NASKAH PUBLIKASI Uji Banding Efektivitas Ketoconazole 1% Dengan Zinc Pyrithione 1% Secara In Vitro Terhadap Pertumbuhan Pityrosporum Ovale.

(1)

! " #

$ % $ $

&''' ('' )'


(2)

A. Enggar Sawitri Putri Permata Sari, J500080040, 2011, + , - . /!0 1 2 1, !1 3 ,4 ! -! ., 3 567 1" ! !3,7,

1! 7",- ,5 ! 71 89 ", , Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

,1,7 9! ,0, . : Pityro sp orum o va le adalah ragi lipofilik yang merupakan flora normal kulit manusia pada orang dewasa. Pityro sporum o va le merupakan faktor etiologi atau berperan primer pada patogenesis ketombe. Ketokonazol merupakan anti jamur golongan imidazol mempunyai spektrum yang luas, bersifat fungistatik, dan bekerja dengan cara menghambat sintesis ergosterol yaitu komponen yang penting untuk integritas membran sel jamur. Zinc pyrithione pada kulit kepala berketombe dapat menormalkan keratinisasi, mengurangi produksi sebum kulit kepala yang merupakan habitat atau tempat bersarang jamur sehingga dapat mengurangi jumlah organisme Pityrosporu m ovale.

+ , : Membandingkan efektivitas antara ketokonazol 1% dengan zinc pyrithione 1% secara in vitro dalam menghambat pertumbuhan Pityro sp orum ovale.

! 1 -! : Metode penelitian ini menggunakan desain eksperimental laboratorik dengan pendekatan p osttest on ly control group design. Subjek dalam penelitian ini adalah Pityro sporu m ovale yang diperoleh dari hasil biakan isolat klinik murni. Sampel pada penelitian ini meggunakan 30 cawan petri media SDA yang berisi biakan Pityro sporu m o va le yang dibuat sumuran, terdiri dari 10 cawan petri pertama yang diberi perlakuan dengan menambahkan ketokonazol 1%, 10 cawan petri kedua yang diberi perlakuan dengan menambahkan zinc pyrithione 1% , dan 10 cawan petri ketiga yang diberi perlakuan dengan menambahkan akuades steril sebagai kontrol negatif. Data primer hasil penelitian, yaitu mengukur diameter zona bening atau zona hambat yang terbentuk. Hasil penelitian diuji dengan uji statistik uji t tidak berpasangan dengan program SP SS 17,0.

, : 10 cawan petri media SDA yang ditambahkan ketokonazol 1% didapatkan hasil adanya zona bening, 10 cawan petri media SDA yang ditambahkan zinc pyrithione 1% didapatkan hasil adanya zona bening, dan 10 cawan petri media SDA kontrol negatif didapatkan hasil tidak terbentuk zona bening. Melalui uji t tidak berpasangan dapat diambil kesimpulan ada perbedaan yang bermakna antara ketokonazol 1% dan zinc pyrithione 1% (p=0,000).

! 85 , : Ada perbedaan antara efektivitas ketokonazol 1% dengan zinc pyrithione 1% secara in vitro terhadap pertumbuhan Pityro sporum ovale. Ketokonazol 1% lebih efektif dibanding dengan zinc pyrithione 1% terhadap pertumbuhan Pityro sp orum o va le.


(3)

A. Enggar Savitri Pu tri Permata Sari, J500080040 , 2011 ,

! "

" , Faculty of Medicin e, University o f Muha mmadiyah Su raka rta .

# $" % : Pityro sporu m ovale is a lipoph ilic yea st that is a no rmal flora of hu man sk in in adults. Pityrospo ru m ovale is an etio logic factor or a primary role in th e pa thogenesis o f dandruff. Ketoconazole is an an tifunga l imida zole group ha s a broad spectrum, is fung istatik, and works by inhibiting the synthesis of ergo stero l is an essential co mpon en t for th e integ rity of funga l cell membran es. Zinc p yrith ion e dand ruff on the scalp, which help s no rmalize k eratinization , redu cing scalp sebum p rodu ction which is th e habitat or n esting sites so as to redu ce th e a mount of fungu s organism Pityrosporum o va le.

&' : Compa ring efficacy of ketoconazole 1 % with zinc pyrithion e 1% in vitro in inhibiting the growth of Pityrospo ru m ovale.

( % : This resea rch method using a laboratory exp erimen tal d esign approa ch to po sttest o nly con trol group design. Subjects in this study were Pityrospo ru m ovale cu ltu re resu lts obtain ed from pu re clin ica l iso la tes. Th e sa mple in this study receipts 30 Petri dishes con ta ining culture medium S DA Pityrospo ru m ovale mad e sinks, con sistin g of 10 petri d ish es were first treated b y adding 1% ketoconazole, 10 second p etri d ish trea ted by adding zinc pyrithion e 1%, and 10 th ree p etri d ishes trea ted b y adding sterile d istilled water a s nega tive contro l. The result is a primary data wh ich mea su re th e d ia meter o f clear zones or inh ibitio n zones formed. The resu lts were tested with a statistical test o f unpa ired t test with SPSS 17.0.

: 10 SDA med ia petri d ish that is added k etoconazole 1% ob tained results clea r the zon e, 10 p etri dishes SDA med ium were add ed zinc p yrithion e 1% ob ta ined results clear th e zo ne, and 10 p etri dishes S DA media n egative con tro l ob ta ined resu lts do not form clear zones. Through th e unpa ired t test can b e concluded there were sign ificant differen ces between k eto cona zo le 1% and zin c pyrithion e 1% (p = 0.000).

: Th ere is a d ifference between th e effectiveness of keto cona zo le 1% with zin c p yrithion e 1% g ro wth in vitro aga in st Pityro sporum ovale. Keto cona zo le 1% is more effective than zin c pyrith ione 1 % to the growth of Pityrospo ru m ovale


(4)

$

$ ,1,7 ! ,0, .

Pityrospo rum o va le adalah ragi lipofilik yang merupakan flora normal kulit manusia pada orang dewasa (Cafarchia et al., 2011). Pityrosporum o va le merupakan anggota dari genus Malassezia sp . dan termasuk familia Cryptococcacea e (Brooks et al., 2007). Pada kondisi normal, kecepatan pertumbuhan jamur Pityrosporum o va le kurang dari 47 %. Jika ada faktor pemicu yang dapat mengganggu kesetimbangan flora normal pada kulit kepala, maka akan terjadi peningkatan kecepatan pertumbuhan jamur Pityro sporum o va le yang dapat mencapai 74 %. Banyaknya populasi Pityro sporum o va le inilah yang memicu terjadinya ketombe (Burns et al., 2010). Faktor predisposisi lainnya seperti suhu tinggi, kelembaban tinggi atau faktor endogen seperti kulit berminyak, keringat yang berlebihan, hiperproloferasi epidermis, keturunan, stres, pengobatan imunosupresif, dan penyakit sistemik (Cafarchia et al., 2011). Banyak peneliti yang menyimpulkan bahwa meningkatnya kolonisasi Pityro sporum ovale merupakan faktor etiologi atau berperan primer pada patogenesis ketombe (Hay, 2011)

Ketombe atau dand ruff merupakan suatu kelainan yang ditandai oleh adanya skuama yang berlebihan pada kulit kepala (sca lp) yang menunjukkan proses deskuamasi fisiologi yang lebih aktif tanpa disertai tanda tanda inflamasi. Nama lain ketombe adalah Pityriasis cap itis (Pityriasis sicca) (Brown et al., 2007). Ketombe adalah kelainan kulit kepala umum yang mempengaruhi hampir separuh penduduk dunia usia pubertas dan pada setiap g en der maupun etnis. Tidak ada penduduk di setiap wilayah geografis yang bebas tanpa dipengaruhi oleh ketombe pada tahap tertentu dalam kehidupan mereka (Ranganathan et a l., 2010). Ketombe banyak diderita penduduk di daerah beriklim tropis, temperatur tinggi dan udara yang lembab. P revalensi dermatitis seboroik diperkirakan 3 5%. Jika ketombe yang merupakan dermatitis seboroik ringan ditambahkan, angka kejadian mencapai 15 20 % (Indranarum, 2001). Pada Ras Kaukasia terdapat sekitar 50% yang menderita ketombe dari kedua jenis kelamin, sedangkan pada ras lain angka insidensinya belum diketahui. P ada masa anak anak, ketombe relatif jarang dan ringan. Kelainan ini biasanya mulai timbul pada masa pubertas, mencapai insiden tertinggi usia sekitar 20 tahun kemudian berkurang frekuensinya setelah usia 50 tahun (Burns et al., 2010).

Ketombe pada umumnya dianggap sebagai permulaan atau bentuk paling ringan (tanpa peradangan) dari dermatitis seboroik (DS) dikulit kepala. Gangguan ketombe berarti kelainan pada proses pengelupasan sel stratum korneum kulit kepala yang lebih cepat dari pada biasa, membentuk skuama halus, bersisik abu abu keperakan dan kering, terakumulasi pertama pada daerah parietal dan temporal atas kulit kepala (P ray, 2001).

Pada ketombe menggaruk kulit kepala secara berlebihan harus dihindari karena dapat menyebabkan kerusakan kulit yang selanjutnya dapat 2


(5)

meningkatkan risiko infeksi bakteri (H arris on et a l., 2009). Bebe rapa or ang yang me milik i faktor res iko lebih re nta n ter ha da p ketombe me nyebabka n ketombe cender ung menja di ga ngguan kronis a ta u be r ulang. Mes kipun ketombe tida k dapat disembuhka n, biasa nya cukup m udah dikontrol denga n meraw at kulit kepala ya ng te pa t dan menja ga ke bers iha n rambut. Walaupun mungkin ter jadi da lam w aktu s ingkat, ketombe ce nder ung ka mbuh sepanjang hidup sese ora ng ata u se um ur hidup. Ketombe tidak ha nya me nimbulkan gata l di kulit kepala teta pi juga bisa mengganggu penampila n dan menur unka n keperca yaan diri seseora ng. O le h karena itu, pengobata n yang segera me nja di sa ngat pe nting untuk a lasan s osial (Stoppler, 2008).

Seme njak Pityrosporu m o vale dia ngga p pe nyebab terpenting da lam keja dian ketombe , pem beria n sampo ya ng menga ndung agen a ntimikr oba dan a ge n kera tinolitik me njadi ya ng paling pokok diguna kan untuk me ngatasi ketombe seper ti ketokonazol 1% dan zinc pyrithione 1% . T ujua n pengoba tan topika l a da lah untuk me ngurangi ra sa ga tal, mengura ngi jumla h mikroor ganis me , membersihka n rambut ke pa la dar i s is ik s is ik, da n sisa s is a sebum yang mer upakan manifestasi klinis dar i ketombe (I ndranar um , 2001). Ketokonazol mer upakan anti jamur golongan im idazol mempunya i spe ktr um ya ng luas, bers ifat f ungis tatik, dan be kerja de nga n car a me nghambat s intes is er gosterol ya itu komponen yang pe nting untuk inte gr ita s me mbra n se l ja mur. Ketokona zol 1% me mpunyai efek a nti ketombe denga n har ga le bih murah dan memiliki efektivitas ya ng ham pir sama de ngan ketokona zol 2% (Indra na rum, 2001). E fe k zinc pyrithione pada kulit ke pala berketombe a da la h menorma lka n kera tinisas i da n me ngura ngi pr oduks i se bum. Pema ka ian sampo zinc pyr ithione a ka n me nur unka n ka dar lipid per mukaa n kulit ke pa la ya ng mer upakan habita t atau tempat bersarang jam ur se hingga da pat me ngur angi jumlah or ga nisme Pityro sporum o va le. Zinc pyr ithione dikemas sebagai sa mpo anti ketombe denga n ha r ga yang relatif lebih mura h diba ndingka n de ngan ketokona zol (Kaur , 2010).

Dengan memper hatikan latar belaka ng di atas , pene liti ingin membandingkan sampo ya ng menga ndung ketokonazol 1% de ngan zinc pyr ithione 1% yang pa da umumnya digunakan untuk me ngobati ketombe , denga n skr ipsi ya ng ber judul : “U ji e fe ktivitas a ntara ketokona zol 1% denga n zinc pyr ithione 1% secara in vitro dalam menghambat pe rtumbuha n Pityro sporum o vale ”.

$ 8 , , , ,"

Berdasarkan latar bela ka ng di ata s, ya ng menja di rumusa n masa la h penelitia n ini a pa ka h efe ktivitas ketokona zol 1% sebanding de ngan zinc pyr ithione 1% se cara in vitro da lam me nghambat pe rtumbuha n Pityro sporum o vale.

$ + , ! ! 1 ,

Mengetahui adanya perbandinga n efe ktivita s a nta ra ketokona zol 1% dengan zinc pyr ithione 1% secara in vitro ter hadap pertum buha n Pityrosporum o va le.

3


(6)

$ , /,,1 ! ! 1 , $ , /,,1 1! 7 1

− Member ikan informas i yang ber manfaa t bagi ilm u pe ngetahuan dalam bida ng kedokteran terapan.

− Sebagai dasar untuk menge mba ngkan pe ne litian te nta ng pengoba ta n ketombe le bih la njut.

* $ , /,,1 57,0 1

Dari has il penelitia n ini, diharapkan da pat mem berikan inf or masi ke pa da te na ga medis menge na i efektivitas zinc pyrithione 1% ya ng mempunya i kemampua n mengimbangi ketokona zol 1% da lam dalam mengham ba t per tumbuhan Pityrospo ru m ovale.

$

$ ! ! ! 1 ,

Jenis penelitia n ya ng digunakan a da la h pe ne litian e ks pe rime nta l laborator ik de ngan me ngguna ka n metode rancanga n e ks pe rime nta l seder hana (posttest o nly con trol group design) karena pe nulis memberika n per lakua n ter ha dap s ubjek dan tidak member ika n per la kuan se ba ga i kontrol kemudia n me ngevaluas i has il a khir (Tauf iqurrahman, 2008).

$ , . .0 5 ! ! 1 ,

$ , . .0 5 8

Pene litian ini ada la h penelitia n di bidang Ilmu M ikr obiologi da n Ilmu Kese ha tan K ulit dan K elam in.

* $ , . .0 5 1! 85,1

Pene litian dila ksanakan di Laboratorium M ikr obiolog i Fa kulta s Kedoktera n Univers ita s M uhamma diyah Surakarta.

: $ , . .0 5 ;,01

Pene litian dila ksana ka n pa da bula n J uni 2011.

$ 9+! 0 ! ! 1 ,

Subje k da lam penelitia n ini adala h Pityrospo ru m ovale yang diperoleh dar i hasil biakan is olat klinik m ur ni di Laborator ium M ikr obiologi Fakultas Kedokte ran U niversitas D ipone goro Semarang.

$ 1 8, ! ,7 ,85!

Besar sam pe l pada pe ne litian ini me ggunakan 30 c awan petr i me dia Saboura ud Dekstr osa A gar yang ber is i biakan Pityro sporum o va le yang dibuat s um uran, terdir i dari 10 caw an petr i per tama ya ng diber i perlakua n denga n me na mbahka n ketokonazol 1% , 10 caw an petr i ke dua yang diber i per lakua n de ngan menam ba hkan zinc pyr ithione 1% , da n 10 caw an petr i


(7)

ketiga yang diber i per lakua n denga n menamba hkan akua des steril se ba ga i kontr ol ne gatif. Me nurut M urti ( 2010), besa r sa mpel yang diguna ka n denga n mempe rtimbangkan tujuan dan desa in penelitia n, as pe k statistik, etika, bia ya , dan w aktu.

$ ,", -, ,1 $ ,",

1. 1 Bahan uta ma

− Sampo ketokonazol 1% − Sampo zinc pyrithione 1% 1. 2 Bahan uji daya a ntifungi

− Media Sa boura ud D ekstr osa A gar − Standar M c Fa rla nd 5

− NaCl 0,9%

− Biakan jamur Pityro sporum o va le − Akua des s ter il

* $ ,1

Oh se kolong − Lidi kapas − M ikr opipet − Ge las ukur − Penga duk − Cawan petr i

− Ala t pembua t s umuran − Au tocla ve

− Inkubator − Lampu s pir itus − Masker − Sarung tanga n − Penggar is $ ,7, ! 7+,

$ 1! 7 , , ,1

Alat alat ya ng a ka n digunakan pada proses uji da ya a ntifungi dic uc i bersih kemudia n diker ingka n da n dister ilkan dalam a uto clave pa da suhu 121o C se lama 30 menit.

* $ ! 7 ,5 , 5! +,8 7

Dimbil 1 o hse Pityrospo ru m ovale dar i bia ka n is olat klinik murni la lu dita nam pada me dia Sabour a ud Dekstr osa Agar. Diinkubas i pada s uhu 37o C sela ma 24 ja m hingga didapatka n koloni jamur P ityro sp orum ovale.

Diambil 1 o hsePityro sporum o va le dar i koloni jam ur ke mudian dimasukka n ke dalam NaCl 0,9% dikoc ok hingga homoge n untuk


(8)

disamakan keker uhan denga n sta ndar Mc Farla nd 5 (Harmita da n Maks um, 2008).

: $ ! ,0 , ,, + -,6, , 1 / .

Pada 30 cawa n pe tri media Sa bouraud De ks trosa A gar dibuat sumura n ber dia mete r 4 mm se ba nyak dua s umura n.

Kapas lidi steril dice lupkan ke da lam lar uta n suspe ns i jamur Pityrospo rum ovale lalu dite ka n tekan pada dinding tabung rea ks i hingga ka pa snya tidak terla lu basa h, kemudian dioles ka n pada setia p per mukaa n me dia Saboura ud D ekstr osa Agar seca ra merata. Me dia ya ng s udah dibua t sumura n da n dioles larutan s us pe ns i jamur Pityrospo rum ovale kem udia n dibuat 10 cawan petr i per tama yang diisi de ngan 50D ketokona zol 1% , 10 cawan pe tr i kedua ya ng diis i de ngan 50 D zinc pyrithione 1% , dan 10 caw an petr i ketiga ya ng diis i de ngan 50D akuades ste r il seba ga i kontrol negatif. Selanjutnya diinkubas i pada s uhu 37o C se lama 24 ja m.

) $ ! 8! 7 0 ,, ,85! 5! ! 1 ,

Sete lah sampe l diinkubas i selama 24 jam pada suhu 37o C , me dia dikeluar ka n dar i inkubator dan kem udia n diukur dia meter zona be ning ya ng terbentuk, pe ngukuran menggunakan penggaris satua n centimete r (cm).


(9)

$ , 3 , ., ! ! 1 ,

Dimbil 1 o hsePityrosporum o va le dari bia ka n isolat klinik murni lalu dita nam pada me dia Saboura ud Dekstr osa A ga r

Disa ma ka n keker uhan de ngan s tandar Mc Far land 5

Dia mbil 1 oh sePityrospo rum o va le dari koloni jam ur kem udia n dimas ukka n ke da lam NaC l 0,9%

Larutan suspens i jam ur Pityrosporu m ovale diambil denga n me ngguna ka n ka pas lidi ster il kem udia n dioles ka n pada setiap per mukaan media Sa bour a ud

Dekstrosa A gar secara merata

Media yang s udah dibuat s umuran da n dioles la rutan s us pe ns i jamur Pityro sporum o va le kemudia n dibuat 10 caw an petr i pe rta ma ya ng diis i denga n 50D ketokona zol 1% , 10 cawa n petr i kedua yang diis i denga n 50D zinc pyr ithione 1% , dan 10 cawa n petr i ketiga yang diis i denga n 50 D a kuades steril seba ga i kontr ol ne gatif.

Diinkubas i dalam suhu 37o C sela ma 24 jam

Diukur diame ter zona bening yang ter be ntuk

Pada 30 caw an petr i media Sa bouraud De kstrosa A gar dibuat sumura n ber diam eter 4 mm seba nyak dua sumura n

Diinkubas i pada s uhu 37o C se la ma 24 jam hingga dida pa tka n koloni ja mur Pityrospo ru m ovale


(10)

$ ,7, ! . 85 , ,1,

Data yang dikumpulkan a da lah data pr imer hasil penelitia n, ya itu diame ter zona be ning atau zona hambat ya ng ter bentuk, diukur denga n me nggunakan penggar is satuan centimeter (cm). Z ona hambat dis ini tampa k sebagai area jer nih atau bers ih ya ng menge liling i s umuran.

$ ,7 ,9! ! ! 1 , $ ,7 ,9! 9! 9,

Dala m pe ne litian ini yang termasuk var iabel be bas a da la h jenis obat, ya itu:

− Ketokonazol 1% − Zinc pyr ithione 1% Skala : N om inal * $ ,7 ,9! 1! 7 0 ,1

Dala m pe ne litian ini ya ng te rmas uk va ria be l ter ika t a da lah zona be ning pertumbuhan Pityro sporum ovale secara in vitro.

Skala : Ras io : $ ,7 ,9! ,7

3. 1 Variabel luar ter kenda li − Suhu inkuba si − Lama inkubasi − Cara is ola si jamur − Media pembia kan

− Umur bia ka n Pityro sporum o vale − Jumlah koloni Pityrospo ru m ova le − Ster ilitas alat dan ba ha n

− Kete litian pe ngukuran da n pe ngamata n

− Kontaminas i kuman a tau mikr oba lain dar i uda ra 3. 2 Variabel luar tida k ter ke ndali

− Kecepata n pertumbuhan Pityrospo ru m ovale

$ , ,1,

Data ya ng dikumpulkan, die dit, dikoding, ditabulas i, dan e nter ing. Data ya ng diper ole h diuji s tatistik denga n menggunakan uji t tida k ber pasanga n de ngan pr ogram SPSS 17,0. Sya rat uji t tida k berpasa ngan, yaitu :

1. M emer iksa syarat uji t tida k ber pasa ngan. 2. D ata har us ber distr ibusi normal (w ajib) .

3. V arians data boleh sa ma , boleh juga tidak sa ma.

4. J ika memenuhi s yara t ( dis tr ibusi data normal) , ma ka dipilih uji t tidak berpasanga n.

5. J ika tidak meme nuhi syara t ( data tidak berdistribus i norma l) , dila kukan terle bih dahulu transf or masi data.


(11)

6. J ika var iabel bar u has il transf ormas i berdistr ibus i norma l, maka dipa ka i uji t tida k ber pasanga n.

7. J ika va riabe l ba r u hasil transf ormas i tidak be rdistr ibus i nor ma l, maka dipilih uji Ma nn W hitne y (Dahlan, 2009).

$ ! / 5! 7, ,

$ , 9! . 5! 71 89 ", 5,-, 0! 1 89!

Ada lah daya a ntifungi dar i ketokona zol 1% dan zinc pyrithione 1% ter hadap P ityro sp urum o va le yang dilihat dari zona be ning pada masing mas ing media Sabouraud Dekstr osa Agar ya ng diukur dar i zona be ning te r luar de ngan menggunakan pe ngga ris sa tuan ce ntimete r (cm).

* $ ! 1 0 ,4

Sampo yang ter da pat kandungan bahan aktif ketokona zol 1% ya ng mem punyai efektivita s da lam me nghambat pertum buha n jamur Pityrospo rum o va le.

: $ 3 567 1" !

Sampo ya ng terdapat ka ndunga n bahan aktif zinc pyr ithione 1% ya ng mem punyai efektivita s da lam me nghambat pertum buha n jamur Pityrospo rum o va le.

$ ! ,0 , ,, ! ! 1 ,

Tabe l 1. Jadwal penelitia n ! . ,1,

,

,7! 1 57 !

* : ) * : ) * : ) * : ) * : )

P enyusuna n

P roposa l P ermohona n

izin pe ne litian Ujian

P roposa l R evis i

P roposa l P engumpulan

Data P engola han

Data P enyusuna n

Skr ips i Ujian

Skr ips i 31


(12)

$

$ , ! ! 1 ,

P enelitian mengenai uji efektivitas antara ketokonazol 1% dengan zinc pyrithione 1% secara in vitro dalam menghambat pertumbuhan Pityrospo rum ovale dilaksanakan pada bulan Juni Juli 2011. P enelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimental laboratorik, dengan subjek penelitian adalah Pityrospo ru m ovale yang diperoleh dari hasil biakan isolat klinik murni. Besar sampel pada penelitian ini m eggunakan 30 cawan petri media Sabouraud Dekstrosa Agar yang berisi biakan Pityrosporum ovale yang dibuat sum uran, terdiri dari 10 cawan petri pertama yang diberi perlakuan dengan menambahkan ketokonazol 1% , 10 cawan petri kedua yang diberi perlakuan dengan menambahkan zinc pyrithione 1%, dan 10 cawan petri ketiga yang diberi perlakuan dengan menambahkan akuades steril sebagai kontrol negatif.

Dari 30 media tersebut diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 2. D iameter zona bening dengan menambahkan ketokonazol 1%

! 9,1 ,8! 1! 7 4 , 9! .

Ketokonazol 1% Kiri Kanan Rata rata

A B C D E F G H I J 4,5 5,0 5,2 4,5 4,5 4,7 5,0 5,3 5,4 4,8 4,5 6,2 6,1 5,5 5,7 5,0 5,1 5,2 5,0 5,3 4,50 5,60 5,65 5,00 5,10 4,85 5,05 5,25 5,20 5,05

Grafik 1. Daya hambat ketokonazol 1% terhadap Pityrospo ru m ovale

0 1 2 3 4 5 6

1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0

!1 3 ,4

Rata rata d iameter zona bening 32


(13)

Dari data Tabel 2 dan Grafik 1 diatas maka dapat diketahui bahwa terdapat daya hambat pada biakan P ityro sp orum o va le dalam sum uran Sabouraud Dekstrosa Agar yang diberi perlakuan dengan menambahkan ketokonazol 1%. Nilai rata rata daya hambat tersebut 5,125 cm ; nilai daya hambat terbesar 5,65 cm ; dan nilai daya hambat terkecil 4,5 cm.

Tabel 3. D iameter zona bening dengan menambahkan zinc pyrithione 1%

! 9,1 ,8! 1! 7 4 , 9! .

Zinc P yrithione 1% Kiri Kanan Rata rata

A 4,0 3,8 3,90

B 3,4 3,2 3,30

C 3,3 3,0 3,15

D 3,0 3,3 3,15

E 4,5 4,2 4,35

F 4,2 4,2 4,20

G 4,0 4,3 4,15

H 4,3 5,0 4,65

I 4,0 4,5 4,25

J 4,5 4,5 4,50

Grafik 2. Daya hambat zinc pyrithione 1% terhadap Pityrospo ru m ovale

Dari data Tabel 3 dan Grafik 2 diatas maka dapat diketahui bahwa terdapat daya hambat pada biakan P ityro sp orum o va le dalam sum uran Sabouraud Dekstrosa Agar yang diberi perlakuan dengan menambahkan zinc pyrithione 1%. Nilai rata rata daya hambat tersebut 3,96 cm ; nilai daya hambat terbesar 4,65 cm ; dan nilai daya hambat terkecil 3,15 cm.

P ada kontrol negatif yang terdiri dari 10 media Sabouraud Dekstrosa Agar yang diberi perlakuan dengan menambahkan akuades steril didapatkan hasil tidak terbentuk zona bening.

0 1 2 3 4 5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0

3 567 1" !

Rata rata d iameter zona bening


(14)

$ , ,1,

Penelitian mengenai Uji efektivitas antara ketokonazol 1% dengan zinc pyrithione 1% secara in vitro dalam menghambat pertumbuhan Pityro sporum ovale dilakukan sebanyak 10 kali replikasi pada tiap perlakuan. Data yang diperoleh diuji statistik menggunakan uji t tidak berpasangan.

$ + 78, 1, -,1,

Tabel 4. Tes normalitas untuk mengetahui distribusi data normal dengan menggunakan S hapiro8Wilk

Jenis Obat Shapiro Wilk

Statistik df Sig.

Ketokonazol 1% .946 10 .622

Zinc Pyrithione 1% .870 10 .101

Dari data Tabel 4 diatas maka dapat diketahui uji normalitas data menggunakan uji Shapiro Wilk karena sampel yang diambil kurang dari 50 sampel. Pada uji S hapiro Wilk, ketokonazol 1% mempunyai nilai p = 0,622 sedangkan zinc pyrithione 1% mempunyai nilai p = 0,101. Karena keduanya mempunyai nilai p > 0,05 menunjukkan bahwa distribusi nilai ketokonazol 1% dan zinc pyrithione 1% berdistribusi normal (Dahlan, 2009).

* $ + 1 1 - ,0 9! 75, , . ,

Tabel 5. La vene’s Test untuk mengetahui homogenitas dari varian ketokonazol 1% dan zinc pyrithione 1%

Levene's Test for Equality of Variances

F Sig.

Zona bening Equal variances assumed 4.257 .054 Equal variances not assumed

Dari data Tabel 5 diatas menunjukkan nilai signifikasi adalah 0,054. Karena diperoleh nilai p > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa varian ketokonazol 1% dan zinc pyrithione 1% adalah sama. Karena didapatkan varian sama, maka untuk melihat hasil uji t menggunakan equal varian ces a ssumed (Dahlan, 2009).


(15)

Tabel 6. Ind ep endent sa mp el test

t test for Equality of Means

t df

Sig. (2 tailed )

Mean Differen ce

Std. Error Difference

95% Confidence Interval o f the Difference

Lower Upper Zona

bening

Equal variances

assumed 5.622 18 .000 1.16500 0.20724 0.72961 1.60039

Dari data Tabel 6 diatas didapatkan hasil signifikasi (28tailed) adalah 0,000, dengan perbedaan rerata (mean d ifference) sebesar 1,16500. Karena nilai p < 0,05, maka diambil kesimpulan “ada perbedaan antara ketokonazol 1% dengan zinc pyrithione 1% secara in vitro terhadap pertumbuhan Pityro sporum o vale” (Dahlan, 2009).

$ ! 89,", ,

Penelitian ini menguji efektivitas antara ketokonazol 1% dengan zinc pyrithione 1% secara in vitro dalam menghambat pertumbuhan Pityro sporum o va le dengan melihat terbentuk atau tidak terbentuknya zona hambat pada media Sabouraud Dekstrosa Agar. Pada penelitian ini setiap media Sabouraud Dekstrosa Agar dibuat dua sumuran sehingga akan didapatkan rata rata untuk masing masing zona hambat. P engujian dalam dua kali ulangan (dua sumuran) dimaksudkan agar menghasilkan kesimpulan reliabel, konsisten, bukan hanya karena faktor peluang (Murti, 2010).

Hasil penelitian ini, pada 30 cawan petri media Sabouraud Dekstrosa Agar yang terdiri dari : (1) 10 cawan petri media Sabouraud Dekstrosa Agar yang berisi biakan Pityrospo ru m o va le yang diberi perlakuan dengan menambahkan ketokonazol 1% didapatkan hasil adanya zona bening pada 10 media. Efektivitas ketokonazol 1% pada penelitian ini mempunyai nilai rata rata daya hambat 5,125 cm, nilai daya hambat terbesar 5,65 cm , dan nilai daya hambat terkecil 4,5 cm ; (2) 10 cawan petri media Sabouraud Dekstrosa Agar yang berisi biakan Pityrospo ru m o va le yang diberi perlakuan dengan menambahkan zinc pyrithione 1% didapatkan hasil adanya zona bening pada 10 media. Efektivitas zinc pyrithione 1% pada penelitian ini mempunyai nilai rata rata daya hambat 3,96 cm, nilai daya hambat terbesar 4,65 cm, dan nilai daya hambat terkecil 3,15 cm ; (3) 10 cawan petri media Sabouraud Dekstrosa Agar yang berisi biakan Pityro sporum o va le yang diberi perlakuan dengan menambahkan akuades steril sebagai kontrol negatif didapatkan hasil tidak terbentuk zona bening. Hal tersebut menunjukkan bahwa Pityrospo ru m ovale dapat hidup pada media Sabouraud Dekstrosa Agar yang dibuat pada penelitian ini dan efektivitas antijamur yang digunakan pada penelitian ini merupakan kekuatan dari efektivitas dari antijamur tersebut.


(16)

Hasil dari nilai rata rata daya hambat ketokonazol 1% 5,125 cm dan zinc pyrithione 1% 3,96 cm didapatkan perbedaan rata rata 1,165 cm. Hal ini juga dibuktikan melalui uji t tidak berpasangan. Pada Tabel 6, dengan perbedaan rerata (mea n differen ce) sebesar 1,16500 dan didapatkan hasil signifikasi (28ta iled) adalah 0,000. Karena nilai p < 0,05 (signifikasi 28tailed 0,000) maka dapat diambil kesimpulan “ada perbedaan antara ketokonazol 1% dengan zinc pyrithione 1% secara in vitro terhadap pertumbuhan Pityro sporum o va le” (Dahlan, 2009). Pada hasil yang didapatkan, diketahui bahwa ketokonazol 1% mempunyai daya hambat yang lebih besar dibanding dengan zinc pyrithione 1%.

Metode pengujian antijam ur yang digunakan pada penelitian ini adalah metode difusi. Metode ini dapat dilakukan dengan menggunakan cakram disk atau sumuran yang kedalamnya dimasukkan antimikroba atau antijamur dan ditempatkan pada media padat yang telah diinokulasikan dengan bakteri atau jamur indikator. P ada media tersebut setelah diinkubasi akan terlihat daerah zona bening atau zona hambat di sekitar sumuran atau cakram disk. Diameter zona hambatan tersebut merupakan ukuran kekuatan hambatan dari substansi antimikroba atau antijamur. Lebarnya zona hambat yang terbentuk ditentukan oleh konsentrasi senyawa efektif yang digunakan. Metode ini merupakan dasar pengujian kuantitatif karena mengukur zona hambat yang didapatkan dan senyawa tersebut bisa bebas berdifusi ke seluruh media. Zona hambat (k illing zon e) tampak sebagai daerah yang tidak memperlihatkan pertumbuhan kuman disekitar cakram d isk atau sum uran. Z ona hambat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya penyerapan obat kedalam agar dan kepekaan kuman terhadap obat tersebut (Harmita dkk., 2008).

Ukuran atau diameter zona hambat dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain : kepadatan atau viskositas dari media biakan, kecepatan difusi suatu obat, konsentrasi suatu obat pada sumuran, sensitivitas organisme terhadap suatu obat, dan interaksi obat dengan media (Harmita dkk., 2008). P ada penelitian ini disekitar zona bening dari biakan Pityro sporum o va le dalam sumuran Sabouraud Dekstrosa Agar yang diberi perlakuan dengan menambahkan ketokonazol 1% masih terdapat koloni Pityro sporum o va le (titik putih) yang bisa dikarenakan terdapat salah satu faktor diatas dan tidak meratanya difusi ketokonazol 1% pada media Sabouraud Dekstrosa A gar karena pembuatan media yang kurang homogen. Struktur kimia yang berbeda juga akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa senyawa tersebut terhadap pemanasan, logam berat, udara, cahaya, dan derajat keasaman (Katzung, 2004). Pada zinc pyrithione 1% zona bening yang terbentuk bersih dikarenakan obat berdifusi secara merata pada media Sabouraud Dekstrosa Agar.

Ketokonazol merupakan anti jamur topikal bekerja dengan cara menghambat pembentukan 1 48α8sterol demeth ylase, suatu enzim Cytochrome P450 (CYP) sebagai katalis oksidator yang sangat diperlukan untuk sintesis ergosterol. Sehingga mengganggu biosintesis ergosterol membran sitoplasma jam ur yang merupakan sterol utama untuk 38


(17)

mempertahankan integritas membran sel jam ur dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan dinding membran sel jamur. Penurunan jumlah ergosterol akan mempengaruhi permeabilitas membran menjadi tidak sesuai untuk hidup dan pertumbuhan sel jamur. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas dinding sel jam ur sehingga berakibat pada hilangnya material intraseluler esensial pada jamur dan hambatan pertumbuhan. M ekanisme ini yang mengakibatkan efek pertumbuhan jamur terhambat. Dari mekanisme ini ketokonazol dianggap sebagai agen antimikroba (Phillips et al., 2002).

Aksi kerja zinc pyrithione sebagai anti jamur yang bersifat fungistatik tidak diketahui secara pasti. Zinc pyrithione merupakan penghambat transpor membran jamur. Dari berbagai macam dugaan mekanisme kerja belum ditemukan aksi kerja utama zinc pyrithione. Z inc pyrithione digunakan sebagai bahan aktif sampo anti ketombe, efek zinc pyrithione pada kulit kepala berketombe adalah menormalkan keratinisasi, mengurangi produksi sebum karena dengan pemakaian sampo akan menurunkan kadar lipid permukaan kulit kepala yang merupakan habitat atau tempat bersarang jamur sehingga dapat mengurangi jumlah organisme Pityrospo ru m ovale dan zinc pyrithione dianggap sebagai agen keratinolitik (Schwartz et al., 2011).

Dalam penelitian Pierard et a l., 2003 (in vivo) dilakukan secara acak untuk membandingkan efektivitas sampo ketokonazol 2% dengan sampo zinc pyrithione 1%, diperoleh data statistik secara signifikan menunjukkan bahwa ketokonazol lebih efektif dengan subyek menunjukkan 73% perbaikan dan sampo zinc pyrithione 1% dengan subyek menunjukkan 67% perbaikan.

Pemberian sediaan ketokonazol secara topikal dapat ditoleransi dengan baik sedangkan efek samping yang tidak diinginkan jarang terjadi. Keberadaan ketokonazol di keratin stratum komeum kulit hanya dapat tereliminasi oleh pergantian korneosit stratum komeum. Hal ini diduga sebagai penyebab ketokonazol dalam hal rendahnya angka kekambuhan akibat rekolonisasi Pityro sporu m ovale di kulit kepala (Pierrard et a l., 2002) sedangkan sediaan zinc pyrithione yang setelah pengolesan sampo pada kulit kepala, partikel zinc pyrithione akan dideposisikan di kulit kepala dan tidak hilang hanya dengan dibilas dengan air akan tetapi secara bertahap akan berkurang jumlahnya sampai dua atau tiga hari setelah pengolesan. Deposisi zinc pyrithione tergantung pada konsentrasi sampo, lama kontak dengan kulit, pH sampo dan asal deterjen pada form ulasi sampo (Loden et a l., 2002).

Terapi antijam ur topikal untuk Pity rospo ru m o va le memberikan respon baik, akan tetapi sangat m ungkin terjadi kekambuhan karena perubahan siklus hidup mikroorganisme dan juga dipengaruhi oleh faktor endogen pejamu. Terapi topikal dapat menghilangkan rasa gatal atau reaksi peradangan dan mengurangi populasi P ityro sp orum o va le, selain itu juga menjadi pilihan karena harganya relatif lebih murah, mudah didapat, dan efek sampingnya juga kecil (Gupta et al., 2002).


(18)

$

$ 85 ,

1. Terdapat perbedaan efektivitas yang signifikan (p < 0,05) antara ketokonazol 1% dengan zinc pyrithione 1% secara in vitro terhadap pertumbuhan Pityrosp orum o va le.

2. Ketokonazol 1% mempunyai daya hambat yang lebih besar dibanding dengan zinc pyrithione 1% terhadap pertumbuhan Pity ro sporum o vale.

$ ,7,

1. P erlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari konsentrasi kadar hambat minimum dari ketokonazol dan zinc pyrithione dalam menghambat pertumbuhan Pityrospo ru m ovale.

2. P erlu dilakukan penelitian dengan menggunakan bahan aktif murni (bukan sampo) dari ketokonazol dan zinc pyrithione dalam menghambat pertumbuhan Pityrospo ru m ovale.

3. Diharapkan adanya penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas ketokonazol dan zinc pyrithione pada ketombe secara in vivo.


(19)

Bergbrant, I. M. 1995. S eborrhoeic dermatitis and Pityrospo ru m yea sts. Department of Dermatology, University of Gothenburg, Sahlgrenska Hospital, Gotborg, Sweden.

Brooks, G. F., Butel, J. S., Morse, S. A. 2007. Mik robio logi kedokteran. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Brown, R. G., Burns, T. 2007. Lectu re Notes on Derma to log y Ed isi Kesembilan. Jakarta : Erlangga.

Burns, T., Breathnach, S., Cox, N., Griffiths, C. 2010. Rook ’s Textbook of Dematology. Oxford : Blackwell Scientific publications.

Cafarchia, C., Gasser, R. B., Figueredo, L. A., Latrofa, M. S., Otranto, D. 2011. Advances in the identification of Mala ssezia. Mol Cell Probes. 2011 Feb;25(1):1 7. E pub 2010 Dec 28. Dipartim ento di Sanità Pubblica e Zootecnia, Facoltà di Medicina Veterinaria, Università di Bari, Str. prov. le per Casamassima Km 3, 70010 Valenzano, Bari, Italy.

Dahlan, M. S. 2009. S ta tistik un tuk Kedok teran dan Keseha tan. Jakarta : Salemba Medika. Hal 85.

Dawson, T. L. 2007. M alassezia g lobosa dan restricta : Terobosan Pemahaman tentang Etiologi dan Pengoba tan Keto mb e dan Sebo rrheic Dermatitis mela lu i Whole8Genome Analisis. Jurnal P rosiding S imposium Dermatologi Investigasi (2007) 12, 15 19. The Procter & Gamble Company, C incinnati, Ohio, Amerika Serikat.

Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2005. Ilmu Penyakit Kulit d an Kelamin. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Gupta, A. K., Bluhm, R., Summerbel, R. 2002. Pityriasis versico lor. J Eur Acad Dermatol.

Grimalt, R. 2007. Panduan Praktis untuk Gangguan Scalp. Ju rnal Pro sid ing Simposiu m Dermatolog i Investiga si (2007) 12, 10 14. Departemen Dermatology, University of Barcelona, Barcelona, Spanyol.

Harmita., Radji, M. 2008. Ana lisis Ha ya ti. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 651 652. Hal 7 9.

Harrison, S., Bergfeld, W. F. 2009. Disea ses o f the ha ir and na ils. Department of Dermatology, Cleveland Clinic Foundation, 9500 Euclid Avenue/A61, Cleveland, OH 44195, USA.

Indranarum, T., Suyoso, S. 2001. Pen ata laksanaan Tin ea Kap itis. Berkala Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin vol.13 No. 1 April 2001. Hal 30 35.

Katzung, B. G. 2004. Ba sic & Clin ical Pharmaco logy. Singapore : T he M cGraw Hill Companies. Hal 656.

Kaur, I. P., Kakkar, S. 2010. To pical d elivery of antifunga l agents. University Institute of Pharmaceutical Sciences, Panjab University, Chandigarh, India. Kerr, K., Darcy, T., Henry, J., Mizoguchi, H., Schwartz, J. R., Morrall, S., F illoon, T., Wimalasena, R., Fadayel, G., Mills, K. J. 2011. Epidermal changes asso cia ted with symp toma tic reso lu tion of dand ruff: biomarkers of scalp health. Int J Dermatol.

42


(20)

Lamore, S. D., Wondrak, G. T. 2011. Zinc p yrith ion e impa irs zinc homeo sta sis and up regu lates stress response g en e expression in recon structed human ep id ermis. Department of Pharmacology and Toxicology, College of Pharmacy and Arizona Cancer Center, University of Arizona, 1515 North Campbell Avenue, Tucson, AZ, 85724, USA.

Loden, M., Wessman, C. 2000. Th e antidandruff effica cy o f a shampoo conta in ing piro ctone o la mine and sa lycilic acid in comparison to that o f a zin c pyrithion e sha mpoo. Int J Cosmetic.

Miranda, K. C., de Araujo, C. R., Costa, C. R., P assos, X. S., de Fatima, L. F. O., do Rosario, R., S ilva, M. 2007. An tifungal a ctivities o f azole agents against th e Ma la ssezia species. Int J Antimicrob Agents;29:281 4.

Murti, B. 2010. Desain dan Ukuran Sa mpel untuk Pen elitia n Kuan titatif dan Kua lita tif d i Bidang Kesehatan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Hal 131 132.

Nematian, J., Ravaghi, M., Gholamrezanezhad, A., Nematian, E. 2006. In crea sed ha ir sh edding may be asso cia ted with the presen ce of Pityrospo ru m ovale. Am J Clin Dermatol. 2006;7(4):263 6. Department of Mycology, Faculty of Medicine, Azad University of Medical Sciences, Tehran, Iran.

Phillips, R. M., Rosen, T. 2002. Topical an tifunga l agents. In : Wolverton E. S, editor. Comprehensive dermatology drug therapy. Indianapolis, Indiana : W. B Saunders C ompany.

Pierard, F. C., Uhoda, E., Loussouarn, G., Saint, L. D., P ierrad, G. E. 2003. Effect of residan ce time on the efficacy of antidand ru ff sha mpoos. Int J Cosmetic. Pray, W. S. 2001. Dand ruff and S eborrheic Derma titis. Didapat dari :

http://www.medscape.com/viewarticle/407641.

Ranganathan, S., Mukhopadhyay, T. 2010. Dandru ff: the most commercia lly exploited skin d isease. CavinKare Research Centre, No.12 Poonamallee Road, Ekkattuthangal, C hennai 600 097, India. Indian J Dermatol. 2010 Apr Jun;55(2):130 4.

Schmidt, R. T., Braren, S., F olster, H., Hillemann, T., Oltrogge, B., P hilipp, P., Weets, G., Fey, S. 2011. Efficacy of a p iro cton e ola mine/climba zo l shampoo in compa rison with a zinc p yrithion e shampoo in subjects with mod erate to severe dandruff. Research & Development, Beiersdorf AG, Unnastrasse 48, 20245 Hamburg, Germany.

Schwartz, J. R., Shah, R., Krigbaum, H., Sacha, J., Vog,t A., B lume, P . U. 2011. New insigh ts on d andruff/sebo rrho eic d erma titis: th e ro le of the scalp fo llicular in fund ibu lu m in effective treatment stra teg ies. Br J Dermatol. 2011 Oct;165 Suppl 2:18 23. doi: 10.1111/j.1365 2133.2011.10573.x. ! -! < $ *' ' $ Sebo rrh eic Dermatitis. Department of Dermatology, Eastern

Virginia Medical School.

Setiabudy, R., Bahry, B. 2008. Fa rmako log i dan Terap i. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal 574 575.

Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia da ri Sel k e S istem. Jakarta : P enerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 402 404.

Siregar, R. S. 2005. Atlas Berwa rna Sa ripati Pen yakit Kulit. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran E GC. Hal 104 106.


(21)

Stoppler, M. C. 2008. Dandruff. Didapat dari :

http://www.emedicinehealth.com/dandruff/article_em.htm

Stringer, J. L. 2008. Kon sep Da sa r Fa rmakologi : Paduan Un tuk Maha siswa (Basic Concep ts in Pha rmacology : a Student’s Su rviva l Guide). Jakarta : EGC. Hal 211 216.

Subakir. 1992. Pengaruh Suhu Peng eraman pada Biakan Ma lassezia furfur. Cermin D unia Kedokteran.

Taufiqurrahman, M. A. 2008. Pengan tar Metodolog i Penelitian untuk Ilmu Keseha tan. Surakarta : LPP UNS dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press). Hal 99 109.

Tjay, T. H., Rahardja, K. 2002. Obat8oba t p en ting: khasiat, p enggunaan dan efek8 efek sampingnya. Jakarta : Penerbit PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Hal 95.

Wahyuli, H. N., Cuta, R. S. P . 2006. Kero ntokan Rambu t. Surabaya : Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelam in FK UNAIR/RSU dr. Soetomo.


(1)

Hasil dari nilai rata rata daya hambat ketokonazol 1% 5,125 cm dan zinc pyrithione 1% 3,96 cm didapatkan perbedaan rata rata 1,165 cm. Hal ini juga dibuktikan melalui uji t tidak berpasangan. Pada Tabel 6, dengan perbedaan rerata (mea n differen ce) sebesar 1,16500 dan didapatkan hasil signifikasi (28ta iled) adalah 0,000. Karena nilai p < 0,05 (signifikasi 28tailed 0,000) maka dapat diambil kesimpulan “ada perbedaan antara ketokonazol 1% dengan zinc pyrithione 1% secara in vitro terhadap pertumbuhan Pityro sporum o va le” (Dahlan, 2009). Pada hasil yang didapatkan, diketahui bahwa ketokonazol 1% mempunyai daya hambat yang lebih besar dibanding dengan zinc pyrithione 1%.

Metode pengujian antijam ur yang digunakan pada penelitian ini adalah metode difusi. Metode ini dapat dilakukan dengan menggunakan cakram disk atau sumuran yang kedalamnya dimasukkan antimikroba atau antijamur dan ditempatkan pada media padat yang telah diinokulasikan dengan bakteri atau jamur indikator. P ada media tersebut setelah diinkubasi akan terlihat daerah zona bening atau zona hambat di sekitar sumuran atau cakram disk. Diameter zona hambatan tersebut merupakan ukuran kekuatan hambatan dari substansi antimikroba atau antijamur. Lebarnya zona hambat yang terbentuk ditentukan oleh konsentrasi senyawa efektif yang digunakan. Metode ini merupakan dasar pengujian kuantitatif karena mengukur zona hambat yang didapatkan dan senyawa tersebut bisa bebas berdifusi ke seluruh media. Zona hambat (k illing zon e) tampak sebagai daerah yang tidak memperlihatkan pertumbuhan kuman disekitar cakram d isk atau sum uran. Z ona hambat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya penyerapan obat kedalam agar dan kepekaan kuman terhadap obat tersebut (Harmita dkk., 2008).

Ukuran atau diameter zona hambat dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain : kepadatan atau viskositas dari media biakan, kecepatan difusi suatu obat, konsentrasi suatu obat pada sumuran, sensitivitas organisme terhadap suatu obat, dan interaksi obat dengan media (Harmita dkk., 2008). P ada penelitian ini disekitar zona bening dari biakan Pityro sporum o va le dalam sumuran Sabouraud Dekstrosa Agar yang diberi perlakuan dengan menambahkan ketokonazol 1% masih terdapat koloni Pityro sporum o va le (titik putih) yang bisa dikarenakan terdapat salah satu faktor diatas dan tidak meratanya difusi ketokonazol 1% pada media Sabouraud Dekstrosa A gar karena pembuatan media yang kurang homogen. Struktur kimia yang berbeda juga akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa senyawa tersebut terhadap pemanasan, logam berat, udara, cahaya, dan derajat keasaman (Katzung, 2004). Pada zinc pyrithione 1% zona bening yang terbentuk bersih dikarenakan obat berdifusi secara merata pada media Sabouraud Dekstrosa Agar.

Ketokonazol merupakan anti jamur topikal bekerja dengan cara menghambat pembentukan 1 48α8sterol demeth ylase, suatu enzim Cytochrome P450 (CYP) sebagai katalis oksidator yang sangat diperlukan untuk sintesis ergosterol. Sehingga mengganggu biosintesis ergosterol membran sitoplasma jam ur yang merupakan sterol utama untuk 38


(2)

mempertahankan integritas membran sel jam ur dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan dinding membran sel jamur. Penurunan jumlah ergosterol akan mempengaruhi permeabilitas membran menjadi tidak sesuai untuk hidup dan pertumbuhan sel jamur. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas dinding sel jam ur sehingga berakibat pada hilangnya material intraseluler esensial pada jamur dan hambatan pertumbuhan. M ekanisme ini yang mengakibatkan efek pertumbuhan jamur terhambat. Dari mekanisme ini ketokonazol dianggap sebagai agen antimikroba (Phillips et al., 2002).

Aksi kerja zinc pyrithione sebagai anti jamur yang bersifat fungistatik tidak diketahui secara pasti. Zinc pyrithione merupakan penghambat transpor membran jamur. Dari berbagai macam dugaan mekanisme kerja belum ditemukan aksi kerja utama zinc pyrithione. Z inc pyrithione digunakan sebagai bahan aktif sampo anti ketombe, efek zinc pyrithione pada kulit kepala berketombe adalah menormalkan keratinisasi, mengurangi produksi sebum karena dengan pemakaian sampo akan menurunkan kadar lipid permukaan kulit kepala yang merupakan habitat atau tempat bersarang jamur sehingga dapat mengurangi jumlah organisme Pityrospo ru m ovale dan zinc pyrithione dianggap sebagai agen keratinolitik (Schwartz et al., 2011).

Dalam penelitian Pierard et a l., 2003 (in vivo) dilakukan secara acak untuk membandingkan efektivitas sampo ketokonazol 2% dengan sampo zinc pyrithione 1%, diperoleh data statistik secara signifikan menunjukkan bahwa ketokonazol lebih efektif dengan subyek menunjukkan 73% perbaikan dan sampo zinc pyrithione 1% dengan subyek menunjukkan 67% perbaikan.

Pemberian sediaan ketokonazol secara topikal dapat ditoleransi dengan baik sedangkan efek samping yang tidak diinginkan jarang terjadi. Keberadaan ketokonazol di keratin stratum komeum kulit hanya dapat tereliminasi oleh pergantian korneosit stratum komeum. Hal ini diduga sebagai penyebab ketokonazol dalam hal rendahnya angka kekambuhan akibat rekolonisasi Pityro sporu m ovale di kulit kepala (Pierrard et a l., 2002) sedangkan sediaan zinc pyrithione yang setelah pengolesan sampo pada kulit kepala, partikel zinc pyrithione akan dideposisikan di kulit kepala dan tidak hilang hanya dengan dibilas dengan air akan tetapi secara bertahap akan berkurang jumlahnya sampai dua atau tiga hari setelah pengolesan. Deposisi zinc pyrithione tergantung pada konsentrasi sampo, lama kontak dengan kulit, pH sampo dan asal deterjen pada form ulasi sampo (Loden et a l., 2002).

Terapi antijam ur topikal untuk Pity rospo ru m o va le memberikan respon baik, akan tetapi sangat m ungkin terjadi kekambuhan karena perubahan siklus hidup mikroorganisme dan juga dipengaruhi oleh faktor endogen pejamu. Terapi topikal dapat menghilangkan rasa gatal atau reaksi peradangan dan mengurangi populasi P ityro sp orum o va le, selain itu juga menjadi pilihan karena harganya relatif lebih murah, mudah didapat, dan efek sampingnya juga kecil (Gupta et al., 2002).


(3)

17

$

$ 85 ,

1. Terdapat perbedaan efektivitas yang signifikan (p < 0,05) antara ketokonazol 1% dengan zinc pyrithione 1% secara in vitro terhadap pertumbuhan Pityrosp orum o va le.

2. Ketokonazol 1% mempunyai daya hambat yang lebih besar dibanding dengan zinc pyrithione 1% terhadap pertumbuhan Pity ro sporum o vale.

$ ,7,

1. P erlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari konsentrasi kadar hambat minimum dari ketokonazol dan zinc pyrithione dalam menghambat pertumbuhan Pityrospo ru m ovale.

2. P erlu dilakukan penelitian dengan menggunakan bahan aktif murni (bukan sampo) dari ketokonazol dan zinc pyrithione dalam menghambat pertumbuhan Pityrospo ru m ovale.

3. Diharapkan adanya penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas ketokonazol dan zinc pyrithione pada ketombe secara in vivo.


(4)

Bergbrant, I. M. 1995. S eborrhoeic dermatitis and Pityrospo ru m yea sts. Department of Dermatology, University of Gothenburg, Sahlgrenska Hospital, Gotborg, Sweden.

Brooks, G. F., Butel, J. S., Morse, S. A. 2007. Mik robio logi kedokteran. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Brown, R. G., Burns, T. 2007. Lectu re Notes on Derma to log y Ed isi Kesembilan. Jakarta : Erlangga.

Burns, T., Breathnach, S., Cox, N., Griffiths, C. 2010. Rook ’s Textbook of Dematology. Oxford : Blackwell Scientific publications.

Cafarchia, C., Gasser, R. B., Figueredo, L. A., Latrofa, M. S., Otranto, D. 2011. Advances in the identification of Mala ssezia. Mol Cell Probes. 2011 Feb;25(1):1 7. E pub 2010 Dec 28. Dipartim ento di Sanità Pubblica e Zootecnia, Facoltà di Medicina Veterinaria, Università di Bari, Str. prov. le per Casamassima Km 3, 70010 Valenzano, Bari, Italy.

Dahlan, M. S. 2009. S ta tistik un tuk Kedok teran dan Keseha tan. Jakarta : Salemba Medika. Hal 85.

Dawson, T. L. 2007. M alassezia g lobosa dan restricta : Terobosan Pemahaman tentang Etiologi dan Pengoba tan Keto mb e dan Sebo rrheic Dermatitis mela lu i Whole8Genome Analisis. Jurnal P rosiding S imposium Dermatologi Investigasi (2007) 12, 15 19. The Procter & Gamble Company, C incinnati, Ohio, Amerika Serikat.

Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2005. Ilmu Penyakit Kulit d an Kelamin. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Gupta, A. K., Bluhm, R., Summerbel, R. 2002. Pityriasis versico lor. J Eur Acad Dermatol.

Grimalt, R. 2007. Panduan Praktis untuk Gangguan Scalp. Ju rnal Pro sid ing Simposiu m Dermatolog i Investiga si (2007) 12, 10 14. Departemen Dermatology, University of Barcelona, Barcelona, Spanyol.

Harmita., Radji, M. 2008. Ana lisis Ha ya ti. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 651 652. Hal 7 9.

Harrison, S., Bergfeld, W. F. 2009. Disea ses o f the ha ir and na ils. Department of Dermatology, Cleveland Clinic Foundation, 9500 Euclid Avenue/A61, Cleveland, OH 44195, USA.

Indranarum, T., Suyoso, S. 2001. Pen ata laksanaan Tin ea Kap itis. Berkala Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin vol.13 No. 1 April 2001. Hal 30 35.

Katzung, B. G. 2004. Ba sic & Clin ical Pharmaco logy. Singapore : T he M cGraw Hill Companies. Hal 656.

Kaur, I. P., Kakkar, S. 2010. To pical d elivery of antifunga l agents. University Institute of Pharmaceutical Sciences, Panjab University, Chandigarh, India. Kerr, K., Darcy, T., Henry, J., Mizoguchi, H., Schwartz, J. R., Morrall, S., F illoon, T., Wimalasena, R., Fadayel, G., Mills, K. J. 2011. Epidermal changes asso cia ted with symp toma tic reso lu tion of dand ruff: biomarkers of scalp health. Int J Dermatol.

42


(5)

Lamore, S. D., Wondrak, G. T. 2011. Zinc p yrith ion e impa irs zinc homeo sta sis and up regu lates stress response g en e expression in recon structed human ep id ermis. Department of Pharmacology and Toxicology, College of Pharmacy and Arizona Cancer Center, University of Arizona, 1515 North Campbell Avenue, Tucson, AZ, 85724, USA.

Loden, M., Wessman, C. 2000. Th e antidandruff effica cy o f a shampoo conta in ing piro ctone o la mine and sa lycilic acid in comparison to that o f a zin c pyrithion e sha mpoo. Int J Cosmetic.

Miranda, K. C., de Araujo, C. R., Costa, C. R., P assos, X. S., de Fatima, L. F. O., do Rosario, R., S ilva, M. 2007. An tifungal a ctivities o f azole agents against th e Ma la ssezia species. Int J Antimicrob Agents;29:281 4.

Murti, B. 2010. Desain dan Ukuran Sa mpel untuk Pen elitia n Kuan titatif dan Kua lita tif d i Bidang Kesehatan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Hal 131 132.

Nematian, J., Ravaghi, M., Gholamrezanezhad, A., Nematian, E. 2006. In crea sed ha ir sh edding may be asso cia ted with the presen ce of Pityrospo ru m ovale. Am J Clin Dermatol. 2006;7(4):263 6. Department of Mycology, Faculty of Medicine, Azad University of Medical Sciences, Tehran, Iran.

Phillips, R. M., Rosen, T. 2002. Topical an tifunga l agents. In : Wolverton E. S, editor. Comprehensive dermatology drug therapy. Indianapolis, Indiana : W. B Saunders C ompany.

Pierard, F. C., Uhoda, E., Loussouarn, G., Saint, L. D., P ierrad, G. E. 2003. Effect of residan ce time on the efficacy of antidand ru ff sha mpoos. Int J Cosmetic. Pray, W. S. 2001. Dand ruff and S eborrheic Derma titis. Didapat dari :

http://www.medscape.com/viewarticle/407641.

Ranganathan, S., Mukhopadhyay, T. 2010. Dandru ff: the most commercia lly exploited skin d isease. CavinKare Research Centre, No.12 Poonamallee Road, Ekkattuthangal, C hennai 600 097, India. Indian J Dermatol. 2010 Apr Jun;55(2):130 4.

Schmidt, R. T., Braren, S., F olster, H., Hillemann, T., Oltrogge, B., P hilipp, P., Weets, G., Fey, S. 2011. Efficacy of a p iro cton e ola mine/climba zo l shampoo in compa rison with a zinc p yrithion e shampoo in subjects with mod erate to severe dandruff. Research & Development, Beiersdorf AG, Unnastrasse 48, 20245 Hamburg, Germany.

Schwartz, J. R., Shah, R., Krigbaum, H., Sacha, J., Vog,t A., B lume, P . U. 2011. New insigh ts on d andruff/sebo rrho eic d erma titis: th e ro le of the scalp fo llicular in fund ibu lu m in effective treatment stra teg ies. Br J Dermatol. 2011 Oct;165 Suppl 2:18 23. doi: 10.1111/j.1365 2133.2011.10573.x. ! -! < $ *' ' $ Sebo rrh eic Dermatitis. Department of Dermatology, Eastern

Virginia Medical School.

Setiabudy, R., Bahry, B. 2008. Fa rmako log i dan Terap i. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal 574 575.

Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia da ri Sel k e S istem. Jakarta : P enerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 402 404.

Siregar, R. S. 2005. Atlas Berwa rna Sa ripati Pen yakit Kulit. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran E GC. Hal 104 106.


(6)

Stoppler, M. C. 2008. Dandruff. Didapat dari :

http://www.emedicinehealth.com/dandruff/article_em.htm

Stringer, J. L. 2008. Kon sep Da sa r Fa rmakologi : Paduan Un tuk Maha siswa (Basic Concep ts in Pha rmacology : a Student’s Su rviva l Guide). Jakarta : EGC. Hal 211 216.

Subakir. 1992. Pengaruh Suhu Peng eraman pada Biakan Ma lassezia furfur. Cermin D unia Kedokteran.

Taufiqurrahman, M. A. 2008. Pengan tar Metodolog i Penelitian untuk Ilmu Keseha tan. Surakarta : LPP UNS dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press). Hal 99 109.

Tjay, T. H., Rahardja, K. 2002. Obat8oba t p en ting: khasiat, p enggunaan dan efek8 efek sampingnya. Jakarta : Penerbit PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Hal 95.

Wahyuli, H. N., Cuta, R. S. P . 2006. Kero ntokan Rambu t. Surabaya : Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelam in FK UNAIR/RSU dr. Soetomo.


Dokumen yang terkait

Seleksi In Vitro Untuk Toleransi Terhadap Cekaman Aluminium Pada Dua Varietas Tomat (Lycopersicon esculentum Mill..)

6 86 78

AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN ALAMANDA (Allamanda cathartica L.) SEBAGAI ANTIJAMUR TERHADAP Candida albicans DAN Pityrosporum ovale SECARA IN VITRO.

0 15 15

`PERBANDINGAN EFEKTIVITAS LARUTAN MADU 90% DENGAN KETOCONAZOLE 1 % SECARA IN VITRO TERHADAP Perbandingan Efektivitas Larutan Madu 90% Dengan Ketoconazole 1% Secara In Vitro Terhadap Pertumbuhan Pityrosporum ovale.

0 2 15

DAFTAR PUSTAKA Perbandingan Efektivitas Larutan Madu 90% Dengan Ketoconazole 1% Secara In Vitro Terhadap Pertumbuhan Pityrosporum ovale.

0 4 5

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS LARUTAN MADU 90 % DENGAN K ETOCONAZOLE 1 % SECARA IN VITRO TERHADAP Perbandingan Efektivitas Larutan Madu 90% Dengan Ketoconazole 1% Secara In Vitro Terhadap Pertumbuhan Pityrosporum ovale.

0 6 19

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS EKSTRAK MENGKUDU (Morinda Perbandingan Efektivitas Ekstrak Mengkudu (Morinda Citrifolia) Dengan Ketoconazole 2% Secara In Vitro Terhadap Pertumbuhan Candida Albicans.

0 3 14

UJI BANDING EFEKTIVITAS KETO CONAZOLE 1% DENGAN ZINC PYRITHIONE 1% SECARA IN VITRO TERHADAP Uji Banding Efektivitas Ketoconazole 1% Dengan Zinc Pyrithione 1% Secara In Vitro Terhadap Pertumbuhan Pityrosporum Ovale.

0 1 15

PENDAHULUAN Uji Banding Efektivitas Ketoconazole 1% Dengan Zinc Pyrithione 1% Secara In Vitro Terhadap Pertumbuhan Pityrosporum Ovale.

0 1 4

DAFTAR PUSTAKA Uji Banding Efektivitas Ketoconazole 1% Dengan Zinc Pyrithione 1% Secara In Vitro Terhadap Pertumbuhan Pityrosporum Ovale.

0 2 4

UJI BANDING EFEKTIVITAS VIRGIN COCONUT OIL DENGAN KETOKONAZOL 2% SECARA IN VITRO TERHADAP PERTUMBUHAN Candida albicans - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 1 14