INTERCULTURAL PERSPECTIVES IN GERMAN JOURNEY BLOG

INTERCULTURAL PERSPECTIVES

  Setiawati Darmojuwono Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaza, Universitas Indonesia setiawatid@yahoo.com

  

Absract

This article presents an overview of intercultural perspectives of German tourists as reflected

in their blog during their journey in Bali. Their attitudes to Balinese beliefs, values, arts, foods,

customs/habits and their intercultural stages can be analyzed through their blog entries. The

purpose of this article is to show the intercultural insight of German tourists about Bali and how

we can use this finding to develop a better tourism promotion about Bali in Germany; moreover,

to construct a better understanding between Indonesians and Germans by tourism. The

“positive” or “negative” cultural shock by the sudden encounter with new and strange things

during their journey to Bali, which are reflected in their blogs, are analyzed in this paper

according to the five stages of cultural shock: euphoria, misunderstanding, collision, acceptance

and acculturation. However, cultural shock does not always happen following the five stages

because it depends on one’s perception and experiences in relations with other cultures.

  Keywords : intercultural, cultural shock, perception and experiences with other cultures.

A. Pendahuluan

  Komunikasi di dunia maya yang diawali pada tahun 90’an tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari sebagian besar manusia abad ke 21 ini. Salah satu bentuk komunikasi dalam dunia maya adalah blog, yang berasal dari kata web blog. Blog merupakan jaringan sosial di dunia maya, menurut Wikipedia pada tahun 2011 terdapat 156.000.000 blog (en.wikipedia.org/wiki/Blog, diunduh tanggal 18 Januari 2012).

  Pengaruh blog dalam membentuk opini masyarakat sangat besar, sehingga banyak politisi dan tokoh-tokoh masyarakat yang memerlukan dukungan suara dari masyarakat memanfaatkan blog sebagai alat komunikasi. Dampak luar biasa dari blog sebagai media komunikasi menyebabkan isi blog menarik untuk diteliti.

  Penelitian analisis blog yang disajikan dalam makalah ini berasal dari blog pribadi yang berbentuk buku harian dan berasal dari ranah wisata. Pesan yang disampaikan dalam blog ranah wisata pada umumnya merupakan catatan harian selama perjalanan dan merupakan refleksi dari pengalaman sehari-hari selama mengadakan perjalanan. Blog ranah wisata menarik untuk diteliti, karena dilihat dari aspek fungsi teks, blog wisata merupakan ungkapan perasaan penulis blog yang merupakan refleksi pengalaman penulisnya.

  Berdasarkan pemaparan penulis blog tentang keadaan, peristiwa yang dijumpai dalam perjalanan, dapat dianalisis cara pandang penulis blog dalam menyikapi perjumpaan dengan keadaan dan peristiwa yang mungkin berbeda dengan yang telah dikenal di negara asal wisatawan. Penelitian awal yang hasilnya dipaparkan dalam makalah ini melihat sejauhmana “culture shock“ dialami wisatawan Jerman yang berkunjung ke Bali seperti yang tercermin dalam blog yang ditulis mereka, dan bagaimanakah proses pengelolaan “culture shock” para wisatawan Jerman dalam perjumpaan dengan masyarakat dan budaya Bali, baik terkait dengan pengalaman yang negatif maupun yang positif.

  Penelitian ini bertujuan untuk melihat pendapat orang Jerman dalam pertemuan antarbudaya Jerman dan Indonesia, khususnya Bali yang terkait dengan alam dan lingkungan, kepercayaan serta nilai-nilai yang berlaku dalam bermasyarakat (adat- istiadat masyarakat Bali), seni budaya dan kuliner. Pengetahuan tentang hal ini dapat dimanfaatkan untuk strategi pemasaran wisata Bali di Jerman. Tujuan yang lebih luas adalah untuk meningkatkan saling pengertian antara masyarakat Jerman dan Indonesia, khususnya Bali melalui pariwisata.

  B. Metodologi

  Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dilandasi teori semiotika, dan teori komunikasi antarbudaya, terutama gagasan yang dicetuskan Drained dan Hall (Draine/ Hall 1986), serta Bolten (Bolten 2007). Data penelitian yang berasal dari blog pribadi ranah wisata diklasifikasikan berdasarkan ranah yang diteliti yaitu alam dan lingkungan, kepercayaan dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Bali, seni budaya dan kuliner . Data yang telah diklasifikasikan dianalisis berdasarkan teori skema dalam linguistik kognitif (Schwarz 2008), teori komunikasi antarbudaya terkait dengan persepsi dan konsep menurut Bolten (Bolten 2007) dan pemahaman culture shock menurut Drained dan Hall (Draine/Hall 1986), untuk melihat pendapat orang Jerman terkait dengan ranah-ranah yang telah disebutkan dalam pertemuan antar budaya Jerman dan Indonesia, khususnya Bali. Teori semiotika dimanfaatkan dalam penelitian ini, karena blok pribadi ranah wisata dilihat dari bentuknya termasuk bentuk media campuran yang selain berisi ungkapan verbal juga dilengkapi foto, video, musik.

  C. Analisis

  Data dalam penelitian ini akan dianalisis sesuai dengan landasan teori yang digunakan dan berdasarkan tahapan berikut : klasifikasi data berdasarkan latar belakang sosial penulis blog, yaitu pria, wanita, pengalaman berwisata, tujuan berwisata, lama tinggal. Klasifikasi ini perlu dilakukan karena culture shock terkait dengan pengalaman berwisata. Jika seseorang makin sering bersentuhan dengan budaya asing, dan ia memiliki sikap terbuka untuk melihat kekhasan tiap budaya serta dapat menerima perbedaan, hal ini akan meminimalkan culture shock dalam komunikasi antarbudaya.

  Blog pribadi ranah wisata pada umumnya dilengkapi dengan foto, video dan musik yang merupakan ungkapan pengalaman pribadi penulis blog, jika dilihat dari jenis media yang digunakan maka blog wisata termasuk jenis media campuran. Berbeda dengan iklan yang berusaha untuk menekankan unsur persuasif sehingga pesan menarik dan dibaca oleh banyak orang, blog pribadi dapat mengungkapkan gagasan dan pemikiran secara bebas tanpa harus memperhatikan unsur persuasif. Dalam penelitian ini analisis sumber data juga ditunjang dengan analisis semiotika visual, seperti yang dikatakan Scollon dan Scollon (Scollon,Ron/S.W.Scollon 2003:82) bahwa, tanda dan gambar visual merupakan representasi komunikasi bersemuka.

  D. Sumber Data

  Seperti yang telah disebutkan dalam butir Pendahuluan korpus data berasal dari blog yang ditulis wisatawan Jerman yang berlibur di pulau Bali. Data yang dianalisis berasal dari Bali Blog; die Kehrseite von Bali; Robert Unterwegs; Herzlich Willkommen

  • – Selamat Datang; Nuku’s Collage of Life. Blogs ini ditulis oleh wisatawan Jerman

  yang berada di Bali antara 2 minggu sampai 5 bulan (mahasiswa yang mengikuti pertukaran mahasiswa dan mengadakan perjalanan wisata pada waktu libur). Mereka berada di Bali pada tahun 2010 dan 2011.

  Berdasarkan media yang digunakan dalam blog, data termasuk jenis media campuran, karena dilengkapi dengan foto dan ada yang memanfaatkan video, satu orang penulis blog melengkapi blog dengan musik melalui youtube. Penulis blog sebagian besar berjenis kelamin pria dan hanya satu orang wanita. Dilihat dari tingkat pendidikan mereka semua telah menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi, kecuali satu mahasiswa yang sedang mengikuti program pertukaran mahasiswa di Bali. Penulis blog telah memiliki banyak pengalam berwisata, ke negara-negara Asia dan terutama Asia Tenggara, kecuali satu orang yang tidak jelas apakah sudah memiliki pengalaman berwisata ke negara-negara lain atau belum.

  E. Aspek Semiotis

  Dari aspek semiotis gambar visual menurut Scollon dan Scollon (Scollon,Ron/ S.W.Scollon 2003:85) dapat dilihat dari dua segi, pertama perhatian dipusatkan pada perilaku objek foto yang menjadi sasaran fotografer, sedangkan yang kedua terkait dengan tujuan fotografer yang menata gambar sesuai dengan pencitraan yang diinginkan. Data dalam penelitian ini dari segi semiotis dianalisis dari aspek yang kedua, yaitu pencitraan yang diinginkan penulis blog.

  Kelima blog yang dianalisis meletakkan gambar visual beragam, namun komposisi gambar dapat dikelompokkan menjadi komposisi gambar di atas atau di kanan dan kiri teks verbal, sedangkan gambar (foto/video) yang diletakkan di tengah teks verbal hanya sedikit. Komposisi gambar seperti ini menurut Kress dan van Leeuwen seperti yang dikutip Scollon dan Scollon (Scollon,Ron/s.W.Scollon 2003:92) dapat diinterpretasikan sebagai berikut, di bagian atas menyatakan pencitraan yang ideal, dalam hal ini pada umumnya gambar di bagian atas memberikan informasi umum tentang alam dan seni budaya di Bali. Pemilihan gambar ini jika dilihat dari aspek stereotipe tentang Bali, terwakili dalam gambar-gambar yang dipilih, seperti pantai, gunung berapi, penari Bali sesuai dengan pencitraan Bali yang ada dalam benak wisatawan. Berbeda dengan pendapat Kress dan Leeuwen yang menyatakan gambar di sebelah kanan merupakan objek yang sudah dikenal dan gambar di sebelah kiri menampilkan sesuatu yang baru, dalam blog wisata yang diteliti, gambar di sebelah kanan dan kiri menampilkan objek-objek yang dikunjungi wisatawan. Gambar yang berada di tengah blog merupakan gambar yang ingin ditampilkan khusus, seperti bangunan hotel, WC yang tidak bersih, wisatawan yang dikerumuni pedagang asongan yang ingin menjual barang dagangan mereka. Hal-hal yang menarik bagi wisatawan sering ditampilkan dalam bagian galeri, yang mencakup semua foto yang dibuat selama berlibur.

  Beragam media yang ditampilkan dalam blog merupakan unsur yang penting, karena bukan hanya sebagai hiasan agar blog menjadi menarik, tetapi gambar-gambar tersebut merupakan bagian dari pesan yang disampaikan dalam blog, yang tidak mungkin diungkapkan secara verbal.

F. Kaitan antara Persepsi dan Latar Belakang Budaya

  Pancaindra manusia merupakan organ tubuh yang penting untuk mengelola dan mencerap rangsangan-rangsangan yang diterima dari lingkungan sekitar. Secara biologis indra manusia memiliki dasar yang universal, namun dalam mempersepsikan sesuatu tidak selalu sama, karena persepsi manusia bersifat subjektif, tergantung pada proses rekonstruksi realitas oleh individu. Manusia selalu mencoba untuk memilah- milah, membandingkan dan mengelompokkan rangsangan yang diterima oleh pancaindra berdasarkan pengetahuan dan pengalaman seseorang yang disimpan dalam ingatan jangka panjang sebagai skema dan berisi semua pengetahuan yang dimiliki sesorang (Schwarz 2008:116), melalui proses ini rangsangan-rangsangan yang diterima menjadi bermakna bagi seorang individu.

  Tidak semua rangsangan diolah manusia, karena ada filter yang menyeleksi rangsangan yang diterima, hal-hal yang tidak bermakna akan diabaikan. Manusia mencoba untuk menyeleksi hal-hal yang dicerap melalui indra dengan cara membandingkan hal tersebut dengan skema yang telah dikenal dan melihat perbedaannya. Skema yang dimiliki seseorang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, dalam hal ini terkait dengan lingkup kehidupan, pengalaman dan pengetahuan. Perbedaan persepsi antara individu yang satu dengan yang lain disebabkan karena perbedaan skema yang dimiliki sesorang, yang sering menjadi penyebab kesalah- pahaman dalam berkomunikasi, terutama komunikasi antarbudaya.

  Persepsi penulis blog terhadap realitas yang dijumpai dalam berwisata, seperti yang direfleksikan dalam blog tentunya dipengaruhi oleh skema yang mereka miliki. Menurut Bolten (Bolten 2007:32) persepsi manusia bukan merupakan sesuatu yang pasif, tetapi bersifat dinamis karena setiap individu dalam menginterpretasikan sesuatu akan membandingkan dengan hal yang dikenal dan diketahui, sehingga hal yang diinterpretasikan ada maknanya bagi individu tersebut. Hal-hal yang diketahui dan dikenal ini terkait erat dengan lingkup kehidupan seseorang, yang tidak dapat dipisahkan dari latar belakang budayanya.

  Persepsi penulis blog yang dianalisis dalam penelitian ini dikelompokkan bedasarkan ranah-ranah yang diteliti: alam dan lingkungan, kepercayaan dan adat istiadat masyarakat Bali, seni budaya dan kuliner.

  Persepsi wisatawan tentang alam dan lingkungan pulau Bali tidak hanya dituangkan dalam tulisan secara verbal, tetapi alam dan lingkungan yang dijumpai diabadikan dalam foto dan video yang merupakan bagian penting dari blog mereka, bahkan banyak wisatawan menata foto tentang alam dan lingkungan Bali di bagian galeri. Di bagian ini dapat dijumpai foto-foto indah tentang alam di dasar laut yang dibuat tatkala wisatawan menyelam, pantai Kuta dan pantai-pantai lain, Tanah Lot, gunung Agung, persawahan dari berbagai titik pandang, bunga hibiscus (kembang sepatu) dll.

  Pengungkapan verbal tentang alam pulau Bali bersifat sangat positif, seperti berikut ini:

  

Nicht nur, dass das Grün der Reisfelder hier grüner zu sein scheint, als alles bisher

gesehene, die Balinesen setzen allem mit ihrem Sinn für Ästhetik noch eine Krone

auf. Alle Felder sind liebevoll angelegt und ranken sich in Perfektion Hügel hinauf.

  

(Warna hijau sawah di sini lebih hijau dibandingkan sawah-sawah yang pernah

saya lihat. Orang Bali memiliki selera keindahan yang tinggi. Semua sawah ditata

dengan penuh perasaan dan menjulang tinggi ke perbukitan)

Nach unzählbaren Ausrufen: “Mein Gott ist das schöööön hier!” erreichten wir –

mehr durch Zufall – auch noch den Vulkan Batur.

  

(Teriakan yang berulang-ulang „Tuhan betapa indahnya di sini!“ sampailah kami

tanpa terencana ke gunung Batur)

Zu allererst einmal kann man an Bali´s Stränden und Küsten sehr schöne

Sonnenuntergänge mit viel Orange und Rot erleben.

  

(Pertama-tama orang dapat menikmati matahari tenggelam dengan warna jingga

kemerahan yang sangat indah dari pantai-pantai Bali).

  Berdasarkan contoh-contoh yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa, alam pulau Bali terlihat indah di mata para wisatawan. Berbeda dengan alam, keadaan lingkungan yang terkait dengan alam sering menimbulkan kesan negatif bagi wisatawan, seperti plastik yang berserakan di tepi pantai, di hutan dan di jalan raya, bahkan pada waktu menyelam ada wisatawan yang menemukan sampah plastik di dalam laut. Pembakaran sampah plastik bekas juga sangat mengganggu wisatawan, karena merusak lingkungan. Persepsi negatif ini muncul terkait dengan skema yang dimiliki wisatawan tentang lingkungan di Jerman dibandingkan dengan keadaan lingkungan yang dijumpai di pulau Bali.

  Kepercayaan, masyarakat dan adat istiadat Bali dilihat dari segi pandang wisatawan Jerman dapat dilihat dalam blog yang ditulis mereka, seperti berikut ini :

  

Wenn wir uns die Reisfelder von Bali und den gemächlichen Lebens-Takt der

Menschen dort beschauen, spüren wir sie, die Wärme. Es ist nicht die Wärme der

Sonne, diese Wärme kommt von innen, vom Herzen.

  

(Jika kami mengamati sawah-sawah di Bali dan kehidupan orang Bali yang santai,

kami merasakan suatu kehangatan, bukan kehangatan sinar matahari, tetapi

kehangatan yang terpancar dari hati nurani)

Der Balinese – natürliche gibt es hier auch Ausnahmen - zeigt seinen Ärger nicht

und erwartet es von seinem Gegenüber ebenso. So solltet Ihr es vermeiden,

drohende Körperhaltungen einzunehmen oder gar zu schreien und zu schimpfen –

Ihr verliert dadurch nur Euer Gesicht.

  

(Orang Bali pada umumnya jika marah tidak menunjukkan kemarahan mereka, hal

seperti ini juga diharapkan dari mitra bicaranya, gerakan tubuh yang menunjukkan

kemarahan, teriakan dan kata-kata umpatan sebaiknya dihindari, karena hal ini

akan memalukan diri sendiri).

  In den Dörfern wird relativ einfach gelebt. Man lebt von einem Tag zum nächsten.

  

(Orang-orang di desa hidup sederhana. Mereka hidup dari satu hari ke hari

berikutnya) (...) das meiste Geld sind für religiöse Feste & Zeremonien, sie leben bescheiden.

  

(...) pengeluaran uang terbanyak untuk upacara keagamaan dan pesta keagamaan,

mereka hidup sederhana).

  

Bali ist definitiv ein schönes Ziel, um die indonesische und balinesische Kultur

kennen zu lernen. Die sehr offenen Einheimischen bieten Touristen einen

gemäßigten Eintritt in die asiatische Kultur.

  

(Bali tentu saja merupakan tujuan yang bagus untuk mengenal budaya Indonesia

dan Bali. Orang-orang Bali yang besifat terbuka merupakan jalan pembuka yang

harmonis untuk mengenal kebudayaan Asia).

  Refleksi pengalaman wisatawan Jerman terhadap kepercayaan, masyarakat dan adat istiadat Bali tidak dapat dipisahkan dari latar belakang budaya Jerman yang merupakan masyarakat industri dengan teknologi canggih dan masyarakatnya yang individualistis. Skema yang ada dalam benak wisatawan Jerman melandasi pertemuan antarbudaya Jerman dan Indonesia. Persepsi wisatawan Jerman dalam blog menunjukkan bahwa mereka menyadari di Bali kehidupan masyarakatnya tidak didasari oleh sekularisme, tetapi agama merupakan bagian dari kehidupan dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari, bahkan agama yang lebih utama daripada hal-hal yang lain. Orang Bali di pedesaan hidup sederhana dan harmonis dengan lingkungannya ( santai, dan ramah/memiliki kehangatan yang tulus). Dalam persepsi wisatawan Jerman orang Bali menganggap sikap tenggang rasa penting, disamping itu mereka memiliki sifat keterbukaan sebagai dasar bagi wisatawan Jerman untuk memahami budaya Asia yang beragam.

  Blog yang diteliti menunjukkan bahwa wisatawan Jerman tidak hanya sekedar menonton pertunjukkan tari, tetapi mereka memahami makna tarian yang mereka saksikan dalam berbagai pertunjukkan, terutama tari Kecak, tari Legong dan tari Barong. Makna tarian tersebut dipaparkan dengan rinci dalam blog mereka. Terkait dengan seni lukis penulis blog ada yang menyebutkan museum lukisan, seperti Museum Puri Lukisan di Ubud, tetapi tidak menulis pendapatnya tentang lukisan yang dilihat.

  Terkait dengan seni budaya Bali para penulis blog terutama terkesan dengan seni tari dan simbol yang ada dibalik tarian tersebut. Bidang seni yang lain tidak banyak dibahas, kecuali mereka hanya menyebutkan museum-museum yang dikunjungi, kemungkinan hal ini disebabkan mereka tidak dapat membandingkan seni budaya Bali dengan seni budaya yang ada di Eropa. Skema tentang seni-budaya yang mereka miliki sangat berbeda dengan seni budaya yang mereka jumpai di Bali, kecuali jika mereka seniman atau pakar seni-budaya.

  Kuliner termasuk bidang yang penting dalam kaitannya dengan pariwisata, penulis blog banyak yang menyertakan foto-foto makanan dalam blog mereka, seperti nasi campur Bali, satai, nasi goreng, buah-buahan tropis, yang lebih mudah dipahami daripada dijelaskan dengan kata-kata. Seorang penulis blog membandingkan fungsi dan pola makan orang Bali dan orang Eropa, dalam hal ini ada proses antarbudaya yang menarik. Mula-mula fungsi ritual makan dalam masyarakat Bali dibandingkan dengan masyarakat Jerman, kemudian kuantitas makanan dan penyebab ritual makan dalam budaya Bali dianalisis, hal ini menunjukkan proses pemahaman antarbudaya penulis blok. Pada akhirnya penulis blog menunjukkan bahwa para wisatawan pada umumnya telah mengadopsi kebiasaan makan orang Bali karena dianggap sesuai dengan cuaca di daerah tropis. Berikut ini kutipan yang terkait dengan ritual makan :

  

Auf Bali wird das Essen eher weniger, als gesellschaftliches Ereigniss angesehen,

was zusammen mit Familie oder Freunden eingenommen wird, wie in Europa. Die

Balinesen sind zum großen Teil auf den Reisfeldern beschäftigt und da wird, wenn

jemand Hunger hat, derjenige allein beiseite gehen um eine der, traditionell in

Bananenblättern eingepackten, Reisgerichte zu sich zu nehmen. Meistens nur an

Feiertagen, wird dann auch mal Fleisch oder Fisch gegessen.

  

(Di pulau Bali makan tidak memiliki fungsi kemasyarakatan seperti di Eropa yang

dilakukan bersama dengan keluarga dan teman. Banyak orang Bali yang

menghabiskan waktu bekerja di sawah, jika lapar mereka akan makan bekal

makanan yang dibungkus dengan daun pisang. Daging dan ikan biasanya disajikan

pada waktu pesta)

Schon zum Frühstück wird Reis gegessen, oder eine Suppe mit Gemüse und

Kartoffeln. Ergänzt wird das mit frischen Früchten und Säften. In den

Touristenhotels werden für die Gäste auch Frühstücksbuffets, im westlichen Stil,

angeboten.

  

(Nasi, sop sayur dan kentang bahkan sudah dimakan pada waktu sarapan, ditambah

dengan buah segar dan sari buah, tetapi di hotel yang dikunjungi wisatawan untuk

sarapan juga disajikan prasmanan makanan Eropa).

  

Sowas gibt es bei den Balinesen eigendlich gar nicht, es wird nur vielleicht ein

kleiner Snack an einem schattigen Plätzchen eingenommen. Selbst die Touristen

fühlen sich in der Mittagshitze nicht zum ausschweifenden Mittagsessen bewegt, sie

essen meist nur Kleinigkeiten wie Früchte, oder Snacks die fliegende Händler

anbieten, oder setzen sich in Cafes um Shakes oder Lassys zu trinken. Cocoslassys

sind sehr zu empfehlen.

  

(Makan siang di Bali biasanya hanya kudapan kecil yang dimakan di tempat yang

teduh. Wisatawanpun tidak ingin menyantap makan siang yang berlimpah karena

panas yang menyengat, biasanya mereka makan buah-buahan, atau kudapan yang

ditawarkan pedagang kaki lima, atau beristirahat di Cafe untuk minum minuman

penyegar. Sangat dianjurkan minum kelapa).

  

Das Abendessen hat sowohl bei den Balinesen, wie auch bei den Touristen, wohl

die größte Bedeutung. Hier essen die Balinesen, meist nach Sonnenuntergang, an

den auf den Nachtmärkten stehenden Ständen. Touristen wenden sich eher den

Zahlreich vorhandenen Restaurants zu. Hier seien vor allem die reichlich

vorhandenen Fischgerichte empfohlen.

  

(Makan malam merupakan waktu makan yang penting bagi orang Bali dan juga

bagi wisatawan.Orang Bali makan setelah matahari terbenam di warung-warung

yang buka pada petang hari, sedangkan wisatawan mengunjungi rumah makan.

Hidangan yang dianjurkan terutama berbagai jenis ikan)

G. Culture Shock

  Culture shock menurut Drained an Hall (1986) merupakan bagian yang tidak

  dapat dipisahkan dalam suatu perjalanan wisata, disamping jet-lag dan gangguan pencernaan. Bahkan mereka mengatakan culture shock sebagai third ‘illness’that afflict

  

the travelers of the world. Drained dan Hall menjelaskan lebih lanjut bahwa, “ (…)

culture shock, is an affliction of the feelings. Its visible aspects – weeping, confusion,

anger, fear, frustration, acting-out or it opposite, retreat (…) (Drained/Hall 1986: 207).

  Menurut Bolten sekitar setengah abad yang lampau Kalvero Oberg menjelaskan 5 tahapan culture shock (Bolten 2007:60). Dewasa ini tahapan tersebut masih berlaku dalam penelitian yang terkait dengan culture shock. Kelima tahapan tersebut adalah euforia, kesalahpahaman, perbenturan, pemahaman perbedaan dan akulturasi. Kelima tahapan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

  Pada tahap euforia biasanya wisatawan merasa sangat gembira dalam perjumpaan dengan hal-hal baru dan semua yang dicerap indra dilihat sebagai sesuatu yang positif. Tahap kedua merupakan tahap yang membandingkan skema budaya yang sudah dikenal wisatawan dengan sesuatu yang berbeda, perbedaan dipandang dari kacamata skema budaya wisatawan, sehingga sering muncul kesalahpahaman, walaupun sumber kesalahpahaman diakui karena diri sendiri. Tahap ketiga merupakan tahap yang kritis, karena kesalahpahaman dianggap sebagai kesalahan budaya lain dan budaya sendiri merupakan budaya yang unggul. Pada tahap keempat wisatawan mencoba untuk memahami perbedaan budaya yang ada, sehingga mereka dapat menerima perbedaan budaya tersebut (toleransi), sedangkan pada tahap kelima kekhasan budaya lain tidak hanya dipahami tetapi wisatawan ikut menyatu dalam kekhasan budaya lain.

  Dalam blog yang diteliti dijumpai beberapa persepsi yang terkait dengan culture

shock baik yang berupa tulisan, maupun yang dalam bentuk foto yang ada dalam blog.

Contoh culture shock yang dialami wisatawan Jerman terkait dengan keramahtamahan orang Bali. Pada tahap awal, euforia, penulis blog berpendapat bahwa orang Bali ramah, namun setelah berada di Bali selama dua minggu ia mengalami tahap ketiga dari culture shock. Dilihat dari kacamata penulis blog, keramahtamahan orang- orang di Bali hanya untuk memperoleh keuntungan finansial dari wisatawan (untuk menjual/menyewakan sesuatu), seperti kutipan berikut :

  Man sieht mich als lebende Geldautomaten. Meine Wünsche, Gefühle, Fragen werden freundlich ignoriert, mehr Respekt wünsche ich.

  (Orang memandang saya sebagai mesin ATM yang hidup. Keinginan saya, perasaan saya dan pertanyaan-pertanyaan saya diabaikan dengan cara yang ramah. Saya menginginkan diri saya lebih dihargai).

  Pada tahap ini penulis blog ingin menarik diri dan tidak lagi terlibat dengan orang-orang yang dianggap ingin mencari keuntungan dari dirinya. Skema budaya yang dimiliki penulis blog tentunya terkait dengan budaya Jerman yang mementingkan kebebasan individu, sesuai dengan paham individualisme. Pemaksaan untuk membeli/ menyewa sesuatu tidak sesuai dengan skema kebebasan individu. Berbeda dengan penulis blog, skema budaya para penjual/penyewa sesuatu terkait dengan kebiasaan yang ada dalam budaya Indonesia bahwa untuk mencapai sesuatu manusia harus berusaha dengan gigih dan imbalan layak diterima jika seseorang menjual sesuatu/ membantu mengusahakan keperluan wisatawan. Perbedaan skema ini merupakan sumber kesalahpahaman antara penulis blog dengan penjual/penyewa sesuatu di Bali. Tahap keempat kultur shock, yaitu toleransi merupakan tahap berikutnya yang dialami penulis blog, seperti yang dituangkan secara verbal dalam blog yang ditulis,

  

Die Menschen sind arm und haben weniger Geld als wir. Man muss damit rechnen,

wenn man ein armes Land bereist.

  

(Mereka orang miskin dan hanya memiliki uang sedikit dibandingkan kami. Hal ini

harus sudah diperhitungkan jika wisatawan mengunjungi negara miskin) Die Menschen müssen Unterhalt der Familie sorgen.

  (Mereka harus mencari nafkah untuk keluarga mereka)

  Wisatawan Jerman penulis blog berusaha untuk bertoleransi dengan kerumunan penjual yang selalu muncul dalam perjalanan wisata di pulau Bali, dengan mencoba mencari alasan yang menurut pendapatnya dapat menjelaskan perilaku para penjual/ orang-orang yang akan menyewakan sesuatu. Tahapan kelima Culture shock, yaitu dapat menerima kekhasan yang ada dalam budaya Bali dilandasi oleh pemikiran yang terkait dengan individualisme, yaitu diri sendiri yang dapat menciptakan kenyamanan, seperti yang ditulis dalam kutipan berikut ini : Man muss etwas hinwegsehen, um eine gute Zeit in Asien zu haben.

  (Orang harus tidak peduli terhadap sesuatu untuk memperoleh kenyamanan di Asia).

H. Kesimpulan

  Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, blog yang ditulis wisatawan Jerman tentang pulau Bali terkait dengan alam selalu bersifat positif. Wisatawan Jerman kagum pada keindahan alam di pulau Bali, mereka mengagumi gunung dan sawah yang tertata sangat indah. Mereka juga menyukai pantai-pantai di Bali, terutama yang masih alamiah dan bersih. Pantai Kuta dianggap lebih sebagai tempat hiburan, bukan sebagai tempat yang ideal untuk wisata pantai. Pencemaran lingkungan yang terkait dengan sampah plastik, yang banyak dijumpai di pantai maupun di jalan merupakan hal yang dikecam dalam blog mereka. Namun secara umum keindahan alam pulau Bali merupakan daya tarik bagi orang Jerman untuk datang kembali dan berlibur ke Bali. Dalam skema orang Jerman alam terkait dengan pegunungan Alpen, ladang-ladang dan alam pedesaan di Jerman, serta bagi sebagian orang Jerman pantai laut yang landai dengan riak-riak ombak yang tenang, hal ini berbeda dengan alam di pulau Bali yang sebagian besar masih alamiah dengan sawah-sawah yang hijau, bunga hibiscus, bunga kamboja, laut yang bergelombang tinggi dan pantai yang lengang sesuai dengan citra alam tropis dalam benak mereka.

  Penulis blog menemukan nilai-nilai kehidupan yang berbeda antara „budaya barat“ terkait dengan agama, kepercayaan dan adat istiadat di pulau Bali, banyak wisatawan yang merasa menemukan kembali nilai-nilai yang telah pudar di Jerman terkait dengan kehidupan antara manusia dengan Sang Pencipta dan hubungan antar manusia melalui perbandingan skema yang mereka kenal dengan kehidupan masyarakat Bali.

  Persepsi mereka tentang seni-budaya Bali lebih terbatas pada seni tari yang merupakan simbol hal-hal yang abstrak (seperti kebaikan, kejahatan), mereka mencoba untuk memahami simbolisme ini dengan cukup rinci. Bidang seni-budaya yang lain tidak banyak dibahas dalam blog, kecuali kunjungan ke beberapa museum lukisan, namun refleksi tentang seni lukis juga tidak dijumpai dalam blog. Mereka juga terkesan dengan gamelan Bali yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang dinamis. Seni ukir, kerajinan emas dan perak, seni pahat lebih dilihat secara praktis, yaitu untuk menghasilkan cinderamata bagi wisatawan. Terkait dengan seni-budaya, selain seni tari tampaknya wawasan wisatawan terbatas, kecuali mungkin para pakar seni yang kebetulan tidak terwakili dalam blog yang diteliti.

  Bidang kuliner merupakan bidang yang menarik bagi wisatawan pada umumnya, wisatawan Jerman dalam blog menempatkan foto-foto makanan dalam bagian yang khusus seperti Nasi Campur Bali, Satai, Nasi Goreng, berbagai jenis buah tropis, yaitu makanan-makanan yang sudah cukup dikenal di Jerman sehingga telah tercakup dalam skema kuliner mereka jika dikaitkan dengan Indonesia. Hampir semua wisatawan menyatakan makanan di Bali sesuai dengan selera mereka dan nikmat, terutama makanan-makanan yang khas Indonesia, namun di sisi lain mereka juga merasa senang di pulau Bali dapat menikmati berbagai jenis makanan, termasuk makanan Eropa.

  Penelitian blog wisatawan Jerman ini merupakan penelitian awal sehingga penelitian ini masih harus dilengkapi lagi dengan data penelitian yang lebih banyak, namun berdasarkan hasil analisis penelitian awal ini dapat dilihat bahwa strategi pemasaran pariwisata pulau Bali di Jerman dapat memanfaatkan hal-hal yang menarik perhatian wisatawan Jerman seperti alam, termasuk flora dan fauna tropis, sawah-sawah di Bali yang ditata sesuai dengan lingkungan alamiah, pantai-pantai yang tenang dengan deburan ombak dan gelombang yang merupakan surga bagi orang-orang yang berselancar. Kuliner juga merupakan unsur yang sangat penting dalam strategi pemasaran wisata, karena makanan di Bali termasuk buah-buahan tropis dianggap sesuai dengan selera Jerman, terlebih lagi di daerah tropis yang panas para wisatawan di pulau Bali dapat tetap menikmati minuman bir yang tidak dapat dipisahkan dari skema budaya makan dan minum orang Jerman, dimanapun mereka berada.

  Benturan budaya yang muncul dalam petemuan budaya Jerman dengan budaya Bali dalam bentuk Culture shock dapat diminimalkan dengan informasi yang tidak hanya berupa data-data angka tentang pendapatan rata-rata per kapita penduduk Bali dll, tetapi juga dilengkapi dengan informasi yang dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi antarbudaya bagi wisatawan, seperti konsep ramah- tamah bagi orang Bali yang berbeda dengan konsep Jerman, pandangan orang Bali tentang jagat raya dan hubungan antara pencipta – manusia dan manusia – alam, manusia – manusia dll. Jika komunikasi antarbudaya berlangsung dengan baik, wisatawan akan merasa lebih nyaman dan tujuan pariwisata sebagai sarana untuk meningkatkan saling pengertian antar bangsa juga akan tercapai.

  Daftar Pustaka Bolten, Jürgen. 2007. Interkulturelle Kompetenz. Erfur:LZT.

  Draine, Cathie/Barbara Hall. 1986.Culture Shock Indonesia. Singapore:Times Books International. Schwarz, Monika. 2008. Einführung in die kognitive Linguistik. Tübingen:UTB. Scollon, Ron/Suzie Wong Scollon.2003. Discourses in Place.Language in the material world. London &New York: Routledge.

  Sumber Internet :

  Blog.marcduerst.com/post/Bali-(Indonesien).aspx. Diunduh tanggal 18-01-2012 en.wikipedia.org/wiki/Blog. Diunduh tanggal 18-01-2012. www.bali-blog.de/herzlich. Diunduh tanggal 18-01-2012. www.nuku.de/categories/Indonesien-bali/. Diunduh tanggal 18-01-2012. www.robertunterwegs.de/category/meine-zeit-in-indonesien/. Diunduh tanggal 18-01- 2012. www.weltreise.de/tag/reisebericht-bali-2011/ . Diunduh tanggal 18-01-2012.