PENYAWAHAN TERUS MENERUS MEMACU PERECEPATAN PELAPUKANAN TANAH Rice‐field Cultivation Continuously was Accelerated Soil Weathering R. Sudaryanto Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126 Abstract - Penyawahan
35 PENYAWAHAN
yang terkonversi di pulau Jawa selama 1978 ‐1998 mencapai 0,7 juta ha, yang berarti telah
pola tanam tersebut akan menyebabkan perubahan sifat fisik tanah (Hardjowigeno
mengalami masa tergenang lebih singkat dibandingkan masa keringnya. Akibat perbedaan
yang lebih lama dibandingkan masa kering, sedangkan sawah 1 kali, tanahnya
2 kali, dan sawah 1 kali. Tanah sawah 3 kali akan tergenang terus‐menerus sepanjang tahun. Tanah sawah 2 kali mengalami masa tergenang
sehingga menghadirkan beberapa macam pola tanam, seperti sawah 3 kali, sawah
pada musim kemarau tanah sawah juga digunakan untuk menanam palawija, ataupun diberakan,
tanaman. Pada kenyataannya tanah sawah tidak hanya untuk menanam padi,
sawah mempunyai ciri khas yaitu: (1) pelumpuran pada saat penyiapan lahan, dan (2) penggenangan dan pengeringan pada saat pemeliharaan
pada penalaran dan beberapa hasil penelitihan sebagai berikut: Budidaya padi
lahan untuk sawah diduga dapat mempercepat penurunan kualitas tanah (degradasi tanah), terutama tanah yang disawahkan secara terus menerus. Hal ini didasarkan
akan menurunkan tingkat produksi beras. Penggunaan
terjadi penyusutan sebesar 35 ribu ha/tahun. Penyusutan lahan sawah secara langsung
ha pada tahun 1988 menjadi 3,37 juta ha pada tahun 1999. Menurut Irawan (2004), dalam Abdurachman (2005), luas lahan sawah
TERUS MENERUS MEMACU PERECEPATAN PELAPUKANAN TANAH Rice ‐field Cultivation Continuously was Accelerated Soil Weathering
et al., 2005). Di Pulau Jawa terjadi penyusutan luas lahan sawah dari 3,48 juta
tetapi pada tahun 2002 lahan sawah di Indonesia menyusut menjadi 7,78 juta ha (Abdurachman
di Indonesia 7,77 juta ha yang meningkat menjadi 8,52 juta ha pada tahun 1996,
Beras pada umumnya diproduksi dari lahan sawah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 1986 luas lahan sawah
Indonesia.
Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk di Republik
sand and clay content in the soil, rice‐field cultivation, and soil development
PENDAHULUANThis research was aimed to find out the existence of soil acceleration development
indication as the result of the cultivation which was done continuously and for a long period. This
research was done by analyzing soil samples which were taken from non‐rice‐field soil and
cultivated soil which had been used for 20 years, 30 years, and 40 years in cultivation intensity
once a year, twice a year and three times a year. Those analyzed soils had the same primary
substances. The sand and clay content in the soil was chosen as the indicator of the soil
weathering acceleration because of rice‐field cultivation. From the data gathered, it wasanalyzed the connection with the cultivation length and cultivation pattern through the
similarities of correlation and regression. The research result showed that: soil which was used
continuously and for a long period would tend to decrease the sand content but increase the clay
content in the soil. The increase of clay and the decrease of sand in the soil indicated the high soil
weathering intensity which would fasten the soil development. Therefore, it is suggested that it is
not needed to do puddling phase while land preparation phase, because puddling tend to mineral
weathering, and if it is possible cultivation by no tillage soil system could be done. Keywords:
Abstract
Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126
R. Sudaryanto
dkk., 2004). Penyiapan lahan untuk budidaya padi sawah pada umumnya dilakukan sampai
36 terjadi pelumpuran. Penyiapan lahan seperti ini dapat menyebabkan penghalusan partikel tanah
secara periodik. Prasetyo dan Kasno (1998) menemukan bahwa hidratasi oksida Fe
penurunan kapasitas infiltrasi rata ‐rata 51%. Sementara sebelum itu Mikklesen
dan Patrick (1968) melaporkan bahwa rata‐rata permeabilitas dan perkolasi akan berkurang menjadi 1/3 sampai dengan1/6
dari nilai aslinya setelah beberapa tahun secara terus menerus disawahkan. Pada
fase pemeliharaan tanaman pemberian air irigasi dilakukan secara periodik
dengan cara
penggenangan, kemudian air ditahan dalam petak dan dibiarkan hilang hanya melalui evapotranspirasi dan infiltrasi. Akibatnya terjadilah kondisi basah dan kering silih berganti
dan Mg silikat dan bahan organik terjadi pada lahan padi jika digenang dan proses hidratasi
tanam di ubah dari padi – gandum menjadi padi – padi – gandum. Misak et al., (2002)
inilah yang memudahkan terjadinya pembengkaan tanah. Hasilnya adalah pengurangan gaya kohesi dalam agregat tanah dan mineral menjadi lebih lunak, mudah hancur atau terlarut serta akan mempermudah
pelapukan mineral. Kondisi basah dan kering yang silih berganti
pada budidaya padi sawah akan menimbulkan suasana reduksi dan oksidasi yang
silih berganti. Suasana redoks ini membuka kemungkinan untuk berlangsungnya proses pelapukan mineral yang
disebut ferolisis. Menurut Brinkman (1970) pada suasana reduksi fero yang terbentuk
akan mendesak kedudukan basa‐ basa lain seperti K, Na, Ca, dan Mg yang terdapat
dalam kisi mineral. Sebaliknya pada saat kering fero akan teroksidasi menghasilkan
juga melaporkan bahwa pelumpuran menyebabkan pemadatan tanah dan menimbulkan
(1983) bahwa perkolasi menurun dari 9 ‐15 mm/hari menjadi 2 – 10 mm/hari jika sistem pola
dan pengaruh pelumpuran ini terhadap sifat fisik tanah yang lain menjadi sangat spesifik
bertambah 2 kali lipat karena pelumpuran, dengan demikian akan mengubah
(Prasetyo dkk., 2004). Pelumpuran tanah akan menghalusan partikel
tanah dan selanjutnya akan berpengaruh pada sifat fisik tanah lain seperti:
retensi air, berat volume dan permeabilitas tanah. Tanah porus dengan agregat yang strukturnya bagus karena pelumpuran
akan menjadi masif (Sharma dan De Datta, 1985). Hal ini tentu saja akan menyebabkan
perubahan ukuran pori tanah yang selanjutnya akan mempengaruhi pertukaran
gas, retensi air dan transmisi air dan evaporasi dari dalam tanah. Sanchez (1993) menemukan bahwa 91–100 % dari volume pori dirusak oleh pelumpuran pada tanah bertekstur lempung debuan. Pori kapiler
retensi dan transmisi air (Taylor, 1978; Cheng, 1983). Tanah‐tanah yang bertekstur
rata‐rata 3 – 6%, Penurunan permeabilitas tanah akibat pelumpuran juga dilaporkan oleh Cheng
halus yang dilumpurkan juga akan berpengaruh pada retensi air. Menurut Farbrother (1970) pada tanah ‐tanah bertekstur liat pengurasan lengas tanah oleh tanaman terhenti 25% berat tanah, sementara
itu tanah jenuh air adalah kira‐kira 36% berat tanah.
Menurut Ghildyal, (1978) pelumpuran pada agregat yang baik dan tanah porus menyebabkan
tanah menjadi masif dan berat volume meningkat bersama pengeringan karena penyusutan. Pengeringan menyebabkan
tanah berlumpur menjadi keras dan padat serta retakan yang lebar dan dalam,
tergantung pada kandungan dan sifat mineral liat. Misak et al., (2002) juga mengemukakan
bahwa pelumpuran akan menyebabkan peningkatan berat volume tanah
feri dan ion hidrogen, dengan demikian aktivitas H
- + tinggi, sehingga mineral
- – cu
37 liat akan mengalami hidrolisis dan selanjutnya terjadilah pelapukan mineral.
water)
No. Parameter Satuan Metode Analisis/Alat Pengukur
1
2
3
4
Berat volume Tekstur
tanah meliputi:
a. Kandungan pasir
b. Kandungan liat Air tersedia (available
Permeabilitas tanah gram/cm 3
penyawahan dan pola tanam dilihat melalui grafik korelasinya. Kajian keeratan antara parameter yang diamati dengan lama penyawahan, dilihat dari koefisien korelasi dan persamaan regresi. Tabel
% % %
cm/jam
Ring sampler Metode Pipet Metode pipet Kalkulasi Permeameter
Untuk melihat hubungan antara parameter yang diamati dengan lama penyawahan dan pola tanam, data parameter terkait disusun dalam bentuk matrik.
Kandungan fraksi Pasir Dalam Tanah (%)
Data kandungan fraksi pasir dalam tanah disajikan dalam Tabel 2, Gambar grafik 1 dan
Gambar diagram 2. Hubungan korelasi antara kandungan fraksi pasir dalam tanah dengan lama
penyawahan dan pola tanam disajikan Gambar 3 (lihat Lampiran).
1. Parameter sifat fisik tanah dan cara analisisnya yang diamati dalam penelitian
Analisis data parameter yang diamati untuk melihat hubungan antara parameter dengan lama
Pelumpuran dan basah‐kering yang silih berganti merupakan faktor pembeda yang menonjol
ini bertujuan membuktikan adanya indikasi perubahan sifat fisik tanah akibat penyawahan
antara tanah sawah dengan tanah bukan sawah. Tanah sawah yang digunakan untuk
budidaya padi sawah 3 kali, frekuensi pelumpuran dan penggenangannya lebih tinggi
dari penggunaan lahan yang lain, sehingga diduga akan menyebabkan penurunan kualitas tanah (degradasi tanah).
Kecurigaan munculnya fenomena yang mengindikasikan adanya degradasi tanah, khususnya
tanah‐tanah yang disawahkan telah dikemukakan oleh Adiningsih (1992) yang
menemukan adanya
penurunan produksi padi yang disebabkan oleh degradasi tanah. Degradasi tanah oleh Rossiter (2001) didefinisikan sebagai hilangnya fungsi dari tanah atau penurunan kapasitas tanah untuk menyediakan
yang terbaik bagi pertumbuhan tanaman. Menurut Larson dan Pierce (1991) degradasi
adalah penurunan kualitas tanah sedangkan peningkatan kualitas tanah disebut
agradasi. Pelumpuran, penggenangan dan pengeringan pada budidaya padi sawah dalam kurun waktu yang lama, diduga akan memacu perubahan sifat fisik tanah. Penelitian
secara terus menerus dan dalam waktu yang lama.
Parameter yang diamati (indikator) dan cara analisisnya disajikan dalam Tabel 1.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis sampel tanah yang diambil dari tanah bukan sawah, tanah yang telah disawahkan
selama 20 tahun, 30 tahun dan 40 tahun pada intensitas penyawahan 1 kali setahun,
2 kali setahun dan 3 kali setahun. Tanah ‐tanah yang diamati tersebut mempunyai
bahan induk yang sama. Penelitian ini dilakukan di Daerah Irigasi
Bendung Colo Timur, yang sumber airnya diperoleh dari Waduk Gajahmungkur Wonogiri Jawa Tengah. Desa Kriwen merupakan
sawah yang telah disawahkan 3 kali selama 20 tahun dan sawah di wilayah Desa
Combongan merupakan sawah yang telah disawahkan 3 kali selama 40 tahun. Kedua
desa tersebut termasuk wilayah Kecamatan Sukoharjo. Desa Nguter Kecamatan
Nguter teridentifikasi merupakan desa yang lahan sawahnya telah disawahkan 3 kali selama 30 tahun.
HASIL DAN PEMBAHASAN
38
Secara tidak langsung argumen di atas juga didukung oleh Sharma dan De Datta
di atas ditunjang oleh Wilding
et al., (1983) yang mengatakan bahwa
ketahanan mineral terhadap pelapukan dipengaruhi oleh (a) Perbedaan unsur penyusun, (b) Perbedaan lingkungan pelapukan
dan
(c)
Ukuran mineral.
Argumentasi di atas didukung oleh hasil penelitian Chaundhary dan Ghildyal (1969) yang
melaporkan bahwa pelumpuran dapat menurunkan diameter agregat dari 1,70 mm menjadi
0,30 mm. Selanjutnya Ghildyal (1978) melakukan penelitian sendiri di laboratorium
menggunakan agregat yang berukuran lebih kecil dari pasir kasar. Pelumpuran
dapat memecahkan kira‐kira 40% dari agregat tersebut ke dalam fraksi yang berukuran kurang dari 0,05 mm.
(1985), mereka melaporkan bahwa tanah bertekstur lempung berliat jika dilumpurkan akan
ferolisis (dekomposisi). Kedua proses tersebut diduga akan memacu pelapukan mineral
mengalami perubahan distribusi ukuran pori tanah. Tanah tersebut jika dilumpurkan pori berukuran >30µm (pori makro) berkurang sampai 87%, pori berukuran 0,6 – 30 µm (pori kapiler). dan pori berukuran <0,6 µm
(pori mikro) meningkat sekitar 7 – 52%. Sementara itu Plaster (2004) menyatakan penurunan
ukuran pori disebabkan oleh penurunan ukuran partikel penyusun tanah. Dari
kedua hal ini dapat disimpulkan bahwa pelumpuran akan cenderung menurunkan kandungan fraksi pasir dalam tanah, atau dengan kata lain pelumpuran dapat menghaluskan partikel tanah.
Kandungan fraksi Liat Dalam Tanah (%)
Hubungan antara kandungan fraksi liat dalam tanah dengan lama penyawahan dan penggunaan
lahan disajikan pada Tabel 3; Gambar 4; dan Gambar 5. Sementara grafik korelasi antara kandungan fraksi liat dalam tanah
dengan lama penyawahan disajikan dalam Gambar 6 (lihat Lampiran). Berdasarkan
koefisien korelasi antara kandungan fraksi liat dalam tanah dengan lama
penyawahan dapat dijelaskan bahwa kandungan liat tanah pada berbagai macam pola
fraksi pasir, menjadi mineral fraksi liat. Statement
dan pengeringan yang silih berganti akan memungkinkan terjadinya proses
Berdasarkan koefisien korelasi antara kandungan pasir dalam tanah dengan lama penyawahan
Bukan sawah
dapat dijelaskan
bahwa kandungan pasir tanah berkoralasi negatif atau
mempunyai hubungan berbanding terbalik dengan lama penyawahan, dan pola tanam
hubungan tersebut cukup signifikan. Dari persamaan regresi di atas terlihat bahwa kandungan
pasir cenderung menurun sebesar 0,297% per tahun. Sedangkan pada tanah bukan sawah kandungan pasir tanah juga cenderung
menurun, tetapi jauh lebih kecil, yaitu 0,095% per tahun. Tabel 2. Hubungan antara kandungan pasir dalam
tanah (%)dengan lama penyawahan dan penggunaan lahan
Penggunaan Lahan Lama Penyawahan (tahun)
20
30
40
37,4
dengan alat pengolah tanah akan memungkinkan terjadinya penghalusan partikel tanah (disintegrasi). Sementara itu penggenangan
37,0
35,5
Sawah 1 kali 32,0 32,0 29,2 Sawah
2 kali 29,2
29,1
25,4
Sawah 3 kali 22,5 22,2 18,4
Penyawahan akan menurunkan kandungan
faksi pasir, melalui pelumpuran. Pelumpuran akan terjadi merusak agregat makro
menjadi agregat yang lebih kecil, bahkan pelumpuran dapat mencerai‐beraikan tanah
ke dalam partikel tunggal dan gesekan antar partikel tunggal dan antara partikel tanah
tanam berkorelasi positif atau mempunyai hubungan berbanding lurus
Pola Tanam Lama Penyawahan (tahun) 20 30 40
secara terus menerus dan dalam waktu yang lama cenderung meningkat 0,304%
retensi air dan penurunan transmisi air (Taylor, 1973; Cheng, 1983). Tanah yang sering dilumpurkan akan menyebabkan konduktifitas hirolik tanah jenuh
dan perkolasi menurun (De Datta, 1981; Gupta dan Janggi, 1972; Wickham dan Singh,
1978).
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat perubahan sifat fisik tanah pada tanah yang disawahkan secara terus menerus dan dalam waktu yang lama.
Perbedaan tersebut antara lain pada kandungan pasir, kandungan liat, serta penurunan
kandungan pasir dan peningkatan lengas. Kandungan
pasir tanah yang disawahkan secara terus menerus dan dalam waktu yang lama, cenderung menurunan sebesar 0,297% per tahun, sedang pada tanah bukan sawah penurunan kandungan pasir lebih kecil (0,095 %
per tahun). Kandungan liat di dalam tanah yang disawahkan
per tahun. Sedang pada tanah bukan sawah peningkatan kandungan liat relatif kecil (0,16 % per tahun).
tanah menjadi lebih halus akan menurunkan porositas total tanah (Plaster, 2004), dan kemudian diikuti perubahan sifat fisik
Penurunan kandungan pasir dan peningkatan lengas yang lebih cepat dibandingkan
tanah yang tidak disawahkan secara terus‐menerus dan dalam waktu yang lama
dapat menjadi indikator lajunya pelapukan tanah. Pelapukan tanah umumnya diikuti
pelepasan unsur hara, dimana unsur hara ini akan segera hilang dari dalam lapisan tanah karena diserap oleh akar tanaman dan tercuci
oleh air perkolasi. Selanjutnya hal ini akan memacu pula penurunan tingkat kesuburan
tanah. Dari kesimpulan di atas disarankan agar penyiapan
lahan untuk tanah sawah tidak perlu sampai terjadi pelumpuran. Bahkan bila memungkinkan
penyiapan lahan sawah dilakukan tanpa olah tanah (TOT).
yang lain seperti, peningkatan berat volume, penurunan permeabilitas, peningkatan
39 dengan lama penyawahan, hubungan tersebut signifikan. Tabel
3. Hubungan antara kandungan fraksi liat dalam tanah (%) dengan lama penyawahan
kandungan liat juga cenderung meningkat, tetapi peningkatannya lebih kecil (0,16%
dan pola tanam
Bukan sawah 18,9 21,3 22,1 Sawah 1 kali 25,4 25,4 28,8 Sawah
2 kali 26,3
26,3
29,6
Sawah 3 kali 34,9 36,4 42
Dari
persamaan regresinya terlihat jika tanah disawahkan secara terus menerus dan dalam
waktu yang lama maka kandungan fraksi liat cenderung meningkat sebesar 0,304% per tahun. Sedang pada tanah bukan sawah
per tahun). Menurut Brinkman (1985) fraksi liat di dalam
tanah sawah. Oleh karena adanya ferolisis inilah maka dekomposisi mineral pada
tanah dapat berasal dari endapan sedimen bersama fraksi yang lain, tetapi juga dapat
berasal dari pelapukan batuan sedimen, atau mungkin juga berasal dari pelapukan mineral primer atau ditransformasi
dari mineral liat yang lain. Ada beberapa proses pelapukan mineral yang dijelaskan
oleh Brinkman (1982) yang antara lain adalah: Hidrolisis, Pelarutan oleh asam kuat
dan cheluviasi,
Ferrolysis,
dan
Transformasi liat dalam kondisi alkalin. Kondisi
yang dipersyaratkan untuk berlangsungnya proses ferolisis yaitu kondisi basah dan kering yang bergantian dipenuhi oleh
tanah sawah berlangsung lebih efektif dan akan membentuk liat. Perubahan ukuran partikel
DAFTAR PUSTAKA
dan Teknologi Pengelolaannya. Puslitanag. Departemen Pertanian. Bogor.
for
Suatainable
Land
Management in the Developing World. pp. 175 – 203. Int. Board for Soil Res. and management,
Bangkok, Thailand. Mikklesen, D.S., and W.H. Patrick Jr. 1968.
Fertilizer use on rice. Pages 403‐432. in
Changing patterns in fertilizer use. Soil Sci.
Soc. Am. Medison, Wisconsin. Misak, R.F., J.M. Al‐Awadhi, S.A. Omar, A.
Shahid. 2002. Soil Degradation et Area Kabd
Norten‐west Kuwait Cyty. Journal
land Degradation and Development.
13:403 – 415 (2002).
Prasetyo, B.H., J. Sri Adiningsih, Kasdi Subagyono
dan R.D.M. Simanungkalit. 2004. Mineralogi, Kimia, Fisika dan Biologi Tanah Sawah. dalam Tanah Sawah
Rossiter, D.G., 2001. Introduction to Land
Larson, W.E., and F.J. Pierce, 1991.
Degradation,
Conservation and
Rehabilitation. Land Degradation and Desertification Website (International Union
of
Soil Sciences).
http://www.nhq.nrcs.usda.gov/WSR/lan ddeg/papers.htm .
Sanchez. P.A, 1976. Properties and
Management of Soil in the Tropics. A
Wiley ‐Interscience Publication John Wiley and Sons, New York. London. Sydney.
Toronto. 618 hal. Sharma, P.K. and S.K. De Datta. 1985. Effects of
puddling on soil physical properties leaching losses and growth and grain yield
of lowland rice. Soil Sci. Soc. A.J. ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐. 1985. Effects of puddling on soil physical properties and processes. in Soil and
Rice. IRRI. Los Banos. Philipines. Pages 217‐234.
Conservation and Enhancement. In Evaluation
40
Abdurachman, Wahyunto dan R. Shofiyati. 2005.
Datta, S.K. 1981. Principles and practics of
Kriteria Biofisik Dalam Penetapan Lahan Sawah Abadi di Pulau Jawa. Jurnal
Litbang Pertanian 24(4) : 131‐136.
Adiningsih, S. 1992. Peranan efisiensi penggunaan pupuk untuk melestarikan swa sembada pangan. Pidato
pengukuhan Ahli Peneliti Utama.
Puslitanak, Badan Litbang Pertanian,
Dept. Pertanian. Bogor. Brinkman,
R. 1970. Ferolysis, a hidromorphyc soil forming process. Geoderma 3:199‐ 206.
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐. 1985. Chemical kinetics of wetland rice soil relative to soil fertility.
In Wetland Soil: Characterization,
Clasification, and Utilization. IRRI. Los Banos,
Laguna. Philippines. Cheng, Y.S. 1983. Drainage of paddy soils in
Taihu lake region and its effects. Soil Res.
Rep. 8, inst. Soil Sci., Academia Sinica,
Nanjing, China. pp. 1‐18. De
rice production. John Wiley and Sons.
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan
New York. 618 hal.
Farbrother, H.G. 1970. Investigations into the irrigation practices of the Sudan Gezira.
The pattern of soil moisture changes under irrigation. Pages 105‐117 in Cotton Growth
in the Gezira environment. A Symposium to mark the 50th anniversary of
the Gazira research station. Siddiq, M.A. and L.C. Hughes (eds). Agric. Research
Corp., Wad Medani. Sudan. Ghilddyal, B.P. 1978. Effects of Comparations and puddling on Soil Physical Properties and
Rice Growth. In Soils and Rice. IRRI, Los Banos, Philipphines pp 317‐336.
Gupta, R.K., and I.K. Jaggi. 1979. Soil physical conditions and paddy yield as influenced by
depth of puddling. Journal Agronomy
Crop Science. 148:329‐336.
Hardjowigeno, S., H. Subagyo, dan M. Luthfi Rayes.
2004. Morfologi dan Klasifikasi Tanah Sawah. dalam Tanah Sawah dan Teknologi
Pengelolaannya.
Pusat
Pertanian Departemen Pertanian. Bogor. Subagyo,K., F. Agus, dan S. Sukmana. 1994. Sifat Fisisk Tanah Mineral di Beberapa Lokasi
di Sumatra dan hubungannya dengan pencetakan sawah. dalam Risalah Hasil Penelitian Potensi
Sumberdaya Lahan untuk Pengembangan
Sawah Irigasi di Sumatra. BPPP, Deptan. Bogor.
Taylor, H.M. 1972. Effect of drying on water ritention of a puddled soil. Soil Sci. Sco.
Am, Proc. 36:972‐973.
Wilding, L.P. , N.E. Smeck and G.F. Hall.
1983. Pedogenesis and Soil Taxonomy,
Concepts and Interaction. Elsevier,
Amsterdam ‐Oxford‐New York.
41
42
Lampiran. L Grafik, d diagram dan grafi ik korelasi kandun ngan pasir serta li at dalam tanah y = ‐0,297x + 35,8
4
40
R² = 0,567
35
) () (%
30
asir
25
p p
20 Penyaw
an g g
15
10
ahan kandun
5
Te ru
10
20
30
40
50
s Men Sains La ama Penyawahan (t tahun) e rus
T Mema ana G Gambar 1. Grafik ant tara kandungan pas sir dengan Gam mbar 2.Diagram anta ara kandungan pas ir dengan
Gamb bar 3. Korelasi anta ara kandungan pasi ir dengan lama lama peny yawahan dan pola t tanam lama penyaw wahan & pola tanam m penyawahan n
& pola tanam
h
Ju
Per rnal
cepatan....
Ilmu
50
Ta (%)
40
4
na Sudar
liat
30
h da
20
y n anto Agroklimatologi
y = 0,304 4x + 21,26
10 R² = 0,488
kandungan
10
20
30
40
50
Penyawahan (tah Lam ma hun) 6( 1)
20 Gambar G 4. Grafik ant tara kandungan liat t dengan Gam mbar 2.Diagram anta ara kandungan liat dengan
Gamb bar 6. Korelasi anta ara kandungan liat dengan lama
09
peny dan pola t penyaw & pola tanam lama yawahan tanam lama wahan m penyawahan n & pola tanam
S Tanah – Jurna Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatolo Sains al h ogi
42
6(1)2009