RITA INDERAWATI Menggagas Forum Literature for All yang Mensinergikan Sastra dan Bahasa dalam Membentuk Karakter Mahasiswa

Menggagas Forum Literature for All yang Mensinergikan Sastra dan Bahasa
dalam Membentuk Karakter Mahasiswa
Rita Inderawati Rudy
JPBS FKIP Universitas Sriwijaya Palembang
Surel: ritarudisaid@yahoo.com
ABSTRAK
Perbincangan mengenai pendidikan dan pengembangan karakter tampaknya tidak akan pernah
berakhir. Seluruh elemen bangsa disodorkan pada masalah serupa yang hingga kini belum
menemukan solusi yang tepat untuk membangun dan mengembangkan karakter bangsa ini.
Semua disiplin ilmu merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu yang berdampak positif bagi
pengembangan karakter. Seruan kemdiknas tentang pendidikan karakter melalui pidato-pidato
kenegaraan beberapa tahun terakhir ini seperti menyadarkan kita semua dari mimpi buruk yang
panjang. Dan kita semua telah mengetahui gagasan Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan
sebagai sebuah usaha memajukan peserta didik dalam hal intelektual, budi pekerti dan tindakan
yang selama ini hanya menjadi slogan dan logo pendidikan. Kini para pakar sastra menggugat
peranan pendidikan yang mengabaikan sastra dalam membentuk karakter peserta didik. Teoritoeri pendidikan dan sastra sudah banyak dikemukakan oleh para pakar namun hanya sebatas
tataran teoritis. Aplikasi yang simultan terhadap teori-teori tersebut seharusnya sudah dalam
tataran praktis. Karya sastra sendiri masih menjadi media eksklusif bagi mahasiswa pendidikan
bahasa. Sebagai perbandingan, karya sastra menjadi mata pelajaran wajib di mancanegara.
Makalah ini membahas: (1) hasil penelitian mengenai persepsi mahasiswa Universitas Sriwijaya
terhadap pentingnya pembelajaran sastra di perguruan tinggi yang didukung oleh pendapat

mahasiswa di tiga fakultas bahasa dan sastra universitas yang berbeda di Indonesia setelah
responden membaca, mengapresiasi karya sastra dengan menggunakan instrumen apresiasi sastra
yang valid, dan merespons angket dan (2) gagasan forum Literature for All dalam membentuk
karakter mahasiswa sebagai wadah bagi mahasiswa untuk membincangkan, menuliskan, dan
melakukan tindakan setelah mereka memotret pikiran, perasaan, dan tindakan tokoh cerita yang
berkarakter baik dalam cerita yang mereka baca.
Kata kunci: forum Literature for All, sinergi bahasa dan sastra, pembentukan karakter, karya
sastra

Pendahuluan
Gagasan konsep Literature for All dalam mengapresiasi karya sastra secara spontan
penting dikemukakan setelah mendapatkan informasi baik secara lisan maupun tulisan bahwa
masyarakat di mancanegara apapun kedudukannya dalam kehidupan bermasyarakat masih tetap
membaca karya sastra untuk menumbuhkan sikap dan kepribadian yang berkarakter karena
1

membaca karya sastra telah mereka peroleh sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Megawangi (2004) menyebutkan 9 pilar karakter yang mengandung nilai-nilai luhur universal
yaitu: 1) cinta tuhan dan alam semesta beserta isinya, 2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan
kemandirian, 3) kejujuran, 4) hormat dan sopan santun, 5) kasih sayang, kepedulian, dan

kerjasama, 6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, 7) keadilan dan
kepemimpinan, 8) baik dan rendah hati, dan 9) toleransi, cinta damai, dan persatuan. Nilai-nilai
ini harus dikembangkan dalam diri peserta didik melalui apresiasi karya sastra. Mereka akan
memotret tokoh cerita dan penokohannya untuk mengeksplorasi kemungkinan ditemukannya ke
sembilan pilar karakter bangsa yang tersembunyi di balik tindakan dan perilaku tokoh cerita.
Berkenaan dengan pembentukan karakter tersebut, psikiater James Masterson dalam
Amstrong (2002: 118) menyebut sejumlah komponen yang harus dimiliki diri sejati, yaitu: 1)
kemampuan mengalami perasaan secara mendalam, 2) kemampuan bersikap tegas, 3) pengakuan
terhadap harga diri, 4) kemampuan meredakan rasa sakit pada diri sendiri, 5) ulet, 6) kemampuan
berkreasi dan berhubungan, dan 7) kemampuan untuk menyendiri. Sementara itu, Schwartz
(2007) menguraikan dengan ilustrasi-ilustrasi menarik segala yang berkaitan dengan
pembentukan karakter yang mengandung nilai-nilai dengan memadukan ranah kognitif, antara
lain berpikir positif, berpikir kreatif, mengembangkan inisiatif, bertindak untuk mendapat
kepercayaan, menghindari keputusasaan, dan belajar memimpin. Di samping itu, Lewis (2004)
merinci 10 jenis karakter yaitu: peduli, sadar berkomunitas, bekerja sama, adil, rela memaafkan,
jujur, menjaga hubungan baik, hormat pada sesama, bertanggung jawab, dan mengutamakan
keselamatan disertai dengan deskripsi dan ilustrasi mengenai kesepuluh ciri karakter.
Pembentukan karakter juga dikemukakan oleh Santoso (2007) tentang bagaimana membangun
mental dan karakter melalui pemberdayaan kecerdasan emosional dan spiritual dalam mengubah
hidup dalam bukunya yang berjudul The Art of Life Revolution.

Dalam pengamatan penulis, selama ini apresiasi karya sastra hanya diberikan kepada
siswa di seluruh jenjang pendidikan dan mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra dengan
pendekatan struktural. Gejolak dan berbagai fenomena yang terjadi di kalangan pelajar
menyudutkan dunia pendidikan yang gagal menghantarkan peserta didik menjadi manusia yang
berkarakter. Saat ini percarian terhadap model pembelajaran yang mampu mengembangkan
2

kepribadian dan menajamkan afeksi siswa sedang digalakkan. Seluruh elemen bangsa berupaya
di bidangnya masing-masing menemukan cara yang efektif menghasilkan SDM yang bermental
dan bermoral baik. Merunut pada teori conditioning Pavlov bahwa pembiasaan (conditioning)
dapat memberi dampak positif dan negatif dari tingkah laku yang merupakan latihan-latihan atau
kebiasaan-kebiasaan untuk mereaksi perangsang-perangsang tertentu yang dialaminya dalam
kehidupan. Menurut Pavlov proses belajar yang digambarkan seperti itu terdiri atas pembentukan
asosiasi antara stimulus dan respons refleksif (Syah, 2006).
Penggalakan bentuk pembelajaran yang berkarakter memotivasi penulis untuk
menggagas forum bagi mahasiswa baik jurusan bahasa maupun non-bahasa. Forum tersebut
menjadi wadah pertemuan mahasiswa mengeksplorasi, mengapresiasi, dan menciptakan seni
pertunjukan versi bahasa Indonesia baik terhadap karya sastra Indonesia dan sastra lokal.
Makalah ini membahas: (1) hasil penelitian mengenai persepsi mahasiswa Universitas
Sriwijaya terhadap pentingnya pembelajaran sastra di perguruan tinggi yang didukung oleh

pendapat mahasiswa di tiga fakultas bahasa dan sastra universitas yang berbeda di Indonesia
setelah responden membaca, mengapresiasi karya sastra dengan menggunakan instrumen
apresiasi sastra yang valid, dan merespons angket dan (2) gagasan forum literature for all dalam
membentuk karakter mahasiswa sebagai wadah bagi mahasiswa untuk membincangkan,
menuliskan, dan melakukan tindakan setelah mereka memotret pikiran, perasaan, dan tindakan
tokoh cerita yang berkarakter baik dalam cerita yang mereka baca. Diharapkan makalah ini dapat
menunjukkan secara nyata sinergi antara sastra dan bahasa dalam forum literature for all dengan
cara membaca, menuliskan, mendiskusikan, menyimak, serta mengkreasikan karya sastra dalam
seni pertunjukan sastra.

Persepsi Mahasiswa tentang Pentingnya Pembelajaran Sastra di PT
Secara teoretis sastra dapat mengembangkan kepribadian pembaca. Berdasarkan hasil
penelitian Rudy, Shilvany, dan Erlina (2010), setelah membaca karya sastra, 438 mahasiswa
yang menjadi subjek penelitian menanggapi positif pertanyaan mengenai kemungkinan sastra
diajarkan di seluruh fakultas. Berikut ini disajikan tabel dan chart distribusi jawaban mereka
terhadap pertanyaan tersebut.

3

Tabel 1

Sikap Mahasiswa tentang Pembelajaran Sastra di PT
Fakultas

Tanggapan
Positif

Jurusan

FISIP

Administrasi Negara
Sosiologi
FMIPA
Kimia
Fisika
Ekonomi
Ekonomi
Pembangunan
Management
Akuntansi

FKIP
Pend Kimia
Pend Fisika
Pend Bhs Indonesia
FK
PSIK
Kesehatan Kesehatan
Masyarakat Masyarakat
Teknik
Teknik Elektro
Pertanian
Tanah
Hukum
Hukum
Tidak Setuju

28
20
19
25

26
23
25
28
28
30
20
28
24
29
27
48

Gambar 1 Sikap Mahasiswa terhadap Pembelajaran Sastra di PT

4

Berdasarkan gambar di atas dapat disimpulkan bahwa proporsi antara responden yang
tidak setuju dan setuju terhadap pembelajaran sastra di setiap fakultas adalah1:15 bila ukurannya
adalah program studi dan 1:9 bila ukurannya adalah fakultas. Rasio perbandingan menunjukkan

besarnya proporsi responden yang menginginkan sastra di ajarkan di seluruh fakultas (89% dari
jumlah responden). Dari kalangan sastrawan yang diwakili oleh Putu Wijaya pun berharap
pembelajaran sastra harus dibelajarkan kepada semua jurusan, karena tanpa menguasai sastra,
tata bahasa hanya akan menjadi alat menyambung pikiran/logika dan bukan menyambung rasa
(Wijaya, 2007).
Karya sastra berfungsi untuk memberikan kenikmatan kepada pembacanya. Di Indonesia,
membaca karya sastra bukan sebuah kebutuhan atau keharusan. Namun, setelah membaca karya
sastra, responden penelitian diminta untuk menanggapi pertanyaan dalam angket mengenai
kemaniakan pembaca karya sastra di mancanegara untuk menumbuhkan sikap dan kepribadian
yang berkarakter. Gambar berikut merupakan gambaran secara utuh proporsi tanggapan positif
responden terhadap fungsi sastra yang sangat disadari oleh pembaca di mancanegara untuk
menumbuhkan kepribadian yang berkarakter baik.

Gambar 2 Persepsi Seluruh Mahasiswa terhadap Kegemaran Membaca Masyarakat Mancanegara

Gambar tersebut mengindikasikan bahwa 425 mahasiswa (97%) memiliki sikap yang
positif terhadap pernyataan tentang masyarakat di mancanegara rajin membaca karya sastra
untuk membangun karakter. Hal ini relevan dengan apa yang dikemukakan Kotller (1990) bahwa
majunya suatu bangsa ditentukan oleh nilai dan karakter yang menjadi modal kehidupan sosial
dan berbangsa dimana kualitas dan perilaku masyarakat sebagai faktor budaya yang menjadi

5

modal sosial (social capital). Nilai dan karakter menjadi kunci sukses keberhasilan sebuah
negara yang ditentukan oleh sejauh mana negara tersebut mempunyai budaya yang kondusif
untuk maju.
Berdasarkan hasil kuesioner dapat disimpulkan bahwa 95.1% responden sangat setuju
merespons karya sastra yang menggiring mereka ke arah pengembangan karakter. Untuk
mendukung hasil temuan berdasarkan tes apresiasi dan kuesioner, berikut ini merupakan tabel
persepsi mahasiswa di tiga universitas di luar Provinsi Sumatera Selatan yang terdiri atas 85
responden (30 dari UPI, 30 dari UNM, dan 25 dari Unsrat).

100
80
60
Setuju

40

Tidak Setuju


20

Column

0
1

3

5

7

9

11

13

15


Setuju
17

19

21

23

25

Gambar 3
Persepsi Mahasiswa di 3 Universitas di Indonesia

Tabel tersebut mengindikasikan bahwa responden yang berasal dari fakultas bahasa dan sastra
memberikan pandangan positifnya terhadap apresiasi sastra yang mampu membawa peserta didik
ke arah pengembangan karakter melalui pembiasaan (conditioning) membaca dan mengapresiasi
karya sastra.
Sementara itu, tanggapan mahasiswa di tiga universitas tentang pentingnya sastra
diajarkan di setiap fakultas dapat diamati dalam bagan berikut.

Apresiasi Sastra di Semua Fakultas

UPI= 100%
UNM= 93.3%
Unsrat= 95.5%

Tidak setuju= 0.05%

6

Gambar 4 Pentingnya Sastra di Semua Fakultas

Bagan ini mengindikasikan bahwa 81 responden menghendaki agar sastra diajarkan di setiap
fakultas dengan cara membaca dan mengapresiasinya.
Forum Literature for All sebagai Wadah Pembentuk Karakter
Forum adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap
informasi tertentu. Forum yang digagas dalam makalah ini merupakan tempat berkumpulnya
mahasiswa untuk mendiskusikan, menciptakan, dan mengkreasikan karya sastra dan dinamai
forum literature for all. Gagasan konsep ini terinspirasi dari istilah education for all yang telah
dikumandangkan dalam satu dasawarsa oleh Kementrian Pendidikan Nasional, diikuti dengan
science for all yang digaungkan oleh Kementrian Riset dan Teknologi empat tahun terakhir.

Secara spesifik, konsep literature for all belum pernah dikedepankan dalam rangka
mengembangkan pendidikan yang berkarakter. Apalagi menggandengnya dengan istilah forum.
Forum literature for all bermakna tempat berdikusi dan berkarya sastra bagi mahasiswa baik dari
jurusan bahasa maupun non-bahasa.
Dalam dunia pendidikan bahasa, wadah tempat berkumpulnya mahasiswa telah lama ada
yaitu bengkel sastra. Berdasarkan hasil penelitian Abidin (2005), model bengkel sastra dapat
digunakan dalam pembelajaran menulis cerita pendek dan penggunaan model bengkel sastra
dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menulis cerita pendek. Bengkel sastra
dimanfaatkan mahasiswa untuk berkarya sastra.
Gagasan mendirikan forum literature for all tidak bermaksud untuk menandingi wadah
kreativitas yang telah ada. Forum tersebut lebih bersifat membantu mendiseminasikan kegiatan
apresiasi sastra yang tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa jurusan dan fakultas bahasa tetapi
oleh seluruh mahasiswa non-bahasa. Forum tersebut menyediakan berbagai perangkat yang
dibutuhkan untuk mengapresiasi karya sastra seperti karya sastra itu sendiri, instrumen apresiasi
sastra yang valid, contoh-contoh skenario seni pertunjukan, dan video yang berisikan tentang
model seni pertunjukan untuk memfasilitasi mahasiswa menduplikasi hal serupa. Pada akhirnya,

7

forum berkreasi sastra tersebut akan diunggah di situs internet agar penyebaran misi forum dapat
diduplikasi oleh universitas lainnya.
Perangkat pertama yang diperlukan adalah karya sastra. Karya sastra yang disiapkan
dalam forum berupa cerita pendek Indonesia, cerita rakyat, dan novel. Novel yang dibutuhkan
adalah novel dengan berbagai latar cerita sesuai dengan disiplin ilmu mahasiswa karena seperti
yang telah dikemukakan di awal bahwa mahasiswa di luar negeri wajib membaca karya sastra
dengan latar cerita yang sama dengan bidang ilmu mahasiswa. Tujuannya adalah mahasiswa
belajar intrik dan strategi yang dilakukan oleh para tokoh cerita dan mendiskusikannya.
Selanjutnya, setelah membaca karya sastra, mahasiswa membutuhkan instrumen apresiasi
agar hasil membacanya tidak hanya mencapai perspektif efferent (selintas) tetapi mencapai
perspektif estetik seperti yang diungkapkan oleh Rosenblatt (1978). Instrumen apresiasi yang
dimaksud adalah pertanyaan-pertanyaan pemandu yang tersusun atas teori respons pembaca,
teori simbol visual, psikosastra, teori pilar karakter bangsa dikembangkan oleh Rudy (2010).
Perangkat berikutnya adalah skenario seni pertunjukan yang terdiri atas monolog, diskusi
monolog, performansi tablo, diskusi tablo, dan performansi sosiogram (Rudy, 2009). Skenario
tersebut diatur untuk menjadi pertunjukan selama 30 menit diawali dengan menyampaikan isi
cerita dalam bentuk monolog. Kemudian, sekelompok mahasiswa yang menjadi audiens
mendiskusikan isi cerita dengan menerapkan strategi respons pembaca yang dikemukakan oleh
Beach dan Marshall (1990) dengan cara merinci isi cerita, memahami dan menerangkan perilaku
tokoh cerita, menafsirkan isi cerita, menyertakan perasaan, pikiran, dan imajinasi,
menghubungkan isi cerita dengan buku cerita lain, pengalaman, kehidupan sosial, budaya, dan
agama, serta menilai jalan cerita dan pengarangnya. Kegiatan berikut dalam skenario tersebut
adalah memperagakan tablo yaitu pertunjukan tanpa gerakan yang dilakukan oleh beberapa
mahasiswa, sedangkan mahasiswa lain menebak bagian mana dari cerita yang sedang
diperagakan. Setelah itu mereka mendiskusikan isi tablo yang tujuannya adalah untuk
mengidentifikasi apakah mereka sudah memahami isi cerita. Terakhir, mahasiswa membuat
sosiogram yang menghubungkan satu karakter dengan karakter lainnya dengan bantuan alat
peraga berupa kertas karton yang ditulisi nama tokoh cerita dan tanda panah yang dipegang oleh
masing-masing mahasiswa dan terjadilah tablo.

8

Untuk mempermudah mahasiswa membuat performansi seni pertunjukan, forum
menyediakan juga kepingan CD yang berisi seni pertunjukan sastra lokal. Beberapa CD yang
memuat seni pertunjukan seperti Legenda Pulau Kemarau, Putri Pinang Masak, Legenda Bidar ,
Sumpah si Pahit Lidah, dan sebagainya, merupakan hasil penelitian sebelumnya dapat

dimanfaatkan mahasiswa untuk membuat performansi yang sama, tetapi dengan cerita yang
berbeda.Dengan demikian, sinergi antara sastra dan bahasa dapat terwujud.
Banyak kalangan yang menginginkan pendidikan yang berkarakter melalui pembelajaran
sastra. Di antaranya, forumpurworejo.blogspot.com (2010) mengungkapkan:
Kerinduan generasi muda akan karya sastra, memang tidak mengglobal, akan
tetapi justeru hal inilah kelemahan dunia sastra kita. Ia semakin dijauhi saja.
Padahal karya sastra dapat membentuk karakter generasi bangsa kita. Adalah
besar harapan pembentukan karakter generasi bangsa, karakter masyarakat
khususnya di Purworejo dapat terjembatani melalui Dewan Kesenian
Purworejo, sehingga dapatlah terkondisikan pementasan karya seni semisal
karya sastra dan ekspresi seni yang lain, seperti seni teater, seni pedalangan,
seni tari, seni karawitan. sampai seni-seni tradisional yang khas di Purworejo
dapat tetap eksis dan terbina.
Kutipan di atas diperkuat juga oleh pendapat Kotller (1990) bahwa majunya suatu bangsa
ditentukan oleh nilai dan karakter yang menjadi modal kehidupan sosial dan berbangsa dimana
kualitas dan perilaku masyarakat sebagai faktor budaya yang menjadi modal sosial (social
capital) merupakan kunci sukses keberhasilan sebuah negara yang ditentukan oleh sejauh mana

negara tersebut mempunyai budaya yang kondusif

untuk maju. Sementara itu, kalangan

sastrawan yang diwakili oleh Putu Wijaya pun berharap pembelajaran sastra harus dibelajarkan
kepada semua jurusan, karena tanpa menguasai sastra, tata bahasa hanya akan menjadi alat
menyambung pikiran/logika dan bukan menyambung rasa (Wijaya, 2007).
Sementara itu, Broto (2010) mengungkapkan bahwa peradaban yang terus menuntut
penempatan sastra materi sosialisasi yang utama dalam lingkungan lembaga pendidikan di era
globalisasi ini karena karya sastra berkontribusi positif dalam pembentukan karakter dan
kepribadian individu. Senada dengan ungkapan tersebut, Kuncoro (2007) mengemukakan bahwa
kecanggihan teknologi menyebabkan pola komunikasi berubah dengan cepat menyebabkan
manusia enggan bertatap muka antar-sesama. Situasi demikian menurut Sayuti (2005:5) harus
diperbaiki dengan cara pemilihan strategi kebudayaan yang tepat yaitu kegiatan dan apresiasi
sastra. Berbagai pendapat tersebut pada akhirnya memfasilitasi penulis untuk memberdayakan
9

pembelajaran sastra berbasis respons pembaca dan simbol visual yang sudah teruji melalui
beberapa penelitian yang telah penulis lakukan dalam kurun waktu 12 tahun ini untuk
mengembangkan karakter bangsa sehingga sembilan pilar karakter bangsa dapat terwujud.
Muslimin Nasution, Ketua Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI),
mengemukakan bahwa pendidikan nasional telah dirancang dengan arsitektur pendidikan salah
yang hanya menciptakan siswa pandai, tetapi tidak membentuk peserta didik yang berkarakter.
Relevan dengan apa yang dikemukakan Nasution, Acep Zamzam Noor menyayangkan
pendidikan sekarang mengabaikan pembelajaran sastra. Padahal, sastra ikut mempengaruhi
pembentukan karakter siswa. Lebih jauh, sastrawan tersebut mengharapkan, “sistem pendidikan
nasional seharusnya didesain ulang karena kenyataannya telah melahirkan kesenjangan akses
pendidikan yang semakin lebar serta meninggalkan karakter bangsa.”
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai persepsi mahasiswa Universitas Sriwijaya
terhadap pentingnya pembelajaran sastra di perguruan tinggi yang didukung oleh pendapat
mahasiswa di tiga fakultas bahasa dan sastra universitas yang berbeda di Indonesia setelah
responden membaca, mengapresiasi karya sastra dengan menggunakan instrumen apresiasi sastra
yang valid, dan merespons angket instrumen apresiasi sastra menyadarkan mahasiswa tentang
pentingnya mengapresiasi karya sastra di setiap fakultas yang ditanggapi positif dapat
mengembangkan karakter mahasiswa sebesar 89% melalui kuesioner. Selain itu, hasil tes
apresiasi sastra dan hasil kuesioner terhadap sebanyak 85 mahasiswa dari tiga universitas di
Indonesia yaitu Unsrat, UNM, dan UPI dapat disimpulkan bahwa mereka juga memperoleh
rerata nilai apresiasi dalam kategori sangat baik dan sebesar 98% menunjukkan sikap positif
terhadap butir pertanyaan dalam instrumen apresiasi sastra.
Gagasan Forum Literature for All dalam membentuk karakter mahasiswa sebagai wadah
bagi mahasiswa untuk membincangkan, menuliskan, dan melakukan tindakan setelah mereka
memotret pikiran, perasaan, dan tindakan tokoh cerita yang berkarakter baik dalam cerita yang
mereka baca.

Referensi
10

Amstrong, Thomas. 2002. Seven Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan
Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka
Utama.
Broto,

Anjrah
Lelono.
2010.
Pembelajaran
Sastra
Butuh
Mak
Erot
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Pembelajaran+Sastra+Butuh+Ma
k+Erot&dn=20100113085933. diakses 9 mei 2010

forumpurworejo.blogspot.com. Menggagas Pembentukan Karakter Generasi Muda melalui
Karya Sastra . http://bloggerpurworejo.com/2010/03/menggagas-pembentukan-karaktergenerasi-muda-melalui-karya-sastra/ diakses 9 mei 2010
Husniah, Rohmy danYudhi Arifani. 2008. Pendidikan Budi Pekerti Melalui Pendekatan Moral
dalam Pengajaran Sastra. Makalah disajikan dalam Konferensi Internasional
Kesusastraan XIX / HISKI, Batu, 12-14 Agustus 2008.
Kotller, Philip. 1990. “The Marketing of Nations”, dalam Sofyan Djalil dan Ratna Megawangi
(2006). Peningkatan Mutu dan Pendidikan di Acehmelalui Implementasi Model
Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, Orasi pada Rapat Senat Terbuka dalam Rangka
Dies Natalis Universitas Syahkuala-Banda Aceh, 2 September 2006.
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi Tepat untuk Membangun Bangsa.
Indonesia Heritage Foundation, dalam Sofyan Djalil dan Ratna Megawangi (2006).
Peningkatan Mutu dan Pendidikan di Acehmelalui Implementasi Model Pendidikan
Holistik Berbasis Karakter, Orasi pada Rapat Senat Terbuka dalam Rangka Dies Natalis
Universitas Syahkuala-Banda Aceh, 2 September 2006.
Grose, Carolyn. 2010. Storytelling Across the Curriculum: From Margin to Center, from Clinic
to Classroom. Diunduh tanggal 12 Maret 2010.
http://www.youtube.com/watch?v=AgJXXo97D4c
Harmer, Jeremy. 2007. The Practice of English Language Teaching (4th ed). London: Pearson
Education, Ltd.
Lewis, Barbara A. 2004. Character Building untuk Anak-anak. Batam: Kharisma Publishing
Group.
Pantaleo, Sylvia. 2002. Children’s Literature Across Curriculum. Canadian Journal of
Education.Vol. 27/2&3, p.211-230.
Rudy, Rita Inderawati, Dinar S., dan Zuraidah. 2007. Model Pembelajaran Sastra dalam
Pendidikan Bahasa Inggris. Lingua: Jurnal Bahasa dan Sastra. Vol 9/No.1.
11

Rudy, Rita Inderawati. 2009. Pembelajaran Berbasis Respons Pembaca dan Simbol Visual untuk
Mengembangkan Apresiasi Sastra dan Kemampuan Berbahasa Inggris. Forum
Kependidikan. Vol. 29/No. 1.
Rudy, Rita Inderawati. 2010a. Mengangkat Peran Sastra Lokal dengan Konsep Sastra untuk
Semua bagi Pembentukan Karakter Bangsa. Dalam Idiosinkrasi Pendidikan Karakter
melalui Bahasa dan Sastra.Editor: Novi Anoegrajekti, S. Macaryus, dan E. Boeriswati.
Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
Rudy, Rita Inderawati. 2010b. Mengangkat Peran Cerita Rakyat Sulawesi Utara dengan Konsep
Literature for All untuk Membentuk Karakter Mahasiswa. Dipresentasikan dalam
Seminar Bulan Bahasa di Fakultas Sastra Universitas Samratulangi, 29 Oktober 2010.
Rudy, Rita Inderawati. 2010c. Konsep Literature for All dan Literature across Curriculum
dalam Mengapresiasi Karya Sastra bagi Mahasiswa Calon Guru di FKIP Universitas
Sriwijaya untuk Mengembangkan Karakter Siswa. Laporan Hibah Kompetensi Tahun I.
Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan
Nasional, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Penelitian Hibah
Kompetensi Nomor: 382/SP2H/PP/DP2M/VI/2010 tanggal 11 Juni 2010
Santoso, Eka Jalu. 2004. The Art of Life Revolution. Jakarta: Penerbit PT Elex Media
Komputindo.
Sayuti, Suminto. 2005. Taufiq Ismail: Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo
Schwartz, David J. 2007. Berpikir dan Berjiwa Besar (The Magic of Thinking Big). Batam:
Binarupa Aksara.
Silvhiany, Sari. (2007). From Learning English to Building Academic Literacy: The Paths of
ESL Students Literacy Learning dalam Proceeding of TEFLIN International Conference,
Jakarta, December 2007.
Syah, Muhibbin. 2006. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Talib, Jihad. 2010. Pendidikan Bahasa dan Sastra Lokal dalam Masyarakat Posmodern.
Makalah. STKIP Muhammadiyah Bulukumba.
Tarigan, Henry Guntur. 1995. Dasar-dasar Psikosastra . Bandung: Penerbit Angkasa.
Van, Truong Thi My. 2009. The Relevance of Literary Analysis to Teaching Literature in EFL
Classroom. English Teaching Forum. Vol. 47/No. 3.
Vandergrift, Kay E. 2006. Linking Literature with Learning.
http://comminfo.rutgers.edu/professional-development /childlit/books /linkages.html.
Diunduh 26 Maret 2006
12

Wards, Robin A. 2009. Literature-Based Activities for Integrating Mathematics with Other
Content Areas. New York, NY: Pearson Education, Inc.
Wijaya, Putu. 2007. Pengajaran Sastra
http://putuwijaya.wordpress.com/2007/11/03/pengajaran-sastra/ diakses 1 Juli 2008.
http://www.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/2010/10/21/60262/desain-ulang-sistempendidikan, diakses pada tanggal 5 Desember 2010.

13