DEMOKRASI KITA MASIH IRRASIONAL

DEMOKRASI KITA MASIH IRRASIONAL.

Dalam masa kampanye Pilpres beberapa waktu lalu masyarakat betul-betul dijadikan obyek
pembodohan. Karena hampir semua capres menyulap kata-kata yang mempesona, sehingga tidak
rasional dan kehilangan daya kritisnya.
Lalu bagaimana sesungguhnya kondisi dan peta daya kritis masyarakat sekarang ini, bisakah
daya kritis masyarakat itu dipertahankan dan dikembangkan, siapa sebenarnya aktor potensial
yang efektif untuk memperkuat daya kritis tersebut? Berikut kita ikuti wawancara Ton Martono
dari SM dengan DR. Heru Nugroho, Sosiolog Staf Pengajar Fisipol UGM
Benarkah pendidikan politik bagi rakyat Indonesia sekarang ini belum berhasil?
Sebenarnya pendidikan politik bagi rakyat ini bisa disampaikan secara langsung maupun tidak
langsung, tetapi yang jelas bahwa pentas politik sehari-hari di media itu merupakan sarana
sosialisasi bagi warga negara. Saya melihat bahwa belum sepenuhnya berhasil karena masih
banyak berbagai kendala terutama dalam hal pendidikan politik menuju demokrassi masih
banyak kendalanya, masih ada kemiskinan, keterbelakangan, sehingga mengakibatkan politik
uang jadi menjamur sehingga mengakibatkan aspirasi masyarakat itu terdistorsi oleh kekuatankeuatan ekonomi yang sangat mempengaruhi kehidupan politik.
Bisakah Pemilihan Umum kemarin dijadikan indikator?
Pemilu kemarin merupakan tradisi, kalaupun itu dijadikan indikator atau transisi, terutama dalam
Pemilu Presiden putaran pertama kemarin, karena bangsa kita ini belum memiliki pengalaman
Pemilihan Presiden langsung, kemarin baru pertama kali dalam sejarah bangsa. Karena dulu
Presiden itu dipilih oleh MPR dan sebagai mandataris MPR. Jadi sekarang ini merupakan

pengalaman baru dan merupakan langkah positif bagi bangsa untuk menuju demokrasi.
Benarkah pilihan politik rakyat itu sesungguhnya berbanding lurus dengan aspirasi mereka?
Sebetulnya tidak. Karena distorsi mewarnai Pemilu 2004, kalau kita mau menciptakan
masyarakat yang demokratis perlu adanya proteksi-proteksi terhadap kemiskinan. Jadi kalau
kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat masih merajalela itu akan sangat mempengaruhi
proses demokrasi itu sendiri. Kalau kemiskinan itu belum diatasi memalui kebijakan, maka
money politic dan mobilitas kelompok yang menyebar uang itu sangat mengganggu jalannya
prosses demokrasi itu sendiri.
Mengapa politik uang itu justru diterima dengan senang hati oleh sebagian rakyat kita?
Karena rakyat kita sebagian besar masih miskin, dan dia juga melihat secara jeli bagaimana elit
politik itu bermain. Jadi politik uang yang diterima oleh masyarakat itu sebetulnya sebagai
gambaran dimana masyarakat melihat perilaku para elit-elitnya, karena para elit itu bermain uang
maka masyarakat juga akan bermain uang. Walaupun demikian bisa jadi pilihan mereka berbeda
dengan ssi pemberi uang, nah itu merupakan bahasa rakyat yang perlu dipahami oleh para elit
politik. Bissa jadi seolah-olah ketika kampanye mereka mendukung yang memberi uang, tapi
pada saat pencoblossan mereka bissa berbalik arah dan kemudian kalah, nah disinalah

sebenarnya ada sesuatu dimana para elit tidak memahami bahasa rakyat bawah dalam berpolitik.
Jadi jangan menganggap dengan uang bisa beres, belum tentu. Karena itu merupakan bentuk
perlawanan mereka terhadap para pejabat yang korup.

Benarkah pragmatisme politik benar-benar mewarnai kehidupan politik nasional kita mulai dari
elit hingga rakyat bawah?
Pragmatisme politik itu terjadi karena mungkin digerakkan oleh kepentingan-kepentingan sesaat
untuk memenangkan dengan cara apapun termasuk dengan uang, saya kira tidak semua orang
setuju dengan politik uang, hanya orang-orang tertentu saja yang hasrat politik dan hasrat
kekuasaannya itu sangat dan karena memiliki uang banyak mereka menggunakan uang itu untuk
memobilisassi dan mempengaruhi opini masyarakat, sehingga rakyat terkesima dan memilih
calon yang memberikan uang. Saya kira hal ini rakyat tetap tahu bahwa politik uang itu sangat
buruk, sekalipun itu bukan cara-cara yang populer.
Lalu apa makna pragmatisme politik yang merajalela bagi kehidupan demokrasi?
Kita sekarang ini belum demokrasi, kita baru akan menuju demokrasi dan baru menuju proses.
Kalau demokrasi sendiri kan hal-hal yang jelek tereduksi, politik uang tidak ada lagi dan orang
dengan bebas menuangkan aspirasinya tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Para elit politik
bermain lebih santun dari yang ada sekarangini. Jadi kita ini masih dalam transisi menuju
demokrasi, demokrasi ini sebenarnya nilai dan tradisi barat yang kemudian di tranfer ke
Indonesia, dan proses penerapannya itu kan tidak mudah karena kita belum berpengalaman,
sebab sejarah kita bukan sejarah demokrasi, ini yang kemudian merupakan distorsi menuju
demokrasi.
Lalu dimana letak daya kritis masyarakat kita?
Sebagian masyarakat kritis dan sebagian lagi tidak kritis. Sebagian masyarakat idealis dan

sebagian lagi pragmatis, bahkan ada yang cenderung taktis artinya mereka diberi uang oleh salah
satu kontestan tetapi tidak memilih. Jadi kalau kita melihat secara umum daya kritis masyarakat
ini apa sudah betul terjadi, ternyata masih terdistorsi dan banyak warna yang mempengaruhi
mereka. Kalau kita melihat pentas kampanye politik yang dilakuakn oleh Capres di TV,
sebenarnya Capres yang tampilnya meyakinkan dan rasional, cerdas, akademisi dan paling
mumpuni adalah Amien Rais, namun pada kenyataanya Amien Rais suaranya kurang signifikan,
berarti yang menentukan adalah massyarakat, ada apa dengan masyarakat kok tidak kritis,
ternyata masyarakat kita sekarang ini sedang sakit sehingga tidak kritis. Sementara SSBY dan
Megawati bisa masuk hitungan final, karena mereka terbantu oleh tampilan iklan-iklan di TV
yang bisa merayu dan membujuk serta membius masyarakat pemirsa, jadi media ternyata sangat
ampuh dalam mempengaruhi opini masyarakat.
Lalu dimana peran LSM selama ini dalam mendongkrak daya kritis masyarakat, terutama dalam
menghadapi masalah politik yang bersifat publik?
LSM itu macam-macam, dan mereka memiliki peta sendiri-sendiri. Ada LSM yang betul-betul
pejuang memberdayakan masyarakat, melakukan advokasi di bidang penegakan hukum, HAM,

dan demokrasi, tetapi juga ada LSM yang menggarap proyek fiktif. Jadi kedua ciri LSM itu
batasnya sangat tipis, namun yang perlu kita acungi jempol adalah LSM yang benar-benar
memiliki komitmen untuk berjuang, ada atau tidak ada dana mereka tetap eksis berbuat banyak
untuk masyarakat, adanya daya kritis untuk protes pada kebijakan pemerintah lokal di kabupaten

dan demo-demo masyarakat bawah yang menentang kebijakan yang menyimpang dan lain-lain
adalah salah satu hasil karya mereka. Tetapi memang ada LSM yang bergerak karena
berdasarkan kucuran dana, bila dananya habis maka kegiatan akan berhenti dan seterusnya.
Melihat kenyataan diatas apa kira-kira yang akan terjadi dalam pemilihan presiden putaran
kedua, apakah sama seperti yang pertama atau ada perubahan yang signifikan?
Dalam putaran kedua nanti masing-masing kubu akan menggunakan pengaruhnya secara
langsung. Kubu yang paling tahu perilaku politik masyarakat kita adalah kubu yang akan
menang. Budaya politik kita seperti apa, harus diketahui lebih dulu, karena kita demokrasi,
belum rasional, sebagian masyarakat kita justru irasional. Cara yang paling ampuh adalah dengan
menggunakan media TV untuk bermain simulasi, yang bersifat merayu, membujuk dan
membius. Kemudian yang kedua dengan melakukan mobilisasi politik uang dalam masyarakat,
kalau keduanya terpenuhi suara capres putaran kedua nanti bisa signifikan.
Mengapa suara mahasiswa sepertinya kurang diperhitungkan dan terkesan tumpul, meskipun
mereka berdemonstrasi tiap hari?
Mahasiswa sebenarnya sudah bagus dalam memperjuangkan aspirasi, saya kira komitmen
mahasiswa tetap pada koridor demokrasi, karena mahasiswa ini sebagai kekuatan kontrol,
kekuatan moral pada proses reformasi. Jadi mahasiswa menjadi salah satu kantong politik
tersendiri, karena dia tidak mengakar pada masyarakat, mestinya para mahasiswa itu belajar dari
LSM yang komit dan mengakar pada masyarakat. Saya kira kedepan gerakan mahasiswa ideidenya harus disosialisasikan pada masyarakat, saya kira perlu dibentuk forum atau mediasi yang
mengkikat antara mahasiswa dan masyarakat di desa-desa agar ide-ide perjuangan mahasiswa

bisa segera tersosialisasikan.
Kalau begitu para mahasiswa perlu mengubah strategi perjuangan mereka?
Saya kira perlu ada perubahan strategi perjuangan, namun demonstrasi tetap berjalan terus,
karena demo itu merupakan bentuk perjuangan untuk mengontrol ketimpangan serta bentuk
penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah. Perubahan strategi itu berupa melakukan
kolaborasi dan melibatkan masyarakat dalam melakukan unjuk rasa. Mereka bisa bergabung
untuk melakukan tekanan-tekanan pada kebijakan pemerintah yang kurang sesuai dengan bentuk
demonstrasi bersama. Disamping itu mahasiswa harus mengajarkan pendidikan politik bagi
masyarakat agar bisa berfikir secara rasional. Sebab yang terjadi selama ini adalah irasionalisasi
politik.Ton
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 15 2004