T1 802007067 Full text

HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN SIKAP
TERHADAP PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA
SMK NEGERI 1 SALATIGA

MARKELINA SUWARNO PUTRI
802007067

Pembimbing I
Berta Esti A. P., S.Psi., MA

Pembimbing II
Ratriana Y.E.K. M.Si, Psi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy dengan sikap

terhadap perilaku menyontek pada siswa SMK N 1 salatiga. self-efficacy merupakan
keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuannya dalam melaksanakan
dan menyelesaikan tugas-tugas akademik yang dihadapi, sehingga mampu mengatasi
rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkan dengan mendapatkan nilai yang
memuaskan. Sedangkan menyontek adalah tindak kecurangan dalam tes melalui
pemanfaatan informasi yang berasal dari luar secara tidak sah. Tingkat perilaku
menyontek antar individu berbeda, dapat bervariasi dari yang selalu menyontek
sampai kadang-kadang menyontek. Dalam penelitian ini menggunakan sampel acak
dengan subjek penelitian 99 siswa siswi SMK N 1 Salatiga. Variabel menyontek diukur
dengan menggunakan skala likert yang disusun berdasarkan bentuk –bentuk menyontek
menurut Klausmeier, dan variabel self efficacy disusun berdasarkan aspek-aspek self
efficacy menurut Bandura. Analisis data menggunakan Karl Pearson’s Product Moment
didapatkan hasil perhitungan korelasi dengan nilai r = -0,006 dan nilai p = 0,954 lebih besar
dari 0,05. hasil ini menunjukkan tidak ada hubungan antara self-efficacy dengan sikap terhadap
perilaku menyontek pada siswa SMK N 1 Salatiga.
Kata Kunci : self efficacy, menyontek

ABSTRACT

This study aimed to determine the relationship between self-efficacy with attitudes toward

cheating behavior on students SMK N 1 salatiga. self-efficacy is the belief or confidence in
the ability of individuals to carry out and complete the academic tasks facing, so as to
overcome obstacles and achieve the expected goals by obtaining satisfactory value. While
cheating is fraud in the test through the use of information derived from outside illegally.
The level of cheating behavior among different individuals, may vary from that always
cheat to cheat sometimes. In this study using a random sample of 99 research subjects
students of SMK N 1 Salatiga. Cheat variables measured using a Likert scale which is
based on the shape-shape cheated by Klausmeier, and self efficacy variable is based on the
aspects according to Bandura's self-efficacy. Analysis of data using Karl Pearson's
product moment correlation calculation results obtained with r = -0.006 and p = 0.954
greater than 0.05. The results showed no relationship between self-efficacy with attitudes
toward cheating behavior in students of SMK N 1 Salatiga.

Keywords : self-efficacy, cheating

PENDAHULUAN
Untuk mencapai tujuan pendidikan di Indonesia, pemerintah tidak henti-hentinya
memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia. Arifin (2004) mengungkapkan, salah satu
upaya untuk mendongkrak mutu pendidikan nasional ke arah yang lebih baik adalah
dengan cara membenahi sistem ujian sekaligus standar minimum kelulusan. Standar

tersebut dibuat untuk menyeragamkan standar kelulusan di seluruh tanah air dari empat
bidang studi yang diujikan. Hal ini penting, mengingat standar itu sangat dibutuhkan
karena berkaitan dengan mutu pendidikan di Indonesia.
Standar kelulusan memang harus ditentukan, namun demikian standar kelulusan ini
seringkali menimbulkan kecemasan bukan saja diantara para peserta ujian, melainkan juga
pihak sekolah akan merasa cemas apabila jumlah lulusan tidak mencapai target yang
ditetapkan. Terlepas dari berbagai permasalahan yang ada, namun dapat dipastikan bahwa
seorang yang akan menghadapi tes, apapun bentuk tes itu, akan mengalami kecemasan.
Tingkat kecemasan yang terlalu tinggi mendorong munculnya keinginan untuk mengambil
jalan pintas, yaitu menyontek.
Menyontek merupakan perilaku yang dapat terjadi karena adanya pengaruh
dari dalam diri maupun karena interaksi dengan dunia luar. Sebagaimana diungkapkan oleh
Sarwono (2004), bahwa perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam
pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk
pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan reaksi individu
terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Sebagai sebuah
bentuk perilaku, menyontek merupakan hasil bentukan akibat pengamatan atau
interaksi

dengan


lingkungan.

hasil

Individu yang tertekan karena takut gagal dalam

menghadapi tes mendorong munculnya reaksi dalam bentuk perilaku menyontek.

Sujana & Wulan (1994) menyatakan bahwa menyontek adalah tindak kecurangan
dalam tes melalui pemanfaatan informasi yang berasal dari luar secara tidak sah. Tingkat
perilaku menyontek setiap individu berbeda, dapat bervariasi dari yang selalu
menyontek sampai kadang-kadang menyontek. Hal ini dipengaruhi oleh faktor yang
berbeda. Faktor tersebut berkenaan dengan bagaimana individu mempersepsikan dan
menilai

perilaku menyontek. Dengan kata lain, bagaimana sikap individu

terhadap


perilaku menyontek. Sumarman (2002) menyatakan, bahwa sikap merupakan evaluasi dari
seseorang yang dipelajari dengan mengungkapkan perasaan individu tentang suatu obyek
apakah disukai atau tidak. Jadi apabila individu menunjukkan sikap setuju terhadap
perilaku menyontek, maka ia akan menyontek. Sedangkan individu yang menunjukkan
sikap tidak setuju, maka ia tidak akan menyontek.
Banyak faktor yang mendorong timbulnya perilaku menyontek, antara lain tinggi
rendahnya self-efficacy yang dimiliki oleh setiap individu berperan penting terhadap
timbulnya perilaku menyontek. Perilaku menyontek lebih sering terjadi saat para pelajar
merasa tidak siap dan mungkin kurang percaya diri. Keadaan ini akan menimbulkan
kecemasan dan rasa takut gagal yang menunjukkan rendahnya self-efficacy (Calabrese &
Cochran dalam Anderman, dkk. 2007). Siswa yang memiliki self-efficacy tinggi memiliki
pengharapan akan memperoleh nilai yang bagus dan nilai yang memuaskan karena sudah
mempersiapkan diri sebelum ujian. Sebaliknya siswa yang memiliki self-efficacy rendah
akan merasa cemas pada saat menghadapi ujian, menunjukkan sikap yang tidak tenang
karena khawatir tidak mampu menyelesaikan soal-soal ujian, dan akhirnya memutuskan
untuk menyontek. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Aini (2010) yang
menemukan bahwa terdapat korelasi negatif dan signifikan antara academic self-efficacy

dan perilaku menyontek (cheating) mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Malang,
dengan nilai koefisien korelasi -0,415 dan nilai signifikansi 0,001.

Kecenderungan menyontek merupakan salah satu fenomena pendidikan yang sering
dan bahkan selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar mengajar sehari-hari.
Demikian pula yang terjadi di SMK Negeri 1 Salatiga. Dalam penelitian pendahuluan yang
telah dilakukan di SMK Negeri 1 Salatiga ditemukan 30 siswa menjawab “pernah” yang
terdiri dari 20 siswa menjawab “sering”, enam siswa menjawab “kadang-kadang”, empat
siswa menjawab “jarang” menyontek, dan 2 siswa tidak menjawab terhadap pertanyaan
tentang perilaku menyontek. Temuan ini menunjukkan bahwa menyontek sudah dianggap
biasa oleh siswa SMK Negeri 1 Salatiga. Mereka sudah tidak menghiraukan lagi akibat
buruk dari menyontek.
Berbagai

alasan dikemukakan siswa ketika mereka ditanya mengapa mereka

menyontek. Salah satu alasan yang mereka sebutkan adalah karena mereka tidak benarbenar memahami materi dan tidak cukup belajar, sehingga mereka merasa tidak percaya
diri akan kemampuan mereka dan takut mengalami kegagalan. Oleh karena itu, penelitian
ini diarahkan untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy dengan sikap terhadap
perilaku menyontek pada siswa SMK Negeri 1 Salatiga. Adapun rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara self-efficacy dengan sikap terhadap
perilaku menyontek pada siswa SMK Negeri 1 Salatiga. Sedangkan tujuan dilakukannya
penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara self-efficacy dengan sikap

terhadap perilaku menyontek pada siswa SMK Negeri 1 Salatiga.

A. Sikap Terhadap Perilaku Menyontek
1. Pengertian
Sikap adalah salah satu istilah bidang psikologi yang berhubungan dengan persepsi
dan tingkah laku. Istilah sikap dalam bahasa Inggris disebut attitude, yaitu suatu cara
bereaksi terhadap suatu perangsang atau suatu kecenderungan untuk bereaksi terhadap
suatu perangsang atau situasi yang dihadapi. Azwar (2007) menjelaskan, bahwa sikap
merupakan suatu respon evaluatif, yang hanya akan timbul apabila individu dihadapkan
pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti
bahwa reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi
dalam diri individu yang memberikan kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai
baik-buruk, positif-negatif, menyenangkan, tidak menyenangkan, yang kemudian
mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap. Sikap positif akan terbentuk
apabila

rangsangan yang datang pada seseorang

memberi pengalaman


yang

menyenangkan. Sebaliknya sikap negatif akan timbul, bila rangsangan yang datang
memberi pengalaman yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu, sikap merupakan
pernyataan evaluatif, baik yang

menguntungkan

maupun

tidak menguntungkan

mengenai obyek, orang, atau peristiwa. Dengan demikian, sikap adalah suatu sistem
evaluasi positif atau negatif terhadap suatu stimulus, yakni suatu kecenderungan untuk
menyetujui atau menolak.
Individu akan memiliki sikap positif terhadap perilaku apabila mempunyai
keyakinan dan penilaian yang positif terhadap hasil dari perilaku tersebut. Sebaliknya,
sikap terhadap perilaku negatif jika keyakinan dan penilaian terhadap hasil perilaku
negatif. Fishbein dan Ajzen (1975) menjelaskan, bahwa sikap terhadap perilaku yang akan
dilakukan dipengaruhi oleh keyakinan individu bahwa melakukan perilaku tertentu akan


membawa pada konsekuensi-konsekuensi tertentu dan penilaian individu terhadap
konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi pada individu. Keyakinan tentang konsekuensi
perilaku terbentuk berdasarkan pengetahuan individu tentang perilaku tersebut, yang
diperoleh dari pengalaman masa lalu dan informasi dari orang lain.
Sebagaimana dijelaskan oleh Ajzen (1991), bahwa sikap terhadap perilaku
merupakan derajat penilaian positif atau negatif terhadap perwujudan perilaku tertentu.
Individu memiliki sikap positif terhadap perilaku bila mempunyai keyakinan dan penilaian
yang positif terhadap hasil dari tindakan tersebut. Sebaliknya, sikap terhadap perilaku
negatif jika keyakinan dan penilaian terhadap hasil perilaku negatif.
Azwar (2007) mengungkapkan, bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu
proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan. Sikap yang diperoleh dari
pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap perilaku. Pengaruh langsung
tersebut akan direalisasikan apabila kondisi dan situasi memungkinkan. Apabila individu
berada dalam situasi yang betul-betul bebas dari berbagai bentuk tekanan atau hambatan
yang mengganggu ekspresi sikapnya, maka dapat diharapkan bahwa bentuk-bentuk
perilaku yang tampak merupakan ekspresi sikap yang sebenarnya.
Terbentuknya suatu perilaku, dimulai dari pemahaman informasi (stimulus) yang
positif kemudian sikap yang ditunjukkan akan sesuai dengan informasi. Selanjutnya sikap
akan menimbulkan respon berupa perilaku atau tindakan terhadap stimulus atau objek tadi.

Apabila penerimaan perilaku melalui proses yang didasari oleh sikap yang positif maka
perilaku tersebut akan berlangsung lama. Dengan demikian apabila pemahaman terhadap
menyontek adalah positif, maka perilaku menyontek akan dilakukan secara berulang-ulang
dan berlangsung lama.

Alhadza (2005) mengungkapkan, bahwa menyontek atau cheating merupakan
wujud dari suatu perilaku dan ekspresi mental seseorang yang merupakan hasil belajar
dari interaksi dengan lingkungannya. Perbuatan yang termasuk dalam kategori cheating
dalam konteks pendidikan atau sekolah antara lain meniru pekerjaan teman, bertanya
langsung pada teman ketika sedang mengerjakan tes atau ujian, menerima kiriman
jawaban dari pihak luar, mencari bocoran soal, saling tukar pekerjaan tugas dengan
teman, menyuruh atau meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas ujian
di kelas dan take home test.
Haryono, dkk.

(2001) mendefinisikan menyontek sebagai segala macam

tindakan dalam ujian atau tes untuk memperoleh nilai secara tidak sah. Sedangkan
Indarto dan Masrun (2004) mendefinisikan menyontek sebagai perbuatan curang, tidak
jujur, dan tidak legal dalam mendapatkan jawaban pada saat tes. Dengan demikian, sikap

terhadap perilaku menyontek

dapat diartikan

sebagai

keyakinan individu untuk

melakukan segala macam perbuatan tidak jujur yang dilakukan dengan sengaja untuk
mendapatkan jawaban pada saat tes dengan tujuan memperoleh nilai secara tidak sah
dengan memanfaatkan informasi dari luar.

2. Aspek Sikap
Menurut Azwar (2007), sikap memiliki 3 komponen yaitu:
a. Komponen kognitif. Komponen

kognitif

merupakan komponen

yang

berisi

kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek
sikap.
b. Komponen afektif. Komponen afektif merupakan komponen yang menyangkut masalah
emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini
disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu.

c. Komponen perilaku. Komponen perilaku atau komponen konatif dalam struktur sikap
menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri
seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Komponen perilaku sebuah
sikap berhubungan dengan kecenderungan seseorang untuk bertindak terhadap hal
tertentu dengan cara tertentu.

3. Bentuk Perilaku Menyontek
Menurut Klausmeier (1985) dalam Setyani (2007), menyontek dapat dilakukan
dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
a. Menggunakan catatan jawaban sewaktu ujian/tes.
b. Mencontoh jawaban siswa lain.
c. Memberikan jawaban yang telah selesai kepada teman.
d. Mengelak dari peraturan-peraturan ujian, baik yang tertulis dalam peraturan
ujian maupun yang ditetapkan oleh guru.

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sikap
Menurut Azwar (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap
adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa,
institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri
individu.
a. Pengalaman pribadi. Sikap akan lebih mudah terbentuk jika yang dialami seseorang
terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Situasi yang melibatkan emosi
akan menghasilkan pengalaman yang lebih mendalam dan lebih lama membekas.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting. Pada umumnya, individu cenderung untuk
memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya
penting.

c. Pengaruh Kebudayaan. Kebudayaan memberikan corak pengalaman bagi individu
dalam suatu masyarakat. Kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap individu
terhadap berbagai masalah. Kebudayaan yang berkembang dimana seseorang hidup dan
dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap.
d. Media Massa. Media massa memberikan pesan-pesan yang sugestif yang mengarahkan
opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan
kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Jika cukup kuat, pesanpesan sugestif akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga
terbentuklah arah sikap tertentu.
e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama. Pemahaman akan baik dan buruk diperoleh
dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Dalam hal seperti itu,
ajaran moral yang diperoleh dari lembaga pendidikan atau lembaga agama sering kali
menjadi determinan tunggal yang menentukan sikap.
f. Faktor Emosional. Suatu bentuk sikap terkadang didasari oleh emosi, yang berfungsi
sebagai semacam penyaluran frustrasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan
ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu
frustrasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang bertahan lama.
Adapun beberapa faktor yang dapat menjadi pendorong peserta didik untuk
melakukan tindakan menyontek, menurut Hartanto (2012) dapat dibagi menjadi dua
yaitu faktor internal dan faktor external. Faktor internal dalam perilaku menyontek
misalnya self-efficacy yang rendah, kemampuan akademik yang rendah, pengaturan
waktu, dan prokrastinasi. Faktor eksternal misalnya tekanan dari teman sebaya, tekanan
dari orang tua, peraturan sekolah yang kurang jelas, dan sikap guru yang kurang
tegas terhadap siswa yang melakukan tindakan menyontek.

Sedangkan menurut Irawati (2008), faktor–faktor yang menjadi penyebab
seseorang menyontek adalah a) tekanan yang terlalu besar yang diberikan kepada
“hasil studi” berupa angka dan nilai, b) pendidikan karakter baik di rumah maupun di
sekolah kurang diterapkan dalam kehidupan peserta didik, c) sikap malas dan rendahnya
motivasi belajar,

sehingga ketinggalan dalam menguasai mata pelajaran dan kurang

bertanggung jawab, d) pengaruh teman sebaya, dan e) tidak

memiliki

self-efficacy

terhadap kemampuannya sendiri dalam menyelesaikan tugas/soal ujian.

B. Self-Efficacy
1. Pengertian
Bandura (1997) dalam Pudjiastuti (2012) mendefinisikan konsep

self-efficacy

sebagai keyakinan tentang kemampuan yang dimiliki untuk mengatur dan melakukan
serangkaian tindakan yang diperlukan dalam mencapai keinginannya. Pengertian lain
diberikan oleh Baron dan Byrne (2003) yang mendefinisikan bahwa self-efficacy
merupakan penilaian seseorang terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk
melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Berdasarkan
beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan
individu terhadap kemampuan atau kompetensi yang ada dalam dirinya dalam melakukan
suatu tugas guna mencapai suatu tujuan.
Dalam kaitannya dengan peserta didik, maka self-efficacy merupakan keyakinan
atau

kepercayaan

individu terhadap

kemampuannya

dalam

menyelesaikan tugas-tugas akademik yang dihadapi, sehingga

melaksanakan dan
mampu

mengatasi

rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkan dengan mendapatkan nilai yang
memuaskan. Menurut Prakosa (1996) keyakinan ini akan mengarahkan kepada pemilihan

tindakan, pergerakan usaha, serta keuletan seseorang. Self-efficacy menunjukkan pada
keyakinan seseorang bahwa dirinya dapat melakukan tindakan yang dikehendaki oleh
situasi tertentu dengan berhasil. Bandura (1997) dalam Pasaribu (2009) juga mengatakan
bahwa self-efficacy merupakan keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk
menghasilkan sesuatu dari peristiwa yang dihadapi dalam hidupnya. Hal ini akan
berpengaruh dalam pemilihan perilaku, usaha, dan ketekunan seseorang dalam mencapai
tujuan

yang

diharapkan. Bandura menambahkan, bahwa persepsi individu terhadap

kemampuannya (mencakup penilaian kemampuan) akan mengatur dan menjalankan
tindakan dalam jenis performansi tertentu. Individu yang memiliki self-efficacy tinggi
akan mempersepsi bahwa mereka mampu mengintegrasikan kemampuannya untuk
melewati dan menyelesaikan tugas-tugas akademik sehingga mencapai suatu hasil yang
optimal, sesuai dengan yang diharapkan. Sebaliknya, individu dengan self-efficacy
rendah akan mempersepsi bahwa kemampuannya belum tentu dapat menyelesaikan tugastugas akademik yang dihadapi dengan baik untuk mendapatkan hasil sesuai dengan yang
diharapkan. Self-efficacy tidak menitikberatkan pada jumlah kemampuan yang dimiliki,
tetapi pada keyakinan tentang apa yang mampu dilakukan dengan apa yang dimiliki
pada berbagai variasi situasi.

2. Aspek-Aspek Self-Efficacy
Aspek-aspek self-efficacy dalam penelitian ini menggunakan aspek-aspek selfefficacy menurut Bandura (1997) dalam Pasaribu (2009), yaitu:

a. Magnitude Level (tingkat kesulitan tugas). Magnitude level berkaitan dengan tingkat
kesulitan tugas yang dihadapi. Persepsi setiap individu akan berbeda dalam
memandang tingkat kesulitan dari suatu tugas. Ada yang menganggap suatu tugas itu
sulit sedangkan orang lain mungkin menganggap tidak demikian. Apabila terdapat

sedikit rintangan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas, maka tugas tersebut akan
semakin mudah dilakukan. Magnitude level terbagi atas 3 bagian, yaitu:
1) Analisis pilihan perilaku yang akan dicoba, yaitu seberapa besar individu merasa
mampu atau yakin untuk berhasil menyelesaikan suatu tugas dengan pilihan
perilaku yang akan diambil.
2) Menghindari situasi dan perilaku yang dirasa melampaui batas kemampuan, yaitu
seberapa besar keyakinan atau kemampuan individu dalam menghindari situasi dan
perilaku yang dirasa berada di luar batas kemampuannya.
3) Menyesuaikan dan menghadapi langsung tugas-tugas yang sulit, yaitu seberapa
besar keyakinan dan kemantapan individu dalam menjalankan tugas dan tantangan
pekerjaan.
b. Generality (luas bidang perilaku). Berkaitan dengan luas bidang perilaku dimana
seseorang merasa yakin bahwa dirinya mampu untuk mengerjakan suatu tugas baik
pada setiap bidang yang biasa dijalaninya maupun pada bidang yang belum pernah
dilakukannya.
c. Strength (kemantapan keyakinan). Berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu
dalam pemenuhan tugasnya. Individu yang memiliki keyakinan dan kemantapan yang
kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas akan terus bertahan
dalam usahanya meskipun banyak mengalami kesulitan dan tantangan.

3. Efek Self-Efficacy
Self-efficacy memiliki aspek yang mempengaruhi proses kognitif. Fungsi utama
dari proses kognitif adalah memungkinkan individu untuk memprediksi kejadian, serta
mengembangkan cara untuk mengontrol kehidupannya. Keterampilan pemecahan masalah
secara efektif memerlukan proses kognitif untuk memproses berbagai informasi yang

diterima. Asumsi yang timbul pada aspek kognitif adalah semakin efektif kemampuan
individu dalam analisis dan dalam berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan pribadi,
maka akan mendukung individu bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan yang
diharapkan.

C. Logika Berpikir
Pelaksanaan

evaluasi

proses belajar

sangat

dibutuhkan

untuk mengukur

ketercapaian tujuan pembelajaran. Tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran dapat
dilihat dari perubahan yang terjadi pada peserta didik. Perubahan pada aspek
pengetahuan dapat dievaluasi melalui serangkaian tes yang akhirnya akan menggambarkan
hasil belajar peserta didik. Fenomena yang berkembang menunjukkan bahwa seringkali
terjadi kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan tes, khususnya tes tertulis. Salah
satu bentuk kecurangan yang sering terjadi adalah munculnya aktivitas menyontek
yang dilakukan oleh sebagian peserta didik. Saat ini menyontek pada saat ulangan
sepertinya bukan hal yang tabu lagi bagi sebagian kalangan peserta didik. Berbagai cara
dan strategi mulai dari yang termudah hingga tercanggih dilakukan untuk memperoleh
jawaban. Mulai dari bertanya pada teman, bahkan saling tukar lembar jawaban, hingga
melihat

catatan

kecil

di

kertas

atau di

handphone

yang

telah

dipersiapkan

sebelumnya.
Fenomena menyontek terjadi karena terdapat hal-hal yang

mendukung untuk

dilakukannya perilaku tersebut. Menurut pendapat Notoatmodjo (2003), perilaku manusia
sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan,
keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya. Perilaku menyontek
terjadi karena pelaku takut gagal. Mereka menyontek karena takut memiliki nilai kurang

sempurna dari nilai rata-rata. Perasaan takut gagal mendorong munculnya sikap yang
kemudian menimbulkan respon berupa perilaku menyontek.
Perilaku menyontek yang dilakukan oleh individu dipengaruhi oleh beberapa
faktor, salah satu diantaranya adalah self-efficacy. Bandura (1997) dalam Pudjiastuti
(2012) mendefinisikan konsep self-efficacy sebagai keyakinan tentang kemampuan yang
dimiliki untuk mengatur dan melakukan serangkaian tindakan yang diperlukan dalam
mencapai keinginannya. Dalam kaitannya dengan pendidikan, s elf-efficacy merupakan
keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuannya dalam melaksanakan
ujian atau tes dan menyelesaikan tugas-tugas yang dihadapi, sehingga mampu mengatasi
rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkannya dengan mendapatkan nilai yang
memuaskan.
Individu yang memiliki self-efficacy tinggi akan mempersepsikan bahwa mereka
mampu mengintegrasikan kemampuannya untuk melewati dan menyelesaikan ujian atau
tes sehingga mencapai suatu hasil yang baik sesuai dengan yang diharapkan. Sebaliknya,
seseorang dengan self-efficacy rendah akan mempersepsi bahwa kemampuannya belum
tentu dapat membuat mereka berhasil lulus ujian

atau menyelesaikan tugas untuk

mendapatkan hasil sesuai dengan harapan mereka. Oleh karena itu, bagi individu yang
memiliki self-efficacy rendah cenderung mengambil jalan pintas agar lulus dalam
menghadapi tes atau ujian yaitu dengan cara menyontek. Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara self-efficacy dengan perilaku menyontek.
Sebagaimana hasl penelitian yang dilakukan oleh Sari (2011) yang menemukan bahwa
terdapat hubungan negatif antara efikasi diri akademik dengan perilaku menyontek

D. Hipotesis Penelitian
Ho:

tidak ada hubungan yang signifikan antara self-efficacy dengan sikap
terhadap perilaku menyontek.

Ha:

terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self-efficacy dengan sikap
terhadap perilaku menyontek.

METODE PENELITIAN
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMK Negeri I Salatiga yang berjumlah
1.317 orang, sedangkan sampel yang digunakan adalah siswa SMK Negeri 1 Salatiga
berjumlah 99 orang. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif yaitu
metode penelitian yang menggunakan alat-alat atau instrumen untuk mengukur gejalagejala tertentu dan diolah secara statistik (Faisal, 1990).
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh
secara langsung dari obyek penelitian dengan cara membagikan skala secara langsung dan
diisi oleh responden. Sedangkan analisis item dalam alat ukur diukur dengan menggunakan
skala Likert dengan empat pilihan jawaban yaitu SS (sangat sesuai), S (sesuai), TS (tidak
sesuai) dan STS (sangat tidak sesuai).
Seleksi item dalam penelitian ini menggunakan teknik corrected item-total
correlation. Azwar (2012) menyebutkan bahwa item dapat dinyatakan lolos apabila

koefisien korelasinya minimal 0,30. Oleh karena itu apabila terdapat item yang memiliki
skor dibawah 0,30 dinyatakan gugur. Sedangkan uji reliabilitas menggunakan teknik
Cronbach’s Alpha. Nunnally (1994) dalam Gozali (2013:48) menyatakan bahwa skala
dianggap reliabel ketika memenuhi koefisien alpha (α) lebih besar dari 0,70. Sedangkan

penentuan kategori tingkat reliabilitas dengan koefisien Alpha mengacu dari Sugiyono
(2012) seperti tampak pada Tabel 1. berikut:
Tabel 1.
Pedoman Penilaian Reliabilitas Skala
Alpha
0,00 – 0,199
0,20 – 0,399
0,40 – 0,599
0,60 – 0,799
0,80 – 1,000

Kriteria
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Kuat
Sangat kuat

Alat Ukur
1. Skala Self-efficacy
Skala self-efficacy disusun berdasarkan aspek-aspek self-efficacy menurut Bandura
(1997) dalam Pasaribu (2009), yaitu: magnitude level (tingkat kesulitan tugas), generality
(luas bidang perilaku), dan strength (kemantapan keyakinan). Hasil seleksi item terhadap
butir-butir pernyataan dalam skala self-efficacy menghasilkan nilai corrected item total
correlation yang bergerak dari 0,363 sampai dengan 0,809. Hal ini menunjukkan bahwa 32

butir pernyataan dalam skala self-efficacy kesemuanya lolos karena > 0,30.
Perhitungan reliabilitas dilakukan dengan menggunakan teknik Cronbach’s Alpha.
Nunnally (1994) dalam Gozali (2013:48) menyatakan bahwa skala dianggap reliabel ketika
memenuhi koefisien alpha (α) lebih besar dari 0,70 . Hasil uji reliabilitas terhadap skala
self-efficacy memperoleh nilai alpha 0,966 seperti tampak pada tabel berikut:

Tabel 2.
Hasil Uji Reliabilitas Variabel Self-efficacy
Cronbach's
Alpha
.966

N of Items
32

2. Skala Perilaku Menyontek
Skala perilaku menyontek disusun berdasarkan bentuk-bentuk menyontek menurut
Klausmeier (1985) dalam Setyani (2007), yatu: 1)

menggunakan

catatan

jawaban

sewaktu ujian/tes, 2) mencontoh jawaban siswa lain, 3) memberikan jawaban yang telah
selesai kepada teman, dan 4) mengelak dari peraturan-peraturan ujian, baik yang tertulis
dalam peraturan ujian maupun yang ditetapkan oleh guru. Skala perilaku menyontek
terdiri dari 48 butir pernyataan yang terdiri dari 24 butir pernyataan mendukung
(favorable) dan 24 butir pernyataan tidak mendukung (unfavorable). Hasil uji validitas
yang telah dilakukan terhadap 48 butir pernyataan dalam skala perilaku menyontek
terdapat 3 butir yang tidak lolos, sehingga untuk mengukur konsep perilaku menyontek
dalam analisis selanjutnya adalah 45 pernyataan dengan nilai corrected item total
correlation yang bergerak dari 0,317 sampai dengan 0,698. Hal ini menunjukkan bahwa

45 butir pernyataan dalam perilaku menyontek kesemuanya lolos karena > 0,30.
Hasil uji reliabilitas terhadap skala perilaku menyontek memperoleh nilai alpha
0,943, seperti tampak pada tabel berikut:
Tabel 3.
Hasil Uji Reliabilitas Variabel Perilaku Menyontek
Cronbach's
Alpha

N of Items

.943

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Hasil Uji Deskriptif
a. Pengukuran Variabel Self-efficacy

45

Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel self-efficacy
digunakan 5 kategori. Oleh karena jumlah butir valid sebanyak 32 dengan rentang pilihan
jawaban dari skor 0 hingga 100, maka skor tertinggi adalah 100 x 32 = 3.200 dan skor
terendah adalah 0 x 32 = 0. Lebar interval dapat dihitung dengan mengacu rumus Sudijono
(2012) sebagai berikut:

i

i

skor tertinggi  skor terendah
banyaknya kategori

3200  0
5

= 640
Dengan demikian tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel self-efficacy dapat
dikategorikan sebagai berikut:

Tabel 4.
Kategorisasi Hasil Pengukuran Variabel Self Efficay
Nilai

Kategori

2.560 > x < 3.200
1.920 > x < 2.560
1.280 > x < 1.920
640 > x < 1.280
0 > x < 640

Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah
Jumlah

SD = 205,061

Min= 1.410

Mean

2.180, 86

f
24
50
25
0
0
99

Prosentase
(%)
24,24%
50,51%
25,25%
0%
0%
100%

Max = 2.840

Dari Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa 24 responden (24,24%) mempunyai selfefficacy dengan kategori sangat tinggi dan 50 responden (50,51%) mempunyai selfefficacy dengan kategori tinggi. Sedangkan 25 responden (25,25%) mempunyai selfefficacy dengan kategori sedang. Dari tabel 3 juga dapat diketahui kecenderungan
responden mempunyai self-efficacy dengan kategori ke arah yang lebih rendah tidak ada.

Hal tersebut diperkuat dengan besarnya nilai rata-rata sebesar 2.180,86 berada pada
kategori tinggi.
b. Pengukuran Perilaku Menyontek
Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel perilaku
menyontek digunakan 5 kategori, oleh karena jumlah butir valid sebanyak 45 dan
banyaknya pilihan jawaban 4, maka skor tertinggi adalah 4 x 45 = 180 dan skor terendah
adalah 1 x 45 = 45. Dengan demikian tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel perilaku
menyontek dapat dikategorikan sebagai berikut :
Tabel 5.
Hasil Pengukuran Variabel Perilaku Menyontek
Nilai
Kategori
Mean
153 > x < 180 Sangat sering
126 > x < 153 Sering
94,11
99 > x < 126
Jarang
72 > x < 99
Sangat jarang
45 > x < 72
Tidak pernah
Jumlah
SD = 16,42
Min= 48

f
0
40
0
49
10
99

Prosentase (%)
0%
40,40%
0%
49,50%
10,10%
100%
Max = 124

Dari Tabel 5 di atas menunjukkan hanya 10 responden (10,0%) yang tidak pernah
menyontek. Sedangkan sisanya 89 responden, 49 responden (49,50%) diantaranya pernah
menyontek dengan frekuensi sangat jarang dan 40 responden (40,40%) sering menyontek.
Dari Tabel 4 juga dapat diketahui adanya kecenderungan responden untuk menyontek
tidak ada. Hal ini diperkuat dengan besarnya rata-rata adalah 94,11 berada pada kategori
sangat jarang menyontek.

2. Uji Normalitas
Sebelum melakukan pengujian hipotesis, terlebih dahulu akan dilakukan Uji
Normalitas. Hasil Uji normalitas terhadap variabel dependen dan variabel independen
dalam penelitian ini tampak pada Tabel 6, dimana variabel self-efficacy dan perilaku
menyontek mempunyai tingkat probabilitas lebih besar dari 0,05. Variabel self-efficacy
mempunyai tingkat probabilitas sebesar 0,924 dan perilaku menyontek siswa mempunyai
tingkat probabilitas sebesar 0,695. Hal ini bermakna bahwa data untuk self-efficacy dan
perilaku menyontek siswa telah terdistribusi dengan normal.

Tabel 6.
Hasil Uji Normalitas Variabel Self-efficacy dan Perilaku Menyontek
Self-efficacy
N
Normal Parametersa
Most Extreme
Differences

Mean
Std. Deviation
Absolute
Positive
Negative

Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)

Menyontek

99
2180.859
205.061
.055
.055
-.055
.548
.924

99
94.1111
16.4229
.071
.041
-.071
.710
.695

a. Test distribution is Normal.

Sumber: data primer diolah, 2015.

3. Hasil Uji Inferensial
Untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara variabel self-efficacy dengan
perilaku menyontek, dilakukan analisis dengan menggunakan analisa statistik korelasi Karl
Pearson’s Product Moment yang diolah dengan bantuan program SPSS for Window versi
16.0. Hasil uji yang telah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini:

Tabel 7
Korelasi Antara self-efficacy dengan perilaku menyontek
Correlations
Self-efficacy Menyontek
SE

Pearson
Correlation

1

Sig. (2-tailed)
N
Menyontek Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N

-.006
.954

99

99

-.006

1

.954
99

99

Pada Tabel 7 di atas, tampak angka korelasi sebesar -0,006 dengan angka probabilitas
sebesar 0,954 lebih besar dari 0,05 menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara selfefficacy dengan perilaku menyontek. Hal ini berarti apabila self-efficacy semakin meningkat maka

tidak akan diikuti oleh menurunnya perilaku menyontek siswa.

B. Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan antara self-efficacy dengan perilaku
menyontek siswa SMK Negeri 1 Salatiga tahun 2014, didapatkan hasil perhitungan
korelasi dengan nilai r = -0,006 dan nilai p = 0,954 lebih besar dari 0,05. Hal ini
menunjukkan tidak ada hubungan antara self-efficacy dengan perilaku menyontek siswa
SMK Negeri 1 Salatiga tahun 2014. Hasil korelasi tersebut mempunyai makna bahwa
semakin tinggi self-efficacy yang dimiliki oleh siswa SMK Negeri 1 Salatiga, tidak selalu
diikuti dengan naik / turunnya skor perilaku menyontek siswa SMK Negeri 1 Salatiga.
Berdasarkan penelitian Whitley & Finn (dalam Hendra, 2011), dapat diketahui
siswa yang berpikir bahwa nilai adalah segalanya akan menghalalkan berbagai macam cara
untuk mendapatkan nilai yang baik. Siswa berpikir bahwa dengan mendapatkan nilai yang

baik maka mereka akan mendapatkan masa depan yang baik. Keinginan ingin
mendapatkan nilai yang tinggi tersebut dapat menjadi penyebab seorang siswa mencontek.
Oleh karena itu, meskipun siswa memiliki self -efficacy tinggi, tetapi didorong oleh
keinginan memperoleh nilai yang tinggi maka siswa tersebut mungkin saja akan tetap
menyontek.
Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa self efficacy tidak mempunyai
hubungan dengan perilaku menyontek. Sebagaimana diungkapkan oleh Haryono dkk.
(2001) bahwa, pada umumnya siswa memutuskan untuk menyontek antara lain disebabkan
oleh tuntutan orang tua untuk memperoleh nilai yang baik atau peringkat kelas yang baik.
Berdasarkan wawancara penulis dengan siswa pada tanggal 15 April 2015, siswa
yang memiliki self-efficacy yang tinggi juga memiliki kecenderungan untuk tetap
melakukan perbuatan menyontek karena adanya dorongan dari teman-temannya. Dorongan
yang dimaksud adalah dorongan atau paksaan untuk memberikan jawaban kepada temantemannya. Rasa solidaritas dan rasa kesetiakawanan dijadikan alasan mengapa mereka mau
memberikan jawaban atau contekan kepada teman-temannya. Mereka juga tidak mau
dianggap pelit, dan dijauhi oleh teman-temannya apabila tidak memberikan contekan.
Sebagian siwa berpendapat bahwa memberikan contekan itu adalah perbuatan menolong.
Mereka cenderung tidak tega apabila melihat teman sekelompoknya tidak bisa
mengerjakan soal, hal inilah yang mendorong siswa untuk memberikan jawaban atau
contekan kepada teman dan yang paling sering dilakukan adalah menggeserkan lembar
jawabannya agar dapat dilihat oleh temannya. Disini siwa yang dianggap pandailah yang
biasanya diandalkan untuk dimintai contekan.
Berdasarkan wawancara, lemahnya pengawasan juga menjadi faktor mengapa
kegiatan menyontek di SMK N 1 Salatiga masih tinggi. Walaupun di setiap kelas sudah

terpasang CCTV, para siswa mengaku mereka masih bisa mencuri kesempatan untuk
menyontek. Tidak diberlakukannya hukuman yang berat juga menjadi alasan mengapa
siswa masih berani untuk melakukan perbuatan menyontek, para siswa mengaku selama ini
yang ketahuan menyontek hanya mendapat teguran dari guru saja, sehingga hal tersebut
tidak membuat siswa jera dan masih terus melakukan kegiatan menyontek.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik
kesimpulan:
1. Tidak ada hubungan yang signifikan antara self-efficacy dengan perilaku
menyontek.
2. Mayoritas responden mempunyai self-efficacy tinggi dengan rincian 24 responden
(24,24%) mempunyai self-efficacy dengan kategori sangat tinggi dan 50 responden
(50,51%) mempunyai self-efficacy dengan kategori tinggi.
3. Mayoritas responden pernah melakukan menyontek dengan rincian 49 responden
(49,50%) diantaranya pernah menyontek dengan frekuensi sangat jarang dan 40
responden (40,40%) sering menyontek.
B. Saran
1. Kepada pihak sekolah maupun orang tua siswa disarankan untuk tidak memberikan
target nilai yang harus diperoleh anak yang akhirnya membuat anak anak menjadi
tertekan. Lebih baik adalah mengontrol bagaimana proses belajar anak. Memicu anak
agar memperoleh nilai tinggi dengan iming-iming hadiah akan mendorong anak untuk
menyontek. Pihak sekolah dan orang tua harus memberikan motivasi kepada anak

tentang pentingnya proses belajar yang harus dilewati. Disamping itu pengawasan pada
saat ujian ataupun tes juga harus ditingkatkan, pemberian hukuman kepada siswa yang
ketahuan menyontek juga diperlukan agar siswa jera dan tidak melakukan perbuatan
menyontek lagi.
2. Untuk penelitian lanjutan. Mencermati hasil penelitian yang membuktikan bahwa tidak
terdapat hubungan antara self-efficacy dengan perilaku menyontek di SMK Negeri I
Salatiga, maka perlu dilakukan penelitian lain dengan variabel berbeda yang dapat
mendukung terciptanya hubungan antara self-efficacy dengan perilaku menyontek,
misalnya motivasi belajar.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. (1999) Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Aini, D.N. (2010) Hubungan Academic Self-efficacy Dengan Perilaku Menyontek
(cheating) Pada Mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Negeri Malang.
Skripsi. Malang: Universitas Negeri Malang.
‘Alawiyah, H. (2011) Pengaruh Self-efficacy, Konformitas, dan Goal Orientation Terhadap
Perilaku Menyontek (Cheating) Siswa MTs Al-Hidayah Bekasi. Skripsi. Jakarta:
Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Alhadza, A. (2005) Masalah Menyontek (Cheating) Di Dunia Pendidikan .
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/38/MASALAH_MENYONTEK_DI_DUNIA__
%20PENDIDIKAN.htm
Arikunto, S. (2010) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Azwar, S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-------------- (2013) Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya . Edisi ke-2. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Baron & Byrne. (2003) Psikologi Sosial 1 . Edisi Kesepuluh. Jakarta: Erlangga
Chaplin, P.J. (2006) Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grasindo Persada.
Gerungan WA. (2000) Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama
Ghozali, I. (2009) Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Jakarta: Gema
Pertama
Handayani, P.W. (2013) Hubungan Antara Self-Efficacy Dengan Konformitas Teman
Sebaya Pada Siswa SMAN 57 Jakarta. Skripsi. Jakarta: Fakultas Psikologi,
Universitas Esa Unggul.
Hartanto, D. (2011). Penggunaan REBT Untuk Mereduksi Perilaku Mencontek Pada Siswa
Sekolah Menengah . https://bkpemula.files. wordpress.com/2011/12/06-dodydebt_untuk_academic_cheating. pdf
Hartanto, D. (2012) Mengatasi Masalah Menyontek. Jogyakarta: Indeks Jakarta.
Hartanto, D. (2012). Menyontek: mengungkap akar masalah dan solusinya . Jakarta:
Indeks.
Haryono, W., Hardjanta, G., dan Eriyani ,P. (2001) Perilaku Menyontek Ditinjau dari
Persepsi terhadap Intensitas Kompetisi dalam Kelas dan Kebutuhan
Berprestasi. Psikodimensia. Kajian Imiah Psikologi, 2, 1, 10-16.

Hendra. (2011) Hubungan Antara Efikasi Diri Dan Orientasi Akademik Dengan Perilaku
Menyontek Siswa Pada Mata Pelajaran Matematika. TESIS. Surakarta: Magister
Sains Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Indarto,Y. dan Masrum. (2004) Hubungan Antara Orientasi Penguasaan dan Orientasi
Performasi dengan Intensi Menyontek. Jurnal Sosiosain, 17,3 Juli, 411-421.
Irawati, I. (2008) Budaya Menyontek Di Kalangan Pelajar . Opini; Kabar Indonesia
On-line.
Kartono, K. dan Gulo D. (1987) Kamus Psikologi. Bandung: CV. Pionir Jaya, 1987, h. 26.
Musslifah, A.R. (2012) Perilaku Menyontek Siswa Ditinjau Dari Kecenderungan Locus Of
Control. Talenta Psikologi. Vol.1 No.2, Agustus 2012.
Nitisusastro, M. (2011) Perilaku Konsumen dalam Perspektif Kewirausahaan . Bandung:
Alfabeta.
Notoatmodjo, S. (2003) Pendidikan dan Perilaku Kesehatan . Jakarta: Rineka Cipta.
--------------------- (2007) Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku . Jakarta; Rineka Cipta
Pasaribu, M.A. (2009) Self-Efficacy Pada Anak Jalanan. Skripsi. Medan: Fakultas
Psikologi, Universitas Sumatra Utara.
Prakosa, H. (1996) Cara Penyampaian Hasil Belajar Untuk Meningkatkan Self-efficacy
Mahasiswa. Jurnal Psikologi. No. 2,11-22.
Pudjiastuti, E. (2012) Hubungan Self-Efficacy Dengan Perilaku Mencontek Mahasiswa
Psikologi. Jurnal MIMBAR, Vol. XXVIII, No. 1 Juni, 2012.
Purnamasari, D. (2013) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecurangan Akademik Pada
Mahasiswa. Educational Psychology Journal 2 (1). ISSN 2252-634X. Semarang:
Universitas Negeri Semarang.
Riski, S.A. (2009). Hubungan Prokrastinasi Akademis dan Kecurangan Akademis Pada
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Skripsi. Medan:
Universitas Sumatera Utara.
Sari, V.J. (2011) Hubungan Antara Efikasi Diri Akademik Dengan Perilaku Mencontek
Pada Siswa SMA. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Psikologi, Fakultas
Psikologi Dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia.
Sarwono, S.W. (2004) Psikologi Sosial, Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta:
Refika Aditama.
Setyani, U. (2007) Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Intensi Menyontek Pada Siswa
SMA Negeri 2 Semarang. Skripsi. Semarang: Program Studi Psikologi, Fakultas
Kedokteran, Universitas Diponegoro.

Smert, B. (1994) Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Grasindo.
Sudijono, Anas (20112) Pengantar Statistik Pendidikan . Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Sugiyono. (2010) Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D . Bandung:
Alfabeta.
Sumarwan, U. (2002) Perilaku Konsumen, Teori dan Penerapannya Dalam Pemasaran .
Bogor. Penerbit Kerja Sama: PT. Ghalia Indonesia dengan MMA-IPB.
Sunyoto, Danang. (2012) Konsep Dasar Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen .
Yogyakarta: CAPS.
Susilo, M. J. (2006) Gaya Belajar Menjadikan Makin Pintar . Yogyakarta: Pinus