KAJIAN MORFOLOGI DERIVASIONAL DAN INFLEKSIONAL DALAM BAHASA INDONESIA

KAJIAN MORFOLOGI DERIVASIONAL DAN INFLEKSIONAL DALAM BAHASA INDONESIA

Dwi Purnanto

Jurusan Bahasa Indonesia, Fakultas Sastra, UNS Jln.Ir.Sutami 36A, Kentingan, Surakarta E-mail: dwipur_sastra@uns.ac.id

ABSTRACT

This article deals with the study of words in the scope of morphology with the stress on Hockett’s ideas (1954) of Item and Arrangement (IA), Item and Process (IP), dan Word and Paradigm (WP). Using this approach, men to concern will really understand that derivational (or lexical) morphology studies words forma- tion resulted in new categories of the words while in inflectional morphology, such

a result is not found. Inflectional morphology; on the other hand, deals with the result of words formation derived from the same lexems. The outstanding inference shows that to be the scope of word formation is only the derivasional morphology instead of inflectional one. The understanding of inflection becomes the scope of syntax since it is only completing the forms of lexem; however, derivation is in- cluded in lexicon for it provides new lexems.

Key words: derivasional, infleksional, IA, IP, WP, word formation, and lexem.

ruhi oleh aliran struktural, khususnya aliran Morfologi termasuk salah satu studi struktural Amerika yang dipelopori oleh kebahasaan (linguistik) yang mengkaji kata Bloomfield. Ketiga, munculnya aliran atau leksikon suatu bahasa. Kata dalam hal ini transformasional yang dikembangkan oleh dipandang sebagai satuan-satuan padu bentuk Noam Chomsky (Bauer, 1988:5). dan makna yang memperlihatkan aspek valensi

1. Pendahuluan

Menurut tradisi, studi morfologi akan sintaksis, yakni kemungkinan-kemungkinan mengkaji struktur internal kata dalam kaitannya yang dimiliki kata untuk berkombinasi dengan dengan kata lain dalam suatu paradigma; se- kata kata lain dalam kelompok (Uhlenbeck dangkan sintaksis berkaitan dengan fungsi fungsi dalam Ekowardono, 1982:54).

eksternal kata dan kaitannya dengan kata lain Terdapat latar belakang teoritis mengapa dalam kalimat (Matthews,1974:154). Pada perhatian baru terhadap morfologi diperhatikan tingkat gramatikal, kata, secara tradisional akan lagi, yaitu setidak-tidaknya terdapat tiga dipahami sebagai unsur terkecil bahasa yang sumber utama. Pertama adanya studi filologis akan didentifikasikan tentang asal dan bentuknya terhadap tata bahasa pada akhir abad 19 dan dalam paradigma. Setiap bahasa tentunya dapat tahun-tahun pertama abad 20. Kedua, studi dijabarkan ihwal kata itu dan properti-properti bahasa yang bermacam-macam yang dipenga- morfosintaksisnya (Matthews, 1974:136).

Kajian Morfologi Derivasional dan Inpleksional dalam Bahasa Indonesia (Dwi Purnanto)

Pada abad 19 istilah morfologi sebagai ngan penggunaan model IA dan IP, seperti bidang linguistik dipahami sebagai studi tentang tertuang dalam tulisan Hockett Two Models perubahan-perubahan secara sistematis ten- of Item and Arrangement (IA) and Item and tang bentuk kata yang dihubungkan dengan Process (IP) (dalam Kridalaksana, 1997:2). maknanya (Bauer, 1988:4). Hal itu dapat Lebih lanjut Bauer (1988:170) berpendapat diambil contoh pasangan-pasangan kata se- bahwa model IA adalah tipe yang paling se- bagai berikut:

derhana; IP agak lebih rumit; dan WP adalah desert

deserter ‘pembelot’

yang paling rumit.

design designer ‘perancang’ Makalah ini akan mencoba mengkaji fight

fighter ‘pejuang/petinju’ penerapan morfologi derivasional dan morfo- paint

painter ‘pengecat’ logi infleksional dalam bahasa Indonesia. Kata-kata tersebut tidak hanya akan dikaji bentuk katanya saja, tetapi akan dikaji juga

2. Konsep Dasar Pembentukan Kata

bagaimana unit-unit lain dapat berfungsi untuk Matthews dalam buku Morphology: An mengubah bentuk katanya. Dengan begitu, Introduction to the Theory of Word-Struc- kajian morfologi berkaitan juga dengan bagai- ture (1974) membagi morfologi menjadi dua mana proses infleksi dan derivasinya.

bidang, yaitu morfologi infleksional (inflec- Dengan tata kerja seperti itu, kajian mor- tional morphology ) dan morfologi leksikal fologi dalam suatu bahasa, termasuk bahasa (lexical morphology). Di dalam kaitan itu Indonesia, akan melibatkan kajian tentang afiks Mathews (1974: 38) membedakan antara sebagai alat pembentuk kata (polimorfemis) proses infleksi dengan proses pembentukan atau lexical formatives (istilah Matthews). kata (word formation) yang mencakup Dengan demikian, akan didapati dua jenis derivasi dan komposisi. Dalam pada itu, yang afiks, yaitu afiks-afiks infleksional dan afiks- termasuk dalam lingkup pembentukan kata afiks derivasional. Afiks infleksional adalah hanya morfologi derivasional (leksikal). se- afiks yang mampu menghasilkan bentuk- dangkan morfologi infleksional tidak. Menurut bentuk kata yang baru dari leksem dasarnya, Bauer (1988:80), dalam buku Introducing sedangkan afiks derivasional adalah afiks yang Linguistic Morphology , dinyatakan bahwa menghasilkan leksem baru dari leksem dasar. morfologi akan dipilah atas morfologi deri- Misalnya kata recreates dapat dianalisis atas vasional dan morfologi infleksional. Infleksi sebuah prefiks re-, sebuah akar create, dan merupakan bagian dalam sintaksis karena sebuah sufiks -s. Prefiks re membentuk leksem bersifat melengkapi bentuk-bentuk leksem dan baru RECREATE dari bentuk dasar create, derivasi menjadi bagian dari leksis karena sedangkan sufiks s membentuk kata yang lain menyediakan leksem-leksem baru. dari leksem RECREATE. Jadi prefiks re- ber-

Morfologi leksikal mengkaji kaidah- sifat derivasional, sedangkan sufiks s bersifat kaidah pembentukan kata yang menghasilkan infleksional.

kata-kata baru yang secara leksikal berbeda Untuk memahami bagaimana kata dapat (beridentitas baru) dari kata yang menjadi dikaji dalam morfologi, para linguis bisa me- dasarnya. Hal ini berbeda dengan morfologi ngacu ulang kepada pendapat Hockett (1954) infleksional yang mengkaji hasil-hasil pem- tentang: analisis kata dengan pendekatan Item bentukan kata yang berasal dari leksem yang and Arrangement (IA), analisis kata dengan sama. pendekatan Item and Process (IP), dan Word

Pemilahan seperti itu akan membawa and Paradigm (WP). Pada masa itu, analisis konsekuensi bahwa pembahasan utamanya morfologi terhadap kata lebih didominasi de- adalah masalah derivasi dan infleksi. Derivasi

Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 18, No. 35, 2006: 136-152

adalah proses pembentukan kata yang meng- Sehubungan dengan derivasi dan infleksi, hasilkan leksem baru (menghasilkan kata- kata Booy (1988:39) juga menyatakan bahwa yang berbeda dari paradigma yang berbeda); afiks-afiks derivasional merupakan morfem sedangkan infleksi pembentukan kata yang terikat yang digabungkan dengan base untuk menghasilkan bentukan kata-kata yang ber- mengubah kelas katanya (part of speech). beda dengan paradigma yang sama. Pemben- Misalnya, kata-kata teach, build dan sweep tukan derivasi bersifat tidak dapat diramalkan, adalah verba, tetapi jika ditambahkan afiks sedangkan pembentukan infleksi bersifat derivasional -er, akan menjadi nomina teacher, teramalkan (predictable). Contohnya verba builder , dan sweeper. Jika ditambahkan sufiks work , otomatis akan dikenali works, worked, -ly pada adjektiva happy, loud, smooth, akan working atau worker

workers (bentukan didapatkan adverbia happily, loudly, smothly. infleksional yang teramalkan); berbeda dengan Contoh lain afiks derivasional adalah -en yang WORK WORKER:

dapat mengubah nomina menjadi verba seperti AGREE *AGRRER.

pada danger, slave, throne, menjadi: endan- Salah satu perbedaan fundamental antara ger, enslave, enthrone . Namun, jenis kata afiks derivasional dan afiks infleksional adalah kadang-kadang juga tidak berubah karena parameter produktivitas. Selain itu, istilah pem- afiks derivasional, misalnya like dan dislike, bentukan kata tidak digunakan secara semba- keduanya berjenis verba; true dan untrue ke- rangan karena berkaitan dengan pembentukan duanya adjektiva. leksem baru (derivasi leksikal) dan untuk

Selanjutnya, Bauer (1988:12-13) ber- membuat analisis terhadap derivasi infleksional pendapat bahwa derivasi adalah proses dengan prinsip konkordansi dan aggrement. morfologis yang menghasilkan morfem baru,

Bahkan menurut Beard di dalam buku sedangkan infleksi adalah proses morfologis Lexeme Morpheme Base Morphology yang menghasilkan bentuk-bentuk kata yang (1995: 166-167) dijelaskan bahwa apabila berbeda dari sebuah leksem yang sama. Mat- terdapat adanya pembentukan kata yang me- thews (1974: 38) menjelaskan bahwa infleksi ngalami perpindahan kelas juga harus diper- adalah bentuk-bentuk kata yang berbeda dari timbangkan adanya relasi gramatikalnya. paradigma yang sama, sedangkan derivasi Karena derivasi berindikasi harus fungsional adalah bentuk kata yang berbeda dari para- dan perubahan kelas (reclassification). Deri- digma yang berbeda. Lebih lanjut, Bauer vasi dikatakan fungsional karena adanya peru- (1988) merumuskan bahwa pembentukan bahan kelas dan fungsi gramatikalnya.

infleksional dapat diramalkan, sedangkan pembentukan derivasional tidak dapat di-

2.1 Derivasi dan Infleksi

ramalkan.

Katamba (1994:92-100) menjelaskan Sebagai catatan perlu diperhatikan apa perbedaan konsep infleksi dan derivasi, yang dinyatakan oleh Bauer (1988: 12-13) sebagai berikut: infleksi berkaitan dengan dalam kaitannya dengan studi tentang mor- kaidah-kaidah sintaktik yang dapat diramalkan fologi, yaitu adanya sejumlah cara untuk me- (predictable), otomatis (automatic), siste- ngetahui apakah sebuah afiks bersifat in- matik, bersifat tetap/konsisten, dan tidak fleksional atau derivasional. mengubah identitas leksikal, sedangkan derivasi (a) Jika sebuah afiks mengubah bentuk kata lebih bersifat tidak bisa diramalkan, ber-

dasarnya, afiks itu bersifat derivasional. dasarkan kaidah sintaktik, tidak otomatis, tidak

Afiks-afiks yang tidak mengubah kelas sistematik, bersifat optional/sporadis, serta

kata bentuk dasarnya biasanya termasuk mengubah identitas leksikal.

afiks infleksional . Contoh: form adalah

Kajian Morfologi Derivasional dan Inpleksional dalam Bahasa Indonesia (Dwi Purnanto)

nomina, formal adalah adjektiva; berarti, masuk beridentitas sama dengan verba -al telah mengubah kelas kata sehingga

monomorfemis yang mana pun juga da- termasuk afiks derivasional. Formalise

lam sistem morfologi bahasa Inggris. adalah verba dan formalizes juga verba; (2) Secara statistik, afiks derivasional lebih berarti -s tidak mengubah kelas kata,

beragam , misalnya dalam bahasa Inggris sehingga kemungkinan termasuk afiks

terdapat afiks-afiks pembentuk nomina: infleksional .

-er, -ment, -ion, -ation, -ness (singer, (b) Afiks-afiks infleksional selalu menam-

arrangement, correction, nationaliza- pakkan makna yang teratur atau dapat

tion, stableness), sedangkan afiks in- diprediksikan; sebaliknya, makna-makna

fleksional dalam bahasa Inggris kurang dari afiks-afiks derivasional tidak

beragam (-s(dengan segala variasi- dapat diramalkan. Sebagai contoh afiks

nya), -ed1, -ed2, -ing: work, worked1, infleksional -s yang menunjukkan mak-

worked2, working). na jamak dalam bahasa Inggris, seperti: (3) Afiks-afiks derivasional dapat meng- dogs, bicycles, shoes, trees . Lain halnya

ubah kelas kata, sedangkan afiks inflek- dengan perubahan makna secara deri-

sional tidak.

vasional seperti -age dalam bandage (4) Afiks-afiks derivasional mempunyai ‘pembalut’, cleavage ‘perpecahan’,

distribusi yang lebih terbatas (misalnya: mileage ‘jarak mil’, shortage ‘keku-

afiks derivasional -er diramalkan tidak rangan.

selalu terdapat pada dasar verba untuk (c) Terdapat suatu kaidah umum bahwa bila

membentuk nomina), sedangkan afiks dapat menambahkan afiks infleksional

infleksional mempunyai distribusi yang pada salah satu anggota dari sebuah kelas

lebih luas.

kata, maka akan dapat menambah afiks (5) Pembentukan derivasional dapat men- infleksional pada semua anggota kelas

jadi dasar bagi pembentukan berikutnya: yang lain. Sedangkan afiks derivasional

sing (V) singer (N) ) singers (N), tidak dapat ditambahkan pada setiap

sedangkan pembentukan infleksional anggota kelas. Dengan demikian, dapat

tidak.

ditentukan bahwa afiks-afiks inflek- sional itu bersifat produktif, sedangkan

Samsuri (1982: 198) di dalam buku Ana- afiks derivasional bersifat tidak pro- lisis Bahasa mengungkapkan pendapatnya duktif.

tentang derivasi dan infleksi, yaitu bahwa de- rivasi ialah konstruksi yang berbeda distri-

Perbedaan antara pembentukan secara businya daripada dasarnya, sedangkan infleksi derivasional dan infleksional juga diuraikan adalah konstruksi yang menduduki distribusi Nida dalam Subroto (1985: 269):

yang sama dengan dasarnya. Samsuri me- (1) pembentukan derivasional termasuk nyatakan bahwa di dalam bahasa-bahasa jenis kata yang sama dengan kata tunggal Eropa, utamanya Inggris, pengertian derivasi (yang termasuk sistem jenis kata ter- dan infleksi dapat dikenakan secara konsisten. tentu) seperti: singer ‘penyanyi’ (no- Misalnya: books (dari book), stop, stopped, mina), dari verba (to) sing ‘menyanyi’, stopping (stop); prettier, prettiest (pretty); termasuk jenis kata yang sama dengan sebagai contoh infleksi. Sedangkan derivasi boy ‘ anak laki-laki’; sedangkan pem- dicontohkan: runner (run), beautify (beauty). bentukan infleksional tidak, misalnya: Semua bentuk seperti book, jika mendapat verba polimorfemis walked tidak ter- sufiks -s (plural), merupakan infleksi, seperti

Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 18, No. 35, 2006: 136-152

wall-walls, chair-chairs, dsb. Namun, di pembentukan yang menghasilkan jenis kata dalam bahasa Indonesia tidaklah demikian, baru (pembentukan derivasional) selalu berarti karena sistem afiks bahasa Indonesia berbeda pula perpindahan identitas leksikalnya (menulis dengan bahasa Inggris. Contohnya, menggun- (V) penulis (N); namun tidak sebaliknya, ting termasuk derivasi, sedangkan membaca setiap perpindahan identitas leksikal berarti dan mendengar adalah infleksi. Oleh sebab pula perpindahan jenis kata). Hal ini terlihat itu masih merupakan persoalan, apakah pe- pada verba berangkat dan memberangkat- ngertian infleksi dan derivasi dapat diterapkan kan . Verba memberangkatkan dibentuk dari secara konsisten di dalam bahasa Indonesia. berangkat . Sekalipun kedua kata tersebut

Hal ini sejalan dengan pendapat Subroto termasuk golongan verba, namun keduanya (1985:268) yang juga mengungkapkan bahwa memiliki identitas leksikal yang berbeda. Ver- ihwal pemisahan antara derivasi dan infleksi

ba berangkat termasuk intransitif, sedangkan memang sudah merupakan persoalan klasik memberangkatkan termasuk transitif. Oleh untuk bahasa-bahasa Indo-Eropa yang tergo- karena identitas leksikalnya berbeda, maka long bahasa fleksi atau infleksi; namun hal itu referennya pun berbeda pula. tampaknya masih meragukan untuk diterapkan

Dengan demikian, dapat disimpulkan pada bahasa Indonesia yang tergolong bahasa bahwa setiap proses morfologis yang meng- aglutinasi.

hasilkan kata yang secara leksikal beridentitas Sementara itu, Verhaar (1996:118 dan baru dianggap sebagai pembentukan deriva- 121) mengungkapkan bahwa dua golongan sional. Contoh dalam bahasa Indonesia adalah bawahan yang terpenting dalam paradigma kata-kata penulis, tulisan, dan penulisan, morfemis adalah golongan yang berdasarkan yang memiliki morfem dasar tulis dimasuVan “fleksi” dan golongan yang berdasarkan sebagai pembentukan derivasional berdasar- “derivasi”. Golongan “fleksi” atau “infleksional” kan referennya dan berdasarkan fitur-fitur se- adalah daftar paradigmatik yang terdiri atas mantiknya. bentuk-bentuk dari kata yang sama, sedangkan

Untuk membedakan lebih lanjut tentang golongan derivasi adalah daftar yang terdiri atas infleksi dan derivasi dalam pembentukan kata, bentuk-bentuk kata-kata yang tidak sama. kiranya perlu juga diungkapkan prinsip-prinsip Misalnya saja, bentuk mengajar dan diajar berikut. Perbedaan infleksi dan derivasi yang adalah dua bentuk (“aktif” dan “pasif”) dari diterangkan melalui prinsip-prinsip ini bersifat kata yang sama, yaitu mengajar, sedangkan dikotomis, sebagaimana diakui oleh Bauer mengajar dan pengajar merupakan dua kata (1988) dan Katamba (1993), kasus yang yang berbeda (verba dan nomina). Dengan semula diasumsikan ke dalam masalah infleksi kata lain, fleksi atau morfologi infleksional, dapat saja dikategorikan ke dalam kasus de- adalah proses morfemis yang diterapkan pada rivasi, khususnya pada bahasa yang bertipe kata sebagai unsur leksikal yang sama, se- aglutinasi (kaya dengan afiks, seperti bahasa dangkan derivasi, atau morfologi deriva- Indonesia). sional adalah proses morfemis yang mengubah (1) Infleksi berkait erat dengan aturan sintak- kata sebagai unsur leksikal tertentu menjadi

sis (Bauer, 1988: 84; Katamba, 1993: unsur leksikal yang lain.

205), dalam arti bahwa morfem inflek- Ditambahkannya pula bahwa semua

sional diperlukan untuk melengkapi kata perubahan afiksasi yang melampaui identitas

sebagaimana dituntut oleh aturan grama- kata disebut derivasi, sedangkan yang mem-

tikal yang pemunculannya tidak akan pertahankan identitas kata disebut infleksi

mengubah kategori atau identitas kata (1977:66). Dipaparkan pula bahwa setiap

tersebut. Sebaliknya, morfem derivasio-

Kajian Morfologi Derivasional dan Inpleksional dalam Bahasa Indonesia (Dwi Purnanto)

nal berhubungan dengan aturan morfologi Inggris, biasanya sufiks –s ditambahkan derivasional (derivational morphologi-

pada nomina tersebut. cal rules ), yang merupakan aturan lek-

Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa sikal pada pembentukan kata.

pembentukan kata secara derivasional Misalnya kasus infleksi leksem FORM

tidak produktif sama sekali. Banyak ka- dalam bahasa Inggris dapat berubah

sus derivasi yang sangat produktif (tidak menjadi forms (form–s). Apabila form

seperti yang diduga sebelumnya). Dalam digunakan sebagai verba, maka penam-

bahasa Inggris, penambahan sufiks – bahan –s diperlukan sebagai tuntutan

ment pada verba untuk membentuk no- gramatikal oleh subjek orang ketiga

mina merupakan proses yang sangat pro- tunggal yang berhadapan dengan verba

duktif, dan oleh karenanya dapat dira- present . Demikian pula, apabila FORM

malkan. Dari sini, diketahui bahwa prin- digunakan sebagai nomina, penambahan

sip produktivitas tidak serta-merta dapat –s merupakan tuntutan untuk membentuk

dijadikan ukuran untuk menentukan benda jamak. Secara sintaktis, tuntutan

apakah proses pembentukan kata ter- seperti ini dibicarakan dalam ruang ling-

sebut infleksi ataukah derivasi. kup kesesuaian gramatikal (agreement/ (3) Afiks infleksional cenderung mempunyai concord ). Perubahan demikian tidak

makna tetap, sedangkan afiks derivasio- mengubah kategori atau identitas kata

nal belum tentu (Bauer, 1988: 77). (Scalise, 1984: 103), misalnya: verba

Pada proses infleksi, perubahan kata da- tetap menjadi verba dan nomina tetap

sar menjadi kata bentukan tidak mengu- menjadi nomina.

bah makna, sedangkan pada proses Pada kasus derivasi, leksem FORM da-

derivasi kata bentukan yang dihasilkan pat berubah menjadi formal (form–al)

biasanya memiliki makna yang berbeda atau formalize (formal–ize). Di sini,

atau relatif berbeda dari makna bentuk form berkategori nomina, formal kata

dasarnya. Secara infleksional, pada kata sifat, dan formalize (formal–ize) verba.

walk (berjalan) di atas, perubahan Dengan demikian, –al berfungsi sebagai

menjadi walk–s, walk–ed, (has) walk- pengubah nomina menjadi kata sifat, dan

ed , dan walk–ing tidak mengubah –ize berfungsi sebagi pengubah kata sifat

makna bentuk dasarnya. Namun demiki- menjadi verba.

an, secara derivasional, perubahan walk (2) Pembentukan kata secara infleksional

menjadi walk–er (orang yang berjalan) dapat diramalkan (predictable), sehing-

memiliki makna yang sangat berbeda dari

ga produktif; sebaliknya, pemben-tukan bentuk dasarnya. Dengan demikian, se- kata secara derivasional kurang dapat

lain terjadi perubahan makna pada de- diramalkan, sehingga kurang produktif

rivasi, sebagaimana telah diungkapakan (Bauer, 1988: 79; Scalise, 1984: 114)

pada prinsip (1), terjadi pula perubahan Pada proses pembentukan kata secara

kelas atau identitas kata. infleksional, perubahan dari bentuk dasar (4) Afiks derivasional lebih dekat dengan sebagai input menjadi kata bentukan se-

akar kata daripada afiks infleksional bagai output biasanya memenuhi prinsip

(Bauer, 1988: 80). generalitas. Artinya, pembentukan kata

Dapat dicontohkan dalam bahasa Ing- menurut aturan sintaksis dapat digene-

gris, bahwa pada kata bentukan black– ralisasikan. Sebagai contoh, untuk mem-

en–ed , afiks –en (sebagai pengubah kata bentuk benda jamak dalam bahasa

sifat menjadi verba secara derivasional)

Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 18, No. 35, 2006: 136-152

lebih berdekatan dengan akar katanya (black) daripada afiks–ed, yang secara infleksional berfungsi sebagai pembentuk verba past tense dari verba present (blacken).

(5) Derivasi dapat diganti dengan bentuk monomorfemik (Bauer, 1988: 82). Secara sintaktis, kata bentukan deriva- sional pada sebuah kalimat (yang mengisi fungsi subjek, misalnya) dapat diganti dengan morfem tunggal yang dapat mengisi fungsi yang sama. Bauer (1988:

82) mencotohkan bahwa kata patriot– ism pada kalimat “Patriotism is good for

a nation” dapat diganti dengan kata oil pada kalimat “Oil is good for a nation”. Baik kata patriotism maupun oil men- duduki fungsi subjek, yang keduanya dapat saling menggantikan, meskipun dengan makna yang berbeda. Patrio- tism merupakan kata bentukan dari pro- ses derivasi, dan kata oil merupakan morfem tunggal.

(6) Infleksi menggunakan seperangkat afiks yang berdekatan (Bauer, 1988: 83). Afiksasi pada infleksi tidak dapat dihi- langkan begitu saja, sehingga kehadi- rannya melekat pada sistem sintaksis sebuah bahasa. Afiks-afiks yang digu- nakan pada kasus infleksi biasanya ber- dekatan jenis. Di pihak lain, kehadiran afikasi pada derivasi dimunculkan atau muncul secara tiba-tiba (sebagaimana terlihat pada kemunculan kata baru), tidak serta-merta melekat pada sistem sintaksis. Prinsip (6) ini berhimpitan dengan kon- sep produktivitas pada prinsip (1) di atas, dan berhimpitan pula dengan prinsip (7) di bawah ini, terkait dengan bagai- mana memunculkan atau membangkitkan afiksasi pada proses derivasi.

(7) Aturan derivasional dapat diterapkan secara berulang-ulang, sedangkan aturan infleksional tidak (Scalise, 1984: 133).

Aturan derivasional biasanya dapat dite- rapkan secara berulang-ulang dengan membangkitkan atau memunculkan kata- kata baru berdasarkan afiksasi derivasio- nal yang telah dikenal sebelumnya. Oleh Scalise (1984: 114), dikatakan bahwa prinsip keberulangan ini setidak-tidaknya dapat diterapkan dua kali.

(8) Aturan derivasional bersifat pilihan, se- dangkan aturan infleksional bersifat wajib (Scalise, 1984: 115). Ada bahasa, seperti Tagalog (Carrier, dalam Scalise, 1984: 115), yang setiap katanya menuntut kehadiran infleksi dalam kalimat. Apabila prinsip ini diikuti, maka dalam bahasa-bahasa yang tidak menuntut kehadiran infleksi pada setiap kata dalam kalimat, ketidakhadiran in- fleksi itu harus dipandang sebagai infleksi kosong (zero inflection). Ini berarti bah- wa secara sintaktis infleksi bersifat wajib. Akan tetapi, kehadiran derivasi tidak merupakan tuntutan oleh setiap kata da- lam kalimat. Sebuah kata akan menga- lami proses derivasi apabila proses itu diharapkan untuk mengungkapkan mak- na tertentu sesuai dengan pilihan kate- gori dan identitas kata tersebut dalam susunan kalimat.

2.2 Produktivitas

Di dalam setiap bahasa selalu terdapat pola pembentukan kata yang secara sistematis (dapat) digunakan oleh pemakai bahasa untuk membentuk kata-kata baru yang jumlahnya tidak terbatas. Kata-kata baru itu diterima dan dipahami oleh para pemakai bahasa lainnya secara spontan, tanpa kesukaran (Bauer, 1983:66). Di samping itu, pola pembentukan itu cenderung dapat diperluas secara terus- menerus pada sebagian besar kata yang ter- masuk jenis kata tertentu, apabila situasi pema- kaiannya memungkinkan. Pola pembentukan yang demikian itu disebut prosede produktif (Uhlenbeck, 1982:4).

Kajian Morfologi Derivasional dan Inpleksional dalam Bahasa Indonesia (Dwi Purnanto)

Bauer (1983:63) memberikan batasan Indonesia dapat dicontohkan pada pemakaian bahwa produktivitas adalah salah satu per- sufiks -i dalam memukul + -i memukuli, lengkapan bahasa yang memungkinkan pem- tetapi -i dalam membaca + -i membacai*, bicara asli bahasa itu menghasilkan bentukan- tidaklah berterima. bentukan yang tak terbatas jumlahnya dan

Tidak adanya sebuah bentuk yang se- beberapa di antaranya merupakan bentukan harusnya ada (karena menurut kaidah di- baru.

benarkan) ini disebut blocking (Aronoff, Sementara itu, Subroto (1985:95) me- 1976:43; Bauer, 1983:87). Hal ini disebabkan ngemukakan bahwa cara untuk menentukan karena keproduktifan proses derivasi dan prosede produktif ialah jumlah. Yaitu prosede penambahan alternan-alternan baru pada daftar itu dapat diterapkan pada sejumlah besar kata derivasional dibatasi oleh kaidah-kaidah yang yang termasuk jenis kata tertentu. Diungkapkan sudah ada (Chaer, 1994:194). Misalnya, pem- pula bahwa bahasa itu memiliki pola pemben- bentukan kata baru dengan prefiks memper- tukan (rule). Jika pola ini dapat digunakan terbatas pada dasar adjektiva dan dasar nume- secara terus-menerus, pola ini adalah pro- ralia, dan tidak dapat diberlakukan pada dasar duktif. Contoh pembentukan verba dari dasar verba. Misalnya, kata memperbanyak, mem- nomina dalam bahasa Jawa misalnya: kathok perburuk, memperketat. Tidak ada bentuk + -an

kathokan; kalung + -an ka- *memperbaca, *memperlihat, *memper- lungan; sepatu + -an sepatuan (sepaton); tulis , sebab dasar baca, lihat, dan tulis bu- klambi + -an

klamben. kanlah adjektif, melainkan verba. Di samping Demikian pula Katamba (1994:65-72) itu, perlu pula dicermati bahwa meskipun memberikan gambaran tentang masalah pro- kaidah mengizinkan untuk terbentuknya suatu duktivitas. Diungkapkannya bahwa productiv- kata, namun dalam kenyataan berbahasa ity menyangkut perluasan leksikon yang tiada bentuk-bentuk tersebut tidak dijumpai. Contoh henti-hentinya. Jadi productivity ini adalah dalam bahasa Indonesia adalah: memper- masalah degree (degree of productivity), ya- baiki , tetapi tidak ada *memperbetuli. Ada itu terdapat pola-pola pembentukan yang pro- bentuk kekasih, tetapi *kesayang tidak ada; duktif (ada relativitas). Pola pembentukan ini ada bentuk keda-tangan, tetapi tidak ada bersifat open ended. Artinya, tidak berhenti. bentuk *ketibaan. Di dalam bahasa Inggris Pembicaraan tentang produktivitas melibatkan demikian pula, ada bentuk arrival, tetapi tidak pula masalah kreativitas (creativity). Artinya, ada *arrivation; ada bentuk derivation, di dalam sebuah bahasa jika situasinya me- namun bentuk *derival tidak ditemukan. mungkinkan dapat dibentuk kata-kata baru

Suatu kata bisa pula tidak dapat dibentuk dengan pola yang telah ada, misalnya dalam berdasarkan prosede produktif karena di da- bahasa Indonesia terdapat pola: pe- + tinju lam bahasa tersebut telah terdapat kata lain

petinju. Dari pola tersebut dapat dibentuk yang mengacu kepada maksud yang sama. pula pe- + catur

pecatur ; pe- + tenis Misalnya, di dalam bahasa Inggris tidak petenis .

terdapat bentuk N *stealer dari dasar V steal Meskipun produktivitas bersifat open ‘mencuri’, (seperti halnya pada read reader ended , namun suatu saat dapat pula mengalami ‘pembaca’), karena di dalam bahasa Inggris hambatan, yang oleh Katamba (1994:74) terdapat kata thief ‘pencuri’. disebut dengan constraint of productivity.

Salah satu contoh prosede produktif di Artinya, pola-pola yang semula produktif, tiba- dalam bahasa Indonesia adalah pembentukan tiba menghadapi kendala tatkala berhadapan kata-kata yang berasal dari verba murni, de- dengan bentuk-bentuk tertentu. Dalam bahasa ngan prefiks me(N)- yang berpasangan

Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 18, No. 35, 2006: 136-152

dengan di-D. Prefiks ini berkaitan dengan ciri dalam proses morfologis, (d) unsur yang di- makna ‘melakukan perbuatan dengan sengaja, ketahui adanya dari bentuk yang telah diseg- dengan sasaran tertentu’. Pola pembentu- mentasikan dari bentuk kompleks merupakan kannya adalah: mengambil >< diambil; bentuk dasar yang lepas dari morfem afiks, dan menulis >< ditulis; membuka >< dibuka . (e) bentuk yang tidak tergolong proleksem atau Pola ini masih dapat diperluas lagi dengan kata- partikel. verba yang baru.

Konsep leksem berkaitan erat dengan ka- tegorisasi. Namun penentuan kategorisasi lek-

3. Pembentukan Kata dalam Bahasa sem berbeda dengan penentuan kategori kata

Indonesia

karena leksem sebagai satuan dari leksikon

3.1 Konsep Leksem Menurut Harimurti berada di luar morfologi dan sintaksis, sedang-

kan kata berada di dalam morfologi atau sin- Dalam disertasinya yang berjudul Be- taksis. Walaupun penentuannya berbeda, ke- berapa Prinsip Perpaduan Leksem dalam dua juga mempunyai kesepadanan; misalnya, Bahasa Indonesia (1988) dan bukunya yang leksem nomina sepadan dengan kata nomina, lain yang berjudul Pembentukan Kata dalam leksem verba juga sepadan dengan kata ver- Bahasa Indonesia (1989), Kridalaksana ba. menyatakan bahwa leksem sebagai input dalam

Kridalaksana

Sebagai input dalam proses morfologis, proses pembentukan kata dan oleh karenanya leksem tidak hanya berubah bentuknya, tetapi leksem memang dibedakan dari kata.

juga memperoleh makna baru, yang disebut Sebagai pakar yang mengenalkan per- makna gramatika, sedangkan makna semula tama kali konsep leksem, Harimurti mence- yaitu makna leksikal, sedikit banyak tidak ber- ritakan sejarah konsep leksem sebagai berikut. ubah. Adapun output yang berupa kata me- Whorf (1938) mengenalkan leksem sebagai “ rupakan suatu kesatuan yang dapat dianalisis the word or stem as an item of the vocabu- atas komponen-komponen yang disebut lary, and as a part analyzed or abstracted morfem (Kridalaksana, 1988: 53). Konse- from sentences words (lihat Caroll 1956). kuensinya, morfem sebagai satuan terkecil Adapun Lyons menyatakan, “… lexeme are dalam hierarki gramatikal, sebenarnya baru the words and phrases that a dictionary dapat ditandai setelah kata terbentuk melalui would list under a separate entry (1977: 23). proses morfologis, sebagaimana dinyatakan Matthews menyatakan leksem sebagai unit Aronof, “All regular word formation proces- abstrak dan merupakan unit dasar dari ses are word-based ” atau yang dikemukakan leksikon (1974: 21-22). Sebagai unit dasar Dressler, “… words are primary signs, mor- leksikon, leksem dibedakan dengan kata se- phemes only secondary signs…; therefore bagai satuan gramatikal. Hal ini berarti leksem words are better perceivable than mor- sebenarnya merupakan “bahan dasar” (yang phemes for motivating derived words (1983: berupa morfem dasar) yang telah mengalami 75). Hal ini juga dikemukakan oleh Uh- “pengolahan gramatikal” menjadi kata dalam lenback(1982: 6) yang menyatakan ada dua subsistem gramatika. Oleh karena itu, afiks jenis morfem, yaitu morfem leksikal yang tidak dapat disebut leksem, melainkan sebagai makna dan bentuknya sedikit banyak sama lexical formative (Matthews, 1974: 41).

dengan leksem dan morfem gramatikal yang Dengan demikian leksem mencakup pe- sedikit banyak menyebabkan leksem itu mem- ngertian sebagai berikut: (a) satuan terkecil da- punyai makna gramatikal. lam leksikon, (b) satuan yang berperan sebagai

Semua itu berlaku dalam proses pem- input dalam proses morfologis, (c) bahan baku bentukan kata sebagai satuan sintaksis. Karena

Kajian Morfologi Derivasional dan Inpleksional dalam Bahasa Indonesia (Dwi Purnanto)

bahan dasar kata adalah leksem dan karena (sebab asalnya dari bahasa Arab dan proses ini menyangkut pembentukan kata,

pungkir hanya da dalam bahasa Indo- maka subsistem ini disebut morfologi leksikal

nesia)

atau morfologi derivasional. Adapun proses (6) Perpaduan: dua leksem atau lebih ber- perubahan kata yang menyebabkan satuan itu

padu dan outputnya menjadi paduan lek- berperan secara sintaksis disebut morfologi

sem. Contoh: leksem daya dan juang infleksional. Sebagai contoh perubahan write

menjadi daya juang. menjadi writer merupakan proses morfologi leksikal karena mendapat sufiks –er sebagai

Demikianlah gambaran singkat pendapat morfem derivatif, dan perubahan writer leksem dari Harimurti Kridalaksana yang me- menjadi writers merupakan proses morfologi nerapkan konsep leksem dengan segala keter- infleksi karena mendapat sufiks –s yang disebut batasannya di dalam proses morfologis bahasa morfem inflektif. Dengan demikian derivasi Indonesia. Konsep leksem dipahami memiliki terjadi sebelum kata, sedangkan infleksi terjadi bentuk tunggal (tidak dibedakan dengan bentuk sesudah pembentukan kata selesai dan me- kompleks); di samping itu pembentukan nutup konstruksi derivasi. Dalam bahasa Indo- derivasi zero memiliki kelemaham yang cukup nesia perbedaan di antara derivasi dan infleksi fatal, karena baru dipandang dari konsep ben- tidak sejelas itu (Harimurti, 1988: 54).

tuk tidak dalam konsep fungsi mengubah Gambaran selengkapnya pendapat identitas kelas (identitas leksikalnya). Kirdalaksana (1988: 56-58) mengenai proses

morfologis yang melibatkan leksem sebagai 3.2 Konsep Leksem Menurut Edi

bahan dasar inputnya mencakup 6 proses

Subroto

sebagai berikut: Pendapat Subroto tentang leksem dimuat (1) Derivasi zero: leksem menjadi kata tanpa dalam beberapa tulisan antara lain: (a) Infleksi perubahan apa-apa. Contoh leksem lupa dan Derivasi Verba Bentuk Me(N)-D, menjadi lupa.

Me(N)-D-I, dan Me(N)-D-kan dalam Ba- (2) Afiksasi: leksem berubah menjadi kata hasa Indonesia, (b) Konsep Leksem dan kompleks. Contoh leksem lupa menjadi Upaya Pengorganisasian Lema dan Sub- melupakan .

lema dalam Kamus Besar Bahasa Indone- (3) Reduplikasi: leksem berubah menjadi sia (1996). kata kompleks dengan beberapa macam

Dengan ancangan yang mengakui ke- proses pengulangan. Contoh leksem ru- sentralan kata (karena morfem bukan satuan mah menjadi rumah-rumah.

lingual yang otonom melainkan hanya suatu (4) Pemendekan: leksem atau gabungan momen (a dependent feature) yang identitas- leksem menjadi kata kompleks atau nya baru diketahui dalam hubungannya dengan akronim atau singkatan dengan pelbagai kata secara keseluruhan), Subroto (1996) ba- proses pemendekan. Contoh leksem ibu nyak mengkaji bahasa Indonesia dan bahasa menjadi bu; leksem peluru dan leksem Jawa (termasuk disertasinya tentang Trans- kendali menjadi rudal.

posisi dari Adjektiva menjadi Verba dan Seba- (5) Derivasi balik: inputnya leksem tunggal liknya dalam Bahasa Jawa). Kata dan prosede dan outputnya berupa kata yang secara morfologis (kaidah atau pola pembentukan kata historis muncul kemudian dari asalnya itu. secara sinkronis) merupakan dua konsep Kejadiannya mirip afiksasi. Contoh utama dalam ancangan seperti itu. Dengan leksem mungkir menjadi pungkir dalam ancangan ini, kata dipakai sebagai dasar bentuk dipungkiri karena derivasi balik bersama dengan kata-kata lain yang tersusun

Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 18, No. 35, 2006: 136-152

di dalam suatu paradigma tertentu dan oleh infleksional dapat diramalkan sedangkan karenanya perbedaan kategori kata dapat di- pembentukan derivasional tidak dapat di- gambarkan secara lebih jelas.

ramalkan.

Perbedaan kategori itu terkait dengan Atas dasar itu, Subroto (1985: 6) menya- pembentukan kata secara derivasional dan in- takan bahwa dalam setiap proses morfologis, fleksional, sebagaimana dinyatakan Subroto sebuah afiks akan termasuk afiks infleksional (1985: 2) dengan mengutip pendapat Nida kalau di dalam suatu paradigma dapat dira- sebagai berikut: (1) pembentukan derivasional malkan untuk menggantikan afiks infleksional termasuk jenis kata yang sama dengan kata lainnya. Dengan demikian juga terdapat tunggal (dari suatu sistem jenis kata), (2) afiks keteraturan gramatika di dalam paradigma in- derivasional jumlahnya lebih beragam bila fleksional. Ciri-ciri demikian tidak terdapat di dibandingkan dengan afiks infleksional, (3) dalam paradigma yang derivasional. Contoh afiks derivasional dapat mengubah kelas kata, berikut ini memperlihatkan dan mencerminkan sedangkan afiks infleksional tidak bisa, (4) afiks konsep leksem yang berbeda dengan konsep derivasional mempunyai distribusi yang ter- Kridalaksana (1988). batas, sedangkan afiks infleksional mempunyai

Di sini, leksem ANGKAT (1) yang ter- distribusi yang luas, dan (5) pembentukan masuk v transitif dibedakan dengan leksem derivasional dapat dijadikan dasar bagi pem- ANGKAT (2) yang termasuk v instransitif. Dari bentukan berikutnya, sedangkan pembentukan leksem ANGKAT (1) secara otomatis akan infleksional tidak bisa. Begitu pula dengan menghasilkan paradigma infleksional seperti pernyataan Matthews (1974: 38) yang men- mengangkat, diangkat, kuangkat, kauang- jelaskan bahwa infleksi adalah pembentukan kat , dst. Begitu pula dengan yang terjadi pada kata yang berbeda dari paradigma yang sama, kolom B dan C. Dari leksem ANGKAT (1) sedangkan derivai adalah bentuk kata yang diderivasikan menjadi leksem ANGKATI berbeda dari paradigma yang juga berbeda. (KOLOM B) dan leksem ANGKATKAN Hal ini juga didukung oleh pernyataan Bauer (kolom C). Kata pengangkat, pengang- (1988) yang menyatakan bahwa pembentukan katan , dan angkatan yang merupakan nomina

BA C ANGKATI ANGKAT (1) ANGKATKAN mengangkati mengangkat

mengangkatkan diangkati diangkat

diangkatkan dst dst

Dst pengangkat pengangkatan angkatan ANGKAT (2)

BERANGKAT BERANGKATKAN berangkat memberangkatkan

diberangkatkan kuberangkatkan kauberangkatkan

keberangkatan pemberangkatan

Kajian Morfologi Derivasional dan Inpleksional dalam Bahasa Indonesia (Dwi Purnanto)

deverba merupakan leksem baru. Adapun lek- fleksional lainnya. Dengan demikian, juga ter- sem ANGKAT (2) yang termasuk v intransitif dapat keteraturan makna gramatikal di dalam dibentuk menjadi v berangkat. Leksem paradigma infleksional. Ciri ciri yang demikian BERANGKAT diderivasikan menjadi leksem tidak terdapat pada paradigma yang deriva- BERANGKATKAN yang seterusnya dapat sional. Contohnya, paradigma dari dasar membuat paradigma infleksional membe- “AMBIL” rangkatkan , diberangkatkan, dst.

Paradigma (morfologis) I termasuk pa-

Berdasarkan gambaran itu dapat di- radigma verba yang dibentuk dari dasar ambil, simpulkan bahwa leksem menurut Subroto sedangkan paradigma II adalah paradigma adalah “satuan lingual hasil abstraksi dari deverbal. sebuah paradigma, atau, satuan abstrak dan

Paradigma verba terbagi atas tiga kolom, satuan terkecil dari sebuah paradigma (1996: yaitu: kolom AMBIL, kolom AMBILI, dan 271). Hal ini tampaknya memperkuat pendapat kolom AMBILKAN. Masing-masing kolom Matthews (1974) yang menyatakan bahwa merupakan paradigma infleksional dan masing leksem adalah satuan abstrak yang merupakan masing mempunyai bentuk kata baris 1-6 unit dasar dari leksikon suatu bahasa.

(kecuali kolom AMBILKAN 6 dan kolom – AMBILI (6 yang dipertanyakan). Untuk

3.3 Pembentukan Kata dengan Leksem memudahkan pembicaraan paradigma verba

DUDUK dan Leksem AMBIL

kolom AMBIL disebut B, kolom AMBILI

Untuk mendeskripsikan kedua leksem disebut A, dan kolom AMBILKAN disebut tersebut, pertama-tama harus diidentifikasi C. bahwa keduanya termasuk verba, namun ber-

Pada masing-masing kolom (A,B, dan C) beda kelasnya: DUDUK termasuk intransitif dapat dikatakan bahwa bentuk dengan me(N)- (Verba kelas II), sedangkan AMBIL termasuk (sebagai bentuk pertama, baris pertama) dapat transistif (verba kelas I). Untuk pendes- digantikan dengan di, ku, kau, dia. Oleh kripsiannya pertama-tama dijelaskan terlebih karena itu, masing-masing kolom merupakan dahulu verba kelas I.

paradigma infleksional. Kolom B dari leksem

Menurut Subroto (1985: 6), setiap pro- AMBIL, kolom A dari leksem AMBILI, ses morfologis, sebuah afiks akan termasuk kolom C dari leksem AMBILKAN. Pem- infleksional kalau di dalam suatu paradigma bentukan kata dari masing-masing bentuk pada dapat diramalkan untuk menggantikan afiks in- setiap kolom dapat diramalkan berdasarkan

A B C –AMBILI

–AMBIL

AMBILKAN

I mengambili

III pengambil 7

pengambilan

ambilan

Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 18, No. 35, 2006: 136-152

kaidah gramatis tertentu. Bentuk baris 1 ter- dan berperan sebagai Agen (Ag), sedangkan dapat apabila kalimat berfokus agentif yang buah apel berfungsi sebagai Objek (O) dan ditandai oleh prefiks me(N)-, sedangkan baris berperan Pasientif (Ps). 2-6 berfokus pasientif. Perbedaan antara baris

Prosede dengan me(N)- termasuk pro- 2-6 menyatakan ‘keaksidentalan’ (ketidak- duktif karena sebagian pembentukan kata sengajaan); baris 2-5 menyatakan ‘kesenga- dengan dasar verba transitif (DV tr) yang lain jaan’. Baris 6 berbeda dengan baris 3 5 karena (satu kelas) dapat dibentuk dengan me(N)-D menyatakan agen (pelaku) tampak dalam yang transitif.Untuk itu, V tr ambil dapat di- bentuk’, sedangkan baris 2 menyatakan agen bentuk lebih lanjut dengan sufiks –i menjadi (pelaku) ‘tidak tampak dalam bentuk’; baris mengambili dan sufiks –kan menjadi me-

3 agen adalah pronomina orang pertama (O1), ngambilkan. baris 4 adalah pronima orang kedua (O2), dan

Apabila ditinjau adanya proporsionalitas baris 5 adalah pronomina orang ketiga (O3). antar ketiga verba tersebut, terdapat proporsi- Selanjutnya perlu dibedakan antara lek- onalitas yang kontinyu, yaitu antara verba sem AMBIL, AMBILI, dan AMBILKAN. bentuk me(N)-D dengan bentuk me(N)-D-i Leksem AMBILI bermakna ‘pluralitas per- dan verba bentuk me(N)-D-kan. Oleh karena buatan’, AMBILKAN (dalam oposisinya itu, terdapat oposisi secara langsung antara dengan AMBIL) mengandung ciri ‘kebene- Verba bentuk me(N)-D X me(N)-D-i dan faktifan’. Leksem –AMBIL termasuk leksem antara Verba bentuk me(N)-D X me(N)-D- tunggal, sedangkan leksem –AMBILI dan – kan , yaitu antara mengambil X mengambili AMBILKAN termasuk leksem kompleks. dan mengambil X mengambilkan. Akan te- Dengan demikian, kata mengambil, mengam- tapi, pembentukannya tidak serta merta bili, dan mengambilkan secara leksikal dibentuk dengan konfiks me(N)-i dan me(N)- adalah tiga kata yang berbeda identitas leksi- kan , tetapi melalui tahapan prefiks me(N)- kalnya (pembentukan kata secara derivasional) dahulu baru kemudian dilekati sufiks –i atau - walaupun termasuk dalam verba karena me- kan (karena terjadi secara bertahap maka tidak miliki ciri semantik yang berbeda.

disebut sebagai konfiks). Kata pengambil, pengambilan, dan

Untuk lebih jelasnya dapat dicontohkan ambilan pada paradigma (II) dapat dikate- kalimat Ita mengambili uang receh dan Ita gorikan sebagai nomina deverbal yang meng- mengambilkan uang receh (untuk) adiknya alami pembentukan kata secara derivasional. atau Ita mengambilkan adiknya uang receh. Maksudnya, berdasarkan pertimbangan se- Kata mengambili termasuk verba aksi-proses mantik leksikal, ketiga kata itu diderivasikan yang mengandung makna ‘frekuentatif (berkali- dari verba mengambil (pengambil’orang kali)’ yang ditandai oleh sufiks –i. Oleh karena yang mengambil’, pengambilan ‘hal meng- itu, Ita berfungsi sebagai S dan berperan sebagai ambil’, ambilan ‘hasil mengambil’). Berdasar- Ag, dan uang receh berfungsi sebagai O dan kan perbedaan referennya, ketiga kata itu berperan Ps. Kalimat tersebut juga bisa dipasif- berbeda secara leksikal sekalipun sama-sama kan dengan Uang receh diambili Ita. Verba termasuk nomina, karena memiliki ciri semantik bentuk mengambilkan termasuk verba aksi – yang berbeda.

proses yang mengandung makna benefaktif, Bila ditinjau dari kelas katanya verba sehingga kata adiknya pada Ita mengambilkan ambil termasuk verba transitif yang mengan- adiknya uang receh berfungsi sebagai O dan dung makna perbuatan dan proses (verba berperan sebagai penerima (benefaktif). aksi-proses), misalnya Adik mengam-bil

Verba bentuk me(N)-D-I tidak bisa buah apel . Adik berfungsi sebagai Subjek (S) dioposisikan secara langsung dengan verba

Kajian Morfologi Derivasional dan Inpleksional dalam Bahasa Indonesia (Dwi Purnanto)

AB C DUDUKI DUDUK DUDUKKAN

menduduki

mendudukkan 1 I diduduki

6 II pendudukan

bentuk me(N)-D-kan. Oposisinya hanya bisa fleksional. Kolom A dari leksem DUDUKI, dan dijelaskan melalui verba ventuk me(N)-D. kolom C dari leksem DUDUKKAN. Pemben- Sehingga dapat ditemukan oposisi me(N)-D-i tukan kata dari masing-masing bentuk pada

X me(N)-D X me(N)-D-kan, yaitu meng- setiap kolom dapat diramalkan berdasarkan ambili X mengambil X mengambilkan.

kaidah gramatis tertentu. Bentuk baris 1 terdapat Untuk mendeskripsikan verba kelas II apabila kalimat berfokus agentif yang ditandai (intransitif) dapat dijelaskan dengan pem- oleh prefiks me(N)- , sedangkan baris 2-6 bentukan kata dari leksem DUDUK berikut ini. berfokus pasientif. Perbedaan antara baris 2-

6 menyatakan ‘keaksidentalan’ (hal tidak masuk verba yang dibentuk dari leksem – disengaja); baris 2-5 menyatakan ‘kese- DUDUK, sedangkan paradigma II merupakan ngajaan’. Baris 6 berbeda dengan baris 3-5 pembentukan kata secara derivasional dari karena menyatakan agen (pelaku) ‘tampak dasar verba yang menghasilkan bentuk nomina dalam bentuk’, sedangkan baris 2 menyatakan deverba.

Paradigma pembentukan kata pada I ter-

agen (pelaku) ‘tidak tampak dalam bentuk’; Paradigma verba terbagi atas tiga kolom, baris 3 agen adalah pronomina orang pertama yaitu: kolom DUDUK, kolom DUDUKI, dan (O1), baris 4 adalah pronima orang kedua (O2), kolom DUDUKAN. Kolom B tidak ada pem- dan baris 5 adalah pronomina orang ketiga (O3). bentukan kata dengan leksem DUDUK karena

Tahap selanjutnya perlu dibedakan antara termasuk verba intransitif. Sedangkan kolom leksem DUDUK, DUDUKI, dan DUDUK-

A dan kolom C merupakan paradigma inflek- KAN. Leksem DUDUKI bermakna ‘pluralitas sional dan masing masing mempunyai bentuk perbuatan’, DUDUKKAN (dalam oposisinya kata baris 1-6 (kecuali kolom DUDUKKAN dengan DUDUK) mengandung ciri ‘kebe-

6 dan kolom –DUDUKI ( 6 yang masih di- nefaktifan’. Leksem –DUDUK termasuk pertanyakan). Untuk memudahkan pembica- leksem tunggal, sedangkan leksem –DUDUKI raan paradigma verba kolom DUDUK disebut dan –DUDUKKAN termasuk leksem komp-

B, kolom DUDUKI disebut A, dan kolom leks. Dengan demikian, kata menduduki dan DUDUKKAN disebut C.

mengdudukkan secara leksikal adalah kata Pada kolom A dan C dapat dikatakan yang berbeda identitas leksikalnya (pemben- bahwa bentuk dengan me(N) (sebagai bentuk tukan kata secara derivasional) walaupun ter- pertama, baris pertama) dapat digantikan de- masuk dalam kelas verba karena memiliki ciri ngan di , ku , kau , dia . Oleh karena itu, kedua semantis yang berbeda. kolom tersebut merupakan paradigma in-

Kata penduduk dan pendudukan pada

Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 18, No. 35, 2006: 136-152

paradigma (II) dapat dikategorikan sebagai D-I dan me(N)-D-kan. Sebagai konsekuensi- pembentukan secara derivasional yang ber- nya, bentuk me-i dan me-kan dapat dike- identitas nomina deverbal. Maksudnya, berda- lompokkan/diistilahkan konfiks. sarkan pertimbangan semantik leksikal, kedua kata itu diderivasikan dari verba menduduki

4. Simpulan

(penduduk ‘orang yang meduduki satu wilayah Kajian terhadap leksem dan kata ber- tertentu)’, pendudukan ‘hal menduduki/menja- beda. Dengan mengacu pendapat Mattews, jah wilayah tertentu’. Berdasarkan perbedaan kata bisa dibedakan secara fonologis, kata se- referennya, ketiga kata itu berbeda secara bagai leksem, dan kata gramatikal. Di samping leksikal sekalipun sama-sama termasuk nomina. itu, penentuan ancangan (pendekatan) yang

Kalau dikaitkan dengan terdapat tidaknya dipakai untuk tata kerja di dalam mengkaji se- proporsionalitas yang kontinyu (saling keter- buah kata dan proses pembentukannya (proses kaitan antara kata-kata yang termasuk kategori morfologisnya) memerlukan perhatian yang yang berbeda, tetapi dari dasar yang sama) di seksama. Untuk memahami bagaimana kata dalam pembentukan kata itu tidak menunjukkan dapat dikaji dalam bahasa, analisis kata dengan keterkaitan antara ketiganya. Hal itu dapat pendekatan Item and Arrangement (IA), diperikan seperti berikut.

analisis kata dengan Item and Process (IP), Verba duduk termasuk verba intransitif. dan Word and Paradigm (WP) bisa diterap- Secara leksikal akan dikelompokkan ke dalam kan. Deskripsi yangdibuat dari ketiga model kata tunggal yang menghendaki adanya itu dapat dikaitkan dengan satu model yang komplemen, misalnya duduk di kursi. Oleh disarankan. Pada umumnya tampak bahwa sebab itu, verba duduk tidak dapat dibentuk bahasa-bahasa isolasi lebih tepat dengan model dengan prosede me(N)-D menjadi –*mendu- IA; beberapa segi bahasa fusi dan aglutinasi duk termasuk infleksinya *diduduk, *kudu- jauh lebih mudah diterapkan pada tata bahasa duk, *kaududuk, *diaduduk (terduduk un- dengan model IP; dan beberapa segi dari tuk bentukan kata jatuh terduduk ‘jatuh da- bahasa fusi memerlukan bantuan dari tata lam posisi duduk’).

bahasa model WP agar lebih efektif. Dari dasar intransitif verba duduk (yang

Model tata kerja IP, IA, dan WP yang secara leksikal dapat diikuti preposisi di-) jika dibahas dalam linguistik sebenarnya paling ingin dibentuk menjadi verba transitif harus relevan bila dikaitkan dengan pembahasan ditambah dengan sufiks –kan atau sufiks –i, tentang morfologi (pembentukan kata). Di sehingga diperoleh kata menduduki (bermakna antara ketiganya model WP adalah model ‘lokatif’ misalnya Jepang menduduki Indo- morfologis tertua yang digunakan sebagai ke- nesia selama tiga setengah tahun ) dan men- rangka kerja. Ini dapat ditemukan dalam gra- dudukkan (bermakna kausatif, misalnya Fa- matika bahasa-bahasa klasik, seperti bahasa rida mendudukan anaknya di kursi roda ). Yunani, Latin, Sanskerta, dan Arab. Namun Selain itu, apabila ditinjau dari klasifikasi verba dalam perdebatan tentang model mana yang menurut Chafe (1971), verba menduduki dan cocok untuk digunakan sebagai model peng- mendudukkan termasuk verba aksi - proses. kajian dalam morfologi, istilah itu baru muncul

Dokumen yang terkait

PERANCANGAN ALAT BANTU PADA PROSES PENGERINGAN TEH HITAM ORTHODOKS MENGGUNAKAN PERANCANGAN PRODUK RASIONAL DAN SCADA DI PTPN VIII RANCABALI DESIGN OF SUPPORTING EQUIPMENT IN ORTHODOKS BLACK TEA DRYING PROCESS USING RATIONAL PRODUCT DESIGN AND SCADA AT PTP

0 6 9

PERANCANGAN USULAN PREVENTIVE MAINTENANCE PADA MESIN KOMORI LS440 DENGAN MENGGUNAKAN METODE RELIABILITY CENTERED MAINTENANCE (RCM II) DAN RISK BASED MAINTENANCE (RBM) DI PT ABC

1 4 9

PERENCANAAN SISTEM INFORMASI BERBASIS WEB UNTUK SISTEM PERSEDIAAN DAN SISTEM PEMESANAN PRODUK JADI KONVEKSI SERAGAM PADA PD.DEVI KHUSUS

1 20 7

PERANCANGAN KEBIJAKAN MAINTENANCE PADA MESIN KOMORI LS440 DENGAN MENGGUNAKAN METODE LIFE CYCLE COST (LCC) DAN OVERALL EQUIPMENT EFFECTIVENESS (OEE) (Studi Kasus : PT ABC)

0 1 6

PERBEDAAN PENGETAHUAN GIZI PRAKONSEPSI DAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI PROTEIN PADA WANITA USIA SUBUR (WUS) USIA 15-19 TAHUN KURANG ENERGI KRONIS (KEK) DAN TIDAK KEK DI SMA NEGERI 1 PASAWAHAN Igna Nur’Arofah Umisah¹, Dyah Intan Puspitasari

0 0 14

PEMBELAJARAN SASTRA APRESIATIF DENGAN REKREASI-RESPONSI-REDESKRIPSI DALAM PERSPEKTIF KBK

0 0 22

BAHASA ETNIK MADURA DI LINGKUNGAN SOSIAL: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK DI KOTA SURAKARTA Kundharu Saddhono PBSID- FKIP-UNS Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta 57126 e-mail: kundharuuns.ac.id ABSTRACT - BAHASA ETNIK MADURA DI LINGKUNGAN SOSIAL: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK

0 1 15

PERANAN PROTOTIPE DALAM PENDEFINISIAN KONSEP ABSTRAK “ MARAH” DAN “BENCI” Didi Sukyadi Balai Bahasa UPI Jln. Dr. Setyabudi 229 Bandung 40154 Sukyadihotmail.com atau Sukyadiupi.edu ABSTRACT - PERANAN PROTOTIPE DALAM PENDEFINISIAN KONSEP ABSTRAK “ MARAH” DA

0 1 8

PEMAKAIAN KATA REFORMASI DALAM MEDIA MASSA JAWA POS

0 0 11

MENYAKSIKAN KEKERASAN POLITIK DALAM NOVEL ‘AZRA JAKARTA Taufiq Ahmad Dardiri Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ABSTRACT - MENYAKSIKAN KEKERASAN POLITIK DALAM NOVEL ‘AZRA JAKART

0 1 11