10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Laporan Keuangan

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Laporan Keuangan

  Menurut PSAK nomor 1 (revisi 2015) Laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas.

  Tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi seluruh kalangan pengguna laporan keuangan dalam membuat keputusan ekonomi. Laporan keuangan menggambarkan kondisi keuangan dan hasil usaha suatu perusahaan pada saat tertentu atau jangka waktu tertentu. Adapun jenis laporan keuangan adalah laporan laba-rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan posisi keuangan,laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan.

  Laporan keuangan merupakan data-data yang dapat memberikan gambaran mengenai laporan keuangan perusahaan, untuk itu perlu dilakukan suatu interpretasi terhadap data-data keuangan pada suatu perusahaan. Dengan interpretasi terhadap laporan keuangan tersebut maka diharapkan laporan keuangan dapat memberikan manfaat bagi penggunanya. Adapun analisis data- data keuangan pada periode tertentu akan mendorong kemajuan dan dapat diketahui hasil yang telah dicapai serta perbaikan-perbaikan yang diperlukan.

2.1.1. Komponen Laporan Keuangan

  Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan no.1 (revisi 2015), laporan keuangan yang lengkap terdiri dari komponen- komponen berikut ini:

  1. Laporan posisi keuangan pada akhir periode Laporan posisi keuangan minimal mencakup penyajian jumlah properti investasi, provisi, investasi dengan menggunakan metode ekuitas, persediaan, piutang dagang dan piutang lainnya, kas dan setara kas, total aset yang diklasifikasikan sebagai aset yang dimiliki untuk dijual dan liabilitas.

  2. Laporan laba rugi komprehensif selama periode Laporan laba rugi komprehensif minimal mencakup penyajian jumlah pendapatan, biaya keuangan, beban pajak, bagian laba rugi dari entitas asosiasi dan joint ventures yang dicatat dengan menggunakan metode ekuitas, dan lainnya.

  3. Laporan perubahan ekuitas selama periode Perusahaan menyajikan laporan perubahan ekuitas yang menunjukkan : a)

  Total laba rugi komprehensif selama suatu periode

  b) Untuk setiap komponen ekuitas, pengaruh penerapan retrospektif atau penyajian kembali secara retrospektif yang c) Rekonsiliasi antara saldo awal dan akhir periode yang timbul dari laba, pos pendapatan komprehensif dan transaksi dengan pemilik

  d) Jumlah dividen yang atribusikan kepada pemilik dan nilai dividen per saham.

  4. Laporan arus kas selama periode Informasi arus kas memberikan dasar bagi pengguna laporan keuangan untuk menilai kemampuan entitas dalam menghasilkan kas dan setara kas dan kebutuhan entitas dalam menggunakan arus kas tersebut.

  5. Catatan atas laporan keuangan Menyajikan informasi tentang dasar penyusunan laporan keuangan dan kebijakan akuntansi tertentu yang digunakan.

  Mengungkapkan informasi yang disyaratkan oleh SAK yang tidak disajikan dibagian manapun dalam laporan keuangan dan memberikan informasi yang tidak disajikan dibagian manapun dalam laporan keuangan tetapi informasi tersebut relevan untuk memahami laporan keuangan.

2.1.2. Analisis Laporan Keuangan

  Menurut Hery (2015;131) analisis laporan keuangan merupakan suatu proses untuk membedah laporan keuangan ke dalam unsur- unsurnya dan menelaah masing-masing dari unsur tersebut dengan tujuan untuk memperoleh pengertian dan pemahaman yang baik dan tepat atas laporan keuangan.

  Analisis terhadap laporan keuangan suatu perusahaan pada dasarnya karena ingin mengetahui tingkat probabilitas (keuntungan) dan tingkat resiko atau tingkat kesehatan suatu perusahaan (Hanafi, 2010).

  Analisis laporan keuangan merupakan metode yang membantu para pengambilan keputusan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan perusahaan melalui informasi yang didapat dari laporan keuangan. Hasil analisis laporan keuangan ini dapat membantu menginterprestasikan berbagai hubungan kunci dan cenderung dapat memberikan dasar pertimbangan mengenai potensi keberhasilan di masa yang akan datang (Prastowo dan Julianty, 2005:56). Tujuan analisis laporan keuangan salah satunya adalah untuk mengevaluasi kinerja perusahaan pada masa sekarang dan masa lalu untuk memprediksi kondisi dan kinerja perusahaan di masa mendatang (Brimantyo dkk, 2011)

2.1.3 Analisis Rasio Keuangan

  Analisis rasio adalah perhitungan rasio untuk mengevaluasi keadaan keuangan (financial) pada masa lalu, sekarang dan memproyeksikan hasilnya di masa yang akan datang . (Alwi dalam Brimantyo dkk, 2011).

  Menurut Hanafi (2010) di dalam analisis rasio terdapat lima kelompok rasio keuangan. Rasio-rasio keuangan tersebut adalah:

  1. Rasio Likuiditas (Liquidity Ratio) yaitu rasio yang menunjukkan hubungan antara kas perusahaan dan aktiva lancar lainnya dengan utang lancar. Rasio likuiditas digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi berbagai kewajiban finansialnya yang harus segera dipenuhi atau kewajiban jangka pendek. Dalam menganalisis posisi likuiditas perusahaan dapat menggunakan 4 macam rasio, yaitu rasio lancar (current ratio), rasio cepat (quick ratio), rasio kas (cash

  ) dan rasio modal kerja (working capital ratio).

  ratio a.

  Rasio lancar (Current Ratio) merupakan perbandingan antara aktiva lancar dengan utang lancar. Current Ratio yang tinggi akan mengindikasikan jaminan yang baik bagi kreditor jangka pendek dalam arti setiap saat perusahaan memiliki kemampuan untuk melunasi berbagai kewajiban jangka pendeknya. Current Ratio yang terlalu tinggi berpengaruh negatif terhadap kemampuan memperoleh laba, karena kurang efektif dan sebagian aktiva lancar menganggur. Secara sistematis, Current Ratio dihitung dengan formula sebagai berikut:

  = 100% b.

  Rasio kas atau Cash Ratio yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan memenuhi utang jangka pendeknya menggunakan aset lancarnya yang paling likuid.

  • ℎ =

  100% c.

  Rasio Cepat (Quick or Acid Ratio) merupakan rasio antara jumlah aktiva lancar dikurangi persediaan dengan jumlah utang lancar. Persediaan tidak dimasukkan kedalam perhitungan Quick Ratio karena persediaan merupakan komponen atau unsur aktiva lancar yang paling rendah tingkat likuiditasnya. Rumus Quick Ratio dituliskan sebagai berikut:

  − = 100% d.

  Rasio modal kerja terhadap total aset atau working capital to

  total aset ratio yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur likuiditas dari total aktiva dan posisi modal kerja.

  − = 100% Munawir (2007) menyatakan bahwa rasio-rasio ini menunjukkan mengenai kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangannya yang harus segera dipenuhi, atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya pada saat ditagih. Likuiditas ini berkaitan dengan seberapa besar kemampuan perusahaan dalam melunasi kewajiban-kewajiban keuangannya yang sudah jatuh tempo tersebut.

  2. Rasio Aktivitas (Activity Ratio) atau dikenal juga sebagai rasio efisiensi, yaitu rasio yang mengukur efisiensi perusahaan dalam menggunakan aset-asetnya. Rasio aktivitas dapat diukur dengan beberapa rasio yaitu : a.

  Perputaran Piutang (Recivable Turnover) merupakan ukuran efektivitas pengelolaan piutang, sehingga semakin cepat perputaran piutang, berarti semakin efektif perusahaan dalam mengelola piutangnya.

  Recieveble Turnover

  digunakan untuk menghitung berapa kali dana yang tertanam dalam piutang berputar dalam satu tahun. Perputaran piutang memberikan wawasan tentang kualitas piutang dan kesuksesan perusahaan dalam mengumpulkan piutang.

  Rumus Recieveble Turnover adalah: = b.

  Perputaran persediaan (Inventory Turnover atau ITO) : persediaan merupakan komponen utama dari barang yang dijual, oleh karena itu semakin tinggi tingkat perputaran persediaan semakin efektif perusahaan dalam mengelola persediaannya. Besarnya hasil perhitungan rasio perputaran persediaan menunjukkan tingkat kecepatan persediaan menjadi kas atau piutang dagang. Rasio perputaran persediaan dihitung dengan rumus sebagai berikut:

  = c. Perputaran Aktiva Total (Total Assets Turnover atau TATO)

  : mengukur perputaran dari semua aktiva atau aset perusahaan dan dihitung dengan cara membagi penjualan dengan aktiva total. Total Assets Turnover merupakan ukuran efektivitas pemanfaatan total aktiva dalam menghasilkan penjualan. Besarnya hasil perputaran aktiva total menunjukkan tingkat kecepatan seluruh aktiva perusahaan menjadi kas atau piutang. Rasio aktiva total dapat dihitung dengan cara sebagai berikut:

  = d. Perputaran Aktiva Tetap (Fixed Asset Turnover atau FATO): digunakan untuk mengukur tingkat efektivitas penggunaan aktiva tetap sebagai sarana menghasilkan barang yang dijual maupun dalam mendapatkan penghasilan. Rumus rasio perputaran aktiva tetap adalah sebagai berikut: = e. Perputaran modal kerja (Working Capital Turnover) merupakan rasio keuangan yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mendayagunakan modal kerja untuk menciptakan penjualan. Rasio ini merepresentasikan seberapa banyak modal kerja berputar dalam satu tahun. Formula untuk menghitung perputaran modal kerja adalah sebagai berikut:

  = − 3.

  Rasio Utang (Debt Ratio) disebut juga rasio solvabilitas, adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban jangka panjangnya. Rasio utang dapat menggunakan rasio-rasio berikut ini: a.

  Total Debt to Assets Ratio (TDTAR) atau Debt Ratio (DR) : rasio utang total terhadap aktiva total atau disebut juga rasio utang atau leverage mengukur presentase dana yang disediaka oleh kreditor terhadap aktiva total yang dimiliki perusahaan. Debt Ratio (DR) digunakan untuk mengukur berapa persen besarnya dana yang berasal dari utang jangka pendek dan utang jangka panjang. Debt Ratio dirumuskan sebagai berikut: = b.

  Debt to Equity Ratio (DER): DER merupakan rasio leverage yang menunjukkan besarnya utang dibanding dengan ekuitas atau modal sendiri. DER diukur dengan cara membagi utang dengan modal ekuitas. Secara sistematis, DER dapat dihitung dengan formula sebagai berikut :

  = Besarnya hasil perhitungan DER menunjukkan seberapa besar utang jangka panjang yang dapat dijamin dengan ekuitas saham. Semakin tinggi DER, maka semakin besar utang jangka panjang maupun risiko keuangan yang ditanggung perusahaan.

  c.

  Long Term Debt to Equity Ratio, merupakan bagian dari setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan jaminan untuk utang jangka panjang.

  = d.

  Tangible Assets Debt Coverage , merupakan besarnya aset tetap tangible yang digunakan untuk menjamin utang jangka panjang setiap rupiahnya.

  ℎ + + = e.

  Time Interest Earned Ratio , dihitung dengan membagi laba sebelum bunga dan pajak (EBIT) dengan beban bunga, Rasio ini mengukur seberapa jauh laba bisa berkurang tanpa menyulitkan perusahaan dalam memenuhi kewajiban membayar bunga tahunan. Dimana besarnya jaminan keuntungan untuk membayar bunga utang jangka panjang.

  = 4.

  Rasio Keuntungan (Profitability Ratio) yaitu rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memperoleh keuntungan dari penggunaan modalnya. Profitabilitas bisa timbul atas keberhasilan perusahaan dalam memasarkan produk atau jasa, keberhasilan pemasaran sama dengan halnya keberhasilan perusahaan dalam menjual produk atau jasa. Atas penjualan tersebut, maka laba akan dicetak oleh perusahaan. Laba yang dicetak tersebut bisa digunakan untuk tujuan perluasan usaha ataupun pembayaran dividen untuk para pemegang saham. Dalam mengukur profitabilitas dapat dilakukan dengan beberapa macam rasio yaitu:

  a.

  

Return on Investment (ROI) merupakan rasio profitabilitas

  yang membahas hubungan laba bersih setelah pajak atau (EAT) dengan seluruh investasi atau total

  Earning After Tax

  aset juga masih bervariasi nama rasio dan formula menghitungnya. ROI menggunakan formula yang umum dipakai yaitu rasio Earning After Tax (EAT) dengan Total

  Assets , sehingga formula yang digunakan yaitu:

  = b.

  Return on Equity (ROE) merupakan pengembalian atas modal sendiri atau modal saham atau equity yaitu rasio (EAT) dengan modal sendiri atau modal

  Earning After Tax

  saham atau equity. ROE dapat dihitung dengan formula sebagai berikut: =

  ℎ c.

  Return On Assets (ROA) ROA mengukur kemampuan perusahaan dalam memanfaatkan asetnya untuk memperoleh laba (Prastowo dan Julianty, 2005:91). Semakin besar rasio ini pada suatu perusahaan, maka semakin baik pula kinerja perusahaan tersebut.

  = d.

  Operating Profit Margin menunjukkan berapa besar pure yang diterima atas penjualan.

  profit

  = e.

  Earning Per Share (EPS) menunjukkan berapa besar kemampuan per lembar saham dalam menghasilkan laba.

  − ℎ =

  ℎ ℎ f.

  Gross Profit Margin, menunjukkan kemampuan penjualan dalam menghasilkan laba kotor.

  = ℎ g.

  Net Profit Margin, kemampuan setiap rupiah penjualan untuk menghasilkan laba bersih atau Earning After Tax

  (EAT).

  = Analisis rasio keuangan memiliki arti penting baik bagi manajemen maupun bagi investor karena dapat mengetahui hasil kerja yang telah dicapai berdasarkan analisis yang menunjukkan likuiditas, solvabilitas, dan profitabilitas perusahaan dan membantu perusahaan untuk mengetahui masalah yang timbul, selanjutnya dapat dipakai untuk perencanaan yang akan mempengaruhi arah perusahaan dan mengantisipasi keadaan di masa yang akan datang Bagi investor analisis ini digunakan sebagai informasi untuk memprediksi dan mengamati keadaan perusahaan, sehingga investor dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan perusahaan.

2.2 Kebangkrutan

2.2.1 Pengertian Kebangkrutan

  Pengertian Kebangkrutan (Failure) di Indonesia mengacu pada Undang-Undang No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan atas pembayaran utang yang menyebutkan : a.

  Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan tidak dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.

  b.

  Permohonan sebagaimana disebut dalam butir diatas, dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.

  Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda,

  Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah “failite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut Le

  Di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah failit yang Falli. mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan istilah to fail, dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah failure. Di negara-negara yang berbahasa inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah “bankrupt” dan “bankruptcy"( Nurcahyanti, 2015) Ada beberapa pengertian kebangkrutan menurut para ahli terdahulu.

  Menurut Prihadi dalam Bimawiratama (2016) kebangkrutan adalah kondisi dimana perusahaan tidak mampu lagi untuk melunasi kewajibannya.

  Menurut Weston dan Brigham (2006:474) kebangkrutan merupakan suatu kegagalan yang terjadi pada perusahan yang dapat di definisikan dalam beberapa cara dan beberapa tidak harus menyebabkan keruntuhan atau pembubaran perusahaan.

  Kebangkrutan secara umum diartikan sebagai kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi perusahaan dalam menghasilkan laba. kebangkrutan kerap kali disebut dengan likuidasi perusahaan atau penutupan perusahaan. (Endri dan Ramadhani dalam Bimawiratama, 2016).

  Kondisi ini biasanya tidak muncul begitu saja di perusahaan, ada indikasi awal dari perusahaan tersebut yang biasanya dapat dikenali lebih dini kalau laporan keuangan dianalisis secara lebih cermat dengan suatu cara tertentu. Rasio keuangan dapat digunakan sebagai indikasi adanya kebangkrutan di perusahaan (Prihadi dalam Bimawiratama, 2016).

  Brigham dan Gapenski dalam Reza dan Wibowo (2015) mengatakan kebangkrutan dapat diartikan kegagalan dalam beberapa cara tergantung masalah yang di hadapi perusahaan. Kegagalan tersebut dapat dibedakan menjadi berikut:

  1. Kegagalan ekonomi (Economic Failure) Ketika menjalankan usaha tidak menutup kemungkinan bila biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan melebihi dari pendapatan yang diperoleh perusahaan. Kondisi tersebut yang dapat diartikan sebagai kegagalan ekonomi.

  2. Kegagalan keuangan (Financial Failure) Perusahaan dikatakan mengalami kegagalan keuangan berarti perusahaan mengalami kesulitan dana baik dalam arti dana dalam pengertian kas atau dalam pengertian modal kerja.

  3. Insolvensi teknis (Technical Insolvency)

  Insolvensi teknis lebih mengarah pada kegagalan perusahaan dalam menjalani teknis/ketentuan kewajiban yang berlaku. Perusahaan dianggap gagal jika perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo, walaupun total aset melebihi total utang.

  4. Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan (Insolvency in Bankruptcy) Hal ini terjadi ketika kewajiban total perusahaan melebihi nilai total aktivanya. Kondisi ini jauh lebih serius dari insolvensi teknis dan cenderung mengarah pada likuidasi.

  5. Kebangkrutan secara resmi (Legal Bankruptcy) Perusahaan tidak akan dinyatakan bangkrut secara resmi, kecuali: a.

  Perusahaan mengalami kebangkrutan berdasarkan kriteria yang telah dibuat oleh federal bankruptcy act (undang-undang kebangkrutan).

  b.

  Telah dinyatakan bangkrut oleh pengadilan. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa kebangkrutan adalah kondisi perusahaan dimana dikatakan tidak sehat (pada keuangan) sehingga menemui ketidakpastian untuk bisa terus melanjutkan usahanya sehingga perusahaan kalah bersaing dan mengakibatkan penurunan profitabilitas.

2.2.2 Penyebab Kebangkrutan

  Jauch dan Glueck dalam Peter dan Yoseph (2011) mengungkapkan faktor- faktor yang menyebabkan terjadinya kebangkrutan pada perusahaan a.

  Faktor Umum 1.

  Sektor ekonomi Faktor-faktor penyebab kebangkrutan dari sektor ekonomi adalah berasal dari gejala inflasi dan deflasi dalam harga barang dan jasa, kebijakan keuangan, suku bunga dan devaluasi atau revaluasi dengan mata uang asing serta neraca pembayaran, surplus atau defisit dalam hubungannya dengan perdagangan luar negeri.

  2. Sektor sosial Faktor sosial sangat berpengaruh terhadap kebangkrutan adalah adanya perubahan gaya hidup masyarakat yang mempengaruhi permintaan terhadap produk atau jasa ataupun yang berhubungan dengan karyawan. Fakor sosial yang lain yaitu kerusuhan atau kekacauan yang terjadi di masyarakat.

  3. Sektor teknologi Penggunaan teknologi informasi juga menyebabkan biaya yang ditanggung perusahaan terutama untuk pemeliharaan dan implementasi. Pembengkakan terjadi, jika penggunaan teknologi informasi tersebut kurang terencana oleh pihak manajemen, sistemnya tidak terpadu dan para manajer pengguna kurang profesional.

  4. Sektor pemerintah Pengaruh dari sektor pemerintah berasal dari kebijakan pemerintah terhadap pencabutan subsidi pada perusahaan dan industri, pengenaan tarif ekspor dan impor barang berubah, kebijakan undang-undang baru bagi perbankan atau tenaga kerja dan lain-lain.

  b.

  Faktor Eksternal Perusahaan 1.

  Faktor pelanggan / konsumen Perusahaan harus bisa melakukan identifikasi terhadap sifat konsumen untuk menghindari kehilangan konsumen, juga menciptakan peluang untuk mendapatkan konsumen baru dan menghindari menurunnya hasil penjualan dan mencegah konsumen berpaling ke pesaing.

  2. Faktor kreditur Kekuatannya terletak pada pemberian pinjaman dan menetapkan jangka waktu pengembalian utang yang tergantung pada kepercayaan kreditor terhadap kelikuiditan suatu perusahaan.

  3. Faktor pesaing Faktor ini merupakan hal yang harus diperhatikan karena menyangkut perbedaan pemberian pelayanan kepada konsumen, perusahaan juga jangan melupakan pesaingnya karena jika produk pesaingnya lebih diterima oleh masyarakat, maka perusahaan tersebut akan kehilangan konsumen dan mengurangi pendapatan yang diterima. c.

  Faktor Internal 1.

  Terlalu besarnya kredit yang diberikan kepada nasabah sehingga menyebabkan adanya penunggakan dalam pembayarannya sampai akhirnya tidak dapat membayar.

  2. Manajemen yang tidak efisien, yang disebabkan karena kurang adanya kemampuan, pengalaman, keterampilan, sikap adaptif dan inisatif dari manajemen.

  3. Penyalahgunaan wewenang dan kecurangan, dimana sering dilakukan oleh karyawan, bahkan manajer puncak sekalipun sangat merugikan apalagi yang berhubungan dengan keuangan perusahaan.

  Menurut Ooghe dan Prijcker dalam Halleiny (2016) terdapat empat faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kebangkrutan perusahaan.

  Faktor pertama penyebab kebangkrutan adalah lingkungan eksternal perusahaan. Lingkungan eksternal perusahaan dapat mempengaruhi motivasi manajer dalam mengendalikan perusahaan yang membentuk keterampilan manajer sehingga mempengaruhi manajer untuk menetapkan aturan perusahaan dan hubungan perusahaan terhadap pemangku kepentingan.

  Pemangku kepentingan merupakan penyebab kebangkrutan kedua, perkembangan dan tumbuhnya perusahaan merupakan hasil dari interaksi perusahaan dengan pemangku kepentingan. Putusnya hubungan perusahaan dengan pemangku kepentingan dapat menyebabkan terjadinya kebangkrutan.

  Faktor penyebab kebangkrutan yang ketiga adalah karakteristik manajemen. Faktor ini merupakan faktor terbesar terjadinya kebangkrutan perusahaan. Terjadinya kegagalan dalam keberlangsungan perusahaan dapat menjadi ancaman yang disebabkan oleh tidak pantasnya kualitas dan keterampilan manajemen. Karakteristik manajer yang dianggap dapat menyebabkan kegagalan adalah manajer yang tidak mengeksplor perubahan strategi dan proses pengambilan keputusan sehingga menyebabkan lemahnya kesempatan dan meningkatnya ancaman pada perusahaan, serta manajer yang mempunyai sifat terlalu optimis dan terlalu mengambil risiko.

  Faktor terakhir yang menyebabkan terjadinya kebangkrutan adalah karakteristik perusahaan. Karakteristik perusahaan yang dimaksud adalah ukuran perusahaan, umur perusahaan, industri perusahaan, dan fleksibilitas perusahaan. Perusahaan baru, contohnya, cenderung belum memiliki hubungan yang stabil pada pemangku kepentingan apabila dibandingan dengan perusahaan yang lama.

2.2.3. Indikator Kebangkrutan

  Terdapat beberapa tanda atau indikator manajerial dan operasional yang muncul ketika perusahaan akan mengalami kebangkrutan, antara lain

  1. Indikator dari Lingkungan Bisnis Pertumbuhan ekonomi yang rendah menjadikan indikator yang cukup penting pada lemahnya peluang bisnis, apalagi jika di saat yang sama banyak perusahaan baru yang memasuki pasar. Besarnya perusahaan tertentu menjadi sebab mengecilnya perusahaan yang lain.

  2. Indikator Internal Manajemen tidak mampu melakukan perkiraan bisnis dengan alat analisis apapun yang digunakan sehingga manajemen kesulitan mengembangkan sikap pro aktif dan lebih cenderung bersikap reaktif. Oleh karena itu, biasanya terlambat mengantisipasi perubahan.

  3. Indikator Kombinasi Seringkali perusahaan yang sakit disebabkan interaksi ancaman yang datang dari lingkungan bisnis dan kelemahan yang berasal dari lingkungan perusahaan itu sendiri. Jika disebabkan oleh keduanya, biasanya membawa akibat yang lebih kompleks dibanding dengan yang disebabkan oleh salah satu saja. (Suwarsono dalam Harril Bramantyo dkk, 2011) Menurut lesmana dan Surjanto dalam Zaim Thorari dkk (2015), tanda- tanda yang dapat dilihat terhadap sebuah perusahaan yang mengalami kesulitan dalam bisnisnya antara lain sebagai berikut: 1.

  Penjualan atau pendapatan yang mengalami penurunan secara signifikan.

  3. Penurunan total aktiva.

  4. Harga pasar saham menurun secara signifikan.

  5. Kemungkinan gagal yang besar dalam industri atau industri dengan risiko yang tinggi.

  6. Young Company, perusahaan berusia muda pada umumnya mengalami kesulitan tahun-tahun awal operasinya, sehingga kalau tidak didukung dengan sumber permodalan yang kuat akan dapat mengalami kesulitan keuangan yang serius dan berakhir dengan kebangkrutan.

  7. Pemotongan yang signifikan dalam deviden.

2.2.4. Manfaat Informasi Kebangkrutan

  Menurut Hanafi dan Halim (2009:259) mengungkapkan bahwa informasi kebangkrutan bisa bermanfaat bagi beberapa pihak seperti: a.

  Pemberi Pinjaman Informasi kebangkrutan bisa bermanfat untuk mengambil kepututsan siapa yang akan diberi pinjaman dan kemudian bermanfaat untuk kebijakan memonitor pinjaman yang ada.

  b.

  Investor Investor saham atau obligasi yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan tentunya akan sangat berkepentingan melihat adanya kemungkinan bangkrut atau tidaknya perusahaan yang menjual surat berharga tersebut.

  c.

  Pihak Pemerintah Lembaga pemerintah mempunyai kepentingan untuk melihat tanda- tanda kebangkrutan lebih awal supaya tindakan-tindakan yang perlu bisa dilakukan lebih awal.

  d.

  Akuntan Akuntan mempunyai kepentingan terhadap informasi kelangsungan suatu usaha karena akuntan akan memiliki kemampuan going suatu perusahaan.

  concern e.

  Manajemen Kebangkrutan berarti memunculkan biaya - biaya yang berkaitan dengan kebangkrutan dan biaya ini cukup besar. Apabila manajemen bisa mendeteksi kebangkrutan lebih awal, maka tindakan-tindakan penghematan bisa dilakukan, misal dengan melakukan merger atau restukturisasi keuangan sehingga biaya kebangkrutan bisa dihindari.

2.3 Model-Model Prediksi Kebangkrutan

  Pada bagian ini akan diuraikan beberapa model prediksi kebangkrutan yang cukup populer. Model-model tersebut sebagai berikut:

2.3.1 Analisis Kebangkrutan Model Altman

  Pada awalnya Altman memiliki sampel 66 perusahaan manufaktur yang terdiri dari 35 perusahaan yang bangkrut dan 35 perusahaan yang tidak bangkrut. Selanjutnya dipilih pula 22 variabel (ratio) yang potensial untuk dievaluasi yang dikelompokkan ke dalam 5 kelompok, yaitu liquidity, profitability, dan activity. Dari 22 variabel tersebut kemudian

  leverage, solvency,

  dipilih 5 variabel yang merupakan kombinasi terbaik untuk memprediksi kebangkrutan. Dari sampel perusahaan dan kelima tersebut terbentuklah fungsi diskriminan yang juga disebut

  ratio

  Altman Z-Score sebagai berikut: Z = 0,012X1 + 0,014X2 + 0,033X3 + 0,006X4 + 0,999X5 Dengan keterangan sebagai berikut:

  Z = over all index X1 = working capital/total asset X2 = retained earning/total asset X3 = earning before interest and taxes/total asset X4 = market value equity/book value of total liabilities X5 = sales/total asset

  Nilai cut-off : Z < 1,81 bangkrut 1,81 <Z< 3 grey area Z > 3 tidak bangkrut

  Mengingat bahwa tidak semua perusahaan melakukan go

  

public dan tidak memiliki nilai pasar, maka tahun 1984, Altman

  melakukan penelitian kembali di berbagai negara. Penelitian ini memasukkan dimensi internasional. Formula yang dihasilkan adalah untuk perusahaan yang tidak go public (privat manufacturer dan (private general firm atau private non

  companies)

  sebagai berikut:

  manufacturing company)

Public companies: 1.2X1 + 1.4X2 + 3.3X3 + 0.6X4 + 1.0X5

  • -

    Private companies: 0.717X1 + 0.847X2 + 3.107X3 +

  • - 0.420X4+0.998X5
  • - 1.05X4

  

Non-manufacturing companies: 6.56X1 + 3.26X2 + 6.72X3 +

  Analisis Z-score Altman, terbagi menjadi 3 kategori. Hasil analisis ditentukan dengan nilai cut off sebagai berikut:

1. Original Z-Score [For Public Manufacturer]

  Z < 1,81 bangkrut 1,81 <Z< 3 grey area

  Z > 3 tidak bangkrut 2. Model A Z'-Score [For Private Manufacturer]

  Z < 1,23 bangkrut 1,23 <Z< 2,9 grey area Z > 2,9 tidak bangkrut 3. Model B Z'-Score [For Private General Firm]

  Z < 1,1 bangkrut 1,1 <Z< 2,6 grey area Z > 2,6 tidak bangkrut

  Hasil penelitian Altman (1968) membuktikan bahwa model MDA oleh Altman sangat akurat dalam memprediksi kebangkrutan, dengan tingkat kebenaran 95% pada keseluruhan sampel seluruh perusahaan bangkrut dan perusahaan tidak bangkrut. Uji reliabilitas terhadap model ini dengan menggunakan sampel kedua juga membuktikan bahwa model MDA Altman sangat akurat. Model ini akurat untuk memprediksi 2 tahun sebelum terjadinya kebangkrutan, dan tingkat keakuratannya akan berkurang untuk periode lebih dari 2 tahun sebelum terjadinya kengangkrutan. Namun penelitian ini terbatas pada sampelnya yang hanya meliputi perusahaan manufaktur yang go public. Penelitian model MDA selanjutnya dikembangkan oleh Altman pada tahun 1984 dengan memasukkan dimensi internasional yang merubah formulasi Z-score (Gamayuni, 2009).

2.3.2 Analisis Kebangkrutan Model Springate

  Model ini dikembangkan pada tahun 1978 oleh Gordon L.V.Springate. dengan menggunakan analisis multidiskriminan dengan menggunakan 40 perusahaan sebagai sampelnya untuk memilih 4 dari 19 rasio keuangan yang popular sehingga dapat membedakan perusahaan yang berada dalam zona bangkrut atau zona aman. Model Springate merumuskan:

  S Score = 1,03 X 1 + 3,07 X

2 + 0,66 X

3 + 0,4 X

  4 Rasio-rasio keuangan yang terdapat pada model Springate yaitu:

  X = Working Capital/ Total Asset

  1 X = Earnings before interest and taxes / total asset

  2 X = Earnings before taxes/current liability

  3 X = sales/total asset.

  4 Springate (1978) mengemukakan nilai cut off yang berlaku adalah

  0,862. Nilai S yang lebih kecil dari 0,862 (S < 0,862) menunjukkan bahwa perusahaan tersebut diprediksi akan mengalami kebangkrutan.

  Sebaliknya apabila nilai S > 0,862 maka perusahaan dikategorikan tidak bangkrut. Model ini memiliki akurasi 92,5% dalam tes yang dilakukan Springate. Dengan model yang sama, Botheras (1979) mendapatkan hasil dengan tingkat keakuratan 88%. Sands (1980) melakukan pengujian dengan tingkat keakuratan mencapai 83%.

2.3.3 Analisis Kebangkrutan Model Ohlson

  Ohlson (1980), terinspirasi oleh penelitian-penelitian sebelumnya, juga melakukan studi mengenai financial distress. Namun ada beberapa modifikasi yang dia lakukan dalam studinya dibanding penelitian-penelitian yang sebelumnya. Ohlson (1980) menggunakan data dari tahun 1970-1976 dan sampel sebanyak 105 perusahaan dari industri manufaktur yang bangkrut serta 2.058 perusahaan yang tidak bangkrut selama periode tersebut. Terlihat dari jumlahnya, Ohlson (1980) tidak menggunakan teknik matched-pair sampling. Perbedaan lainnya terdapat dari sumber data. Jika Altman (1968) dan Beaver (1966) menggunakan sumber data dari

  Moody’s Manual, maka Ohlson

  (1980) mendapatkan data dari laporan keuangan yang diterbitkan untuk pajak (10- K financial statement). Layanan yang ia gunakan adalah

  Compustat . Ohlson menggunakan metode statistik bernama

  . Ohlson berpendapat bahwa metode ini dapat

  conditional logit

  menutupi kekurangan-kekurangan yang terdapat di metode MDA yang digunakan Altman dan Springate. Model yang dibangun Ohlson memiliki 9 variabel yang terdiri dari beberapa rasio keuangan. Model tersebut adalah:

  O = -1,32 - 0,407X1 + 6,03X2 – 1,43X3 + 0,0757X4 – 2,37X5 – 1,83X6 + 0,285X7 – 1,72X8 – 0,521X9

  Dimana:

  X1 = Log (total assets/GNP price-level index) X2 = Total liabilities/total assets X3 = Working capital/total assets X4 = Current liabilities/current assets X5 = 1 jika total liabilities > total assets ; 0 jika sebaliknya X6 = Net income/total assets X7 = Cash flow from operations/total liabilities X8 = 1 jika Net income negatif ; 0 jika sebaliknya X9 = (NIt

  • – NIt-1) / (NIt + NIt-1)

  Ohlson (1980) menyatakan bahwa model ini memiliki cutoff

  point optimal pada nilai 0,38. Ohlson memilih cutoff ini karena

  dengan nilai ini, jumlah error dapat diminimalisasi. Maksud dari ini adalah bahwa perusahaan yang memiliki nilai O di atas

  cutoff

  0,38 berarti perusahaan tersebut diprediksi distress. Sebaliknya, jika nilai O perusahaan di bawah 0,38, maka perusahaan diprediksi tidak mengalami distress.

2.3.4 Analisis Kebangkrutan Model Zmijewski

  Menurut Peter dan Yoseph (2011) model kebangkrutan Zmijewski rasio keuangan yang dipilih adalah rasio-rasio keuangan serta 73 perusahaan yang sehat selama tahun 1972 sampai dengan 1978, indikator F-test terhadap rasio-rasio kelompok rate of return,

  

liquidity, leverage, turnover, fixed payment coveyage, tredns, firm

size , dan stock return volality menunjukkan adanya perbedaan yang

  signifikan antara perusahaan yang sehat dan tidak sehat. Menurut Prihanthini dan Sari (2013:423) model prediksi yang dihasilkan oleh Zmijewski pada tahun 1983 merupakan riset selama 20 tahun.

  Model ini menghasilkan rumus sebagai berikut:

  X= -4,3 - 4,5X 1 + 5,7 X

  2

  

3

  • – 0,004X

  Dimana: X = Net Income / Total Assets

  1 X = Total Liability / Total Assets

  2 X = Current Liability / Current Assets

  3 Jika skor yang diperoleh sebuah perusahaan model prediksi

  kebangkrutan ini melebihi 0 maka perusahaan diprediksi berpotensi mengalami kebangkrutan, sebaliknya, jika sebuah perusahaan memiliki skor yang kurang dari 0 maka perusahaan diprediksi tidak berpotensi untuk mengalami kebangkrutan.

  Model Zmijewski juga memiliki tingkat akurasi yang tinggi dalam memprediksi perusahaan yang mengalami kebangkrutan yaitu sebesar 98,2% walaupun hanya menggunakan tiga rasio yaitu: Return On Assets , Leverage, dan likuiditas.

2.3.5 Analisis Kebangkrutan Model Taffler

  Sejalan dengan Altman, Taffler (1983) menggunakan model diskriminan dalam menganalisis kebangkrutan, dengan menggunakan

  Z-Score dengan elemen yang berbeda sebagai berikut :

  = , + , + , − , + , Dimana:

  X1 = Profit before tax/ current liabilities X2 = Curent Assets/ Total Liabilities X3 = Current liabilities/ total assets X4 = No-credit interval

  =

  ( − − ) ( − − )/365 Dimana : CA = Current Assets

  CL = Current Liabilities PBT = Profit before tax

  X1 adalah faktor yang mengukur profitabilitas , X2 adalah faktor yang mengukur posisi modal kerja, X3 mengukur risiko keuangan, perusahaan tidak berisiko bangkrut Model ini banyak digunakan di Inggris untuk mengetahui kesehatan keuangan perusahaan, dan pertama kali dikembangkan tahun 1977 untuk menganalisis industri manufaktur dan konstruksi. Model Taffler juga mampu memprediksi perusahaan yang mengalami kebangkrutan dengan tingkat akurasi sebesar 83% (Agarwal & Taffler dalam Candrawati, 2008).

2.3.6 Analisis Kebangkrutan Model Fulmer

  Fulmer (1984) mengunakan step-wise multiple discriminate

  analysis untuk mengevaluasi sampel 60 perusahaan yang terdiri dari

  30 perusahaan gagal dan perusahaan sukses. Rata-rata nilai aktiva perusahaan $455,000. Bentuk model sebagai berikut:

  H = 5.528 (V1) + 0.212 (V2) + 0.073 (V3) + 1.270 (V4) - 0.120 (V5) + 2.335 (V6) + 0.575 (V7) + 1.083 (V8) + 0.894 (V9) - 6.075.

  H < 0; perusahaan diklasifikasikan “gagal”

  V1 = Retained Earning/Total Assets

   V2 = Sales/Total Assets V3 = EBT/Equity V4 = Cash Flow/Total Debt V5 = Debt/Total Assets V6 = Current Liabilities/Total Assets V7 = Log Tangible Total Assets

  V8 = Working Capital/Total Debt V9 = Log EBIT/Interest

  Model Fulmer menghasilkan tingkat keakuratan 98% dalam mengklasifikasikan perusahaan satu tahun sebelum kebangkrutan dan tingkat keakuratan 81 % untuk lebih dari satu tahun sebelum kebangkrutan.

2.3.7 Analisis Kebangkrutan Model Zavgren

  Zavgren (1985) meneliti dengan menggunakan 7 rasio keuangan dan regresi logit data dari 45 perusahaan bangkrut dan 45 perusahaan tidak bangkrut. Model logit Zavgren membutuhkan 4 langkah, yaitu pertama adalah serangkaian 7 rasio keuangan dihitung, kedua adalah setiap rasio dikalikan dengan koefisien khusus, ketiga adalah nilai atau hasil yang diperoleh dijumlahkan secara bersama (y), dan akhirnya probabilitas kebangkrutan perusahaan dikalkulasi dengan fungsi probabilitas logit. Adapun probabilitas kebangkrutan model logit adalah:

  1 = 1 +

  Pangkat y adalah fungsi multivariable yang terdiri dari konstanta dan koefisien dari sekumpulan variabel-variabel/yaitu rasio-rasio keuangan). Sedangkan e adalah bilangan alam yang bernilai 2.1828. Nilai probabilitas yang mendekati 1/1 atau 100% dikategorikan membedakan perusahaan yang bangkrut dan non bangkrut. Model Zavgren mendefinisikan sebagai berikut:

  Y = 0,23883 – 0,108 (INV) – 1,583 (REC) – 10,78 (CSAH) + 3,074 (QUICK) + 0,481 (ROI) + 4,35 (DEBT) + 0,11 (TURN)

  Dimana:

  INV : Persediaan/ Penjualan REC : Piutang/ Persediaan CASH

  : Kas/ Total Aktiva

  QUICK : Aktiva Lancar/ Utang Lancar ROI

  : Laba Operasi Bersih/ (Total Aktiva - Utang Lancar)

  DEB

  : Utang Jangka Panjang/ (Total Aktiva

  • – Utang Lancar)

  TURN : Penjualan/ (Modal Kerja + Aktiva Tetap)

  Variabel bebas dengan koefisien negatif dapat meningkatkan probabilitas kebangkrutan karena koefisian negatif akan menurunkan ey hingga mendekati angka nol, yang Pi mendekati 1/1 atau 100%. Sedangkan variabel bebas dengan koefisien positif akan mendekatkan ey hingga mendekati bilangan positif tak terhingga (~), yang mendekatkan Pi mendekatkan angka Nol.

2.3.8 Analisis Kebangkrutan Model Grover

  Menurut Prihanthini dan Sari, 2013:420) Model Grover merupakan model yang diciptakan dengan melakukan mendesain S.Grover menggunakan sampel sesuai dengan model Altman Z-

  Score pada tahun 1968 dengan menambah tiga belas rasio keuangan

  yang baru. Sampel yang digunakan sebanyak 70 perusahaan dengan 35 perusahaan yang bangkrut dan 35 perusahaan yang tidak bangkrut pada tahun 1982 sampai 1996. Jeffrey S. Grover(2001) menghasilkan fungsi seperti berikut:

  1

  2 G Score = 1,650X + 3,404X + 0,016ROA + 0,057

  Dimana: X = Working Capital/Total Assets

  1 X = Earnings Before Interest and Taxes/Total Assets

  2 ROA = Net Income/Total Assets

  Model Grover mengkategorikan perusahaan dalam keadaan bangkrut dengan skor kurang atau sama dengan - 0,02 (G ≤ -0,02) sedangkan nilai untuk perusahaan yang dikategorikan dalam keadaan tidak bangkrut adalah lebih atau sama dengan 0,01 (G ≥ 0,01). Perusahaan dengan skor diantara batas atas dan batas bawah berada pada grey area.

5.3 Kesalahan tipe I dan II

  Menurut Prihadi dalam Bimawiratama (2016) Setiap model selalu terdapat kemungkinan salah prediksi dan perbedaan tingkat akurasi. Sulit untuk berharap apakah terdapat alat prediksi dengan akurasi 100%. Alat sama, sedangkan kesalahan yang terjadi apabila antara yang diprediksi dengan aktualnya tidak sama. Kesalahan yang timbul dari alat prediksi terdiri dari:

  1. Kesalahan tipe I Kesalahan dimana alat prediksi menyatakan tidak bangkrut ternyata aktualnya bangkrut.

  2. Kesalahan tipe II Kesalahan dimana alat prediksi menyatakan bangkrut ternyata aktualnya tidak bangkrut.

  Menurut Hanafi dan Halim (2009:264), kesalahan prediksi terdiri dari dua tipe yaitu tipe I dan kesalahan tipe II seperti berikut ini:

Tabel 2.1 Kesalahan Tipe I dan II

  Kenyataan Prediksi Bangkrut Tidak Bangkrut

  Bangkrut Benar Kesalahan Tipe I Tidak Bangkrut Kesalahan tipe II Benar

2.5. Penelitian Terdahulu

  Terkait dengan penelitian seputar analisis prediksi kebangkrutan terdapat penelitian perbandingan analisis kebangkrutan beberapa diantaranya antara lain: 1.

   Tri Zulhijah (2012) menganalisis perbandingan model prediksi

  kebangkrutan pada perusahaan perkebunan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia menggunakan model Altman, Springate dan Zmijewski.

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antara model Altamn, Springate dan Zmijewski dan model yang lebih baik dalam memprediksi kebangkrutan dengan uji one way anova. Kesimpulan hasil pengujian ini menunjukkan perbedaan hasil rata-rata antara model Altman, Springate dan Zmijewski serta model yang lebih baik diraih oleh model Altman karena memprediksi paling banyak perusahaan perkebunan yang bangkrut.

2. Ni Made Evi Dwi Prihatini dan Maria M. Ratna Sari (2013) menganalisis

  prediksi kebangkrutan pada perusahaan Food and Beverage di Bursa Efek Indonesia menggunakan model Grover, Altman, Springate dan Zmijewski. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan model Grover dengan model Altman, model Grover dengan model Springate, dan model Grover dengan model Zmijewski serta untuk mengetahui model prediksi yang terakurat dengan menggunakan alat analisis uji paired sample. Kesimpulan hasil pengujian penelitian ini

  Altman , model Grover dengan model Springate, dan model Grover dengan model Zmijewski serta tingkat akurasi tertinggi diraih oleh model Grover kemudian disusul oleh model Springate, Zmijewski, dan terakhir model Altman.

  3. Komang Devi dan Ni K. Lely (2014) menganalisis komparasi potensi

  kebangkruan dengan metode Z-Score Altman, Springate, dan Zmijewski pada industri kosmetik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat potensi kebangkrutan industri kosmetik dengan uji statistik beda rata-rata/uji K sampel independen/uji Kruskal-Wallis. Kesimpulan hasil pengujian ini menunjukkan ada perbedaan hasil rata-rata potensi kebangkrutan antara model Altman, Springate dan Zmijewski .

  4. M. Fakhri Husein dan Galuh Tri Pambekti (2014) menganalisis akurasi