BAB II KAJIAN PUSTAKA - BAB II

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori

1. Berpikir Kritis Matematis

a. Deskripsi Kemampuan Berpikir Kritis Matematik Pada dasarnya berpikir kritis adalah berpikir tingkat tinggi.

  Kemampuan berpikr kritis seharusnya dimiliki oleh setiap siswa untuk mempersiapkan diri dalam menghadapai permasalahan kehidupan, karena berpikir kritis ini merupakan dasar seseorang untuk mengambil keputusan.

  Berpikir kritis juga merupakan suatu proses yang melibatkan operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan penalaran. Menurut Ennis dalam Fahroyin (2009) berpikir kritis merupakan cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar untuk menentukan apa yang akan dikerjakan dan diyakini. Berpikir menggunakan proses secara simbolik yang menyatakan objek-objek nyata, kejadian-kejadian dan penggunaan pernyataan simbolik untuk menemukan prinsip-prinsip mendasar suatu objek dan kejadian (Arends dalam Fahroyin, 2009). Di dalam proses berpikir seringkali berlangsung kejadian menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasar pada inferensi atau pertimbangan yang seksama. Disampaikan oleh Diestler dalam Fahroyin (2009) bahwa dengan berpikir kritis, orang menjadi memahami argumentasi berdasarkan perbedaan nilai, memahami adanya inferensi dan mampu menginterpretasi, mampu mengenali kesalahan, mampu menggunakan bahasa dalam berargumen, menyadari dan mengendalikan egosentris dan emosi, dan responsif terhadap pandangan yang berbeda.

  Kemampuan berpikir kritis merupakan proses kognitif untuk memperoleh pengetahuan. Kemampuan berpikir kritis juga merupakan aktivitas berpikir tingkat tinggi. Berpikir kritis ini mengaktifkan kemampuan melakukan analisis dan evaluasi bukti, identifikasi pertanyaan, kesimpulan logis, memahami implikasi argumen. Lebih lanjut McMurarry et al dalam Fahroyin (2009) menyampaikan bahwa berpikir kritis merupakan kegiatan yang sangat penting untuk dikembangkan di sekolah, guru diharapkan mampu merealisasikan pembelajaran yang mengaktifkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis pada siswa. Schaferman dalam Hartono (2007) menyatakan bahwa perencanaan pembelajaran MIPA oleh guru untuk pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa adalah keharusan..

  Dinyatakan oleh Presseisen dalam Fahroyin (2009) bahwa agar siswa memiliki keterampilan intelektual tingkat tinggi harus dilatih keterampilan kritis, kreatif, pemecahan masalah, dan membuat keputusan. Selanjutnya, disampaikan pula oleh Ennis dalam Fahroyin (2009) bahwa evaluasi terhadap kemampuan berpikir kritis antara lain bertujuan untuk mendiagnosis tingkat kemampuan siswa, memberi umpan balik keberanian berpikir siswa, dan memberi motivasi agar siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya.

  Dijelaskan Ibrahim dan Nur (2000) mengenai berpikir kritis sebagai berikut: 1) Tidak algoritmik, alur tindakan tidak dapat ditetapkan sebelumnya,

  2) cenderung ke arah yang kompleks, sehingga keseluruhan alurnya tidak dapat diamati dari satu sudut pandang, 3) seringkali menghasilkan banyak solusi, masing-masing dengan keuntungan dan kerugian dibandingkan hanya dengan solusi tunggal, 4) melibatkan pertimbangan dan interpretasi, 5) melibatkan pengaturan diri tentang proses berpikir, 6) merupakan sebuah kerja keras, ada pergerakan mental yang besar saat melakukan berbagai jenis elaborasi dan pertimbangan yang dibutuhkan. Pendapat lain mengatakan bahwa berpikir kritis adalah: 1) sebuah keinginan untuk mendapatkan informasi, 2) sebuah kecenderungan untuk mencari bukti, 3) keinginan untuk mengetahui kedua sisi dari seluruh permasalahan, 4) sikap dari keterbukaan pikiran, 5) kecenderungan untuk tidak mengeluarkan pendapat (menyatakan penilaian), 7) menghargai pendapat orang lain, 8) toleran terhadap keambiguan. Disampaikan oleh Lewis dan Smith dalam Bullen (1997) bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan bagian dari kemampuan berpikit tingkat tinggi, setidaknya ada tiga makna berpikir kritis, yaitu: 1) berpikir kritis sebagai suatu pemecahan masalah, 2) berpikir sebagai evaluasi dan pertimbangan, dan 3) berpikir kritis sebagai kombinasi pemecahan masalah, evaluasi dan pertimbangan.

  Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis matematik merupakan sebuah upaya penentuan keputusan berdasarkan hasil comparative think yang menyentuh kesegala aspek yang dibutuhkan dalam pemecahan masalah matematika sehingga dihasilkan konsep solusi yang matang dan akurat dalam pembelajaran matematika.

b. Fase-Fase Kemampuan Berpikir Kritis

  Kata “berpikir” secara terpisah dapat diasumsikan sebagai proses kognisi dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Berpikir merupakan kapabilitas atau kemampuan yang dapat dipelajari. Fisher (dalam Launch Pad, 2001) mendeskripsikan bahwa paling sedikit tiga aspek penting keterampilan berpikir, yaitu berpikir kritis, berpikir kreatif, dan problem solving. Ketiga aspek tersebut saling berkomplementer tetapi saling berhubungan. Problem solving perlu dalam penemuan masalah dan pertanyaan-pertanyaan untuk menyelidiki (berpikir kreatif) dan mengevaluasi solusi yang diusulkan (berpikir kritis). Bepikir kritis perlu mengorganisasi keterampilan berpikir seseorang ke dalam suatu kombinasi sebagai alat kerja (berpikir kreatif).

  Pada akhirnya berpikir kreatif perlu berpikir kritis. Problem solving mungkin berupa penyelidikan kreatif, yaitu berhubungan dengan penyelidikan untuk menemukan solusi masalah-masalah open-ended, menggunakan berpikir divergen dalam menyelesaikan masalah, dan lain-lain.

  Dalam usaha meningkatkan kemampuan berpikir kritis, maka harus memperhatikan fase-fase kemampuan berpikir kritis. Selanjutnya akan diuraikan fase-fase kemampuan berpikir kritis. Brookfield (1987) mengidentifikasi lima fase berpikir kritis, yaitu: (1) Trigger event (cepat tanggap terhadap peristiwa), yaitu pengenalan suatu peristiwa tak terduga yang mengakibatkan terjadinya konflik kognisi internal, (2) Apprasial (penaksiran), yaitu menilai situasi dan mulai bekerja secara teliti, menghadapi peristiwa tak terduga dengan berbagai cara, mengklarifikasi dan mengidentifikasi perhatian orang lain dalam menghadapi situasi serupa. (3)

  

Exploration (eksplorasi), yaitu mencari makna ke resolusi, atau cara dalam

  menjelaskan pertentangan untuk mengurangi konflik kognisi, mendorong seseorang untuk mencari maksud/arti, menyelidiki cara pikir dan bertindak, (4) Development alternative perspective (mengembangkan alternatif perspektif), yaitu mengembangkan cara pikir baru yang membantu seseorang menyesuaikan kepada peristiwa yang tidak diharapkan. Transisi ini melibatkan suatu usaha untuk mengurangi ketidaksesuaian dalam hidup seseorang, dan (5) Integration (integrasi), yaitu menegosiasikan perspektif baru untuk menfasilitasi integrasi perubahan hidup seseorang, melibatkan pengintegrasian konflik kognisi secara internal atau eksternal untuk mencapai suatu resolusi.

  Norris dan Ennis (1989) mengidentifikasi lima fase berpikir kritis, yaitu: (1) Elemetary clarification (klarifikasi tingkat rendah), yaitu memusatkan pencapaian klarifikasi umum suatu masalah melalui analis argumentasi, pertanyaan, atau jawaban, (2) Basic support (pendukung dasar), yaitu memutuskan sumber yang kredibel, membuat dan memutuskan hasil pengamatan sendiri; melibatkan informasi yang berbeda, kesimpulan yang diterima, dan latar belakang pengetahuan. (3) Inference (kesimpulan), yaitu membuat dan memutuskan kesimpulan secara induktif dan deduktif, (4)

  

Advanced clarification (klarifikasi tingkat tinggi), yaitu membentuk dan

  mendefinisikan terminologi, memutuskan dan mengevaluasi definisi, menentukan konteks definisi berdasarkan alas an yang tepat, dan (5) Strategi

  

and tactics (strategi dan cara-cara), yaitu berinteraksi dengan orang lain untuk

  memutuskan tindakan yang sesuai; mendefinisikan masalah, menaksir kemungkinan solusi dan mengkonstruksi alternative solusi; monitoring keseluruhan proses pengambilan keputusan.

  Bullen (1997) mengidentifikasi empat fase berpikir kritis, yaitu: (1)

  

Clarification (klarifikasi), yaitu menilai/memahami sifat alami pada poin-

  poin pandangan yang berbeda pada isu, dilema, atau masalah. (2) Assessing

  

evidence (menilai fakta), yaitu memutuskan kredibilitas sumber, menaksir

bukti untuk mendukung kesimpulan; menetapkan dasar menarik kesimpulan.

  (3) Making and judging inference (membuat dan menarik kesimpulan), yaitu menduga secara induktif dan deduktif, dan menilai keputusan; pengambilan keputusan dengan pertimbangan bukti yang cukup untuk mendukung argumentasi, dan (4) Using appropriate strategies and tactics (menggunakan strategi dan cara-cara yang tepat), yaitu menggunakan heuristik atau strategi untuk mengarahkan pikiran dalam proses pencapai kesimpulan, membuat suatu keputusan, atau pemecahan suatu masalah secara efektif.

  Garrison, Anderson, dan Archer (2001) membagi empat fase berpikir kritis, yaitu: (1) Trigger event (cepat tanggap terhadap peristiwa), yaitu mengidentifikasi atau mengenali suatu isu, masalah, dilemma dari pengalaman seseorang, yang diucapkan instruktur, atau pelajar lain, (2)

  

Exploration (eksplorasi), memikirkan ide personal dan sosial dalam rangka

  membuat persiapan keputusan, (3) Integration (integrasi), yaitu mengkonstruksi maksud/arti dari gagasan, dan mengintegrasikan informasi relevan yang telah ditetapkan pada tahap sebelumnya, dan (4) Resolution (mengulangi penyelesaian), yaitu mengusulkan solusi secara hipotetis, atau menerapkan solusi secara langsung kepada isu, dilema, atau masalah serta menguji gagasan dan hipotesis.

  Berdasarkan fase-fase berpikir kritis yang di kemukakan tersebut, terlihat bahwa pada fase pertama memiliki kesamaan arti walaupun menggunakan istilah yang berbeda, trigger event (Broofield ; Garrison, Anderson, dan Archer), dan klarifikasi (Norris dan Ennis, Bullen). Pada prinsipnya fase ini merupakan proses memahami suatu isu, masalah, dilema dari berbagai sumber. Pada fase kedua, memiliki kesamaan arti walaupun menggunakan istilah yang berbeda, yaitu apprasial (Brookfield), klarifikasi dasar (Norris dan Ennis), assessing evidence (Bullen), dan eksplorasi (Garrison, Anderson, Archer). Pada prinsipnya fase ini merupakan proses merencanakan solusi suatu isu, masalah, dilemma dari berbagai sumber. Pada fase ketiga eksplorasi (Brookfield), menarik kesimpulan (Norris dan Ennis), fase keempat menarik kesimpulan (Bullen), dan integrasi (Garrison, Anderson, Archer) memiliki arti yang sama, yaitu menerapkan rencana yang telah dikonstruksi pada fase sebelumnya. Dalam menerapkan rencana, tidak cukup dengan menemukan solusi tetapi pengembangan solusi lebih mendalam seperti fase keempat mengembangkan alternative perspektif (Broofield) dan klarifikasi tingkat tinggi (Norris dan Ennis). Selanjutnya fase kelima intergrasi (Brookfield), strategi dan cara-cara (Norris dan Ennis; Bullen), dan resolusi (Garrison, Anderson, Archer) memiliki arti yang sama, yaitu memeriksa kembali solusi yang telah dikerjakan, termasuk mengembangkan strategi alternatif solusi lainnya.

  Meskipun para ahli memberikan pengertian tentang berpikir kritis berbeda secara redaksional, tetapi pada prinsipnya semua pendapat sejalan yaitu mengarah pada berpikir reflektif dalam memutuskan suatu keputusan atau pemecahan masalah. Sehubungan dengan pembelajaran di kelas, khususnya di sekolah menengah pertama, maka penulis tertarik dengan pendapat Ennis (Innabi, 2003) yang merekomendasikan bahwa berpikir kritis ada kaitannya dengan materi pelajaran meliputi aspek mengidentifikasi dan menjustifikasi konsep, menggeneralisasi, menganalisis algoritma, serta memecahkan masalah.

2. Self Efficacy Siswa Terhadap Matematika

  Dari berbagai pendapat para ahli, Self Efficacy pada prakteknya sinonim dengan “Kepercayaan Diri” atau “Keyakinan Diri”. Bandura (dalam Feist, 2008:415)mendefinisikan Self Efficacy sebagai keyakinan atau kepercayaan manusia akan kemampuan mereka untuk melatih sejumlah ukuran pengendalian terhadap fungsi diri mereka dan kejadian-kejadian di lingkungannya. Self Efficacy juga merupakan sebagai pertimbangan seseorang tentang kemampuan dirinya untuk mencapai tingkat kinerja (performansi) yang diyakinkan atau ditentukan, yang akhirnya akan mempengaruhi tindakan selanjutnya. Perlu diketahui bahwa

  

Self Efficacy merupakan salah satu komponen dari Self Regulated (kemandirian).

  Dalam bukunya “Self Efficacy: The Exercise Of Control”, Bandura (1997) menjelaskan bahwa Self Efficacy akan mempengaruhi tindakan, upaya, ketekunan, fleksibilitas dalam perbedaan, dan realisasi dari tujuan dari individu ini, sehingga

  

Self Efficacy yang terkait dengan kemampuan seseorang seringkali menentukan

outcome sebelum tindakan terjadi. Menurut Bandura, Self Efficacy merupakan

  konstruksi sentral dalam teori kognitif sosial yang dimiliki seseorang akan: (a) mempengaruhi pengambilan keputusannya dan mempengaruhi tindakan yang akan dilakukannya, seseorang akan cenderung menjalankan sesuatu apabila ia merasa kompoten dan percaya diri, dan akan menghindarinya apabila tidak; (b) membantu seberapa jauh upaya ia bertindak dalam suatu aktivitas, berapa lama ia bertahan apabila mendapat masalah dan seberapa fleksibel dalam suatu situasi yang kurang menguntungkan baginya, dalam hal ini makin besar Self

  

Efficacy seseorang maka makin besar upaya ketekunan dan fleksibilitasnya;

  (c) mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosionalnya. Seseorang dengan Self

  

Efficacy yang rendah mudah menyerah dalam menghadapi masalah, cenderung

  menjadi stress, depresi dan mempunyai suatu visi yang sempit tentang apa yang terbaik untuk menyelesaikan masalah itu. Sedangkan Self Efficacy yang tinggi akan membantu seseorang dalam menciptakan suatu perasaan tenang dalam menghadapi masalah atau aktivitas yang sukar.

  Persepsi self Efficacy dapat dibentuk dengan menginterprestasi informasi dari empat sumber (Hall, 2002): (1) Pengalaman autentik (authentic mastery

  

experiences), yang merupakan sumber paling berpengaruh, karena kegagalan atau

  keberhasilan pengalaman yang lalu akan menurunkan atau meningkatkan Self

  

Efficacy seseorang untuk pengalaman yang serupa kelak. Khususnya kegagalan

  yang terjadi pada awal tindakan tidak dapat dikaitkan dengan kurangnya upaya atau pengaruh lingkungan aksternal; (b) Pengalaman orang lain (vicarious

  

experience), dengan memperhatikan keberhasialan atau kegagalan orang lain,

  seseorang dapat mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk membuat pertimbangan tentang kemampuan dirinya sendiri. Model pengalaman orang lain ini sangat berpengaruh apabila ia mendapat situasi serupa dan moskin pengalaman dalam hal tersebut; (c) pendekatan sosial atau verbal, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan meyakini seseorang bahwa ia memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu. Perlu diperhatikan bahwa pernyataan negatif tentang kompetensi seseorang dalam area tertentu sangat berakibat buruk terhadap mereka yang sudah kehilangan kepercayaan diri, misalnya pernyataan bahwa kaum perempuan tidak sesuai untuk belajar matematika, akan mengakibatkan kaum perempuan akan percaya bahwa mereka tidak kompoten dalam matematika; (d) indeks psikologi, dimana status fisik dan emosi akan mempengaruhi kemampuan seseorang. Emosi yang tinggi seperti kecemasan akan matematika akan merubah kepercayaan diri seseorang tentang kemampuannya.

  Tinggi rendahnya Self Efficacy berkombinasi dengan lingkungan yang responsif dan tidak responsif untuk menghasilkan emapat variabel yang paling bisa diprediksi, yaitu sebagai berikut: (a) bila Self Efficacy tinggi dan lingkungan responsif, hasil yang paling bisa diperkirakan adalah kesuksesan; (b) bila Self

  

Efficacy rendah dan linkungan responsif, manusia dapat menjadi depresi saat

  mereka mengamati orang lain berhasil menyelesaikan tugas-tugas yang menurut mereka sulit; (c) bila Self Efficacy tinggi bertemu dengan situasi lingkungan yang tidak responsif, manusia biasanya akan berusaha mengubah lingkungan misalnya melakukan protes, aktivisme sosial; (d) bila Self Efficacy rendah berkombinasi dengan lingkungan yang tidak responsif, manusia akan melakukan apati, cenderung menyerah dan merasa tidak berdaya (Bandura, dalam Feist, 2008:415- 416).

3. Pendekatan Matematika Realistik

  Sejak tahun 1971, Institut Freudenthal di Belanda mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan

  

Realistic Mathematics Education (RME). RME menggabungkan pandangan

  tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal berpendapat bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi (passive receivers

  

of ready-made mathematics). Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa

  kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak masalah di sekitar siswa yang dapat diangkat dari berbagai situasi (konteks), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar. Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang terkait dengan konteks (context-link

  

solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman matematik

  ketingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas matematik siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah kepada level berpikir matematik yang lebih tinggi (Hadi, 2005).

  Pendekatan realistik didasarkan pada pandangan Freudenthal terhadap pendidikan matematika, yaitu: (1) matematika merupakan aktivitas manusia, dan (2) matematika harus dipelajari secara bermakna. Kalau matematika dapat dipandang sebagai bahasa, maka makna bahasa berada di luar bahasa itu sendiri.

  Jika demikian halnya, maka makna matematika harus dilihat diluar matematika itu sendiri, yaitu dalam aspek aplikasinya, antara lain dalam kegunaannya di dalam kehidupan sehari-hari, dalam pelajaran lain, dalam pemecahan masalah.

  Freudenthal juga mengkritik pengajaran matematika yang mentransfer pengetahuan yang dimiliki guru ke pikiran siswa, sebab bertentangan dengan cara matematikawan menemukan konsep matematika tersebut (Van Heuvel, 1999). Seharusnya mempelajari matematika itu dengan berbuat, bukan dengan cara memindahkan konsep-konsep yang sudah ditemukan itu ke dalam pikiran siswa tanpa memperhatikan bagaimana dulu konsep-konsep itu ditemukan. Menurut Freudenthal, pembelajaran itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga siswa seolah-olah menemukan kembali (reinvent) konsep-konsep itu. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembelajarannya harus mengikuti prinsip-prinsip dalam PMR.

1. Prinsip-prinsip Dasar PMR

  Menurut Gravemeijer (1994) terdapat tiga prinsip utama dalam pendidikan matematika realistik, yaitu: penemuan secara terbimbing dan bermatematika secara progresif (guided reinvention and progressive

  

matematization), Fenomena pembelajaran (didactical phenomenology), dan

model pengembangan mandiri (self developed model).

a. Penemuan Secara Terbimbing dan Bermatematika Secara Progresif

  Ide utama pendekatan realistik adalah bahwa siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali (reinvent) konsep dan prinsip matematika di bawah bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Dalam pandangan ini, aktivitas siswa merupakan hal yang penting. Siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan sendiri konsep matematika dengan menyelesaikan berbagai soal kontekstual. Soal kontekstual itu mengarahkan siswa membentuk konsep, menyusun model, menerapkan konsep yang telah diketahui, dan menyelesaikannya berdasarkan kaidah matematika yang berlaku (Traffer and Goffree dalam Armanto, 2001). Berdasarkan soal, siswa membangun model dari (model of) situasi soal (dalam bentuk formal atau tidak formal), kemudian menyusun model matematika untuk (model for) menyelesaikannya sehingga siswa

  Penemuan model, konsep, dan prosedur matematika dimulai dalam proses bermatematika dimana siswa memformulasikan struktur soal ke bentuk matematika formal maupun informal. Langkah ini ditempuh siswa dengan mempresentasikan konsep dan prosedur matematika yang telah diketahuinya untuk menyelesaikan soal. Soal yang diberikan adalah soal kontekstual (contextual problem) dimaksudkan untuk menopang terlaksananya proses penemuan kembali (reinvention) yang memberi peluang bagi siswa untuk secara formal memahami matematika Gravemeijer (dalam Sabandar, 2001). Proses penemuannya sendiri melibatkan penemuan-penemuan dan penerapan model- model formal dan informal matematika.

  Bermatematika secara progresif dapat dibagi dalam dua komponen yaitu bermatematika secara horizontal dan vertikal (Treffers and Goffree dalam Armanto, 2001). Dalam bermatematika secara horizontal, siswa mengidentifikasi bahwa soal kontekstual harus ditransfer ke dalam soal bentuk matematika untuk lebih dipahami lebih lanjut. Melalui penskemaan, perumusan, dan visualisasi, siswa mencoba menemukan kesamaan dan hubungan soal dan mentransfernya ke dalam bentuk model matematika yang telah diketahui. Model matematika tersebut dapat berupa model matematika formal dan tidak formal ( Treffers, 1991). Peran guru adalah membantu siswa menemukan model-model tersebut dengan memberikan gambaran model-model yang cocok untuk mempresentasikan soal tersebut (De Lange, 1996).

  Dalam bermatematika secara vertikal, siswa menyelesaikan bentuk matematika formal atau tidak formal dari soal kontekstual dengan menggunakan konsep, operasi, dan prosedur matematika yang berlaku dan dipahami siswa. Aturan, rumusan dan kondisi yang berlaku dalam matematika harus diterapkan secara benar untuk mendapatkan hasil atau jawaban yang benar pula. Dalam hal inilah peran guru sangat dominan. Pada akhirnya siswa merumuskan dan menggeneralisasikan soal dengan membandingkan jawaban dengan konteks, kondisi soal. Dengan bantuan guru siswa menunjukkan hubungan dari rumus yang digunakan, membuktikan aturan matematika yang berlaku, membandingkan model, serta merumuskan konsep matematika dan menggeneralisasika (De Lange dalam Armanto, 2001).

b. Fenomena Pembelajaran

  Fenomena pembelajaran menekankan pada pentingnya soal kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Konteks dapat dipandang dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, konteks merujuk dalam kehidupan sehari-hari dan situasi-situasi yang bersifat fantastis tetapi juga pada soal-soal matematika. Dalam arti sempit, konteks berarti situasi-situasi yang menjadi acuan konteks itu (Sabandar, 2001). Dalam pemberian soal kontekstual, perlu mempertimbangkan dua aspek pertama kecocokan aplikasi konteks dalam pengajaran dan kecocokan dampak dalam proses penemuan kembali bentuk dan model matematika dari soal kontekstual tersebut. Soal kontekstual dalam pendidikan matematika realistik berfungsi untuk: (1) pembentukan konsep (untuk membantu siswa menggunakan konsep matematika); (2) pembentukan model (untuk membentuk model dasar matematika dalam mendukung pola pikir bermatematika); (3) pengaplikasian (untuk memanfaatkan keadaan nyata sebagai sumber aplikasi); (4) latihan (untuk melatih kemampuan khusus siswa dalam situasi nyata) (Treffers dan Goffree dalam Armanto, 2001).

  Di dalam pendidikan matematika realistik, siswa belajar mandiri atau berkelompok untuk menentukan langkah dan strategi penyelesaian masalah kontekstual. Strategi ini dikembangkan dan diciptakan sendiri oleh siswa (free

  

production) dalam bentuk matematika informal (diagram, gambar, kode, symbol,

  dan lainnya) dan juga matematika formal (konsep dan algoritma) yang telah mereka pelajari sebelumnya. Guru hanya mengantarkan dan membantu mereka memfasilitasi sekaligus menjadi jembatan mengantarkan bentuk matematika informal yang diperoleh menjadi matematika formal yang standar. Aktifitas belajar terjadi secara progresif dan kental dengan diskusi dengan interaksi yang interaktif antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru. Pengembangan prinsip fenomena pembelajaran di atas dijelaskan oleh Streefland (1990) dalam teori pengajaran lima kali lima (the five tenets of the instructional theory of RME) seperti berikut:

  

1) Belajar merupakan aktivitas konstruktif yang distimulasikan dengan

  kekonkritan (concreteness); dan mengajar melibatkan penggunaan soal yang dapat direalisasikan sendiri oleh siswa.

  

2) Belajar merupakan proses jangka panjang yang bergerak dari konkrit menuju

  abstrak; dan mengajar meliputi penunjukajaran siswa dari pengetahuan matematika tidak formal menuju matematika formal.

  

3) Belajar difasilitasi oleh refleksi terhadap pola pikir mandiri dan pola pikir

  orang lain; dan mengajar meliputi pendorongan siswa untuk melihat kembali dan merefleksikannya dalam proses belajar.

  

4) Belajar selalu melibatkan konteks sosial-budaya; jadi mengajar meliputi

  pemberian kesempatan untuk berkomunikasi dan bekerja sama dalam kelompok kecil atau dalam diskusi kelas.

  

5) Belajar merupakan pengkonstruksian pengetahuan dan keterampilan

  menuju bentuk yang terstruktur; dan mengajar melibatkan berbagai aspek yang saling berkaitan”.

c. Pengembangan Model Mandiri

  Pengembangan model mandiri berfungsi menjembatani jurang antara pengetahuan matematika tidak formal dan formal dari siswa. Di dalam pendidikan matematika realistik model matematika dimunculkan dan dikembangkan secara mandiri oleh siswa. Siswa mengembangkan model tersebut dengan menggunakan model-model matematika tidak formal dan formal yang telah diketahuinya. Dimulai dengan menyelesaikan masalah kontekstual dari situasi nyata yang sudah siswa kenal, kemudian ditemukan ‘model dari’ (model of) situasi tersebut (bentuk informal), dan kemudian diikuti dengan penemuan ‘model untuk’ (model for) bentuk tersebut (bentuk formal), hingga mendapatkan penyelesaikan masalah tersebut dalam bentuk pengetahuan matematika yang standar. Gravemeijer (1994) menyebutkan bahwa siswa belajar dari tahap situasi nyata, tahap referensi (pemodelan), generalisasi, dan tahap formal matematika.

2. Karakteristik PMR

  Sesuai dengan ketiga prinsip di atas, pendekatan matematika realistik memiliki lima karakteristik (Gravemeijer, 1994) yaitu:

  

a. Menggunakan masalah kontekstual. Masalah kontekstual dipandang

  sebagai titik awal pembelajaran dan peluang bagi aplikasi sehingga suatu konsep matematika yang diinginkan dapat muncul. Dunia nyata adalah segala sesuatu di luar matematika, seperti pelajaran lain selain matematika, atau kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita.

  

b. Menggunakan model. Model berkaitan dengan model situasi dan model

matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models).

  Model sebagai representasi dari suatu masalah untuk mempermudah penyelesaian masalah. Untuk itu siswa diarahkan pada pengenalan model, skema, dan simbolisasi dari pada mentransfer rumus atau matematika formal secara langsung.

  

c. Menggunakan kontribusi siswa. Kontribusi yang besar pada proses

  pembelajaran diharapkan datang dari siswa sendiri melalui kegiatan konstruksi, refleksi, antisipasi, maupun integrasi dalam pembelajaran sehingga dapat menemukan konsep-konsep maupun algoritma.

  

d. Terjadinya interaksi dalam proses pembelajaran. Negoisasi secara

  eksplisit, intervensi kooperasi, dan evaluasi sesama siswa dan guru adalah faktor penting dalam proses pembelajaran secara konstruktif dengan menggunakan strategi informal sebagai jantung untuk mencapai formal.

e. Menggunakan berbagai teori belajar yang relevan, saling terkait, dan

  terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya. Pendekatan holistik, menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara terpisah tetapi keterkaitan dan keterintegrasian harus diwujudkan dalam pemecahan masalah.

  Agar penerapan pendekatan matematika realistik optimal maka proses pembelajaran harus memunculkan prinsip dan karakteristik matematika realistik itu sendiri. Berdasarkan atas prinsip dan karakteristik tersebut dan kajian ilmiah (Suharta, 2001; Khabibah, 2001), maka dapat diajukan sintak (sintaksis) yang menunjukkan penerapan pendekatan matematika realistik, seperti diuraikan pada

tabel 2.1 berikut ini.Tabel 2.1 Sintak Implementasi Pendekatan Matematika Realistik dalam Kelas

  Ativitas Guru Aktivitas siswa Matematika Horisontal

  1.Mengajukan masalah kontekstual, dan meminta siswa menyelesaikan masalah yang diajukan guru baik secara individu maupun kelompok dengan cara mereka sendiri (model of)

  1.Siswa memahami masalah yang diajukan guru, dan mencoba menyelesaikan dengan cara-cara yang menurut pikiran/pengetahuan dan pengalaman mereka (strategi informal)

  2.Meminta salah seorang siswa untuk mewakili masing-masing kelompoknya mempresentasikan hasil kerjasama mereka.

  2.Beberapa siswa masing-masing mewakili kelompoknya mempresentasikan hasil kerja mereka.

  3.Membimbing siswa membahas hasil kerja siswa (membandingkan beberapa cara penyelesaian yang dibuat siswa).

  3. Membahas secara bersama-sama hasil kerja berupa penyelesaian masalah yang dibuat oleh seluruh siswa

  4. Membimbing siswa menemukan

  4. Menemukan konsep atau prinsip konsep atau prinsip matematika yang matematika yang sebenarnya (model sebenarnya dari aktivitas menyelesai- for) dibawah bimbingan guru. kan masalah-masalah kontekstual tersebut (model for).

  5. Mengajukan kembali beberapa

  5. Mencoba menyelesaikan masalah masalah kontekstual yang serupa dan yang diajukan guru dengan cara-cara meminta siswa berlatih yang mereka anggap benar atau menyelesaikannya. dengan konsep atau prinsip yang telah dipelajari sebelumnya.

  Matematika Vertikal

  6. Membimbing dan memfasilitasi

  6. Memahami konsep yang lebih siswa dalam memahami konsep yang tinggi dengan memanfaatkan konsep lebih tinggi dengan memanfaatkan yang diperoleh sebelumnya konsep yang diperoleh sebelumnya.

  7. Memberikan kesempatan kepada

  7. Berlatih menerapkan konsep/ siswa untuk berlatih menerapkan prinsip matematika yang dipelajari, konsep/ prinsip matematika terhadap soal-soal yang mereka buat. formal/abstrak yang dipelajari, dan meminta siswa membuat soal sendiri .

  

4. Keterkaitan Antara Kemampuan Berpikir Kritis dan Self Efficafcy

Dengan Pendekatan Matematika Realistik

  1. Hubungan Antara Kemampuan Berpikir Kritis dan PMR Menurut Somakim (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa untuk menumbuhkembangkan kemampuan berpikir kritis siswa diperlukan suatu pendekatan pembelajaran matematika yang mampu menumbuhkan berpikir kritis. Salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang dapat digunakan untuk mengembangkan berpikir kritis adalah pendekatan matematika realistik. Lebih lanjut Ruseffendi (2006) juga menyatakan bahwa untuk membudayakan berpikir

  

logis atau kemampuan penalaran serta bersikap kritis dan kreatif proses pembelajaran

dapat dilakukan dengan pendekatan matematika realistik.

  2. Hubungan Antara Self Efficacy dan PMR Dengan memperhatikan empat sumber Self-Efficacy dan tiga prinsip serta lima karakteristik PMRI, sangat dimungkinkan bahwa pelajaran matematika melalui pendekatan PMRI dapat membangun Self-Efficacy siswa. Hal itu dapat dilihat dari strategi belajar mengajar PMRI. Salah satu strategi yang dapat digunakan adalah guru dalam pelaksanaan pembelajaran haruslah mempersiapkan HLT (Hypothetical Learning Trajectori) (Gravemeijer, 2000). Dalam proses pembelajaran seorang guru harus mempersiapkan tujuan pembelajaran, konteks dan model dan aktivitas siswa dalam belajar. Dari HLT tersebut setiap siswa atau kelompok siswa akan mengembangkan sendiri aktivitas dan model of (bentuk informal) sampai menghasilkan model for (bentuk formal). Selama kegiatan pembelajaran guru akan berfungsi sebagai fasilitator dan moderator.

  Pada karakteristik pertama dan kedua, guru berfungsi sebagai fasilitator yaitu mempersiapkan kontekstual suatu materi matematika dan contoh model of serta lembar kerja siswa. Selanjutnya siswa diberikan kesempatan untuk menjelaskan pikiran dan pengertian atas hasil karyanya. Setiap bentuk atau hasil karya atau produk siswa, guru harus memberikan penguatan berupa verbal atau non verbal. Guru memberikan penguatan kepada siswa inilah wujud dari munculnya Self-Efficacy siswa. Dengan terbentuk kepribadian yang mempunyai kepercayaan diri yang kuat diharapkan kelak anak didik kita dapat mempunyai integritas dan karakter bangsa yang dapat membangun bangsa Indonesia yang lebih maju dan mandiri.

  3. Hubungan Antara Kemampuan Berpikir Kritis dan Self Efficacy Pada dasarnya Self fficacy berperan dalam tingkatan pencapaian yang akan diperoleh, segingga Bandura (Pajares, 2002) berpendapat bahwa Self

  

Efficacy menyentuh hampir semua aspek kehidupan manusia, apakah berpikir

  secara produktif, secara pesimis atau optimis, bagaimana mereka memotivasi diri, kerawanan akan stress dan depresi, dan keputusan yang akan dipilih. Self Efficacy juga merupakan faktor dari kemampuan berpikir kritis.

B. Penelitian Yang Relevan

  Somakim (2010) meneliti peningkatan kemampuan berpikir kritis dan Self

  

Efficacy matematika siswa SMP berdasarkan level sekolah. Populasi dalam

  penelitian ini adalah siswa SMP di kota Palembang, dengan sampel siswa SMP dari level sekolah tinggi, sedang dan rendah dengan jumlah subyek penelitian sebanyak 299 orang siswa. Hasil penelitian menunjukan bahwa proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR secara signifikan meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa pada semua level sekolah. Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis dipicu oleh pendekatan PMR. Melalui prinsip PMR, pembelajaran difokuskan pada kemampuan siswa dan penemuan kembali konsep-konsep matematika dengan perantara masalah kontekstual.

  Sejalan dengan Somakim. Hasratuddin (2010) melakukan penelitian dengan tujuan untuk mendeskripsikan perbedaan kemampuan berpikir kritis dan kecerdasan emosional siswa melalui pendekatan PMR berdasarkan peringkat sekolah dan gender. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMP kelas VIII di Kota Medan yang diambil secara acak dari sekolah peringkat tinggi, sedang dan rendah berdasarkan perolehan hasil Ujian Nasional Tahun 2008 yang dikeluarkan Diknas. Hasil penelitian menunjukan bahwa sekolah peringkat tinggi memiliki peningkatan kemampuan berpikir kritis yang lebih baik melalui pembelajaran PMR dibandingkan dengan sekolah peringkat sedang dan rendah.

  Bety wiliyati (2012) melakukan penelitian tentang peningkatan kemampuan berpikir kritis dan Self Efficacy melalui pendekatan investigasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang mendapatkan pendekatan investigasi lebih baik dari pada berpikir kritis matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Namun dari segi Self

  

Efficacy tidak terdapat perbedaan, hal ini disebabkan karena aspek psikologis anak

  yang memilki kecemasan terhadap matematika sehingga merubah kepercayaan dirinya terhadap matematika.

C. Kerangka Berpikir

  Pengembangan berpikir kritis matematik siswa sekolah menengah pertama adalah salah satu amanah kurikulum matematika. Sehingga proses pembelajaran matematika di kelas diharapkan bisa menekankan aspek kemampuan berpikir kritis matematis. Namun pada kenyataannya, proses pembelajaran di kelas masih prosedural dan berpusat pada guru, sehingga aspek kemampuan berpikir kritis terabaikan yang berimplikasi pada rendahnya hasil belajar siswa. Untuk itu diperlukan sebuah pendekatan pembelajaran yang bisa meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Dimana dengan kemampuan berpikir kritis akan membangkitan kemampuan matematika (doing math) siswa. Aktivitas kemampuan berpikir kritis dapat dimunculkan dalam hal menghadapi tantangan, hal-hal yang baru, non rutin, misal masalah kontekstual matematika. Kondisi- kondisi ini dapat diperoleh melalui pendekatan pembelajaran matematika realistik. Hal ini dapat dilihat pada karateristik dari PMR, yaitu pada tahap menggunakan kontribusi siswa. Kontribusi yang besar pada proses pembelajaran diharapkan datang dari siswa sendiri melalui kegiatan konstruksi, refleksi, antisipasi, maupun integrasi dalam pembelajaran sehingga dapat menemukan konsep- konsep maupun algoritma.

  Selain faktor kognitif dalam hal ini kemampuan berpikir kritis matematis, faktor non-kognitif juga sangat berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan matematika siswa. Salah satunya adalah kepercayaan diri (Self Efficacy) siswa terhadap matematika . Self Efficacy siswa sangat erat kaitannya dengan PMR. Hal ini dapat dilihat pada salah satu tahap dalam PMR, yaitu pada tahap penggunaan

  

model of. Pada tahap ini siswa diberikan kesempatan untuk menjelaskan pikiran

  dan pengertian atas hasil karyanya. Setiap bentuk atau hasil karya atau produk siswa, guru harus memberikan penguatan berupa verbal atau non verbal. Guru memberikan penguatan kepada siswa inilah wujud dari munculnya Self-Efficacy siswa.

  Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan Self Efficacy matematis siswa adalah Pendekatan Mtematika Realistik (PMR). PMR menekankan terbentuknya konsep atau prinsip matematik pada diri siswa melalui penemuan terbimbing dari gejala atau masalah kontekstual di dunia nyata. Dengan demikian matematika tidak diberikan sebagai barang jadi atau barang siap pakai, tetapi diberikan melalui kegiatan matematisasi, yaitu proses perkembangan dari dunia nyata ke-dunia matematika, dan proses perkembangan dari dunia matematika ke-dunia matematika juga. Model yang demikian ini didasarkan pada prinsip bahwa belajar matematika, untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap terhadap matematika harus melalui pengalaman konkrit, refleksi, konseptualisasi abstrak, dan eksperimentasi

  Uraian di atas memberi gambaran tentang kemampuan berpikir kritis dan

  

Self Efficacy. Untuk peningkatannya dapat dilakukan dengan pembelajaran yang

  menggunakan pendekatan matematika realistik. Dengan perkembangan dan peningkatan kemampuan berpikir kritis dan Self Efficacy tersebut, diharapkan dapat berimplikasi terhadap peningkatan hasil belajar matematika siswa. Berikut ini disajikan kerangka pemikiran keterkaitan kemampuan berpikir kreatif, dan pemecahan masalah matematik dengan pendekatan matematika realistik.

BERPIKIR KRITIS HASIL PMR

  BELAJAR SELF EFFICACY Gambar 2. 1 Diagram Alur Kerangka Berpikir

D. Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan kajian teoritis maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut: a. Peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang mendapatkan pembelajaran PMR lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.

  b. Peningkatan Self Efficacy siswa yang mendapatkan pembelajaran PMR lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.

  c. Terdapat asosiasi yang positif antara kemampuan berpikir kritis dan Self Efficacy.