Makalah Geologi Tambu

PENYELIDIKAN GEOLOGI DAERAH PANAS BUMI TAMBU
KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH
Suparman , Herry Sundhoro, Dede Iim
Kelompok Program Penelitian Panas Bumi
Pusat Sumber Daya Geologi

SARI
Secara administratif daerah panas bumi Tambu termasuk dalam wilayah Kecamatan Balaesang,
Kabupaten Donggala, Propinsi Sulawesi Tengah. Terletak pada koordinat antara 119º 50’ 46,06” – 119º
57’ 19,02” BT dan 0º 2’ 15,57” LU - 0º 6’ 57,29” LS atau 816.833 – 828.995 mT dan 9.987.172 –
10.004.168 mS. Daerah penyelidikan berada di sebelah utara dari Peta Geologi Lembar Palu. Batuan
berupa komplek batuan metamorfik yang menutupi sebagian besar daerah penyelidikan. Stratigrafi
Daerah Tambu disusun oleh lima satuan batuan, urutan dari tua ke muda adalah Satuan Granit (Tmg),
Diorit (Tpd), Batupasir (Qpb), Endapan Pantai (Qs), dan Satuan Aluvium (Qa). Keberadaan struktur
geologi di daerah penyelidikan dicerminkan oleh bentuk kelurusan topografi, gawir sesar, kekar, zona
hancuran batuan atau breksiasi, kontak intrusi, retas-retas, dan munculan manifestasi panas bumi di
permukaan. Manifestasi panas bumi permukaan di daerah panas bumi Tambu berupa kolam air panas
seluas 7 x 5 m2 di Desa Mapane Tambu pada koordinat 821.242 mT dan 9.996.452 mS di ketinggian 3
meter dpl dengan temperatur 57,4 oC. Pemunculan manifestasi panas bumi di daerah penyelidikan
diperkirakan dikontrol oleh keberadaan sesar normal Tambu yang berarah utara baratlaut – selatan
tenggara. Sesar Tambu ini merupakan sesar tua yang diperkirakan teraktifkan kembali, sehingga

memfasilitasi fluida panas yang ada dalam reservoir untuk mengalir menuju permukaan.
PENDAHULUAN
Daerah penyelidikan terletak di sebelah utara dari
Peta Geologi Lembar Palu dan sebelah selatan
dari Peta Geologi Lembar Toli-toli dengan
koordinat antara 119º 50’ 46,06” – 119º 57’
19,02” BT dan 0º 2’ 15,57” LU - 0º 6’ 57,29” LS
atau 816.833 – 828.995 mT dan 9.987.172 –
10.004.168 mS. Secara administratif daerah panas
bumi Tambu termasuk dalam wilayah Kecamatan
Balaesang, Kabupaten Donggala, Propinsi
Sulawesi Tengah (Gambar 1).
Batuan tertua di daerah penyelidikan berupa
komplek batuan metamorfik, menutupi sebagian
besar wilayah daerah penyelidikan, terdiri dari
sekis amfibiolit, sekis mika, gneis dan pualam,
diperkirakan berumur pra Tersier. Diorit dan
granodiorit
menerobos
komplek

batuan
metamorfik. Batuan ini ditindih secara tidak
selaras oleh Formasi Tinombo yang disusun oleh
material rombakan dari batuan metamorfik,
serpih,
batupasir
konglomerat,
rijang,
batugamping dan batuan gunung api yang
diendapkan di lingkungan laut. Batuan Molusa
Celebes Sarasin dan Sarasin, terdapat pada
ketinggian yang rendah dekat pantai, menindih

tak selaras Formasi Tinombo dan Komplek
Metamorfik. Struktur didominasi oleh lajur
sesar Palu yang berarah utara baratlaut,
dibatasi oleh sesar aktif dan bertindak sebagai
pengontrol munculnya mata air panas di daerah
ini. Disamping itu terdapat sesar naik dengan
kemiringan ke arah timur pada Formasi

Tinombo & Komplek Metamorfik.
LETAK GEOGRAFIS
Kabupaten Donggala dengan luas wilayah
10.471,71 km2 secara geografis terletak pada
koordinat 0o 30’ LU - 2o 20’ LS dan 119o 45’ 121o 45’ BT, berbatasan langsung dengan
Kabupaten Tolitoli di sebelah utara, Propinsi
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat di
selatan, Kabupaten Parigi Moutong dan Poso
di sebelah timur, dan Selat Makassar di sebelah
barat. Kabupaten Donggala beriklim tropis
basah, suhu udara tertinggi rata-rata 28,1 ºC
dan terendah 25,4 ºC. Kelembaban udaranya
berkisar antara 70 – 82%. Curah hujan tertinggi
tercatat sebesar 6,5 mm pada bulan Juni dan
terendah 0,66 mm pada bulan Februari.

Jumlah penduduk (2005) Kabupaten Donggala
diketahui sebanyak 473.272 jiwa, terdiri dari
penduduk laki-laki 236.694 jiwa dan perempuan
236.578 jiwa dengan kepadatan penduduk 45

jiwa/km2. Kebutuhan tenaga listrik di Kabupaten
Donggala masih disuplai oleh PLTD Silae, Palu
berkapasitas produksi 47.000 kW milik PT. PLN
(Persero). Sampai akhir tahun 2005, dari 36.234
pelanggan, daya listrik yang terpasang adalah
31.653.132 kWh. Selain PLTD Silae, saat ini
kebutuhan listrik di Kabupaten Donggala dibantu
juga oleh beberapa PLTD sistem Palu, yaitu
PLTD Wuasa (290 kW), Bairi (390 kW), dan
PLTD Siboang (350 kW).
MORFOLOGI
Bentang alam yang terbentuk di daerah panas
bumi Tambu dipengaruhi oleh kegiatan tektonik,
pelapukan, dan erosi yang membentuk perbukitan
memanjang dengan ketinggian mencapai 650 m
dan beberapa bukit kecil dengan ketinggian
mencapai 100 m di atas permukaan air laut, serta
pedataran. Hasil pengamatan di lapangan serta
data topografi dan litologi penyusunnya, bentang
alam daerah penyelidikan terbagi menjadi tiga

satuan morfologi (Gambar 2) yaitu: satuan
perbukitan curam (PC), satuan perbukitan
bergelombang (PG), dan satuan pedataran (PD).
Satuan perbukitan curam (PC), adalah perbukitan
dengan kemiringan lereng maksimum 30°, berada
di sebelah timur memanjang dari utara sampai
selatan dan di bagian selatan daerah penyelidikan.
Perbukitan ini menempati sekitar 72% daerah
penyelidikan, meliputi daerah Gunung Malitopo,
Gunung Batukanjai, Sibualong, dan Tovia. Satuan
perbukitan ini disusun oleh batuan granit yang
umumnya sudah lapuk dengan pola aliran subparalel sampai sub-dendritik pada sungai-sungai
utama seperti Sungai Binangga Tambu, Binangga
Punti, Binangga Maruri, Binangga Tovia, dan
Sungai Binangga Siweli serta lembah sungai
berbentuk “V”, yaitu erosi stadium muda. Daerah
perbukitan curam yang terdapat di bagian utara
merupakan hutan lindung, sedangkan sisanya
dipergunakan perkebunan kakao, lada, dan kelapa.
Satuan perbukitan bergelombang (PG), berupa

kumpulan bukit kecil dengan kemiringan lereng
antara 3°-8°, terdapat di bagian tengah dan
baratdaya daerah penyelidikan sekitar 10% dari
luas daerah penyelidikan, yaitu daerah sekitar
Kampung Baru, Tovia, Eas, dan Sibualong.
Satuan perbukitan ini disusun oleh granit yang

umumnya sudah lapuk dan material rombakan
granit (aluvium) pada bagian lembah. Pola
aliran sungai adalah sub-dendritik pada
percabangan sungai utama, lembah anak sungai
berbentuk “V” dan berbentuk “U” pada sungai
utama.
Satuan morfologi pedataran (PD), merupakan
daerah hamparan material lepas berupa pasir
dan lempung, menempati bagian paling barat
daerah penyelidikan sekitar 18%. Pola aliran
yang
berkembang
adalah

menganyam
(anastomotic) dengan bantaran sungai tidak
terlalu tinggi dan lembah sungai melebar,
mencirikan tingkat pengikisan horizontal lebih
dominan
dibandingkan
arah
vertikal.
Pengendapan aluvium cenderung menebal ke
arah muara dibanding di hulu sungai, seperti
yang terlihat di muara sungai
Binangga
Tambu, Binangga Maruri, dan Sungai
Binangga Siweli. Semua aliran sungainya
bermuara ke barat yaitu ke Teluk Tambu.
Lahan satuan ini dimanfaatkan oleh penduduk
sekitar sebagai lahan persawahan, perkebunan,
dan permukiman.
STRATIGRAFI
Stratigrafi Daerah Tambu disusun berdasarkan

hubungan relatif antara masing-masing satuan
batuan. Penamaan satuan batuan didasarkan
kepada mekanisme, genesa pembentukan dan
jenis batuan. Berdasarkan hasil penyelidikan
lapangan, batuan di daerah penyelidikan
dikelompokkan menjadi lima satuan (Gambar
3), dengan urutan dari tua ke muda adalah
Satuan Granit (Tmg), Diorit (Tpd), Batupasir
(Qpb), Endapan Pantai (Qs), dan Satuan
Aluvium (Qa).
Satuan Granit (Tmg), merupakan satuan batuan
yang dominan tersingkap hampir di seluruh
daerah penyelidikan, yaitu di bagian utara,
timur, dan selatan. Satuan ini merupakan
batuan intrusi berupa tubuh batolit granit yang
membentuk morfologi perbukitan curam di
bagian timur dan selatan sampai perbukitan
bergelombang sedang di bagian tengah daerah
penyelidikan. Satuan batuan granit (Tmg)
menerobos batuan yang lebih tua yaitu batuan

malihan seperti yang terlihat di Sungai
Binangga Tambu (Foto 1)
Karakteristik
megaskopik
berupa
lava
berkomposisi granitik yang termasuk ke dalam
batuan beku dalam, berwarna terang abu-abu

gelap sampai abu-abu, keputih - putihan sampai
kehitaman dan kemerahan, sebagian lapuk,
bertekstur porfiritik-faneritik, kompak, dan
sebagian telah terkekarkan. Di beberapa lokasi
pengamatan memperlihatkan urat-urat silika (Foto
2).
Menurut Simanjuntak (1973), batuan ini
mempunyai umur Miosen Tengah, bahkan hasil
uji pentarikhan jejak belah (fission track)
Direktorat
Inventarisasi

Mineral
(2005)
menunjukkan bahwa granitnya berumur 8,4 ± 0,3
Ma (juta tahun) atau Miosen Tengah.
Batuan malihan yang diterobos oleh granit
tersingkap di Sungai Binangga Tambu, Binangga
Maruri, dan Binangga Tovia, sebagai singkapan
jendela dan tidak terpetakan. Hasil analisis
petrografi berjenis skis (Foto 3). Karakteristik
megaskopis skis yang tersingkap berwarna abu abu kecoklatan, mempunyai bidang foliasi,
kompak, berbutir halus, berukuran lanau, lempung
hingga pasir halus. Batuan umumnya sudah
terkekarkan dan setempat - setempat rekahan itu
terisi oleh urat kuarsa atau kalsit. Umur satuan
batuan malihan ini adalah Mesozoikum
(Simanjuntak, 1973).
Satuan Diorit (Tpd), terdapat di bagian tengah dan
tenggara daerah penyelidikan, yaitu di Daerah
Mapane Tambu dan Tovia. Satuan ini terdiri dari
andesit, amfibolit, dan diorit. Singkapan

umumnya berupa retas-retas berukuran 0,2 meter
sampai 4 meter yang mengintrusi batuan lebih tua,
yaitu satuan batuan granit (Tmg). Singkapan
berupa retas andesit dan amfibolit yang
menerobos granit terdapat di Gunung Malitopo
(Foto 4). Karakteristik megaskopik satuan batuan
ini adalah berupa batuan beku lelehan sampai
dalam, berwarna gelap kehitaman, relatif segar,
afanitik - porfiritik, kompak, dan muncul pada
bidang kekar satuan granit (Tmg). Batuannya
termasuk ke dalam jenis batuan amfibolit.
Batuan kontak (TB-33) antara amfibolit dengan
granit telah menghasilkan batu tanduk (hornfels)
yang secara mikroskopis memperlihatkan tekstur
mosaik dan granoblastik, berbutir halus hingga
berukuran 0,75 mm, bentuk butir xenoblast, dan
disusun oleh mineral kuarsa, plagioklas, serisit,
dan sedikit mineral opak/oksida besi.
Berdasarkan hasil uji pentarikhan jejak belah
(fission track) terhadap sampel amfibolit (TB-79)
menunjukkan bahwa umur satuan diorit adalah
Kala Pliosen Akhir (3,3 ± 0,2 juta tahun).

Satuan Batupasir (Qpb), terdapat setempatsetempat di utara, tengah, dan barat daya
daerah penyelidikan, tersingkap sebagai
singkapan jendela di Sungai Binangga Tambu,
Binangga Maruri, dan Sungai Binangga
Kandang. Penyebarannya terdapat pada
morfologi pedataran sebagai endapan yang
mengisi daerah depresi sisi bagian barat daerah
penyelidikan yang memanjang utara-selatan.
Satuan ini terdiri dari litologi batupasir
lempungan berukuran halus sampai kasar.
Singkapan di Sungai Binangga Tambu
memperlihatkan struktur perlapisan N 156° E
dengan kemiringan kurang dari 5°. Secara
megaskopis batupasir yang segar berwarna
abu-abu gelap sampai abu kecoklatan berbintik
putih berukuran pasir halus-kasar dan dapat
diremas.
Endapan Pantai (Qs), terdiri atas material lepas
berupa pasir dan kerikil hasil rombakan dari
batuan yang lebih tua, baik hasil abrasi
maupun hasil transportasi dari darat.
Penyebarannya di sepanjang garis pantai Teluk
Tambu,
yaitu
bagian
barat
daerah
penyelidikan.
Aluvium (Qa), terdiri dari material lepas
berupa pasir, kerakal, kerikil, lumpur, dan
bongkah hasil erosi dan longsoran pada batuan
yang lebih tua yang terbawa oleh aliran air
sungai. Aluvium ini tersingkap di sepanjang
sungai utama, seperti Sungai Binangga Tambu,
Binangga Maruri, Binangga Siweli, Binangga
Punti, dan Binangga Tovia. Endapan ini berada
pada satuan morfologi
pedataran dan
perbukitan bergelombang sedang.
Sebagai endapan permukaan, satuan ini
merupakan satuan paling muda (Holosen) yang
menjemari dengan satuan endapan pantai (Qs).
Kontak dengan satuan batuan di bawahnya
berupa kontak ketidakselarasan (unconformity).
STRUKTUR GEOLOGI
Keberadaan struktur geologi di daerah
penyelidikan dicerminkan oleh bentuk
kelurusan
topografi,
yaitu
kelurusan
punggungan bukit dan lembah sungai, dinding
patahan atau gawir sesar, kekar, indikasi sesar
berupa cermin sesar (slicken side), zona
hancuran batuan atau breksiasi (deformation
zone), kontak intrusi, retas-retas, dan munculan
manifestasi panas bumi di permukaan.

Berdasarkan indikasi di lapangan, struktur geologi
daerah penyelidikan berdasarkan urutan terjadinya
adalah terdiri dari tiga struktur geologi berupa
sesar berarah relatif utara - selatan yang sejajar
dengan sesar utama (N 168° - 172° E), satu sesar
berarah timur tenggara - barat baratlaut (N 276°
E), dan tiga sesar termuda yang berarah tenggara
- timurlaut (N 116° - 123° E dan N 283° E). Sesar
paling tua adalah sesar normal Balaesang, Tambu
dan sesar normal Batukanjai (N 168° - 172° E)
dengan kemiringan antara 70° - 78° ke arah barat.
Ketiga sesar tersebut memotong granit (Tmg),
terlihat dengan terdapatnya cermin sesar berarah
N 170° E / 72° W pada granit di Sungai Binangga
Maruri (Foto 5). Sesar normal Balaesang dan
sesar normal Tambu diperkirakan sebagai sesar
yang membentuk zona depresi (menangga) di sisi
bagian barat yang saat ini sudah terisi oleh
endapan batupasir dan aluvium. Sama halnya
dengan kedua sesar tersebut, blok bagian barat
dari sesar normal Batukanjai merupakan bagian
yang bergerak relatif turun dan saat ini terisi oleh
sedimen batupasir dan aluvium. Dalam
perkembangannya
semua
sesar
tersebut
diperkirakan teraktifkan kembali bersamaan
dengan terbentuknya beberapa sesar normal
mengiri yang memotong barat - timur. Pada
beberapa tempat sesar Balaesang maupun sesar
Tambu terpotong dan bergerak ke arah timur
sebagai akibat pergeseran dari sesar normal
mengiri lebih muda yang memotongnya.
Pergeseran jalur sesar Balaesang tersebut
menghasilkan beberapa pola kelurusan kontur di
bagian timurnya. Sesar Tambu diperkirakan
sebagai struktur geologi yang mengontrol
pemunculan manifestasi kolam air panas Mapane
Tambu.
Empat struktur sesar lainnya berarah baratlaut –
tenggara, yaitu sesar normal mengiri (oblik)
Maruri, Kampung Baru, Mapane Tambu, dan
sesar normal mengiri Sibualong. Sesar Maruri
dan sesar Kampung Baru yang memiliki arah N
320° - 323° E / 62° NE, blok bagian utara
merupakan bagian yang bergerak relatif turun.
Sesar Maruri memotong bukit dari Gunung
Batukanjai dan menerus ke arah timur-tenggara
mengikuti lembah sungai Binangga Tovia. Dua
sesar normal mengiri lainnya, yaitu sesar Mapane
Tambu dan sesar Sibualong yang berarah N 142°
- 144° E / 62° SE , blok bagian selatan merupakan
bagian yang bergerak turun. Sesar normal mengiri
ini telah mengakibatkan munculnya beberapa
tubuh intrusi/retas diorit (andesit, amfibolit) di
beberapa tempat.

Selain struktur geologi tersebut di atas,
berdasarkan analisis peta topografi, analisis
citra satelit dan juga hasil pengamatan di
lapangan menunjukkan bahwa di daerah
penyelidikan terdapat juga kelurusan berarah
utara-selatan di bagian timur daerah
penyelidikan, tepatnya kelurusan punggungan
perbukitan Gunung Malitopo. Kelurusan ini
diperkirakan sebagai jejak jalur sesar tua yang
menyebabkan
intrusi
granit
(batolit)
memanjang utara-selatan.
MANIFESTASI PANAS BUMI
Hasil penyelidikan di Daerah Panas Bumi
Tambu terdapat manifestasi panas bumi
permukaan berupa kolam air panas seluas 7 x 5
m2 di Desa Mapane Tambu pada koordinat
821242 mT dan 9996452 mS di ketinggian 3
meter di atas permukaaan air laut (Foto 6).
HIDROLOGI
Hidrologi daerah penyelidikan secara umum
terbagi menjadi areal resapan (recharge area)
tempat terjadinya penetrasi air meteorik di
permukaan bumi, dan areal munculan
(discharged area). Tempat munculan air bisa
terjadi di permukaan dan bawah permukaan.
Areal resapan terletak di daerah-daerah yang
berelevasi tinggi, berupa pegunungan dan
perbukitan di daerah penyelidikan, sedangkan
areal limpasan terletak di daerah berelevasi
rendah, berupa pedataran dan tekuk lereng.
Dua areal inilah yang memegang peranan
penting dalam hal siklus hidrologi di daerah
penyelidikan.
Daerah resapan air (recharge area) mencakup
wilayah sekitar 76 % dari luas daratan daerah
penyelidikan, yaitu berada pada morfologi
perbukitan berlereng curam dan sebagian
perbukitan bergelombang sedang. Pada areal
ini air hujan (meteoric water) meresap ke bumi
melalui zona permeabilitas (feed-zone).
Selanjutnya air akan terakumulasi menjadi air
tanah dalam dan air tanah dangkal
(catchment/reservoir area) dan daerah
akumulasi air tanah.
Daerah munculan air tanah mencakup 23 %
dari luas daratan daerah penyelidikan. Air
hujan yang turun di daerah resapan air tersebut
meresap ke bumi melalui zona permeabilitas
batuan, sebagian besar masuk ke bumi dan
terkumpul menjadi air tanah dalam dan

dangkal. Pada elevasi sedang sampai rendah, yaitu
pada morfologi perbukitan bergelombang sedang
sampai pedataran, air muncul berupa mata air.
Pada daerah sekitar sungai merupakan daerah
limpasan (run-off water area). Aliran air
permukaan merupakan air hujan yang mengalir di
permukaan tanah dan membentuk sungai. Aliran
air di sungai secara gravitasi mengalir dari elevasi
tinggi ke rendah, seperti halnya Sungai Binangga
Tambu, Binangga Tovia, dan Sungai Binangga
Maruri, serta anak-anak sungai lainnya (Gambar
4).
DISKUSI
Morfologi daerah penyelidikan didominasi oleh
satuan perbukitan berlereng curam yang berada di
bagian timur daerah penyelidikan. Sebelah barat
dari satuan perbukitan curam ini adalah
perbukitan bergelombang sedang dan pedataran.
Perbukitan berlereng curam dan perbukitan
bergelombang sedang tersusun oleh bukit-bukit
granit. Morfologi pedataran berada pada zona
depresi Balaesang.
Satuan batuan tertua yang ada di daerah
penyelidikan adalah granit yang berumur Miosen
Tengah. Penyebarannya di bagian timur dan
selatan daerah penyelidikan. Granit yang
tersingkap sangat luas tersebut awalnya
merupakan sebuah tubuh batolit yang kemudian
tersingkap di permukaan. Aktivitas tektonik yang
terjadi
pada
Kala
Oligosen-Miosen
mengakibatkan terbentuknya sebuah struktur
besar sejajar struktur utama Palu-Koro yang
berarah relatif utara timurlaut-selatan tenggara.
Zona lemah sepanjang struktur tersebut telah
memungkinkan untuk terjadinya intrusi granit
yang kemudian membentuk struktur batolit pada
batuan yang diterobosnya, yaitu batuan malihan.
Akibat aktivitas tektonik berupa pengangkatan
dan proses erosi, batolit yang semula berada di
antara tubuh batuan malihan sekarang tersingkap
di permukaan dan muncul sebagai perbukitan
granit. Aktivitas tektonik selanjutnya adalah
pembentukan beberapa struktur sesar normal
(sesar Balaesang, Tambu, dan sesar Batukanjai)
yang mengakibatkan terbentuknya struktur sesar
menangga dan membentuk zona depresi (depresi
Balaesang) di bagian barat daerah penyelidikan
pada Kala Miosen-Pliosen. Aktivitas tektonik
selanjutnya menghasilkan beberapa buah sesar
normal-mendatar (oblik) berarah relatif barattimur (sesar Maruri, Kampungbaru, Mapane

Tambu, dan sesar Sibualong). Sesar-sesar ini
diperkirakan sebagai antitetik dari sesar normal
berarah utara timurlaut-selatan tenggara.
Berkembangnya struktur sesar di daerah ini
menghasilkan beberapa zona lemah yang
diterobos oleh diorit (amfibolit, andesit) berupa
retas-retas. Retas-retas diorit inilah merupakan
batuan beku paling muda yang ada di daerah
penyelidikan. Batuan terobosan generasi inilah
yang diperkirakan sebagai massa yang menjadi
sumber panas (heat source) dalam sistem
panasbumi Tambu. Ketika aktivitas tektonik
mulai reda, zona depresi yang terbentuk mulai
terisi oleh material hasil erosi dari granit dan
skis yang terdapat di bagian timur daerah
penyelidikan. Aliran sungai yang bermuara ke
arah barat membawa material hasil erosi dan
menghasilkan endapan berupa batupasir muda
berlapis. Selanjutnya, proses erosi yang
berlangsung sampai saat ini menghasilkan
endapan aluvium. Endapan aluvium ini
berselingan dengan endapan pantai di
sepanjang pantai barat (Teluk Tambu), yaitu di
daerah paling barat dari daerah penyelidikan.
Mekanisme pembentukan sistem panas bumi,
pada Kala Miosen Pliosen diawali dengan
terjadinya
aktivitas
tektonik
yang
menghasilkan beberapa struktur geologi berupa
sesar di daerah penyelidikan. Sesar-sesar ini
membentuk sesar menangga (graben) yang
pembentukannya satu periode dengan sesar
utama Palu-Koro. Sesar-sesar tersebut memicu
terjadinya terobosan sebagian magma menjadi
batuan beku dalam di daerah penyelidikan.
Tubuh magma inilah yang kemudian
diperkirakan sebagai sumber panas (heat
source) yang memiliki sisa panas dari dapur
magma.
Sebagai daerah yang banyak dipengaruhi oleh
struktur geologi (sesar, kekar) daerah ini
memiliki kemampuan yang baik untuk
meloloskan air permukaan (meteoric water) ke
bawah permukaan. Selain itu, zona depresi
yang terisi sedimen batupasir memungkinkan
intrusi air laut ke dalam rongga antar butiran.
Sebagian air meteorik dan air laut tersebut
kemudian berinteraksi dengan fluida dan gas
magmatik yang berasal dari tubuh magma dan
terjadi rambatan panas yang menghasilkan
fluida panas.
Fluida panas yang terbentuk kemudian
terakumulasi dalam lapisan reservoir, terbentuk

akibat dari banyaknya rekahan yang berkembang
pada batuan malihan maupun batuan dasar.
Interaksi antara fluida panas yang tersimpan di
reservoir dengan batuan di atasnya (sekitarnya)
menghasilkan batuan ubahan (alterasi) yang
bersifat kedap air (impermeable) yang disebut
dengan batuan penudung (cap rock).
Manifestasi panas bumi yang terdapat di Mapane
Tambu terdapat pada daerah munculan air tanah
(discharge area). Air hujan yang meresap ke
dalam bumi melalui zona permeabilitas batuan
kemudian mengalami proses pemanasan oleh
batuan penghantar panas secara konveksi,
konduksi atau radiasi, dan selanjutnya muncul ke
permukaan berupa mata air panas (Gambar 5).
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada Kepala Pusat Sumberdaya Geologi
(PMG), Kepala Kelompok Program Penelitian
Panas Bumi beserta jajarannya, dan teman-teman
yang telah memberi dukungan serta saran dalam
penyusunan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bemmelen, van R.W., 1949. The Geology of
Indonesia. Vol. I A. General Geology Of
Indonesia And Adjacent Archipelagoes.
Government Printing Office. The Hague.
Netherlands.
BPS (Badan Pusat Statistik Kabupaten Donggala,
2005); Donggala dalam Angka 2005.
Kerjasama BPS dan Bappeda Kabupaten
Donggala.
Lawless, J., 1995. Guidebook: An Introduction to
Geothermal System. Short course. Unocal
Ltd. Jakarta.
Murtolo,1993, Geomorfologi Lembah Palu dan
Sekitarnya, Sulawesi Tengah, Jurnal
Geologi dan Sumberdaya Mineral, Vol –
III
Saefudin,1994, Batuan Granitik daerah Palu dan
Sekitarnya, Sulawesi Tengah, Jurnal
Geologi dan Sumberdaya Mineral, Vol –
IV.
Simanjuntak, dkk., 1973. Peta Geologi Lembar
Palu - 2015 & 2115, Sulawesi, Skala 1:
250.000.
Pusat
Penelitian
Dan
Pengembangan Geologi. Bandung.

Tim Terpadu Panas Bumi Daerah Marana.
2004. Penyelidikan Terpadu Geologi,
Geokimia dan Geofisika Daerah Panas
Bumi Marana-Marawa, Kecamatan
Sindue,
Kabupaten
Donggala,
Sulawesi Tengah. Laporan. Direktorat
Inventarisasi Sumberdaya Mineral.

120o BT

121o BT

U

0o

Peta index
1o LS

Daerah penyelidikan

Gambar 1. Peta lokasi daerah penyelidikan

Gambar 2. Peta morfologi daerah penyelidikan

Gambar 3. Peta geologi daerah penyelidikan

Gambar 4. Hidrologi daerah penyelidikan

Gambar 5. Model panas bumi tentatif daerah panas bumi Tambu

Foto 1. Granit yang menerobos skis di Sungai Binangga Tambu.
Bidang kontak antara granit dan skis

Foto 2. Granit yang telah terkekarkan di Sungai Binangga Maruri.
Kekar yang telah terisi oleh mineral kuarsa (urat kuarsa).

Foto 3. Singkapan skis di dasar hulu Sungai Binangga Tambu.
Rekahan pada skis yang telah terisi oleh mineral kuarsa.

Foto 4. Andesit yang menerobos granit melalui bidang kekar di Gunung Malitopo.
Struktur kekar berlembar (sheeting joint) nampak terbentuk pada andesit.

Foto 5. Cermin sesar dan zona hancuran pada granit di Sungai Binangga Maruri

Foto 6. Kolam air panas Mapane Tambu di Desa Mapane Tambu
yang terdapat pada pedataran aluvium di ketinggian 3 mdpl.