Binder Buku Desa Situs Baru Demokrasi Lokal 17032017 SC

Demokrasi Lokal? Suatu proses bermasyarakat yang localy dan ideal, inilah
point penting dalam UU Desa. Hari-hari ini di masyarakat, utamanya aparat
desa, harus menyadarinya, bahwa hal tersebut adalah jantung dalam
berdemokrasi dan "berdesa" sebagai jalan menuju kesejahteraannya.
(Ahmad Muqqowam, Ketua Komite I DPD RI dan Mantan Ketua Pansus
RUU Desa )

Buku ini memotret pengalaman lapangan tentang desa dan praktik
demokrasi. Pelaksanaan UU Desa (dengan segala plus minusnya) sudah
menghadirkan desa sebagai "sekolah politik kebangsaan" bagi warganya.
Sebagai salah seorang yang ikut melahirkan UU Desa dan menyaksikan dari
dekat praktik pemberdayaan desa, saya berpikir menjadikan praktik yang
sudah baik di desa ini juga menjadi praktik di 74.900 desa lainnya. Cuma dgn
itu kita layak optimis dengan pendewasaan rakyat dalam berdemokrasi.
(Budiman Sudjatmiko: anggota DPR dan praktisi pemberdayaan desa)
Buku ini memotret perkembangan Desa di Indonesia. Praktik- praktik baik
yang ada bisa kita contoh, dan dengan tahu kelemahannya maka bisa
menyikapi serta bisa mengukur saat ini posisi desa kita seperti apa. Gaya
kepemimpinan di desa pun beragam. Buku ini sangat bermanfaat untuk
dibaca para generasi muda sebagai penerus estafet kepemimpinan desa.
(Sugeng Handoko, penggerak pemuda Pengelola Desa Wisata

Nglanggeran @gunungapipurba)
Demokrasi sejati, menempatkan perempuan dan laki-laki setara dalam
pengambilan keputusan dan penikmatan HAM. Untuk mencapai itu,
dibutuhkan serangkaian pemberdayaan dan tindakan afirmasi. Buku ini
memberikan pelajaran tentang masih lemahnya akses perempuan untuk turut
menyemarakkan arena demokrasi lokal, sehingga kehadiran UU Desa harus
dimanfaatkan dalam rangka menciptakan keadilan gender di Desa
(Dian Kartika Sari, Sekretaris Jendral Koalisi Perempuan Indonesia)

diterbitkan oleh:
Institute for Research and Empowerment (IRE)
Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 9,5
Dusun Tegalrejo RT 01/RW 09 Desa Sariharjo
Kec. Ngaglik Kab. Sleman, Yogyakarta 55581
Telp/Fax:0274-867686
E-mail: office@ireyogya.org
Website: www.ireyogya.org

ISBN 979981830-3


9 799799 818309

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

Demokrasi desa adalah demokrasi orisinal nusantara yang tumbuh dan
berkembang mendampingi kemajuan bangsa. Studi yang dilakukan oleh IRE
ini menyumbang pelaksanaan UU Desa sesuai amanahnya. Mari kita gali
esensi dari buku ini sebagai pembelajaran berdemokrasi dari Desa.
(Anwar Sanusi, Sekretaris Jenderal (Sekjen) kementerian Desa,
Pembangunan DaerahTertinggal, dan Transmigrasi)

DESA
Situs Baru Demokrasi Lokal

DESA
Situs Baru Demokrasi Lokal

Penulis:
Dina Mariana, Iranda Yudatama, Nurma Fitrianingrum,
Rajif Dri Angga, Sigit Pranawa, Sugeng Yulianto,

Sukasmanto, Sunaji Zamroni, Titok Hariyanto
Editor:
Fatih Gama Abisono Nasution

Desa: Situs Baru Demokrasi Lokal
Hak cipta © Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta
Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia
Oleh Penerbit IRE, Yogyakarta. 2017
dengan dukungan Program Yayasan Tifa
Cetakan Pertama, Februari 2017

Kata Pengantar: Darmawan Triwibowo, Direktur Eksekutif Yayasan Tifa
Prolog: A.E. Priyono
Epilog: Dr. Arie Sujito
Reviewer: Dr. Arie Sujito, Dr. Krisdyatmiko
Penyunting: Dina Mariana, Zelvia Debi Hapsari
Editor: Fatih Gama Abisono Nasution
Desain Sampul & Layout: Suparmo

Institute for Research and Empowerment (IRE)

Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 9,5
Dusun Tegalrejo RT 01/RW 09
Desa Sariharjo, Kec. Ngaglik, Sleman, D.I. Yogyakarta 55581
Phone: 0274 - 867686, 7482091
E-mail: office@ireyogya.org, Website: www.ireyogya.org
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit.

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Desa: Situs Baru Demokrasi Lokal, Cetakan. 1
Yogyakarta: IRE Yogyakarta, 2017
xx + 164 hlm.; 14 x 21,5 cm
ISBN: 979-9818-30-3

KATA PENGANTAR

Yayasan Tifa

Desa tidak pernah luput dari silang sengkarut praktik
pembangunan di Indonesia. Secara umum, ada dua lensa pandang

utama terhadap desa yang bisa ditarik dari cara negara memperlakukan
desa dalam pembangunan, yaitu sebagai “alat” atau “masalah”. Sebagai
alat, desa adalah sekrup kecil dalam mesin pembangunan yang
berfungsi melayani kepentingan yang lebih besar dari keberadaan desa
itu sendiri. Desa menjadi alat untuk menjaga stabilitas harga pangan
bagi penduduk kelas menegah perkotaan; sumber pasok buruh murah
bagi perluasan industri manufaktur padat karya; maupun (paling
tidak sekali dalam lima tahun) alat untuk mendulang suara bagi partai
berkuasa atas nama stabilitas politik nasional. Di sisi lain, negara juga
mendekati desa sebagai sumber permasalahan yang harus diatasi.
Tidak heran jika kemudian desa begitu akrab dengan beragam kata
yang tidak hanya merujuk pada masalah ekonomi, seperti kemiskinan,
ketertinggalan, kesenjangan, tapi juga masalah sosial-politik, bahkan
ideologi, seperti sumber konflik (agraria) hingga sarang komunisme.
Seperti yang dengan cergas digambarkan oleh Antlov (2003),
desa dalam dua lensa pandang ini tidak lebih dari “objek sentralisasi,
depolitisasi, kooptasi, intervensi, dan instruksi dari atas”.
Desa, dengan demikian, menempati posisi paradoksal dalam

v


DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

pembangunan. Desa dibicarakan namun tidak pernah sungguhsungguh menjadi rujukan; dibangun namun tidak pernah dipertuankan;
disediakan panggung namun (warganya) hanya bisa bertepuk tangan
di pinggiran. Tidak mengherankan jika perlakuan negara terhadap
desa yang diterapkan berdekade-dekade tersebut telah menggerus jati
diri desa sebagai satuan komunal dengan tujuan serta kepentingan
kolektif yang mandiri, baik terhadap satuan komunal lainnya maupun
atas struktur kuasa di luar desa. Hal ini juga menjelaskan mengapa desa
tidak segera ditengok di masa awal ekperimen demokrasi bernama
desentralisasi.
Namun, ketika desentralisasi (berbasis kabupaten/kota) mulai
terlihat majal dalam mendorong perbaikan pelayanan publik serta
pendalaman demokrasi, desa secara tiba-tiba menjadi tumpuan
akhir bagi partisipasi aktif warga untuk bernegara (civic engagement)
dan berkembangnya tatanan demokrasi yang benar-benar bersifat
deliberatif. Implementasi UU No 6 tahun 2014 tentang Desa (UU
Desa) dengan demikian bisa dibaca sebagai pengakuan negara atas
“malpraktik” terhadap desa yang telah dilakukan selama ini. Di

sisi lain, otonomi desa berbasis rekognisi dan subsidiaritas yang
diintroduksikan oleh undang-undang ini, memberikan tantangan
kepada desa untuk menggali ulang dan mengolah potensi-potensi
yang ada di dalam komunitas serta wilayahnya, sebagai pemilik dan
bukan lagi sekadar kuli dalam proses pembangunan.
Buku “Desa: Situs Baru Demokrasi lokal” yang disusun oleh IRE
ini menyajikan petikan-petikan ringkas (snapshots) atas skala tantangan
yang dihadapi desa tersebut. Kasus-kasus yang dipaparkan dalam buku
ini menunjukkan bahwa upaya untuk membangkitkan ulang tata nilai
pemandu kehidupan sosial kemasyarakatan desa (berdesa) yang selama
ini disubtitusi oleh program teknokratis dan rekayasa penyeragaman
kelembagaan oleh negara bukanlah perihal yang sederhana. Orientasi

vi

KATA PENGANTAR YAYASAN TIFA

belanja fiskal yang mendominasi rancang bangun proses desentralisasi
(Lewis 2015), dan masih terbawa dalam skema otonomi desa, kerap
lebih mendominasi dan memperumit upaya untuk memperkuat

kepemimpinan, partisipasi warga dan representasi yang lebih bermakna di tingkat desa. Yayasan Tifa percaya bahwa pendalaman dan
pembelajaran yang terus menerus tarhadap tantangan-tantangan
tersebut akan mampu mendorong perbaikan praktik otonomi desa
dan mewujudkan peran desa sebagai arena demokrasi dan wahana
repolitisasi warga di Indonesia. Buku ini, dengan demikian, adalah
langkah awal untuk mendorong pendalaman demokrasi melalui
praktik politik keseharian (everyday politics) di tingkat desa yang akan
dilakukan Yayasan Tifa bersama mitra-mitra strategisnya dalam empat
tahun ke depan.
Darmawan Triwibowo

Direktur Eksekutif Yayasan Tifa

vii

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

viii

KATA PENGANTAR


Direktur Eksekutif IRE

Jagad politik Indonesia diriuhkan oleh ekses-ekses tertentu demokrasi elektoral dalam kurun dua dekade ini. Ratusan daerah dan ribuan desa dalam waktu serentak telah merayakan pemilu
yang ditabalkan sebagai ikon demokrasi, untuk mencari kepala daerah
dan kepala desa. Namun kini banyak kalangan mulai terusik dengan
patologi elektoral: dari menyoal partisipasi warga, kandidasi calon
yang elitis, politik uang, peta jalan politik kesejahteraan, sampai merebaknya trend praktik koruptif para aktor “jebolan kontes demokrasi”
ini. Demokrasi pada akhirnya hanya berhenti pada “kontes antaraktor” dalam berburu jabatan politik kepala pemerintahan maupun
jabatan wakil rakyat. Sehingga terjadi pembajakan demokrasi lokal
oleh para elitnya, (Demos, 2005). Bahkan nyaris tidak terdengar lagi
semangat berdemokrasi paska politik elektoral. Demokrasi elektoral
akhirnya dituding tidak terhubung dengan kehidupan sehari-hari
aktor penguasa dan para wakil rakyat sesudahnya. Banyak pihak mulai
meyakini demokrasi liberal mengalami krisis makna dan kemanfaatan.
Keyakinan tersebut berangkat dari praktik demokrasi liberal di
Indonesia yang mengagungkan tradisi individualisme ternyata memunggungi nilai-nilai tradisi bangsa Indonesia yang sarat dan lekat
dengan karakter masyarakat komunitarian.

ix


DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

Berpijak pada merebaknya situs-situs perdebatan yang menyoal
demokrasi tersebut, IRE Yogyakarta sebagai bagian dari gerakan
masyarakat sipil di Indonesia, terpanggil untuk urun rembug. Bahwa
demokrasi memang harus terus dikonsolidasikan dan dikembangkan
di Indonesia. Tetapi yang penting diagendakan saat ini adalah proyek
besar pengembangan demokrasi alternatif di Indonesia. Momentum
pelaksanaan UU No 6/2014 tentang Desa (UU Desa) bisa menjadi situs
baru kebangkitan demokrasi alternatif seperti yang dimaksud. Bisa jadi
UU Desa menjadi peluang berlangsungnya arus balik demokrasi yang
tengah mengalami titik nadir. Mengapa? IRE Yogyakarta meyakini,
bahwa UU Desa akan menggerakkan puluhan ribu entitas desa (lebih
dari 74.000) mempraktikkan prinsip dan nilai demokrasi desa. Praktik
pelembagaan demokrasi desa secara masif inilah yang berpeluang
menjadi arus balik demokrasi di Indonesia. Bukan lagi demokrasi
liberal yang mengarus deras ke desa, tetapi demokrasi desalah yang
mengepung panggung nasional. Keyakinan IRE ini telah ditempuh
dengan mendokumentasikan praktik-praktik kepemimpinan, representasi, dan inisiatif warga di desa-desa Pulau Jawa. Ada 10 desa di 5

propinsi Pulau Jawa yang diambil pembelajaran atas praktik-praktik
lokalitasnya (stock taking study). Hasil studi lapangan di 10 desa inilah
yang menjadi bahan dasar penulisan buku ini.
Para peneliti IRE Yogyakarta telah mendedikasikan segenap
kemampuannya untuk menemukan dan menarik pembelajaran
berharga atas praktik-praktik berdemokrasi lokal, melalui aspek
kepemimpinan, representasi, dan inisiatif warga. Atas nama lembaga
kami menyematkan apresiasi yang tinggi atas kerja produktif ini.
Tangan dingin manager program demokrasi lokal di IRE, Dina
Mariana, telah menghadirkan kerja-kerja kolaboratif dan produktif
antarpeneliti, yaitu; Titok Haryanto, Sugeng Yulianto, Abdur Rozaki,
Sukasmanto, Dimpos Manalu, Sigit Pranawa, Iranda Yudatama, Fajar

x

KATA PENGANTAR DIREKTUR EKSEKUTIF IRE

Sudarwo, Rajif Dri Angga, dan Nurma Fitrianingrum. Kerja produktif
para peneliti IRE didukung pula oleh kerja telaten para asisten peneliti
yang bekerja di 10 desa lokasi penelitian. Atas nama lembaga, kami
menghaturkan terima kasih dan apresiasi yang tinggi kepada mereka,
yaitu; Romli (Desa Cangkudu, Tangerang), Hendra Gunawan (Desa
Mekarjaya, Sukabumi), Suyanto (Desa Sidorejo, Kulonprogo), Ahmad
Nur Ardiansyah (Desa Nglanggeran, Gunungkidul), Mohammad
Fathollah (Desa Panggungharjo, Bantul), Mahmudi (Desa Punjulharjo,
Rembang), Melani Jayanti (Desa Umbulharjo, Sleman), Irfan Pranoto
(Desa Ringinrejo, Blitar), Hendra Arditya Sakti Mahulae (Desa Gulon,
Magelang) Kerja produktif ini pun tidak luput dari sentuhan daya
ulet “Ida” Hidayatut Thoyibah, yang dilanjutkan oleh “Deby” Zelvia
Debi Hapsari dalam mengawal kerja-kerja penelitian, penulisan, dan
serangkaian menyusun pengetahuan di dalam buku ini. Akhirnya,
kami menghaturkan terima kasih kepada semua tim peneliti dan
penulis buku ini. Kepada para pembaca buku ini, selamat membaca
dan menemukan kritik atas buku ini, agar proyek besar demokrasi
lokal ini terus berlanjut dan tidak layu sebelum berkembang.
Yogyakarta, Februari 2017

Direktur Eksekutif IRE
Sunaji Zamroni

xi

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

xii

BIOGRAFI SINGKAT

Penulis
Dina Mariana, S.H.
Peneliti madya Institute for Research and
Empowerment Yogyakarta
Email : dina0979@gmail.com

Iranda Yudhatama, S.Sos.
Direktur Eksekutif Swara Nusa Institute,
fellow/associate researcher IRE
Email : yudha_merapi@yahoo.com

Nurma Fitrianingrum, S.I.P.
Peneliti Muda Institute for Research and Empowerment
(IRE ) Yogyakarta, Alumni Jurusan Politik dan
Pemerintahan FISIPOL UGM.
Email: nfitrianingrum@gmail.com

xiii

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

Rajif Dri Angga, S.I.P.
Peneliti Muda Institute for Research and Empowerment
(IRE )Yogyakarta, Alumni Jurusan Politik dan
Pemerintahan FISIPOL UGM.
Email: rajif.fisipolugm@gmail.com

Dr. Sigit Pranawa, M.Si.
Fellow Researcher Institute for Research and
Empowerment (IRE ) Yogyakarta. Dosen tetap
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Nasional
Email: sigit_pranawa@yahoo.com
Sugeng Yulianto, M.Sc.
Deputi Pengembangan SDM dan Kelembagaan
Institute for Research and Empowerment (IRE)
Yogyakarta. Alumni Magister Pengelolaan
Lingkungan (MPL) Universitas Gadjah Mada.
Email: greenchiempoel@gmail.com
Sukasmanto, M.Si.
Peneliti Senior Institute for Research and
Empowerment (IRE) Yogyakarta, dosen di Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi Bisnis dan Perbankan
(STIE BBANK) Yogyakarta.
Email: cashmantwo@gmail.com

xiv

BIOGRAFI REVIEWER, EDITOR, & PENULIS

Sunaji Zamroni, M.Si.
Direktur Eksekutif Institute for Research and
Empowerment (IRE) Yogyakarta (2015-2017).
Anggota KPU Kota Yogyakarta (2008-2013).
Email: najibantul73@gmail.com

Titok Hariyanto, S.I.P.
Deputi Pengembangan Program dan Jaringan
Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta (2015-2017)
Email: titokth@gmail.com

Prolog
AE Priyono
Co-founder and Research fellow, Public Virtue
– Institute for Digital Democracy and Civic
Activism, and freelance journalist.
Email : langitputih@gmail.com
Epilog
Dr. Arie Sujito, M.Si.
Peneliti Senior IRE Yogyakarta. Dosen tetap
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Gadjah Mada.
Email: ariegerak@gmail.com

xv

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

Editor
Fatih Gama Abisono Nasution, M.Si.
Sekretaris Eksekutif Centre For Lead, Staf
Pengajar/Dosen Program Studi Ilmu
Pemerintahan di Sekolah Tinggi Pembangunan
Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.
Email : fatih.abisono@gmail.com
Reviewer
Dr. Krisdyatmiko, M.Si.
Peneliti Senior IRE Yogyakarta. Dosen tetap
Program Studi Pembangunan Sosial dan
Kesejahteraan (PSdK), FISIPOL Universitas
Gadjah Mada.
Email: krisdyatmiko@yahoo.com
Penyunting
Zelvia Debi Hapsari, S.Hut.
Peneliti Muda IRE Yogyakarta, Alumni Jurusan
Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan UGM.
Email : zelvia.dh@gmail.com

xvi

Daftar Isi

Kata Pengantar : Yayasan Tifa .......................................................
Kata Pengantar: Direktur Eksekutif IRE ......................................
Biografi Singkat Penulis .................................................................
Daftar Isi ..........................................................................................
Daftar Tabel ....................................................................................
Daftar Singkatan .............................................................................

v
ix
xiii
xvii
xvii
xix

Prolog
Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris? ...............

1

Bab 1: Penemuan Kembali .........................................................
A. Prawacana ...................................................................................
B. Kontekstualisasi Berdesa............................................................
C. Argumentasi Metodologis .........................................................
D. Tentang Alur dan Isi ..................................................................

15
15
20
22
25

Bab 2: Kepemimpinan dan Transformasi Desa ....................
A. Prawacana ..................................................................................
B. Warisan Lama: Dominasi Orang Kuat Lokal dan Politik
Kekerabatan di Desa ...................................................................
C. Menuju Kepemimpinan Transformatif ..................................
D.Simpul Wacana ...........................................................................

29
29
31
45
57

xvii

Bab 3: Memperkuat Representasi Warga .............................
A. Representasi Partisipatoris-Deliberatif ...................................
B. BPD dan Musyawarah Desa: Rute Formal Deliberasi
Demokrasi Desa..........................................................................
C. Rute Representasi Informal: Suplemen Demokrasi Deliberatif
D. Simpul Wacana ..........................................................................

61
61
64
79
89

Bab 4: Inisiatif Warga Dalam Ruang Demokrasi Desa .......
A. Inisiatif Warga: Penguatan Delibrasi Demokrasi Desa ..........
B. Dinamika Inisiatif Warga dalam Ruang Demokrasi Desa ....
C. Simpul Wacana ..........................................................................

95
95
99
129

Epilog
Menyemai Demokrasi Desa ...........................................................

131

Daftar Pustaka .................................................................................
Lampiran ..........................................................................................

147
15

Daftar Tabel
Tabel. 1 Kerangka Analisis Politik Partisipatoris ........................
Tabel 2 Tipologi Lokasi dan Kasus Penelitian .............................

12
21

xviii

Daftar Singkatan

APBDesa
BNPB
BP
BP SPAMS
BPD
BRI
BUMDes
CC
D3
DPR RI
DPRD
ELSAM
FDS
GP Ansor
GSB
IRE
ISI
Kades
KJB
KPA
KTP
Linmas
LSM

: Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
: Badan Nasional Penanggulan Bencana
: Badan Pengelola
: Badan Pengelola Sarana Penyediaan Air
Minum dan Sanitasi
: Badan Permusyawaratan Desa
: Bank Rakyat Indonesia
: Badan Usaha Milik Desa
: Community Centre
: Diploma
: Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia
: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
: Forum Difabel Sidorejo
: Gerakan Pemuda Ansor
: Gerakan Sosial Baru
: Institute for Research and Empowerment
: Institut Seni Indonesia
: Kepala Desa
: Karang Jahe Beach
: Konsorsium Pembaruan Agraria
: Kartu Tanda Penduduk
: Perlindungan Masyarakat
: Lembaga Swadaya Masyarakat

xix

Musdes
Musrenbangdes
NGO
NU
OPAB
P3DT
PAD
PDAM
PDI-P
PKK
Pokdarwis
PT
PTUN
RAPBDesa
Rekompak
RKPDesa
RPJM Desa
RT
Rusun
RW
SDM
SIGAB
SKPD
SMA
TKI
TNBTS
Unesco
UU

xx

: Musyawarah Desa
: Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa
: Non Governement Organization
: Nahdlatul ‘Ulama
: Organisasi Pengelola Air Bersih
: Program Pembangunan Prasarana Pendukung
Desa Tertinggal
: Pendapatan Asli Daerah
: Perusahaan Daerah Air Minum
: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
: Pembinaan Kesejahteraan Keluarga
: Kelompok Sadar Wisata
: Perseroan Terbatas
: Pengadilan Tata Usaha Negara
: Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa
: Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan
Permukiman Berbasis Komunitas
: Rencana Kerja Pemerintah Desa
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Desa
: Rukun Tetangga
: Rumah Susun
: Rukun Warga
: Sumber Daya Manusia
: Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel’
: Satuan Kerja Perangkat Daerah
: Sekolah Menengah Akhir
: Tenaga Kerja Indonesia
: Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
: The United Nations Educational, Scientific
and Cultural Organization
: Undang-Undang

PROLOG

Demokratisasi Desa:
Situs Baru Politik
Partisipatoris?

Demokratisasi Indonesia pada tingkat politik makro dan
nasional sudah lama dideteksi mengalami kemacetan, terus bergerak
ke arah kemunduran, dan sedang akan berakhir menuju kegagalan.
Banyak studi membuktikan takdir pahit ini. Demos (2005) sudah sejak
awal memperlihatkan terjadinya pembajakan elit terhadap lembagalembaga dan prosedur demokrasi, dan ini menjadikan demokratisasi
Indonesia berwatak sangat elitis. Robison & Hadiz (2004) melakukan
studi yang menggaris-bawahi bahwa elit predatorial (elit pemangsa
rakyat) lama yang berbasis partai-partai politik menguasai panggung
politik. Mereka melakukan reorganisasi kekuasaan mengikuti logika
politik kartel, dan ini menjadi basis bagi munculnya oligarki dan
plutokrasi.1 Tapi studi lain yang dilakukan Hee-Yeon Cho (2008)
1 Politik kartel digambarkan sebagai situasi manakala partai-partai politik secara bersamasama mengabaikan komitmen ideologis dan programnya agar tetap bisa bertahan di lingkar
kekuasaan dengan memilih bergabung dengan pemerintahan baru paska pemilu. Sebagai
imbalan atas dukungan yang diberikan mereka berbagi pos-pos jabatan di pemerintahan.
Politik kartel pada gilirannya membentuk pemerintahan berwatak oligarkis. Oligarki merupakan mekanisme pemusatan kekuasaan pada segelintir elit berkuasa yang menekankan pada
kekuatan sumber daya material (kekayaan) sebagai basis mempertahanan kekuasaan sekaligus kekayaan pada diri elit. Sementara plutokrasi mirip dengan oligarki. Namun, plutokrasi

1

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

melihat bahwa “demokrasi oligarkis” Indonesia berangsur-angsur
berubah menjadi “oligarki demokratis.” Inilah sejenis oligarki yang
ingin mempertahankan kekayaan — sekaligus merebut kekuasaan –
melalui kompetisi elektoral (melalui pemilu) yang berwatak elitis. Jadi,
bukan politik demokrasi yang berlangsung di Indonesia, tapi politik
oligarki.
Sementara itu Winters (2014) juga menegaskan kenyataan serupa,
bahwa elemen penting plutokrasi neo Orde Baru adalah kaum oligark
(elit berwatak oligarkis) yang tak ikut lenyap bersama tumbangnya
Suharto. Kaum oligark yang dulu berada di bawah kendali mutlak
Suharto kini sedang berebut posisi di puncak kekuasaan. Oligarki
sultanistik di zaman Orde Baru terpusat di Cendana, sedangkan
oligarki pasca Orde Baru menyebar ke dalam banyak kutub persaingan
kaum elit. Metode otoritarian Orde Baru membuat oligarki bisa
dikuasai seorang diktator, sedangkan “demokratisasi” pasca Orde
Baru membuat para oligark bersaing melalui mekanisme kompetisi
electoral. Melalui telaah ini, Winters ingin menegaskan bahwa
oligarki dan demokrasi saling menunggangi.
Cerita ini belum lengkap tanpa melihat apa yang terjadi di tingkat
lokal. Studi awal yang dikerjakan Nordholt (2004) menunjukkan
bahwa demokrasi Indonesia pasca Orde Baru tidak menyebabkan
keterputusan kekuasaan elit-elit lama. Yang terjadi bukan hanya
kontinuitas atau kelanjutan praktek politik Orde Baru, tetapi justru
munculnya kembali kekuasaan patrimonial pra-kolonial.2 Elit-elit
terjadi tatkala tercipta suatu kondisi ekstrem ketimpangan sumber daya antara “kaya” dan
“miskin” di dalam suatu negara. Plutokrat (penguasa dalam plutokrasi) tidak hanya menguasai sumber ekonomi dan politik, melainkan juga sumber daya kekerasan (pasukan ,senjata,
teknologi). Dalam kondisi seperti ini, plutokrat boleh jadi lebih berkuasa ketimbang pemerintah resmi.
2 Konsep patrimonial merujuk pada corak kekuasaan tradisional yang berakar dari pemerintahan monarki atau kerajaan. Kekuasaan patrimonial menempatkan titah raja ( termasuk
kaisar atau sultan) sebagai basis bekerjanya hukum dan pemerintahan. Dalam negara partri-

2

PROLOG

lokal feodal merebut instrumen-instrumen demokrasi dan mereka
menemukan ruang untuk kembali mewujudkan kepentingan elitisfeodal mereka. Melalui kontestasi dalam demokrasi elektoral, elitelit lama itu tak jarang berhasil menguasai birokrasi lokal. Di sini
Klinken (2014) memberikan sumbangan temuan riset lain yang juga
menarik, bahwa kelas birokrasi lokal membangun aliansi dengan kelas
menengah lokal yang berwatak patronal, antara lain yang berbasis
etnis (suku), untuk penguasaan sumberdaya. Inilah yang menjadi
basis bagi munculnya dinasti-dinasti politik baru di tingkat lokal.3
Sementara itu studi Peluso (2007) melihat kenyataan bahwa surutnya
kekuasaan militer di daerah membuat para penguasa Kodam menjadi
kaki-tangan pemodal (Investor), demi eksploitasi sumberdaya alam.
Mereka memberikan jasa keamanan untuk berlangsungnya aliansi
antara birokrasi lokal, korporasi, dan kekuatan-kekuatan predator lain
seperti partai politik.
Studi dari ketiga peneliti yang disebut terakhir itu menjelaskan
fenomena umum proses politik di tingkat lokal. Sama dengan yang
terjadi di tingkat nasional, maka proses politik demokratisasi lokal –
khususnya melalui mekanisme kontestasi elektoral di tingkat provinsi
maupun kabupaten — hanya mendaur ulang siklus politik elitisoligarkis.
monial legitimasi pemimpin atau raja bersumber dari karisma personalnya atau karena klaim
pewahyuan sebagai wakil Tuhan. Patrimonialisme acapkali dituding melahirkan rejim despotik (sewenang-wenang), karena tidak ada kontrol terhadap kekuasaan yang menempatkan
pimpinan sebagai satu-satunya sumber kebenaran.
3 Patronal adalah relasi yang berangkat dari patronase. Patronase sendiri merupakan relasi antara orang dengan status lebih tinggi (sebagai patron) dengan orang dengan status lebih rendah (klien) berdasarkan pertukaran sumber daya. Patron menggunakan pengaruh dan sumber dayanya akan menyediakan perlindungan serta keuntungan-keuntungan material bagi
seseorang yang menjadi kliennya. Sementara Klien akan membalasnya dengan memberikan
loyalitasnya dalam bentuk dukungan dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patronnya.
Patronase ini akhirnya menjadi basis relasi antara pemimpin dengan yang dipimpin terutama
dalam kekuasaan feodalistik.

3

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

Pengamatan seperti ini juga dikemukanan oleh Hans Antlov
(2004), salah seorang sarjana yang banyak melakukan kajian dan
advokasi tentang politik lokal dan demokratisasi desa. Menurutnya,
desain demokrasi elektoral di tingkat nasional yang hanya melibatkan
warganegara untuk ikut dalam pemilu lima tahun sekali, mustahil
menciptakan partisipasi yang bermakna. Karena itu, juga mustahil
menghadirkan demokrasi yang bermakna. Model demokrasi elektoral seperti itu hanya akan membuat para teknokrat dan birokrat
mempertahankan kekuasaan mereka selama masa-antara lima
tahunan antar-pemilu.4 Menurutnya, model demokrasi minimal
demikian hanya menghasilkan reformasi politik yang dangkal — dan
ini membuat korupsi berjalan terus, sistem peradilan yang busuk tidak
bisa berubah, sementara masyarakat akan tetap apatis dan tak percaya
pada negara. Lalu, bagaimana?

***
Antlov berpijak pada dua argumen untuk membuat demokratisasi
Indonesia bekerja dengan maksimal. Pertama, otonomi daerah yang
sejauh ini hanya berlangsung pada level administratif harus disertai dengan penguatan kapasitas politik masyarakat sipil di tingkat
lokal. Meminjam kalimatnya sendiri, “mendukung demokrasi tidak
cukup hanya dengan membuka ruang-ruang baru politik lokal: ada
kebutuhan untuk melakukan tindakan-tindakan yang memungkinkan
suara-suara baru didengar dan memberikan kepada rakyat kekuatan
untuk terlibat mengurus komunitas mereka sendiri” (Antlov 2004:
141). Di sini Antlov tampak menekankan gagasan tentang repolitisasi
masyarakat sipil. 5
4 Teknokrat, berasal dari teknokrasi yaitu sistem pemerintahan yang dijalankan oleh para
ahli. Dalam pengambilan keputusan politik-ekonomi, para ahli yang selanjutnya disebut teknokrat tersebut, menggunakan pendekatan ilmiah-rasional dan teknis untuk melegitimasi
keputusan yang diambil. Akibatnya, keputusan yang diambil meminggirkan pertimbangan
politis sekaligus menyingkirkan peran rakyat dalam pengambilan keputusan.
5 Repolitisasi dimaksudkan sebagai upaya menghidupkan kembali kesadaran politik masyara-

4

PROLOG

Sebelumnya Antlov mengakui bahwa desentralisasi bisa menjadi
agenda depolitisasi masyarakat. Dengan menyerahkan semua
kebijakan pemerintahan menjadi urusan kabupaten/kota dan/atau
provinsi, maka sangat mungkin hanya para politisi dan birokrat lokal
yang memonopoli arah desentralisasi. Di tangan mereka kebijakankebijakan pembangunan daerah menjadi urusan teknis, bukan
politis. Jika demikian halnya maka hasilnya adalah desain kebijakan
desentralisasi yang sepenuhnya bersifat teknokratis, kembali berwatak
top-down (atas-bawah), tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.
Desentralisasi yang seperti itu tidak mencerminkan aspirasi yang
sesungguhnya dari bawah. Desentralisasi dengan watak demikian
justru melanggengkan hubungan kekuasaan elitis dan melestarikan
penyimpangan politik di tingkat lokal – apatisme dan ketidakpercayaan
masyarakat kepada negara.
Kedua, kunci untuk repolitisasi masyarakat sipil dalam proses
desentralisasi adalah dengan cara membuat mereka mau terlibat
dan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik yang
berkaitan dengan kepentingannya yang paling dekat dan nyata –
yaitu menyangkut problem-problem kehidupan mereka sehari-hari.
Bagi Antlov, ini berarti menurunkan urusan publik ke tingkat desa,
khususnya ke tingkat everyday-politics (urusan politik sebagai peristiwa
keseharian yang nyata). Demokrasi lokal hanya bisa menghasilkan
dampak nyata dalam setting yang seriil itu. Dengan keyakinan seperti
inilah Antlov bergerak untuk melanjutkan proyek desentralisasi ke
level desa. Meminjam lagi kalimatnya sendiri Antlov menyatakan, “...
dulu desa adalah objek sentralisasi, depolitisasi, kooptasi, intervensi,
dan instruksi dari atas. Sekarang desa [harus dibayangkan] menjadi
arena demokrasi, otonomi, partisipasi, dan kontrol bagi warga
kat sebagai warga negara, setelah mengalami “tidur panjang” dibawah depolitisasi atau upaya
menjauhkan rakyat dari kehidupan politik yang berdampak pada pelemahan kapasitas politik
warga pada masa Orde Baru.

5

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

masyarakat” (Antlov, 2003).
Menarik bahwa Antlov mengembangkan imaginasi tentang desa
sebagai “arena demokrasi” itu jauh sebelum terbitnya UU No. 6/2014
tentang Desa. Sebagian besar impiannya tampaknya betul-betul
terwujud dalam banyak pasal pada undang-undang itu, terutama
berkenaan dengan isu partisipasi warga desa. Kita tahu bagaimana
peranannya sangat penting – misalnya bersama beberapa NGO, seperti
IRE – ketika mengadvokasi legislasi UU tersebut. Mereka terutama
mempromosikan tema civic-engagement (pelibatan warga) dalam
kerangka demokratisasi desa. Dan persis di sinilah, kita perlu sedikit
mendalami fokus dan tekanan-utama mereka atas gagasan tersebut.
Menurut Antlov, partisipasi warga melibatkan partisipasi
sistematis dalam perumusan dan pembuatan kebijakan oleh kelompokkelompok warga. Pelibatan partisipasi itu juga mencakup kerja
berjejaring dengan mereka yang telah lebih dulu mengembangkan
metode-metode politik partisipatoris untuk konsultasi, deliberasi,
perencanaan, dan monitoring terhadap agenda-agenda dan programprogam pemeritahan desa (Antlov 2004: 142). Jadi, singkatnya politik
partisipatoris harus diwujudkan kembali dengan menguji secara
empiris di tingkat desa. Ini menjadi desain praksis untuk membuat
alternatif bagi demokrasi elektoral yang gagal di tingkat supra-desa.
Bagi banyak pengamat, perwujudan kembali politik partisipatoris
di tingkat lokal memang menjadi sebuah keharusan. Tamrin Amal
Tomagola baru-baru ini mengingatkan bahwa salah satu persoalan
paling serius demokrasi Indonesia adalah pengabaian terhadap
aspirasi-aspirasi masyarakat pedesaan yang sebenarnya merupakan
konstituen terbesar demokrasi. Menurutnya, selama ini demokrasi
Indonesia terlalu berorientasi kota dan hanya terkonsentrasi pada
gerakan kelas menengah perkotaan.6 Kepentingan kalangan menengah
6 Diskusi redaksi Prisma, Cikini, Jakarta, 2 September 2016. Petikannya akan dimuat dalam

6

PROLOG

kota secara sosiologis dan kultural jelas harus dibedakan dengan
kepentingan kelas masyarakat non-kota di tingkat lokal, khususnya di
daerah pedesaan. Demokrasi liberal cukup bisa memenuhi kebutuhan
masyarakat kelas menengah perkotaan akan kebebasan sipil-politik
yang berbasis pada aspirasi-aspirasi individual. Tapi demokrasi tidak
bisa hanya memenuhi kebutuhan individual akan kebebasan sipil
dan politik. Bagi masyarakat pedesaan yang lebih berwatak komunal
(kebersamaan), di mana akses kolektif atas sumberdaya alam lokal
menjadi pertaruhan hidup-mati, demokrasi harus menekankan sisi
partisipasi kolektif warga.
Masalahnya adalah, daya dukung politik masyarakat desa tidak
memadai untuk memperbesar tekanan pada aspek ini. Karena itu
bagi Tamrin, ada kebutuhan untuk reorientasi demokrasi Indonesia
ke arah penguatan kapasitas politik masyarakat desa. Ini adalah kata
lain dari istilah civic-engagement yang ditekankan Antlov di atas. Jadi,
seperti halnya Antlov, Tamrin juga melihat ada dua manfaat dalam
reorientasi ini. Pertama, memberi keseimbangan baru agar demokrasi
tidak hanya berkiblat ke kota, yang cenderung menekankan sisi-sisi
kebebasan individual kelas menengah liberal dan kompetisi elektoral
para elit. Kedua, dengan menekankan aspek partisipatorisnya dalam
latar sosio-kultural komunal berbasis desa, demokratisasi Indonesia
bisa menjadi lebih produktif, inklusif (terbuka), otentik (asli), dan
maksimal.

***
Studi-studi kasus IRE tentang 10 desa di Jawa yang terhimpun
dalam buku ini memberi gambaran bahwa ada yang sedang menggeliat
dari bawah, dari tingkat lokal, dari desa-desa kita. Kasus-kasus yang
diteliti membawa kita untuk memiliki gambaran tentang dimensidimensi empiris mengenai apa yang dipikirkan Antlov dan Tamrin.
rubrik Dialog Prisma, edisi khusus (Januari 2017, akan terbit).

7

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

Di tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru
berupa lemahnya organisasi dan kelembagaan masyarakat sipil di
tingkat desa, maka dengan terbitnya UU No. 6/2014 telah tercipta
kesempatan politik yang terbuka luas bagi lahirnya model-model tata
kelola baru di tingkat desa. Model-model baru itu memang sedang
dalam proses terbentuk, sesuai dengan konteks-konteks problematik
setempat. Cerita-cerita yang terhimpun dari 10 kasus yang distudi
IRE itu baru merupakan sebagian dari ilustrasi nyata yang kini bisa
ditemukan di mana-mana di seluruh penjuru tanah air.
Kesepuluh studi kasus IRE dengan sengaja membatasi fokus
analisisnya untuk melihat tiga aspek: (i) kepemimpinan desa; (ii)
kinerja lembaga-lembaga representasi (perwakilan) desa; dan (iii)
inisiatif warga desa. Hasilnya adalah sebuah bunga rampai yang
merupakan cerita saling-silang; masing-masing bisa bertutur sendiri
mengenai kombinasi yang saling mempengaruhi antara ketiga aspek
itu. Ada kepemimpinan desa yang responsif atau tanggap, didukung
oleh kelompok-kelompok warga desa yang penuh inisatif atau prakarsa
dengan tradisi deliberatif (dialog dan musyawarah) yang punya akar
kuat; dan ditopang pula oleh lembaga-lembaga formal representasi
desa yang terbuka. Ini jelas sebuah kombinasi ideal untuk membangun
pemerintahan desa yang partisipatoris. Ada pula jenis kepemipinan
desa dinastik yang elitis, konservatif, tidak transparan; dan ini biasanya
muncul dari dan/atau melahirkan sikap masyarakat yang apatis atau
tidak peduli dan pasif; serta dilengkapi pula oleh lembaga representasi
desa yang tidak responsif dan tidak kredibel. Hasilnya tentu sebuah
jenis tata-pemerintahan desa yang majal dan anti-pembaruan.
Di tengah-tengah model kombinasi yang ideal dan yang majal
itu, terdapat rangkaian variasi model-model pemerintahan desa yang
penuh ketegangan internal, dinamis, tapi juga involutif atau mandeg.
Misalnya, kepemimpinan inovatif (mampu menghadirkan terobosan)

8

PROLOG

yang muncul dari aktivisme kelompok-kelompok warga masyarakat
yang penuh inisiatif, tapi yang tidak didukung oleh adanya lembagalembaga representasi formal. Atau kepemimpinan yang lemah, tapi
dikontrol ketat oleh lembaga-lembaga representasi masyarakat yang
agresif menyuarakan kepentingan-kepentingan delegatif warga.
Atau kepemimpinan yang kuat, tapi berada dalam ketegangan
dengan kelompok-kelompok warga yang juga kuat, dengan lembagalembaga representasi yang mengalami kemandulan. Atau berbagai
jenis lain variasi-variasi semacam itu. Semua bentuk kombinasi yang
penuh dengan kemungkinan itu, tentu juga menemukan batasbatas strukturalnya. Mana dari ketiga aspek itu yang paling kuat
sebagai faktor dominan, biasanya akan sangat menentukan arah
perubahan baik transformatif atau deformatif. Studi IRE kali ini
cukup memperkaya khazanah wawasan, bagaimana sebuah polity atau
satuan politik berbasis lokal-kewilayahan bergerak karena dialektika
endogennya yang berlangsung dalam dirinya sendiri.
Namun demikian, mengamati dinamika politik “lokalisme kewilayahan” tidak pernah bisa diletakkan di luar pengaruh-pengaruh
eksogen atau berasal dari luar. Ini yang tampaknya lepas dari perhatian
IRE. Faktor-faktor eksogen yang mempengaruhi dinamika sosialpolitik pedesaan di Indonesia perlu juga didasarkan pada perspektif
global. Di sini saya perlu memperkenalkan perspektif Joshua Forrest
(2014), yang dengan meyakinkan telah memperingatkan bahwa
gagasan-gagasan lokalisme kewilayahan kini sedang menyurut.
Mazhab lokalisme kewilayahan percaya bahwa masyarakat pedesaan
mempunyai daya tahan dalam menghadapi apa yang disebut arus
“metropolitanisasi” – yakni pertumbuhan wilayah yang terus berlanjut
di mana kawasan perdesaan terurbanisasi dengan cepat sejalan dengan
kebijakan aglomerasi regional.7
7 Aglomerasi mengacu pada pemusatan aktivitas-aktivitas ekonomi di lokasi yang sama untuk

9

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

Forrest memperlihatkan gejala-gejala baru di mana selama dua
dasawarsa terakhir ini, bahkan di seluruh dunia, potensi masyarakat
lokal dalam mempertahankan kontrol atas sumberdaya perekonomian
masing-masing, pun juga menyangkut kemampuan mereka untuk
membuat dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang berorientasi
pada kepentingan lokal justru sedang sangat menurun.
Beberapa faktor ditunjukkan Forrest menyangkut gejala ini.
Pertama, tentu saja adalah karena pengaruh ekspansi investasi yang
semakin fleksibel yang mengikis batasan teritorial kota-desa. Modal
begitu cepat bergerak dari kota ke desa; dan ini menciptakan proses
de-teritorialisasi. Kedua, pada saat yang sama, untuk mengakomodasi
sumber ekonomi baru akibat investasi itu, ada kebutuhan bagi
pemerintah-pemerintah desa untuk melakukan privatisasi (atau
dikenal swastanisasi) di mana modal mengambil alih atas berbagai jenis
pelayanan publik tertentu. Ketiga, sebagai akibat perluasan investasi
oleh swasta itu, muncul gelombang migrasi yang menyerbu desa-desa
dan gelombang yang akhirnya mengikis tradisi komunitarianisme
(kebersamaan) lokal dan otentik (asli) desa-desa. Singkatnya spirit
lokalisme kewilayahan menjadi melemah. Pelemahan inilah yang
menyebabkan menipisnya otonomi dan kapasitas tata-kelola
penyelenggaraan kepentingan publik pemerintahan desa.
Sampai di sini kita sedang memetakan dua gelombang pengaruh
yang menyerbu desa-desa. UU No. 6/2014 mendesain desa untuk
tumbuhnya kapasitas lokal demokratik melalui skenario pelibatan
warga (civic-engagement). Tapi di pihak lain, aglomerasi yang
menyerbu desa-desa karena ekspansi modal membuat kapasitas
otonomi desa-desa menyurut. Inilah situasi dilematis yang secara
menghasilkan manfaat ekonomi yang pada akhirnya mendorong pembentukan kluster-kluster usaha. Aglomerasi dapat ditandai dengan pembentukan kawasan ekonomi khusus dan
diorientasikan bagi ekspansi (perluasan) sektor industri.

10

PROLOG

struktural menciptakan tantangan besar bagi inisiatif apapun yang
ingin menjadikan desa sebagai situs baru demokrasi partisipatoris.

***
Catatan-catatan di atas sangat penting dikemukakan untuk
menganalisis hasil-hasil studi kasus yang dilakukan IRE yang terhimpun
dalam buku ini. Faktor-faktor kepemimpinan formal desa, inisiatif
warga-desa, dan lembaga representasi desa yang diteliti dalam ke-10
studi kasus adalah unit-unit analisis untuk mendeteksi kemungkinan
munculnya kinerja pemerintahan desa yang partisipatoris. Tetapi
faktor-faktor itu tampaknya memerlukan definisi operasional yang
menegaskan gagasan politik partsipatoris sebagaimana tersaji dalam
matrik tabel 1. Faktor kepemimpinan misalnya mensyaratkan daya
tanggap (responsivitas), kebertanggungjawaban, dan transparansi.
Faktor inisiatif warga mensyaratkan gagasan tentang otonomi lokalkewilayahan dalam rangka klaim kesejahteraan kolektif. Sedangkan
faktor representasi mensyaratkan adanya kemampuan (kapabilitas)
dan kredibilitas (seberapa jauh meraih kepercayaan) kelembagaan
untuk bertindak mewakili aspirasi warga.

11

Kerangka Analisis Politik Partisipatoris

Public Interest
Formation
Public Space
Extention
Publicness/
Inclusiveness of
Aspirations
Capital-Driven
Aglomeration

LEADERSHIP
(responsivity,
responsibility, and
transparancy)

REPRESENTATION
(credibility,
representativeness
capability)

Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi
10
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi
10
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi
10
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi
10

Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi
10
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi
10
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi
10
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi
10

CITIZEN INITIATIVE
(idea of local territorial
autonomy, reassertion
and reclaiming of
welfare)
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

12

Tabel. 1

PROLOG

Ketiga faktor dengan seluruh syarat-syarat instrinsiknya itu,
pada analisis selanjutnya harus dikorelasikan dengan faktor lain yang
bersifat endogen maupun eksogen. Ada tiga faktor endogen untuk
dipakai sebagai parameter pengujian —yakni perumusan kepentingan
publik, perluasan ruang publik, serta inklusivitas dan sifat-kepublikan
aspirasi-aspirasi. Sementara itu satu faktor eksogen adalah menyangkut
fenomena aglomerasi, terutama yang dilatarbelakangi oleh ekspansi
modal dari aktor-aktor/lembaga-lembaga supra-desa.
Kerangka analisis matriks ini penting dipakai untuk melihat
dan memeriksa secara detail setiap studi kasus. Setiap kasus perlu
membeberkan situasi setiap faktor dengan ilustrasi-ilustrasi kongkret.
Hasilnya diharapkan adalah gambaran deskriptif yang lengkap untuk
memperlihatkan beragam bentuk politik partisipasi, kualitasnya,
narasi-narasi mengenai prosesnya, tantangan-tantangannya, capaiancapaian maksimalnya, dan seterusnya. Singkatnya mengenai proses
politik demokrasi partipatoris di dalam arena riil politik lokal.
Kajian menyeluruh berdasarkan analisis matriks itu setidaknya
akan menggambarkan dua hal. Pertama, politik demokrasi lokal sebagai
ajang kontestasi seluruh aktornya – jadi di sini yang ditekankan adalah
gambaran mengenai politik partisipatoris dalam arena kontestasi
yang empiris dan aktual. Kedua, gambaran kontekstual mengenai
eksperimentasi politik partisipatoris untuk melihat secara riil
capaian-capaiannya, hambatan-hambatannya, maupun kegagalankegagalannya.
Dengan kerangka seperti itu, kita telah menggelar panggung.
Setidaknya secara hipotetis, situs demokrasi partisipatoris di tingkat
lokal bisa dikerjakan di luar skema besar demokrasi elektoral nasional
yang minimalis itu. Kita sedang menggelar sebuah upaya untuk
membuat demokrasi berjalan maksimal sebagai urusan publik, sebagai
kepentingan kolektif, dalam pertarungan politik sehari-hari – bukan

13

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

hanya lima tahun sekali seperti panggung demokrasi elektoral. Tentu
kemungkinan kegagalannya adalah sebesar kemungkinan keberhasilannya. Analisis dan interprestasi atas kesepuluh studi kasus IRE
ini bisa dipakai sebagai referensi empiris untuk melihat seberapa
besar kemungkinan dan ketidakmungkinanya dalam konteks-konteks
aktual di tempat lain, di puluhan ribu desa-desa di seluruh Indonesia.
Karena setiap eksperimentasi mengandung gagasan mengenai
model ideal yang dijadikan referensi normatif, perlulah kiranya dibuka
di sini apa yang seharusnya menjadi acuan. Acuan ideal eksperimentasi
demokrasi partisipatoris di tingkat desa ini adalah demokrasi
republikan. Adalah Republikanisme dalam pengertian Plato. Desa
harus dibayangkan sebagai republik di tingkat lokal. Dari sekian
elemen demokrasi republikan, dua di antaranya harus diasumsikan
ada di desa. Dua elemen itu adalah active citizen (warga yang penuh
prakarsa), dan cita-cita yang hidup untuk membangun public-virtue
(kebajikan bagi publik), berbasis common-good, dan common interest.
Kita percaya bahwa spirit komunitarianisme yang hidup di banyak
desa-desa kita masih menyimpan modal sosial dan modal budaya itu.

14

BAB 1

Penemuan Kembali
“Berdesa”

A. Prawacana
Sudah menjadi pengetahuan bersama, kehidupan sosial
kemasyarakatan di desa selama ini dipandu oleh seperangkat nilai yang
diwariskan dari generasi ke generasi. Masyarakat Jawa, misalnya, secara
umum mengenal tiga tata nilai untuk melangsungkan hidup bersama
di desa, yaitu; tata cara, tata krama, dan tata susila. Tata cara mengacu
pada aturan-aturan yang berkaitan dengan tindakan atau mekanisme
dalam menjalani kegiatan sosial kemasyarakatan. Tata krama adalah
etika pergaulan yang berkaitan dengan sopan santun dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan. Sedangkan tata susila merupakan aturan
tingkah laku warga dalam menjalani hidup berbangsa di desa, atau kini
disebut sebagai “berdesa”.8
Secara historis, masyarakat “berdesa” di Nusantara memiliki basis
sosial kehidupan yang berbeda dengan masyarakat Eropa, Amerika,
Arab atau belahan dunia lainnya. Gagasan demokrasi yang kini menjadi
8 Dalam laporan tahunan yang ditulis oleh IRE Yogyakarta, Annual Report 2001 – 2002,
memuat laporan tentang pemikiran demokrasi desa. Dalam laporan tersebut, IRE menemukan bahwa kehidupan sosial kemasyarakatan desa dipandu oleh tiga tata nilai, yaitu tata cara,
tata krama dan tata susila.

15

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

arus utama dalam mengelola kehidupan publik, lahir dan bertumbuh
kembang dari pengalaman masyarakat Amerika yang berwatak individual-liberal maupun masyarakat Eropa yang berakar dari budaya
industrialis. Sistem demokrasi yang kini menyebar luas di berbagai
penjuru dunia adalah hasil pemikiran dari tradisi panjang kehidupan
sosial, ekonomi, kebudayaan, dan kemasyarakatan yang dikenal sebagai “masyarakat Barat”. Tidak salah jika akhirnya demokrasi yang
bekerja adalah pelembagaan tradisi, cita rasa dan karakter “masyarakat
Barat” dalam membingkai kehidupan bersama.9
Sebagian besar warga di negeri ini pada dasarnya masyarakat
petani di desa. Pada masa pra kolonial, masyarakat petani bermukim
dalam wilayah geografis dan pengaruh kekuasaan tradisional yang
cenderung terisolasi dan terbatas jaringan sosial keluar maupun
mobilitas sosial. Tempat bermukimnya berhimpitan dengan ladang,
kebun atau sawah pertanian yang menjadi sumber penghidupan
mereka. Sartono Kartodirjo (1985) menuturkan bahwa karakteristik
masyarakat petani yang berciri khas terpecah kecil-kecil secara
geografis ini, ditemukan pula pada masyarakat India yang diikat dalam
satuan panchayat (desa) yang isolatif, miskin jaringan sosial dan relasi
kekerabatannya kuat.
Situasi ini menurut Sartono Kartodirjo (1985), menjadi berubah
ketika pemerintah kolonial menguasai India dan Nusantara. Masa
kolonial yang mengungkung Indonesia dan India sejak abad 18 mengakibatkan perubahan sosial ekonomi terjadi nyata di desa-desa di

9 Pemikir Alexis De Tocqueville secara menarik memaparkan sejarah demokrasi di Eropa dan
Amerika melalui cara berpikir induktif, yaitu mendeskripsikan narasi-narasi dinamika sosial
suatu kelompok bangsa dari bawah tanpa dibebani oleh suatu kerangka teori dan konsep
tertentu. Kumpulan pemikiran demokrasi dari Tocqueville ini dihimpun dalam sebuah buku
yang disunting oleh John Stone dan Stephen Mennel, diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia pada tahun 2005 dengan judul “Tentang Revolusi, Demokrasi dan Masyarakat” kerjasama
Kedutaan Besar Amerika Serikat, Freedom Institute dan Yayasan Obor Indonesia.

16

Indonesia maupun masyarakat petani Panchayat India.10 Kolonial
Belanda mempengaruhi dalam narasi pertanian dan perkebunan
dalam bentuk sistem tanam paksa, sementara Kolonial Inggris
mempengaruhi pribumi India dengan narasi administrasi bersosial
masyarakat berupa sistem pajak. Pengaruh-pengaruh yang beragam
inilah yang menentukan pembentukan sekaligus perubahan tata nilai
dan orientasi sosial kemasyarakatan di Panchayat (India) maupun desadesa di Indonesia. Tekanan pengaruh rejim kolonial telah membentuk
lanskap sosial-ekonomi-budaya-politik masyarakat desa Nusantara.
Pasca mendeklarasikan kemerdekaan tahun 1945, rejim Orde
Lama berusaha membangun jati diri masyarakat desa melalui narasi
negara bangsa (berbangsa ala negara) dimana nasionalisme menjadi
spirit pengelolaan kehidupan bersama desa. Pada titik inilah,
menjadi awal mula masuknya negara sebagai organisasi kekuasaan
modern ke desa. Namun, ketegangan politik di kalangan elit nasional
menyebabkan rute demokratisasi yang dijalani Indonesia menjadi
limbung. Pergantian rejim Orde Lama ke Orde Baru justru semakin
menjauhkan Indonesia dari rute demokrasi, bahkan berbalik arah
menuju otoritarianisme. Di bawah pemerintahan otoriter Orde Baru,
desa semakin termiskinkan. Kekayaan berupa keragaman sistem,
lembaga dan tata nilai sosial kemasyarakatan desa di Nusantara
tercabik-cabik format penyeragaman desa oleh negara Orde Baru.11
Dalam kondisi semacam inilah desa-desa di Indonesia sulit mengem10 Penjelasan ringkas dil