Paulina Pannen Rahayu Dwi Riyanti

  

PROGRAM TELEVISI INDONESIA:

SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB?

Paulina Pannen

Rahayu Dwi Riyanti

  

This article discusses the program on television, its

characteristics, its benefits and its effects towards the audiences, and the possibility to use the programs to educate the people in Indonesia. In the last ten years, Indonesia has entered the new era in the television world. The numbers of television stations has increased rapidly and consequently the programs offered are also booming. Each station tries to attract as many viewers as possible. Ratings become important in deciding which programs should be offered to the viewers. Therefore, television stations run various programs with aiming at attracting a large number of viewrs. In doing so, some times moral values have to be put aside. As a consequence, the role of the government in providing the regulation to make sure that the programs are appropriate for the Indonesian audiences is crucial.

  Key words: government role, Indonesia, rating television program,

  Akhir-akhir ini kita sebagai pemirsa televisi dibanjiri oleh berbagai acara yang berbau mistis. Setiap stasiun televisi seperti berlomba untuk menyajikan acara seseram mungkin, walau kadang membuatnya nampak lucu karena terlihat tidak logis dan terlalu dibuat-buat. Walaupun program berbau mistis ini banyak dikritik karena menumpulkan logika dan bertolak belakang dengan nalar tetapi program-program sejenis terus saja bermunculan. Hal ini mengundang keprihatinan Pimpinan Proyek Pengembangan Wawasan Keilmuan Dikmenum, Suharlan yang menyatakan bahwa fenomena ini sangat bertolak belakang dengan upaya merangsang pengembangan daya nalar siswa di semua jenjang pendidikan. Lebih lanjut Suharlan juga berpendapat bahwa televisi mestinya ikut bertanggung jawab terhadap upaya pencerdasan bangsa (Kompas, 26 Agustus 2003).

  

Paulina Pannen & Rahayu Dwi Riyanti adalah tenaga pengajar pada FKIP

Universitas Terbuka

  Jurnal Studi Indonesia, Vol. 14, No. 2, September 2004, 73 - 89

  Selain program yang berbau mistis, acara televisi juga dibanjiri dengan berita-berita kriminal, program hiburan yang berupa lagu dan tari dari jenis musik tertentu, serta laporan khusus tentang gaya hidup kelompok tertentu. Setiap hari kita melihat tayangan tentang seorang korban pembunuhan yang bersimbah darah atau seorang pelaku kriminal yang babak belur pada program-program berita kriminal yang ada pada hampir semua stasiun televisi.

  Banyaknya stasiun televisi yang ada menjadikan setiap stasiun televisi berlomba untuk menarik perhatian pemirsanya. Pola yang umum terjadi adalah apabila satu jenis program berhasil pada satu stasiun televisi tertentu maka tak lama kemudian program-program sejenis akan bermunculan di stasiun televisi yang lain.

  Pada awal keberadaan televisi, banyak orang yang mengkhawatirkan masuknya budaya asing ke dalam masyarakat Indonesia yang dapat memberi dampak buruk pada masyarakat kita. Tetapi kini nampaknya dampak buruk tidak saja datang dari ‘budaya asing’ tetapi juga dari ‘budaya Indonesia’ sendiri. Pertanyaan yang muncul adalah siapa yang bertanggung jawab terhadap program yang disiarkan oleh televisi ini.

  Pada tanggal 5 November 2003, Mahkamah Konstitusi RI kembali bersidang dengan salah satu agendanya tentang uji materi UU Penyiaran Nomor 32/2002. Persidangan dilakukan karena adanya permohonan pencabutan UU Penyiaran Nomor 32/2002 yang diajukan oleh Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dengan alasan bahwa UU Penyiaran Nomor 32/2002 membatasi ruang gerak penyiaran, terutama televisi, serta bahwa IJTI telah merasa mampu untuk melakukan sensor secara mandiri terhadap program televisi yang ditayangkannya. Permohonan tersebut belum dipenuhi oleh Mahkamah Konstitusi RI yang kemudian meminta IJTI untuk memberikan argumentasi yang kuat bahwa IJTI merupakan pihak yang berhak mengajukan permohonan tersebut.

  Terlepas dari persidangan tersebut, barangkali diperlukan beberapa pertimbangan dan analisis tentang program televisi di Indonesia pada saat ini. Dewasa ini, perkembangan pemilikan pesawat televisi oleh kalangan masyarakat semakin meningkat. Sejak televisi diperkenalkan sebagai salah satu media massa di Indonesia pada tahun 1960-an, TVRI menjadi stasiun televisi pemerintah satu-satunya. Baru sekitar dua dasawarsa terakhir, pemirsa Indonesia memiliki tambahan stasiun televisi swasta dan jumlah stasiun televisi terus bertambah. Sekarang terdapat 10 stasiun televisi di Indonesia selain TVRI, antara lain RCTI, SCTV, Trans TV, ANTV, Lativi, TV7, Metro TV, Indosiar, MTV (Global), dan TPI. Sementara itu jenis program yang tersedia antara lain adalah program berita (umum dan aktual, gosip), program pengetahuan umum, program anak-anak (kuis/games, hiburan, film lepas, sinetron, film kartun),

  Pannen, Program Televisi Indonesia

  program olah raga, program dewasa (film lepas, hiburan, kuis/games, sinetron, diskusi bidang tertentu – ekonomi, politik, wanita, kesehatan, alam gaib, kriminalitas, dll.), serta program komersial (iklan). Selain program-program tersebut masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal dikota-kota besar, juga dapat mengakses program–program dari berbagai televisi mancanegara. Program-program reality show yang seringkali menonjolkan kehidupan bebas dan penggunaan kata-kata kasar yang banyak ditayangkan di televisi Amerika, dapat dengan mudah dilihat oleh kita diIndonesia. Tulisan ini secara khusus membahas tentang program televisi di Indonesia, karakteristiknya, manfaat dan dampaknya terhadap pemirsa, serta kemungkinan pemanfaatan program televisi dalam pendidikan anak bangsa.

KARAKTERISTIK PROGRAM TELEVISI

  Televisi dikenal sebagai media penyampai pesan berbasis audio- visual, yang ditayangkan secara massal sehingga dapat mencapai pemirsa dalam jumlah besar pada saat bersamaan melintasi batas geografis yang luas. Oleh karena itu, program televisi biasanya dirancang untuk mass

  

distribution for common experience, dalam pengertian informasi yang

  disiarkan dapat diterima oleh sejumlah pemirsa pada saat bersamaan lintas ruang sehingga para pemirsa tersebut akan memiliki pengalaman (belajar) yang sama. Secara khusus, program televisi memiliki empat karakteristik utama yaitu: 1. fidelity or realism yang merupakan karakteristik utama dari program televisi. Fidelity artinya program televisi menggambarkan perwujudan asli dari suatu peristiwa, seseorang, kejadian, dan proses. sehingga pemirsa memiliki kepercayaan terhadap objek yang ditontonnya. 2. immediacy artinya pemirsa dapat melihat siaran langsung tentang suatu peristiwa pada saat yang hampir bersamaan dengan terjadinya peristiwa tersebut, bertemu dengan seseorang, atau berkunjung ke suatu tempat dalam waktu yang sangat cepat. 3. dynamic spacing dimana program televisi memiliki fitur yang memungkinkan pemirsa untuk menonton informasi yang ditayangkan secara lambat, cepat, atau diulang-ulang, terutama untuk tayangan gerak atau psikomotor: olah raga, tari, memasak. 4. brings people, places, events that could not be seen otherwise

  

including magnification, artinya informasi yang disampaikan melalui

  televisi seringkali merupakan informasi tentang orang, tempat, atau peristiwa yang berada di luar jangkauan pemirsa. Dengan adanya televisi, pemirsa tidak harus pergi ke tempat atau peristiwa tersebut

  75

  Jurnal Studi Indonesia, Vol. 14, No. 2, September 2004, 73 - 89

  secara langsung, cukup menontonnya di televisi (Heinich, Molenda, Russel, 1991; Gerlach & Ely, 1980).

  Sejauh ini, pembahasan tentang program televisi lebih banyak dilakukan dari sisi teknik produksi dan produser program daripada pemirsa program. Berbagai teknik produksi dilakukan untuk memproduksi program televisi yang menarik perhatian pemirsa, meliputi jenis gambar (kinds of shots), sudut dan jarak pengambilan gambar, animasi, efek khusus, pencahayaan, warna dan kombinasinya, kecepatan (pacing) dan waktu pengambilan gambar, single and multiple scenes, serta manipulasi suara. Sementara itu, berbagai gaya program juga dicobakan untuk memproduksi program televisi, termasuk talking heads (kepala yang berbicara), dramatisasi, dokumentasi, tematik, transisi dan sebab-akibat, diskusi, clipping, dan siaran langsung. Kesemua teknik produksi dan gaya program tersebut dipercaya memberikan pengaruh terhadap pembentukan persepsi pemirsa ketika menonton program (Flemming & Levie, 1993). Misalnya, cahaya yang remang-remang dipersepsikan oleh pemirsa sebagai suasana senja atau malam hari.

  Ketika TVRI masih satu-satunya stasiun televisi bagi pemirsa Indonesia, jenis program televisi yang ditayangkan oleh TVRI merupakan suguhan yang mau tidak mau harus diterima oleh pemirsa tanpa pemirsa memiliki pilihan lain kecuali mematikan pesawat televisi jika program yang ditontonnya dianggap tidak memenuhi selera. Pada saat bermunculan stasiun televisi swasta, produksi beragam jenis program televisi yang menarik atau lebih baik dari stasiun lain menjadi ajang kompetisi antar stasiun televisi. Oleh karenanya, selain teknik produksi, substansi program televisi pun menjadi lahan perebutan.

  Keanekaragaman jenis program yang disediakan dimaksudkan untuk menarik perhatian (attention), membelajarkan (educative, incidental and

  

accidental learning), dan menghibur pemirsa (entertainment) (Seels, et

al., 2002).

MANFAAT DAN DAMPAK PROGRAM TELEVISI

  Sejauh ini, belum pernah ada perhatian yang cukup serius yang diberikan kepada pemirsa dan dampak dari program tayangan televisi terhadap pemirsa televisi di Indonesia. Upaya-upaya yang dinyatakan dilakukan untuk peningkatan kualitas program televisi lebih cenderung untuk mengikuti kepentingan produser selaku penyedia program, stasiun televisi selaku penayang program, serta perusahaan yang membeli program tayangan tersebut untuk kebutuhan komersial. Jika akhir-akhir ini dilakukan upaya penilaian peringkat (rating) terhadap berbagai program televisi sebagai upaya memperbaiki kualitas program televisi maka hal itu dilakukan semata-mata untuk kebutuhan komersial. Hasil

  Pannen, Program Televisi Indonesia

  tinggi dari pemeringkatan tersebut dijadikan alasan utama untuk memproduksi program sejenis karena sesuai dengan kebutuhan pemirsa, sesuai dengan selera pemirsa, dan pemirsa menyenangi program-program tersebut. Selanjutnya, sudah dapat diduga bahwa produser program berlomba-lomba menghasilkan program sejenis yang memperoleh peringkat tertinggi kemudian stasiun televisi juga berlomba menayangkan program sejenis. Akhirnya, pemirsa disuguhi program yang relatif sama (jenis dan kualitasnya) oleh berbagai stasiun televisi – sehingga tidak memiliki pilihan lain. Padahal, seperti telah diketahui program televisi berperan dalam menarik perhatian, membelajarkan, dan menghibur pemirsa.

PERHATIAN PEMIRSA

  Salah satu karakteristik program televisi yang berbentuk fidelity menyebabkan tumbuhnya kepercayaan terhadap isi program televisi yang ditayangkan. Kepercayaan ini semakin kuat jika isi program atau pesan sejenis ditayangkan terus-menerus oleh (berbagai stasiun) televisi. Namun demikian, pengulangan yang terlalu sering akan menimbulkan kebosanan. Untuk mengatasi kebosanan, maka program televisi dirancang secara teknis dengan tujuan untuk selalu menarik perhatian pemirsa. Perhatian pemirsa dapat diperoleh melalui program-program yang baru, aneh dan tidak biasa, serta relevan (Bickham, Wright, & Huston, 2000). Jika diperhatikan, setiap tahun misalnya, stasiun televisi selalu memunculkan program baru yang tidak lain untuk menghindarkan kebosanan dari pemirsa. Begitu juga dengan program-program yang aneh dan tidak biasa, produser program dan stasiun televisi berupaya untuk bereksplorasi dengan berbagai keanehan dan sesuatu yang tidak biasa dalam program yang diproduksinya agar pemirsa tertarik.

  Keanehan dan ketidakbiasaan tersebut misalnya disajikan melalui tayangan alam gaib, Guiness Book of Record, olahraga dengan resiko tinggi, goyang Inul, atau lelucon dan humor, dll. Sementara itu, program dengan target pemirsa tertentu juga terus diproduksi dan ditayangkan, misalnya program kesehatan anak dan ibu untuk ibu rumah tangga, program bete untuk anak remaja, program tentang pengobatan alternatif bagi keluarga yang memiliki masalah kesehatan, program diskusi bisnis bagi pengusaha dan manajer, program diskusi politik untuk masyarakat umum selaku pemerhati politik, program siaran sepak bola bagi pencinta sepak bola, program ramadhan dalam bulan ramadhan. Relevansi dalam hal ini berhubungan dengan tingkat usia, gender, profesi, hobi, tingkat ekonomi, permasalahan sosial, kebiasaan pemirsa, serta pengetahuan awal pemirsa (Bickham, Wright, & Huston, 2000).

  77

  Jurnal Studi Indonesia, Vol. 14, No. 2, September 2004, 73 - 89

  Rice, Huston & Wright (1982) menyatakan bahwa isi program televisi dan teknis produksi program televisi sangat berpengaruh terhadap perhatian dan pemahaman pemirsa sebagaimana digambarkan dalam Gambar 1.

  Gambar 1. Model Pengaruh Program Televisi terhadap Perhatian (Rice, Huston, Wright, 1982)

MEMBELAJARKAN PEMIRSA

  Sekali lagi, fidelity sebagai karakteristik program televisi menyebabkan tumbuhnya kepercayaan pemirsa bahwa pesan dan isi program televisi yang ditayangkan adalah benar atau sungguh-sungguh. Kepercayaan yang kuat dari pemirsa menyebabkan program televisi dapat berpengaruh terhadap perilaku sosial pemirsa (Bandura, 1986). Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa program televisi dapat menyebabkan terjadinya incidental dan accidental learning atau belajar tanpa disengaja. Bahkan, Emery dan Emery (1980) menyatakan bahwa program televisi telah mampu membentuk kebiasaan pemirsa dalam berbagai hal yang dipelajarinya dari program televisi. Sejumlah penelitian juga membuktikan bahwa hasil dari proses belajar tanpa

  Pannen, Program Televisi Indonesia

  sengaja ini termasuk kemalasan berpikir, perhatian jangka pendek – tidak dapat konsentrasi, perilaku hiperaktif, dan juga tindak kekerasan (Winn, 1977).

  Dalam pengaruh akibat dari proses belajar tanpa sengaja, bukan hanya wawasan intelektual pemirsa saja yang terpengaruh, tetapi juga persepsi, sikap, tata nilai, kebiasaan, serta keterampilan psikomotor. Misalnya, ada pemirsa (termasuk pemirsa anak-anak) yang berubah pola tidurnya karena terpengaruh program televisi yang dipersepsikan menakutkan. Selanjutnya, banyak anak-anak yang meniru perilaku nakal dari Joshua dalam program Anak Ajaib, atau SinChan dalam program film kartun Crayon SinChan. Program iklan, misalnya, sangat berpengaruh terhadap perilaku konsumtif pemirsa – pemirsa terdorong untuk selalu membeli beragam tawaran yang diiklankan, apalagi jika konsekuensi dari kepemilikannya adalah kecantikan (bagi wanita), keperkasaan (bagi laki-laki), atau peningkatan sosial status. Ada juga pemirsa yang melakukan perkosaan, bahkan menjadi pelaku kriminal (yang lebih kejam) sebagai akibat dari program televisi yang menayangkan masalah pornografi, perkosaaan dan kriminalitas secara gamblang (program film lepas, sinetron, program berita seperti FAKTA, SERGAP, BIDIK, Kupas Tuntas, dll). Apalagi, jika dalam program televisi, berbagai tindakan dan perilaku antisosial, kriminalitas, dan kekejaman tidak memperoleh sanksi atau hukuman seharusnya, atau jika kekerasan, kekejaman dan perilaku antisosial tersebut menjadi sesuatu yang seolah-olah harus dilakukan untuk memperoleh keuntungan relatif (seperti popularitas dan pujian) (Bandura, 1986). Bahkan, dalam program anak-anak, banyak sekali figur pahlawan yang justru menjadi pahlawan setelah berlaku kejam terhadap manusia lain yang dianggap musuh (misalnya, program film Power Rangers) (Liebert & Sprafkin, 1988). Pengamat pertelevisian Effendi Gazali berpendapat bahwa berbagai tayangan mistik di televisi dapat mengakibatkan pemirsa, terutama anak- anak, mementingkan hasil ketimbang proses, dan segala sesuatu dapat diraih tanpa harus belajar atau berusaha (Kompas, 26 Agustus 2003).

  Sesungguhnya, program televisi telah terbukti sangat efektif untuk membelajarkan pemirsa (Seels, et.al, 2002). Hal ini juga disampaikan oleh Suharlan yang menyatakan bahwa fungsi televisi sebagai media massa selain sebagai sarana penyebar informasi juga berperan sebagai media untuk mendidik masyarakat (Kompas, 26 Agustus 2003). Program televisi dapat memperkaya wawasan intelektual pemirsa dengan beragam informasi yang belum masuk dalam cakupan kurikulum di sekolah atau perguruan tinggi, seperti informasi tentang pengaruh obat ekstasi terhadap otak manusia, dll. Program televisi juga dapat membentuk persepsi dan sikap sehingga sikap kesahajaan anak-anak keluarga Cemara, atau kebaikan perilaku Lala dalam sinetron Bidadari, misalnya,

  79

  Jurnal Studi Indonesia, Vol. 14, No. 2, September 2004, 73 - 89

  banyak ditiru oleh anak-anak, atau nasihat agama dalam program Mutiara Subuh banyak didengar dan diturut oleh pemirsa dewasa. Oleh karenanya, program televisi sesungguhnya merupakan program yang potensial untuk digunakan dalam pembelajaran. Di berbagai negara lain, program televisi umum telah banyak dijadikan bahan pelajaran, misalnya program berita berbahasa Inggris dapat menjadi bahan pelajaran bahasa Inggris untuk keterampilan menyimak. CNN, sebuah stasiun televisi besar dunia, misalnya, sudah menyiapkan satuan acara pembelajaran (dalam situsnya untuk setiap segmen berita dan program yang ditayangkan. Sejauh ini, belum banyak upaya untuk memanfaatkan program televisi stasiun umum sebagai program pembelajaran.

MENGHIBUR PEMIRSA

  Dari sisi hiburan, program televisi telah dikenal sebagai program hiburan bagi banyak pemirsa. Program hiburan diproduksi untuk menimbulkan berbagai rasa dan emosi pemirsa, seperti senang, sensasional, atau kebahagiaan, dan menyebabkan pemirsa sejenak terlepas dari permasalahan yang sedang dihadapinya (Seels, et.al, 2002). Program hiburan ini mencakup film, sinetron, games/kuis, acara musik (berbagai jenis musik), atau olah raga.

  Dalam upaya untuk membangkitkan rasa dan emosi pemirsa, produser dan stasiun televisi berlomba-lomba menayangkan program televisi yang disenangi oleh pemirsa, karena sensasional, menyenangkan secara psikologis, atau membuat pemirsa seolah terlepas dari permasalahan yang dihadapinya. Program sensasional, dalam hal ini termasuk sinetron tentang hantu (vampir, dukun, sihir), alam gaib, pornografi, film laga (manusia, alam, robot), olah raga beresiko tinggi (bungee jumping), musik sensasional seperti musik dangdut (termasuk goyang Inul yang sangat sensasional), musik tradisional, musik klasik, atau program kuis dengan hadiah yang spektakuler.

  Sementara itu, program yang menyenangkan diproduksi dan ditayangkan berdasarkan persepsi “menyenangkan” dari pemirsa. Hal ini dapat diketahui dari rating program televisi yang dilakukan oleh berbagai pihak – produser program, stasiun televisi, atau juga lembaga riset khusus seperti ACNielsen. Sekali lagi, pemeringkatan semata-mata dilakukan dengan tujuan komersial, sehingga variabel dan indikator peringkat pun hanya menunjukkan variabel dan indikator komersial. Strategi pemeringkatan ini yang memberikan informasi, misalnya, tentang pemirsa yang senang akan film India, sehingga suatu saat pertelevisian Indonesia sangat dipenuhi oleh film India, atau ketika telenovela menjadi sangat marak.

  Pannen, Program Televisi Indonesia

  Sesungguhnya, satu program televisi itu tidak dapat dikategorikan secara lepas, karena biasanya satu program televisi dapat memiliki fitur yang menarik perhatian, sekaligus membelajarkan dan atau menghibur pemirsa. Apalagi, salah satu strategi pendanaan program televisi sekarang ini adalah melalui iklan atau komersial, sehingga satu program televisi dapat saja menarik perhatian, membelajarkan, dan atau menghibur pemirsa, tetapi juga merupakan iklan terselubung dari produk tertentu. Misalnya program At The Plaza (untuk Citibank Visa Gold),

  Gebyar BCA, dan Telkomania.

  

PEMANFAATAN PROGRAM TELEVISI DALAM PENDIDIKAN

ANAK BANGSA

  Pada dasarnya, jarang sekali produser dan stasiun televisi yang dengan sengaja mengharapkan program televisi yang ditayangkannya akan dapat membelajarkan pemirsa. Mereka lebih berfokus pada upaya menarik perhatian dan menghibur pemirsa melalui beragam jenis program yang ditayangkannya. Pemirsa yang menonton televisi pun biasanya tidak berniat untuk belajar, tetapi lebih untuk mencari informasi (dari program berita) ataupun untuk hiburan (Neuman, 1991). Dengan demikian, kenyataan bahwa program televisi memiliki kemampuan untuk menyebabkan terjadinya incidental and accidental learning yang dapat (bahkan sangat mungkin) berdampak negatif bagi pemirsa merupakan faktor yang seolah terlupakan dan tidak pernah diperhatikan oleh berbagai pihak.

  Program televisi merupakan salah satu bentuk karya seni, perwujudan dari ekspresi dan tanggapan seniman terhadap berbagai fenomena kehidupan dan budaya. Karakteristik yang dimiliki oleh program televisi sangat potensial menjadikannya sebagai media pembelajaran.

  Dari sisi pemirsa, agar program televisi dapat menjadi bahan pembelajaran yang efektif, bagi pemirsa anak-anak, mahasiswa, maupun orang dewasa, diperlukan beberapa faktor, yaitu critical viewing skills, perancangan integrasi program televisi dalam pembelajaran, dan pendampingan orang tua atau guru terhadap anak-anak pada saat menonton. Sementara itu, dari sisi stakeholder, yaitu pemerintah, peran serta pemerintah dalam mengatur masalah program televisi ini masih dirasakan perlu, terutama berkenaan dengan upaya pemerintah menjadikan program televisi sebagai media pembelajaran, yaitu untuk meningkatkan (dan memeratakan) akses masyarakat terhadap informasi dan ilmu pengetahuan sebagai salah satu sarana untuk mencapai cita-cita

  

education for all dan media untuk mendukung proses belajar sepanjang

hayat, yang pada akhirnya adalah untuk mencerdaskan bangsa.

  81

  Jurnal Studi Indonesia, Vol. 14, No. 2, September 2004, 73 - 89

CRITICAL VIEWING SKILLS DAN LITERASI MEDIA

  Perkembangan program televisi menunjukkan bahwa program televisi banyak sekali digunakan sebagai consumer product. Critical

  

viewing skills merupakan keterampilan pemirsa untuk memahami makna

  dan maksud pesan yang implisit disampaikan melalui penggunaan bahasa, visual, maupun aural dalam suatu program televisi sehingga pemirsa dapat mengidentifikasi program televisi berdasarkan kelompok pemirsa yang dituju (intended audiences), serta makna dari pesan yang disampaikan (intent of the message). Dengan memiliki critical viewing

  

skills, pemirsa dapat memilih program televisi yang memang “pantas”

  untuk ditonton berdasarkan norma-norma agama, sistem sosial dan budaya, serta pengetahuan yang dimilikinya. Orang tua akan dapat memilih program televisi yang boleh ditonton oleh anaknya sendirian, atau ditonton sambil didampingi orang tua, atau bahkan yang tidak boleh ditonton sama sekali. Anak pun memahami bahwa ada program televisi yang “baik” untuk dirinya, ada yang tidak boleh ditonton oleh dirinya, karena akan menakutkan, tidak mudah dimengerti, dll.

  Critical viewing skills tidak dapat diperoleh begitu saja dengan

  pemirsa menonton televisi dalam frekuensi tinggi. Critical viewing skills harus dilatihkan dan diajarkan. Di banyak negara, critical viewing skills diajarkan sebagai bagian dari keterampilan hidup yang masuk di dalam kurikulum sekolah dasar, sebagai pengembangan dari keterampilan membaca kritis (critical reading), dan berpikir kritis (critical thinking). Siswa diminta untuk menonton berbagai program televisi didampingi guru yang kemudian membahas tentang isi program tersebut untuk menumbuhkan critical viewing skills sebagai tujuan utama dari latihan tersebut, bukan untuk hiburan. Pembahasan dilakukan secara analitis dengan membedakan beragam jenis isi dan teknik produksi program berdasarkan beberapa perspektif yang berbeda, misalnya norma agama, sistem sosial dan budaya, tata nilai, tata krama bangsa, nilai seni, sifat

  

educative, sifat hiburan, dan sifat informatif. Menurut Anderson (dalam

  Brown, 1991), critical viewing skills terdiri dari:

  • kemampuan untuk memahami makna pesan
  • kemampuan untuk melihat detil teknis dari setiap program
  • kemampuan untuk mengevaluasi fakta, pendapat, asersi yang logis dan persuasif, dan mampu membedakan fantasi dari kenyataan
  • kemampuan untuk menggunakan critical viewing skills dalam memahami sumber bias atau keberpihakan

  Sejauh ini, di Indonesia, critical viewing skills belum merupakan keterampilan yang memperoleh porsi dan perhatian dalam kurikulum pendidikan formal dan non-formal. Critical viewing skills diasumsikan tumbuh dengan sendirinya, terutama dari orang tua yang diharapkan berperan dalam membatasi anaknya menonton televisi. Namun, ada

  Pannen, Program Televisi Indonesia

  kenyataan yang terabaikan, yaitu orang tua Indonesia pun belum memiliki critical viewing skills, jadi mereka tidak lebih terampil dari anaknya.

  Effendi Gazali menyarankan pemirsa televisi untuk menegakkan literasi media dengan mengatakan ‘tidak’ pada tayangan yang tidak mendidik. Lebih lanjut Gazali juga menyatakan bahwa dengan tegaknya literasi media maka rating tidak lagi menjadi suatu patokan utama bagi stasiun televisi dan pemasang iklan. Saran yang diberikan adalah dengan cara tidak menonton program tersebut. (Kompas, 26 Agustus 2003).

  Perkembangan pertelevisian yang pesat dari sisi pemrograman, dan juga harga pesawat televisi yang semakin terjangkau masyarakat Indonesia, menyebabkan televisi sudah merupakan bagian dari kehidupan keluarga Indonesia sehari-hari. Bahkan banyak keluarga yang menjadikan televisi sebagai baby sitter manakala orang tua sibuk bekerja dan anak tidak ada yang mengasuh. Ada juga pengasuh yang menjadikan televisi sebagai baby sitter, karena pengasuh juga senang menonton televisi sambil mengasuh anak. Selanjutnya, jika diperhatikan, di setiap sudut kantor selalu ditemukan televisi, di kantor desa, di ruang kerja bupati, di kantor pos, bahkan di kantor pajak. Hal ini menandakan bahwa televisi sudah menjadi bagian dari budaya bekerja para pegawai tanpa tujuan yang jelas. Namun ada juga televisi yang dipasang di ruang tunggu bank, rumah sakit, stasiun kereta, terminal bandara dengan tujuan menghibur para nasabah dalam menunggu.

  Di manapun televisi tersebut dipasang dan program televisi ditayangkan, siapapun yang menonton, bagaimana pun ia menontonnya (sendiri, atau anak bersama orang tuanya) adalah kenyataan bahwa pemirsa Indonesia akan menerima semua tayangan apa adanya karena mereka belum memiliki critical viewing skills dan literasi media. Pemirsa bagaikan tong kosong yang terus diisi oleh program televisi dengan informasi tentang kekerasan, kejahatan, kepahlawanan, baik melawan buruk, ekstravagansa, kriteria cantik, kriteria sosial (status sosial, ekonomi – kaya, miskin), sensasi pornografi, penggunaan bahasa yang tidak baik (atau tidak sopan) dianggap sebagai humor, kepercayaan terhadap mistik dan alam gaib, menjadi kaya tanpa berusaha, berjudi (gambling dalam banyak acara kuis), dan mimpi-mimpi yang hanya terjadi dalam program televisi (tidak nyata, misalnya Lorong Waktu). Dalam situasi seperti ini, maka dampak program televisi terhadap pemirsa menjadi sangat intensif, karena pemirsa mengasumsikan segala yang ditontonnya merupakan kenyataan hidup yang harus dijalankannya (distorted reality), menjadi pembunuh untuk menang, atau menjadi kaya dengan cara gaib.

  Sejauhmana produser program dan stasiun televisi sudah mengajarkan atau melatihkan critical viewing skills kepada pemirsanya?

  83

  Jurnal Studi Indonesia, Vol. 14, No. 2, September 2004, 73 - 89

  Sejauhmana produser program dan stasiun televisi sudah berupaya untuk melakukan sensor terhadap programnya, sehingga tidak menumbuhkan

  

false believe atau pemodelan yang salah yang justru semakin

  membodohkan masyarakat Indonesia daripada mencerdaskannya? Pada saat ini, produser program dan stasiun televisi berlomba untuk menarik perhatian pemirsa dengan berbagai sensasi yang diciptakannya melalui beragam program, tanpa menghiraukan akan dampak program tersebut bagi pemirsanya. Tanpa critical viewing skills, sesungguhnya apa arti pemeringkatan yang dilakukan oleh berbagai stasiun televisi dan atau produser program? Dalam hal ini, pemeringkatan tidak lebih dari upaya untuk memenuhi kebutuhan komersial dan kepentingan bisnis semata, bukan kepentingan untuk mendidik bangsa dan untuk mencerdaskan bangsa.

  Di samping itu, karena pemeringkatan hanya dilakukan (hanya dapat menjangkau) untuk segmen masyarakat tertentu (sampling), sesungguhnya pemeringkatan belum dapat menggambarkan selera masyarakat Indonesia pada umumnya. ACNielsen sebagai salah satu, atau mungkin satu-satunya, lembaga yang melakukan survey rutin untuk menentukan rating suatu acara hanya melakukan survey di beberapa kota besar saja dan responden dibagi berdasarkan tingkat pengeluaran perbulan mereka. Jadi hasil survei yang dihasilkan tidak dapat mencerminkan ‘selera masyarakat Indonesia pada umumnya’ (Kompas

  19 November 2000). Sebagian besar masyarakat Indonesia masih termasuk dalam kelompok the silent majority, yang belum berkesempatan mengungkapkan seleranya. Namun, produksi dan penayangan program televisi saat ini, pada kenyataannya, banyak sekali didasarkan pada (atau dipandu oleh) pemeringkatan terbatas tersebut, sehingga program-program televisi yang ditayangkan saat ini hanya menggambarkan selera atau menjawab kebutuhan sebagian kecil masyarakat Indonesia.

PERAN PEMERINTAH

  Upaya menjadikan program televisi sebagai program yang bermanfaat dalam pembelajaran merupakan tanggung jawab guru, masyarakat, produser program, stasiun televisi, dan pemerintah. Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat penyelenggaraan pendidikan, sesungguhnya masyarakat dapat melakukan berbagai hal, misalnya dengan mengajukan permintaan program-program yang bersifat

  educative atau edutainment, memberikan sponsor bagi program-program

  pendidikan di televisi, misalnya Keluarga Cemara, ACI (Aku Cinta

  

Indonesia), Anak Seribu Pulau, atau film-film dokumenter dari

Discovery Channel. Namun demikian, tidak kalah pentingnya adalah

  peran pemerintah dalam hal memberikan pengaturan yang relatif luwes

  Pannen, Program Televisi Indonesia

  bagi stasiun televisi dan produser program namun tetap memenuhi kriteria untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

  Sebagai perbandingan, berikut adalah gambaran perjalanan peran pemerintah dalam dunia pertelevisian di Amerika Serikat (Seels, et.cal., 2002):

  1950-

  • Sidang kongres menyatakan perlunya melakukan penelitian yang 1960an mendalam tentang hubungan antara kriminalitas remaja dengan program televisi yang disebut sebagai “TV Violence”, berdasarkan penelitian awal oleh Albert Bandura (Social Modelling) dan Nationall Commission on the Causes and Prevention of Violence.
  • • Iklan untuk anak-anak ditayangkan hanya hari Sabtu dan Minggu

    • Kongres mendirikan Public Broadcasting System (PBS) sebuah stasiun televisi untuk program televisi pendidikan tanpa iklan 1970an
  • Iklan rokok dilarang di televisi, termasuk semua programnya, karena temuan Surgeon General tentang hubungan antara kanker dan rokok.
  • Surgeon General juga mengeluarkan laporan tentang adanya hubungan sebab akibat yang signifikan antara perilaku kekerasan dengan kekerasan yang ditayangkan dalam program televisi
  • Federal Communication Comission menerima 25000 keluhan tentang kekerasan dan kekerasan seksual dalam program televisi. FCC didukung oleh Supreme Court kemudian melakukan pengaturan terhadap tayangan yang berisi kekerasan dan kekerasan seksual.

  

1980an • National Institute of Mental Health mengkonfirmasi hubungan antara

televisi dan sikap kekerasan (agresi) pada anak-anak, remaja, maupun orang dewasa

  • American Psychological Association meminta agar televisi mengurangi program yang berisi kekerasan dan pornografi (termasuk kekerasan seksual)
  • Congress mengeluarkan Television Violence Act yang mengharuskan televisi untuk mendiskusikan program-programnya dengan pemirsa sebelum penayangan agar pemirsa dapat menilai derajat kekerasan yang dikandungnya.

  1990an

  • Congress mengeluarkan Children’s Television Act yang membatasi jenis, durasi, dan waktu untuk iklan anak-anak, serta meminta stasiun televisi untuk selalu melakukan user survey untuk membuktikan bahwa program yang ditayangkannya sudah berkualitas dan memenuhi kebutuhan anak- anak.
  • Congress juga mengeluarkan Cable Television Consumer Protection and Competition Act yang mengatur industri televisi kabel.
  • Pada tahun 1993, National Research Council of the National Academy of Sciences mengeluarkan laporan resmi yang komprehensif yang mengkonfirmasi peran televisi dalam menyebabkan kekerasan pada masyarakat Amerika.
  • Telecommunication Act (1996) mengharuskan produser pesawat televisi untuk menambahkan teknologi V-Chip dalam setiap pesawat televisi yang mampu mensensor secara otomatis semua program televisi yang berisi kekerasan.

  85

  Jurnal Studi Indonesia, Vol. 14, No. 2, September 2004, 73 - 89

  Di sebuah negara yang relatif bebas dan bersifat liberal seperti Amerika Serikat saja, pengaturan pertelevisian oleh pemerintah dilakukan dengan cukup intensif dan bahkan terkesan ketat. Berdasarkan hal tersebut, terkesan bahwa perhatian pemerintah Indonesia belum terlalu banyak dalam mengatur pertelevisian di Indonesia. Dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32/tahun 2002 pemerintah terkesan masih ragu untuk menentukan batas-batas isi siaran yang dilarang untuk ditayangkan. Pada PP Pasal 36 ayat 5 menyatakan isi siaran dilarang;

  a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;

  b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau c. mempertentangkan suku. Agama, ras, dan antar golongan.

  Sedangkan ayat 6 menyatakan isi siaran dilarang memperolok, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

  Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan siaran yang mengandung unsur kekerasan, cabul, dan fitnah. Apabila kita melihat tayangan program di berbagai televisi swasta, banyak program yang termasuk dalam kategori seperti disebut pada Pasal 36 ayat 5 dan 6 ini. Pada program berita yang mengkhususkan pada berita kriminal atau program yang mengupas tentang perbuatan kriminal kita banyak melihat berbagai bentuk kekerasan yang ditayangkan secara eksplisit. Selain itu banyak program lain yang juga memperlihatkan kekerasan seperti pertandingan gulat (misalnya WWW Champion) atau sinetron laga. Banyak sinetron yang menampilkan kehidupan anak dan remaja yang mengumbar umpatan dan makian hampir pada setiap episodenya. Seorang pembaca pada salah satu harian terbitan Jakarta menulis surat untuk memprotes program film lepas khusus untuk penonton dewasa yang mulai banyak ditayangkan diberbagai televisi swasta. Menurut pembaca tersebut walaupun film-film tersebut ditayangkan pada larut malam tetapi cuplikan film tersebut ditayangkan pada jam dimana anak-anak masih menonton TV. Sejauh ini memang pemerintah tidak, atau belum melakukan tindakan untuk menindak stasiun televisi yang menayangkan program-program yang ‘melanggar’

  Pasal 36 ayat 5 dan 6 dari UU penyiaran. Bahkan, kehadiran UU Penyiaran masih diprotes oleh berbagai pihak, terutama pihak Masyarakat Jurnalis Televisi Indonesia, sebagai produser program televisi dan pemilik stasiun televisi. Tanpa UU Penyiaran, apakah memang Masyarakat Jurnalis Televisi Indonesia, sebagai produser program televisi dan pemilik stasiun televisi sudah mampu melakukan sensor terhadap program-program yang disediakan bagi pemirsa di Indonesia? Sensor jenis apa yang telah dilakukan jika masalah seperti Inul justru menyulut konflik berbagai

  Pannen, Program Televisi Indonesia

  pihak dan bahkan dimanfaatkan oleh dunia pertelevisian sebagai program sensasional yang laku dijual? Bagaimana tanggung jawab Masyarakat Jurnalis Televisi

  Indonesia, sebagai produser program televisi dan pemilik stasiun televisi, misalnya terhadap berbagai tindak kekerasan dan berbagai konflik antar etnik yang sangat meningkat di Indonesia akhir-akhir ini? Apakah sejauh ini Masyarakat Jurnalis Televisi Indonesia, sebagai produser program televisi dan pemilik stasiun televisi sudah turut serta dalam menjadikan program televisi sebagai program pendidikan? Sudahkan Masyarakat Jurnalis Televisi Indonesia, sebagai produser program televisi dan pemilik stasiun televisi mengantisipasi terjadinya dan dampak proses

  

incidental and accidental learning pada pemirsa program televisi?

  Sudahkah Masyarakat Jurnalis Televisi Indonesia, sebagai produser program televisi dan pemilik stasiun televisi memperhitungkan dampak yang diakibatkan dari beragam program televisi yang diproduksi dan ditayangkannya terhadap masyarakat Indonesia yang relatif belum memiliki critical viewing skills? Sudahkan Masyarakat Jurnalis Televisi Indonesia, sebagai produser program televisi dan pemilik stasiun televisi berperan dalam membelajarkan pemirsa Indonesia agar memiliki critical

  

viewing skills melalui berbagai upaya termasuk integrasi keterampilan

  tersebut ke dalam kurikulum pendidikan formal? Di atas semua itu, bagaimana peran pemerintah Indonesia mengatasi permasalahan ini? UU Penyiaran yang dimiliki Indonesia mungkin belum sempurna sebagaimana perangkat hukum yang dimiliki oleh dunia pertelevisian di Amerika Serikat karena belum dilandaskan pada penelitian yang komprehensif dan sahih, dan pada kesadaran akan kondisi masyarakat Indonesia yang sangat terpuruk akibat krisis ekonomi dan politik yang berkepanjangan. Namun demikian, kehadiran UU Penyiaran merupakan langkah awal peran pemerintah Indonesia yang signifikan dalam pengaturan pertelevisian di Indonesia. Dalam kondisi tertentu, pengulangan penelitian-penelitian barangkali tidak perlu lagi dilakukan, karena perampatan hasilnya dapat dilakukan secara sahih sebagai suatu teori. Oleh karena itu, langkah awal ini perlu dilanjutkan dengan serangkaian langkah-langkah selanjutnya yang mengukuhkan asumsi bahwa televisi merupakan media yang efektif untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Dengan demikian, program televisi berguna sebagai media pembelajaran di dalam maupun di luar sekolah, dan televisi merupakan salah satu wahana untuk mencapai cita-cita pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

  CATATAN

  Pada dasarnya program televisi berguna sebagai media pembelajaran di dalam maupun di luar sekolah, dan televisi merupakan

  87

  Jurnal Studi Indonesia, Vol. 14, No. 2, September 2004, 73 - 89

  salah satu wahana untuk mencapai cita-cita pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Banyak nilai-nilai positif yang dapat diperoleh dari pemanfaatan program televisi untuk pendidikan. Namun demikian, upaya untuk memperoleh program televisi yang berkualitas – yang memenuhi selera masyarakat pemirsa, yang berdaya jual tinggi, yang sensasional sekaligus menghibur tapi tetap mendidik, yang memberikan informasi yang akurat dan tepat waktu, dan yang pada akhirnya mampu mencerdaskan masyarakat Indonesia – bukanlah hal yang mudah. Upaya tersebut menjadi tanggung jawab dari berbagai pihak, yaitu produser program, stasiun televisi, masyarakat, pemerintah, dan kalangan pendidikan, untuk bersama-sama berupaya dengan dilandasi pada niat baik bersama yaitu mencapai bangsa Indonesia yang cerdas. alam hal ini, kepentingan berbagai pihak haruslah dikompromikan. Tidak mungkin produser mau menangnya sendiri saja dan hanya mementingkan komersialisasi atau nilai jual program, tanpa menghiraukan kondisi pemirsa serta dampak program bagi pemirsa. Pemerintah juga tidak dapat lepas tangan terhadap permasalahan yang terjadi, konflik kepentingan antara pemirsa dan produser program (termasuk stasiun televisi) harus diselesaikan dengan pengaturan- pengaturan yang jelas, adil, dan luwes. Kalangan pendidikan dan masyarakat diharapkan untuk dapat lebih bersikap kritis serta berani menyuarakan persepsi yang belum terdengar dari the silent majority terhadap program-program televisi di tanah air. Kenyataan bahwa program televisi merupakan hiburan yang paling murah bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga sangat potensial sebagai media pembelajaran hendaknya dimanfaatkan sebagai peluang untuk berbagai upaya dan niat dalam mencerdaskan bangsa Indonesia. Barangkali, perjalanan panjang perlu ditempuh untuk mencapai situasi yang diharapkan, namun langkah kecil perlu dimulai yaitu perlunya kesadaran dan komitmen berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas program televisi Indoensia saat ini.

DAFTAR RUJUKAN

  Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A social and cognitive theory. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall. Bickham, D. S., Wright, J. C., & Huston, A. C. (2000). Attention, comprehension, and the educational influences of television.

  Dalam D. G. & J. L. Singers (Eds.) Handbook of children and the media. Thousand Oaks, CA.: Sage Publications. Brown, J.A. (1991). Television “Critical viewing skills” education:

  Major media literacy projects in the United States and selected countries. Hillsdale: N. J.: Erlbaum.

  Emery, M. & Emery, F. (1980). The vacuous vision: The TV medium.

  Journal of the University Film Association, 32, 27-32.

  Pannen, Program Televisi Indonesia

  Flemming, M. & Levie, W. H. (Eds.). (1993). Instructional message nd design: Principles from the behavioral sciences (2 Ed.).

  Englewood Cliffs, N. J.: Educational Technology. Gerlach, V. S. & Ely, D. P. (1980). Teaching & media: A systematic approach. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall.

  Heinich, R., Molenda, M., & Russel, J. D. (1991). Instructional media

  

and the new technologies of instruction. New York: MacMillan

  Liebert, R. M. & Sprafkin, J. (1988). The early window: Effects of rd television on children and youth (3 ed.). New York: Pergamon. Neuman, S. B. (1991). Literacy in the television age: The myth of the TV effect. Norwood, N. J.: Ablex. Rice, M., Huston, A., & Wright, J. (1982). The forms of television:

  Effects on children’s attention, comprehension, and social behavior. Dalam Pearl, D. Bouthilet, L, & Lazar, J. (eds.).

  Television and behavior: Ten years of sientific inquiry and implications for the eighties. Vol. 2: Technical Review.

  Washington, D. C.: US Government Printing Office. Seels, B. et. al. (2002). Research on Learning from Television. Dalam

  Jonassen, D. H. (Ed.). (2002). Handbook of research for nd

  educational communications and technology. 2 Ed. New York: Simon & Schuster MacMillan.

  Winn, M. (1977). The plug-in drug. New York: Viking.

  89