Analisis Yuridis Penerapan PP Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan Terbatas (Studi Pada PTPN IV Unit Pasir Mandoge)
31
BAB II
PENGATURAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PADA PP
NO.47 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN
LINGKUNGAN PERSEROAN TERBATAS
A. Sejarah Perkembangan CSR
1.
Perubahan Paradigma Dalam Pengaturan Perusahaan
Peradaban modern yang kapitalistik telah mendorong manusia begitu serakah
terhadap lingkungan hidup. Manusia modern terjangkiti oleh penyakit hedonisme
yang tidak pernah puas dengan kebutuhan materi. Sebab yang mendasar timbulnya
keserakahan terhadap lingkungan ini, karena manusia memahami bahwa sumber daya
alam adalah materi yang mesti di eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan materinya
yang konsumtif.44 Sistem perekonomian kapitalistik ini memiliki tiga syarat dalam
menjalankan kegiatan-kegiatan ekonominya, yaitu akumulasi, ekspansi dan
eksploitasi. Akumulasi adalah suatu prinsip tentang melipatkan gandakan modal
usaha yang akan digunakan, artinya bahwa semakin besar jumlah modal yang di
infestasikan
dalam menjalankan
kegiatan-kegiatan
ekonominya
maka
akan
menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Sehingga kepemilikan modal adalah
salah satu syarat yang paling utama dalam ciri perekonomian seperti ini. Ekspansi
adalah usaha untuk menguasai pasar-pasar di wilayah-wilayah lain yang memiliki
potensi yang besar dalam menjalankan kegiatan usahanya atau negara-negara
berkembang seperti Indonesia. Menguasai pasar demi kebutuhan untuk menjual
44
Bambang Rudito, Melia Famiola, Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di
Indonesia, (Bandung: Penerbit Rekayasa Sains, 2007) hal. hal. 56
31
Universitas Sumatera Utara
32
barang-barang yang dihasilkan setelah berproduksi. Eksploitasi yaitu usaha-usaha
yang digunakan untuk memanfaatkan sumber daya yang butuhkan untuk melakukan
aktivitas produksi, seperti sumber daya manusia dan sumber daya alam. Eksploitasi
sumber daya alam yang dilakukan oleh suatu perusahaan pada gilirannya akan
mengancam kehidupan manusia dan akhirnya seluruh ekosistem. Berdasarkan
kesadaran tersebut maka pelaku usaha dalam melakukan kegiatan ekonominya tidak
hanya bertanggung jawab atas keuntungan perusahaan, tetapi juga bertanggung jawab
atas kehidupan dan masa depan masyarakat secara umum.45
Tanggung jawab sosial perusahaan atau yang biasa di kenal dengan CSR
(Corporate Social Responsibility) adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis
untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan
memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitik beratkan pada
keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan
hidup. Dari sisi urgensinya, formalisasi CSR memang mendesak karena kian
meluasnya eskalasi kemiskinan dan degradasi lingkungan yang terjadi sebagai
dampak eksploitasi kekayaan sumber daya alam yang terus berlangsung. Sejarah CSR
modern dikenal sejak Howard R.Bowen menerbitkan bukunya yang berjudul “Social
Responsibilities of The Businessman (1953), ide dasar yang dikemukakan Bowen
adalah mengenai “kewajiban perusahaan menjalankan usahanya sejalan dengan nilainilai dan tujuan yang hendak dicapai masyarakat ditempat perusahaan itu beroprasi.
Gema tanggung jawab sosial perusahaan semakin kuat dan besar dengan kehadiran
45
Ibid, hal.44
Universitas Sumatera Utara
33
buku berjudul “Silent Sprint” yang ditulis oleh Rachel Carson ditahun 1962. Dalam
bukunya tersebut Carson berupaya mengingatkan masyarakat dunia bahwa
penggunaan pestisida dalam aktivitas pertanian modern berakibat mematikan bagi
lingkungan dan kehidupan manusia.46
Pemikiran tentang perusahaan yang lebih insaniah juga ditegaskan dalam
buku berjudul “The Future Capitalism” yang ditulis oleh Thurow (1966). Dalam
bukunya yang cukup populer tersebut Thurow mengemukakan bahwa kapitalisme
yang menjadi haluan pemikiran utama dan mengilhami perilaku kalangan pelaku
usaha tidak hanya berdampak terhadap masalah ekonomi, tetapi juga berdampak
terhadap masyarakat setempat dan lingkungan.47
CSR mulai berkembang pada akhir tahun 1960 dalam upaya menjadikan
persoalan kemiskinan dan bencana yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan agar
mendapatkan perhatian yang lebih luas dari berbagai kalangan yang memiliki peran.
Lebih lanjut perkembangan itu ditandai dengan munculnya definisi CSR oleh WBSD
(World Business Council for Sustainable Development) pada tahun 1995, sebuah
lembaga forum bisnis yang digagas oleh Badan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk
kalangan bisnis agar dapat berkontribusi dalam pembangunan. Konteks saat itu
adalah pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development), suatu konsep
pembangunan demi masa depan tanpa merusak sumber daya alam, dimana mencoba
menyatukan 3 elemen pembangunan yaitu ekonomi, lingkungan, sosial. Gagasan
46
Deni Bram, Hukum Lingkungan Hidup Homo Ethic-Ecoethic, (Bekasi: Penerbit Gramata
Publishing, 2014) hal. 6
47
Ibid, hal. 39
Universitas Sumatera Utara
34
CSR oleh WBSD sangat dipengaruhi oleh roh pembangunan berkelanjutan ini.
Pemahaman yang muncul adalah bagaimana dunia bisnis dapat berkontribusi
terhadap pembangunan berkelanjutan secara luas, dan secara mikro terhadap
masyarakat yang ada disekitarnya. Atau dalam konteks ini CSR dimaknai sebagai
komitmen bisnis untuk berperilaku etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi
terhadap pembangunan ekonomi sekaligus meningkatkan kualitas hidup karyawan
dan keluarganya, serta masyarakat lokal dan masyarakat pada umumnya.48
Pandangan lain tentang defenisi tanggung jawab sosial perusahaan
dikemukakan oleh Bank Dunia. Organisasi keuangan global ini mengemukakan
defenisi tanggung jawab sosial perusahaan sebagai suatu persetujuan atau komitmen
berkesinambungan, bekerja dengan para perwakilan dan perwakilan mereka,
masyarakat setempat dan masyarakat dalam ukuran lebih luas, untuk meningkatkan
kualitas hidup, dengan demikian eksistensi perusahaan tersebut akan baik bagi
perusahaan itu sendiri dan baik pula bagi pembangunan. Defenisi tanggung jawab
sosial perusahaan yang dirumuskan Bank Dunia tersebut memang sangat mendalam
dan ideal. Defenisi tersebut sudah mengarahkan kapada dilibatkannya berbagai
pemangku kepentingan dalam kebijakan-kebijakan ekonomi perusahaan. Dengan
demikian, suatu perusahaan yang melakukan aktivitas ekonomi disuatu kawasan
terlebih dahulu harus mengetahui siapa saja yang menjadi pihak-pihak pemangku
kepentingan (stakeholders). Teori stakeholders merupakan sebuah kependekan dari
teori stakeholders korporasi, sebuah konsep yang relatif modern. Pertama kali
48
Ibid, hal. 55
Universitas Sumatera Utara
35
dipopulerkam oleh R. Edward Freeman dalam buku Manajemen Strategisnya
Pendekatan Stakeholders. Freeman mendefinisikan pemangku kepentingan sebagai
“kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapain
tujuan organisasi. Premis dasar dari teori stakeholder adalah bahwa semakin kuat
hubungan korporasi bisnis, maka akan semakin mudah. Sebaliknya, semakin buruk
hubugan korporasi, akan semakin sulit. Hubungan yang kuat dengan para pemangku
kepentingan adalah berdasarkan kepercayaan, rasa hormat, dan kerja sama. Tujuan
dari teori stakeholder adalah untuk membantu korporasi memperkuat hubungan
dengan kelompok-kelompok eksternal dalam mengemban keunggulan kompetitif.49
Jika disimpulkan definisi CSR diatas maka dapat diartikan bahwa terjadi
pergeseran paradigma atau cara pandang dalam dunia usaha atau bisnis, bahwa
pelaksanaan
konsep
CSR
adalah
pengejawantahan
konsep
pembangunan
berkelanjutan dari dunia bisnis yang awalnya hanya mengutamakan keuntungan
semata dengan berlandaskan pada teori shareholders, menjadi dunia bisnis yang
bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan lingkungannya atau
berdasarkan pada teori stakeholders. Stakeholders perusahaan dapat di definisikan
sebagai pihak-pihak yang berkentingan terhadap eksistensi perusahaan. Termasuk
didalamnya adalah karyawan, pelanggan, konsumen, pemasok, masyarakat dan
lingkungan sekitar, serta pemerintah selaku generator.50
Sudah menjadi fakta bagaimana sikap masyarakat lokal (stakeholder) terhadap
perusahaan yang dianggap tidak bertanggung jawab terhadap dampak yang
49
50
Ibid, hal. 78
Erni R. Ernawan, Business Ethics (Bandung: Penerbit ALFABETA, 2007) hal. 114
Universitas Sumatera Utara
36
ditimbulkan perusahaan yang dirasakan oleh masyarakat dan lingkungan, misalnya
PT Indorayon di Kabupaten Tobasa, Sumatera Utara. Dimana masyarakat sekitar
melakukan perlawanan dengan melarang perusahaan melakukan aktifitas produksinya
karena dianggap tidak bertanggung jawab terhadap dampak negatif yang ditimbulkan
perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar. Hal seperti ini yang akhirnya
mempersulit, bahkan menyebabkan kerugian yang besar atau berdampak negatif bagi
pemerintah dan perusahaan itu sendiri.
CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan bukanlah sebuah momok yang
menakutkan bagi korporat, tetapi sebuah jawaban untuk membangun kepercayaan
masyarakat terhadap perusahaan dan kebersinambungan masyarakat lokal. CSR pada
prinsipnya adalah perwujudan dari etika bisnis suatu perusahaan, dimana ketika
perusahaan bertindak secara etis dalam berbisnis maka penempatan tanggung jawab
sosial perusahaan merupakan sebuah kebutuhan dan juga sebagai bagian dari modal
usaha
dalam
meningkatkan
kepercayaan
perusahaan
terhadap
pemangku
kepentingannya. Mau tidak mau, perusahaan dan masyarakat merupakan sebuah
ikatan solidaritas yang bersifat organik dan terbentuk menjadi sebuah mekanisme
solidaritas yang menyatu dalam hubungan saling membutuhkan.51
2.
Perubahan CSR dari Tanggung Jawab Etik Menjadi Tanggung Jawab
Hukum
Pada dasarnya CSR adalah bentuk transformasi hukum alam menjadi hukum
positif, yang artinya perubahan dari bentuk tanggung jawab moral atau etika menjadi
51
Martinus Wibisono, Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Antara Teori dan
Realita, (Jakarta: Penerbit Pustaka Ilmu, 2010) hal. 19
Universitas Sumatera Utara
37
tanggung jawab hukum yang dapat dipaksakan dan memiliki sanksi. Sebelum
dituangkan dalam hukum positif di Indonesia, penyelenggaraan CSR di sandarkan
pada tanggung jawab moral atau etika bisnis perusahaan yang bersifat sukarela
sehingga sangat bergantung pada pimpinan puncak korporasi. Artinya, kebijakan
CSR tidak selalu selaras dengan visi dam misi perusahaan. Jika pimpinan perusahaan
tersebut memiliki kesadaran moral yang tinggi maka perusahaan tersebut akan
menerapkan program CSR dengan benar. Sebaliknya, jika orientasi pimpinan
perusahaan tersebut hanya berkiblat kepada kepentingan dan kepuasan pemegang
saham serta motivasi pencapaian prestasi pribadi maka kebijakan CSR hanya sekedar
kosmetik.
Moralitas dianggap sebagai salah satu alasan yang mendasari dan mendorong
seseorang bertindak secara beretika. Moral bagian dari jiwa manusia yang tumbuh
dan berdiam dalam diri secara kuat, karena setiap orang dianggap pasti memiliki
moral. Dan karena moral pula setiap orang bisa mengerti akan makna kehidupan,
serta bagaimana memperlakukan hidup secara lebih bermakna.
Sifat CSR yang
sukarela, lemahnya produk hukum yang mengatur dan matinya peran stakeholder
dalam penyelenggaraannya menjadikan Indonesia sebagai negara yang ideal bagi
korporasi yang hanya mengejar keuntungan dan menyelenggarakan tanggung jawab
CSR hanya sebagai kosmetik pencitraan. Hal yang penting bagi perusahaan model
seperti ini hanyalah laporan tahunan yang baik dan lengkap dengan tampilan
aktiviatas sosial serta dana program pembangunan yang telah direalisasikan. Padahal,
Universitas Sumatera Utara
38
program CSR sangat penting sebagai kewajiban untuk bertanggung jawab atas
kelangsungan kehidupan umat manusia di bumi masa mendatang.52
Alasan mendasar perubahan tanggung jawab tersebut adalah kelangsungan
dunia usaha itu sendiri serta kepentingan pemegang saham yang tidak boleh
diabaikan. Dengan perkataan lain, dalam hal terjadi persinggungan antara
kepentingan perusahaan dengan kepentingan masyarakat (stakeholder), maka
penerapan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial perusahaan tersebut harus dibuat
menjadi suatu keharusan (mandatory). Keharusan tersebut mengimplikasikan
penjabaran prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) kedalam peraturan
perundang-undangan. Implementasi prinsip-prinsip GCG menjadi lebih efektif.
Perlindungan terhadap kepentingan yang lebih luas menjadi salah satu pendorong
utama pentingnya regulasi tersebut.
Implementasi dari tanggung jawab sosial
perusahaan melalui prinsip CSR tidak terlepas dari penerapan konsep Good
Corporate Governance. GCG adalah rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan
dan intuisi yang mempengaruhi pengarahan, pengelolaan serta pengawasan terhadap
suatu perusahaan. Prinsip-prinsip yang dianut dalam GCG dan CSR ibarat dua sisi
mata uang, keduanya sama pentingnya dan tidak terpisahkan. Adapun definisi Good
Corporate Governance dari Cadbury Committee yang berdasarkan dari teori
stakeholder adalah seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara para
pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah, karyawan, dan pihak pihak yang
52
https://achmadsaerozi.wordpress.com/2011/11/11/kerusakan-lingkungan-hidup-akibat-etikabisnis-yang-buruk/ diakses pada hari Jumat, 12 Desember 2014
Universitas Sumatera Utara
39
berkepentingan lainnya baik internal maupun eksternal yang berkaitan dengan hakhak dan kewajiban mereka.53
Sehingga disini jelas jika perusahaan ingin diarahkan untuk menciptakan
suatu bentuk organisasi bisnis yang bertumpu pada aturan-aturan hukum dan
manajemen modern yang profesional dengan konsep dedikasi yang jauh lebih
bertanggung jawab. Penafsiran bertanggung jawab dapat diartikan sebagai keikut
sertaan perusahaan secara jauh lebih dalam untuk ikut berpartisipasi dalam
membangun negara dan bangsa, seperti peran perusahaan sebagai penyedia lapangan
pekerjaan dan pendukung penuntasan kemiskinan. Oleh karena itu pelaksanaan GCG
diwujudkan dengan cara memasukkan CSR kedalam aturan hukum positif di
indonesia. Prinsip GCG merupakan cikal bakal pembentukan CSR. Suatu perusahaan
yang melakuan prinsip GCG juga harus melaksanakan konsep CSR, kedua konsep
tersebut kini bukan lagi suatu tanggung jawab biasa (responsibility), tetapi juga
merupakan suatu kebijakan hukum (liability) yang memiliki sanksi hukum jika tidak
dilaksanakan dengan baik, oleh karena itu hal ini sifatnya dapat dipaksakan
(imperative) sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang yang mengatur
tentang CSR di indonesia.54
Ada beberapa perbedaan dalam penerapan CSR di negara-negara Eropa dan
Amerika. Perusahan di negara Eropa penerapan CSR dilakukan berdasarkan
peraturan/regulasi yang dikeluarkan oeh pemerintah setempat, sehingga pelasanaan
53
54
Budi Untung, Loc. Cit., hal. 135
Budi Untung, Loc. Cit., hal.57
Universitas Sumatera Utara
40
CSR didasarkan pada desakan dan sanksi yang harus dipatuhi. Sedangkan dalam
perusahaan di Amerika, pelaksanaan CSR merupakan tindakan sukarela atas dasar
kepedulian perusahaan terhadap dampak lingkungan dan sosial dalam masyarakat.55
Prinsip-prinsip yang diatur dalam GCG secara umum terdiri dari 4 prinsip, yaitu :
1.
Prinsip Akuntabilitas (accountability)
Prinsip ini mewajibkan direksi perusahaan bertanggung jawab atas
keberhasilan pengelolaan perusahaan untuk mewujudkan tujuan dari perusahaan
tersebut. Komisaris bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas pengawasan
terhadap direksi sehubungan dengan tugasnya. Kedudukan direksi dan komisaris
yang mendapatkan kewajiban dan tanggung jawab tersbebut harus diemban dengan
penuh dedikasi yang tinggi dengan mengutamkan kepentingan perusahaan dan dapat
mempertanggung jawabkan kepada para pemegang saham perusahaan tersebut.
2.
Prinsip Keterbukaan (transparancy)
Adanya informasi yang akurat dan dapat diaudit oleh pihak ke tiga yang
independen sebagai laporan kepada para pemegang saham, sehingga pemegang
saham dapat mengetahui perkembangan dan kemerosotan perusahaan. Prinsip ini juga
menginginkan adanya laporan yang akurat dan tepat perihal keuangan, pengelolaan
dan perubahan-perubahan pengurus serta saham yang dapat mengakibatkan terjadinya
pergeseran kepemilikan dan bentuk-bentuk tindakan lainnya yang dilakukan oleh
direksi dan komisaris dalam melaksanakan tugasnya masing-masing secara berkala
maupun berkesinambungan.
55
Abdullah Haris Susanto, Menimbang CSR Secara Rasional, (Jakarta: Penerbit Bina Aksara,
2011) hal. 77
Universitas Sumatera Utara
41
3.
Prinsip Kewajaran (fairness)
Prinsip ini memberikan perlindungan terhadap kepentingan minoritas,
khususnya para pemegang saham minoritas untuk mendapatkan perlakuan yang adil.
Hal ini sebenarnya telah terakomodir dalam ketentuan UU No.40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas yang memberikan satu saham satu hak suara (Pasal 84) dan hak
pemegang saham minoritas untuk dapat mengusulkan diadakannya RUPS melalui
pengadilan jika pemegang saham mayoritas tidak melaksanakan (pasal 80). Prinsip
ini menginginkan setiap direksi maupun komisaris agar lebih mementingkan
kepentingan perusahaan daripada kepentingan pribadi, sehingga semua kegiatan yang
berhadapan dengan konflik kepentingan (conflict of interest) harus secara sukarela
melepaskan kepentingan pribadi tersebut.
4.
Tanggung Jawab (responsiblity)
Prinsip ini menegaskan konsep fiduciary duty dari pada pengurus perseroan
untuk lebih mematuhi aturan-aturan yang digariskan dalam pengelolaan perusahaan.
Peraturan ditetapkan oleh pemerintah maupun kepentingan pihak lain (stakeholders)
yang mempengaruhi kesinambungan perusahaan. Direksi harus tanggap terhadap
keberlangsungan perusahaan dengan berbagai upaya untuk meningkatkan perusahaan
tanpa mengabaikan tanggung jawab sosial terhadap karyawan, lingkungan,
masyarakat, pelanggan atau pihak lain yang menentukan kesinambungan perusahaan.
Pertanggungjawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan
yang berlaku, di antaranya termasuk masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan
dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan
Universitas Sumatera Utara
42
bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya. Dengan menerapkan
prinsip ini, diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan
operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggungjawab selain
kepada shareholder juga kepada stakeholders.56
Disadari bahwa penerapan prinip-prinsip good coorporate governance (GCG)
merupakan salah satu upaya yang cukup signifikan untuk melepaskan diri dari krisis
ekonomi dan lingkungan yang melanda Indonesia. Peran dan tuntutan investor dan
kreditur asing mengenai penerapan prinsip GCG merupakan salah satu faktor dalam
pengambilan keputusan berinvestasi pada suatu perusahaan. Prinsip-prinsip GCG
juga merupakan komponen tata perilaku (code of conduct) yang diyakini oleh banyak
pakar yang merupakan katalisator pemulihan sektor perusahaan di indonesia,
termasuk sektor badan usaha milik negara (BUMN), perbankan, maupun bidang pasar
modal. Berdasarkan prinsip-prinsip GCG tersebut yang sangat berhubungan dengan
pelaksanaan CSR adalah prinsip bertanggng jawab (responsiblity). Hal ini
dikarenakan prinsip akuntabilitas (accountability), keterbukaan (transparancy) dan
kewajaran
(fairness)
hanya
mementingkan
kelangsungan
perusahaan
pada
kepentingan pemegang saham (shareholders), sedangkan prinsip responsibility
mengedepankan kepentingan stakeholders. Tata kelola perusahaan yang baik (GCG)
diperlukan agar perilaku bisnis mempunyai arahan yang baik. Intinya, GCG
merupakan sebuah sistem dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara
56
Indra Surya, Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance
Mengesampingkan hak-hak istimewa demi kelangsungan usaha, (Penerbit: Prenada Media Group,
Jakarta, 2006) hal. 109
Universitas Sumatera Utara
43
berbagai pihak yang berkepentingan terutama dalam arti sempit hubungan antara
pemegang saham dan dewan komisaris serta dewan direksi demi tercapainya tujuan
korporasi. Dalam arti luas mengatur hubungan seluruh kepentingan stakeholders
dapat dipenuhi secara proporsional.57
Oleh karena itu GCG telah diatur sedemikian rupa dalam peraturan per
Undang-Undangan di Indonesia seperti dalam ketentuan Undang-Undang No.19
tahun 2003 tentang BUMN dalam Pasal 36 perihal maksud dan tujuan perusahaan
BUMN adalah Menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum
berupa penyediaan barang dan/jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau
oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Dalam
Pasal 73 diatur perihal restrukturisasi perusahaan yang harus memperhatikan GCG
tersebut, restrukturisasi tersebut antara lain :
1. Restrukturisasi sektoral yang pelaksanannya disesuaikan dengan kebijakan
sektor dan/atau ketentuan perundang-undangan.
2. Restrukturisasi perusahaan/korporasi yang meliputi :
a.
Peningkatan intensitas persaingan usaha, terutama disektor-sektor yang
terdapat monopoli, baik yang diregulasi maupun monopoli alamiah.
b.
Penataan hubungan fungsional antara pemerintah selaku regulator dan
BUMN selaku badan usaha, termasuk didalamnya penerapan prinsipprinsip tata kelola perusahaan yang dan menetapkan arah dalam rangka
pelaksanaan kewajiban pelayanan publik.
57
Ibid hal. 119
Universitas Sumatera Utara
44
c. Restrukturisasi internal yang mencakup keuangan, organisasi/manajemen,
operasional, sistem dan prosedur.
Sebelumnya pemerintah juga mensyaratkan untuk menerapkan prinsip GCG
ini dalam BUMN dengan surat Keputusan Menteri BUMN No.kep.117/MMBU/2002 tentang penerapan GCG di BUMN sebagai pedoman korporasi yang
diperlukan dalam sistem pengelolaan BUMN yang sehat. Menurut Keputusan
Menteri BUMN No.kep.117/M-MBU/2002, GCG adalah “Suatu proses dari struktur
yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan
akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka
panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan
peraturan perundangan dan nilai-nilai etika”.58
Perubahan paradigma ini adalah bukti bahwa ada hubungan saling
ketergantungan semua pihak dalam mencapai tujuannya masing-masing, dan untuk
melaksanakan itu pihak-pihak tersebut harus dapat bekerjasama sebagai mitra yang
memiliki kebutuhan yang sama yaitu manfaat yang sebesar-besarnya bagi semua
pihak. Artinya bahwa masyarakat (stakeholder) memiliki peran penting dalam roda
produksi suatu perusahaan, dan sebaliknya peran suatu perusahaan dalam
menyelenggarakan CSR juga sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam upaya
mengentaskan persoalan-persoalan ekonomi dan sosial yang dihadapai. Sehingga
hubungan antara (stakeholder internal) dan (stakeholder eksternal) dapat saling
58
Ibid hal. 130
Universitas Sumatera Utara
45
memberikan manfaat yang dapat dirasakan oleh semua pihak sebagai pemangku
kepentingan.
B. Ragam Pengaturan CSR di Indonesia
Hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu apabila dilanggar akan
mengakibatkan timbulnya sanksi yang tegas dan nyata. E. Utrecht, dalam bukunya
Pengantar dalam Hukum Indonesia meyatakan hukum adalah himpunan petunjuk
hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh
anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk
hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintahan masyarakat itu.59
Menurut S.M. Amin, S.H, dalam bukunya yang berjudul Bertamasya ke Alam
Hukum, hukum dirumuskan sebagai “Kumpulan-kumpulan peraturan yang terdiri
dari norma dan sanksi-sanksi, dan tujuan hukum adalah mengadakan ketetiban dalam
pergaulan manusia”J. C. T. Simorangkir, S.H. dan Woerjono, S.H. dalam bukunya
yang berjudul Pelajaran Hukum, definisi hukum adalah “Peraturan-peraturan yang
bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana
terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan
hukuman tertentu”. Dari beberapa perumusan tentang hukum Indonesia tersebut
diatas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa hukum itu meliputi beberapa unsur, antara
lain :
59
Yulies Tiana Masriani, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2004) hal. 6
Universitas Sumatera Utara
46
a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
c. Peraturan itu bersifat memaksa.
d. Sanksi terhadap pelanggar peraturan tersebut adalah tegas.60
Pada hakekatnya hukum dimaksudkan untuk mengatur hubungan tingkah laku
dan pergaulan yang ada di dalam masyarakat. Baik yang dilakukan oleh orang yang
satu dengan orang yang lainnya, orang perorangan dengan negara maupun mengatur
mengenai hubungan lembaga-lembaga yang ada di dalam negara tersebut. Dengan
adanya hukum maka kekuasaan yang dijalankan agar sesuai dengan fungsi dan tujuan
daripada hukum itu sendiri. Banyak orang beranggapan bahwa tujuan hukum dengan
fungsi hukum adalah hal yang sama, namun pada dasarnya hal ini sangatalah
berberda . Fungsi hukum mengacu pada peranan yang diemban oleh hukum,
sedangkan tujuan hukum menitik beratkan pada arah yang hendak yang dicapai dan
berfungsinya hukum.61 Sudah menjadi ciri negara hukum seperti Indonesia dimana
konstitusinya memuat tentang kedaulatan dibidang politik dan ekonomi. Dengan
adanya ketegasan dalam konstitusi Negara Indonesia (UUD RI 1945) tentang
pengaturan ekonomi nasional, maka menyangkut tanggung jawab sosial perusahaan
semakin penting untuk di atur dan dijabarkan dengan jelas dan tegas dalam peraturan
hukum positif Indonesia.
60
Ibid, hal.39
Teguh Presetyo, Kadarwati Budiharjo Purwadi, Hukum dan Undang-Undang Perkebunan,
(Penerbit Nusa Media, Bandung, 2007) hal. 10
61
Universitas Sumatera Utara
47
Demikian juga halnya dalam dunia bisnis atau ekonomi, hukum sebagai salah
satu perangkat yang mengatur norma-norma kehidupan bermasyarakat merupakan
salah satu faktor pendukung terciptanya aktivitas bisnis yang sehat. Prof. Dr. Bismar
Nasution, S.H., M.H. menyatakan supaya pembangunan ekonomi dilakukan
berlandaskan hukum dan pendidikan hukum dirancang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Mengingat perkembangan kegiatan ekonomi yang begitu pesat baik yang
berskala nasional maupun berskala internasional maka keberadaan hukum dalam
mendukung dan memfasilitasi kegiatan ekonomi dimaksud semakin sangat penting.
Para pakar hukum di indonesia memandang perlunya pengembangan hukum ekonomi
didasari oleh meningkatnya pula hubungan ekonomi melintasi batas-batas negara
melalui perkembangan aliran modal asing/teknologi. Hal ini menunjukan suatu
rangkaian kegiatan dibidang ekonomi dengan perangkat pengaturan hukumnya.62
Negara Indonesia, jelas berdaulat secara penuh terhadap aturan hukum yang
diterapkan nya dalam mengatur tanggung jawab sosial perusahaan terhadap
masyarakat dan lingkungan diwilayahnya. Sebagai konsekwensinya hukum yang
telah ditetapkan otomatis menjadi hukum positif yang wajib untuk dijalankan. Disatu
sisi, implementasi tanggung jawab sosial perusahaan di indonesia masih dijalankan
(dengan relatif baik) oleh segelintir perusahaan. Artinya, masih jauh lebih panjang
daftar perusahaan yang sama sekali belum melaksanakan tanggung jawab sosial
perusahaan, walaupun mereka sudah mengetahui bahwa kewajiban tersebut telah
62
Hasim Purba, Implementasi Prinsip Corporate Social Responsibility (CSR), Jurnal Equality,
Vol. 13 No. 1 Februari 2008, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera utara.
Universitas Sumatera Utara
48
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Disisi lain, hingga saat ini belum pernah
terdengar dimana perusahaan yang sama sekali belum menjalankan tanggung jawab
sosialnya dikenakan sanksi oleh pemerintah. Bahkan mekanisme pemberian sanksi
kepada perusahaan yang lalai atas tanggung jawab sosialnya pun tampaknya belum
diatur dan disosialisasikan secara baku dan transparan. 63
Seperti yang telah disampaikan diatas, bahwa tanggung jawab sosial
perusahaan pada dasarnya dilaksanakan berdasarkan tanggung jawab moral atau etika
perusahaan, namun dilihat dari dampak negatif yang ditimbulkan perusahaan
terhadap lingkungan dan masyarakat rasanya tanggung jawab moral tersebut sudah
tidak bisa lagi di jadikan dasar dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahan.
Tanggung jawab moral direksi saja tidak cukup untuk menjamin perusahaan yang
pada dasarnya hanya memaksimalkan keuntungan untuk menyelamatkan atau
mengurangi dampak negatif dari produktivitas perusahaan dengan menyelenggarakan
CSR yang pada dasarnya akan mengurangi keuntungan perusahaan. Bahkan akhirakhir ini, unjuk rasa yang dilakukan masyarakat sebagai wujud penolakan kehadiran
aktivitas perusahaan di lingkungan suatu masyarakat semakin mengkhawatirkan.
Masyarakat tidak sekedar menyampaikan tuntutan dan penolakan mereka kepada
perusahaan maupun pemerintahan setempat. Unjuk rasa yang dilakukan sering
dibumbui dengan tindakan melawan hukum, antara lain dalam bentuk penguasaan
fasilitas penting masyarakat seperti pelabuhan maupun jalan tol yang mengakibatkan
63
Matias Siagian, Agus Suriadi, CSR Perspektif Pekerjaan Sosial, (Medan: Penerbit
PT.Grasindo Monoratama, 2012) hal. 48
Universitas Sumatera Utara
49
lumpuhnya aktivias masyarakat luas. Bahkan tidak jarang diwarnai dengan
pembakaran dan perusakan fasilitas perusahaan yang mengakibatkan kerugian
perusahaan dalam jumlah yang sangat besar.
Hukum menurut Austin harus dipahami dalam arti perintah karena hukum
seharusnya tidak memberi ruang untuk memilih (apakah mematuhi atau tidak
mematuhi), hukum bersifat non optional. Dengan demikian kepatuhan pada hukum
adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar. Menyebut perintah sebagai hukum
tetapi dalam praktek tidak dapat ditegakkan melalui penerapan sanksi hukum adalah
absurd, karena hukum yang demikian tidak mampu memenuhi fungsi sosialnya
sebagai alat kontrol terhadap tingkah laku masyarakat. Hukum dalam arti terakhir ini
tidak punya implikasi hukuman apapun, ketika hukum tidak lagi dapat dipaksakan
dengan memberikan sanksi dan hukuman pada pelanggaranya maka hukum tidak lagi
dapat disebut hukum karena telah kehilangan esensinya sebagai perintah.64
Sejak di undangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 pada
tanggal 4 April 2012, menandakan babak baru dalam sejarah hukum di Indonesia
yang mengatur tentang tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan
Terbatas. Peraturan Pemerintah ini merupakan tindak lanjut dan penjelasan dari pasal
74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Tanggung Jawab Sosial dan
lingkungan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pasal
74 yang menyatakan bahwa :
64
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009)
hal. 97
Universitas Sumatera Utara
50
1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan.
2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai
biaya
perseroan
yang
pelaksanaannya
dilakukan
dengan
memperhatiakan kepatutan dan kewajaran.
3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
diatur dengan peraturan pemerintah.65
Dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2012 tentang
tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan terbatas membuktikan komitmen
pemerintah
dalam
mewujudkan
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development). Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi
kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan
datang dalam memenuhi kebutuhannya.66
Jauh sebelum lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas yang merupakan amanah
65
Pasal 74 Undang-Undang No.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Zubaedi, Wacana Pembangunan Alternatif, Ragam Perspektif Pengembangan dan
Pemberdayaan Masyarakat (Djogjakarta: Penerbit Ar-Ruzz Media, 2007) hal.37
66
Universitas Sumatera Utara
51
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, telah hadir
beragam aturan hukum positif Indonesia yang mengatur tentang tanggung jawab
sosial perusahaan (CSR), antara lain:
1.
Undang-Undang Dasar 1945
Sebagai Konstitusi Negara Republik Indoneisa Undang-Undang Dasar 1945
telah mengatur tentang sistem perekonomian nasional yang bertujuan untuk
memakmurkan rakyat secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Hal ini tentu
saja bertujuan untuk menghindari dampak negatif yang ditimbulkan suatu perusahaan
terhadap masyarakat dan lingkungan dalam menjalankan kegiatan usahanya untuk
mendongkrak perekonomian, hal ini dinyatakan dalam Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi :
1.
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
2.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh Negara.
3.
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4.
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekononi nasional.
5.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pasal ini diatur dalam Undang-Undang. 67
67
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
Universitas Sumatera Utara
52
Dalam ayat (3) yang menyatakan “bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Dari Undang-Undang ini bisa disimpulkan bahwa
dalam menjalankan kegiatan ekonominya di Indonesia, baik Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) maupun perusahaan swasta yang melakukan kegiatan produksinya
untuk mengelola Sumber Daya Alam maupun tidak
harus bertanggung jawab
terhadap lingkungan (berwawasan lingkungan).
Undang-Undang Dasar 1945 adalah induk dari hukum di Republik Indonesia,
artinya bahwa peraturan-peraturan yang ada didalamnya haruslah diatur lebih lanjut
dan diselenggarakan dengan sebaik-baiknya. Keberadaan sumber hukum yang
mengatur tentang tanggung jawab sosial perusahaan dalam Undang-Undang Dasar
1945 ini membuktikan bahwa jauh sebelum berkembangnya perusahaan-perusahaan
di Indonesia, hukum di Indonesia sudah mewajibkan suatu perusahaan untuk
melindungi lingkungan dan mensejahterakan masyarakat sekitar perusahaan. Artinya
dalam menjalankan kegiatan usahanya suatu perusahaan tidak diperbolehkan
mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam suatu daerah hanya untuk kepentingan
pribadinya, tetapi kehadiran suatu perusahaan di Indonesia juga harus dapat
memberikan manfaat terhadap masyarakat daerah tersebut serta berwawasan
lingkungan. Dalam sejarah perjalanan panjang bangsa Indonesia dengan negaranegara penjajah, kehadiran perusahaan-perusahaan asing yang terus mengeksploitasi
dan memanfaatkan sumber daya alam hanya menyisakan kemiskinan dan
kesengsaraan bagi rakyat Indonesia. Oleh karena itu pengaturan tentang tanggung
Universitas Sumatera Utara
53
jawab sosial perusahaan adalah hal yang sangat penting, demi menjaga kelangsungan
dan masa depan seluruh masyarakat Indonesia.
2.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Pengaturan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan dalam UU No.40 Tahun
2007 terdapat dalam Bab V atau Pasal 74 yang terdiri dari 4 ayat, dimana dinyatakan:
1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
lingkungan.
Yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang
berkaitan dengan sumber daya alam” adalah perseroan yang tidak mengelola
dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya
berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam termasuk pelestarian
fungsi kingkungan hidup.
2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kewajiban Perseroan yang di anggarkan dan diperhitungkan
sebagai
biaya
Perseroan
yang
pelaksanaannya
dilakukan
dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Yang dimaksud dengan “kepatutan dan kewajaran” adalah kebijakan
perseroan, yang disesuaikan dengan kemampuan keuangan perseroan, dan
potensi resiko yang mengakibatkan tanggung jawab sosial dan lingkungan
yang harus ditanggung oleh perseroan sesuai dengan kegiatan usahanya yang
Universitas Sumatera Utara
54
tidak mengurangi kewajiban sebagaimana yang ditetapkan dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan usaha perseroan.
3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Yang dimaksud dengan “dikenai sanksi dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan” adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang terkait.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
diatur dengan peraturan pemerintah.68
Menurut Undang-Undang ini tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah
komitmen
perseroan
untuk
berperan
serta
dalam
pembangunan
ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kwalitas kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat
pada umumnya.69 Tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan materi yang
baru diatur dalam ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas ini, latar belakang
dimaksudkannya ketentuan ini adalah sebagai bentuk pertanggung jawaban sosial
perseroan terhadap lingkungan dan keadaan masyarakat sekitar tempat usaha
perseroan. Ketentuan ini bertujuan untuk menciptakan hubungan perseroan yang
serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat
setempat.
68
69
Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Universitas Sumatera Utara
55
3.
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN
Pada pasal 2 ayat (1) huruf e dinyatakan bahwa BUMN turut aktif
memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah,
koperasi dan masyarakat. Kemudian dalam Pasal 88 Ayat (1) dan (2) UndangUndang nomor 19 Tahun 2003 menyatakan bahwa : BUMN dapat menyisihkan
sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta
pembinaan masyarakat sekitar BUMN, ketentuan lebih lanjut diatur dengan
keputusan menteri. Dengan demikian BUMN bukan saja mendukung keberadaan
usaha kecil dan koperasi tetapi juga harus mendukung program sosial lainnya. 70
Amanah Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang BUMN selanjutnya
diatur dengan peraturan menteri PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan dan
Bina Lingkungan, dan telah mengalami perubahan ke empat yaitu dengan lahirnya
PER-08/MBU/2013 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. Dalam
peraturan menteri BUMN biaya penyelenggaraan CSR ditetapkan sebesar 2% dari
keuntungan setelah pajak setiap tahunnya, hal ini berbeda dengan peraturan
pemerintah nomor 47 tahun 2012 bahwa penyelenggaraan CSR dihitung sebagai
biaya produksi. Artinya dalam peraturam menteri BUMN CSR diselenggarakan pada
akhir tahun setelah mengetahui besarnya keuntungan setelah pajak, sedangkan dalam
PP nomor 47 tahun 2012 CSR diselenggarakan pada awal tahun bersamaan dengan
penyelenggaraan kegiatan produksi.
70
Pasal 88 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN
Universitas Sumatera Utara
56
4.
Undang-Undang No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal ini,
dinyatakan bahwa setiap penenam modal diwajibkan untuk melaksanakan tanggung
jawab sosial perusahaan.71 Dalam kamus besar bahasa indonesia kata “ wajib ”
diartikan sebagai harus dilakukan tidak boleh tidak dilaksanakan, dan berkawjiban
artinya adalah memiliki kewajiban yang bertanggung jawab. Oleh karena itu penanan
modal mempunyai kewajiban atau bertanggung jawab untuk menjalankan tanggung
jawab sosial yang dikelolanya. Dari bunyi pasal 15 huruf b Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tersebut dapat dikatakan bahwa ruang
lingkup sabjek dari tanggung jawab sosial perusahaan yaitu setiap penanam modal
yang berada diwilayah Indonesia. Didalam ketentuan pasal 1 angka (4)
UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal disebutkan bahwa
“Penanam Modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman
modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing”.
Dari bunyi pasal 1 angka (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal tersebut diatas dapat dikatakan bahwa ruang lingkup subjek
tanggung jawab sosial perusahaan dapat berupa perseorangan atau badan usaha.
Perseorangan diartikan sebagai perusahaan perseorangan, yaitu perusahaan swasta
yang didirikan dan dimiliki oleh pengusaha perseorangan.72
71
Pasal 15 huruf b Undang-Undang No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Arifin Mukhtar sudrajat, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan Dalam
Aplikasinya, (Surabaya: Penerbit Mitra Ilmu, 2011) hal.40
72
Universitas Sumatera Utara
57
5.
Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara
Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca
tambang.73
Yang dimaksud dengan Pertambangan Mineral adalah pertambangan
kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas
bumi, serta air tanah. Sedangkan yang dimaksud dengan Pertambangan Batu Bara
adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk
bitumen padat, gambut dan batuan aspal.74 Dalam Pasal 95 huruf (d) dinyatakan
bahwa Pemegang IUP dan IUPK wajib, melaksanakan pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat setempat. Kemudian dalam Pasal 108 menyatakan :
1. Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat.
2. Penyusunan program dan rencana sebagimana dimaksud pada ayat (1)
dikonsultasikan kepada pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
Pengembangan
masyarakat
(community
development)
adalah
upaya
mengembangkan sebuah kondisi masyarakat secara berkelanjutan dan aktif
berlandaskan
prinsip-prinsip
keadilan
sosial
dan
saling
menghargai.
Inti
pengembangan masyarakat adalah mendidik dan membuat anggota masyarakat
mampu mengerjakan sesuatu dengan memberikan kekuatan atau sarana yang
73
74
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara
Pasal 1 ayat (4) & (5) Undang-Undang No.4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara
Universitas Sumatera Utara
58
diperlukan dalam memberdayakan suatu masyarakat. Pengembangan masyarakat
dalam konteks ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan
masyarakat lapis bawah dalam mengidentifikasi kebutuhan, mendapatkan sumber
daya dalam memenuhi kebutuhan, dan memberdayakan mereka secara bersama-sama.
Pengembangan masyarakat sering kali di implementasikan dalam beberapa bentuk
kegiatan. Pertama, program-program pembangunan yang memungkinkan anggota
masyarakat memperoleh daya dukung dan kekuatan dalam memenuhi kebutuhannya.
Kedua, kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan warga
kurang mampu dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggung jawab.75
Jika dikaitkan antara pengembangan masyarakat (Comdev) dalam UndangUndang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara dengan CSR yang diatur
dalam Pasal 47 Undang-Undang Perseroan Terbatas maka terdapat perbedaan yang
sangat signifikan. Bila disimpulkan community development atau pengembangan
masyarakat adalah program aktivitas kegiatan perusahaan terhadap stakeholder
eksternal yang berada diluar korporat. Sedangkan CSR adalah aktivitas korporat
dalam hal tanggung jawab sosialnya terhadap stakeholder internal dan stakeholder
eksternal. Sehingga dalam hubungannya ini dapat dikatakan bahwa pengembangan
masyarakat (community development) adalah bagian dari CSR.
C. CSR Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 Tentang
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
Kalangan pebisnis adalah mereka yang selama ini dianggap memiliki peran
besar dalam mempertemukan keinginan pemerintah (goverment) dan masyarakat
75
Harianto Pratomo, Defenisi dan Ruang Lingkup Tanggung Jawab Sosial Perusahaan,
(Bandung: Penerbit Ereesco, 2009) hal.72
Universitas Sumatera Utara
59
(publik). Jika diibaratkan sebuah piramida maka posisi pemerintah adalah menempati
posisi diatas dan masyarakat dibawah, dengan begitu pebisnis dengan perusahaan
yang dimilikinya berada pada posisi di tengah. Artinya pebisnis memiliki fungsi
dalam mengubah dan membangun tatanan masyarakat dari kehidupan tradisional ke
kehidupan modern, dari pemikiran sederhana ke pemikiran yang lebih kompleks,
terutama merasakan faedah pembangunan tersebut. Termasuk tanggung jawab para
pebisnis mampu menciptakan iklim bisnis yang sehat serta memiliki nilai-nilai etika
yang dibentengi oleh hukum positif.76
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 89)
adalah perintah atau amanah dari Pasal 74 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, tambahan lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4656). Adapun yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.47
tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
antara lain :
1.
Pelaksanaan CSR Oleh Direksi
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas dijelaskan bahwa pelaksanaan tanggung
jawab sosial dan lingkungan perseroan terbatas dilaksanakan oleh direksi berdasarkan
rencana kerja tahunan perseroan setelah mendapat persetujuan dewan komisaris atau
76
Irham Fahmi, Etika Bisnis, Teori, Kasus dan Solusi, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2014) hal. 1
Universitas Sumatera Utara
60
RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) sesuai dengan anggaran dasar perseroan,
kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.77 Direksi adalah organ
perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan
untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan, baik di dalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar.
Pada dasarnya proses pelaksanaan CSR yang kewenangan seutuhnya
diberikan kepada direksi melalui RUPS bararti menutup peran aktif pemangku
kepentingan (stakeholder) dalam segala bentuk kegiatannya. Direksi adalah organ
perseroan yang bertanggung jawab penuh dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang
bertujuan untuk mencapai cita-cita perusahaan, yaitu memaksimalkan keuntungan
perusahaannya. Keberhasilan seorang direksi adalah ketika dia mampu memberikan
yang terbaik bagi perusahaan dan pemegang saham, sehingga ketika dibenturkan
dengan suatu kewajiban yang sudah pasti akan mengurangi keuntungan atau
keberhasilan perusahaan untuk mencapai keuntungan yang sebesarnya maka akan
menimbulkan pertentengan-pertentangan dalam alur penyelenggaraan tanggung
jawab sosialnya. Pertentangan tujuan ini pada akhirnya akan mempengaruhi nilainilai manfaat yang seharusnya dirasakan oleh masyarakat (stakeholder). Yang
menjadi acuan keberhasilan penyelenggaraan CSR adalah tepenuhinya hak dan
kewajiban pemangku kepentingan, yaitu perusahaan, pemerintah dan masyarakat.
77
Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.47 tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan Perseroan Terbatas
Universitas Sumatera Utara
61
Sehingga dalam bentuk penyelenggaraannya dibutuhkan keterlibatan semua pihak
dalam bentuk kemitraan untuk memaksimalkan kemanfaatan dari program CSR yang
dijalankan oleh perusahaan. Dalam penyelenggaraan CSR pola kemitraan antara
perusahaan dengan pemerintah maupun komunitas/masyarakat dapat mengarah pada
tiga pola kemitraan sebagai berikut :
1.
Pola kemitraan kontra produktif
Pola ini akan terjadi jika perusahaan masih berpijak pada pola konvensional
yang hanya mengutamakan kepentingan shareholders yaitu mengejar profit sebesar –
besarnya. Fokus perhatian perusahaan lebih bertumpu pada bagaimana perusahaan
bisa mendapatkan keuntungan secara maksimal, sementara hubungan dengan
pemerintah dan komunitas atau masyarakat hanya sekedar pemanis belaka.
Perusahaan berjalan dengan targetnya sendiri, pemerintah juga tidak peduli,
sedangkan masyarakat tidak mempunyai akses apapun kepada perusahaan. Pola
kemitraan ini dapat saja terjadi namun lebih bersifat semu dan bahkan menonjolkan
kesan negatif. Bahkan juga bisa memicu terjadinya fenomena buruk kapan saja,
misalnya pemogokan oleh buruh, unjuk rasa dan terhentinya aktifitas atau tutupnya
perusahaan.
2.
Pola kemitraan semi produktif
Dalam pola ini pemerintah dan komunitas atau masyarakat dianggap sebagai
obyek dan masalah di luar perusahaan. Perusahaan tidak tahu program-program
pemerintah, pemerintah juga tidak memberikan iklim yang kondusif kepada dunia
usaha dan masyarakat bersifat pasif. Pola kemitraan ini masih mengacu pada
Universitas Sumatera Utara
62
kepentingan jangka pendek dan tidak menimbulkan sense of belonging di pihak
masyarakat dan low benefit di pihak pemerintah. Kerjasama ini lebih mengedepankan
aspek karitatif atau public relation dimana pemerintah dan masyarakat masih lebih
dianggap sebagai obyek. Dengan kata lain, kemitraan masih belum strategis dan
masih mengedepankan kepentingan
BAB II
PENGATURAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PADA PP
NO.47 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN
LINGKUNGAN PERSEROAN TERBATAS
A. Sejarah Perkembangan CSR
1.
Perubahan Paradigma Dalam Pengaturan Perusahaan
Peradaban modern yang kapitalistik telah mendorong manusia begitu serakah
terhadap lingkungan hidup. Manusia modern terjangkiti oleh penyakit hedonisme
yang tidak pernah puas dengan kebutuhan materi. Sebab yang mendasar timbulnya
keserakahan terhadap lingkungan ini, karena manusia memahami bahwa sumber daya
alam adalah materi yang mesti di eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan materinya
yang konsumtif.44 Sistem perekonomian kapitalistik ini memiliki tiga syarat dalam
menjalankan kegiatan-kegiatan ekonominya, yaitu akumulasi, ekspansi dan
eksploitasi. Akumulasi adalah suatu prinsip tentang melipatkan gandakan modal
usaha yang akan digunakan, artinya bahwa semakin besar jumlah modal yang di
infestasikan
dalam menjalankan
kegiatan-kegiatan
ekonominya
maka
akan
menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Sehingga kepemilikan modal adalah
salah satu syarat yang paling utama dalam ciri perekonomian seperti ini. Ekspansi
adalah usaha untuk menguasai pasar-pasar di wilayah-wilayah lain yang memiliki
potensi yang besar dalam menjalankan kegiatan usahanya atau negara-negara
berkembang seperti Indonesia. Menguasai pasar demi kebutuhan untuk menjual
44
Bambang Rudito, Melia Famiola, Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di
Indonesia, (Bandung: Penerbit Rekayasa Sains, 2007) hal. hal. 56
31
Universitas Sumatera Utara
32
barang-barang yang dihasilkan setelah berproduksi. Eksploitasi yaitu usaha-usaha
yang digunakan untuk memanfaatkan sumber daya yang butuhkan untuk melakukan
aktivitas produksi, seperti sumber daya manusia dan sumber daya alam. Eksploitasi
sumber daya alam yang dilakukan oleh suatu perusahaan pada gilirannya akan
mengancam kehidupan manusia dan akhirnya seluruh ekosistem. Berdasarkan
kesadaran tersebut maka pelaku usaha dalam melakukan kegiatan ekonominya tidak
hanya bertanggung jawab atas keuntungan perusahaan, tetapi juga bertanggung jawab
atas kehidupan dan masa depan masyarakat secara umum.45
Tanggung jawab sosial perusahaan atau yang biasa di kenal dengan CSR
(Corporate Social Responsibility) adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis
untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan
memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitik beratkan pada
keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan
hidup. Dari sisi urgensinya, formalisasi CSR memang mendesak karena kian
meluasnya eskalasi kemiskinan dan degradasi lingkungan yang terjadi sebagai
dampak eksploitasi kekayaan sumber daya alam yang terus berlangsung. Sejarah CSR
modern dikenal sejak Howard R.Bowen menerbitkan bukunya yang berjudul “Social
Responsibilities of The Businessman (1953), ide dasar yang dikemukakan Bowen
adalah mengenai “kewajiban perusahaan menjalankan usahanya sejalan dengan nilainilai dan tujuan yang hendak dicapai masyarakat ditempat perusahaan itu beroprasi.
Gema tanggung jawab sosial perusahaan semakin kuat dan besar dengan kehadiran
45
Ibid, hal.44
Universitas Sumatera Utara
33
buku berjudul “Silent Sprint” yang ditulis oleh Rachel Carson ditahun 1962. Dalam
bukunya tersebut Carson berupaya mengingatkan masyarakat dunia bahwa
penggunaan pestisida dalam aktivitas pertanian modern berakibat mematikan bagi
lingkungan dan kehidupan manusia.46
Pemikiran tentang perusahaan yang lebih insaniah juga ditegaskan dalam
buku berjudul “The Future Capitalism” yang ditulis oleh Thurow (1966). Dalam
bukunya yang cukup populer tersebut Thurow mengemukakan bahwa kapitalisme
yang menjadi haluan pemikiran utama dan mengilhami perilaku kalangan pelaku
usaha tidak hanya berdampak terhadap masalah ekonomi, tetapi juga berdampak
terhadap masyarakat setempat dan lingkungan.47
CSR mulai berkembang pada akhir tahun 1960 dalam upaya menjadikan
persoalan kemiskinan dan bencana yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan agar
mendapatkan perhatian yang lebih luas dari berbagai kalangan yang memiliki peran.
Lebih lanjut perkembangan itu ditandai dengan munculnya definisi CSR oleh WBSD
(World Business Council for Sustainable Development) pada tahun 1995, sebuah
lembaga forum bisnis yang digagas oleh Badan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk
kalangan bisnis agar dapat berkontribusi dalam pembangunan. Konteks saat itu
adalah pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development), suatu konsep
pembangunan demi masa depan tanpa merusak sumber daya alam, dimana mencoba
menyatukan 3 elemen pembangunan yaitu ekonomi, lingkungan, sosial. Gagasan
46
Deni Bram, Hukum Lingkungan Hidup Homo Ethic-Ecoethic, (Bekasi: Penerbit Gramata
Publishing, 2014) hal. 6
47
Ibid, hal. 39
Universitas Sumatera Utara
34
CSR oleh WBSD sangat dipengaruhi oleh roh pembangunan berkelanjutan ini.
Pemahaman yang muncul adalah bagaimana dunia bisnis dapat berkontribusi
terhadap pembangunan berkelanjutan secara luas, dan secara mikro terhadap
masyarakat yang ada disekitarnya. Atau dalam konteks ini CSR dimaknai sebagai
komitmen bisnis untuk berperilaku etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi
terhadap pembangunan ekonomi sekaligus meningkatkan kualitas hidup karyawan
dan keluarganya, serta masyarakat lokal dan masyarakat pada umumnya.48
Pandangan lain tentang defenisi tanggung jawab sosial perusahaan
dikemukakan oleh Bank Dunia. Organisasi keuangan global ini mengemukakan
defenisi tanggung jawab sosial perusahaan sebagai suatu persetujuan atau komitmen
berkesinambungan, bekerja dengan para perwakilan dan perwakilan mereka,
masyarakat setempat dan masyarakat dalam ukuran lebih luas, untuk meningkatkan
kualitas hidup, dengan demikian eksistensi perusahaan tersebut akan baik bagi
perusahaan itu sendiri dan baik pula bagi pembangunan. Defenisi tanggung jawab
sosial perusahaan yang dirumuskan Bank Dunia tersebut memang sangat mendalam
dan ideal. Defenisi tersebut sudah mengarahkan kapada dilibatkannya berbagai
pemangku kepentingan dalam kebijakan-kebijakan ekonomi perusahaan. Dengan
demikian, suatu perusahaan yang melakukan aktivitas ekonomi disuatu kawasan
terlebih dahulu harus mengetahui siapa saja yang menjadi pihak-pihak pemangku
kepentingan (stakeholders). Teori stakeholders merupakan sebuah kependekan dari
teori stakeholders korporasi, sebuah konsep yang relatif modern. Pertama kali
48
Ibid, hal. 55
Universitas Sumatera Utara
35
dipopulerkam oleh R. Edward Freeman dalam buku Manajemen Strategisnya
Pendekatan Stakeholders. Freeman mendefinisikan pemangku kepentingan sebagai
“kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapain
tujuan organisasi. Premis dasar dari teori stakeholder adalah bahwa semakin kuat
hubungan korporasi bisnis, maka akan semakin mudah. Sebaliknya, semakin buruk
hubugan korporasi, akan semakin sulit. Hubungan yang kuat dengan para pemangku
kepentingan adalah berdasarkan kepercayaan, rasa hormat, dan kerja sama. Tujuan
dari teori stakeholder adalah untuk membantu korporasi memperkuat hubungan
dengan kelompok-kelompok eksternal dalam mengemban keunggulan kompetitif.49
Jika disimpulkan definisi CSR diatas maka dapat diartikan bahwa terjadi
pergeseran paradigma atau cara pandang dalam dunia usaha atau bisnis, bahwa
pelaksanaan
konsep
CSR
adalah
pengejawantahan
konsep
pembangunan
berkelanjutan dari dunia bisnis yang awalnya hanya mengutamakan keuntungan
semata dengan berlandaskan pada teori shareholders, menjadi dunia bisnis yang
bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan lingkungannya atau
berdasarkan pada teori stakeholders. Stakeholders perusahaan dapat di definisikan
sebagai pihak-pihak yang berkentingan terhadap eksistensi perusahaan. Termasuk
didalamnya adalah karyawan, pelanggan, konsumen, pemasok, masyarakat dan
lingkungan sekitar, serta pemerintah selaku generator.50
Sudah menjadi fakta bagaimana sikap masyarakat lokal (stakeholder) terhadap
perusahaan yang dianggap tidak bertanggung jawab terhadap dampak yang
49
50
Ibid, hal. 78
Erni R. Ernawan, Business Ethics (Bandung: Penerbit ALFABETA, 2007) hal. 114
Universitas Sumatera Utara
36
ditimbulkan perusahaan yang dirasakan oleh masyarakat dan lingkungan, misalnya
PT Indorayon di Kabupaten Tobasa, Sumatera Utara. Dimana masyarakat sekitar
melakukan perlawanan dengan melarang perusahaan melakukan aktifitas produksinya
karena dianggap tidak bertanggung jawab terhadap dampak negatif yang ditimbulkan
perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar. Hal seperti ini yang akhirnya
mempersulit, bahkan menyebabkan kerugian yang besar atau berdampak negatif bagi
pemerintah dan perusahaan itu sendiri.
CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan bukanlah sebuah momok yang
menakutkan bagi korporat, tetapi sebuah jawaban untuk membangun kepercayaan
masyarakat terhadap perusahaan dan kebersinambungan masyarakat lokal. CSR pada
prinsipnya adalah perwujudan dari etika bisnis suatu perusahaan, dimana ketika
perusahaan bertindak secara etis dalam berbisnis maka penempatan tanggung jawab
sosial perusahaan merupakan sebuah kebutuhan dan juga sebagai bagian dari modal
usaha
dalam
meningkatkan
kepercayaan
perusahaan
terhadap
pemangku
kepentingannya. Mau tidak mau, perusahaan dan masyarakat merupakan sebuah
ikatan solidaritas yang bersifat organik dan terbentuk menjadi sebuah mekanisme
solidaritas yang menyatu dalam hubungan saling membutuhkan.51
2.
Perubahan CSR dari Tanggung Jawab Etik Menjadi Tanggung Jawab
Hukum
Pada dasarnya CSR adalah bentuk transformasi hukum alam menjadi hukum
positif, yang artinya perubahan dari bentuk tanggung jawab moral atau etika menjadi
51
Martinus Wibisono, Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Antara Teori dan
Realita, (Jakarta: Penerbit Pustaka Ilmu, 2010) hal. 19
Universitas Sumatera Utara
37
tanggung jawab hukum yang dapat dipaksakan dan memiliki sanksi. Sebelum
dituangkan dalam hukum positif di Indonesia, penyelenggaraan CSR di sandarkan
pada tanggung jawab moral atau etika bisnis perusahaan yang bersifat sukarela
sehingga sangat bergantung pada pimpinan puncak korporasi. Artinya, kebijakan
CSR tidak selalu selaras dengan visi dam misi perusahaan. Jika pimpinan perusahaan
tersebut memiliki kesadaran moral yang tinggi maka perusahaan tersebut akan
menerapkan program CSR dengan benar. Sebaliknya, jika orientasi pimpinan
perusahaan tersebut hanya berkiblat kepada kepentingan dan kepuasan pemegang
saham serta motivasi pencapaian prestasi pribadi maka kebijakan CSR hanya sekedar
kosmetik.
Moralitas dianggap sebagai salah satu alasan yang mendasari dan mendorong
seseorang bertindak secara beretika. Moral bagian dari jiwa manusia yang tumbuh
dan berdiam dalam diri secara kuat, karena setiap orang dianggap pasti memiliki
moral. Dan karena moral pula setiap orang bisa mengerti akan makna kehidupan,
serta bagaimana memperlakukan hidup secara lebih bermakna.
Sifat CSR yang
sukarela, lemahnya produk hukum yang mengatur dan matinya peran stakeholder
dalam penyelenggaraannya menjadikan Indonesia sebagai negara yang ideal bagi
korporasi yang hanya mengejar keuntungan dan menyelenggarakan tanggung jawab
CSR hanya sebagai kosmetik pencitraan. Hal yang penting bagi perusahaan model
seperti ini hanyalah laporan tahunan yang baik dan lengkap dengan tampilan
aktiviatas sosial serta dana program pembangunan yang telah direalisasikan. Padahal,
Universitas Sumatera Utara
38
program CSR sangat penting sebagai kewajiban untuk bertanggung jawab atas
kelangsungan kehidupan umat manusia di bumi masa mendatang.52
Alasan mendasar perubahan tanggung jawab tersebut adalah kelangsungan
dunia usaha itu sendiri serta kepentingan pemegang saham yang tidak boleh
diabaikan. Dengan perkataan lain, dalam hal terjadi persinggungan antara
kepentingan perusahaan dengan kepentingan masyarakat (stakeholder), maka
penerapan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial perusahaan tersebut harus dibuat
menjadi suatu keharusan (mandatory). Keharusan tersebut mengimplikasikan
penjabaran prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) kedalam peraturan
perundang-undangan. Implementasi prinsip-prinsip GCG menjadi lebih efektif.
Perlindungan terhadap kepentingan yang lebih luas menjadi salah satu pendorong
utama pentingnya regulasi tersebut.
Implementasi dari tanggung jawab sosial
perusahaan melalui prinsip CSR tidak terlepas dari penerapan konsep Good
Corporate Governance. GCG adalah rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan
dan intuisi yang mempengaruhi pengarahan, pengelolaan serta pengawasan terhadap
suatu perusahaan. Prinsip-prinsip yang dianut dalam GCG dan CSR ibarat dua sisi
mata uang, keduanya sama pentingnya dan tidak terpisahkan. Adapun definisi Good
Corporate Governance dari Cadbury Committee yang berdasarkan dari teori
stakeholder adalah seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara para
pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah, karyawan, dan pihak pihak yang
52
https://achmadsaerozi.wordpress.com/2011/11/11/kerusakan-lingkungan-hidup-akibat-etikabisnis-yang-buruk/ diakses pada hari Jumat, 12 Desember 2014
Universitas Sumatera Utara
39
berkepentingan lainnya baik internal maupun eksternal yang berkaitan dengan hakhak dan kewajiban mereka.53
Sehingga disini jelas jika perusahaan ingin diarahkan untuk menciptakan
suatu bentuk organisasi bisnis yang bertumpu pada aturan-aturan hukum dan
manajemen modern yang profesional dengan konsep dedikasi yang jauh lebih
bertanggung jawab. Penafsiran bertanggung jawab dapat diartikan sebagai keikut
sertaan perusahaan secara jauh lebih dalam untuk ikut berpartisipasi dalam
membangun negara dan bangsa, seperti peran perusahaan sebagai penyedia lapangan
pekerjaan dan pendukung penuntasan kemiskinan. Oleh karena itu pelaksanaan GCG
diwujudkan dengan cara memasukkan CSR kedalam aturan hukum positif di
indonesia. Prinsip GCG merupakan cikal bakal pembentukan CSR. Suatu perusahaan
yang melakuan prinsip GCG juga harus melaksanakan konsep CSR, kedua konsep
tersebut kini bukan lagi suatu tanggung jawab biasa (responsibility), tetapi juga
merupakan suatu kebijakan hukum (liability) yang memiliki sanksi hukum jika tidak
dilaksanakan dengan baik, oleh karena itu hal ini sifatnya dapat dipaksakan
(imperative) sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang yang mengatur
tentang CSR di indonesia.54
Ada beberapa perbedaan dalam penerapan CSR di negara-negara Eropa dan
Amerika. Perusahan di negara Eropa penerapan CSR dilakukan berdasarkan
peraturan/regulasi yang dikeluarkan oeh pemerintah setempat, sehingga pelasanaan
53
54
Budi Untung, Loc. Cit., hal. 135
Budi Untung, Loc. Cit., hal.57
Universitas Sumatera Utara
40
CSR didasarkan pada desakan dan sanksi yang harus dipatuhi. Sedangkan dalam
perusahaan di Amerika, pelaksanaan CSR merupakan tindakan sukarela atas dasar
kepedulian perusahaan terhadap dampak lingkungan dan sosial dalam masyarakat.55
Prinsip-prinsip yang diatur dalam GCG secara umum terdiri dari 4 prinsip, yaitu :
1.
Prinsip Akuntabilitas (accountability)
Prinsip ini mewajibkan direksi perusahaan bertanggung jawab atas
keberhasilan pengelolaan perusahaan untuk mewujudkan tujuan dari perusahaan
tersebut. Komisaris bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas pengawasan
terhadap direksi sehubungan dengan tugasnya. Kedudukan direksi dan komisaris
yang mendapatkan kewajiban dan tanggung jawab tersbebut harus diemban dengan
penuh dedikasi yang tinggi dengan mengutamkan kepentingan perusahaan dan dapat
mempertanggung jawabkan kepada para pemegang saham perusahaan tersebut.
2.
Prinsip Keterbukaan (transparancy)
Adanya informasi yang akurat dan dapat diaudit oleh pihak ke tiga yang
independen sebagai laporan kepada para pemegang saham, sehingga pemegang
saham dapat mengetahui perkembangan dan kemerosotan perusahaan. Prinsip ini juga
menginginkan adanya laporan yang akurat dan tepat perihal keuangan, pengelolaan
dan perubahan-perubahan pengurus serta saham yang dapat mengakibatkan terjadinya
pergeseran kepemilikan dan bentuk-bentuk tindakan lainnya yang dilakukan oleh
direksi dan komisaris dalam melaksanakan tugasnya masing-masing secara berkala
maupun berkesinambungan.
55
Abdullah Haris Susanto, Menimbang CSR Secara Rasional, (Jakarta: Penerbit Bina Aksara,
2011) hal. 77
Universitas Sumatera Utara
41
3.
Prinsip Kewajaran (fairness)
Prinsip ini memberikan perlindungan terhadap kepentingan minoritas,
khususnya para pemegang saham minoritas untuk mendapatkan perlakuan yang adil.
Hal ini sebenarnya telah terakomodir dalam ketentuan UU No.40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas yang memberikan satu saham satu hak suara (Pasal 84) dan hak
pemegang saham minoritas untuk dapat mengusulkan diadakannya RUPS melalui
pengadilan jika pemegang saham mayoritas tidak melaksanakan (pasal 80). Prinsip
ini menginginkan setiap direksi maupun komisaris agar lebih mementingkan
kepentingan perusahaan daripada kepentingan pribadi, sehingga semua kegiatan yang
berhadapan dengan konflik kepentingan (conflict of interest) harus secara sukarela
melepaskan kepentingan pribadi tersebut.
4.
Tanggung Jawab (responsiblity)
Prinsip ini menegaskan konsep fiduciary duty dari pada pengurus perseroan
untuk lebih mematuhi aturan-aturan yang digariskan dalam pengelolaan perusahaan.
Peraturan ditetapkan oleh pemerintah maupun kepentingan pihak lain (stakeholders)
yang mempengaruhi kesinambungan perusahaan. Direksi harus tanggap terhadap
keberlangsungan perusahaan dengan berbagai upaya untuk meningkatkan perusahaan
tanpa mengabaikan tanggung jawab sosial terhadap karyawan, lingkungan,
masyarakat, pelanggan atau pihak lain yang menentukan kesinambungan perusahaan.
Pertanggungjawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan
yang berlaku, di antaranya termasuk masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan
dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan
Universitas Sumatera Utara
42
bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya. Dengan menerapkan
prinsip ini, diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan
operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggungjawab selain
kepada shareholder juga kepada stakeholders.56
Disadari bahwa penerapan prinip-prinsip good coorporate governance (GCG)
merupakan salah satu upaya yang cukup signifikan untuk melepaskan diri dari krisis
ekonomi dan lingkungan yang melanda Indonesia. Peran dan tuntutan investor dan
kreditur asing mengenai penerapan prinsip GCG merupakan salah satu faktor dalam
pengambilan keputusan berinvestasi pada suatu perusahaan. Prinsip-prinsip GCG
juga merupakan komponen tata perilaku (code of conduct) yang diyakini oleh banyak
pakar yang merupakan katalisator pemulihan sektor perusahaan di indonesia,
termasuk sektor badan usaha milik negara (BUMN), perbankan, maupun bidang pasar
modal. Berdasarkan prinsip-prinsip GCG tersebut yang sangat berhubungan dengan
pelaksanaan CSR adalah prinsip bertanggng jawab (responsiblity). Hal ini
dikarenakan prinsip akuntabilitas (accountability), keterbukaan (transparancy) dan
kewajaran
(fairness)
hanya
mementingkan
kelangsungan
perusahaan
pada
kepentingan pemegang saham (shareholders), sedangkan prinsip responsibility
mengedepankan kepentingan stakeholders. Tata kelola perusahaan yang baik (GCG)
diperlukan agar perilaku bisnis mempunyai arahan yang baik. Intinya, GCG
merupakan sebuah sistem dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara
56
Indra Surya, Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance
Mengesampingkan hak-hak istimewa demi kelangsungan usaha, (Penerbit: Prenada Media Group,
Jakarta, 2006) hal. 109
Universitas Sumatera Utara
43
berbagai pihak yang berkepentingan terutama dalam arti sempit hubungan antara
pemegang saham dan dewan komisaris serta dewan direksi demi tercapainya tujuan
korporasi. Dalam arti luas mengatur hubungan seluruh kepentingan stakeholders
dapat dipenuhi secara proporsional.57
Oleh karena itu GCG telah diatur sedemikian rupa dalam peraturan per
Undang-Undangan di Indonesia seperti dalam ketentuan Undang-Undang No.19
tahun 2003 tentang BUMN dalam Pasal 36 perihal maksud dan tujuan perusahaan
BUMN adalah Menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum
berupa penyediaan barang dan/jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau
oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Dalam
Pasal 73 diatur perihal restrukturisasi perusahaan yang harus memperhatikan GCG
tersebut, restrukturisasi tersebut antara lain :
1. Restrukturisasi sektoral yang pelaksanannya disesuaikan dengan kebijakan
sektor dan/atau ketentuan perundang-undangan.
2. Restrukturisasi perusahaan/korporasi yang meliputi :
a.
Peningkatan intensitas persaingan usaha, terutama disektor-sektor yang
terdapat monopoli, baik yang diregulasi maupun monopoli alamiah.
b.
Penataan hubungan fungsional antara pemerintah selaku regulator dan
BUMN selaku badan usaha, termasuk didalamnya penerapan prinsipprinsip tata kelola perusahaan yang dan menetapkan arah dalam rangka
pelaksanaan kewajiban pelayanan publik.
57
Ibid hal. 119
Universitas Sumatera Utara
44
c. Restrukturisasi internal yang mencakup keuangan, organisasi/manajemen,
operasional, sistem dan prosedur.
Sebelumnya pemerintah juga mensyaratkan untuk menerapkan prinsip GCG
ini dalam BUMN dengan surat Keputusan Menteri BUMN No.kep.117/MMBU/2002 tentang penerapan GCG di BUMN sebagai pedoman korporasi yang
diperlukan dalam sistem pengelolaan BUMN yang sehat. Menurut Keputusan
Menteri BUMN No.kep.117/M-MBU/2002, GCG adalah “Suatu proses dari struktur
yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan
akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka
panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan
peraturan perundangan dan nilai-nilai etika”.58
Perubahan paradigma ini adalah bukti bahwa ada hubungan saling
ketergantungan semua pihak dalam mencapai tujuannya masing-masing, dan untuk
melaksanakan itu pihak-pihak tersebut harus dapat bekerjasama sebagai mitra yang
memiliki kebutuhan yang sama yaitu manfaat yang sebesar-besarnya bagi semua
pihak. Artinya bahwa masyarakat (stakeholder) memiliki peran penting dalam roda
produksi suatu perusahaan, dan sebaliknya peran suatu perusahaan dalam
menyelenggarakan CSR juga sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam upaya
mengentaskan persoalan-persoalan ekonomi dan sosial yang dihadapai. Sehingga
hubungan antara (stakeholder internal) dan (stakeholder eksternal) dapat saling
58
Ibid hal. 130
Universitas Sumatera Utara
45
memberikan manfaat yang dapat dirasakan oleh semua pihak sebagai pemangku
kepentingan.
B. Ragam Pengaturan CSR di Indonesia
Hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu apabila dilanggar akan
mengakibatkan timbulnya sanksi yang tegas dan nyata. E. Utrecht, dalam bukunya
Pengantar dalam Hukum Indonesia meyatakan hukum adalah himpunan petunjuk
hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh
anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk
hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintahan masyarakat itu.59
Menurut S.M. Amin, S.H, dalam bukunya yang berjudul Bertamasya ke Alam
Hukum, hukum dirumuskan sebagai “Kumpulan-kumpulan peraturan yang terdiri
dari norma dan sanksi-sanksi, dan tujuan hukum adalah mengadakan ketetiban dalam
pergaulan manusia”J. C. T. Simorangkir, S.H. dan Woerjono, S.H. dalam bukunya
yang berjudul Pelajaran Hukum, definisi hukum adalah “Peraturan-peraturan yang
bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana
terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan
hukuman tertentu”. Dari beberapa perumusan tentang hukum Indonesia tersebut
diatas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa hukum itu meliputi beberapa unsur, antara
lain :
59
Yulies Tiana Masriani, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2004) hal. 6
Universitas Sumatera Utara
46
a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
c. Peraturan itu bersifat memaksa.
d. Sanksi terhadap pelanggar peraturan tersebut adalah tegas.60
Pada hakekatnya hukum dimaksudkan untuk mengatur hubungan tingkah laku
dan pergaulan yang ada di dalam masyarakat. Baik yang dilakukan oleh orang yang
satu dengan orang yang lainnya, orang perorangan dengan negara maupun mengatur
mengenai hubungan lembaga-lembaga yang ada di dalam negara tersebut. Dengan
adanya hukum maka kekuasaan yang dijalankan agar sesuai dengan fungsi dan tujuan
daripada hukum itu sendiri. Banyak orang beranggapan bahwa tujuan hukum dengan
fungsi hukum adalah hal yang sama, namun pada dasarnya hal ini sangatalah
berberda . Fungsi hukum mengacu pada peranan yang diemban oleh hukum,
sedangkan tujuan hukum menitik beratkan pada arah yang hendak yang dicapai dan
berfungsinya hukum.61 Sudah menjadi ciri negara hukum seperti Indonesia dimana
konstitusinya memuat tentang kedaulatan dibidang politik dan ekonomi. Dengan
adanya ketegasan dalam konstitusi Negara Indonesia (UUD RI 1945) tentang
pengaturan ekonomi nasional, maka menyangkut tanggung jawab sosial perusahaan
semakin penting untuk di atur dan dijabarkan dengan jelas dan tegas dalam peraturan
hukum positif Indonesia.
60
Ibid, hal.39
Teguh Presetyo, Kadarwati Budiharjo Purwadi, Hukum dan Undang-Undang Perkebunan,
(Penerbit Nusa Media, Bandung, 2007) hal. 10
61
Universitas Sumatera Utara
47
Demikian juga halnya dalam dunia bisnis atau ekonomi, hukum sebagai salah
satu perangkat yang mengatur norma-norma kehidupan bermasyarakat merupakan
salah satu faktor pendukung terciptanya aktivitas bisnis yang sehat. Prof. Dr. Bismar
Nasution, S.H., M.H. menyatakan supaya pembangunan ekonomi dilakukan
berlandaskan hukum dan pendidikan hukum dirancang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Mengingat perkembangan kegiatan ekonomi yang begitu pesat baik yang
berskala nasional maupun berskala internasional maka keberadaan hukum dalam
mendukung dan memfasilitasi kegiatan ekonomi dimaksud semakin sangat penting.
Para pakar hukum di indonesia memandang perlunya pengembangan hukum ekonomi
didasari oleh meningkatnya pula hubungan ekonomi melintasi batas-batas negara
melalui perkembangan aliran modal asing/teknologi. Hal ini menunjukan suatu
rangkaian kegiatan dibidang ekonomi dengan perangkat pengaturan hukumnya.62
Negara Indonesia, jelas berdaulat secara penuh terhadap aturan hukum yang
diterapkan nya dalam mengatur tanggung jawab sosial perusahaan terhadap
masyarakat dan lingkungan diwilayahnya. Sebagai konsekwensinya hukum yang
telah ditetapkan otomatis menjadi hukum positif yang wajib untuk dijalankan. Disatu
sisi, implementasi tanggung jawab sosial perusahaan di indonesia masih dijalankan
(dengan relatif baik) oleh segelintir perusahaan. Artinya, masih jauh lebih panjang
daftar perusahaan yang sama sekali belum melaksanakan tanggung jawab sosial
perusahaan, walaupun mereka sudah mengetahui bahwa kewajiban tersebut telah
62
Hasim Purba, Implementasi Prinsip Corporate Social Responsibility (CSR), Jurnal Equality,
Vol. 13 No. 1 Februari 2008, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera utara.
Universitas Sumatera Utara
48
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Disisi lain, hingga saat ini belum pernah
terdengar dimana perusahaan yang sama sekali belum menjalankan tanggung jawab
sosialnya dikenakan sanksi oleh pemerintah. Bahkan mekanisme pemberian sanksi
kepada perusahaan yang lalai atas tanggung jawab sosialnya pun tampaknya belum
diatur dan disosialisasikan secara baku dan transparan. 63
Seperti yang telah disampaikan diatas, bahwa tanggung jawab sosial
perusahaan pada dasarnya dilaksanakan berdasarkan tanggung jawab moral atau etika
perusahaan, namun dilihat dari dampak negatif yang ditimbulkan perusahaan
terhadap lingkungan dan masyarakat rasanya tanggung jawab moral tersebut sudah
tidak bisa lagi di jadikan dasar dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahan.
Tanggung jawab moral direksi saja tidak cukup untuk menjamin perusahaan yang
pada dasarnya hanya memaksimalkan keuntungan untuk menyelamatkan atau
mengurangi dampak negatif dari produktivitas perusahaan dengan menyelenggarakan
CSR yang pada dasarnya akan mengurangi keuntungan perusahaan. Bahkan akhirakhir ini, unjuk rasa yang dilakukan masyarakat sebagai wujud penolakan kehadiran
aktivitas perusahaan di lingkungan suatu masyarakat semakin mengkhawatirkan.
Masyarakat tidak sekedar menyampaikan tuntutan dan penolakan mereka kepada
perusahaan maupun pemerintahan setempat. Unjuk rasa yang dilakukan sering
dibumbui dengan tindakan melawan hukum, antara lain dalam bentuk penguasaan
fasilitas penting masyarakat seperti pelabuhan maupun jalan tol yang mengakibatkan
63
Matias Siagian, Agus Suriadi, CSR Perspektif Pekerjaan Sosial, (Medan: Penerbit
PT.Grasindo Monoratama, 2012) hal. 48
Universitas Sumatera Utara
49
lumpuhnya aktivias masyarakat luas. Bahkan tidak jarang diwarnai dengan
pembakaran dan perusakan fasilitas perusahaan yang mengakibatkan kerugian
perusahaan dalam jumlah yang sangat besar.
Hukum menurut Austin harus dipahami dalam arti perintah karena hukum
seharusnya tidak memberi ruang untuk memilih (apakah mematuhi atau tidak
mematuhi), hukum bersifat non optional. Dengan demikian kepatuhan pada hukum
adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar. Menyebut perintah sebagai hukum
tetapi dalam praktek tidak dapat ditegakkan melalui penerapan sanksi hukum adalah
absurd, karena hukum yang demikian tidak mampu memenuhi fungsi sosialnya
sebagai alat kontrol terhadap tingkah laku masyarakat. Hukum dalam arti terakhir ini
tidak punya implikasi hukuman apapun, ketika hukum tidak lagi dapat dipaksakan
dengan memberikan sanksi dan hukuman pada pelanggaranya maka hukum tidak lagi
dapat disebut hukum karena telah kehilangan esensinya sebagai perintah.64
Sejak di undangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 pada
tanggal 4 April 2012, menandakan babak baru dalam sejarah hukum di Indonesia
yang mengatur tentang tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan
Terbatas. Peraturan Pemerintah ini merupakan tindak lanjut dan penjelasan dari pasal
74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Tanggung Jawab Sosial dan
lingkungan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pasal
74 yang menyatakan bahwa :
64
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009)
hal. 97
Universitas Sumatera Utara
50
1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan.
2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai
biaya
perseroan
yang
pelaksanaannya
dilakukan
dengan
memperhatiakan kepatutan dan kewajaran.
3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
diatur dengan peraturan pemerintah.65
Dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2012 tentang
tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan terbatas membuktikan komitmen
pemerintah
dalam
mewujudkan
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development). Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi
kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan
datang dalam memenuhi kebutuhannya.66
Jauh sebelum lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas yang merupakan amanah
65
Pasal 74 Undang-Undang No.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Zubaedi, Wacana Pembangunan Alternatif, Ragam Perspektif Pengembangan dan
Pemberdayaan Masyarakat (Djogjakarta: Penerbit Ar-Ruzz Media, 2007) hal.37
66
Universitas Sumatera Utara
51
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, telah hadir
beragam aturan hukum positif Indonesia yang mengatur tentang tanggung jawab
sosial perusahaan (CSR), antara lain:
1.
Undang-Undang Dasar 1945
Sebagai Konstitusi Negara Republik Indoneisa Undang-Undang Dasar 1945
telah mengatur tentang sistem perekonomian nasional yang bertujuan untuk
memakmurkan rakyat secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Hal ini tentu
saja bertujuan untuk menghindari dampak negatif yang ditimbulkan suatu perusahaan
terhadap masyarakat dan lingkungan dalam menjalankan kegiatan usahanya untuk
mendongkrak perekonomian, hal ini dinyatakan dalam Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi :
1.
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
2.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh Negara.
3.
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4.
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekononi nasional.
5.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pasal ini diatur dalam Undang-Undang. 67
67
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
Universitas Sumatera Utara
52
Dalam ayat (3) yang menyatakan “bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Dari Undang-Undang ini bisa disimpulkan bahwa
dalam menjalankan kegiatan ekonominya di Indonesia, baik Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) maupun perusahaan swasta yang melakukan kegiatan produksinya
untuk mengelola Sumber Daya Alam maupun tidak
harus bertanggung jawab
terhadap lingkungan (berwawasan lingkungan).
Undang-Undang Dasar 1945 adalah induk dari hukum di Republik Indonesia,
artinya bahwa peraturan-peraturan yang ada didalamnya haruslah diatur lebih lanjut
dan diselenggarakan dengan sebaik-baiknya. Keberadaan sumber hukum yang
mengatur tentang tanggung jawab sosial perusahaan dalam Undang-Undang Dasar
1945 ini membuktikan bahwa jauh sebelum berkembangnya perusahaan-perusahaan
di Indonesia, hukum di Indonesia sudah mewajibkan suatu perusahaan untuk
melindungi lingkungan dan mensejahterakan masyarakat sekitar perusahaan. Artinya
dalam menjalankan kegiatan usahanya suatu perusahaan tidak diperbolehkan
mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam suatu daerah hanya untuk kepentingan
pribadinya, tetapi kehadiran suatu perusahaan di Indonesia juga harus dapat
memberikan manfaat terhadap masyarakat daerah tersebut serta berwawasan
lingkungan. Dalam sejarah perjalanan panjang bangsa Indonesia dengan negaranegara penjajah, kehadiran perusahaan-perusahaan asing yang terus mengeksploitasi
dan memanfaatkan sumber daya alam hanya menyisakan kemiskinan dan
kesengsaraan bagi rakyat Indonesia. Oleh karena itu pengaturan tentang tanggung
Universitas Sumatera Utara
53
jawab sosial perusahaan adalah hal yang sangat penting, demi menjaga kelangsungan
dan masa depan seluruh masyarakat Indonesia.
2.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Pengaturan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan dalam UU No.40 Tahun
2007 terdapat dalam Bab V atau Pasal 74 yang terdiri dari 4 ayat, dimana dinyatakan:
1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
lingkungan.
Yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang
berkaitan dengan sumber daya alam” adalah perseroan yang tidak mengelola
dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya
berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam termasuk pelestarian
fungsi kingkungan hidup.
2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kewajiban Perseroan yang di anggarkan dan diperhitungkan
sebagai
biaya
Perseroan
yang
pelaksanaannya
dilakukan
dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Yang dimaksud dengan “kepatutan dan kewajaran” adalah kebijakan
perseroan, yang disesuaikan dengan kemampuan keuangan perseroan, dan
potensi resiko yang mengakibatkan tanggung jawab sosial dan lingkungan
yang harus ditanggung oleh perseroan sesuai dengan kegiatan usahanya yang
Universitas Sumatera Utara
54
tidak mengurangi kewajiban sebagaimana yang ditetapkan dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan usaha perseroan.
3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Yang dimaksud dengan “dikenai sanksi dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan” adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang terkait.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
diatur dengan peraturan pemerintah.68
Menurut Undang-Undang ini tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah
komitmen
perseroan
untuk
berperan
serta
dalam
pembangunan
ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kwalitas kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat
pada umumnya.69 Tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan materi yang
baru diatur dalam ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas ini, latar belakang
dimaksudkannya ketentuan ini adalah sebagai bentuk pertanggung jawaban sosial
perseroan terhadap lingkungan dan keadaan masyarakat sekitar tempat usaha
perseroan. Ketentuan ini bertujuan untuk menciptakan hubungan perseroan yang
serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat
setempat.
68
69
Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Universitas Sumatera Utara
55
3.
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN
Pada pasal 2 ayat (1) huruf e dinyatakan bahwa BUMN turut aktif
memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah,
koperasi dan masyarakat. Kemudian dalam Pasal 88 Ayat (1) dan (2) UndangUndang nomor 19 Tahun 2003 menyatakan bahwa : BUMN dapat menyisihkan
sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta
pembinaan masyarakat sekitar BUMN, ketentuan lebih lanjut diatur dengan
keputusan menteri. Dengan demikian BUMN bukan saja mendukung keberadaan
usaha kecil dan koperasi tetapi juga harus mendukung program sosial lainnya. 70
Amanah Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang BUMN selanjutnya
diatur dengan peraturan menteri PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan dan
Bina Lingkungan, dan telah mengalami perubahan ke empat yaitu dengan lahirnya
PER-08/MBU/2013 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. Dalam
peraturan menteri BUMN biaya penyelenggaraan CSR ditetapkan sebesar 2% dari
keuntungan setelah pajak setiap tahunnya, hal ini berbeda dengan peraturan
pemerintah nomor 47 tahun 2012 bahwa penyelenggaraan CSR dihitung sebagai
biaya produksi. Artinya dalam peraturam menteri BUMN CSR diselenggarakan pada
akhir tahun setelah mengetahui besarnya keuntungan setelah pajak, sedangkan dalam
PP nomor 47 tahun 2012 CSR diselenggarakan pada awal tahun bersamaan dengan
penyelenggaraan kegiatan produksi.
70
Pasal 88 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN
Universitas Sumatera Utara
56
4.
Undang-Undang No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal ini,
dinyatakan bahwa setiap penenam modal diwajibkan untuk melaksanakan tanggung
jawab sosial perusahaan.71 Dalam kamus besar bahasa indonesia kata “ wajib ”
diartikan sebagai harus dilakukan tidak boleh tidak dilaksanakan, dan berkawjiban
artinya adalah memiliki kewajiban yang bertanggung jawab. Oleh karena itu penanan
modal mempunyai kewajiban atau bertanggung jawab untuk menjalankan tanggung
jawab sosial yang dikelolanya. Dari bunyi pasal 15 huruf b Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tersebut dapat dikatakan bahwa ruang
lingkup sabjek dari tanggung jawab sosial perusahaan yaitu setiap penanam modal
yang berada diwilayah Indonesia. Didalam ketentuan pasal 1 angka (4)
UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal disebutkan bahwa
“Penanam Modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman
modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing”.
Dari bunyi pasal 1 angka (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal tersebut diatas dapat dikatakan bahwa ruang lingkup subjek
tanggung jawab sosial perusahaan dapat berupa perseorangan atau badan usaha.
Perseorangan diartikan sebagai perusahaan perseorangan, yaitu perusahaan swasta
yang didirikan dan dimiliki oleh pengusaha perseorangan.72
71
Pasal 15 huruf b Undang-Undang No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Arifin Mukhtar sudrajat, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan Dalam
Aplikasinya, (Surabaya: Penerbit Mitra Ilmu, 2011) hal.40
72
Universitas Sumatera Utara
57
5.
Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara
Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca
tambang.73
Yang dimaksud dengan Pertambangan Mineral adalah pertambangan
kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas
bumi, serta air tanah. Sedangkan yang dimaksud dengan Pertambangan Batu Bara
adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk
bitumen padat, gambut dan batuan aspal.74 Dalam Pasal 95 huruf (d) dinyatakan
bahwa Pemegang IUP dan IUPK wajib, melaksanakan pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat setempat. Kemudian dalam Pasal 108 menyatakan :
1. Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat.
2. Penyusunan program dan rencana sebagimana dimaksud pada ayat (1)
dikonsultasikan kepada pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
Pengembangan
masyarakat
(community
development)
adalah
upaya
mengembangkan sebuah kondisi masyarakat secara berkelanjutan dan aktif
berlandaskan
prinsip-prinsip
keadilan
sosial
dan
saling
menghargai.
Inti
pengembangan masyarakat adalah mendidik dan membuat anggota masyarakat
mampu mengerjakan sesuatu dengan memberikan kekuatan atau sarana yang
73
74
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara
Pasal 1 ayat (4) & (5) Undang-Undang No.4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara
Universitas Sumatera Utara
58
diperlukan dalam memberdayakan suatu masyarakat. Pengembangan masyarakat
dalam konteks ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan
masyarakat lapis bawah dalam mengidentifikasi kebutuhan, mendapatkan sumber
daya dalam memenuhi kebutuhan, dan memberdayakan mereka secara bersama-sama.
Pengembangan masyarakat sering kali di implementasikan dalam beberapa bentuk
kegiatan. Pertama, program-program pembangunan yang memungkinkan anggota
masyarakat memperoleh daya dukung dan kekuatan dalam memenuhi kebutuhannya.
Kedua, kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan warga
kurang mampu dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggung jawab.75
Jika dikaitkan antara pengembangan masyarakat (Comdev) dalam UndangUndang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara dengan CSR yang diatur
dalam Pasal 47 Undang-Undang Perseroan Terbatas maka terdapat perbedaan yang
sangat signifikan. Bila disimpulkan community development atau pengembangan
masyarakat adalah program aktivitas kegiatan perusahaan terhadap stakeholder
eksternal yang berada diluar korporat. Sedangkan CSR adalah aktivitas korporat
dalam hal tanggung jawab sosialnya terhadap stakeholder internal dan stakeholder
eksternal. Sehingga dalam hubungannya ini dapat dikatakan bahwa pengembangan
masyarakat (community development) adalah bagian dari CSR.
C. CSR Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 Tentang
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
Kalangan pebisnis adalah mereka yang selama ini dianggap memiliki peran
besar dalam mempertemukan keinginan pemerintah (goverment) dan masyarakat
75
Harianto Pratomo, Defenisi dan Ruang Lingkup Tanggung Jawab Sosial Perusahaan,
(Bandung: Penerbit Ereesco, 2009) hal.72
Universitas Sumatera Utara
59
(publik). Jika diibaratkan sebuah piramida maka posisi pemerintah adalah menempati
posisi diatas dan masyarakat dibawah, dengan begitu pebisnis dengan perusahaan
yang dimilikinya berada pada posisi di tengah. Artinya pebisnis memiliki fungsi
dalam mengubah dan membangun tatanan masyarakat dari kehidupan tradisional ke
kehidupan modern, dari pemikiran sederhana ke pemikiran yang lebih kompleks,
terutama merasakan faedah pembangunan tersebut. Termasuk tanggung jawab para
pebisnis mampu menciptakan iklim bisnis yang sehat serta memiliki nilai-nilai etika
yang dibentengi oleh hukum positif.76
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 89)
adalah perintah atau amanah dari Pasal 74 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, tambahan lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4656). Adapun yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.47
tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
antara lain :
1.
Pelaksanaan CSR Oleh Direksi
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas dijelaskan bahwa pelaksanaan tanggung
jawab sosial dan lingkungan perseroan terbatas dilaksanakan oleh direksi berdasarkan
rencana kerja tahunan perseroan setelah mendapat persetujuan dewan komisaris atau
76
Irham Fahmi, Etika Bisnis, Teori, Kasus dan Solusi, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2014) hal. 1
Universitas Sumatera Utara
60
RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) sesuai dengan anggaran dasar perseroan,
kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.77 Direksi adalah organ
perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan
untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan, baik di dalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar.
Pada dasarnya proses pelaksanaan CSR yang kewenangan seutuhnya
diberikan kepada direksi melalui RUPS bararti menutup peran aktif pemangku
kepentingan (stakeholder) dalam segala bentuk kegiatannya. Direksi adalah organ
perseroan yang bertanggung jawab penuh dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang
bertujuan untuk mencapai cita-cita perusahaan, yaitu memaksimalkan keuntungan
perusahaannya. Keberhasilan seorang direksi adalah ketika dia mampu memberikan
yang terbaik bagi perusahaan dan pemegang saham, sehingga ketika dibenturkan
dengan suatu kewajiban yang sudah pasti akan mengurangi keuntungan atau
keberhasilan perusahaan untuk mencapai keuntungan yang sebesarnya maka akan
menimbulkan pertentengan-pertentangan dalam alur penyelenggaraan tanggung
jawab sosialnya. Pertentangan tujuan ini pada akhirnya akan mempengaruhi nilainilai manfaat yang seharusnya dirasakan oleh masyarakat (stakeholder). Yang
menjadi acuan keberhasilan penyelenggaraan CSR adalah tepenuhinya hak dan
kewajiban pemangku kepentingan, yaitu perusahaan, pemerintah dan masyarakat.
77
Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.47 tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan Perseroan Terbatas
Universitas Sumatera Utara
61
Sehingga dalam bentuk penyelenggaraannya dibutuhkan keterlibatan semua pihak
dalam bentuk kemitraan untuk memaksimalkan kemanfaatan dari program CSR yang
dijalankan oleh perusahaan. Dalam penyelenggaraan CSR pola kemitraan antara
perusahaan dengan pemerintah maupun komunitas/masyarakat dapat mengarah pada
tiga pola kemitraan sebagai berikut :
1.
Pola kemitraan kontra produktif
Pola ini akan terjadi jika perusahaan masih berpijak pada pola konvensional
yang hanya mengutamakan kepentingan shareholders yaitu mengejar profit sebesar –
besarnya. Fokus perhatian perusahaan lebih bertumpu pada bagaimana perusahaan
bisa mendapatkan keuntungan secara maksimal, sementara hubungan dengan
pemerintah dan komunitas atau masyarakat hanya sekedar pemanis belaka.
Perusahaan berjalan dengan targetnya sendiri, pemerintah juga tidak peduli,
sedangkan masyarakat tidak mempunyai akses apapun kepada perusahaan. Pola
kemitraan ini dapat saja terjadi namun lebih bersifat semu dan bahkan menonjolkan
kesan negatif. Bahkan juga bisa memicu terjadinya fenomena buruk kapan saja,
misalnya pemogokan oleh buruh, unjuk rasa dan terhentinya aktifitas atau tutupnya
perusahaan.
2.
Pola kemitraan semi produktif
Dalam pola ini pemerintah dan komunitas atau masyarakat dianggap sebagai
obyek dan masalah di luar perusahaan. Perusahaan tidak tahu program-program
pemerintah, pemerintah juga tidak memberikan iklim yang kondusif kepada dunia
usaha dan masyarakat bersifat pasif. Pola kemitraan ini masih mengacu pada
Universitas Sumatera Utara
62
kepentingan jangka pendek dan tidak menimbulkan sense of belonging di pihak
masyarakat dan low benefit di pihak pemerintah. Kerjasama ini lebih mengedepankan
aspek karitatif atau public relation dimana pemerintah dan masyarakat masih lebih
dianggap sebagai obyek. Dengan kata lain, kemitraan masih belum strategis dan
masih mengedepankan kepentingan