BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja - Hubungan Pola Makan dan Asupan Serat dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan tahun 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Remaja

  Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa menurut WHO adalah usia 12-24 tahun dan belum menikah. Pada masa remaja, pertumbuhan dan perkembangan terjadi dengan cepat, baik secara anatomis tubuhnya maupun psikis. Kebiasaan yang salah sejak masa remaja akan sulit dirubah saat dewasa sepeerti pola makan yang tidak sehat, tidur yang tidak baik dan kurang olahraga (Roizen, 2012).

  Masa remaja merupakan masa transisi antara pengaruh orang tua dan teman sebaya akan menentukan pola makan pada masa dewasa nantinya (Young et al, 2004). Remaja mempunyai kebiasaan makan diantara waktu makan berupa jajanan baik di sekolah maupun di luar sekolah. Makanan mereka umumnya kaya energi yang berasal dari karbohidrat dan lemak (Soetardjo, 2011).

  2.2 Pola Makan

  Pola makan atau kebiasaan makan adalah cara-cara individu atau kelompok individu dalam memilih, mengkonsumsi dan menggunakan makanan yang tersedia yang didasarkan oleh faktor-faktor sosial dan budaya dimana seseorang hidup (Macclany dan Macbeth, 2004). Pola makan adalah berbagai informasi yang memberi gambaran mengenai jumlah, dan jenis bahan makanan yang dimakan serta susunan makanan dan frekuensi makan (Hong, 1985).

  Pola makan yang sehat dapat diartikan sebagai pola makan yang tidak berlebihan porsinya dan terdiri dari jenis

  • – jenis makanan yang sehat dan beragam. Keberagaman
jenis makanan yang dikonsumsi bermanfaat untuk mendapatkan kesempurnaan nutrisi

  • – nutrisi penting bagi tubuh (Sutanto, 2013).

2.2.1 Pola Makan Remaja

  Pola makan atau kebiasaan makan yang diperoleh semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut. Ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran energi mengakibatkan pertambahan berat badan. Overweight dan obesitas yang muncul pada usia remaja cenderung berlanjut hingga ke dewasa, dan lansia. Sementara obesitas itu sendiri merupakan salah satu faktor resiko penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, penyakit kantong empedu, beberapa jenis kanker, dan berbagai gangguan kulit. Pola makan yang tidak baik akan berpengaruh terhadap status gizi remaja terutama status gizi lebih.

  Mengonsumsi makanan dari restoran makanan cepat saji, terutama yang menyediakan menu Western Style, semakin sering ditemukan di masyarakat kota- kota besar khususnya para remaja. Selain jumlah restoran-restoran tersebut semakin banyak di berbagai penjuru kota, menu makanan cepat saji umumnya cepat dalam penyajian (Khomsan, 2003)

  Penelitian Medawati dan Podojoyo (2005) membuktikan kejadian obesitas pada remaja tidak saja dipengaruhi oleh energi, lemak dan karbohidrat saja, tetapi juga dipengaruhi oleh frekuensi makan di rumah. Frekuensi makan di rumah yang berlebihan juga menyebabkan terjadinya status gizi lebih.

  Menurut penelitian Johanes (2013) pola makan berhubungan dengan kejadian overweight tidak hanya dari segi jumlah makanan yang dimakan, melainkan juga komposisi makanan dan kualitas diet. Kebiasaan makan remaja sekarang ini telah berubah, yaitu dengan rendahnya konsumsi buah-buahan, sayuran berwarna hijau, dan meningkatnya konsumsi snacks dan minuman ringan, serta melewatkan sarapan.

  Penelitian Hudha (2006) tentang hubungan antara pola makan dan aktivitas fisik terhadap status gizi lebih, menunjukkan bahwa gizi lebih disebabkan karena pola makan yang tergolong kategori baik dan aktivitas fisik yang tergolong aktivitas fisik ringan sehingga energi yang dikeluarkan tidak sesuai dengan asupan pangan. Jika hal ini terjadi dalam kurun waktu yang lama dapat mengakibatkan terjadinya penumpukan lemak di bawah kulit yang akhirnya terjadi gizi lebih.

2.2.2 Pola Makan yang Kurang Tepat

  Pola makan yang kurang tepat juga menjadi faktor yang dapat menimbulkan status gizi lebih. Menurut Purwati (2001) ada beberapa faktor yaitu:

a. Makan berlebihan

  Mempunyai nafsu makan merupakan kebiasaan yang buruk, baik dilakukan dirumah, restoran, pertemuan-pertemuan, maupun pesta. Apabila sudah kenyang, jangan sekali-kali menambah porsi makanan meskipun yang tersedia sangat lezat dan merupakan makanan favorit. Makan berlebihan meningkatkan terjadinya status gizi lebih.

  Dalam penelitian Hadi (2004), menyatakan bahwa asupan energi bagi obesitas lebih tinggi dibandingkan dengan yang non obesitas. Yang menarik ialah bahwa yang obesitas 2-3 kali lebih sering mengkonsumsi fast food. Seseorang yang asupan energinya tinggi (≥ 2200 kkal/hari) dan mempunyai waktu menonton TV ≥ 3 jam/hari mempunyai risiko menderita obesitas 12,3 kali lebih tinggi dibandingkan seseorang yang asupan energi < 2200 kkal/hari dan waktu menonton TV < 3 jam/hari. Studi ini menunjukkan adanya interaksi antara gaya hidup sedentarian (perilaku hidup kurang gerak) dan diet tinggi kalori.

  b. Menghindari Makan Pagi Makan pagi akan memberikan energi pada saat beraktivitas di siang hari.

  Sayangnya, karena berbagai alasan seperti tergesa-gesa, ingin kurus dan lain sebagainya, kegiatan makan pagi banyak ditinggalkan orang. Keadaan ini tentu akan merugikan tubuh karena setelah kurang lebih 12 jam, yakni jarak antara makan malam dan makan pagi, perut dibiarkan dalam keadaan kosong. Banyak orang yang mengompensasikan makan pagi dengan makan siang yang berlebih atau mengkonsumsi makanan kecil yang tinggi kalori dan tinggi lemak dalam jumlah yang relatif banyak. Dengan kondisi ini, jika dihitung jumlah kalori yang masuk ke dalam tubuh lebih banyak jika dibandingkan kalau melakukan makan pagi.

  Penelitian yang dilakukan oleh University of Minnesota selama lima tahun terhadap 2000 remaja didapatkan fakta bahwa remaja yang melewatkan sarapan pagi mengalami kenaikan berat badan 2,3 kilogram dibandingkan remaja yang menikmati sarapan. Menurut ketua penelitian Mark Pereira, remaja yang melewatkan sarapan , saat siang akan makan berlebihan dan cenderung tidak aktif setelahnya. Kekenyangan akan membuat remaja malas beraktivitas (Cesilia, 2008).

  c. Salah Memilih dan Mengolah Makanan

  Ada berbagai sebab atau karena ketidaktahuan maka seseorang salah memilih makanan. Sementara itu banyak juga orang yang memilih makanan hanya karena prestise atau gengsi semata seperti junk food. Makanan cepat saji yang banyak mengandung kalori, lemak dan gula berlebih banyak ditawarkan sekarang ini.

  Penelitian Martha (2009) yang dilakukan di Yayasan Pendidikan Swasta SMA Raksana Medan dari 120 orang siswi sebanyak 48 orang (40,33%) mengalami obesitas, overweight sebanyak 11 orang (9,24%), normal sebanyak 46 orang (39,49%), kurus sebanyak 14 orang (10,92%). Hal ini disebabkan oleh pola makan yang berlebih yang dapat dilihat dari jumlah siswa/i yang mengonsumsi Kentucky Fried Chicken (KFC) sebanyak 2-3 kali seminggu yaitu sebesar 43,69% (52 orang).

d. Kebiasaan Mengemil Makanan Ringan

  Mengemil merupakan kegiatan makan diluar waktu makan. Biasanya makanan yang dikonsumsi berupa makanan kecil (makanan ringan) yang rasanya gurih, manis, dan digoreng. Bila tidak dikontrol akan menyebabkan kegemukan. Makanan ringan atau makanan jajanan lebih banyak mengandung karbohidrat dan sedikit mengandung protein sehingga lebih mengenyangkan.

  Penelitian Mariza (2012) membuktikan bahwa tidak terdapat hubungan antara kebiasaan sarapan dengan status gizi lebih secara statistik, tetapi kebiasaan sarapan berhubungan dengan kebiasaan jajan di sekolah dengan risiko sebesar 1,5 kali. Terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan jajan dengan status gizi lebih secara statistik dan biasa jajan memiliki risiko sebesar 7 kali terhadap terjadinya status gizi lebih.

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Pola Makan Remaja

  Menurut Khomsan (2004) mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku makan remaja antara lain :

  a. Pengaruh teman sebaya

  Pada praremaja masalah pemilihan makana tidak lagi didasarkan pada kandungan gizinya tetapi lebih banyak sekedar sosialisi dengan teman sebayanya, untuk kesenangan dan agar tidak kehilangan status. Pada masa ini pengaruh teman sebaya lebih menonjol dari pada peran keluarga. Teman sebaya memberi pengaruh yang buruk seperti upaya penurunan berat badan dan perilaku makan yang salah.

  Penelitian Levine (2001) menemukan bahwa perilaku kontrol berat badan berhubungan dengan teman sebaya. Tekanan yang diberikan teman sebaya ditemukan dapat meningkatkan risiko terjadinya perilaku makan yang menyimpang yang merupakan dampak dari kontrol berat badan.

  Penelitian Hayati (2009) juga membuktikan bahwa teman sebaya dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan dalam memilih makanan jajan sehat pada anak usia sekolah kelas empat dan lima SD dengan p < 0,0000.

  b. Pengaruh media massa

  Media massa sangat berperan penting dalam perilaku makan remaja. Media, baik media cetak maupun elektronik dikatakan juga sebagai salah satu faktor yang dapat menyebabkan timbulnya pola makan yang buruk (Anderson, 2006). Semakin sering menonton televisi semakin tinggi sikap positif terhadap junk food (makanan siap saji).

  Penelitian yang dilakukan oleh Emalia (2009) membuktikan bahwa ada hubungan media massa dengan perilaku makan yang buruk, dimana sebagian besar responden (77,2%) menggunakan media elektronik sebagai sumber informasi dan 80,4% responden melihat iklan makanan dan minuman ≥ 3 kali sehari. Jenis iklan yang sering dilihat adalah snack dengan persentase 56,5 % dan 41,3% responden lebih tertarik dengan slogan atau pesan dalam iklan.

  c. Tingkat sosial ekonomi

  Dari sudut pandang sosial ekonomi, remaja menjadi pasar yang potensial untuk produk makanan tertentu. Umumnya remaja mempunyai uang saku. Hal ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemasang iklan melalui berbagai media cetak maupun elektronik. Peningkatan pendapatan pada kelompok sosial ekonomi tertentu, terutama di perkotaan, menyebabkan adanya perubahan pola makan yang meningkat dan pola aktivitas yang menurun yang mendukung terjadinya peningkatan jumlah penderita kegemukan dan obesitas.

  Penelitian Meiningtias (2003) menunjukkan bahwa ada hubungan antara pola makan karbohidrat dengan kegemukan, pola makan lemak dengan kegemukan, dan ada hubungan aktivitas fisik dengan kegemukan. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan antara konsumsi dan pengeluaran energi, serta aktivitas fisik yang kurang sehingga terjadi penumpukan lemak dan akhirnya mengakibatkan kegemukan.

  d. Pengaruh keluarga

  Pengaruh keluarga yang menyenangkan berpengaruh pada pola kebiasaan makan. Hal ini mungkin dilandasi oleh ada atau tidak adanya kebiasaan makan bersama. Oleh karena itu kebiasaan makan bersama akhirnya luntur karena tiadanya waktu saling berkumpul, apalagi makan bersama. Orang tua masi memegang peranan penting dalam perilaku makan anak.

  Hasil penelitian Tibbs (2001) membuktikan bahwa makanan keluarga mempunyai pengaruh positif terhadap kualitas makanan anak. Keluarga yang mengkonsumsi buah, sayuran, susu dan produk bergizi lainnya membuat anak mengkonsumsi makanan bergizi tersebut.

  Penelitian Saifah (2011) juga menunjukkan hubungan peran keluarga dengan perilaku gizi anak mempunyai hubungan lemah (r=0,16) berpola positif, hal ini menunjukkan semakin besar atau semakin baik peran keluarga makan semakin besar atau semakin baik perilaku gizi anak.

e. Kemajuan industri makanan

  Kehadiran fast food dalam industri makanan di Indonesia memengaruhi pola makan kaum remaja di kota. Khususnya bagi remaja tingkat menengah keatas, restaurant fast food merupakan tempat yang tepat untuk bersantai. Makanan yang ditawarkan pun relatif dengan harga yang terjangkau kantong mereka, servisnya cepat, dan jenis makanannya memenuhi selera.

  Penelitian yang dilakukan oleh Risnaningsih dan Woro (2008) membuktikan bahwa ada hubungan yang nyata antara kebiasaan makan fast food dengan kejadian obesitas. Jumlah kalori fast food yang dikonsumsi berpengaruh terhadap kejadian obesitas (Risnaningsih dan Woro 2008). Tingginya jumlah kalori yang terdapat di dalam fast food dapat menyebabkan terjadinya gizi lebih.

2.3 Serat Makanan

  Serat makanan adalah komponen karbohidrat kompleks tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan, tetapi dapat dicerna oleh mikro bakteri pencernaan (Lubis, 2009). Serat tergolong non-gizi dan kini konsumsinya makin dianjurkan agar bisadilakukan secara teratur dan seimbang setiap hari. Serat adalah zat non-gizi yang berguna untuk diet (dietary fiber). Serat makanan sebagai salah satu jenis polisakarida yang lebih lazim disebut karbohidrat kompleks (Sulistijani, 2001).

  Serat makanan yang dismpaikan oleh the American Association of Cereal (AACC, 2001) adalah merupakan bagian yang dapat dimakan dari tanaman

  Chemist

  atau karbohidrat anaalog yang resisten terhadap pencernaan dan absorpsi pada usus halus dengan fermentasi lengkap atau partial pada usus besar. Serat makanan tersebut meliputi pati, polisakharida, oligosakharida, lignin dan bagian tanaman laainnya. (Winarti, 2010).

  Serat makanan tidak dapat diserap oleh dinding usus halus dan tidak dapat masuk ke dalam sirkulasi darah. Namun, akan dilewatkan menuju usus besar (kolon) dengan gerakan peristaltik usus. Serat makanan yang tersisa di dalam kolon tidak membahayakan organ usus, justru kehadirannya berpengaruh positif terhadap proses- proses di dalam saluran pencernaan dan metabolisme zat-zat gizi, asalkan jumlahnya tidak berlebihan (Sulistijani, 2001).

2.3.1 Jenis-Jenis Serat Makanan

  Serat terbagi dua macam yaitu serat larut dan serat tak larut dalam air. Serat larut tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia tetapi larut dalam air panas, sedangkan serat tak larut tidak dapat dicerna dan juga tidak larust dalam air panas.pektin dan getah tanaman (gum) adalah zat-zat yang termasuk dalam serat makanan larut, sedangkan lignin, selulolas, dan hemiselulosa tergolong ke dalam kelompok serat tak larut (Lubis, 2009).

  Serat larut air mudah difermentasi, sehingga pertumbuhan dan perkembangan bakteri kolon menyebabkan bertambahnya berat feses. Selulosa merupakan bagian dari makanan nabati yang melewati saluran cerna dengan utuh sehingga akan melunakkan dan memberi bentuk pada feses dan mampu menyerap air. Selulosa akan membantu gerakan peristaltik usu sehingga akan membantu pembuangan akhir dari pencernaan dan terhindar dari konstipasi (Almatsier, 2004).

  Serat makanan jika sampai dilambung akan memiliki waktu tinggal yang lebih lama dibandingkan makanan yang berbentuk halus. Waktu tinggal ini akan membuat pengosongan lebih lama dan akibatnya seseorang akan lebih lama merasa kenyang (Hartono dkk, 2011). Jadi serat sangat berperan dalam melancarkan pencernaan dan membuat seseorang merasa kenyang lebih lama akibat waktu transit yang lebih lama di lambung.

2.3.2 Fungsi Serat Makanan Bagi Kesehatan

a. Serat Makanan dan Kontrol Berat Badan

  Serat larut air (soluble fiber) mis : pectin, -glucans dan gum serta beberapa hemiselulosa mempunyai kemampuan menahan air dan dapat membentuk cairan kental dalam saluran pencernaan. Dengan kemampuan ini serat larut dapat menunda pengosongan makanan dari lambung, menghambat percampuran isi saluran cerna dengan enzim-enzim pencernaan, sehingga terjadi pengurangan penyerapan zat-zat makanan di bagian proksimal. Mekanisme inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan penyerapan (absorbsi) asam amino dan asam lemak oleh serat larut air. Cairan kental ini mengurangi keberadaan asam amino dalam tubuh melalui penghambatan peptida usus (Winarti, 2010).

  Makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi dilaporkan juga dapat menurunkan bobot badan. Makanan akan tinggal dalam saluran pencernaan dalam waktu yang relatif singkat sehingga absorbsi zat makanan akan berkurang. Selain itu makanan yang mengandung serat relatif tinggi akan memberi rasa kenyang sehingga menurunkan konsumsi makanan. Makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi biasanya mengandung kalori rendah, kadar gula dan lemak rendah yang dapat membantu mengurangi terjadinya obesitas (Winarti, 2010).

  Menurut penelitian Susmiati (2007), makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi juga dilaporkan dapat mengurangi berat badan. Serat makanan akan tinggal dalam saluran pencernaan dalam waktu relatif singkat sehingga absorpsi zat makanan berkurang. Selain itu, makanan yang mengandung serat yang relatif tinggi akan memberikan rasa kenyang karena komposisi karbohidrat komplek bersifat menghentikan nafsu makan sehingga mengakibatkan turunnya konsumsi makanan.

  Penelitian Intan (2008) juga menunjukkan bahwa proporsi obesitas lebih banyak ditemukan pada remaja dengan frekuensi konsumsi seratnya sering (32,7%) dibandingkan dengan remaja yang sering mengkonsumsi serat (19%). Kemungkinan hal ini terjadi karena frekuensi konsumsi serat yang dikonsumsi memiliki kandungan serat yang rendah, sehingga tidak berpengaruh terhadap pencegahan obesitas.

b. Serat Makanan dan Kanker Kolon

  Serat makanan mempunyai daya serap air yang tinggi. Adanya serat makanan dalam feses menyebabkan feses dapat menyerap air yang banyak sehingga volumenya menjadi besar dan teksturnya menjadi lunak. Adanya volume feses yang besar akan mempercepat konstraksi usus untuk lebih cepat buang air

  • – waktu transit makanan lebih cepat. Volume feses yang besar dengan tekstur lunak dapat mengencerkan senyawa karsinogen yang terkandung di dalamnya, sehingga
konsentrasinya jauh lebih rendah. Dengan demikian akan terjadi kontak antara zat karsinogenik dengan konsentrasi yang rendah dengan usus besar, dan kontak ini pun terjadi dalam waktu yang lebih singkat, sehingga tidak memungkinkan terbentuknya sel-sel kanker (Winarti, 2010).

  Diverticulitis merupakan penyakit pada saluran usus besar berupa luka atau benjolan. Benjolan dan luka ini dapat mempermudah terbentuknya sel-sel kanker, jika kontak dengan senyawa karsinogenik. Timbulnya diverticulitis disebabkan oleh pembentukan feses yang kecil-kecil dan keras. Untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras ini perlu tekanan tinggi pada dinding usus. Akibatnya, lama kelamaan akan timbul luka. Terbentuknya feses yang kecil dan keras dapat terjadi pada orang yang jarang makan makanan berserat seperti buah-buahan dan sayuran (Winarti, 2010).

  Menurut para ahli gizi di Swedia melaporkan, kebiasaan makan biji-bijian atau padi-padian, dapat menekan risiko terkena kanker perut. Hasil riset terbaru seperti dipublikasikan Majalah Gastroenterology, pengkonsumsi serat dalam jumlah paling tinggi dapat menurunkan sekitar 60% dari risiko mengidap penyakit kanker perut daripada kelompok yang mengkonsumsi sedikit serat (Winarti, 2010).

c. Serat Makanan dan Kardiovaskular (Penyakit Jantung)

  Serat makanan bersifat menyerap asam empedu, yang kemudian akan terbuang bersama-sama dengan feses. Asam empedu mengemulsikan lemak hingga terurai menjadi asam lemak yang akan diserap tubuh. Supaya sistem metabolisme lemak tidak terganggu, harus tersedia asam empedu di dalam sistem pencernaan (Winarti, 2010).

  d. Serat Makanan dan Kolesterol

  Kolesterol termasuk lemak, merupakan zat penting yang sangat dibutuhkan tubuh. Untuk memenuhi kebutuhan tubuh, hati dapat membentuk kolesterol dalam jumlah seimbang dan mencukupi. Kelebihan kolesterol umumnya terjadi karena banyak asupan kolesterol dan lemak dari luar lewat makanan yang kita makan.

  Asupan serat dapat membantu menyeimbangkan jumlah kolesterol berlebihan dalam tubuh (Lubis, 2009).

  Diet serat larut, menurunkan kadar kolesterol darah dan membantu mengurangi risiko penyakit jantung. Karena mampu menjerat lemak dalam usus, berarti serat larut mencegah penyerapan lemak oleh tubuh. Dengan demikian serat membantu mengurangi penyerapan lemak oleh tubuh. (Winarti, 2010).

  e. Serat Makanan dan Kontrol Gula darah

  Mekanisme serat yang tinggi dapat memperbaiki kadar gula darah yaitu berhubungan dengan kecepatan penyerapan makanan (karbohidrat) masuk ke dalam aliran darah yang dikenal dengan glycaemic index (GI). makanan yang cepat dirombak dan cepat diserap masuk ke aliran darah mempunyai angka GI yang tinggi sehingga dapat meningkatkan kadar gula darah. Sebaliknya makanan yang lambat dirombak dan lambat diserap masuk ke aliran darah mempunyai angka GI yang rendah sehingga dapat menurunkan kadar gula darah. kenaikan kadar gula darah dapat ditekan jika karbohidrat dikonsumsi bersama serat makanan. Hal ini sangat bermanfaat bagi penderita diabetes, baik tipe I maupun tipe II (Winarti, 2010).

  2.3.3 Dampak Kekurangan dan Kelebihan Serat Makanan

  Dampak kekurangan serat seperti tekstur dan struktur tinja menjadi keras, padat, dan berbutiran kecil-kecil, susah buang air besar atau konstipasi, mudah terinfeksi, meningkatkan gerak peristaltik usus secara berlebihan dan mendatangkan beragam jenis penyakit mematikan seperti kanker kolon, penyakit gula darah, infeksi difertikula, jantung koroner, stroke, tekanan darah tinggi dan penyempitan pembuluh darah (Lubis, 2009)

  Dampak yang terjadi akibat kelebihan serat makanan seperti dehidrasi, terjadi peningkatan jumlah gas yang dihasilkan oleh mikroorganisme berbahaya dalam usus besar, menurunkan kemampuan sel usus dalam menyerap vitamin larut lemak (ADEK) dan vitamin larut air, sehingga jumlah vitamin tersebut di dalam tubuh berkurang, menghambat ketersediaan asam empedu dan beberapa enzim yang dibutuhkan dalam proses pencernaan, sehingga dapat menggangu ketersediaan lemak dan protein, menurunkan ketersediaan mineral karena serat dapat menghambat proses penyerapan (Lubis, 2009)

  Asupan serat makanan dari sumber makanan alami tidak pernah menimbulkan kelebihan ketersediaan serat dalam tubuh. Satu-satunya penyebab ketersediaan serat yang berlebihan adalah karena konsumsi serat makanan dari suplemen (Lubis, 2009).

  2.3.4 Asupan Serat yang Dianjurkan

  Makanan yang banyak mengandung serat diantaranya sayuran, buah-buahan, serealia dan agar-agar. Pada remaja ketidaksukaan pada sayuran dan buah-buahan menjadi faktor utama rendahnya asupan serat (Brown, 2005). Menurut Kementrian bidang kesehatan columbia, konsumsi serat yang harus dikonsumsi setiap hari untuk umur 14-18 tahun yaitu 38 gr untuk laki-laki dan 26 gr untuk perempuan (Yuliarti, 2008).

  Jumlah asupan serat makanan yang dianjurkan untuk dikonsumsi masyarakat indonesia sekitar 25-30 gram setiap hari. Kebutuhan serat makanan berbeda pada jenjang usia yang berbeda. Asupan serat makanan pada bayi, anak-anak, usia remaja, usia dewasa dan lanjut usia tidak sama karena penyebab yang melatar belakangi memang berbeda (Lubis, 2009). Angka kecukupan serat pada remaja usia 13-15 tahun yaitu 35 gr untuk laki-laki dan 30 gr untuk perempuan, sedangkan pada remaja usia 16-18 tahun yaitu 37 gr untuk laki-laki dan 30 gr untuk perempuan (Hardinsyah dan Tambunan, 2004).

2.4 Status Gizi Remaja

  Status gizi adalah keadaan tubuh akibat konsumsi pangan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2001). Status gizi adalah hasil perhitungan dari berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (m) dikuadratkan yang disesuaikan dengan rumus indeks antropometri (Gibson, 2005).

  Ada tiga alasan remaja dikatakan rentan. Pertama, percepatan pertumbuhan dan perkembangan tubuh memerlukan energi dan zat gizi lebih banyak. Kedua, perubahan gaya hidup dan kebiasaan pangan menuntut penyesuaian masukan energi dan zat gizi. Ketiga, kehamilan, keikutsertaan dalam olahraga, kecanduan alkohol dan obat, meningkatkan kebutuhan energi dan zat gizi, di samping itu tidak sedikit remaja yang makan secara berlebihan dan akhirnya mengalami obesitas (Arisman, 2002).

  Status gizi anak umur 6-18 tahun dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu umur 6-12 tahun, 13-15 tahun, dan 16-18 tahun. Indikator status gizi yang digunakan pada kelompok umur ini didasarkan pada pengukuran antropometri berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yang disajikan dalam bentuk tinggi badan menurut umur (TB/U) dan indeks masa tubuh menurut umur (IMT/U). Indeks masa tubuh dihitung berdasarkan rumus berikut :

  Pada anak remaja usia 5-18 tahun nilai IMT nya harus dibandingkan dengan referensi WHO/NHCS 2007 (WHO 2007). Pada saat ini yang paling sering dilakukan untuk menyatakan indeks tersebut adalah Z- score atau persentil.

  Z-score : deviasi nilai seseorang dari dari nilai median populasireferensi - dibagi dengan simpangan baku populasi referensi.

  Persentil : tingkatan posisi seseorang pada distribusi referensi (WHO/NHCS), - yang dijelaskan dengan nilai seseorang sama atau lebih besar daripada persentase kelompok populasi. Secara teoritis Z-score dapat dihitung dengan rumus : Klasifikasi IMT untuk usia 5-18 tahun disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi IMT Menurut RI 2010 untuk usia 5-18 Tahun

  Kategori Nilai Z-score Sangat Kurus Z-score < -3

  • Kurus 3 ≤ Z-score < -2
  • Normal 2 ≤ Z-score < +1

  Gemuk

  • 1 ≤ Z-score < +2 Obesitas Z- score ≥ +2

2.5 Pola Makan dan Status Gizi Remaja

  Pola makan remaja di pengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri remaja tersebut berupa emosi/kejiwaan yang memiliki sifat kebiasaan. Sedangkan faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri remaja seperti ketersediaan makanan yang ada disekitarnya dan kondisi sosial eknomi yang mempengaruhi tingkat daya beli manusia terhadap makanan.

  Status gizi pada anak remaja disebabkan oleh ketidakseimbangan antara asupan energi dan energi yang digunakan sehingga mengakibatkan pertambahan berat badan. Selain itu faktor yang mempengaruhi status gizi remaja yaitu faktor lingkungan, aktivitas fisik, pola makan, umur, jenis kelamin dan tingkat sosial ekonomi yang akan berdampak pada status gizi remaja. Status gizi lebih yang muncul pada usia remaja cenderung berlanjut hingga dewasa dan lansia. Sedangkan status gizi lebih itu sendiri merupakan salah satu faktor risiko penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, diabetes melitus dan beberapa jenis kanker (Arisman, 2002).

  Faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap perubahan pola makan remaja ialah semakin banyaknya jenis makanan baru yang berada disekitarnya, hal tersebut mendorong mereka untuk mencoba makanan baru tersebut, mengingat masa remaja adalah masa yang paling muda terpengaruh oleh perubahan-perubahan terutama dalam hal konsumsi makanan . Pola makan remaja sekarang ini adalah makanan tinggi kalori dan sedikit mengandung serat. Pola makan tersebut dapat mempengaruhi status gizi remaja.

2.6 Metode Penilaian Konsumsi Makanan

  Metode untuk mengukur konsumsi makanan untuk perorangan dibagi dua yaitu kuantitatif dan kualitatif. Metode kualitatif biasanya mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan, sedangkan metode kuantitatif biasanya untuk mengetahui jumlah makan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Metode kualitatif terdiri dari metode frekuensi makanan (food frequency), dietary history, metode telepon dan metode pendaftaran makanan (food list), sedangkan metode kuantitatif terdiri dari metode recall 24 jam, perkiraan makanan (estimated food records), penimbangan makanan (food weighing), metode food account, metode inventaris (inventory

  

method ), dan pencatatan (household food record) (Supariasa, 2002). Metode

  penilaian konsumsi makanan yang digunakan peneliti adalah metode recall 24 jam dan metode frekuensi makanan (food frequency). Metode tersebut bertujuan untuk mengukur jumlah makanan yang dikonsumsi perorangan selama satu hari (24 jam) (Gibson, 2005). Penilaian konsumsi makanan merupakan salah satu metode yang digunakan dalam penelitian status gizi perorangan atau kelompok.

2.6.1 Metode recall 24 jam

  Dalam metode recall 24 jam, dilakukan dengan mencacat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi selama 24 jam yang lalu. Biasanya dimulai sejak responden bangun pagi kemarin sampai dia istirahat tidur malam harinya atau saat dimulai dari waktu saat dilakukan wawancara mundur ke belakang sampain 24 jam penuh. Jumlah makanan yang dikonsumsi biasanya diestimasikan dengan menggunakan ukuran rumah tangga seperti sendok, gelas, piring atau sendok teh. Pengukuran ini biasanyan digunakan berulang kali untuk melihat gambaran konsumsi makanan individu. Jika hanya dilakukan 1x24 jam makan data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu. Oleh karena itu, recall 24 jam sebiknya dilakukan 2x24 jam untuk mendapatkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal (Supariasa, 2002)

2.6.2 Metode Frekuensi Makanan (food frequency)

  Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperi hari, minggu atau bulan (Supariasa, 2002)

  Metode frekuensi makanan dapat menggambarkan pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif, tapi karena periode pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan individu berdasarkan rangking tingkat konsumsi zat gizi (Supariasa, 2002).

2.7 Kerangka Konsep

  Pola Makan : Frekuensi makan

  • Jumlah makanan
  • Jenis Bahan Kecukupan -

  Status Gizi Makanan

  Gizi Remaja

  Asupan serat

  Gambar 1. Kerangka Konsep Pola makan remaja yang terdiri dari frekuensi makan, jumlah makanan, jenis bahan makanan serta asupan serat yang dikonsumsi akan berpengaruh terhadap kecukupan gizi yang berdampak pada status gizi remaja.

2.8 Hipotesis

  1. Ho : Tidak ada hubungan antara pola makan dengan status gizi pada siswa/i SMP N 34 Medan tahun 2014

  Ha : Ada hubungan antara pola makan dengan status gizi pada siswa/i SMP N 34 Medan tahun 2014

  2. Ho : Tidak ada hubungan antara asupan serat dengan status gizi pada siswa/i SMP N 34 Medan tahun 2014

  Ha : Ada hubungan antara asupan serat dengan status gizi pada siswa/i SMP N 34 Medan tahun 2014

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Tindak Tutur Ilokusi Keluhan Dalam Drama Ichi Rittoru No Namida

0 0 12

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KODOKUSHI 2.1. Definisi Kodokushi - Fenomena Kodokushi di Jepang Dewasa Ini

0 2 23

KATA PENGANTAR - Fenomena Kodokushi di Jepang Dewasa Ini

0 3 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES MORFOLOGIS, MORFEM, PERUBAHAN BENTUK KATA BAHASA JEPANG, DAN RAGAM BAHASA HORMAT (KEIGO) SONKEIGO DAN KENJOUGO 2.1 Proses Morfologis 2.1.1 Proses Morfologis dalam Bahasa Indonesia - Analisis Proses Pembentukan Kata Pada

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Proses Pembentukan Kata Pada Ragam Hormat Sonkeigo dan Kenjougo dalam Komik “Kamisama Hajimemashita” Karya Jurietta Suzuki

0 1 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT JEPANG - Fungsi Patung Ojizo Dalam Masyarakat Jepang

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Fungsi Patung Ojizo Dalam Masyarakat Jepang

0 0 12

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian - Efektivitas Pelaksanaan Program Pemberdayaan Keluarga Melalui Model Family Care Unit (FCU) Di Desa Sambirejo Timur Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

0 0 51

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengaruh 2.1.1 Pengertian Pengaruh - Efektivitas Pelaksanaan Program Pemberdayaan Keluarga Melalui Model Family Care Unit (FCU) Di Desa Sambirejo Timur Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Efektivitas Pelaksanaan Program Pemberdayaan Keluarga Melalui Model Family Care Unit (FCU) Di Desa Sambirejo Timur Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

0 0 11