Hikayat Sidi Mara : bajak laut dari pantai barat Sumatra - Repositori Institusi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

  Bacaan untuk Anak Tingkat SD Kelas 4, 5, dan 6

Seri Tokoh Indonesia Hikayat Sidi Mara Bajak Laut dari Pantai Barat Sumatra Pinto Anugrah

  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa MILIK NEGARA TIDAK DIPERDAGANGKAN Penulis : Pinto Anugrah Penyunting : Puji Santosa Ilustrator : Mutiah Isra Khadifa Penata Letak : Pinto Anugrah Diterbitkan pada tahun 2018 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Jalan Daksinapati Barat IV Rawamangun Jakarta Timur

  Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

  Isi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan penulisan artikel atau karangan ilmiah.

  Katalog Dalam Terbitan (KDT) PB 398.209 598 1

  Anugrah, Pinto ANU Hikayat Sidi Mara Bajak Laut dari Barat Sumatra/Pinto Anugrah; h Penyunting: Puji Santosa; Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2017 vi; 56 hlm.; 21 cm.

  ISBN: 978-602-437-246-0 CERITA RAKYAT-SUMATRA

SAMBUTAN

  Sikap hidup pragmatis pada sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa

ini mengakibatkan terkikisnya nilai-nilai luhur budaya bangsa. Demikian

halnya dengan budaya kekerasan dan anarkisme sosial turut memperparah

kondisi sosial budaya bangsa Indonesia. Nilai kearifan lokal yang santun, ramah,

saling menghormati, arif, bijaksana, dan religius seakan terkikis dan tereduksi

gaya hidup instan dan modern. Masyarakat sangat mudah tersulut emosinya,

pemarah, brutal, dan kasar tanpa mampu mengendalikan diri. Fenomena itu

dapat menjadi representasi melemahnya karakter bangsa yang terkenal ramah,

santun, toleran, serta berbudi pekerti luhur dan mulia.

  Sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat, situasi yang demikian

itu jelas tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam

melahirkan generasi masa depan bangsa yang cerdas cendekia, bijak bestari,

terampil, berbudi pekerti luhur, berderajat mulia, berperadaban tinggi, dan

senantiasa berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, dibutuhkan

paradigma pendidikan karakter bangsa yang tidak sekadar memburu

kepentingan kognitif (pikir, nalar, dan logika), tetapi juga memperhatikan dan

mengintegrasi persoalan moral dan keluhuran budi pekerti. Hal itu sejalan

dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional, yaitu fungsi pendidikan adalah mengembangkan

kemampuan dan membangun watak serta peradaban bangsa yang bermartabat

dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mengembangkan

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada

Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,

dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

  Penguatan pendidikan karakter bangsa dapat diwujudkan melalui

pengoptimalan peran Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang memumpunkan

ketersediaan bahan bacaan berkualitas bagi masyarakat Indonesia. Bahan

bacaan berkualitas itu dapat digali dari lanskap dan perubahan sosial masyarakat

perdesaan dan perkotaan, kekayaan bahasa daerah, pelajaran penting dari

tokoh-tokoh Indonesia, kuliner Indonesia, dan arsitektur tradisional Indonesia.

Bahan bacaan yang digali dari sumber-sumber tersebut mengandung nilai-

nilai karakter bangsa, seperti nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras,

kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah

air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli

lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Nilai-nilai karakter bangsa itu

berkaitan erat dengan hajat hidup dan kehidupan manusia Indonesia yang

  

tidak hanya mengejar kepentingan diri sendiri, tetapi juga berkaitan dengan

keseimbangan alam semesta, kesejahteraan sosial masyarakat, dan ketakwaan

kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apabila jalinan ketiga hal itu terwujud secara

harmonis, terlahirlah bangsa Indonesia yang beradab dan bermartabat mulia.

  Salah satu rangkaian dalam pembuatan buku ini adalah proses penilaian

yang dilakukan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuaan. Buku nonteks pelajaran

ini telah melalui tahapan tersebut dan ditetapkan berdasarkan surat keterangan

dengan nomor 13986/H3.3/PB/2018 yang dikeluarkan pada tanggal 23 Oktober

2018 mengenai Hasil Pemeriksaan Buku Terbitan Badan Pengembangan dan

Pembinaan Bahasa.

  Akhirnya, kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terima

kasih yang setulus-tulusnya kepada Kepala Pusat Pembinaan, Kepala Bidang

Pembelajaran, Kepala Subbidang Modul dan Bahan Ajar beserta staf, penulis

buku, juri sayembara penulisan bahan bacaan Gerakan Literasi Nasional 2018,

ilustrator, penyunting, dan penyelaras akhir atas segala upaya dan kerja keras

yang dilakukan sampai dengan terwujudnya buku ini. Semoga buku ini dapat

bermanfaat bagi khalayak untuk menumbuhkan budaya literasi melalui program

Gerakan Literasi Nasional dalam menghadapi era globalisasi, pasar bebas, dan

keberagaman hidup manusia.

  Jakarta, November 2018 Salam kami, ttd Dadang Sunendar Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

SEKAPUR SIRIH

  Hikayat Sidi Mara berangkat dari kisah seorang pelaut Indonesia di pantai barat Sumatra yang berani melawan penjajah Belanda pada abad ke-19.

  Bagi penjajah Belanda, Sidi Mara adalah seorang bajak laut yang paling dicari. Sementara itu, bagi rakyat pantai barat Sumatra, Sidi Mara adalah seorang pahlawan.

  Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang berarti merupakan sebuah negeri maritim. Namun, sangat sedikit kisah tokoh-tokoh maritim yang diperkenalkan dan dijadikan bahan bacaan.

  Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Jakarta, karena telah memberi kesempatan dan kepercayaan pada penulis untuk turut serta dalam Gerakan Literasi Nasional 2017 ini.

  Padang, Oktober 2018 Pinto Anugrah

DAFTAR ISI

  Sambutan .......................................................................iii Sekapur Sirih ..................................................................v Daftar Isi .......................................................................vi Hikayat Sidi Mara Bajak Laut dari Pantai Barat Sumatra ..............................1 1.

  Kampung Katiagan ....................................................9 2. Menjadi Bajak Laut....................................................13 3. Merompak Penjajah Belanda ...................................... 19 4. Kemurkaan Penjajah Belanda ..................................... 27 5. Menyusun Siasat .......................................................30 6. Menyusup ke Muaro Padang ...................................... 43 7. Peti-peti Harta Rampasan ......................................... 49

  Biodata Penulis ...............................................................54 Biodata Penyunting ........................................................55 Biodata Ilustrator...........................................................56

Hikayat Sidi Mara Bajak Laut dari Pantai Barat Sumatra

  Pagi begitu cerah. Matahari bersinar dengan teriknya. Langit berwarna biru. Awan tiada berarak. Angin pun bertiup dengan tenang. Laut yang terhampar luas tampak begitu damai.

  Hanya gulungan ombak yang terdengar gaduh. Berkejaran di lepas pantai.

  Matahari tampak memantulkan bayangannya di permukaan laut. Bayangannya meliuk-liuk, mengikuti gelombang permukaan laut.

  Burung-burung camar terbang berputar-putar. Mereka berkelompok-kelompok. Ada kelompok yang terbang berputar-putar di bibir pantai. Ada kelompok yang terbang berputar-putar menjauhi pantai. Ada kelompok yang tampak terbang berputar-putar di tengah laut.

  Pada laut pagi itu. Tampak di kejauhan sebuah kapal layar. Kapal layar itu tampak kecil sekali. Kapal itu terombang-ambing di permukaan laut. Timbul-tenggelam di antara gelombang laut. Kapal layar itu mendekati pantai. Tiang kapal layar itu mulai kelihatan. Tampak sekelompok burung camar terbang berputar-putar di ujung tiang kapal layar itu.

  Kapal layar itu semakin dekat dengan pantai. Layarnya yang terkembang dihembus angin sudah kelihatan. Layarnya menggelepar-gelepar. Seirama dengan kapalnya yang bergoyang-goyang di tengah lautan.

  Sebentar lagi kapal itu akan berlabuh. Orang-orang kampung yang menanti sudah berkerumun di pinggir pantai. Wajah mereka ada yang kelihatan bahagia. Juga ada wajah yang harap-harap cemas.

  Jangkar kapal sudah dilempar. Laju kapal sudah mulai berhenti. Seorang pemuda gagah perkasa tampak berdiri di ujung geladak kapal. Pemuda itu lalu mengepalkan tangannya ke udara.

  Orang-orang kampung yang menanti di bibir pantai serempak bersorak.

  “Sidi Mara! Hidup Sidi Mara! Hidup Sidi Mara!” Ya, pemuda yang berdiri di ujung geladak kapal itu,

  Sidi Mara, kapten kapal yang baru saja berlabuh di pantai Katiagan.

  Kapten kapal bajak laut yang mereka anggap sebagai pahlawan, karena berani melawan penjajah Belanda.

  Begini kisahnya.

  Kampung ini terletak di sebuah teluk berbatasan antara daerah Tiku-Pariaman dengan daerah Pasaman, Sumatra Barat.

  Pada zaman dahulu, Kampung Katiagan adalah sebuah pelabuhan yang ramai. Kapal-kapal silih berganti berlabuh di dermaganya. Kapal-kapal itu datang untuk berdagang. Mereka membawa barang dagangan dari Arab, India, atau Cina. Lalu, mereka membeli hasil bumi dari negeri-negeri di Pulau Sumatra, seperti lada, kapas, kopi, dan kedelai.

  Kemudian datanglah penjajah Belanda ingin menguasai seluruh Indonesia. Rakyat Indonesia yang melawan penjajah Belanda akan diperangi dan diserang. Berbagai daerah di Indonesia bangkit melawan penjajah. Kampung Katiagan termasuk salah satu yang menentang penjajahan Belanda. Kampung Katiagan memilih berpihak pada pasukan Padri yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol.

  Pada suatu masa, datanglah pasukan Belanda menyerang Kampung Katiagan. Pasukan Belanda menyerang dari laut. Belanda membawa begitu banyak kapalnya untuk menyerang. Kampung-kampung lainnya sepanjang pantai barat Sumatra yang tidak mau tunduk juga ikut diserang oleh Belanda.

  Penduduk kampung melakukan perlawanan. Namun, tentu saja perlawanan tidak berimbang. Pasukan dan persenjataan penjajah Belanda lebih lengkap. Kapal-kapal mereka penuh dengan meriam yang besar-besar. Sedangkan penduduk kampung Katiagan hanya mengandalkan senjata seadanya.

  Kapal-kapal penjajah Belanda sudah berbaris di lepas pantai kampung Katiagan. Mulut meriam yang besar dari kapal-kapal penjajah Belanda sudah mengarah ke kampung Katiagan. Kapten kapal Belanda memberi peringatan agar seluruh penduduk kampung Katiagan tunduk kepada Belanda. Kalau tidak tunduk, maka kampung itu akan dibumihanguskan.

  Penduduk kampung dengan tegas menyatakan tidak akan tunduk kepada penjajahan Belanda. Penjajah Belanda menjadi semakin marah. Meriam dari kapal-kapal penjajah Belanda mulai menembaki kampung Katiagan.

  Dermaga dan rumah-rumah penduduk seketika luluh lantak. Penduduk Kampung Katiagan segera melarikan diri ke hutan. Setelah Kampung Katiagan kosong, penjajah Belanda membakar seluruh rumah-rumah di kampung itu. Gudang- gudang dagang yang berada di dekat dermaga isinya dirampas. Lalu, gudang-gudang itu ikut dibakar penjajah Belanda.

  Kampung Katiagan dengan sekejap mata rata dengan tanah. Banyak korban jiwa di pihak penduduk Kampung Katiagan. Di pihak penjajah Belanda tidak satu pun terdapat korban jiwa. Begitu kejamnya penjajah Belanda menghancurkan kampung Katiagan.

  Setelah penjajah Belanda yakin tidak ada yang tersisa dari kampung itu, akhirnya, mereka pergi meninggalkan Kampung Katiagan. Kapal-kapal penjajah Belanda mulai menjauhi pantai. Kemudian kapal-kapal itu menghilang di tengah lautan.

  Penduduk Kampung Katiagan yang tersisa kembali memasuki kampung mereka. Puing-puing berserakan di mana- mana. Lebih dari setengah penduduk kampung tewas akibat serangan penjajah Belanda tersebut. Jasad mereka ada di mana-mana, belum dikuburkan.

  Penduduk yang tersisa kemudian memeriksa puing-puing yang berserakan. Mereka mencari anggota keluarga mereka yang tewas. Begitu juga dengan Sidi Mara, anak kepala Kampung Katiagan. Pemuda itu dengan perasaan cemas mencari kedua orangtuanya.

  Ia menguak satu persatu puing-puing rumahnya, tetapi ia tidak menemukan jasad kedua orang tuanya. Lalu, ia beralih mencari ke gudang pelabuhan. Setelah susah payah mencari, barulah kedua jasad orang tuanya ia temukan.

  Seluruh korban jiwa penduduk Kampung Katiagan dikumpulkan. Lalu, seluruh korban jiwa itu dikuburkan baik- baik, termasuk Kepala Kampung Katiagan, yang juga merupakan orang tua Sidi Mara.

  Sidi Mara memberi aba-aba pada kawan-kawannya untuk terus menarik tali tambang yang diikatkan pada bangkai kapal yang terbenam di dasar laut. “Hiya! Hiya! Hiya!” terdengar aba-aba Sidi Mara.

  Setengah badan bangkai kapal itu masih tenggelam. Haluan bangkai kapal itu saja yang sudah mencuat ke permukaan.

  “Yang serentak! Yang kompak! Tarik terus! Terus!” teriak Sidi Mara.

  Bangkai kapal yang mereka tarik itu dahulunya kapal milik orang tua Sidi Mara. Kapal itu ditenggelamkan oleh penjajah Belanda saat menyerang Kampung Katiagan.

  Kapal itu dahulunya adalah kapal dagang. Mereka mengangkut barang-barang dagangan dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya.

  Sidi Mara bermaksud memperbaiki kapal itu kembali. Sidi Mara akan mengubah kapal itu menjadi kapal layar yang cepat dan lincah. Kapal itu hendak digunakannya untuk merompak kapal-kapal penjajah Belanda. Sekaligus juga untuk menyerang dan merampas gudang-gudang penjajah Belanda di pelabuhan- pelabuhan.

  Ya, sejak kampungnya diserang dan dihancurkan penjajah Belanda, Sidi Mara dan beberapa kawannya yang masih tersisa memutuskan untuk menjadi bajak laut. Namun, mereka bukanlah bajak laut yang merompak sembarang kapal. Mereka bukan bajak laut sembarang bajak laut.

  Mereka hanya akan merompak kapal-kapal dagang Belanda yang melintas di sepanjang perairan pantai barat Sumatra.

  Setelah mereka bahu-membahu menarik bangkai kapal itu keluar dari dasar laut, akhirnya, bangkai kapal itu berhasil dibawa ke daratan. Sidi Mara dan kawan-kawannya mulai memperbaiki kapal itu dengan telaten dan teliti. Dinding kapal yang rusak akibat tembakan meriam Belanda itu diganti dengan yang baru. Tiang-tiang kapal yang patah juga diganti dengan tiang yang baru.

  “Kapal ini akan menjadi kapal yang kuat, lincah, dan cepat!” ujar Sidi Mara kepada kawan-kawannya saat sedang bekerja.

  “Berarti kita akan mudah menghindari tembakan meriam- meriam penjajah Belanda itu?” kawan Sidi Mara menanggapi.

  “Ya! Kita lahir dan besar di tanah pesisir pantai barat Sumatra ini. Kita lebih mengenal gelombang laut dan angin buritan di pantai barat ini daripada penjajah itu. Jadi, jangan takut! Kita harus berjuang bersama-sama melawan penjajah Belanda! Mengusir penjajah Belanda yang kejam itu dari tanah dan laut kita!” ucap Sidi Mara bersemangat.

  “Hoyak!” kawan-kawan Sidi Mara bersorak serentak.

  Kini kapal itu telah selesai diperbaiki. Sebulan lamanya mereka bekerja memperbaiki kapal tersebut. Kapal itu telah kembali terapung dengan gagahnya di lepas pantai kampung Katiagan.

  Sidi Mara berdiri di bibir pantai. Menghadap ke laut lepas. Mata Sidi Mara berbinar-binar. Memandang kapalnya yang diayunkan gelombang laut dengan riangnya.

  “Ayo, kita mulai petualangan kita! Kita mulai perjuangan kita!” teriak Sidi Mara mengacungkan tangan kanannya ke langit. “Ayo! Hoyak!” teriak kawan-kawan Sidi Mara serentak menanggapi.

  Selanjutnya mereka berlari menuju ke laut dan menaiki kapal Sidi Mara. Mereka bersiap berlayar. Mereka telah siap berpetualang. Mereka akan berjuang mempertahankan hidup. Orang-orang baru saja menyalakan suluh penerang di rumah masing-masing. Begitu juga di pelabuhan Tiku, suluh penerang baru saja dinyalakan di sepanjang pelabuhan.

  Pada lepas pantai pelabuhan Tiku, jauh di ujung samudra sana, tampak bayangan kapal hendak menuju pelabuhan. Kapal yang mendekat itu kapal dagang milik penjajah Belanda.

  Mercusuar langsung mengedip-ngedipkan lampunya menuntun kapal itu merapat ke pelabuhan. Kapal itu pun mengarahkan lajunya ke arah tuntunan sorotan lampu mercusuar. Namun, tanpa disadari, sebuah kapal kecil mengikuti dari belakang.

  Kapal kecil itu tidak menggunakan penerang sama sekali. Kapal kecil itu kini sudah menempel di buritan kapal dagang penjajah Belanda yang besar.

  Kapal kecil itu milik Sidi Mara. Kini Sidi Mara dan kawan- kawannya yang berada di atas kapal itu hendak menyusup ke kapal dagang penjajah Belanda.

  “Waktu yang tepat untuk naik ke kapal penjajah itu! Tampaknya, semua awak kapal itu sedang tersita perhatiannya pada pelabuhan,” bisik Sidi Mara kepada kawan-kawannya.

  Mereka membagi tugas, setengah dari mereka akan menyusup ke dalam kapal dagang penjajah Belanda, sedangkan setengahnya lagi akan menunggu di ujung kapal mereka. Mereka bertugas menyambut hasil rampasan yang nantinya akan dilempar kawan-kawannya. Juru kemudi, juru layar, dan tukang dayung kapal tetap siap siaga pada tempatnya agar dapat dengan cepat melarikan diri.

  Sidi Mara dan kawan-kawannya mulai memanjat lambung kapal dagang penjajah Belanda itu dengan tali. Mereka kemudian berhasil menyusup ke dalam kapal. Sesudah beberapa lama, mereka muncul kembali di ujung buritan kapal. Lima peti rampasan sudah ada bersama mereka dan siap untuk dilemparkan ke kapal mereka.

  Mereka berhasil melemparkan hingga peti keempat. Kini tinggal peti kelima untuk dilemparkan.

  Baru saja mereka mengayunkan peti kelima itu, terdengar letusan senapan serdadu penjajah Belanda. Itu menyebabkan lemparan peti kelima itu meleset. Peti itu terlempar ke laut, bukan ke kapal mereka.

  Seketika bunyi gaduh langsung terdengar. Serdadu penjajah Belanda langsung mengejar mereka ke buritan. Sidi Mara dan kawan-kawan langsung melompat ke laut. Mereka menyelamatkan diri.

  Namun, serdadu penjajah Belanda tidak menyerah begitu saja. Serdadu penjajah Belanda terus menembakkan senapannya ke permukaan laut. Mencari-cari tubuh Sidi Mara dan kawan-kawannya yang menyelam ke laut.

  Kapal Sidi Mara telah bergerak menjauh. Kapal itu juga tidak lepas dari sasaran tembak. Kapal dagang penjajah Belanda itu tengah menyiapkan meriamnya dan mengarahkan ke kapal Sidi Mara.

  Sidi Mara dan kawan-kawan akhirnya berhasil juga berenang ke kapal mereka. Mereka kini dapat tersenyum lega karena selamat dari kapal dagang penjajah Belanda. Namun, senyum mereka tidak berlangsung lama. Terdengar tembakan meriam mengarah ke mereka. Meriam itu tidak tepat sasaran. Meriam itu menghantam permukaan laut sisi sebelah kiri kapal Sidi Mara.

  Kapal Sidi Mara oleng seketika. Namun, dengan sigap juru mudi kapal dapat mengendalikan keadaan kapal. Begitu lihai juru mudi kapal itu. Ia langsung mengubah arah laju kapal, berlawanan arah dengan arah bidikan meriam Belanda. Sekali lagi, tembakan meriam itu kembali melenceng. Hanya mendarat di permukaan laut di belakang kapal Sidi Mara.

  Kini kapal Sidi Mara sudah melaju dengan kencang. Masuk ke pekat malam di tengah lautan. Sungguh susah untuk mengintai ke mana arah kapal Sidi Mara itu melaju. Apalagi kapal itu sengaja tidak dilengkapi penerang.

  Ternyata, serdadu penjajah Belanda itu tidak berhenti begitu saja. Mereka tidak terima dirompak Sidi Mara dengan begitu mudahnya.

  “Kejar! Kejar! Kejar!” terdengar teriakan serdadu penjajah Belanda yang panik.

  Serdadu penjajah Belanda kemudian mengejar kapal Sidi Mara dengan sekoci kecil. Agar kapal Sidi Mara dapat segera tersusul. Sementara itu, kapal Sidi Mara tampak sudah semakin hilang dari pandangan.

  Malam benar-benar pekat. Bahkan bintang pun tidak kelihatan menggantung di langit. Gumpalan awan juga begitu tebal. Pertanda sebentar lagi hujan akan turun. Keadaan malam yang seperti itu sangat menguntungkan bagi kapal Sidi Mara. Mereka dengan mudah dapat menghilang ke dalam kelam malam.

  Gelombang laut mulai meninggi. Kapal Sidi Mara dengan lihai bersembunyi di balik gelombang yang tinggi itu. Sekoci serdadu penjajah Belanda menjadi lamban pergerakannya karena selalu terbawa gelombang yang menghempas kembali ke pantai.

  Akhirnya, Sidi Mara dan kawan-kawannya dapat lolos dari kejaran serdadu penjajah Belanda. Kini kapal mereka sudah sangat jauh dari pantai pelabuhan Tiku.

  4 Kemurkaan Penjajah Belanda

  Sejak malam kejadian itu, Sidi Mara menjadi bajak laut paling dicari penjajah Belanda di sepanjang pantai barat Sumatra. Kemudian, penjajah Belanda mengeluarkan pengumuman.

  Pengumuman itu berisi: bagi siapa saja yang berhasil menangkap Sidi Mara, maka orang tersebut akan diberi hadiah yang sangat besar. Hadiah berupa sepeti emas sudah dijanjikan penjajah Belanda.

  Begitu besar hadiah yang dijanjikan penjajah Belanda itu membuat banyak orang-orang yang tergiur akan hadiah tersebut. Oleh karena itu, banyak orang pribumi yang berkhianat, berusaha menangkap Sidi Mara.

  Namun, untuk melacak keberadaan kapal Sidi Mara begitu susah. Terkadang ada nelayan yang melapor bahwa mereka baru saja melihat kapal Sidi Mara berlayar ke selatan. Para pengkhianat yang memihak penjajah Belanda berbondong- bondong mengejar kapal Sidi Mara. Anehnya, kapal Sidi Mara itu pun tidak pernah diketemukan. Keberadaan Sidi Mara dan kapalnya bagaikan hantu bagi mereka.

  Penjajah Belanda semakin tidak sabar ingin melenyapkan Sidi Mara dan para pengikutnya. Hadiah bagi siapa saja yang berhasil melenyapkan Sidi Mara pun ditingkatkan jumlahnya.

  Kini hadiahnya menjadi sepeti emas dan akan diangkat menjadi pejabat kepala gudang pelabuhan.

  Mendengar maklumat hadiah yang begitu besar itu semakin banyak orang pribumi yang berkhianat memihak penjajah Belanda. Namun, hal itu tidak berlaku bagi penduduk Kampung Katiagan. Mereka tidak tergiur sama sekali dengan hadiah yang dijanjikan penjajah Belanda.

  “Itu hanya kelicikan penjajah Belanda saja. Pasti hadiah itu tidak akan pernah diberikan. Kita hanya ditipu. Penjajah Belanda itu begitu licik untuk mengadu domba sesama kita. Kita harus bersatu melindungi Sidi Mara! Kita harus bersatu melawan penjajah Belanda!” begitu pidato Kepala Kampung Katiagan yang baru dengan lantang di tengah penduduk Kampung Katiagan.

  Penduduk Kampung Katiagan pun bersorak. Mereka menyatakan kesetiaannya bersatu melawan penjajah Belanda.

  “Penjajah Belanda harus diusir dari tanah kita! Penjajah Belanda harus diusir dari laut kita! Penjajah Belanda harus diusir dari tanah air kita! Penjajah Belanda harus diusir dari negeri kita!” Begitu sorak penduduk kampung berapi-api, semangat untuk berjuang mengusir penjajah Belanda.

  Sudah banyak kapal dagang milik penjajah Belanda yang berhasil dirompak Sidi Mara. Begitu juga dengan pelabuhan- pelabuhan kecil yang dikuasai penjajah Belanda. Beberapa kali Sidi Mara berhasil merompak pelabuhan-pelabuhan itu hingga Belanda merasa rugi besar atas harta yang dirompak Sidi Mara.

  Penjajah Belanda semakin geram dengan ulah Sidi Mara dan kelompoknya. Kerugian besar telah ditimbulkannya. Bahkan kerugian penjajah Belanda itu sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Oleh karena itulah, betapa besar keinginan penjajah Belanda untuk terus memburu Sidi Mara dan kelompoknya.

  Patroli laut semakin ditingkatkan penjajah Belanda. Kapal-kapal penjajah Belanda semakin sering hilir-mudik di perairan Samudra Hindia. Nelayan-nelayan dan kapal-kapal dagang semakin sering diperiksa serdadu penjajah Belanda. Jika ada yang kedapatan nelayan-nelayan atau kapal-kapal dagang itu berusaha melindungi atau menyembunyikan keberadaan Sidi Mara, maka mereka langsung ditangkap. Kapal beserta muatannya langsung disita, dibakar, dan ditenggelamkan di laut.

  Hal itu membuat Sidi Mara semakin geram terhadap penjajah Belanda. Penjajah Belanda itu sudah semakin lama semakin menyengsarakan rakyat. Oleh karena itu, Sidi Mara dengan kawan-kawannya berencana untuk menyerang dan merompak pusat kedudukan penjajah Belanda di pelabuhan Muaro Padang.

  Pelabuhan Muaro Padang adalah pelabuhan utama penjajah Belanda di pantai barat Sumatra. Uniknya, penjajah Belanda tidak membangun benteng di Pelabuhan Muaro Padang. Walaupun tidak dilindungi benteng, Pelabuhan Muaro Padang sangat sulit untuk diserang dan ditembus oleh Sidi Mara.

  Hal tersebut disebabkan oleh bentuk alam Muaro Padang itu sendiri. Sungai yang bermuara ke laut di daerah Muaro ini adalah Batang Harau. Sisi selatan dari sungai berdiri sebuah bukit yang menjorok ke laut. Bukit itulah yang dinamakan dengan Bukit Monyet atau juga lebih dikenal dengan Gunung Padang.

  Pada seberang bukit sebelah utara, terdapat sebuah hamparan padang. Pada hamparan padang ini penjajah Belanda membangun kedudukannya. Belanda membangun kantor- kantor penjajahannya di sana. Mereka membangun gudang- gudang dagangannya dan sekaligus membangun pelabuhan yang besar di Muaro Padang ini.

  Namun, yang membuat kawasan Muaro Padang ini sulit diserang adalah Bukit Monyet itu sendiri. Bukit ini menjadi benteng alam bagi hamparan tempat kedudukan penjajah Belanda. Bukit itu penuh dengan meriam-meriam besar. Moncong meriam-meriam itu mengarah ke segela arah.

  Meriam-meriam itu selalu siap siaga. Setiap meriam memiliki dua orang serdadu penjaga. Serdadu-serdadu penjaga itu selalu siap siaga siang atau malam. Meriam-meriam itu siap meledak kapan saja jika ada yang mencurigakan.

  Oleh karena itulah, kapal Sidi Mara tidak dapat begitu saja mendekat ke Muaro Padang. Pasti meriam-meriam itu langsung membidik jika kapal Sidi Mara muncul di Laut Muaro Padang.

  Sidi Mara harus punya siasat untuk dapat masuk ke dalam kawasan Muaro Padang. Siasat itulah kini yang sedang dimusyawarahkan Sidi Mara dengan kawan-kawannya.

  Pada sebuah pulau kecil yang terpencil, kini Sidi Mara dan kawan-kawannya berkumpul.

  “Siasat kita ini harus benar-benar berjalan lancar, kalau tidak, kita akan ditangkap penjajah Belanda! Kalau kita salah mengalkulasi, hancur sudah, tewas kita semua!” Sidi Mara menerangkan kepada kawan-kawannya.

  “Masih untung kalau kita hanya ditangkap, kalau langsung ditembak bagaimana?” Seru seorang kawan Sidi Mara yang rambutnya keriting.

  “Makanya siasat kita ini harus dijalankan dengan benar!” balas Sidi Mara.

  “Baiklah! Apa rencanamu, Kapten?” ujar kawannya yang berambut pirang.

  “Begini, dengarkan baik-baik! Agar kita semua selamat, harus kita menyatu dan meningkatkan kewaspadaan.”

  Sidi Mara memajukan badannya sedikit ke depan agar kawan-kawannya yang lain dapat dengan jelas melihatnya. Kawan-kawannya yang lain mengangguk. Bersiap mendengarkan Sidi Mara.

  “Hal pertama yang harus kita lakukan adalah merampas kapal nelayan yang biasa keluar-masuk Muaro Padang!” terang Sidi Mara.

  “Kenapa harus kapal nelayan yang kita rampas, Kapten?” terdengar suara kawannya paling belakang.

  “Agar kita dengan mudah dapat masuk ke Muaro Padang. Bukankah kapal nelayan itu sudah dikenali oleh para serdadu penjaga Muaro Padang. Dengan cara seperti itu tentu kita tidak akan diperiksa dan dicurigai saat memasuki kawasan tersebut. Kita akan menyamar jadi nelayan!” terang Sidi Mara.

  “Baiklah. Ide yang cemerlang. Ayo, kita bergerak!” ujar kawan Sidi Mara yang berambut keriting.

  “Tunggu dulu! Bagaimana dengan kapal kita?” ujar kawan Sidi Mara yang rambutnya diikat kain hitam.

  “Kita sembunyikan di muara pulau ini. Kapal kita harus kita selimuti dengan daun-daun dan akar-akar tumbuhan. Agar penjajah Belanda tidak dapat melacak persembunyian kita!” terang Sidi Mara lagi.

  “Baiklah. Kalau begitu mari kita laksanakan,” kawan Sidi Mara yang berambut pirang langsung berdiri.

  Langkah kawan Sidi Mara ini langsung ditahan oleh Sang Kapten Kapal, Sidi Mara.

  “Tunggu dulu! Kita belum selesai!” tegas Sidi Mara. Si rambut pirang kembali bergabung dengan kawan- kawan yang lain, mendekat ke tempat Sidi Mara.

  “Siasat kita tidak sampai disitu saja. Kita semua dua puluh orang banyaknya. Tidak mungkin kita semua menyamar menjadi nelayan. Kita akan dicurigai,” terang Sidi Mara.

  “Lalu, bagaimana jalan keluarnya, Kapten?” kawan Sidi Mara yang botak antusias bertanya.

  “Sebagian dari kita akan melalui jalur darat. Kita akan menyamar jadi pedagang dengan membawa pedati. Pedati yang muatannya penuh dengan hasil pertanian.” Sidi Mara menerangkan siasat selanjutnya.

  “Lalu siapa yang akan melalui jalur darat dan siapa yang akan menyamar jadi nelayan di antara kita?” tanya si rambut keriting.

  “Biar saya yang akan melalui jalur darat dan menyamar menjadi pedagang. Serdadu penjaga di pelabuhan Muaro Padang pasti sudah mengenal wajah saya karena lukisan wajah saya sudah disebar di mana-mana,” ujar Sidi Mara.

  “Kalau begitu biar saya yang memimpin penyamaran melalui laut,” ujar si rambut keriting dengan bersemangat.

  “Baiklah. Saya percayakan kepadamu, Kawan!” Sidi Mara menepuk bahu kawannya itu.

  Si rambut keriting mengangguk-angguk. Terasa pancaran semangat di wajahnya. Begitu juga dengan kawan-kawannya yang lain. Semangat itu begitu menggebu-gebu di dada mereka.

  Sidi Mara kemudian batuk-batuk kecil. Kawan-kawannya kembali memperhatikannya.

  “Setelah kita berhasil menyusup, baik itu yang dari laut maupun yang dari darat, kita bertemu di Pasar Gadang, pasar di belakang gudang dagang penjajah Belanda. Tepat di tengah-tengah pasar yang sedang sibuk melakukan jual-beli. Mengerti?” Sidi Mara melanjutkan menerangkan siasatnya.

  Kawan-kawannya mengangguk. “Setelah itu kita langsung masuk ke gudang dagang penjajah Belanda. Namun, di sini kita kembali berbagi tugas.

  Sebagian dari kita menguras isi gudang dan sebagian kita yang lain melumpuhkan serdadu penjaga meriam-meriam di Bukit Monyet. Mengerti?” lanjut Sidi Mara.

  Kawan-kawannya kembali mengangguk. “Selanjutnya, perlu kalian semua ingat! Sedapat mungkin jangan membuat kegaduhan. Jangan ada bedil yang meletus! Kita kerjakan dengan serapi mungkin agar kita dapat dengan mudah melarikan diri. Ingat! Ini penting!” Sidi Mara menegaskan ke kawan-kawannya.

  Kawan-kawannya kembali mengangguk-angguk. “Setelah semuanya selesai, kita kembali melarikan diri dengan dua cara, melalui laut dan darat. Agar perhatian penjajah Belanda yang sadar bahwa mereka telah kita rompak pun terpecah. Jelas!” Sidi Mara memandangi wajah kawan- kawannya satu per satu.

  Kawan-kawannya kembali mengangguk dengan tegas. “Baiklah! Kalau begitu, mari kita bergerak sekarang!

  Malam sudah begitu larut. Akan tepat waktunya kita memasuki Muaro Padang pada pagi harinya.” Sidi Mara langsung beranjak dari duduknya.

  Mereka dengan semangat menjalankan siasat yang telah disusun dan direncanakan oleh Sang Kapten Kapal, Sidi Mara.

  Matahari pagi begitu terik bersinar, sehingga pagi yang hangat begitu terasa. Apalagi ditambah dengan suasana Pasar Gadang yang sudah begitu ramai. Orang-orang sudah sibuk berjual beli sejak subuh. Hiruk-pikuk pasar terdengar di sana-sini.

  Begitu juga dengan pelabuhannya. Kapal-kapal sudah silih berganti merapat di pelabuhan. Kapal-kapal nelayan menurunkan hasil tangkapan ikannya selama semalam melaut. Kapal-kapal dagang menurunkan peti-peti dagang yang hendak dijual.

  Di antara hiruk-pikuk itu kini ada yang ganjil. Keramaian Muaro Padang kini telah disusupi Sidi Mara dan kawan-kawannya. Mereka tampaknya tidak menyadari akan kedatangan Sidi Mara dan kawan-kawannya.

  Sidi Mara tampak berpakaian seperti seorang petani. Ujung lengan bajunya dan ujung celananya kecoklatan bekas lumpur. Ia memakai topi bundar yang lebar sehingga seluruh wajahnya terpayungi matahari.

  Sidi Mara kemudian menurunkan muatan pedatinya. Muatan pedati itu berupa jagung-jagung mentah. Sambil menurunkan muatan pedatinya di pinggir pasar, mata Sidi Mara tetap liar memperhatikan sekitarnya. Ia tetap memperhatikan gerak-gerik serdadu penjajah Belanda. Juga tidak lupa memperhatikan keberadaan kawan-kawannya.

  Keberadaan kawan-kawannya kini sudah dapat diketahuinya, ada yang berdiri di dermaga, ada yang sibuk hilir-mudik di dalam pasar, dan lain-lain. Setelah keberadaan kawan-kawannya jelas, mereka mulai melancarkan aksinya dengan sekali aba-aba. Sidi Mara dan kawan-kawannya mulai melakukan tugas masing-masing. Mereka menyusup ke dalam gudang penjajah Belanda yang berada di depan pelabuhan.

  Tanpa menimbulkan bunyi kegaduhan dan keributan, satu per satu peti-peti dagang milik penjajah Belanda berpindah dari gudang ke kapal nelayan yang merapat di pelabuhan. Kesibukan pagi itu membuat orang-orang luput memperhatikan bahwa penjajah Belanda telah dirompak Sidi Mara dan kawan-kawannya.

  Muatan kapal nelayan itu sudah hampir penuh. Berpuluh- puluh peti sudah berpindah ke kapal nelayan itu. Sidi Mara dan kawan-kawannya kini bersiap meninggalkan Muaro Padang. Kapal nelayan yang mereka susupi mulai bergerak meninggalkan pelabuhan.

  Baru saja kapal itu keluar dari mulut muara, sirine dari pos penjaga pelabuhan berdengung keras. Sidi Mara tahu bahwa sirine itu pertanda bahwa aksi mereka telah diketahui oleh penjajah Belanda.

  Kegaduhan terdengar di dermaga. Serdadu-serdadu penjajah Belanda kini hendak mengejar Sidi Mara dan kawan- kawannya.

  “Kejar! Kejar!” “Tangkap! Tangkap mereka!” Terdengar teriakan-teriakan dan perintah-perintah untuk segera menangkap Sidi Mara dan kawan-kawannya.

  Perahu-perahu kecil dikerahkan untuk mengejar. Namun, sepertinya serdadu-serdadu penjajah Belanda kebingungan. Mereka tidak tahu kapal mana yang baru saja merompak mereka.

  Begitu banyak kapal-kapal yang hilir-mudik di lepas pantai Muaro Padang. Umumnya ke semua kapal itu adalah kapal nelayan. Oleh karena kebingungan, serdadu-serdadu penjajah Belanda itu semakin jelas terlihat dengan berpencarnya perahu-perahu serdadu ke lepas pantai sambil menembaki kapal-kapal nekayan yang dilihatnya.

  Mereka berpencar dan mendekati beberapa kapal nelayan. Lalu, mereka memeriksanya. Setelah yakin bukan kapal nelayan itu yang menjadi sasaran, mereka lalu berpindah ke kapal nelayan lainnya.

  Kesempatan seperti itu dipergunakan Sidi Mara dan kawan-kawannya. Mereka semakin menjauh dari lepas pantai Muaro Padang. Namun, tiba-tiba sebuah perahu serdadu penjajah Belanda mendekati kapal nelayan mereka. Sidi Mara memberi aba-aba pada kawan-kawannya agar tetap tenang.

  Kini perahu serdadu itu telah bersisian dengan kapal nelayan Sidi Mara.

  “Kalian mau ke mana?” gertak serdadu penjajah Belanda. “Ke tengah laut, Tuan.” jawab Sidi Mara dengan tenang. “Ada perlu apa ke tengah laut?” tanya serdadu itu lagi dengan tidak ramah.

  “Kami nelayan, Tuan. Jadi, hidup kami di tengah laut. Kalau kami petani maka tentu hidup kami di tengah ladang,” jawab Sidi Mara lagi.

  “Kurang ajar! Kalian mau mempermainkan Belanda,

  

hah!” serdadu penjajah Belanda itu memukulkan tongkatnya

ke dinding kapal nelayan itu.

  “Kami memang suka bermain, Tuan. Siapa saja akan kami ajak bermain, Tuan,” jawab Sidi Mara lagi.

  “Ini pasti mereka. Ayo, panggil serdadu yang lain, kita tangkap mereka!” ujar serdadu itu pada kawannya.

  Kawannya itu bersiap meniupkan peluitnya. Memberi tanda pada serdadu-serdadu lain yang terpencar. Namun, belum sempat peluit itu berbunyi, perahu serdadu itu langsung oleng dan terbalik. Alhasil, dua orang serdadu di atas perahu kecil itu pun terjun ke laut.

  Ternyata sedari tadi, ketika perahu serdadu itu hendak mendekat, sudah ada dua orang kawan Sidi Mara yang menyelam. Dua orang kawan Sidi Mara inilah kemudian yang menenggelamkan perahu serdadu itu.

  “Ayo! Ini kesempatan kita melarikan diri! Percepat laju kapal!” sorak Sidi Mara.

  Selanjutnya, mereka bahu-membahu mengembangkan layar kapal dan mengeluarkan pendayung kapal. Kapal nelayan itu dengan cepat melaju meninggalkan lepas pantai Muaro Padang.

  Sidi Mara dan kawan-kawannya akhirnya lolos. Mereka berhasil membawa berpeti-peti hasil rompakan dari Belanda.

  Hujan deras baru berlalu. Namun, hujan belum benar- benar reda. Masih menyisakan gerimis yang ikut serta bersama angin kencang. Awan hitam masih bergumpalan di langit. Bintang-bintang tidak muncul sama sekali. Malam begitu kelam dan suram.

  Malam itu tidaklah sesuram bagi penduduk kampung Katiagan. Kapal Sidi Mara baru saja berlabuh di lepas pantai Katiagan. Kapal itu menurunkan berpeti-peti harta rampasan.

  Semua peti itu hasil dari rampasan penjajah Belanda.

  Secara bergotong-royong penduduk kampung Katiagan menurunkan peti-peti itu dari atas kapal dan mengangkut ke kampung mereka. Sesampai di tengah kampung peti-peti itu ditumpuk di satu tempat. Lalu, kepala kampung Katiagan yang didampingi Sidi Mara memimpin pembagian peti-peti harta rampasan itu.

  “Kita mengambil harta milik kita kembali yang dirampas secara licik oleh Belanda pada masa lalu. Inilah bentuk perjuangan kita! Inilah bentuk perlawanan kita terhadap penjajah yang licik itu!” pidato kepala kampung Katiagan membuka upacara pembagian peti-peti harta rampasan.

  “Kita tidak akan berhenti sampai di sini! Kita akan terus berjuang!” sambung Sidi Mara.

  “Untuk itu, semua isi peti ini akan kita bagi rata. Semua orang akan mendapat pembagian yang sama. Setelah semua orang dapat pembagian yang sama. Masing-masing kita akan mengeluarkan seikhlasnya untuk para pelaut yang telah bersusah payah bertaruh nyawa dalam merebut harta kita kembali. Sebagai ganti jerih payah mereka. Apakah semunya setuju?” kepala kampung Katiagan meminta persetujuan para penduduk kampung Katiagan.

  “Setuju!” penduduk kampung Katiagan itu serempak menyatakan kesediaan mereka.

  Oleh karena telah mendapat persetujuan dari penduduk kampung Katiagan, maka peti-peti rampasan itu kemudian dibongkar. Berbagai macam isinya. Ada peti yang berisikan keramik-keramik dari Cina, tembikar dari India, permadani dari Persia, dan ada pula peti yang berisikan emas, perak, dan berlian.

  Semua hasil harta rampasan itu dibagi rata pada semua penduduk kampung Katiagan. Tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin untuk mendapatkan bagian sama. Kepala kampung, nelayan, atau pedagang semuanya sama pembagiannya. Semua penduduk kampung Katiagan bergembira.

  Begitulah Sidi Mara berjuang melawan Belanda. Bagi Belanda, Sidi Mara seorang bajak laut. Namun, bagi rakyat yang tertindas, Sidi Mara seorang pahlawan.

  

Tamat

Biodata Penulis

  Nama : Pinto Anugrah Alamat rumah : Jalan Tunggang, Gang Kandangpadati,

  No. 94A, RT 03/RW 02, Pasa Ambacang, Kuranji, Kota Padang

  Nomor Telepon : 082266165665 Pos-el : anugrah.pinto@gmail.com

  Riwayat Pendidikan 1.

  Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Andalas, tahun masuk 2003, tahun kelulusan 2010.

  2. Program Studi Ilmu Sastra, Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, tahun masuk 2011, tahun kelulusan 2013.

  Riwayat Pekerjaan Penulis

  Buku kumpulan cerita pendek Kumis Penyaring Kopi (2012)

Biodata Penyunting

  Nama lengkap : Puji Santosa Pos-el : puji.santosa@gmail.com Bidang Keahlian : Peneliti Sastra

  Riwayat Pekerjaan: 1. Guru SMP Tunas Pembangunan Madiun (1984--1986).

  2. Dosen IKIP PGRI Madiun (1986--1988).

  3. Staf Fungsional Umum pada Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988--1992).

  4. Peneliti Bidang Sastra pada Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (1992--sekarang).

  Riwayat Pendidikan:

  1. S-1 Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta (1986).

  2. S-2 Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu Pengetahahuan Budaya, Universitas Indonesia (2002).

  Informasi Lain: 1. Lahir di Madiun pada tanggal 11 Juni 1961.

  2. Plt. Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah (2006- -2008).

  3. Peneliti Utama Bidang Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2010--sekarang).

Biodata Ilustrator

  Nama : Mutiah Isra Khadifa Pos-el : khadifa.mutiah@gmail.com Bidang Keahlian : Ilustrator Riwayat Pendidikan Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas.

  Hikayat Sidi Mara berangkat dari kisah seorang pelaut Indonesia di pantai barat Sumatra yang berani melawan penjajah Belanda pada abad ke-19.

  Bagi penjajah Belanda, Sidi Mara adalah seorang bajak laut yang paling dicari. Sementara itu, bagi rakyat pantai barat Sumatra, Sidi Mara adalah seorang pahlawan.

  Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang berarti merupakan sebuah negeri maritim. Namun, sangat sedikit kisah tokoh-tokoh maritim yang diperkenalkan dan dijadikan bahan bacaan.

  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Daksinapati Barat IV, Rawamangun, Jakarta Timur Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa