Chapter II Perlindungan Hukum Terhadap Pelaksanaan Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Hukum Islam Dan UndangUndang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

BAB II
PENGANGKATAN ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23
TAHUN 2002 DAN HUKUM ISLAM
A. Tradisi atau Budaya Mengangkatan Anak di Indonesia
Pengangkatan anak bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak dulu
pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda sesuai
dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang didaerah
yang bersangkutan, di Indonesia pengangkatan anak telah menjadi kebutuhan
masyarakat dan menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan karena
menyangkut kepentingan orang perorangan dalam keluarga oleh karena itu
lembaga pengangkatan anak yang telah menjadi bagian dari budaya dari
masyarakat akan mengikuti perkembangan situasi dan kondisi seiring dengan
tingkat kecerdasan serta perkembangan masyarakat itu sendiri.
Proses pengaturan pengangkatan anak dalam peraturan perundangundangan pada masyarakat Indonesia yang bhinneka (plural) tidak mudah dan
mengalami banyak pertentangan. Sejak pasca proklamasi sampai awal era
reformasi, yang mengatur tentang pengangkatan anak yang ketentuan pasalnya
sebatas tujuan pengangkatan anak. 37 Sejak melewati pintu gerbang proklamasi
sampai memasuki pintu gerbang reformasi, tidak ada peraturan perundangundangan yang mengatur secara memadai pelaksanaaan pengangkatan anak di
Indonesia. Di era reformasi, pengaturan pengangkatan anak tersebut mulai
37


Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Pasal 12.

Universitas Sumatera Utara

terwujud dengan lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, yang di dalamnya juga mengatur tentang pengangkatan anak
dalam beberapa pasal. Kini, untuk melaksanakan ketentuan pengangkatan anak
tersebut telah ditetapkan dan diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun
2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
Realita masyarakat dan sistem hukum yang pluralistik (berbeda)
berimplikasi pada beragamnya konsep pengangkatan anak di Indonesia, Terdapat
banyak metode pengangkatan anak menurut hukum adat di Indonesia. Setiap
daerah yang memiliki ciri khas berbeda dan unik yang membuat pengangkatan
anak dalam kehidupan masyarakat adat sangat menarik. berikut beberapa contoh
tentang pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat yang terdapat di
beberapa daerah di Indonesia, antara lain :

1. Di Jawa dan Sulawesi Pengangkatan Anak jarang dilakukan dengan
sepengetahuan kepala desa. Mereka mengangkat anak dari kalangan
keponakan-keponakan. Lazimnya mengangkat anak keponakan ini tanpa

disertai dengan pembayaran uang atau penyerahan barang kepada orang
tua si anak.
2. Di Bali, sebutan pengangkatan anak disebut “nyentanayang”. Anak
lazimnya diambil dari salah satu clan yang ada hubungan tradisionalnya,
yaitu yang disebut purusa (pancer laki-laki) . Tetapi akhir-akhir ini dapat
pula diambil dari keluarga istri (pradana).

Universitas Sumatera Utara

3. Dalam masyarakat Nias, Lampung dan Kalimantan. Pertama-tama anak
harus dilepaskan dari lingkungan lama dengan serentak diberi imbalannya,
penggantiannya, yaitu berupa benda magis, setelah penggantian dan
penukaran itu berlangsung anak yang dipungut itu masuk ke dalam kerabat
yang memungutnya, itulah perbuatan ambil anak sebagai suatu perbuatan
tunai. Pengangkatan anak itu dilaksanakan dengan suatu upacara-upacara
dengan bantuan penghulu atau pemuka-pemuka rakyat, dengan perkataan
lain perbuatan itu harus terang. 38
4. Di Pontianak, syarat-syarat untuk dapat mengangkat anak adalah:
Disaksikan oleh pemuka-pemuka adat, disetujui oleh kedua belah pihak,
yaitu orang tua kandung dan orang tua angkat, sianak telah meminum

setetes darah dari orang tua angkatnya, membayar uang adat sebesar dua
ulun (dinar) oleh si anak dan orang tuanya sebagai tanda pelepas atau
pemisah anak tersebut, yakni bila pengangkatan anak tersebut dikehendaki
oleh orangtua kandung anak tersebut. Sebaliknya bila pengangkatan anak
tersebut dikehendaki oleh orang tua angkatnya maka ditiadakan dari
pembayaran adat. Tetapi apabila dikehendaki oleh kedua belah pihak maka
harus membayar adat sebesar dua ulun. 39

38

Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994, hal.

182.
39

Amir Mertosedono, Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya, Dahara :
Prize, Semarang, 1987, hal.22.

Universitas Sumatera Utara


5. Dalam masyarakat Rejang pada Provinsi Bengkulu dikenal adanya
lembaga pengangkatan anak, yang diangkat disebut “Anak Aket” dengan
cara calon orang tua angkat mengadakan selamatan atau kenduri yang
dihadiri oleh ketua Kutai dan pemuda-pemuda masyarakat lainnya. Di
dalam upacara itu ketua Kutai mengumumkan terjadinya pengangkatan
anak yang kemudian disusul dengan upacara penyerahan anak yang akan
diangkat oleh orang tua kandung dan penerimaan oleh orang tua angkat
(semacam ijab kabul), maka secara adat resmilah pengangkatan anak
tersebut.
Masih banyak lagi bentuk-bentuk pengangkatan anak dalam kehidupan
masyarakat adat di Indonesia. Keanekaragaman pengangkatan tersebutlah yang
membuat hukum adat di Indonesia semakin menarik untuk digali dan dipelajari
secara lebih lanjut untuk memperkaya pengetahuan tentang pengangkatan anak
dalam hukum adat dengan lebih baik.
Pentingnya seorang anak bagi sebuah keluarga dalam kehidupan
masyarakat adat sehari-hari. Anak yang mempunyai banyak fungsi dalam sebuah
keluarga membuatnya sangat penting. Terdapat berbagai alasan yang menjadi arti
penting sebuah pertimbangan dalam pengangkatan seorang anak. Ada beberapa
yang mengangkat anak untuk kepentingan pemeliharaan keluarga di hari tua,
melestarikan harta kekayaan keluarga.


Universitas Sumatera Utara

Umumnya di Indonesia, motivasi pengangkatan anak menurut hukum adat
ada 14 macam, antara lain :
1. Karena tidak mempunyai anak. Hal ini adalah suatu motivasi yang bersifat
umum karena jalan satu-satunya bagi mereka yang belum atau tidak
mempunyai anak, di mana dengan pengangkatan anak sebagai pelengkap
kebahagiaan dan kelengkapan serta menyemarakkan rumah tangga.
2. Karena belas kasihan terhadap anak-anak tersebut, disebabkan orang tua si
anak tidak mampu memberikan nafkah kepadanya. Hal ini adalah motivasi
yang sangat positif, karena di samping mambantu si anak juga membantu
beban orang tua kandung si anak asal didasari oleh kesepakatan yang
ikhlas antara orang tua angkat dengan orang tua kandung.
3. Karena belas kasihan di mana anak tersebut tidak mempunyai orang tua.
Hal ini memang suatu kewajiban moral bagi yang mampu, di samping
sebagai misi kemanusiaan.
4. Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah anak
perempuan atau sebaliknya. Hal ini adalah juga merupakan motivasi yang
logis karena umumnya orang ingin mempunyai anak perempuan dan anak

laki-laki.
5. Sebagai pemancing bagi yang tidak punya anak, untuk dapat mempunyai
anak kandung. Motivasi ini berhubungan erat dengan kepercayaan yang
ada pada sebagian anggota masyarakat.
6. Untuk menambah jumlah keluarga. Hal ini karena orang tua angkatnya
mempunyai banyak kekayaan.

Universitas Sumatera Utara

7. Dengan maksud agar anak yang diangkat mendapat pendidikan yang baik.
Motivasi ini erat hubungannyaa dengan misi kemanusiaan.
8. Karena faktor kekayaan. Dalam hal ini, disamping motivasi sebagai
pemancing untuk dapat mempunyai anak kandung, juga sering
pengangkatan anak ini dalam rangka untuk mengambil berkat baik bagi
orang tua angkat maupun dari anak yang diangkat demi untuk bertambah
baik kehidupannya.
9. Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan pewaris bagi yang tidak
mempunyai anak kandung. Hal ini berangkat dari keinginan agar dapat
memberikan harta dan meneruskan garis keturunan.
10. Adanya hubungan keluarga, maka orang tua kandung dari si anak tersebut

meminta suatu keluarga supaya dijadikan anak angkat. Hal ini juga
mengandung misi kemanusiaan.
11. Diharapkan anak dapat menolong di hari tua dan menyambung keturunan
bagi yang tidak mempunyai anak. Dari sini terdapat motivasi timbal balik
antara kepentingan si anak dan jaminan masa tua bagi orang tua angkat.
12. Ada perasaan kasihan atas nasib si anak yang tidak terurus. Pengertian
tidak terurus, dapat saja berarti orang tuanya hidup namun tidak mampu
atau tidak bertanggung jawab, sehingga anaknya menjadi terkatungkatung. Di samping itu, juga dapat dilakukan terhadap orang tua yang
sudah meninggal dunia.
13. Untuk mempererat hubungan keluarga. Di sini terdapat misi untuk
mempererat pertalian famili dengan orang tua si anak angkat.

Universitas Sumatera Utara

14. Karena anak kandung sakit-sakitan atau selalu meninggal dunia, maka
untuk menyelamatkan si anak, diberikannya anak tersebut kepada keluarga
atau orang lain yang belum atau tidak mempunyai anak, dengan harapan
anak yang bersangkutan akan selalu sehat dan panjang usia. Dari motivasi
ini terlihat adanya unsur kepercayaan dari masyarakat kita. 40
Sangat jelas bila seorang anak telah diangkat atau diadopsi oleh orang tua

angkatnya, maka akan timbul akibat hukum dari perbuatan pengangkatan anak
tersebut. pada hukum di Indonesia, bila seorang anak telah diangkat oleh keluarga
angkatnya, maka anak tersebut akan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama
seperti anak kandung orang tuanya. Anak angkat akan mendapatkan kewajiban
seperti menghormati orang tua atau walinya, sedangkan hak anak tersebut akan di
dapatkan ketika telah diangkat adalah warisan dari keluarga angkatnya, yang
dapat berupa tanah, harta kekayaan, uang, dan materi yang dapat diwariskan
lainnya.
Dalam hukum adat, Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas
warisan sebagai anak, bukannya sebagai orang asing. 41 Sepanjang perbuatan
pengangkatan anak telah menghapuskan peranannya sebagai “orang asing’ dan
menjadikannya sebangai “anak” maka anak angkat berhak atas warisan sebagai
seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat.

40

Mudaris Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Sinar Grafika,
Jakarta. 1992),hal.61.
41
Sunarmi, Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Batak Toba, (Suatu Analisis

Berdasarkan Hukum Adat). Universitas Sumatera Utara. hal. 6.

Universitas Sumatera Utara

Pengangkatan anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak
sepenuhnya atas warisan. Pengadilan Negeri dalam praktek telah merintis
mengenai akibat hukum di dalam pengangkatan antara anak dengan orang tua
sebagai berikut :
1. Hubungan darah: mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk
memutuskan hubungan anak dengan orangtua kandung.
2. Hubungan waris: dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak
sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak
yang diangkat akan mendapat waris dari orangtua angkat.
3. Hubungan

perwalian:

dalam

hubungan


perwalian

ini

terputus

hubungannya anak dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang
tua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh
pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang tua kandung berlaih kepada
orang tua angkat.
4. Hubungan marga, gelar, kedudukan adat: dalam hal ini anak tidak akan
mendapat marga, gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua
angkat
Selain akibat hukum yang mengaitkan hak dan kewajiban anak setelah
diangkat oleh orang tua angkatnya, terdapat juga akibat anak tersebut dengan
pihak-pihak yang berkepentingan dengan perbuatan pengangkatan anak tersebut
seperti akibat hukum dengan orang tua kandung dan orang tua angkat.

Universitas Sumatera Utara


a. Dengan orang tua kandung
Anak yang sudah diadopsi orang lain, berakibat hubungan dengan orang
tua kandungnya menjadi putus. Hal ini berlaku sejak terpenuhinya prosedur atau
tata cara pengangkatan anak secara terang dan tunai. Kedudukan orang tua
kandung telah digantikan oleh orang tua angkat. Hal seperti ini terdapat di daerah
Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan. Kecuali di daerah Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Timur perbuatan pengangkatan anak hanyalah
memasukkan anak itu ke dalam kehidupan rumah tangganya saja, tetapi tidak
memutuskan pertalian keluarga anak itu dengan orang tua kandungnya. Hanya
hubungan dalam arti kehidupan sehari-hari sudah ikut orang tua angkatnya dan
orang tua kandung tidak boleh ikut campur dalam hal urusan perawatan,
pemeliharaan dan pendidikan si anak angkat.
b. Dengan orang tua angkat.
Kedudukan anak angkat terhadap orang tua angkat mempunyai kedudukan
sebagai anak sendiri atau kandung. Anak angkat berhak atas hak mewaris dan
keperdataan. Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa daerah di Indonesia, seperti
di pulau Bali, perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum melepaskan
anak itu dari pertalian keluarganya sendiri serta memasukkan anak itu ke dalam
keluarga bapak angkat, sehingga selanjutnya anak tersebut berkedudukan sebagai
anak kandung. 42

42

Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, (Pradnya Paramita, Jakarta), 1994. hal..99.

Universitas Sumatera Utara

Di Lampung perbuatan pengangkatan anak berakibat hubungan antara si
anak dengan orang tua angkatnya seperti hubungan anak dengan orang tua
kandung dan hubungan dengan orangtua kandung-nya secara hukum menjadi
terputus. Anak angkat mewarisi dari orang tua angkatnya dan tidak dari orang tua
kandungnya. 43
Terdapat sebuah pengaturan khusus tentang hak waris anak angkat yang
diatur dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yang menjelaskan bahwa tidak
semua harta peninggalan bisa diwariskan kepada anak angkat. Hal tersebut dapat
dilihat dalam beberapa keputusan Mahkamah Agung, antara lain:
1)

Putusan MA tanggal 18 Maret 1959 No. 37 K/Sip/1959
Menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya

diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadap
barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya.
2)

Putusan MA tanggal 24 Mei 1958 No. 82 K/Sip/1957
Anak kukut (anak angkat) tidak berhak mewarisi barang-barang pusaka,

barang-barang ini kembali kepada waris keturunan darah.
3)

Putusan MA tanggal 15 Juli 1959 No. 182 K/Sip/1959
Anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya yang

tidak merupakan harta yang diwarisi oleh orang tua angkat tersebut.
43

Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat
Hukumnya di Kemudian Hari, Rajawali Pers, Jakarta, 1989, hal. 117.

Universitas Sumatera Utara

Secara garis besar akibat hukum tentang perbuatan pengangkatan anak
sudah sangat jelas pengertiannya karena telah diatur di dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia. Akibat hukum tersebut akan selalu muncul
apabila sebuah keluarga memutuskan untuk mengangkat seorang anak, karena
perbuatan tersebut akan menciptakan hak dan kewajiban kepada anak yang telah
diangkat.
B. Pengangkatan Anak Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.
1. Tata cara Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak dalam istilah Hukum Perdata Barat disebut adopsi.
Dalam Kamus Hukum kata adopsi yang berasal dari bahasa latin adoptio diberi
arti Pengangkatan anak sebagai anak sendiri. 44 Rifyal Ka'bah, mengemukakan
bahwa adopsi adalah penciptaan hubungan orang tua dan anak oleh perintah
pengadilan antara dua pihak yang biasanya tidak mempunyai hubungan atau
keluarga.

Sebagaimana ketentuan dalam PP No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak dalam pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa Pengangkatan
anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari
lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkat.
44

Andi Hamzah, Kamus Hukum, Bandung, , PT Ghalia, 1986. hal. 28.

Universitas Sumatera Utara

Pengaturan tentang penangkatan anak di atur antara lain di KUHPerdata
(Untuk Golongan Tionghoa dan Timur Asing) dan juga diatur dalam UU No 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan PP No 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Selain dalam pengangkatan anak itu juga perlu
diperhatikan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) nomor 2 tahun 1979 jo
SEMA 6 tahun 1983 jo SEMA 4 tahun 1989.
UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak membedakan antara Anak
angakat dan anah asuh
1. Anak angkat (Pasal 1 angka 9) adalah anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain
yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan
anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya
berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
Pengertian anak angkat sama dengan pengertian anak angkat dalam PP No 54
Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dalam pasal 1 angka 1
2. Anak asuh (Pasal 1 angka 10) adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau
lembaga,

untuk

diberikan

bimbingan,

pemeliharaan,

perawatan,

pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang
tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.

Universitas Sumatera Utara

UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (pasal 14) dapat
diambil sebuah prinsip bahwa Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya
sendiri, kecuali jika ada alasan dan atau aturan hukum yang sah menunjukkan
bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan
pertimbangan terakhir.
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara
mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih
dahulu mengajukan permohonan pengesahan pengangkatan kepada Pengadilan
Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada. Bentuk permohonan itu bisa
secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan
ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai
secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat tinggal domisili anak yang akan diangkat.
Pengangkatan anak diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak yaitu Pasal 39 - 41 jo PP No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak pasal 6 dapat diambil prinsip-prinsip dalam pengangkatan
anak :
1.

Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik
bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.

Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang
diangkat dan orang

tua kandungnya.

Orang tua angkat wajib

Universitas Sumatera Utara

memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang
tua kandungnya. Dan pemberitahuannya haruslah memperhatikan kesiapan
anak yang bersangkutan.
3.

Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh
calon anak angkat. Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama
anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.

4.

Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir.

2. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak
Dalam ketentuan PP No 54 Tahun 2007 Pasal 12 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak disebutkan bahwa anak yang hendak dijadikan anak
angkat atau di adopsi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
2. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan.
3. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak.
4. dan memerlukan perlindungan khusus.
Berkaitan umur si anak, ada beberapa pembagain yaitu :
1. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama.
2. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas)
tahun, sepanjang ada alasan mendesak.

Universitas Sumatera Utara

3. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18
(delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.

3. Pihak yang Dapat Mengajukan Pengangkatan Anak

Pihak yang dapat mengajukan pengangangkatan anak sebagai Calon orang
tua angkat harus memenuhi kententuan dalam PP No 54 Tahun 2007 Pasal 13
tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yaitu :

1.

sehat jasmani dan rohani.

2.

berumur paling rendah 30 tahun dan paling tinggi 55 tahun.

3.

beragama sama dengan agama calon anak angkat.

4.

berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
kejahatan.

5.

berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun.

6.

tidak merupakan pasangan sejenis.

7.

tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak.

8.

dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial.

9.

memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak.

10.

membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak.

11.

adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat.

12.

telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak
izin pengasuhan diberikan.

Universitas Sumatera Utara

13.

memperoleh izin Menteri dan atau kepala instansi sosial.

SEMA No 2 tahun 1979 jo SEMA No 6 tahun 1983 jo SEMA No 4 tahun
1989, permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada Pengadilan Negeri yang
daerah hukummnya meliputi tempat anak yang akan diangkat itu berada.

Sejak berlakuknya UU Nomor 3 Tahun 2006, membolehkan Pengadilan
Agama untuk menangani Pengangkatan Anak. Kewenangan itu diatur dalam
penjelasan Pasal 49 huruf a angka 20, yang menyebutkan bahwa PA berwenang
mengadili "penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam". Dengan aturan itu terkesan ada dua badan peradilan
yang berwenang mengurusi adopsi anak, yaitu PA dan Pengadilan Negeri (PN).
Akan tetapi jelas Perbedaan Pengangkatan anak atau adopsi yang dijaukan ke
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, Perbedaannya yaitu sebagai berikut :

" Permohonan Anak Angkat yang ditujukan oleh Pemohon yang beragama Islam
dengan maksud untuk memperlakukan anak angkat sebagai anak kandung dan
dapat mewaris, maka Permohonan diajukan Ke Pengadilan Negeri, sedangkan
apabila dimaksudkan untuk dipelihara, maka permohonan diajukan ke Pengadilan
Agama “

Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara
Asing sebagaimana dimaksud dalam meliputi 2 hal , yaitu :

1.

pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing.

Universitas Sumatera Utara

2.

pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Warga Negara
Indonesia.

Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara
Asing dilakukan melalui putusan pengadilan. Pengangkatan anak Warga Negara
Indonesia oleh Warga Negara Asing sebagaimana harus memenuhi syarat:

1. memperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal pemohon melalui
kedutaan atau perwakilan negara pemohon yang ada di Indonesia.
2. memperoleh izin tertulis dari Menteri.
3. melalui lembaga pengasuhan.

Selain memenuhi persyaratan calon orang tua angkat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 PP No 54 Tahun 2007, calon orang tua angkat Warga
Negara Asing juga harus memenuhi syarat tambahan, yaitu:

1. telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun.
2. mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara pemohon.
3. membuat pernyataan tertulis melaporkan perkembangan anak kepada
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik
Indonesia setempat.

Universitas Sumatera Utara

Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia
harus memenuhi syarat:

1. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah Republik Indonesia.
2.

memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah negara asal anak.

Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal hanya dapat dilakukan oleh
Warga Negara Indonesia setelah mendapat izin dari Menteri atau kepala instansi
sosial di provinsi yang telah mendapat delegasi.

Pengangakatan anak oleh seorang WNA atau seorang WNI terhadap WNA
(pengangkatan anak antar Negara / Inter Country Adoption) hanya dapat
dilakukan dalam daerah Pengadilan Negeri dimana Yayasan yang ditunjuk
Departemen Sosial RI untuk dapat dilakukannya (pengangkatan anak antar
negara/ Inter Country Adoption) dilakukan sebagai upaya terakhir (ultimatum
remedium) dan pelaksanaanya harus memperhatikan SEMA no 6 tahun 1983 Jo
SEMA 4 tahun 1989 jo UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal
39, pasal 40 dan pasal 41.

C. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam
Islam telah lama mengenal istilah tabani, yang di era modern ini disebut
adopsi atau pengangkatan anak. Rasulullah SAW bahkan mempraktikkannya
langsung, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya.Tabanni
diartikan sebagai seseorang yang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan
seperti anak kandung sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih sayang,

Universitas Sumatera Utara

nafkah pendidikan dan keperluan lainnya. Menurut hukum Islam anak itu
bukanlah anaknya. 45

1. Pengertian Pengangkatan Anak

Istilah “Pengangkatan Anak” berkembang di Indonesia sebagai terjemahan
dari bahasa Inggris “adoption”, mengangkat seorang anak. 46 yang berarti
“mengangkat anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri dan
mempunyai hak yang sama dengan anak kandung”. 47 Pada saat Islam disampaikan
oleh Nabi Muhammad SAW, pengangkatan anak telah menjadi tradisi di kalangan
mayoritas masyarakat Arab yang dikenal dengan istilah tabanni yang berarti
“mengambil anak angkat”.
Tabanni berarti “mengambil anak”. 48 sedangkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia istilah pengangkatan anak disebut juga dengan istilah “Adopsi”
yang berarti “Pengambilan (pengangkatan) anak orang lain secara sah menjadi
anak sendiri. 49 Istilah Tabanni yang berarti seseorang mengangkat anak orang lain
sebagai anak, dan berlakulah terhadap anak tersebut seluruh ketentuan hukum

45

Yusuf Assidiq / Heri Ruslan. http:// www. republika.co.id/ berita/ ensiklopediaislam/fatwa/10/06/13/119639-mengadopsi-anak-menurut-hukum-islam. Diakses pada pukul 09.45
WIB tanggal 11 Mei 2014.
46
Jonathan Crowther . Oxford Advanced Leaner’s Dictionary, (Oxford University
:1996), hal. 16.
47
Simorangkir, JCT. Kamus Hukum, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), hal. 4.
48
Ibrahim Anis dan Abdul Halim Muntashir. Al-Mu’jam al-wasith, Mishr; Majma’
al-Lughah al-Arabiyah. 1392 H/1972 M, Cet. II, Jilid I, hal. 72
49
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal.
7.

Universitas Sumatera Utara

yang berlaku atas anak kandung orang tua angkat, 50 pengertian demikian
memiliki pengertian yang identik dengan istilah adopsi.

Tabanni dinilai sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh pasangan
suami istri yang luas rezekinya, namun belum dikaruniai anak. Maka itu, sangat
baik jika mengambil anak orang lain yang kurang mampu, agar mendapat kasih
sayang ibu-bapak (karena yatim piatu), atau untuk mendidik dan memberikan
kesempatan belajar kepadanya. Di Indonesia, peraturan terkait pengangkatan anak
terdapat pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dan PP No 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Demikian
pula Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang turut memerhatikan aspek ini.

Pasal 171 huruf h KHI menyebutkan anak angkat adalah anak yang dalam
hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya,
beralih tanggung jawabnya dari orangtua asal kepada orangtua angkatnya
berdasarkan putusan pengadilan. Kalangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak
lama sudah memfatwakan tentang pengangkatan anak. Fatwa itu menjadi salah
satu hasil Rapat Kerja Nasional MUI yang berlangsung Maret 1984. Pada salah
satu butir pertimbangannya, para ulama memandang, bahwa Islam mengakui
keturunan (nasab) yang sah, yaitu anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan).

50

Muhammad Ali Al-Sayis. Tafsir Ayat al-Ahkam. (Mesir: Mathba’ah Muhammad Ali
Shabih wa Auladih, 1372 H/1953 M. Jilid IV, hal. 7.

Universitas Sumatera Utara

Dari berbagai definisi yang diberikan oleh para ahli, ada dua corak
pengertian anak angkat sebagaimana disampaikan oleh Mahmud Syaltut yang
dikutif Andi Syamsul Alam bahwa ada dua pengertian anak angkat :
1.

Mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh
perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status anak kandung
kepadanya sesuai dengan surat dan Al-Maidah ayat 3 untuk saling
tolong menolong dalam kebaikan.

2.

Mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan dia diberi status
sebagai anak kandung sehingga hak dan kewajibannya sama seperti
anak kandung dan dinasabkan kepada orang tua angkatnya.

Tabanni yang dilarang oleh hukum Islam yaitu karena mengubah nasabnya
kepada ayah angkatnya dan itu bertentangan dengan al-Qur’an surat Al-Ahzab: 45. Persamaan dari dua jenis defenisi tersebut adalah dari aspek perlindungan dan
kepentingan anak seperti pemeliharaan, pengasuhan, kasih sayang, pendidikan,
masa depan dan kesejahteraan anak. Titik perbedaannya terletak pada penentuan
nasab dengan segala akibat hukumnya. Anak angkat yang tidak dinasabkan
kepada orang tua angkatnya tidak berhak waris mewarisi, menjadi wali dan lain
sebagainya. Sedang anak angkat yang dinasabkan dengan orang tua angkatnya
berhak saling mewarisi, menjadi wali, dan hak-hak lain yang dipersamakan
dengan anak kandung.
Tabanni menurut Wahbah al-Zuhaili adalah pengangkatan anak yang
dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasabnya, kemudian anak itu

Universitas Sumatera Utara

di nasabkan kepada dirinya. 51 Dalam pengertian lain, tabanni adalah seseorang
baik laki-laki maupun perempuan yang dengan sengaja menasabkan seorang anak
kepada dirinya padahal anak tersebut sudah punya nasab yang jelas pada orang tua
kandungnya. Pengangkatan anak dalam pengertian demikian jelas bertentangan
dengan Hukum Islam, maka unsur menasabkan seorang anak kepada orang lain
yang bukan nasabnya harus dibatalkan.
2. Hukum Pengangkatan Anak
Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam tidak mengakui
lembaga pengangkatan anak yang mempunyai akibat hukum seperti yang pernah
dipraktikan masyarakat jahiliyah dalam arti terlepasnya dari hukum kekerabatan
orang tua kandungnya dan masuknya ke dalam hukum kekerabatan orang tua
angkatnya. Hukum Islam hanya mengakui bahkan menganjurkan, pengangkatan
anak dalam arti pemungutan dan pemeliharaan anak, dalam artian status
kekerabatannya tetap berada di luar lingkungan keluarga orang tua angkatnya dan
dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum apa-apa. Ia tetap anak dan
kerabat orang tua kandungnya, berikut dengan segala akibat hukumnya.
Larangan pengangkatan anak dalam arti benar-benar dijadikan anak
kandung berdasarkan firman Allah SWT.dalam Surat al-Ahzab ayat 4-5 yang
artinya “ Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah

51

Wahbah al-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islami wa al-Adillatuhu,Juz.9 (Beirut: Daral-Fikr alMa’ashir, Cet. IV. 1997). hal. 271.

Universitas Sumatera Utara

mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka,
itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapakbapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudara seagamamu”.
Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam melarang
praktik pengangkatan anak yang memiliki implikasi yuridis seperti pengangkatan
anak yang dikenal oleh hukum Barat dan praktik masyarakat jahiliyah yaitu
pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, anak
angkat terputus hubungan hukum dengan orang tua kandungnya, anak angkat
memiliki hak waris sama dengan hak waris anak kandung, orang tua angkat
menjadi wali mutlak terhadap anak angkat. Hukum Islam hanya mengakui
pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya kewajiban untuk memberikan
nafkah sehari-hari, mendidik, memelihara, dan lain-lain, dalam konteks beribadah
kepada Allah SWT.
Hukum Islam telah menggariskan bahwa hubungan hukum antara orang
tua angkat dengan anak angkat terbatas sebagai hubungan antara orang tua asuh
dengan anak asuh dan sama sekali tidak menciptakan hubungan nasab. Akibat
yuridis dari pengangkatan anak dalam Islam hanyalah terciptanya hubungan kasih
dan sayang dan hubungan tanggung jawab sebagai sesama manusia. Karena tidak
ada hubungan nasab, maka konsekuensi yuridis lainnya adalah antara orang tua
angkat dengan anak angkat harus menjaga mahram, dan karena tidak ada
hubungan nasab, maka keduanya dapat melangsungkan perkawinan. Rasulullah
Muhammad SAW. diperintahkan untuk mengawini janda Zaid Bin Haritsah anak

Universitas Sumatera Utara

angkatnya, hal ini menunjukkan bahwa antara Nabi Muhammad dan Zaid Bin
Haritsah tidak ada hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang sebagai
orang tua angkat dengan anak angkatnya. 52
Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam yang selama ini dilakukan
oleh orang-orang Islam di Indonesia hanya dilakukan dengan upacara tradisional
atau kebiasaan saja tanpa memerlukan penetapan pengadilan, yang meskipun
secara materil dan bersifat sebagian dari hukum Islam tentang pengangkatan anak
telah mendapat perlindungan melalui ketentuan Pasal 39 Undang-undang Nomor
23 Tahun 2002 pada ayat (1) sampai ayat (4), dinyatakan bahwa, pengangkatan
anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan
dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, serta tidak memutuskan hubungan darah
antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya, demikian pula bahwa, calon
orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak
angkat tersebut.
Putusan Pengadilan Agama Medan No:36/Pdt.P/2010/PA.Mdn Merujuk
pada Undang-undang Nomor 1 angka (9) disebutkan bahwa, anak angkat adalah
anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah,
atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan
membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya
berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

52

Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), hal. 87.

Universitas Sumatera Utara

Dari ketentuan hukum tersebut, maka untuk mendapatkan kepastian
hukum pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam diperlukan penetapan
Pengadilan yang dalam hal ini tentunya adalah

Peradilan Agama sebagai

Peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam yang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam dibidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, waqaf dan shodaqah Berdasarkan hukum
Islam.
Berdasarkan ketentuan di dalam Kompilasi Hukum Islam dan ketentuan
perundang-undangan maka untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan
perlindungan bagi pengangkatan anak yang dilakukan menurut hukum Islam
diperlukan penetapan Pengadilan yang mempunyai kewenangan absolut untuk
menegakkan hukum perkawinan dan hukum keluarga berdasarkan hukum Islam,
yaitu Pengadilan Agama di Indonesia.
Berdasarkan hukum Islam maka dalam pengangkatan anak berlaku
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Pengangkatan anak dibolehkan dengan mengutamakan kepentingan
kesejahteraan anak dan dianjurkan terhadap anak yang terlantar.
2. Dalam pengangkatan anak tanggung jawab pemeliharaan anak hidupnya
sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih dari orang tua asal
kepada orang tua angkat sebagai mana diatur dalam pasal 171 huruf (h)
Kompilasi Hukum Islam.

Universitas Sumatera Utara

3. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak dengan
orang tuanya dan keluarga orangtuanya.
4. Atas dasar ketentuan tersebut pada butir 3 diatas bila ternyata anak angkat
tersebut adalah perempuan maka yang menjadi wali nikahnya adalah tetap
ayah kandungnya, sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 19
Kompilasi Hukum Islam, dan apabila ternyata ia tidak mempunyai wali
nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat atau
berhalangan, sehingga berdasarkan ketentuan pasal 7 ayat (1) Peraturan
Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987 nikahnya dapat dilakukan dengan
wali hakim.
5. Pengangkatan anak tidak menimbulkan hubungan nasab, kewarisan, dan
hubungan hukum lainnya dengan orang tua angkat, kecuali hak dan
kewajiban yang berkaitan dengan kemaslahatan dan pendidikan anak
tersebut.
6. Terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta anak angkatnya, dan demikian
pula terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan dari orang tua
angkatnya berdasarkan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam.
7. Untuk pengangkatan anak diperlukan persetujuan dari orang tua asal, wali,
atau orang/badan yang menguasai anak yang akan diangkat, dengan calon
orang tua angkat.

Universitas Sumatera Utara

8. Dalam pengangkatan anak harus menghormati hukum yang berlaku bagi si
anak.
9. Pengangkatan anak bagi yang beragama Islam hanya dapat dilakukan oleh
orang tua yang beragama Islam berdasarkan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor : U-335/MUI/VI/82 tanggal 18 sya’ban 1402 H/10 Juni
1982.
10. Demi kepastian hukum, Pengangkatan anak menurut hukum Islam
diperlukan penetapan Pengadilan Agama Sebagaimana dikehendaki oleh
pasal 171 hurup (f) Kompilasi Hukum Islam.
Dalam bidang kemasyarakatan atau muamalah pengangkatan anak itu
berkembang menurut kepentingan masyarakat, dengan berdasarkan pada AlQur’an dan sunah Rasul. Hukum Islam yang dibuat untuk kemaslahatan hidup
manusia dan oleh karenanya hukum Islam sudah seharusnya mampu memberikan
jalan keluar dan petunjuk terhadap kehidupan manusia baik dalam bentuk sebagai
jawaban, terhadap suatu persoalan yang muncul maupun dalam bentuk aturan,
yang dibuat untuk menata kehidupan manusia itu sendiri. Hukum Islam dituntut
untuk dapat menjawab persoalan yang muncul sejalan dengan perkembangan dan
perubahan yang terjadi dimasyarakat, oleh karena hukum Islam hidup ditengahtengah masyarakat. Masyarakat senantiasa mengalami perubahan, maka hukum
Islam perlu mempertimbangkan perubahan yang terjadi dimasyarakat tersebut.

Universitas Sumatera Utara

3. Tujuan Pengangkatan Anak Dalam Islam
Dalam prakteknya pengangkatan anak di kalangan masyarakat Indonesia
mempunyai beberapa macam tujuan dan motivasi. Tujuannya adalah antara lain
untuk meneruskan keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh
keturunan. 53 Berdasarkan hukum Islam tujuan pengangkatan anak yaitu tolong
menolong dalam hal kebajikan ta’awun. Berdasarkan sumber-sumber yang ada,
dalam hal ini terdapat beberapa tujuan yang digunakan sebagai dasar
dilaksanakannya suatu pengangkatan anak. Dilihat dari sisi orang yang
mengangkat anak, karena adanya alasan: 54

a) Keinginan untuk mempunyai anak atau keturunan.
b) Keinginan untuk mendapatkan teman bagi dirinya sendiri atau anaknya.
c) Keinginan untuk menyalurkan rasa belas kasihan terhadap anak orang lain
yang membutuhkan.
d) Adanya ketentuan hukum yang memberikan peluang untuk melakukan suatu
pengangkatan anak.
e) Adanya pihak yang menganjurkan pelaksanaan pengangkatan anak untuk
kepentingan pihak tertentu.
.

53

UU. No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 39 Ayat 1
Irma Setyawati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta,
1990, hal. 40.
54

Universitas Sumatera Utara

Dilihat dari sisi orangtua anak, karena : 55
a) Perasaan tidak mampu untuk membesarkan anaknya sendiri.
b) Kesempatan untuk meringankan beban sebagai orangtua karena ada
pihak yang ingin mengangkat anaknya.
c) Imbalan-imbalan yang dijanjikan dalam hal penyerahan anak.
d) Saran-saran dan nasihat dari pihak keluarga atau orang lain.
e) Keinginan agar anaknya hidup lebih baik dari orangtuanya.
f) Ingin anaknya terjamin materil selanjutnya.
g) Masih mempunyai anak-anak beberapa lagi.
h) Tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk membesarkan anak
sendiri.
i) Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu sebagai akibat dari
hubungan yang tidak sah.
j) Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu mempunyai anak
yang tidak sempurna fisiknya.

55

Ibid,

Universitas Sumatera Utara

4. Syarat Pengangkatan Anak Dalam Islam
Menurut Hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dilakukan dengan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Tidak memutus hubungan darah antara anak yang diangkat dengan dengan
orang tua biologis dan keluarganya.
2. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat,
melainkan tetap sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya.
3. Demikian juga dengan orang tua angkat tidak berhak berkedudukan
sebagai pewaris dari anak angkatnya.
4. Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya
secara langsung, kecuali sekedar sebagai tanda pengenal / alamat.
5. Orang tua angkat tidak bisa bertindak sebagai wali dalam perkawinan
terhadap anak angkatnya. 56
Pasal 209 ayat 2 Ketentuan Hukum Islam Menyatakan bahwa anak angkat
hanya berhak mendapat wasiat wajibah, sepertiga dari harta warisan. 57 Lembaga
wasiat wajibah merupakan bagian dari kajian wasiat pada umumnya. Persoalan
wasiat wajibah sangat relevan dengan kajian hukum pengangkatan anak tabani
dalam Hukum Islam, karena salah satu akibat dari peristiwa hukum pengangkatan

56

Muderis Zaini, 1995, Adopsi Ditinjau Dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta : Sinar
Grafika, hal 54.
57
Ribyal Ka’bah, Pengangkatan Anak Dalam uu No. 3 Tahun 2006, varia peradilan
No.248 edisi Juli 2006, hal 32.

Universitas Sumatera Utara

anak adalah timbulnya hak wasiat wajibah antara anak angkat dan orang tua
angkatnya. 58
Pengangkatan anak menurut Hukum Islam sebenarnya merupakan hukum
Hadhanah atau pemeliharaan anak yang diperluas dan sama sekali tidak merubah
hubungan hukum, nasab dan mahram antara anak angkat dengan orang tua dan
keluarga asalnya, dalam hukum Islam pemeliharaan anak disebutkan dengan AlHudhinah yang merupakan kata dari Al-hadanah yang berarti mengasuh dan
memelihara bayi, dalam istilah hadanah adalah pemeliharaan anak yang belum
mampu berdiri sendiri, biaya pendidikannya dan pemeliharaannya dari segala
yang membahayakan jiwanya.
Masalah

hadhanah

merupakan

hal

yang

sangat

penting

untuk

dilaksanakan, oleh karena itu orang yang melaksanakan hadhanah itu haruslah
memenuhi syarat-syarat tertentu : 59
1. Berakal sehat.
2. Dewasa.
3. Mempunyai kemampuan dan Keahlian.
4. Amanah dan berbudi luhur.
5. Beragama Islam.

58

Ahmad Kamil dan M.Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di
Indonesia, Raja Jakarta : Grafindo Persada, hal.125.
59
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Material Dalam Praktek Peradilan Agama.
Jakarta : Pustaka Bangsa 2003. hal 78.

Universitas Sumatera Utara

Perubahan yang terjadi hanya perpindahan tanggung jawab pemeliharaan
pengawasan dan pendidikan dari orang tua asli kepada orang tua angkat.
Pengangkatan anak tersebut tidak merubah anak angkat menjadi anak kandung
dan status orang tua angkat menjadi status orang tua kandung. Hanya dalam
praktik pengangkatan anak yang sering terjadi dimasyarakat dengan cara dibuat
seperti anak kandung pada waktu orang tua angkat membuat akta kelahiran. Oleh
karena itu, tidak bisa anak angkat itu seolah-olah anak yang baru lahir ditengahtengah keluarga orang tua angkatnya seperti anak kandung. Penetapan
pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam oleh pengadilan agama tidak
memutuskan hubungan hukum atau hubungan nasab dengan orang tua
kandungnya. Penetapan pengadilan agama hanya sebagai dasar bagi kantor
catatan sipil untuk membuat akta kelahiran.
Ada

beberapa

hal

yang

harus

diperhatikan

dalam

pelaksanaan

pengangkatan anak yaitu yang pertama, anak angkat tidak bisa menggunakan
nama ayah angkatnya seperti yang dijelaskan pada ayat 5 surat Al-ahzab. Yang
kedua, antara ayah angkat dengan anak angkat, ibu angkat dan saudara angkat
tidak mempunyai hubungan darah. Mereka dapat tinggal serumah, tetapi harus
menjaga ketentuan mahram dalam hukum Islam, antara lain tidak dibolehkan
melihat aurat, berkhalwat/bercinta, ayah atau saudara angkat tidak menjadi wali
perkawinan untuk anak angkat perempuan. Ketiga diantara mereka tidak saling
mewarisi.

Universitas Sumatera Utara