EUTHANASIA MAKALAH Disusun untuk memenuh

EUTHANASIA
MAKALAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Agama

XI – IPS 1
Disusun oleh:
- Hensen Layguardo
- Jiechinda Jesslyn Hugo
- Michael Lie
- Michelle Angelina Chandra
- Sisilia Tan
- Thimoty Dwi Putra
- Windy Hosea

SMA Santo Kristoforus I
Jln. Rahayu no. 1A, Jakarta Barat
April 2017

Kata Pengantar
Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan

Rahmat-Nya kami dapat menulis makalah ini yang berjudul “Euthanasia” hingga selesai.
Meskipun dalam makalah ini pasti terdapat berbagai macam kesalahan dan kekurangan
namun kami telah berusaha menyelesaikan makalah ini dengan sebaik mungkin yang di bantu
dari berbagai pihak. Maupun pihak antara anggota kelompok yang saling berkerja sama
maupun narasumber-narasumber dari internet maupun buku-buku serta dari guru
pembimbing.
Oleh karena itu, kami menghanturkan terima kasih kepada guru pembimbing serta
semua pihak yang telah memberikan sumbangan dan saran atas selesainya penulisan makalah
ini. Di dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa masih ada kekurangankekurangan mengingat keterbatasannya pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki. Oleh
sebab itu, sangat di harapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun
untuk melengkapkan makalah ini dan berikutnya.

Jakarta, 15 April 2017

Daftar Isi
Kata Pengantar..............................................................................................................................
Daftar
Isi........................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Masalah.......................................................................................................
1.2 Rumusan
Masalah................................................................................................................
1.3 Tujuan
Penulisan..................................................................................................................
1.4 Metode
Penulisan.................................................................................................................
1.5 Sistematika
Penulisan...........................................................................................................
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian
Euthanasia..........................................................................................................
2.1.1 Secara
Etimologis.....................................................................................................
2.1.2 Menurut Para
Ahli....................................................................................................
2.1.3 Menurut
Alkitab.......................................................................................................
2.1.4 Menurut Kamus
Hukum...........................................................................................

2.2 Sejarah
Euthanasia...............................................................................................................
2.3 Jenis-Jenis
Euthanasia..........................................................................................................
2.3.1 Dilihat dari Segi Pelakunya.....................................................................................
2.3.2 Dilihat dari Segi Caranya........................................................................................
2.3.3 Ditinjau dari Sudut Pemberian Ijin..........................................................................
2.4 Pandangan Para Ahli Terhadap
Euthanasia..........................................................................
2.5 Pandangan Berbagai Ajaran Agama Terhadap Euthanasia..................................................
2.6 Pandangan Hukum diberbagai Negara Mengenai
Euthanasia.............................................
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Penyebab Terjadinya

Euthanasia..........................................................................................
3.2 Kasus-Kasus Euthanasia......................................................................................................
3.3 Aspek-Aspek
Euthanasia......................................................................................................
3.3.1 Aspek

Hukum...........................................................................................................
3.3.2 Aspek Hak Asasi......................................................................................................
3.3.3 Apek Ilmu Pengetahuan...........................................................................................
3.3.4 Aspek Agama...........................................................................................................
3.4 Terminologi Euthanasia.......................................................................................................
3.5 Faktor yang Mempengaruhi Euthanasia..............................................................................
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan..........................................................................................................................
4.2
Saran.....................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam makalah ini, kita akan membahas mengenai Euthanasia. Ada dua masalah dalam
bidang kedokteran atau kesehatan yang berkaitan dengan aspek hukum yang selalu aktual
dibicarakan dari waktu ke waktu tentang Euthanasia, sehingga dapat digolongkan ke dalam
masalah klasik dalam bidang kedokteran, yaitu tentang abortus provokatus dan Euthanasia. Dalam
lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hippokrates (460-377 SM).

Kedua masalah ini telah ditulis dan telah diingatkan. Sampai kini tetap saja persoalan yang
timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau
dicapainya kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Di satu pihak tindakan abortus
provokatus dan Euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan. Sementara di
lain pihak, tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum, moral dan agama.
Mengenai masalah Euthanasia bila ditarik ke belakang, boleh dikatakan masalahnya sudah
ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak tersembuhkan, sementara pasien
sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi demikian tidak jarang pasien memohon
agar dibebaskan dari penderitaan ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau di lain
keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar, keluarga orang sakit yang tidak tega melihat pasien
yang penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak meneruskan
pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat kematian. Dari sinilah istilah
Euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan atau mati
secara baik.
Beberapa penganut kristiani percaya bahwa jika mereka berada dalam situasi yang unik untuk
melepaskan kehidupan yang diberikan dari Tuhan adalah suatu awal perjalanan menuju kehidupan
yang lebih baik. Namun, ada juga pemimpin gereja katolik dan protestan mengakui bahwa
tindakan mengakhiri kehidupan ini disahkan maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa,
namun di masa yang akan datang menjadi suatu racun bagi dunia kesehatan. Sejak awal, cara
pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam melakukan tindakan ini bertentangan dengan

maksud dan tujuan pemberian kehidupan dari Tuhan.
Dalam pandangan kitab suci, manusia berasal dari Allah sendiri dan pembunuhan orang lain
tidak dibenarkan karena melawan hukum ilahi. Misalnya dalam kitab Kel 20:13 berbunyi “Jangan
Membunuh” dan dalam kitab Rom 14:8;bdk. Fil 1:20 berbunyi “Kita adalah milik Tuhan”.
Kesucian manusia itu bukan hanya karena asal-usulnya dari Allah tetapi juga karena tujuan hidup
manusia adalah kembali kepada-Nya (penebusan).
Karena itu, hidup manusia tidak boleh dilanggar dan dihancurkan, tetapi harus dilindungi,
dijaga, dan dipertahankan. Euthanasia dan bunuh diri merupakan suatu penolakan pemberian
kehidupan yang diberikan oleh Allah. Dalam doa Israel kuno menyebutkan “Engkau berdaulat
atas hidup dan mati; Engkau membawa kepada gerbang alam maut dan ke atas kembali”.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, masalah dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
1. Apa pengertian Euthanasia dari berbagai sudut pandang?
2. Bagaimanakah sejarah Euthanasia?
3. Apa sajakah jenis-jenis Euthanasia?
4. Bagaimanakah pandangan para ahli terhadap Euthanasia?
5. Bagaimana pandangan dari berbagai ajaran agama terhadap Euthanasia?
6. Bagaimana pandangan hukum diberbagai negara Euthanasia?

7. Apakah penyebab terjadinya Euthanasia?
8. Apa contoh kasus-kasus Euthanasia?
9. Aspek-aspek apa sajakah yang ada di dalam Euthanasia?
10. Apa termonologi dari Euthanasia?
11. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi Euthanasia?

1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan atau penulisan makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian Euthanasia dari beberapa sudut pandang
2. Untuk mengetahui contoh kasus-kasus Euthanasia
3. Untuk mengetahui jenis-jenis Euthanasia
4. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi Euthanasia

1.4 Metode Penulisan
Metode penelitian merupakan langkah penting di dalam penyusunan laporan riset khususnya
bagi perancangan sistem. Di dalam kegiatan penelitian, kami melakukan pengumpulan data
melalui cara:
1. Pengamatan (Observation)
Kami melakukan pengamatan-pengamatan langsung terhadap kegiatan yang berhubungan
dengan masalah yang diambil. Hasil dari pengamatan tersebut langsung dicatat oleh kami

dan dari kegiatan observasi dapat diketahui permasalahan atau proses dan kegiatan
tersebut.
2. Studi Pustaka
Selain melakukan kegiatan observasi diatas, kami juga melakukan studi kepustakaan
melalui literatur-literatur atau referensi-referensi yang ada di buku-buku perpustakaan dan
juga internet.

1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini terbagi kedalam beberapa bab yang menguraikan
permasalahannya secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu dengan
yang lainnya. Kami membuat sistematika dengan membagi pembahasan keseluruhan ke dalam IV
bab terperinci. Adapun bagian-bagiannya adalah:
Bab I :
Pendahuluan
Pada bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, identifikasi
masalah, tujuan penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II :

Bab III :


Bab IV :

Landasan Teori
Pada bab ini akan diuraikan mengenai pengertian Euthanasia, sejarah
Euthanasia, jenis-jenis Euthanasia, pandangan para ahli terhadap Euthanasia,
pandangan berbagai ajaran agama terhadap Euthanasia, dan pandangan
hukum diberbagai negara terhadap Euthanasia.
Pembahasan
Pada bab ini merupakan inti dari pembahasan penulisan yang berisi tentang
penyebab terjadinya Euthanasia, kasus-kasus Euthanasia, aspek-aspek
Euthanasia, terminologi Euthanasia, dan faktor yang mempengaruhi
Euthanasia.
Penutup
Bab ini merupakan bab akhir dari makalah yang kami buat dan merupakan
penutup dari rangkaian bab-bab sebelumnya. Dimana dalam bab ini kami
membuat kesimpulan dan saran atas pembahasan makalah ini.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Euthanasia
Didalam makalah ini, kita akan membahas suatu tindakan yang disebut Euthanasia. Dalam
kasus ini terdapat banyak pro dan kontra yang membingungkan dan masih dicari jalan
kebenarannya apakah tindakan Euthanasia adalah suatu tindakan yang bijaksana atau suatu
pembunuhan. Akan tetapi, dalam perkembangan Euthanasia lebih menunjukan kegiatan
membunuh karena belas kasihan.
Maka menurut pengertian umum sekarang ini, Euthanasia dapat diterangkan sebagai
pembunuhan yang sistematis karena kehidupan penderita yang dianggap sebagai suatu
kesengsaraan bagi penderita. Jadi, dianggap bahwa kematian diatas dasar pilihan rasional
seseorang , yang dapat dianggap meringankan beban penderita atau malah menghilangkan nyawa
penderita tanpa persetujuan dari penderita itu sendiri. Berikut adalah berbagai pengertian dari
sudut pandang pihak-pihak tertentu.
2.1.1

Secara Etimologis
Istilah Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata “eu”
berarti baik, dan “thanatos” berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan
cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu, Euthanasia sering disebut juga
dengan mercy killing, a good death, atau enjoy death (mati dengan tenang).
Jadi, Euthanasia berarti mempermudah kematian (hak untuk mati). Hak untuk mati

ini secara diam-diam telah dilakukan yang tak kunjung habis diperdebatkan. Bagi
yang setuju menganggap Euthanasia merupakan pilihan yang sangat manusiawi,
sementara yang tidak setuju menganggapnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai
moral, etika dan agama

2.1.2

Menurut Para Ahli
Ada beberapa pengertian Euthanasia yang dikemukakan oleh beberapa ahli.
Diantaranya sebagai berikut:
1. Philo. Euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik.
2. Suetonis. Penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul “Vita Ceasarum”
mengatakan bahwa Euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”.
3. Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto. Euthanasia adalah suatu
kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan
dokter.

2.1.3

Menurut Alkitab
Kasih merupakan alasan bagi orang Kristen untuk mendasari segala sesuatu,
tetapi bukan belas kasihan yang menghalalkan segala cara demi orang yang kita
kasihi. Menghentikan kehidupan demi alasan kasih merupakan sebuah hal yang
sangat keliru. Kasih menuntut agar orang yang sakitnya tidak tersembuhkan
diperlakukan dengan semua belas kasihan yang mungkin diberikan, tetapi bukan
supaya kita mengambil nyawa orang itu bahkan atas permintaannya sendiri. Belas

kasihan menurut Alkitab adalah menenangkan orang yang akan binasa dengan zat
penenang atau minuman keras dan bukan membantunya bunuh diri (Ams.31:6-7).
Dalam Alkitab, penderitaan mempunyai fungsi yang positif dan konstruktif dalam
hidup manusia (Yakobus 1:2-4; Roma 5:3-4), penderitaan melahirkan ketekunan dan
pengharapan dan kesempurnaan hidup. Jika pro Euthanasia mengatakan bahwa
mengakhiri penderitaan seseorang adalah sikap murah hati, berarti penderitaan
dijadikan sebagai alat pembenaran praktek. Walaupun Euthanasia dapat mengakhiri
penderitaan, Euthanasia tetaplah suatu pembunuhan. Kalau penderitaan diakhiri
dengan Euthanasia, itu sama artinya menghalalkan segala cara untuk tujuan tertentu.
Hidup adalah pemberian Tuhan (Kejadian 2:7). Manusia menjadi makhluk hidup
setelah Tuhan Allah menghembuskan napas kehidupan kepadanya (band. Yehezkiel
37:9-10). Napas kehidupan diberikan Tuhan sehingga manusia memperoleh
kehidupan. Tugas manusia tidak lain kecuali memelihara kehidupan yang diberikan
oleh Tuhan (band. Perumpamaan dalam Efesus 5:29). Bukan hanya kehidupan yang
sehat, tetapi juga hidup yang dirundung oleh penderitaan, hidup yang sakit, harus
dipelihara. Maka penderitaan harus dapat diterima sebagai bagian kehidupan orang
percaya (Roma 5:3) termasuk penderitaan karena sakit.
Manusia lebih berharga daripada materi. Maka, materi harus melayani
kepentingan manusia (band. Matius 6, tentang khotbah di Bukit). Maka melakukan
Euthanasia demi untuk kepentingan apapun, termasuk penghematan ekonomi tidak
dibenarkan secara moral, terutama moral Kristen.
Mencabut hidup manusia memang secara moral adalah sangat keliru apapun
motifnya. Apalagi membantu seseorang untuk mengakhiri hidupnya, bagi orang
Kristen memang itu adalah kesalahan yang melawan Hukum Allah, tetapi tidak selalu
salah untuk mengizinkan seseorang mati, khususnya jika ini merupakan kematian
yang wajar. Jika kita mengizinkan kematian seseorang berlangsung dengan
menghentikan suplai makanan atupun air, maka ini disebut pembunuhan. Akan tetapi,
ketika menolak atau menghentikan alat-alat yang tidak wajar seperi jantung buatan
ataupun alat bantu ginjal itu tidak selalu salah, inilah yang disebut dengan Euthanasia
Pasif yang wajar.
Etika Kristen merupakan etika deontologi, yaitu suatu etika yang berpusat pada
kewajiban sehingga dalam hal ini Euthanasia yang dilakukan adalah mengacu pada
kewajiban atau hukum yang lebih tinggi berdasarkan peraturan-peraturan yang telah
dipertimbangkan secara rasional.
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun
di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek
umurnya sendiri. Orang yang menghendaki Euthanasia, walaupun dengan penuh
penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus
asa dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Demikian juga para dokter yang
melakukan Euthanasia bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan
kehendak Tuhan, yaitu memperpendek umur.

Jadi,

Berikut ini adalah contoh-contoh isi berbagai macam ayat alkitab atau penjelasan
yang mengarah tentang benar atau salahnya Euthanasia:
1. Tak ada orang yang mempunyai hak moral untuk membunuh manusia tak
bersalah. Kata Alkitab, “Jangan membunuh” (Kel. 20:30). “..dan seorang
pun tidak ada yang dapat melepaskan dari tangan-Ku” (Ul. 32:29). Ayub
mengatakan, ”Tuhan memberi, Tuhan yang mengambil” (Ayb. 1:21) dan
Dia saja yang berhak mengambilnya (Ibr 9:27). Kesalahan Euthanasia
Aktif adalah memainkan peranan sebagai Allah dan bukan manusia.
Bahkan Alkitab mengatakan bahwa kita bukanlah pencipta hidup kita.
hidup kita bukanlah milik kita (Kis. 14:17; 17:24-25).
2. Bukan belas kasihan jika membunuh penderita. Membunuh bayi belum
lahir sama saja dengan Child Abuse. Membunuh bayi cacat atau kaum
dewasa yang menderita bukan menghindarkan dari kesengsaraan manusia,
melainkan menyebabkan penderitaan kematian. Bahkan Alkitab
mengatakan, membunuh orang yang tak bersalah bukan perbuatan baik,
melainkan kejahatan (Kel 20:13).
3. Jika Euthanasia memperbolehkan membunuh dengan tujuan yang baik,
maka dengan membunuh pendukung Euthanasia dan aborsi, jutaan nyawa
bisa terselamatkan. Tetapi tidak akan ada pendukung Euthanasia yang
memperbolehkannya.
4. Dari penderitaan banyak dapat dipelajari. “Kita tahu bahwa kesengsaraan
itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan
tahan uji mienimbulkan pengharapan” (Rm. 5:3-4). Yakobus berkata,
“..anggaplah sebagai suatu kebahagiaan , apabila kamu jatuh ke dalam
berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap
imanmu itu menghasilkan ketekunan”. Penderitaan membentuk karakter,
“tiap-tiap pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi
dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang
memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya” (Ibr. 12:11).
5. Tidak ada label harga pada hidup manusia. Yesus berkata, “ Apa gunanya
seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya?” (Mrk.
8:36). Suatu nyawa manusia lebih berharga daripada apapun di dunia ini
(Mat. 6:26). Pandangan membunuh untuk menghemat uang adalah
materialistis.
6. Tujuan tidak membenarkan cara.
7. Manusia bukanlah hewan. “..sebab Allah membuat manusia itu menurut
gambar-Nya sendiri” (Kej. 9:6).
Salah satu contoh kasus dalam Perjanjian Lama yang hampir menjadi kasus
Euthanasia adalah kasus Saul yang meminta kepada pembawa senjatanya untuk
menikamnya. Tetapi pembawa senjatanya tidak mau, karena segan. Kemudian Saul
mengambil pedang itu dan menjatuhkan dirinya ke atasnya (1 Samuel 31:4). Raja
Saul berada pada ambang keputus-asaan dan merasa sudah tidak ada jalan keluar
selain mengakhiri penderitaannya. Euthanasia diminta atau dilakukan karena alasan
tidak tahan menderita, baik karena penyakit (rasa sakit) maupun oleh penghinaan di
medan perang (rasa malu). Kasus Saul mirip dengan kasus Abimelekh (Hakim 9:54);
takut disiksa dan dipermalukan adalah alasan melakukan Euthanasia.

Kasus euthanasia adalah kasus kematian yang dipaksakan, dan hal ini masuk
dalam kategori pembunuhan. Dalam Keluaran 20:13, dengan tegas firman Tuhan
berkata “Jangan membunuh.” Dengan demikian, tidak ada alasan moral apapun yang
mengijinkan pembunuhan, dan manusia itu sendiri tidak memiliki hak untuk
menentukan kematiannya, karena kematian adalah hak Tuhan (Ulangan 32:39; Ayub
1:21; Ibrani 9:27). Jadi, dalam pedalaman alkitab sekalipun Euthanasia di pandang
sebagai pembunuhan yang di larang di alkitab dan di larang di dalam 10 perintah
Allah.
2.1.4

Menurut Kamus Hukum
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan Euthanasia menjadi beban tersendiri
bagi komunitas hukum. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif
memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan Euthanasia akan sangat
membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah
kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang kegiatan ini.
Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di
Indonesia hanya dikenal satu bentuk Euthanasia, yaitu Euthanasia yang dilakukan
atas permintaan pasien/korban itu sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal
344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan “Barang siapa merampas
nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul bahwa pembunuhan
atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan
demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia Euthanasia tetap dianggap
sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di
Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun
atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak
pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut.
Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan
tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir perlu dicermati
secara hukum. Secara yuridis formal kualifikasi kasus ini adalah pembunuhan biasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan berencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP
secara tegas dinyatakan, “Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam,
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sementara
dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan “Barang siapa dengan sengaja dan
dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan
berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun”.
Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan
untuk menjerat pelaku Euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga
mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang
berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”. Selain itu patut

juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan
Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan “Barang siapa dengan
sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah”.
Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan
kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”.
Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks
hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga
dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang
terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.

2.2 Sejarah Euthanasia
Dari zaman Yunani kuno sudah dikenal tentang Euthanasia. Pada zaman Yunani Romawi,
penekanan Euthanasia ditekankan pada kehendak manusia untuk melepaskan diri dari penderitaan
terutama yang mengalami penyakit parah. Selain itu, ada kondisi yang memungkinkan untuk
terjadinya Euthanasia yaitu tradisi kurban, alasannya yaitu motivasi pribadi untuk berkurban dan
pribadi yang mau memberikan dirinya untuk sesamanya.
Tapi tidak semua pemikir zaman ini sepakat dengan Euthanasia seperti Pytagoras yang
melawan tindakan ini yang berpendapat bahwa hidup manusia mempunyai nilai keabadian, dan
Euthanasia merupakan tindakan yang tidak menanggapi arti hidup manusia. Sama halnya dengan
Aristoteles yang bertentangan dengan gurunya yang bersimpati terhadap Euthanasia dengan
alasan bahwa hidup manusia itu bernilai luhur.
Pada tahun 1920, ada sebuah buku yang sangat populer dengan judul “The Permision to
Destroy Life unworthy of life”. Ditulis oleh seorang psikiatri dari Freiburg bernama Alfredn
Hoche dan seorang profesor hukum dari Universitas Leipsig yang bernama Karl Binding. Mereka
berpendapat bahwa tindakan membantu seseorang yang mengalami kematian adalah masalah
etika tingkat tinggi yang membutuhkan pertimbangan yang tepat, yang merupakan solusi belas
kasihan atas masalah penderitaan.
Di Inggris pada tahun 1935, seorang Dokter membentuk The Voluntary Euthanasia
Legislation Society, untuk melegalisasi Euthanasia bersama dengan dokter-dokter terkenal
lainnya. Namun, rancangan ini kemudian ditolak oleh Dewan Lord setelah melalui perdebatan di
House Of Lord pada tahun 1936. Di Jerman, kekuasaan Adolf Hitler memeritahkan untuk
melalukan tindakan Mercy killing secara luas yang dikenal dengan “Action T4” untuk menghapus
kehidupan orang yang dianggap tak berarti dalam kehidupan (Life Under Worty of Life).
Di Australia tahun 1995, Australia Northem Territority menyetujui RUU Euthanasia dan
berlaku pada tahun 1996 dan dijatuhkan oleh parlemen Australia pada tahun 1997. Sedangkan di
Oregon, negara bagian AS mengeluarkan Death with Dignity Law satu undang-undang yang
memperbolehkan dokter menolong pasien yang dalam kondisi terminally ill untuk melakukan
bunuh diri, sampai pada tahun 1998 sudah ada 100 orang mendapatkan Assisten Suicide. Hal ini

terus diperdebatkan di Amerika dan pada tahun 1998 Oregon melegalisis Asisten Suicide dan itu
satu-satunya di negara bagian Amerika yang melegalkan Euthanasia.
Di Belanda pada tahun 2000 melegalkan Euthanasia Aktif Voluntir ini mendapat berbagai
sorotan dari organisasi anti Euthanasia dan juga dari organisasi pro Euthanasia. Seperti Rita
Marker dari ADIWIDIA edisi Desember 2010 No. 1 “Internasional Againts Euthanasia task force”
“apakah sekarang sebuah kejahatan akan diganti dengan perawatan”, sedangkan Tamara Langley
dari The UK voluntary Euthanasia Society menganggap sebagai suatu perkembangan, orangorang mengambil keputusan yang mereka buat sendiri. Ebger dari Cristian union mengatakan
bahwa undang undang ini adalah kesalahan sejarah.
Tahun 2002, giliran Belgia melegalisir Euthanasia seperti di Belanda. Di Belgia menetapkan
kondisi pasien yang ingin mengakhiri hidupnya harus dalam keadaan sadar. Saat penyataan itu
dibuat dan menanggulangi permintaan mereka untuk Euthanasia. Sedangkan di Swiss, Euthanasia
masih ilegal tetapi terdapat tiga organisasi yang mengurus permohonan tersebut dan menyediakan
konseling dan obat-obatan yang dapat mempercepat kematian.
Di asia Jepang adalah satu-satunya negara yang melegalkan Euthanasia Voluntir yang
disahkan melalui keputusan pengadilan tinggi pada kasus Yamaguchi di tahun 1962. Namun
setelah itu, karena faktor budaya yang kuat Euthanasia tidak pernah terjadi lagi di Jepang.

2.3 Jenis-Jenis Euthanasia
Selain memiliki banyak pengertian dari berbagai sudut pandang, Euthanasia juga memiliki
banyak jenis yang dilihat dari berbagai segi. Beberapa diantaranya sebagai berikut.
2.3.1

Dilihat dari Segi Pelakunya
Dilihat dari segi pelaku, Euthanasia memiliki dua jenis, yaitu:
a. Compulsary Euthanasia adalah bila orang lain memutuskan kapan hidup
seseorang akan berakhir. Orang tersebut bisa siapa saja, seperti dokter, atau
bahkan masyarakat secara keseluruhan. Kadang-kadang Euthanasia jenis
ini disebut mercy killing (penghilangan nyawa penuh belas kasih).
Contohnya: dilakukan pada orang yang menderita sakit mengerikan,
seperti anak-anak yang menderita sakit cacat yang sangat parah.
b. Voluntary euthanasia, artinya orang itu sendiri yang meminta untuk
mengakhiri hidupnya. Beberapa orang percaya bahwa pasien-pasien yang
sekarat karena penyakit yang tak tersembuhkan dan menyebabkan
penderitaan yang berat hendaknya diizinkan untuk meminta dokter untuk
membantunya mati. Mungkin mereka dapat menandatangani dokumen
legal sebagai bukti permintaannya dan disaksikan oleh satu orang atau
lebih yang tidak mempunyai hubungan dengan masalah itu, untuk
kemudian dokter akan menyediakan obat yang dapat mematikannya.
Pandangan seperti ini diajukan oleh masyarakat Euthanasia sukarela.

2.3.2

Dilihat dari Segi Caranya
Dilihat dari sudut caranya, Euthanasia dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
a. Euthanasia aktif adalah mempercepat kematian seseorang secara aktif dan

terencana, juga bila secara medis ia tidak dapat lagi disembuhkan dan juga
kalau Euthanasia dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri. Misalnya,
dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya
pemberian tablet sianida atau menyuntikkan alat zat yang mematikan ke
dalam tubuh pasien.
b. Euthanasia non-agresif atau biasanya disebut juga dengan autoeuthanasia
(Euthanasia otomatis) yang termasuk kategori Euthanasia negatif yaitu
dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk
menerima perawatan medis dan si pasien mengetahui bahwa penolakannya
tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan
penolakan tersebut ia membuat sebuah “codicil” (pernyataan tertulis
tangan). Auto-Euthanasia atau Euthanasia non-agresif pada dasarnya
adalah suaru praktik Euthanasia Pasif atas permintaan orang itu sendiri.
c. Euthanasia Pasif adalah pengobatan yang sia-sia dihentikan atau sama
sekali tidak dimulai, atau diberi obat penangkal sakit yang memperpendek
hidupnya, karena pengobatan apa pun tidak berguna lagi. Misalnya, dokter
yang tidak memberikan bantuan oksigen kepada pasien yang sedang
mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika
kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi
yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun
dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun
disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu
mengakibatkan kematian. Euthanasia Pasif ini sering kali secara
terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit.
2.3.3

Ditinjau dari Sudut Pemberian Izin
Ditinjau dari sudut pemberian izin, Euthanasia dapat digolongkan menjadi tiga,
yaitu:
a. Euthanasia di luar kemauan pasien. Euthanasia di luar kemauan pasien
yaitu suatu tindakan yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk
tetap hidup atau bisa juga disebut juga dengan memaksa pasien untuk
mengakhiri kehidupannya. Tindakan Euthanasia semacam ini dapat
disamakan dengan pembunuhan.
b. Euthanasia secara tidak sukarela. Euthanasia semacam ini adalah yang
sering kali menjadi bahan perdebatan dan sering dianggap sebagai suatu
tindakan yang keliru oleh siapa pun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang
yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu
keputusan, misalnya statusnya hanyalah sebagai seorang wali dari si pasien
(seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial
sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil
keputusan bagi si pasien.
c. Euthanasia secara sukarela. Euthanasia secara sukarela ini dilakukan atas
persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan
kontroversial.

2.4 Pandangan Para Ahli Terhadap Euthanasia
Ada beberapa pandangan para ahli mengenai Euthanasia. Diantaranya sebagai berikut:

1. Posidippos. Seorang pujangga yang hidup sekitar tahun 300-an sebelum Masehi,
menulis, “Dari apa yang diminta manusia kepada para dewa, tiada sesuatu yang lebih
baik daripada kematian yang baik (Fr. 18)”.
2. Philo. Seorang filsuf Yahudi yang hidup sekitar tahun 20 BC – 50 AD, mengatakan
bahwa Euthanasia adalah “Kematian tenang dan baik’ (Philo 1, 182: de Sacrificiis
Abelis et Caini 100).
3. Suetonius. Seorang ahli sejarah yang hidup sekitar tahun 70-140 Masehi memberitakan
kematian Kaisar Agustus sebagai berikut: “Ia mendapat kematian yang mudah seperti
yang selalu diinginkannya. Karena ia hampir selalu biasa mohon kepada dewa-dewa
bagi dirinya dan bagi keluarganya ‘Euthanasia’ bila mendengar bahwa seseorang dapat
meninggal dengan cepat dan tanpa penderitaan. Itulah kata yang dipakainya” (Divus
Agustus 99).
4. Seneca. Yang bunuh diri pada tahun 65 M malah menganjurkan, “lebih baik mati
daripada sengsara merana”.
Pada zaman Renaissance, pandangan tentang Euthanasia diutarakan oleh Thomas More dan
Francis Bacon. Francis Bacon dalam Nova Atlantis, mengajukan gagasan Euthanasia Medica,
yaitu bahwa dokter hendaknya memanfaatkan kepandaiannya bukan hanya untuk menyembuhkan,
melainkan juga untuk meringankan penderitaan menjelang kematian. Ilmu kedokteran saat itu
dimasuki gagasan Euthanasia untuk membantu orang yang menderita waktu mau meninggal
dunia. Thomas More dalam “The Best Form of Government and The New Island of Utopia”
yang diterbitkan tahun 1516 menguraikan gagasan untuk mengakhiri kehidupan yang penuh
sengsara secara bebas dengan cara berhenti makan atau dengan racun yang membiuskan.
David Hume (1711-1776) yang melawan argumentasi tradisional tentang menolak bunuh diri
(Essays on the suicide and the immortality of the soul etc. ascribed to the late of David Hume,
London 1785), rupanya mempengaruhi dan membuka jalan menuju gagasan Euthanasia.
Tahun 20-30–an abad XX dianggap penting karena mempersiapkan jalan masalah Euthanasia
zaman nasional-sosialisme Hittler. Karl Binding (ahli hukum pidana) dan Alfred Hoche
(psikiater) membenarkan Euthanasia sebagai pembunuhan atas hidup yang dianggap tak pantas
hidup. Gagasan ini terdapat dalam bukunya yang berjudul “Die Freigabe der Vernichtung
lebnesunwerten Lebens, Leipzig 1920”. Dengan demikian, terbuka jalan menuju teori dan praktek
Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar negara mengakhiri hidup yang tidak berguna (orang cacat,
sakit, gila, jompo) ternyata sungguh dilaksanakan dengan sebutan Aktion T4 dengan dasar hukum
Oktober 1939 yang ditandatangani Hitler.

2.5 Pandangan Berbagai Ajaran Agama Terhadap Euthanasia
Di dunia ini terdapat berbagai macam agama. Setiap agama pun memiliki pandangan yang
berbeda-beda mengenai Euthanasia. Berikut merupakan pandangan dari berbagao ajaram agama
terhadap Euthanasia:
1. Dalam Ajaran Islam
Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati. Namun, hak tersebut
merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan
seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri
diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al-Quran maupun Hadis
yang secara eksplisit melarang bunuh diri.

Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan
belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke
dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau
membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu
saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang
Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.
Euthanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut
(Euthanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa
merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit,
baik dengan cara positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan
bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya Euthanasia ataupun
pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.
2. Dalam Ajaran Buddha
Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan di
mana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah
satu moral dalam ajaran Buddha. Berdasarkan pada hal tersebut, maka nampak jelas bahwa
Euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama
Buddha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Buddha sangat menekankan pada "welas asih"
("karuna").
Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan
pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Buddha yang dengan demikian dapat menjadi
"karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna
memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
3. Dalam Ajaran Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap Euthanasia adalah didasarkan pada ajaran
tentang karma, moksa dan ahimsa.
- Karma adalah suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud
perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran katakata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk
adalah menjadi penghalang.
- Moksa yaitu suatu kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan
utama dari penganut ajaran Hindu.
- Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti
siapapun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan
pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu faktor yang mengganggu pada
saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia adalah
merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik

dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri,
maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana
sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu di mana
seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun
dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya
berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman
lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi)
untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi
dari awal.
4. Dalam Ajaran Kristen Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan
yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap Euthanasia dan orang yang membantu
pelaksanaan Euthanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :
1. Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan
bahwa “penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan
pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung
jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut
benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas
akhir kesempatan hidup tersebut”.
2. Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai
suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental.
Dalam kasus, di mana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan
memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau
dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang Kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk
melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian
tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila
tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan
dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan,
memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum Kristiani dalam menanggapi
masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah
dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup
dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian
tersebut.
5. Dalam Ajaran Katolik

Gereja Katolik sungguh menjunjung tinggi kehidupan, karena kehidupan manusia
diberikan dari Allah. Paus Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae, menyatakan secara
definitif bahwa pembunuhan seorang manusia yang tak bersalah selalu merupakan
perbuatan imoral/ tidak bermoral. Pernyataan ini bersifat infallible atau tidak dapat sesat.
Dalam artikel 57 dari dokumen Evangelium Vitae, dituliskan sebagai berikut:
“Jadi, dengan otoritas yang diberikan Kristus kepada Petrus dan para penerusnya,
dan di dalam persekutuan dengan para uskup Gereja Katolik, saya menegaskan
bahwa tindakan pembunuhan seorang manusia tak bersalah selalu merupakan
tindakan yang sungguh tidak bermoral. Pengajaran ini, berdasarkan hukum yang
tidak tertulis, di mana manusia dalam terang akal budi, menemukannya dalam
hatinya (lih. Rm 2:14-15), ditegaskan kembali oleh Kitab Suci, diteruskan oleh
Tradisi Gereja dan diajarkan oleh Magisterium biasa dan universal” (Konsili
Vatikan II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Lumen Gentium, 25).
Selanjutnya Kongregasi Doktrin Iman menjelaskan lebih lanjut, demikian:
“Keputusan sengaja untuk merampas kehidupan seorang manusia selalu
merupakan kejahatan moral dan tidak akan dapat dianggap licit (sesuai aturan),
baik sebagai tujuan ataupun sebagai cara untuk mencapai sebuah tujuan yang baik.
Nyatanya, itu adalah tindakan berat yang menyangkut ketidaktaatan kepada
hukum moral, dan sungguh kepada Tuhan sendiri, Pencipta dan Penjamin hukum
tersebut; tindakan itu bertentangan dengan kebajikan mendasar tentang keadilan
dan cinta kasih. Tak ada sesuatupun dan tak seorangpun dapat dengan cara apapun
mengizinkan pembunuhan seorang manusia, apakah itu dalam bentuk janin atau
embrio, seorang bayi ataupun dewasa, seorang tua, atau seseorang yang menderita
karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau seseorang yang dalam
keadaan sekarat. Selanjutnya, tak seorangpun diizinkan untuk meminta
dilakukannya tindakan pembunuhan ini, entah bagi dirinya sendiri atau untuk
orang lain yang dipercayakan kepadanya, atau tak seorangpun dapat
menyetujuinya, baik secara eksplisit ataupun implisit. Tidak juga ada otoritas
legitim apapun yang dapat merekomendasikan ataupun mengizinkan tindakan
tersebut”
Selanjutnya, Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Euthanasia dalam artinya yang
sesungguhnya dimengerti sebagai sebuah tindakan atau pengabaian yang dilakukan dengan
tujuan untuk menyebabkan kematian, dengan maksud untuk meniadakan semua
penderitaan. Sesuai dengan pengajaran Magisterium dari para pendahulu saya, dan dalam
persekutuan dengan para uskup Gereja Katolik, saya menegaskan bahwa Euthanasia adalah
pelanggaran yang berat terhadap hukum Tuhan, sebab hal tersebut merupakan pembunuhan
seorang manusia secara disengaja dan secara moral tidak dapat dibenarkan. Ajaran ini
berdasarkan hukum kodrat dan sabda Allah yang tertulis, yang diteruskan oleh Tradisi Suci
Gereja, dan diajarkan oleh Magisterium Gereja” (Evangelium Vitae 65).

2.6 Pandangan Hukum diberbagai Negara Mengenai Euthanasia
Sejauh ini Euthanasia diperkenankan yaitu di negara Belanda, Belgia serta ditoleransi di

negara bagian Oregon di Amerika, India dan Swiss dan pandangan beberapa negara seperti di
Korea, China dan Jepang mengenai Euthanasia.
1. Belanda
Pada tanggal 10 April 2001, Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan
Euthanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang
menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik
Euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak
untuk
mengakhiri penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab
Hukum Pidana
Belanda secara formal Euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai
perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah
Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3
melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan
Euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur
yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan
sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50
pertanyaan. UU yang mengizinkan Euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi
ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995, Northern Territory menerima UU yang disebut
"Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini
beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat
Australia, sehingga harus ditarik kembali.
Didalam KUHP Austria Pasal 139 a berbunyi “Seseorang yang membunuh orang lain
atas permintaan yang jelas dan sungguh- sungguh terhadap korban dianggap bersalah
melakukan delik berat pembunuhan manusia atas permintaan akan dipidana dengan pidana
penjara berat dari lima sampai sepuluh tahun”.
2. Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan Euthanasia pada akhir September 2002.
Para pendukung Euthanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan Euthanasia setiap tahunnya
telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan Euthanasia di negara ini, namun mereka
juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan Euthanasia ini sehingga timbul suatu kesan
adaya upaya untuk menciptakan “birokrasi kematian”. Belgia kini menjadi negara ketiga
yang melegalisasi eutanasia (setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika).
3. Amerika
Euthanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika. Saat ini
satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan
pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya
adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan
dilakukannya Euthanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas
(Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri
berbantuan, bukan Euthanasia.
Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun
ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal
dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua

kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis
(dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan
pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta
memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan
gangguan mental.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan,
sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin
saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu
sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999. Di Negara-negara
Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan Euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang
diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan
tindakan Euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus
dipenuhi agar Euthanasia bisa dilakukan.
4. India
Di India Euthanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai
larangan euthanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300
dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860.
Namun, berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan Euthanasia hanya dinyatakan
bersalah atas kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang
hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC.
Namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus Euthanasia sukarela di mana si
pasien sendirilah yang menginginkan kematian di mana si dokter hanyalah membantu
pelaksanaan Euthanasia tersebut (bantuan Euthanasia). Pada kasus Euthanasia secara tidak
sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun Euthanasia di luar kemauan pasien akan
dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92 IPC.
5. Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss
ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal
115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan
dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa "membantu suatu
pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila
motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri”. Pasal 115 tersebut hanyalah
menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan
yang dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.
6. Korea
Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang Euthanasia di
Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi) yang di Korea dikenal
dengan "Kasus rumah sakit Boramae" di mana dua orang dokter yang didakwa
mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita sirosis
hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian menyerahkan berkas
perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter tersebut
seharusnya dinyatakan t