
Tahap Pelaksanaan
kelas kontrol Eksprimen
Tabel 2
Perbedaan Hasil Belajar Siswa antara Kelas Kontrol dan Kelas Eksprimen
Pada penelitian ini yang menjadi kelas kontrol berjumlah siswa sebanyak 14 orang siswa. Pada proses pembelajaran dan pemberian soal posttest seluruh siswa mengikuti. Karena keseluruhan siswa mengikuti maka data yang diolah sebanyak 14 orang siswa. Adapun data hasil belajar siswa kelas kontrol dapat di lihat pada Tabel 1
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Kelas kontrol dan eksprimen
Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap akhirantara lain: (1) Mengolah dan menganalisis data hasil penelitian. (2) Membahas dan menyimpulkan sebagai jawaban dari pertanyaan dalam penelitian ini. (3) penyusun laporan penelitian.
Tahap Akhir
Penggunaan model konvesional pada kelas control. (2) Memberi soal posttest pada masing
Problem Solving pada kelas ekperimen. (b)
Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap pelaksanaanantara lain: (1) Memberikan perlakuan yaitu: (a) Pengguunaan model
Uji Homogenitas Uji normalitas dilakukan untuk melihat sebaran data apakah data berasal dari sampel yang homogen (merata) atau tidak, sehingga dapat ditentukan jenis statistik yang akan digunakan dalam pengujian hipotesis, maka jenis statistik yang digunakan dalam pengujian hipotesis adalah uji levene. data diuji menggunakan uji levene dengan bantuan SPSS
19,0 for windows dapat dilihat pada table 3
Tabel 4 menunjukkan hasil uji normalitas dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk dengan bantuan SPSS 19,0 for windows terhadap skor
2,427
Levene Statistic df1 df2 Sig.
Test of Homogeneity of Variances
berdistribusi normal. Dengan demikian, pengolahan data berikutnya menggunakan uji statistik parametrik (uji T).
posttest kelas kontrol dan kelas ekperimen
0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa skor
0,23 dan 0,25. Hasil tersebut memiliki signifikansi lebih dari atau sama dengan 0,05 ( ≥
postest kelas kontrol dan kelas eksperimen adaah
,220 13 ,086 ,846 13 ,25 kontrol ,277 14 ,005 ,851 14 ,23
Tabel 3 Hasil Uji Homogenitas Skor Postest Siswa Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
kelompok Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic Df Sig. nilai eksprimen
Tabel 4 Tests of Normality
kenormalan data dengan uji Shapiro-Wilk. Hasil uji normalitas menggunakan uji Shapiro-Wilk dengan bantuan SPSS 19,0 for windows dapat dilihat pada Tabel 4.
Shapiro-Wilk dengan bantuan SPSS 19,0 for windows . Langkah-langkah pengujian
Kenormalan data diuji menggunakan uji
Uji Normalitas terhadap hasil belajar Uji normalitas dilakukan untuk melihat sebaran data apakah data berasal dari sampel yang berdistribusi normal atau tidak, sehingga dapat ditentukan jenis statistik yang akan digunakan dalam pengujian hipotesis. Apabila data terdistribusi normal, maka jenis statistik yang digunakan dalam pengujian hipotesis adalah statistik parametrik, sedangkan apabila data tidak terdistribusi normal maka jenis statistik yang digunakan adalah statistik nonparametrik
≥ 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa sebaran siswa antara kelas control dan kelas eksprimen adalah sama (homogen) b.
Tabel 3 menunjukkan hasil uji Homogenitas dengan menggunakan uji levene dengan bantuan SPSS 19,0 for windows terhadap hasil ulangan materi termokimia dalam membagi kelas kontrol dan kelas eksperimen dan di dapat hasil 0,078 Hasil tersebut memiliki signifikansi lebih dari atau sama dengan 0,05 (
5 17 ,078 c.
windows . Hipotesis untuk skor posttest ini
Uji Hipotesis terhadap hasil belajar Uji hipotesis untuk skor posttest dilakukan adalah: dengan uji T dengan bantuan SPSS 19,0 for Ha : terdapat perbedaan hasil belajar siswa 0,05 atau sebesar 0,000 sehingga Ha diterima, kelas kontrol dan siswa kelas eksperimen dan Ho ditolak. Hal tersebut menunjukkan Ho : tidak terdapat perbedaan hasil belajar bahwa terdapat perbedaan kemampuan awal siswa kelas kontrol dan siswa kelas eksperimen antara siswa kelas kontrol dan siswa kelas Hasil uji T pada Tabel 4 menunjukkan eksperimen. bahwa nilai Asymp. Sig. (2-tailed) kurang dari
Tabel 5 Hasil Uji T Terhadap Skor Hasil Belajar Siswa Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen T-test for Equality of Means Levene’s test for Equaliy of
Variances 95% Confiedence t Df Sig.(2- Mean Std error
F Sig Interval of the tailed) Difference Difference
Difference Lower Upper Nilai Equal .754 .393 4.207 25 .000 28.77754 6.77754 14.55238 42.46959 Variances assumend Equal 4.242 24.497 .000 28.51099 6.67069 14.65504 42.36694 variances no assumed
Pengaruh Model Problem Solving Jikadilihat pada table kriteria interpretasi nilai
cohen’d, maka diperoleh nilai persentase sebesar Besar pengaruh penggunaan model Problem 94,5% yang dikatagorikan sangat tinggi.
Solving terhadap hasil belajar siswa pada materi Sehingga dapat disimpulkan bahwa
laju reaksi dapat diketahui dengan menggunakan pembelajaran dengan model problem solving rumus effect size cohen. Pada hasil belajar, memberikan pengaruh sebesar 95,4 % terhadap diketahui rata-rata skor posttest kelas eksperimen hasil belajar siswa pada materi laju reaksi. Hal 65,62, sedangkan rata-rata skor posttest kelas ini menunjukkan bahwa model problem solving kontrol 36,64 dengan standar deviasi posttest dapat membentuk prilaku pemecahan masalah kelas eksprimen sebesar 15,73 sedangkan kelas yang dapat membantu siswa mengidentifikasi kontrol sebesar 19,34. Berdasarkan hasil permasalahan serta mengkaitkannya dengan perhitungan didapat harga effect size pengetahuan yang dimiliki (Gagne, 1970) menggunakan rumus cohen sebesar 1,6. sehingga hasil belajar akan meningkat.
SDe= Standar Deviasi eksprimen SDk= Standar Deviasi kontrol
−
d =
2+ 2 √
2 Pembahasan
Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 10
65,15−36,64
d = Oktober 2016 sampai tanggal 14 Oktober 2016
15,482+ 19,342 √
2 pada kelas XI SMA Negeri 4 Sungai Raya.
Adapun kelas XI dibagi menjadi 2 yaitu kelas = 1,6 eksperimen yang diajar menggunakan model pembelajaran problem solving dan kelas kontrol
Keterangan : yang diajar menggunakan model pembelajaran d = effect size konvensional. Xe= Mean eksprimen Xk= Mean kontrol
Tabel 5
Persentase Jumlah Siswa yang Tuntas dalam Pemahaman Tiap Indikator pada Kelas Kontrol
dan Kelas Eksprimen
Persentase ketuntasan % Indikator Soal Kelas Kontrol Kelas Eksprimen 1.
81
98 Menentukan laju reaksi dari suatu reaksi berdasarkan perubahan konsentrasi zat tersebut.
2.
33
51 Menentukan laju reaksi perubahan laju reaksi pada satuan waktu.
3.
42
54 Menentukan laju pembentukan zat produk melalu laju reaksi.
4.
59
97 Menentukan orde reaksi berdasarkan data percobaan.
5.
38
85 Menentukan persamaan laju reaksi.
6.
69 100 Menentukan orde reaksi total 7.
35
56 Menentukan konstanta laju reaksi (k) berdasarkan persamaan laju reaksi.
8.
10
23 Menentukan laju reaksi dengan harga konsentrasi yang diketahui Penelitian yang dilakukan pada kelas eksperimen Tujuan penelitian ini adalah (1) dan kelas kontrol sebanyak 1 kali pertemuan menentukan perbedaan hasil belajar antara siswa dengan alokasi waktu pertemuan 2 jam yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran yaitu 2x40 menit pembelajaran problem solving dengan yang diajar menggunakan pembelajaran konvensional, (2) menentukan besar pengaruh model pembelajaran problem solving terhadap hasil belajar siswa pada materi laju reaksi.
Fakta di lapangan yang ditemukan oleh peneliti juga menunjukkan bahwa model pembelajaran problem solving memberikan hasil belajar yang lebih baik dibandingkan model konvensional. Hal ini terbukti dari perbedaan capaian hasil belajar pada setiap indikator soal yang diberikan kepada siswa yang dapat dilihat pada table 2. Perbedaan yang paling terlihat adalah pada indikator 2,3,5,7 dan 8. Pada indikator 2 dan 3 terlihat perbedaan hasil belajar yaitu pada kelas control 33% dan 42 % sedangkan pada kelas eksprimen 51% dan 54%. Berdasarkan hasil analisis jawaban siswa pada kelas control mengalami kesulitan pada penyetaraan reaksi sehingga pada jawaban selanjutnya mengalami kesalahan. Sedangkan pada kelas eksprimen sudah bisa melakukan penyetaraan reaksi dikarenakan pada tahapan problem solving siswa diajarkan tahapan
- – tahapa pengerjaan yang sistematis. Pada indikator 5 terlihat perbedan hasil belajar yaitu pada kelas control 38% dan kelas ekprimen 85%. Berdasarkan hasil analisis jawaban soal siswa pada kelas kontrol kurang memahami senyawa yang akan dimasukkan kedalam rumus. Pada indikator 7 dan 8 terlihat perbedan hasil belajar yaitu pada kelas control 25% dan 10% sedangkan kelas ekprimen 56% dan 23%. Berdasarkan hasil analisis jawaban soal siswa kurang teliti dalam perhitungan.
Perbedaan hasil ketercapaian hasil belajar yang diperoleh dengan model problem solving dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional disebabkan oleh prosedur pembelajaran yang telah dilaksanakan. Perbedaan tersebut ternyata sesuai dengan teori yang ada, yaitu menurut Polya: 2002 bahwa pada pembelajaran problem solving siswa lebih banyak terlibat dalam pembelajaran yaitu lebih banyak memperhatikan dan mengajukan pertanyaan karena pada model problem solving ditekankan terus
Siswa menyelesaikan soal, sebagian besar dari mereka sudah menuliskan yang diketahui dan ditanyakan dari soal. Dalam soal perhitungan, ada beberapa siswa yang tidak teliti dalam menghitung. Sedangkan pada soal konsep, sebagian besar siswa keliru dalam menuliskan reaksi penyetaraan. Dari hasil wawancara terungkap berbagai alasan siswa tidak tuntas, diantaranya bingung dan lupa cara pengerjaannya, tidak menguasai konsep kimia pada materi sebelumnya seperti penyetaraan.
Problem solving lebih baik daripada konvensional dibuktikan dengan penelitian serupa yang menunjangnya. Penelitian tersebut yaitu penelitian Desi Permata Sari (2015) tentang pengaruh model pembelajaran problem solving terhadap hasil belajar siswa pada materi laju reaksi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar siswa yang diajarkan dengan model
- – menerus oleh guru untuk dapat memecahkan masalah secara sistematis. Tahapan tersebut yaitu siswa diajak untuk memahami masalah yang ada dari soal, kemudian siswa diajak untuk menyusun rencana penyelesaian dalam mengerjakan soal, kemudian siswa melaksanakan rancangan penyelesaian dan ditahap akhir siswa diajak untuk memeriksa kembali penyelesaian soal yang telah dilakukan. Langkah tersebut menunjukkan dalam pembelajaran siswa lebih banyak terlibat dalam setiap tahapan problem solving yang telah dilaksanakan sehingga meminimalisir kesalahan
- – kesalahan siswa dalam pengerjaan soal. Sedangkan dalam model konvensional merupakan suatu model pembelajaran yang berpusat pada guru dimana guru sebagai pemberi informasi. Dalam penerapan model pembelajaran konvensional, guru juga harus mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan yang akan dilatihkan kepada siswa langkah demi langkah, karena peran guru dalam pembelajaran sangat dominan. Hal ini menyebabkan aktivitas siswa menjadi terbatas dan mengakibatkan siswa tidak mampu meningkatkan prestasi belajarnya secara maksimal.
Kelas kontrol dan kelas eksperimen memiliki berbagai macam perbedaan baik dalam proses pembelajarannya maupun pada hasil belajar siswa. Adapun kelas eksperimen selama proses pengerjaan latihan soal siswa sangat antusias yang ditandai ketika guru berkeliling untuk mengecek kerjaan siswa, siswa banyak yang bertanya dan menunjukkan hasil kerjaan mereka pada guru. Sedangkan pada kelas kontrol siswa yang bertanya yaitu siswa yang sama dengan siswa yang bertanya sebelumnya. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung, siswa kelas eksperimen berlomba-lomba untuk maju ke depan menuliskan hasil kerjaan mereka. Sedangkan pada kelas kontrol siswa harus ditunjuk terlebih dahulu untuk menuliskan kerjaan mereka.
Interaksi antara guru dan siswa kelas eksperimen lebih besar dibandingkan kelas kontrol. Hal ini dikarenakan pada kelas eksperimen yang menggunakan model problem
solving , kesempatan siswa untuk bertanya lebih
besar karena kegiatan pembelajaran tidak didominasi oleh guru, selain itu siswa juga tampak aktif karena siswa secara individu maupun kelompok dibimbing untuk memahami masalah hingga menyelesaikannya dengan baik serta sistematis.
Pemahaman siswa mengenai materi pembelajaran yang disampaikan guru terlihat ketika guru meminta siswa untuk membuat kesimpulan pembelajaran. Pada kelas eksperimen saat guru menyuruh siswa untuk membuat kesimpulan di akhir pembelajaran, siswa tersebut dapat menyebutkan dengan lancer tahapan-tahapan untuk menyelesaikan masalah pada materi ini menandakan siswa memahami isi materi pelajaran yang disampaikan guru. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sanjaya (2009) bahwa model problem solving merupakan teknik yang bagus untuk memahami isi pelajaran.
Hasil belajar pada kelas eksperimen yang lebih tinggi dari kelas kontrol ini tentunya tidak terlepas dari perbedaan model pembelajaran yang digunakan pada masing-masing kelas, di mana pada kelas kontrol menggunakan model konvensional sedangkan pada kelas eksperimen menggunakan model problem solving. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Desi Permata Sari (2014) yang menunjukkan hasil positif dengan model problem solving sehingga terdapat pengaruh model pembelajaran problem solving pada pembelajaran kimia materi laju reaksi terhadap hasil belajar siswa kelas XI IPA SMA Negeri 4 Sungai Raya dengan peningkatan 94,5%.
Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa model pembelajarn problem solving lebih baik diterapkan dalam proses pembelajaran karena melibatkan siswa secara maksimal. Oleh karena itu prestasi belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran problem solving lebih baik daripada siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional. Penerapan model pembelajaran problem solving memberi peluang kepada siswa untuk bisa mengeksplorasi pengetahuannya sehingga pada saat proses pembelajaran berlangsung siswa mampu mengembangkan kemampuan yang dimilikinya secara optimal. Gagne (1970) mengidentifikasikan bahwa problem solving
learning dapat membentuk perilaku pemecahan
masalah yang dapat membentuk siswa berpikir ilmiah termasuk belajar menggunakan pemikiran atau intelektualnya. Pada saat proses pembelajaran siswa aktif mengidentifikasikan permasalahan serta mengaitkan dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Dengan demikian pembelajaran akan lebih bermakna karena melibatkan siswa dari awal sampai akhir pembelajaran. Dalam pembelajaran pemecahan masalah menantang siswa untuk menemukan sendiri pemecahan masalah tersebut dan setelah siswa menemukan solusi pemecahan masalah tersebut, siswa akan merasa bangga dan berusaha mencoba lagi permasalahan- permasalahan yang lainnya.
DAFTAR RUJUKAN
Hamalik, Oemar. 2005. Proses Belajar Mengajar . Jakarta: PT. Bumi Aksara. Polya. 2002. Metode Pembelajaran Problem Solving .
Bandung : Alfabeta.
Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Pendidikan.
Problem Solving Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Luwes pada Materi Laju Reaksi
Prenada : Jakarta. Sari, D P.2014. Efektivitas Model Pembelajaran
diakses tanggal 12 Februari 2016. Sanjaya, wina.2009. strategi pembelajaran berorieantasi standar proses pendidikan .
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang pengaruh model problem solving terhadap hasil belajar siswa pada materi laju reaksi di SMA Negeri 4 sungai raya, maka dapat disimpulkam sebagai berikut : (1) Terdapat perbedaan hasil belajar siswa yang diajarkan dengan model problem solving dengan siswa yang diajaran dengan metode konvensional biasa pada materi laju reaksi di SMA Negeri 4 sungai raya. (2) Pembelajaran Problem solving memberikan pengaruh sebesar 94,5% terhadap hasil belajar siswa.
Gagne, R. M.(1970). The Conditins of Learning.
X SMA Negeri 6 Pekanbaru . Jurnal Pendidikan Kimia Vol 1: 6.
Penerapan Strategi Pembelajaran Aktif Tipe True or False untuk meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Pokok Bahasan Hidrokarbon di Kelas
Firdaus, T. 2012.
Asikin, Ahmad. 2010. Implementasi Pendekatan Pemecahan Masalah (Problem Solving) Melalui Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk Meningkatkan Kompetensi Matematika Siswa Kelas VIII B SMP Negeri 1 Watumalang. Skripsi. Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Negeri Yogyakarta.
Saran yang dapat disampaikan peneliti adalah: (1) Diharapkan guru dapat menggunakannya sebagai alternatif model pembelajaran kimia di sekolah karena hasil belajarnya lebih tinggi serta guru perlu mencermati mengenai alokasi waktu yang digunakan sehingga sesuai dengan rencana pelaksanaan dan tujuan pembelajaran.(2) Untuk peneliti lainnya, dapat untuk membuat riset pada materi lain selain laju reaksi dengan menggunakan model pembelajaran problem solving.
Saran
(2nd ed) .New York: Holt,Rinehart and Winston.