BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Ratna Maharani BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Pengertian Penelitian mengenai psychological well being dipelopori oleh Ryff, Diener dan Jahoda mengatakan bahwa, penelitian mengenai

  psychological well being mulai berkembang sejak para ahli menyadari

  bahwa selama ini ilmu psikologi lebih banyak memberikan perhatian kepada penderitaan atau ketidakbahagiaan seseorang daripada bagaimana seseorang dapat berfungsi secara positif.Psychological well being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (Ryff, 1989 dalam Astuti 2011).

  Psychological well being tidak hanya bagian dari kesehatan

  mental yang bersifat negatif, tetapi lebih mengarah kepada kemampuan individu untuk dapat mengembangkan potensi dan kemampuan yang dimilikinya secara optimal, sebagai individu yang utuh baik secara fisik, emosional maupun psikologisnya (Ryff, 1995). Well being merupakan suatu konsep yang terbentuk dari berbagai pengalaman dan fungsi-fungsi individu sebagai manusia yang utuh (Ryff& Singer, 2006). Konsep Ryff (dalam Azani, 2012) berawal dari adanya keyakinan bahwa kesehatan yang positif tidak sekedar adanya penyakit fisik saja. Menurut Ryff (Papalia dkk, 2008), orang yang sehat secara psikologis memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Individu membuat keputusannya sendiri dan mengatur perilakunya sendiri, dan memilih atau membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya.Individu memiliki tujuan yang membuat hidupnya lebih bermakna, dan berjuang serta mengembangkan diri dengan semaksimal mungkin.

  Ryff (dalam Astuti, 2011) menjelaskan bahwa psychological well

  being yang kemudian disingkat PWB merupakan pencapaian penuh dari

  potensi psikologis seseorang, dimana individu tersebut dpat menerima kekuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya, menciptakan hubungan positif dengan orang lain yang ada disekitarnya, memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan mandiri, mampu dan berkompetensi untuk mengatur lingkungan, memiliki tujuan hidup dan merasa mampu untuk melalui perkembangan dalam kehidupannya.

  Menurut Synder dan Lopez (dalam Tenggara, dkk, 2008), kesejahteraan psikologis bukan hanya merupakan ketiadaan penderitaan, namun kesejahteraan psikologis meliputi keterikatan aktif dalam dunia, memahami arti dan tujuan hidup dan hubungan seseorang pada objek ataupun orang lain.

  Individu yang memiliki psychologicall well-being yang positif adalah individu yang memiliki respon positif terhadap dimensi-dimensi

  psychological well-being yang berkesinambungan. Pada intinya

  psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai

  aktifitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif misalnya, ketidakpuasan hidup, kecemasan, merasa tertekan, rasa percayadiri yang rendah, dan sering berperilaku agresif, sampai pada kondisi mental yang positif seperti, realisasi potensi dan aktualisasi diri (Bradburndalam Liwarti, 2013).

  Psychological well-being bukan hanya kepuasan hidup dan

  keseimbangan antara afek positif dan afek negatif namun juga melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan tantangan-tantangan sepanjang hidup (Keyes, Shmotkin & Ryff, dalam Liwarti, 2013). Individu dengan

  Psychological well-being yang baik akan memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan sesuai dengan kondisi fisik dirinya.

  Dengan kata lain mempunyai kemampuan dalam menghadapi kejadian- kejadian di luar dirinya. Selain itu individu juga dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri sendiri sebagaimana adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengarahkan perilakunya sendiri.

  Ryff mendifinisikan PWB sebagai hasil evaluasi dan penilaian seseorang terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas pengalaman- pengalaman hidupnya. Evaluasi terhadap pengalaman akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat kesejahteraan psikologisnya menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki keadaan hidupnya agar kesejahteraan psikologisnya meningkat. Robinson mendefinisikan PWB sebagai evaluasi terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu (misalnya evaluasi terhadap kehidupan keluarganya, pekerjaan, masyarakat) atau dengan kata lain seberapa baik seseorang dapat menjalankan peran-perannya dan dapat memberikan peramalan yang baik terhadap well being (Ramdhani, 2009).

  Dari pengertian yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwapsychological well being merupakan kondisi individu yang memiliki kondisi mental positif, dimana individu tidak hanya memikirkan dirinya sendiri dan berusaha melakukan yang terbaik untuk dirinya tetapi juga orang lain,serta tidak adanya gejala-gejala depresi yang dialami, sehingga tercapai kepuasaan hidup dan merasa lebih bahagia.

2. Dimensi-dimensi

  Carol Ryff dan beberapa koleganya (Keyes & Ryff, 1999; Ryff, 1995; ryff & Singer, 1998 dalam Papalia, dkk, 2008) menggunakan berbagai teori dari mulai Erikson sampai Maslow untuk mengembangkan model multidimensi yang mencakup enam dimensi kenyamanan dan skala self-report untuk melakukan pengukuran. Keenam dimensi tersebut, diantaranya: a.

  Penerimaan diri Nilai yang tinggi: memiliki sikap positif terhadap diri, mengakui dan menerima multi aspek diri termasuk kualitas yang bagus dan yang buruk, merasa positif terhadap kehidupan yang sudah lalu.

  Nilai yang rendah: merasa tidak puas dengan diri, merasa dikecewakan dengan apa yang telah terjadi dimasa lalu, merasa bermasalah dengan beberapa kualitas personal, serta ingin menjadi berbeda dari dirinya pada saat ini.

  b.

  Relasi positif dengan orang lain Nilai yang tinggi:memiliki kehangatan, kepuasan, hubungan terpercaya dengan orang lain, merasa peduli dengan kesejahteraan orang lain, memiliki kemampuan empati, afeksi dan intimasi yang kuat, mengerti member dan menerima dalam hubungan antar manusia.

  Nilai yang rendah: memiliki sedikit hubungan dengan orang lain yang dekat dan dapat dipercaya, merasa sulit untuk bersikap hangat, terbuka, dan peduli terhadap orang lain, merasa terisolasi dan frustasi dalam hubungan interpersonal, tidak berniat membuat kompromi untuk mempertahankan ikatan yang penting dengan orang lain.

  c.

  Otonomi Nilai yang tinggi: bisa mengambil keputusan sendiri dan independen, dapat menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dalam cara tertentu, mengatur perilaku dari dalam diri, mengevaluasi diri dengan standar personal.

  Nilai yang rendah: peduli dengan perkiraan evaluasi orang lain, bergantung kepada penilaian orang lain untuk membuat keputusan yang penting, mengkonfirmasi tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara tertentu.

  d.

  Penguasaan lingkungan Nilai yang tinggi: memiliki perasaan bisa menguasai dan kompeten dalam menata lingkungan, mengontrol susunan kompleks aktifitas eksternal, membuat penggunaan yang efektif terhadap peluang yang ada, mampu membuat atau memilih konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai personal.

  Nilai yang rendah: memiliki kesulitan mengelola tugas sehari- hari, hanya memiliki sedikit tujuan atau target, merasa tidak mampu mengubah atau meningkatkan konteks yang mengelilinginya, tidak dapat menyadari peluang yang ada disekelilingnya, kurang memiliki control terhadap duia luar.

  e.

  Tujuan dalam hidup Nilai yang tinggi: memiliki tujuan dalam hidup dan perasaan diarahkan, merasa adanya makna dalam kehidupan dimasa yang akan datang dan di masa lalu, memegang keyakinan yang memberikan tujuan dalam hidup, memiliki tujuan dan objektifitas untuk hidup.

  Nilai yang rendah: kurang peka terhadap makna kehidupan, memiliki sedikit tujuan atau target, kurang peka terhadap arah, tidak melihat adanya tujuan dalam kehidupan masa lalu, tidak memiliki pandangan atau keyakinan yang memberikan makna kehidupan.

  f.

  Pertumbuhan personal Nilai yang tinggi: memiliki perasaan perkembangan yang berkensinambungan, melihat diri tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman baru, memiliki kepekaan untuk menyadari potensinya, mencari peningkatan pada diri dan perilaku dari waktu ke waktu, memiliki perubahan dalam cara merefleksikan pengetahuan diri dan efektitas yang lebih banyak.

  Nilai yang rendah: memiliki perasaan stagnan, kurang peka terhadap peningkatan atau perluasan dari waktu ke waktu, merasa bosan dan tidak tertarik kepada kehidupan, merasa tidak mampu mengembangkan sikap atau perilaku baru.

  Dimensi kesejahteraan psikologis yang dikemukakan Ryff mengacu pada teori positif functioning (Maslow, Rogers, Jung dan Alport), teori perkembangan (Erikson, Buhler, dan Neugarten), dan teori kesehatan mental (Jahoda). Ryff menyebutkan terdapat enam dimensi kesejahteraan psikologis, yaitu: penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, tujuan hidup, dan pengembangan pribadi (Ramdhani, 2009).

  Sedangkan dalam Aini dan Asiyah (2013) Ryff menjelaskan beberapa dimensi dari Psychological well being, yaitu: a.

  Self acceptance (penerimaan diri) Penerimaan diri yang dimaksud adalah kemampuan seseorang menerima dirinya secara keseluruhan baik pada masa kini dan masa lalunya. Individu yang menilai positif diri sendiri adalah individu yang memahami dan menerima berbagai aspek diri termasuk di dalamnya kualitas baik maupun buruk, dapat mengaktualisasikan diri, berfungsi optimal dan bersikap positif terhadap kehidupan yang dijalaninya.

  Sebaliknya, individu yang menilai negatif diri sendiri menunjukkan adanya ketidakpuasan terhadap kondisi dirinya, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupan masa lalu, bermasalah dengan kualitas personalnya dan ingin menjadi orang yang berbeda dari diri sendiri atau tidak menerima diri apa adanya.

  b.

  Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others) Merupakan kemampuan individu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain di sekitarnya. Individu yang tinggi dalam dimensi ini ditandai dengan mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dari orang lain. Selain itu, individu tersebut juga memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antarpribadi. Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain, terisolasi dan merasa frustasi dalam membina hubungan interpersonal, tidak berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain.

  c.

  Otonomi (autonomy) Otonomi digambarkan sebagai kemampuan individu untuk bebas namun tetap mampu mengatur hidup dan tingkah lakunya.

  Individu yang memiliki otonomi yang tinggi ditandai dengan bebas, mampu untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dan mengatur perilaku diri sendiri, kemampuan mandiri, tahan terhadap tekanan sosial, mampu mengevaluasi diri sendiri, dan mampu mengambil keputusan tanpa adanya campur tangan orang lain. Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi otonomi akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, serta mudah terpengaruh oleh tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu. Kematangan dalam berfikir dan bertindak mempengaruhi otonomi seseorang.

  Kematangan dalam hal ini bukan dari usia tetapi dari pengalaman. Untuk pemecahan sebuah masalah individu yang matang akan dapat menentukan sendiri sebuah keputusan yang akan di ambil, dan dapat menentukan sikapnya sendiri berdasarkan dengan pengalaman sebelumnya. Sedangkan individu yang belum matang ia akan bergantung kepada orang lain atas keputusan yang akan digunakan.

  d.

  Penguasaan lingkungan (environmental mastery) Merupakan kemampuan individu untuk mengatur lingkungannya, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, menciptakan, dan mengontrol lingkungan sesuai dengan kebutuhan. Individu yang tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia dapat mengendalikan aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi. Sebaliknya individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang rendah akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari- hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya serta tidak mampu memanfaatkan peluang dan kesempatan diri lingkungan sekitarnya.

  e.

  Tujuan hidup (purpose of life) Tujuan hidup memiliki pengertian individu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya, memegang keyakinan bahwa individu mampu mencapai tujuan dalam hidupnya, dan merasa bahwa pengalaman hidup di masa lampau dan masa sekarang memiliki makna. Individu yang tinggi dalam dimensi ini adalah individu yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasakan arti dalam hidup masa kini maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup serta memiliki tujuan dan sasaran hidup.

  Sebaliknya individu yang rendah dalam dimensi tujuan hidup akan kehilangan makna hidup, arah dan cita-cita yang tidak jelas, tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu, serta tidak mempunyai harapan atau kepercayaan yang memberi arti pada kehidupan.

  f.

  Pertumbuhan pribadi (personal growth) Individu yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi ditandai dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman- pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah.

  Sebaliknya, individu yang memiliki pertumbuhan pribadi rendah akan merasakan dirinya mengalami stagnasi, tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang baik.

  Dari beberapa pernyataan di atas maka diambil kesimpulan, pada umumnya seseorang yang memiliki psychological well being yang baik adalah adanya penerimaan diri, adanya hubungan positif dengan orang lain, mampu mandiri, memiliki penguasaan lingkungan yang baik, memiliki tujuan hidup, dan dapat berkembang. Semua dimensi atau aspek di atas tentunya tidak langsung diperoleh dalam diri individu, melainkan diperoleh secara bertahap.Dimensi penerimaan diri diperoleh terlebih dahulu, melalui adaptasi terhadap diri sendiri sampai individu mampu menerima dengan baik setiap kondisi yang dialaminya.

  Hubungan positif positif dengan orang lain diperoleh melalui interaksi dengan individu lain maupun dengan kelompok agar menjadi bagian dalam suatu kelompok. Otonomi merupakan hak yang dimiliki seseorang untuk mengatur dirinya sendirinya tanpa adanya paksaan dari luar.Mampu mengatur dan mengelola lingkungan sesuai dengan keinginan individu tersebut juga merupakan bagian dari pencapaian peningkatan psychological well being.Untuk memperoleh suatu kepuasan hidup tentunya individu harus mampu menentukan tujuan hidupnya, agar lebih memiliki arti dan mencapai kebahagiaan yang diinginkan.Pertumbuhan pribadi menjadi salah satu hal penting dalam pencapaian psychological well being, dimana individu mampu mampu untuk terus tumbuh dan berkembang atas potensi yang dimilikinya.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi

  Menurut Ryff dan Singer (dalam Astuti, 2011) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well being, antara lain: a.

  Usia Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa penelitian yang dilakukan Ryff (1989; Ryff & Keyes 1995; Ryff & Singer 1996), penguasaan lingkungan dan kemandirian menunjukan peningkatan seiring perbandingan usia (usia 25-39, usia 40-59, usia 60-74). Tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi secara jelas menunjukan penurunan seiring bertambahnya usia. Skor dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain secara signifikan bervariasi berdasarkan usia.

  b.

  Jenis Kelamin Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa penelitian yang dilakukan Ryff (1989; Ryff 1995; Ryff & Singer 1996), faktor jenis kelamin menunjukan perbedaan yang signifikan pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi.

  Dari keseluruhan perbandingan usia (usia 25-39, usia 40-59, usia 60- 74), wanita menunjukan angka yang lebih tinggi daripada pria.

  Sementara dimensi yang lain tidak menunjukan perbedaan yang signifikan.

  c.

  Tingkat pendidikan dan pekerjaan

  Status pekerjaan yang tinggi atau tingginya pendidikan seseorang menunjukan bahwa individu memiliki faktor pengaman (uang, ilmu, keahlian) dalam hidupnya untuk menghadapi masalah, tekanan dan tantangan (Ryff & Singer, 1996).Hal ini dapat terkait dengan kesulitan ekonomi, dimna kesulitan ekonomi menyebabkan sulitnya individu untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sehingga menyebabkan menurunnya kesejahteraan psikologis.

  d.

  Latar belakang budaya Menurut Sugianto (2000), perbedaan budaya Barat dan Timur juga memberikan pengaruh yang berbeda. Dimensi yang lebih berorientasi pada diri(seperti penerimaan diri dan kemandirian) lebih menonjol dalam konteks budaya Barat, sedangkan dimensi yang berorientasi pada orang lain (seperti hubungan positif dengan orang lain) lebih menonjol pada budaya Timur.

  Liwarti (2013) dari beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai psychological well being, terdapat perbedaan serta faktor- faktor yang mempengaruhi psychological well being.Faktor-faktor tersebut diantaranya: a.

  Usia Ryff dan Keyes (1995), Ryff at all.(2002), Ryff (1989, 1991,

  1998), beranggapanusia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi

  psychological well being pada aspek penerimaan diri, otonomi, penguasaan lingkungan dan hubungan baik dengan orang lain.

  Terdapat peningkatan psychological well being pada usia yang semakin dewasa. Sedangkan pada tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi menunjukan penurunan pada setiap periode kehidupan dewasa. Helsondan Srivastava, menemukan keterkaitan usia dengan pertumbuhan pribadi dan penguasaan lingkungan. Perbedaan usia ini terbagi menjadi tiga fase kehidupan dewasa yakni, dewasa muda, dewasa tengah dan dewasa akhir, dimana dewasa tengah memiliki tingkat psychological well being yang lebih tinggi dibandingkan dengan dewasa awal dan dewasa akhir (Papalia, dkk, 2008).

  b.

  Tingkat Pendidikan Ryff, Magee, Kling & Wling, menyatakan tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well

  being. Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik

  maka akan mempunyai kemampuan pengenalan lingkungan dan yang lebih baik pula. Sedangkan Keyes, Ryff

  psychological well being

  dan Shmootkin, menyatakan tingkat pendidikan meletakan individu pada posisi tertentu disebuah struktur sosial.

  c.

  Jenis Kelamin Ryff; Ryff dan Singer, menyatakan perdebadaan jenis kelamin memberikan pengaruh terhadap psychological well being seseorang.

  Dimana wanita cenderung memiliki psychological well being lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut berkaitan dengan aktivitas sosial yang yang dilakukan.Wanita cenderung memiliki hubungan interpersonal yang lebih baik daripada laki-laki.

  d.

  Faktor Status Sosial Ekonomi Ryff, menyatakan bahwa faktor status sosial ekonomi menjadi sangat penting dalam peningkatan psychological well being, bahwa tingkat keberhasilan pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik, menunjukan tingkat psychological well being yang juga lebih baik.

  Ryan dan Deci menegaskan status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi. Status sosial ekonomi mempengaruhi kesejahteraan psikologis seperti besarnya

  income keluarga, tingkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan,

  kepemilikian materi dan status sosial di masyarakat (Pinquart & Sorenson).

  e.

  Dukungan Sosial Lingkungan individu terutama keluarga sangat berpengaruh pada psychological well being seseorang. Dukungan sosial dari keluarga terdekat atau dari lingkungannya, menjadikan seseorang lebih dapat menerima, hubungan baik lebih terjagadan hal tersebut dapat berpengaruh pada peningkatan psychological well being seseorang (Listwan, Colvin, Hanley, & Flannery).

  Andan Cooney, menyatakan bahwa bimbingan dan arahan dari orang lain (generativity) memiliki peran yang penting dalam

  psychological well being. Dimana individu yang pada masa kecilnya

  memiliki hubungan yang baik dengan orang tua dan mendapatkan dukungan dan kepercayaan dari orang tua memiliki psychological well

  being yang baik pada masa dewasa. Daalen, Sanders, dan Willemsen,

  menyatakan bahwa wanita yang mendapat dukungan sosial yang baik dari keluarga melaporkan memilikikepuasan hidup dan psychological

  well being yang lebih tinggi daripada laki-laki.

  f.

  Kepribadian Gutie`rrez, Jime`nez, Herna`ndez, dan Puente, menyatakan kepribadian merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam kesejahteraan menemukan keterbukaan merupakan salah satu faktor yang secara signifikan mempengaruhi kesejahteraan terutama dimensi demografis.Schmutte dan Ryff (1997); Steel, Schmidt, dan Schultz (2008), Ryff at all. (2002) dalam penelitiannya mengenai hubungan lima tipe kepribadian (the big five traits) dengan dimensi- dimensi psychological well being menemukan bahwa sifat, low

  neurotikism, ekstrovert dan conscientiousness, berpengaruh pada psychological well being khususnya pada penerimaan diri, penguasaan

  lingkungan dan tujuan hidup.

  Meskipun demikian aspek-aspek psychological well being yang lain juga berkorelasi dengan kepribadian yang lainnya. Sifat keterbukaan terhadap pengalaman baru dan ekstrovert berpengaruh pada pertumbuhan diri, sedangkan agreeableness berpengaruh pada hubungan positif dengan orang lain dan dimensi otonomi berkorelasi dengan beberapa kepribadian namun yang paling menonjol dalamneurotik.

  g.

  Spiritualitas Spiritualitas juga berpengaruh pada psychological well being,

  Wink dan Dillon, menyatakan bahwa spiritualitas berkaitan dengan

  psychological well being terutama pada aspek pertumbuhan pribadi

  dan hubungan positif dengan orang lain. Menurut Kirby, Coleman, dan Daley, menyatakan spiritualitas merupakan sumberdaya dalam mempertahankan psychological well being, dimana individu yang merasa mendapatkan dukungan spiritual cenderung memiliki

  psychological well being yang tinggi dan dapat mengurangi angka kematian (McClain, Rosenfeld, & Breitbart).

  Selain keenam dimensi yang telah disebutkan, terdapat faktor- faktor lain yang mampu mempengaruhi kondisi psychological well being seseorang diantaranya faktor usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, faktor sosial ekonomi, dukungansosial, kepribadian dan spiritualitas.

  Berdasarkan penelitian para ahli, terdapat korelasi antara keenam dimensi dari psychological well beingdengan ketujuh faktor tersebut. Ketujuh faktor tersebut juga menentukan tinggi rendahnya psychological well being yang dapat diperolehseseorang.

  Sedangkan menurut Huppert (2009) bahwasanya tingkat kesejahteraan psikologis dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu: a.

  Personality (kepribadian) Berkaitan dengan gaya emosional yang positif sedangkan neurotisme dikaitkan dengan gaya emosional yang negatif.

  b.

  Faktor Demografi Pada jenis kelamin, tingkat kesejahteraan perempuan memiliki kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.

  c.

  Faktor SosialEkonomi Pada umumnya, status sosial ekonomi dan tingkat pendapatan yang tinggi mempengaruhi tingkat kesejahteraan individu.

  d.

  Faktor Lainnya (perilaku, kognisi dan motivasi) Individu yang memiliki perilaku, kognisi dan motivasi yang baik untuk berjuang mencapai tujuannya mencerminkan nilai-nilai yang dipegang teguh dari dalam dirinya, sebagai langkah untuk mencapai kebahagiaan.

  Dari beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well being adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, ekonomi, dukungan social, kepribadian dan spiritualitas.

B. Penerimaan Diri 1. Pengertian

  Penerimaan diri merupakan sikap yang pada dasarnya merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri, dan pengakuan akan keterbatasan-keterbatasan sendiri (Chaplin, 2011). Santrock (2007) menjelaskan penerimaan diri merupakan suatu kesadaran untuk menerima diri sendiri apa adanya. Menurut Johnson (dalam Putri, 2012), penerimaan diridipandang sebagai suatu keadaan dimanaseseorang memiliki penghargaan yang tinggipada dirinya sendiri.

  Untuk mencapai suatukonsep diri maka seseorang harus dapatmenjalankan penerimaan atas dirinya. Jikaseseorang memiliki konsep diri yang positifmaka ia akan memiliki penerimaan diri yangpositif, dan jika ia memiliki konsep diri yangnegatif maka ia tidak akan memilikipenerimaan atas dirinya (Burns dalam Putri, 2012). Dengan kata lain, seseorang yang memilikipenerimaan diri yang baik adalah ketika individu sudah dapat memahami dan menerima segala kelebihan serta kekurangan yang dimilikinya.

  Seseorang yang dapat menerima dirinya adalah individu yang sudah mampu belajar untuk dapat hidup dengan dirinya sendiri, dalam arti individu dapat menerima kelebihan dan kekurangan yang ada dalam dirinya. Ceyhan dan Ceyhan (dalam Ardila & Herdiana, 2013) individu yang dapat menerima keadaan dirinya dapat menghormati dirinya sendiri, dapat menyadari sisi negatif dalam dirinya, dan mengetahui bagaimana untuk hidup bahagia dengan sisi negatif yang dimilikinya, selain itu individu yang dapat menerima dirinya memiliki kepribadian yang sehatdan kuat, sedangkan orang yang tidak dapat menerima dirinya mengalami kesulitan dalam penerimaan diri tidak menyukai karateristik dirinya sendiri, merasa dirnya tidak berguna dan tidak percaya diri.

  Sheerer (dalam Machdan dan Hartini, 2012) menjelaskan bahwa penerimaan diri adalah sikap dalam menilai diri dan keadaanya secara objektif, menerima kelebihan dan kelemahannya. Menerima diri berarti telah menyadari, memahami dan menerima apa adanya dengan disertai keinginan dan kemampuan untuk selalu mengembangkan diri sehingga dapat menjalani hidup dengan baik dan penuh tanggung jawab.

  Definisi penerimaan diri menurut Sheerer yang kemudian dimodifikasi Berger adalah sebagai berikut yaitu yang pertama nilai-nilai dan standar diri tidak dipengaruhi lingkungan luar, keyakinan dalam menjalani hidup, bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan, mampu menerima kritik dan saran seobjektif mungkin, tidak menyalahkan diri atas perasaannya terhadap orang lain, menganggap dirinya sama dengan orang lain, tidak ingin orang lain menolaknya dalam kondisi apapun, tidak menganggap dirinya berbeda dari orang lain, dan tidak mau atau rendah diri (Denmarkdalam Putri, dkk, 2013).

  Individu yang dapat menerima keadaan dirinya dapat menghormati diri individu sendiri, dapat menyadari sisi negatif dalam dirinya, dan mengetahui Individu yang dapat menerimakeadaan dirinya dapat menghormati diriindividu sendiri, dapat menyadari sisinegatif dalam dirinya, dan mengetahui bagaimana untuk hidup bahagia dengan sisi negatif yang dimilikinya, selain itu individu yang dapat menerima dirinya memiliki kepribadian yang sehat dan kuat, sebaliknya, orang yang mengalami kesulitan dalam penerimaan diri tidak menyukai karakteristik individu sendiri, merasa diri individutidak berguna dan tidak percaya diri (Ceyhan & Ceyhan dalam Putri, dkk, 2013).

  Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penerimaan diri adalah kondisi dimana individu mampu menerima setiap kondisi baik fisik maupun non-fisik yang ada dalam dirinya, baik masa lalu maupun masa sekarang, serta mengetahui bagaimana membuat hidupnya bahagia melalui kekurangan dan kelebihannya.

2. Ciri-ciri Penerimaan Diri

  Menurut Johnson (dalam Putri & Hamidah, 2012) menyebutkan ciri-ciri seseorang yang menerima dirinya adalah menerima diri sendiri apa adanya, tidak menolak diri sendiri, apabila memiliki kelemahan dan kekurangan memiliki keyakinan bahwa untuk mencintai diri sendiri, maka seseorang tidak harus dicintai oleh orang lain dan dihargai oleh oleh orang lain, seseorang merasa berharga, maka seseorang tidak perlu merasa benar-benar sempurna, memiliki keyakinan bahwa dia mampu untuk menghasilkan kerja yang berguna.

  Ciri-ciri individu dengan penerimaan diri yang baik menurut Jersild (dalam Sari & Nuryoto, 2002) adalah memiliki penghargaan yang realistis terhadap kelebihan-kelebihan dirinya, memiliki keyakinan akan standar-standar dan prinsip-prinsip dirinya tanpa harus diperbudak oleh opini individu-individu lain, memiliki kemampuan untuk memandang dirinya secara realistis tanpa harus menjadi malu akan keadaannya, mengenali kelebihan-kelebihan dirinya dan bebas memanfaatkannya, mengenali kelemahan-kelemahan dirinya tanpa harus menyalahkan dirinya, memiliki spontanitas dan rasa tanggung jawab dalam diri, menerima potensi dirinya tanpa menyalahkan dirinya atas kondisi- kondisi yang berada di luar kontrol individu, tidak melihat diri individu sebagai individu yang harus dikuasai rasa marah atau takut atau menjadi tidak berarti karena keinginan-keinginannya tapi dirinya bebas dari ketakutan untuk berbuat kesalahan, merasa memiliki hak untuk memiliki ide-ide dan keinginan-keinginan serta harapan-harapan tertentu, tidak merasa iri akan kepuasan-kepuasan yang belum individu raih.

  Sedangkan Sheerer (dalam Machdan dan Hartini, 2012) menjelaskan bahwa ciri-ciri orang yang menerima dirinya adalah: a.

  Individu mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi persoalan b.

  Individu menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia dan sederajat dengan orang lain c.

  Individu tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak ada harapan ditolak orang lain d.

  Individu tidak malu atau hanya memperhatikan dirinya sendiri e. Individu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya f.

  Individu dapat menerima pujian atau celaan secara objektif g.

  Individu tidak menyalahkan diri atau keterbatasan yang dimilikinya ataupun mengingkari kelebihannya.

  Untuk dapat melihat kemampuan seorang individu menerima dirinya dengan baik atau tidak adalah berdasarkan delapan ciri-ciri di atas.Memiliki kemampuan menghadapi persoalan, menganggap dirinya berharga, menganggap dirinya sama dengan orang lain, tidak merasa malu atau minder, mampu bertanggung jawab atas setiap perbuatan, objektif, dan bersyukur atau tidak menyalahkan diri atas keterbatasan yang dimiliki merupakan ciri-ciri atau karateristik dari individu yang memiliki penerimaan diri yang baik atas dirinya.

3. Aspek-Aspek Penerimaan Diri

  Menurut Supratiknya (1995) aspek-aspek penerimaan diri berkaitan dengan: a.

  Kerelaan Kerelaan untuk membuka atau rnengungkapkan aneka pikiran, perasaan, dan reaksi kita kepada orang lain. Membuka atau mengungkapkan aneka pikiran, perasaan, dan reaksi kita kepada orang lain, pertama-tama harus melihat bahwa diri kita tidak seperti apa yang dibayangkan, dan pembukaan diri yang akan kita lakukan tersebut diterima atau tidak oleh orang lain.

  Kalau kita sendiri menolak diri (self-rejecting), maka pembukaan diri akan sebatas dengan pemahaman yang kita punya saja. Dalam penerimaan diri individu, terciptanya suatu penerimaan diri yang baik terhadap kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, dapat dilihat dari bagaimana ia mampu untuk menghargai dan menyayangi dirinya sendiri, serta terbuka pada orang lain.

  b.

  Kesehatan psikologis Kesehatan psikologis berkaitan erat dengan kualitas perasaan kita terhadap diri sendiri. Orang yang sehat secara psikologis rnemandang dirinya disenangi, mampu, berharga, dan diterima oleh orang lain. Orang yang menolak dirinya biasanya tidak bahagia dan tidak mampu rnembangun serta melestarikan hubungan baik dengan orang lain. Maka, agar kita tumbuh dan berkembang secara psikologis, kita harus menerima diri kita. Untuk rnenolong orang lain tumbuh dan berkernbang secara psikologis, kita harus menolongnya dengan cara memberikan pemahaman terhadap kesehatan psikologis, agar rnenjadi lebih bersikap menerima diri.

  c.

  Penerimaan terhadap orang lain Orang yang menerima diri biasanya lebih bisa menerima orang lain. Bila kita berpikiran positif tentang diri kita, maka kita pun akan berpikir positif tentang orang lain. Sebaliknya bila kita menolak diri kita, maka kita pun akan menolak orang lain.

  Aspek penerimaan diri menurut Sheerer (dalam Utami, 2013) meliputi perasaan sederajat dengan individu lain, percaya dengan kemampuan diri, bertanggung jawab, berorientasi keluar diri, berpendirian, menyadari keterbatasan, dan menerima sifat kemanusiaan.

  KemudianSheerer (dalam Trimulyaningsih dan Rachmahana, 2008) menjelaskan aspek-aspek penerimaan diri yaitu: a.

  Memiliki keyakinan penuh akan kemampuan diri dalam menjalankan kehidupannya.

  Penerimaan diri akan beriringan dengan rasa aman pribadi. Rasa aman pribadi berkaitan dengan kemampuan untuk memandang sesuatu permasalahan dengan hati-hati dan melihat berbagai sudut pandang untuk mengukur resiko-resiko yang dihadapi serta untuk mengantisipasi kesulitan yang terjadi.

  b.

  Berfikir bahwa dirinya berharga dan sederajat dengan orang lain.

  Individu dengan penerimaan diri akan menghargai dirinya meskipun hanya memiliki potensi kecil yang tersembunyi dan akan mampu menghargai kelebihan tersebut. Berbeda dengan individu yang tidak mampu menerima dirinya, individu tidak pernah merasa puas akan keberhasilannya, dan juga mengalami keputusaasaan walaupun derajatnya sama dengan individu yang percaya bahwa dirinya telah gagal.

  c.

  Menyadari dan tidak merasa malu atas keadaan dirinya.

  Individu yang menerima diri akan menyadari kekurangan- kekurangannya dan tidak berusaha menutupi kekurangannya tersebut, individu juga tidak bersembunyi karena kekurangan yang dimilikinya, serta tidak bersikap defensife dibalik topeng atau peranan sosial.

  d.

  Menempatkan dirinya sebagaimana orang lain sebagaimana individu yang lain menempatkan dirinya.

  Penerimaan diri berkaitan dengan penyesuaian dalam kehidupan. Tingkat individu menerima dirinya akan menentukan tingkat penyesuaiannya.

  e.

  Bertanggung jawab atas segala perbuatannya Salah satu manfaat yang didapat dari penerimaan diri adalah adanya perasaan percaya diri dan harga diri. Individu yang mampu menerima diri dengan baik, akan mampu menerima kritik dibandingkan dengan yang tidak mampu melakukan penerimaan diri.

  f.

  Yakin dan memahami terhadap pilihan dirinya sendiri dan tidak diperbudak oleh opini-opini orang lain.

  Individu yang memiliki peneriman diri yang baik yakin dan percaya atas pilihannya sendiri, dan berusaha melakukan yang terbaik untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain. Individu yang memiliki penerimaan diri akan mempunyai keyakinan atas keputusan yang diambil, serta tidakmenakhlukan pendapatnya diantara kelompoknya.

  g.

  Menerima pujian dan celaan secara objektif.

  Individu dengan penerimaan diri tidak berfikir tentang kesempurnaan dirinya, serta mampu memndang diri dengan apa adanya. Individu juga dapat mengkompensasi keterbatasannya dengan memperbaiki dan meningkatkan karakter-karakter dirinya tanpa harus melarikan diri dari kenyataan yang ada.

  h.

  Tidak mengingkari atau merasa bersalah atas dorongan-dorongan dan emosi-emosi pada dirinya.

  Individu yang memiliki penerimaan diri memiliki kemampuan untuk mengekspresikan kehangatan dan perasaan secara spontan terhadap orang lain, begitu juga dengan pemberian kasih sayang, individu tidak pasif dan emosional.

C. Narapidana Remaja 1. Pengertian Narapidana

  Menurut UU No. 12 tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang hilang kebebasan dipenjara, sedangkan Wilson (dalam Azani, 2012) menjelaskan bahwa narapidana adalah manusia yang bermasalah yang harus dipisahkan dari masyarakat untuk belajar bermasyarakat dengan baik, dan menurut Harsono (dalam Azani, 2012) narapidana adalah manusia yang sedang berada dipersimpangan jalan karena harus memilih akan meninggalkan atau tetap pada perilakunya yang dahulu dan tengah mengalami krisis disosialisasi (merasa takut diasingkan di dalammasyarakat dan keluarga, tidak mampu bersosialisasi dengan baik akibat rasa minder dan putus harapan.

  Menurut KUHP pasal 10 (dalam KUHAP dan KUHP, 2002) narapidana adalah predikat lazim diberikan kepada orang yang terhadapnya dikenakan pidana hilang kemerdekaan, yakni hukuman penjara (kurungan).Harsono (Siahaan, 2008) mengatakan bahwa narapidana adalah seseorang yang telah dijatuhkan vonis bersalah oleh hukum dan harus menjalani hukuman atau sanksi, yang kemudian akan ditempatkan di dalam sebuah bangunan yang disebut rutan, penjara atau lembaga pemasyarakatan.

  Menurut Petrus dan Pandapotan (dalam Fransiska, 2010) menyatakan bahwa “narapidana adalah orang yang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertaubat yang keberadaannya perlu mendapat pembinaan”.

  Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa narapidana merupakan individu yang mengalami hilang kebebasan dan harus menjalani masa hukuman untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, agar setelah selesai masa hukuman dapat memperbaiki perilakunya dan dapat kembali hidup bermasyarakat dengan baik.

2. Pengertian Remaja

  Masa remaja sering disebut sebagai adolesensi atau adolescence dalam bahasa Inggris, dan berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh ke arah kematangan (Sarwono, 2011). Menurut Sarwono (2004) kematangan yang dimaksud meliputi kematangan fisik, psikis dan sosial. Remaja adalah suatu masa dimana individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari anak-anak ke dewasa (Sarwono, 2004).

  Sarwono (2011) mengatakan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa, bukan hanya dalam artian psikologis tetapi juga fisik. Bahkan perubahan-perubahan fisik yang terjadi itulah yang merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja, sedangkan perubahan-perubahan psikologis muncul antara lain sebagai akibat dari perubahan-perubahan fisik itu.

  Menurut Hurlock (1981) remaja adalah individu yang berada pada usia 12-18 tahun. Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja pada rentang usia 12-23 tahun.

  Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa dimana terjadi perubahan fisik dan psikologis dalam rentang umur 12 – 23 tahun.

3. Tahap Perkembangan Remaja

  Desmita (2013) menyatakan bahwa batasan usia remaja yang umum digunakan ole para ahli adalah antara 12 tahun hinggga 21 tahun, rentang waktu ini biasanya dibedakan atas tiga yaitu: 12 – 15 tahun yakni masa remaja awal, 15 – 18 tahun adalah masa remaja pertengahan, sedangkan 18 – 21 tahun merupakan masa remaja akhir.

  Semua aspek perkembangan dalam masa remaja secara global berlangsung antara umur 12-21 tahun, dengan pembagian usia 12-15 tahun adalah remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, 18-21 tahun adalah masa remaja akhir (Sarwono, 2004).

  Mempunyai rasa cinta yang mendalam 4)

  4) Dapat mewujudkan rasa cinta

  3) Mempunyai citra jasmani dirinya

  2) Lebih selektif dalam mencari teman sebaya

  1) Pengungkapan identitas diri

  Berkhayal tentang aktivitas seks c. Masa remaja akhir (18-21 tahun) dengan ciri khas antara lain :

  Mengembangkan kemampuan berpikir abstrak 5)

  Timbulnya keinginan untuk kencan 3)

  Sarwono juga menjelaskan tahap perkembangan remaja, masa remaja di bagi menjadi tiga tahap perkembangan, yaitu: a.

  Mencari identitas diri 2)

  Masa remaja tengah (15-18 tahun) dengan ciri khas antara lain : 1)

  Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak b.

  Ingin bebas 3)

  Lebih dekat dengan teman sebaya 2)

  Masa remaja awal (12-15 tahun) dengan ciri khas antara lain : 1)

  5) Mampu berfikir abstrak

  Sarwono (2011) mengatakan bahwa konsekwensi dari adanya ketiga perkembangan yang dialami dimasa remaja menyebabkan perilaku remaja sering dianggap kurang dewasa.

  a.

  Perkembangan fisik Perubahan-perubahan fisik yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (yaitu badan menjadi panjang dan tinggi), mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan adanya tanda-tanda seksual sekunder.

  Adanya perubahan fisik menyebabkan kecanggungan bagi remaja. Hal tersebut dikarenakan remaja harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Pertumbuhan badan yang mencolok misalnya, atau pembesaran payudara yang cepat, membuat remaja merasa tersisih dari teman-temannya. Demikian pula dalam menghadapi haid dan ejakulasi pertama, remaja perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian tingkah laku yang tidak selalu bisa dilakukan dengan mulus, dan terutama apabila tidak mendapat dukungan dari orang tua (Sarwono, 2011).

  b.

  Perkembangan Psikologis Perkembangan psikologis meliputi perkembangan kepribadian dan emosi, perkembangan kognitif dan perkembangan penalaran moral serta religi. Pada perkembangan kematangan kepribadian dan emosi, remaja memerlukan status, kemandirian, prestasi dan falsafah hidup yang memuaskan.

  Emosi atau perasaan meliputi rasa senang-tak senang, rasa benci-sayang, suka-tak suka dan sebagainya, dan semua itu relatif cepat berubah di dalam masa ini. Bentuk-bentuk emosi yang cepat berubah di dalam masa ini. Bentuk-bentuk emosi yang sering nampak pada masa remaja adalah marah, takut, cemas, malu, irihati, cemburu, sedih, gembira, kasih sayang, dan ingin tahu c.

  Perkembangan Sosial Pada perkembangan sosial remaja terjadi dua macam gerak pada remaja. Gerak tersebut berupa gerak memisahkan diri dari orang tua dan gerak menuju teman sebaya individu mencari teman sebaya. Individu mencari teman sebaya, karena individu berada pada nasib yang sama, yaitu berada dalam keadaan sementara. Sebagian besar kehidupan sosial remaja dengan orang tua ditinggalkan dan bergabung dengan sebaya atau anggota kelompok lain dalam usaha untuk mencari nilai-mlai baru. Remaja mulai meragukan kewajiban dan kebijaksanaan orang tua, maupun norma-norma yang ada.

  Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa masa remaja merupakan peralihan dari masa kanak-kanak, bukan hanya mengalami perubahan fisik tapi juga psikis.Remaja terbagi menjadi 3 berdasarkan umurnya remaja awal usia 12-15 tahun, remaja tengah 15-18 tahun dan remaja akhir 18-21 tahun.

D. Kecanduan 1. Pengertian

  Menurut Chaplin (2011) kecanduan merupakan keadaan bergantung secara fisik pada suatu obat bius.Pada umumnya, kecanduan tersebut menambah dosis (toleransi) terhadap suatu obat bius, ketergantungan fisik dan psikologis, dan menambah pula gejala-gejala pengasingan diri dari masyarakat, apabila pemberian obat bius tersebut dihentikan.

  Beberapa derajat toleransi dapat melalui penggunaan secara berulang suatu obat bius.Toleransi tersebut menunjukan adanya bukti, bahwa reaksi individual terhadap obat bius tersebut cenderung semakin menurun atau berkurang dengan pengulangan dosisnya. Secara konsekuen, untuk memperoleh pengaruh yang sama kuat, maka individu yang memakai obat-obatan tersebut secara berangsur-angsur harus menambahkan dosisnya (Chaplin, 2011).

  Banyak obat bius, terutama obat penenang dan narkotik (bahan pembius), menyebabkan ketergantungan fisik, yaitu suatu kondisi yang ditandai dengan gejala-gejala mengasingkan diri apabila penggunaan obat tersebut diakhiri.Tremor, sering melamun, kejang, dan halusinasi merupakan kondisi-kondisi putus zat yang banyak ditemukan.

  Menurut Baker et al (dalam Pinel, 2009) pecandu kadang-kadang memakai obat untuk mencegah atau mengurangi gejala-gejala putus zat (withdrawa)l, tetapi ini bukan faktor pendorong utama dalam adiksinya. Akan tetapi, kebanyakan pecandu memperbaharui pemakaian obatnya bahkan setelah berbulan-bulan.

  Sedangkan menurut DSM-IV pengertian kecanduan adalah sebagai kumpulan gejala yang mengindikasikan bahwa seseorang memiliki kesulitan untuk mengontrol penggunaan suatu zat dan meneruskan penggunaanya tanpa memperdulikan akibatnya. Sedangkan pecandu NAPZA adalah seorang penyalahguna NAPZAyang telah mengalami ketergantungan terhadap satu atau lebih narkotik, psikotropika, dan zat adiktif lain, baik secara fisik maupun psikis.

  Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kecanduan adalah kondisi ketergantungan inidividu terhadap sesuatu atau tehadap suatu zat tertentu, dimana jika tidak terpenuhi maka akan menimbulkan kondisi putus zat.

E. NAPZA 1. Pengertian

  NAPZA merupakan akronim dari Narkoba, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya yang merupakan jenis obat-obatan yang dapat mempengaruhi gangguan kesehatan dan kejiwaan (Martono & Joewana, 2008).NAPZA secara umum adalah zat-zat kimiawi yang apabila dimasukan kedalam tubuh baik secara oral (diminum, dihisap, dishirup dan disedot) maupun disuntik, dapat mempengaruhi pikiran, suasana hati, perasaan dan perilaku seseorang. Hal ini dapat menimbulkan gangguan keadaan sosial yang ditandai dengan indikasi negatif, waktu pemakaian yang panjang dan pemakaian yang berlebihan (Lumbantobing, 2007)