Liberalisasi Sektor Kesehatan dan Pemenu

Liberalisasi Sektor Kesehatan dan Pemenuhan Hak Kesehatan Bagi
Masyarakat di Indonesia (Sebuah Kajian Hak Asasi Manusia)

Disusun Oleh :
Dhanny Saraswati

(8111416129)

Zaeda Zulfa

(8111416243)

Rombel 06 Hukum dan HAM

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017
1

Kata Pengantar
Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat rahmat
dan karunianya. Dalam rangka memenuhi tugas makalah hukum lingkungan
oleh Bapak Ridwan Arifin, S.H., LL.M. program studi Ilmu Hukum, Fakultas
Hukum, Universitas Negeri Semarang, sehingga makalah yang berjudul
“Liberalisasi Sektor Kesehatan dan Pemenuhan Hak Kesehatan Bagi
Masyarakat di Indonesia (Sebuah Kajian Hak Asasi Manusia)” ini dapat
terselesaikan. Kami selaku tim penyusun makalah ingin menyajikan

studi

kasus, putusan dan aspek Liberalisasi Sektor Kesehatan dan Pemenuhan Hak
Kesehatan

Bagi

Masyarakat di

Indonesia

yang juga


berkaitan

dengan

pemenuhan hak-hak fasilitas kesehatan bagi kalangan ekonomi menengah
kebawah. Seperti yang telah diketahui, dewasa ini marak terjadi kasus-kasus
pembedaan pelayanan di fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan puskemas
bagi

masyarakat

miskin

atau

kurang

mampu


dengan

pasien

yang

berkecukupan dan mampu membayar seluruh biaya rumah sakit secara pribadi
dan tunai
Makalah ini disajiakan mulai dari Bab I Pendahuluan yang meliputi: Latar
Belakang, Rumusan Masalah, dan Metode Penulisan. Bab II menguraikan
tentang Sub Pembahasan I, II

dan III, Bab III mengememukakan tentang

kesimpulan dan daftar isi.
Kami selaku tim penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, dengan kata lain masih banyak kekurangan data baik dari segi data
yang diperoleh dari berbagai sumber yang sudah tidak relevan lagi maupun
dari tata cara dan tata bahasa penyusunan buku ini. Untuk itu dengan segala
kerendahan


hati

kami

mengundang

kepada

para

pembaca

untuk

menyampaikan kritik dan saran kepada kami agar kiranya makalah ini menjadi
lebih baik dan berkualitas. Demikian harapan kami, semoga makalah ini dapat
memberikan sumbanga pemkiran kepada para pemuda.
Semarang, 6 Oktober 2017


2

Penulis

3

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...................................................................................1
KATA PENGANTAR....................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN..............................................................................4
1.1.Latar Belakang...........................................................................4
1.2.Rumusan Masalah......................................................................5
1.3. Metode Penulisan......................................................................6
BAB II PEMBAHASAN................................................................................7
2.1.Rumusan Masalah Pertama........................................................7
2.2.Rumusan Masalah Kedua...........................................................9
2.3. Rumusan Masalah Ketiga.........................................................12
BAB III KESIMPULAN................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................18

4

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Hak Asasi Manusia (HAM) yang dpahami sebagai hak yang secara kodrati
dimiliki oleh

setiap orang tanpa

berdasarkan

golongan,

kelompok

pengecualian dan keistimewaan baik
maupun


tingkat

sosial

tertentu,

menempatkan HAM sebagai isu utama yang diperbincangkan berbagai
kalangan di segala jaman.Perhatian dan perjuangan umat manusia terhadap
HAM sesungguhnya telah berjalan seiring dengan perkembangan peradaban
mencapai kemuliaan kehidupan manusia. Perhatian dan perjuangan umat
manusia untuk memenuhi hak-haknya ini telah mendorong mereka untuk hidup
secara

berkelompok

dan

berorganisasi.


Pembentukan

negara

adalah

manifestasi keinginan untuk hidup berkelompok guna melindungi kemanusiaan
dan hak asasi manusia. Negara memperoleh kekuasaan dari warga negaranya
sebagai pemegang kedaulatan semata-mata untuk memenuhi dan melindungi
hak asasi warga negara. Konsep inilah yang kemudian melahirkan prinsip
demokrasi dimana negara adalah “dari, oleh dan untuk” rakyat. Konsep ini pula
yang mendasari ketentuan Internasional bahwa kewajiban perlindungan dan
pemajuan HAM utamannya ada pada negara. Dengan kata lain, negara adalah
pemegang kewajiban ( duty bearer ) HAM wargannya. Jaminan yang diberikan
negara atas HAM wargannya ini bukan berarti bahwa hak-hak tersebut lahir
setelah

negara

meratifikasi


konvensi

internasional

tentang

HAM

atau

mengeluarkan peraturan apa pun yang menjamin hak asasi wargannya, tapi
lebih merupakan tanggung jawab negara dalam menjamin hak-hak yang telah
dimiliki oleh setiap warga negaranya secara kodrati dan memperlihatkan
penghargaan negara atas hak-hak tersebut. Kewajiban untuk menegakkan HAM
adalah kewajiban yang tidak dapat dipungkiri oleh negara, karena merupakan
bagian dari kewajiban negara untuk melindungi kepentingan umat manusia
(prinsip obligation erga omnes). Manusia memerlukan jaminan perlindungan
bagi hak-hak pribadi untuk mengekspresikan kepentingan masyarakat yang
menghendaki agar perlindungan hak-hak tersebut ditindaklanjuti dengan

pengaturan dalam hukum. Secara konseptual dapat dikatakan bahwa HAM
memiliki dua dimensi, yaitu dimensi moral dan dimensi hukum. Dimensi yang
pertama, yaitu dimensi moral dari HAM, artinya bahwa HAM adalah hak yang
5

tidak dapat dipisahkan dan dicabut (non-derogable rights),karena hak tersebut
merupakan hak manusia karena ia adalah manusia. Dalam hal ini HAM adalah
hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia, dan umat
manusia memilikinnya bukan karena diberikan kepadannya oleh masyarakat
atau

berdasarkan

hukum

positif,

melainkan

semata-mata


berdasarkan

martabatnya sebagai manusia. Pemahaman tersebut dapat dimengerti karena
sesungguhnya HAM bermula dari gagasan bahwa manusia tidak boleh
diperlakukan semena-mena oleh kekuasaan, karena manusia memiliki hak
alamiah yaitu hak yang melekat pada manusia terlepas dari segala adat
istiadat atau aturan tertulis1. Hak alamiah ini mendahului proses legal, kultural,
ekonomi dan sosial manusia dalam komunitasnya, karena hak ini diberikan oleh
kekuasaan sang pencipta, yaitu Tuhan YME. Inilah yang menjadi akar
religiusitas HAM yang menempatkan manusia pada posisi setara, sehingga
manusia

harus

saling

menghormati

dan

memahami

bahwa

hak

yang

dinikmatinya tidak boleh melanggar hak orang lain 2. Makalah ini akan
membahas keterkaitan antara Hak Asasi Manusia yang ditinjau dari segi
pemenuhan hak-hak masyarakat akan fasilitas kesehatan di Indonesia. Apakah
pemenuhan kebutuhan masyarakat di Indonesia akan fasilitas kesehatan sudah
cukup baik dan memadai bagi seluruh lapisan masyarakat yang ada di
Indonesia? Pembahasan kali ini akan dirangkum dalam makalah berjudul
“Liberalisasi Sektor Kesehatan dan Pemenuhan Hak Kesehatan Bagi Masyarakat
di Indonesia (Sebuah Kajian Hak Asasi Manusia)”. Dalam rumusan rumusan
masalah yang ada di makalah ini akan dijabarkan bagaimana gambaran
pemenuhan hak-hak masyarakat akan fasilitas kesehatan yang memadai dan
merata bagi semua kalangan masyarakat yang membutuhkan fasilitas
kesehatan tersebut. Dalam rumusan masalah yang ada pada makalah ini juga
dianalisis satu contoh kasus yang menggambarkan permasalahan sebagian
masyarakat Indonesia yang belum mendapatkan fasilitas kesehatan secara adil
dan memadai sesuai dengan kebijakan pemerintah Indonesia. Pada dasarnya
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi pandangan filsafat, dan tradisi
politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan
1
Rocky Gerung, 2006, Hak Asasi Manusia, Teori Hukum, Filsafat UI Press, Jakarta, Hlm.6-7.
2 Rahayu, 2015, Hukum Hak Asasi Manusia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang,
Semarang, Hlm. 5

6

hak adalah nilai politik yang utama.Secara umum, liberalisme mencita-citakan
suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para
individu.Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari
pemerintah dan agama.Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat
tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama
didasarkan pada kebebasan mayoritas.Banyak suatu negara yang tidak
mematuhi peraturan tersebut. Liberalisme dalam hal pemenuhan hak-hak
kesehatan akan dibahas selanjutnya berikut ini dan akan dipaparkan hal-hal
yang menjadi kendala dalam usaha pemenuhan hak-hak tersebut.
B.Rumusan Masalah
1.Apakah makna dari liberalisme dalam sektor kesehatan?
2.Bagaimanakah hubungan antara pemenuhan Hak Kesehatan Bagi Masyarakat
dengan Hak Asasi Manusia?
3.Apakah di Indonesia ada kendala atau masalah mengenai pemenuhan hak
kesehatan bagi masyarakatnya di berbagai kalangan?
C.Metode Penulisan
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis kali ini adalah metode
penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian ini adalah library research
(penelitian

kepustakaan),

yaitu

penelitian

yang

dilaksanakan

dengan

menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa Buku, Jurnal Nasional, Jurnal
Internasional, dan Artikel Jurnal yang bersumber dari Unnes Law Journal.
Penelitian kepustakaan atau library research mungkin sudah sangat familiar
bagi mahasiswa akhir yang menggunakan metode penelitian kualitatif. Bahkan
ada yang beranggapan bahwa kualitatif tidak lepas dari kepustakaan yang
hanya berhubungan dengan tumpukan referensi buku saja. Padahal library
research hanya salah satu jenis metode penelitian kualitatif. Dalam makalah
kali ini kita akan membahas apa sebenarnya riset pustaka? Riset pustaka
memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya.
Tegasnya riset pustaka membatasi kegiatannya hanya pada bahan-bahan
koleksi perpustakaan saja tanpa melakukan riset lapangan. Riset pustaka tidak
hanya sekedar urusan membaca dan mencatat literatur atau buku sebanyakbanyaknya sebagaimana yang sering dipahami banyak orang selama ini. Apa
yang disebut riset pustaka atau sering juga disebut studi pustaka,ialah

7

rangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data
pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.

Gambar 1 .Gambaran Umum Metode Library
Research
Ciri ciri metode kepustakaan atau library research antara lain yang pertama
adalah Peneliti berhadapan langsung dengan teks (nash) atau data angka dan
bukan

dengan

pengetahuan

langsung

dari

lapangan

atau

saksi

mata

(eyewitness) berupa kejadian,orang atau benda-benda lainnya. Yang kedua
adalah Data pustaka bersifat ‘siap pakai’ (ready made). Artinya peneliti tidak
pergi kemana mana, kecuali hanya berhadapan langsung dengan bahan
sumber yang sudah tersedia di perpustakaan. Yang ketiga yaitu Data pustaka
umumnya adalah sumber sekunder, dalam arti bahwa peneliti memperoleh
bahan dari tangan kedua dan bukan data orisinil dari tangan pertama di
lapangan. Dan yang keempat adalah Kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh
ruang dan waktu. Peneliti berhadapan dengan informasi statik,tetap. Dalam
penulisan metode library research persoalan penelitian tersebut hanya bisa
dijawab lewat penelitian pustaka dan sebaliknya tidak mungkin mengharapkan
datanya dari riset lapangan. Studi sejarah umumnya menggunakan metode
library

research,

selain

itu

penelitian

studi

agama

dan

sastra

juga

menggunakan metode ini. Studi pustaka diperlukan sebagai salah satu tahap
tersendiri, yaitu studi pendahuluan (prelinmary research) untuk memahami
lebih dalam gejala baru yang tengah berkembang di lapangan atau dalam
masyarakat. Ahli kedokteran atau biologi, misalnya, terpaksa melakukan riset
pustaka untuk mengetahui sifat dan jenis-jenis virus atau bakteri penyakit yang
belum dikenal. Data pustaka tetap andal untuk menjawab persoalan penelitiannya. Bukankah
8

perpustakaan merupakan tambang emas yang sangat kaya untuk riset ilmiyah. Informasi atau data
empiric yang telah dikumpulkan orang lain, berupa laporan hasil penelitian atau laporan-laporan
resmi, buku-buku yang tersimpan dalam perpustakaan tetap dapat digunakan oleh periset
kepustakaan. Hal tersebut merupakan gambaran umum library research.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Makna Liberalisme Dalam Sektor Kesehatan
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa makna dasar dari
liberalisme adalah adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi
politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan
hak adalah nilai politik yang utama Secara umum, liberalisme mencita-citakan
suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para
individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari
pemerintah dan agama. Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat
tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama
didasarkan pada kebebasan mayoritas. Banyak suatu negara yang tidak
mematuhi peraturan tersebut. Kaitan

antara liberalisme dengan sektor

kesehatan terlihat pada sistem pemenuhan kesehatan bagi masyarakat yang
ditentukan oleh masing masing intansi kesehatan bukan lagi oleh pemerintah.
Hal ini diwujudkan dengan cara didirikannya layanan layanan kesehatan yang
berorientasi terhadap keuntungan layaknya sebuah komoditi bisnis semata.
Citra rumah sakit yang dulu dikenal akan fungsi sosialnya, kini redup lalu
berganti bentuk dengan tampilan barunya yang lebih berorientasi untuk
kepentingan bisnis. Saat ini bukan hanya bermunculan rumah sakit swasta
( beberapa di antarannya memasang label “internasional” ) dengan target
target pendapatan lewat jasa layanan kesehatan dan tingkat hunian kamar
seperti layaknya dunia perhotelan, rumah sakit pemerintah (pusat) pun mulai
ikut-ikutan. Lebih ironis lagi, banyak pemerintah daerah—baik provinsi maupun
kabupaten/kota—yang mulai mengalokasikan dana untuk membangun rumah
sakit
Kesenjangan

yang
pengetahuan

berorientasi
medis

tentang

masalah

keuntungan.
kesehatan

dan

penanganannya memang menjadi salah satu faktor lemahnya posisi pasien
atau konsumen berhadapan dengan pengelola jasa layanan kesehatan.Namun,
banyak kalangan percaya bahwa akar dari semua itu berawal dari sistem
9

layanan kesehatan di negeri ini yang sepenuhnya diserahkan kepada
mekanisme pasar. Akibatnya, aroma komersial terasa kental pada hampir
setiap tindakan terhadap pasien, sementara fungsi sosial layanan kesehatan
tertinggal jauh di belakang.Apabila dilihat dari luar, rumah sakit kelihatannya
kini makin komersial dan meninggalkan fungsi-fungsi sosial. Sebetulnya fungsi
sosial tetap jalan. Gawat darurat kan selalu dilayani kata dr Adib Abdullah
Yahya, Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia.Menurut
Adib, aroma komersial itu dirasakan pihak luar lantaran rumah sakit harus
menghidupi

dirinya

sendiri.

Rumah

sakit,

kan,

harus

hidup

sehingga

menerapkan tarif-tarif sesuai dengan biaya per unit.Sebaliknya, dokter Kartono
Mohamad—pakar kesehatan yang juga mantan Ketua Umum Pengurus Besar
Ikatan Dokter Indonesia—melihat pelayanan kesehatan di Indonesia memang
cenderung liberal. Semua diserahkan kepada pasar. Malah tiap langkah
layanan dikenai tarif tanpa ada aturan yang jelas. Pemodal yang membuka jasa
layanan

kesehatan

kini

cenderung

hanya

berorientasi

mencari

keuntungan.Bahkan, kata Kartono, untuk mengangkat jahitan seusai operasi
pun dikenai tarif terpisah dari operasi itu sendiri. Demikian pula kontrol atas
keadaan seusai tindakan sepertinya dianggap bukan merupakan bagian dari
tanggung jawab pascatindakan, tetapi sebagai langkah baru yang dikenai tarif
tersendiri.Bukan hanya pengenaan tarif terpisah yang dipersoalkan. Besaran
tarif juga tidak jelas karena ditentukan sendiri oleh pengelola jasa layanan
kesehatan.Seharusnya,

kata

Kartono,

model

layanan

kesehatan

yang

berasaskan fee for service semacam ini—di mana tiap langkah layanan dikenai
tarif

tersendiri—diubah

menjadi

sistem

asuransi

dengan

segera

memberlakukan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional yang sudah lima tahun
”ditidurkan”.Dalam perspektif pasar, segala sesuatu memang diukur dari
seberapa besar kapitalisasi bergulir. Kenyataan ini, meski kerap disanggah oleh
pemerintah, yang secara umum berlaku dalam sistem pelayanan kesehatan di
negeri ini. Dalam bahasa Radhar, esensi pelayanan termanipulasi oleh fasilitas
dan

harga,

sementara

diskriminasi

terhadap

pasien

justru

kian

ditegakkan.Lebih celaka lagi, tentu saja bagi pasien, tidak ada lembaga
pengawas yang mengoreksi kalau ada kesalahan dalam pelayanan. Belum ada
perundang-undangan yang khusus mengatur soal layanan kesehatan di rumah
sakit, termasuk di dalamnya terkait kontrol dan prosedur pelayanan terhadap
10

pasien. Pemerintah yang seharusnya bertindak sebagai regulator dan wasit
malah ikut bermain.Membaca berbagai kasus yang muncul ke permukaan,
Hasbullah Thabrany—ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia—
mengingatkan pemerintah agar segera menyadari bahwa ada kegagalan pasar
dalam pelayanan kesehatan. Penerapan mekanisme pasar dalam pelayanan
rumah sakit dan pelayanan kesehatan, tambahnya, tidak akan dan tidak
pernah

menguntungkan

konsumen.Peringatan

serupa

juga

disampaikan

sejumlah ahli kesehatan yang tergabung dalam Forum Peduli Kesehatan
Rakyat. ”Seluruh literatur telah membuktikan kegagalan mekanisme pasar
dalam pelayanan kesehatan. Fakta di dunia, semakin banyak dokter dan rumah
sakit, harga pelayanan semakin mahal. Bahkan, rumah sakit publik milik
pemerintah ikut bersaing dalam (sistem) mekanisme pasar,”
B.Hubungan antara Pemenuhan Hak Kesehatan Bagi Masyarakat
dengan Hak Asasi Manusia
Berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 seperti yang dijelaskan 3
pada Bab III Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia pada Bagian
Kesatu Hak Untuk Hidup Pasal 9 pada ayat 3 menyatakan bahwa setiap orang
berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Serta pada pasal 62
menyatakan

bahwa

setiap

anak

berhak

untuk

memperoleh

pelayanan

kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan
mental spiritualnya. Pernyataan diatas menunjukan adanya keterkaitan antara
pemenuhan hak kesehatan bagi masyarakat dengan Hak Asasi Manusia. Yang
mana hak-hak atas pemenuhan kesehatan seperti layanan dan fasilitas
kesehatan merupakan suatu hak bagi masyarakat yang wajib dipenuhi oleh
pemerintah. Pemenuhan hak-hak kesehatan bagi masyarakat merupakan salah
satu bentuk penegakan Hak Asasi Manusia dan bagian dari cita-cita Perjuangan
Bangsa. Dari pendekatan kultural (budaya) terbukti perjuangan menegakkan
hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan bagian dari tuntutan sejarah
dan budaya dunia4 termasuk Indonesia. Karena itu, memperjuangkan HAM
sama

dengan

memperjuangkan

budaya

bangsa

atau

“membudayakan”

bangsa. Faktanya pada masa masa sekarang, pelayanan kesehatan bermutu
3 Mahsyur Effendi, 2005,Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia & Proses Dinamika
Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM),Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, Hlm. 26.
4 Mahsyur Effendi, 2010,HAM Dalam Dinamika/Dimensi Hukum,Politik,Ekonomi, dan Sosial,
Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, Hlm. 143.

11

yang berorientasi pelanggan atau pasien menjadi strategi utama bagi
organisasi pelayanan kesehatan di Indonesia, agar tetap eksis di tengah
persaingan global yang semakin kuat. Salah satu strategi yang paling tepat
dalam mengantisipasi adanya persaingan terbuka adalah melalui pendekatan
mutu paripurna yang berorientasi pada proses pelayanan yang bermutu, dan
hasil mutu pelayanan kesehatan yang sesuai dengan keinginan pelanggan atau
pasien.Mutu pelayanan merupakan suatu bentuk penilaian konsumen terhadap
tingkat pelayanan yang diterima dengan tingkat layanan yang diharapkan.
Mutu

pelayanan

kesehatan

yang

diberikan

menunjuk

pada

tingkat

kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam memenuhi kebutuhan dan tuntutan
setiap pasien, semakin sempurna kebutuhan dan tuntutan setiap pasien, maka
semakin baik pula mutu pelayanan kesehatan.Mutu pelayanan kesehatan di
rumah sakit sangat dipengaruhi oleh proses pemberian pelayanan 5 Oleh karena
itu, dalam peningkatan mutu faktor-faktor kualitas sarana fisik, tenaga yang
tersedia, obat dan alat kesehatan termasuk sumber daya manusia dan
profesionalisme sangat dibutuhkan agar pelayanan kesehatan yang bermutu
dan

pemerataan

pelayanan

kesehatan

dapat

dinikmati

oleh

seluruh

masyarakat. Kualitas jasa yang dihasilkan rumah sakit akan berpengaruh
terhadap pelanggan, peningkatan kualitas jasa berdampak pada loyalitas
pelanggan.

Selain

itu,

customer

akan

memberikan

informasi

kepada

masyarakat mengenai pelayan yang terdapat di rumah sakit tersebut sehingga
jumlah kunjungan pasien baru akan meningkat. Meningkatnya jumlah pasien
akan berpengaruh pada pendapatan rumah sakit. Kepuasan pasien menjadi
bagian integral dari kegiatan jaminan mutu pelayanan kesehatan. Artinya,
pengukuran tingkat kepuasan pasien harus menjadi kegiatan yang tidak dapat
dipisahkan dari pengukuran mutu layanan kesehatan. Dimensi kepuasan pasien
menjadi salah satu dimensi mutu pelayanan kesehatan yang sangat penting.
Kualitas pelayanan yang baik akan menimbulkan kepuasan pada pelanggan
atau pengguna jasa layanan (pasien). Kepuasan pelanggan adalah indikator
utama dari standar suatu fasilitas kesehatan. Ukuran mutu pelayanan,
kepuasan pelanggan yang rendah akan berdampak terhadap jumlah kunjungan
yang akan mempengaruhi provitabilitas fasilitas kesehatan tersebut. Sikap
5Arum Puteri Nurdhila, “Hubungan Mutu Pelayanan dengan Kepuasan Pasien Peserta BPJS di
Rumah Sakit Umum Daerah Yogyakarta”, Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat, Vol.11 No.2,
September 2017, hlm 165-173.

12

karyawan terhadap pelanggan juga akan berdampak terhadap kepuasan
pelanggan dimana kebutuhan pelanggan dari waktu ke waktu akan meningkat.
Pengukuran kepuasan pelanggan merupakan salah satu cara untuk mengukur
penampilan rumah sakit dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pengawasan terhadap pelayanan yang diberikan pada pasien harus selalu
dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan. Faktanya,
pelayanan kepada pasien miskin yang diberikan secara berbeda masih sering
terjadi. Pembahsan ini bertujuan mendapatkan informasi tentang pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit kepada masyarakat miskin di
beberapa wilayah Indonesia. Subjek kajiannya adalah masyarakat miskin yang
sedang dan/atau pernah mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit di
beberapa wilayah Indonesia. Hasil kajian memperlihatkan bahwa pasien miskin
di rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta, umumnya memiliki
tingkat kepuasan yang kurang memadai, di antaranya pada pelayanan
administrasi yang dinilai rumit, berbelit, kurang informasi, petugas yang kurang
ramah, tidak diberikan resep obat generik, dan pelayanan yang memakan
waktu cukup lama. Selain itu, keharusan membayar uang muka juga menjadi
penghalang bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
di rumah sakit. Selain pelayanan fasilitas kesehatan di rumah sakit, masyarakat
di era global juga membutuhkan layanan fasilitas asuransi jiwa. Hal ini
disediakan oleh perusahaan asuransi jiwa menawarkan proteksi bagi kehidupan
manusia yang bertujuan untuk memberikan rasa aman dan nyaman serta
memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi resiko6 Hal hal mengenai detail
mengenai

masalah

penerimaan

fasilitas

kesehatan

yang

dialami

oleh

masyarakat kalangan bawah selanjutnya akan dibahas di rumusan masalah
yang ketiga nanti. Adapun para pihak yang terkait dalam pelayanan kesehatan
menurut undang-undang 36 tahun 2009 tentang kesehatan yakni dalam pasal
1 butir 6 menyatakan bahwa tenaga kesehatan adalah setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan
dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk
jenis tertentu yang memerlukan kewenangan untuk melakukan kesehatan.
Akan tetapi pada jaman dahulu sebelum undang-undang kesehatan 36 tahun
2009 belum diberlakukan tenaga kesehatan ada dua macam yaitu tenaga
6 Rheza Imadasari , “Penyelesaian Klaim Asuransi Jiwa Menurut Klaim Ex-Gratia”, Unnes Law
Journal, Vol.2 No.2, Oktober 2017, hlm 1.

13

medis dan para medis, tenaga medis yaitu Tenaga medis adalah tenaga ahli
kedokteran dengan fungsi utamanya

adalah memberikan pelayanan medis

kepada pasien dengan mutu sebaik-baiknya dengan menggunakan tata cara
dan teknik berdasarkan ilmu kedokteran dan etik yang berlaku serta dapat
dipertanggungjawabkan akan tetapi seiring dengan perkembangan jaman
regulasi dan definisi serta pemahaman tentang hal demikian telah mengalami
pergeseran7. Kualitas pelayanan di rumah sakit menjadi salah satu faktor
penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk kesehatan. Di sisi lain,
kualitas pelayanan di rumah sakit tampil dengan fenomena yang unik, karena
dimensi dan indikator yang berbeda antara orang-orang yang terlibat dalam
pelayanan. Untuk mengatasi perbedaan tersebut, seharusnya digunakan
pedoman dasar penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang memenuhi
kebutuhan dan tuntutan para pemakai jasa pelayanan kesehatan. Mutu
pelayanan

terarah

pada

pelayanan

kesehatan

yang

sempurna

dalam

memenuhi kebutuhan dan tuntutan setiap pasien. Dengan demikian, mutu
pelayanan kesehatan adalah segala yang menunjukkan tingkat kesempurnaan
pelayanan kesehatan yang menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien.
Namun, sampai kini masalah penyalahgunaan hak konsumen pelayanan
kesehatan di rumah sakit makin berkembang terjadi tanpa dirasakan oleh
pihak rumah sakit, apalagi apabila konsumen tidak mengungkapkan keluhan
secara formal. Meskipun tidak dipermasalahkan, penyalahgunaan hak ini pada
dasarnya merupakan masalah. Penyimpangan yang terjadi secara terus
menerus akan merusak berbagai upaya baik yang telah diupayakan dan
mempengaruhi pandangan positif masyarakat. Penyalahgunaan hak pasien di
rumah sakit dapat terjadi karena ketidaktahuan, sikap dominan, beban kerja
berlebihan dan faktor ekonomi8 Bagi masyarakat miskin, ketidakpuasan
terhadap pelayanan kesehatan yang buruk di rumah sakit, sering kali diterima
dengan pasrah. Orang miskin sering menjadi korban dari sistem kesehatan
yang tidak adil dan diskriminatif. Sementara bagi orang kaya, ketidakpuasan
atas pelayanan demikian, sudah cukup memberi alasan untuk berobat ke
dokter atau rumah sakit luar negeri yang jauh lebih mahal. Akibatnya,
pertumbuhan

perumahsakitan

yang

berlebel

“internasional”

semakin

7 Mustajab, “Analisis Yuridis Hubungan Hukum Antara Dokter dan Pasien Dalam Pelayanan
Kesehatan”, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol.1 No.4, Juli 2013, hlm 1-11.
8 Tri Rini Puji Lestari, “Pelayanan Rumah Sakit bagi Masyarakat Miskin (Studi Kasus di Enam
Wilayah Indonesia)”, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol.5 No.1, Agustus 2010, hlm 1-8.

14

menjamur di Indonesia. Pada pembahasan rumusan masalah yang ketiga akan
dijabarkan mengenai kendala atau masalah

yang ada di suatu wilayah di

Indonesia yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak kesehatan.
C.Kendala atau Masalah yang Berkaitan dengan Upaya Pemenuhan
Hak Kesehatan Bagi Masyarakat di Berbagai Kalangan?
Pada pembahasan rumusan masalah kali ini penulis akan memaparkan
dengan mengambil satu contoh masalah yang diambil dari artikel jurnal
berjudul “Kualitas Pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah (Studi Tentang
Kepuasan Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas Pada Rumah Sakit Umum
Daerah Kabupaten Indramayu)”.Dalam konteks ini, Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) sebagai operator terdepan pelayanan publik sektor kesehatan di
daerah kerapkali menjadi sorotan publik terkait dengan aspek kualitas
pelayanannya yang dinilai masih rendah, terutama bagi kalangan masyarakat
miskin. Hal ini mudah dipahami mengingat RSUD merupakan organisasi
pemerintah yang memiliki peranan strategis dalam peningkatan derajat
kesehatan masyarakat di daerahserta dalam penyelenggaraan layanan bersifat
nirlaba, dalam pengertian, sektor ini harus lebih mengedepankan fungsi sosial
ketimbang fungsi ekonominya.Dalam pelayanan publik sektor kesehatan,
masyarakat miskin mendapatkan perhatian ekstra bukan hanya karena
tingginya jumlah penduduk miskin dari data yang dimiliki pemerintah,
melainkan karena kondisi sosial dan psikologis mereka cenderung menjadikan
mereka rentan untuk mendapatkan perlakuan diskriminatif dalam mengakses
pelayanan tersebut9Harus kita akui bahwa perhatian pemerintahsemakin
meningkat dengan hadirnya sejumlah program asuransi kesehatan bagi
kalangan masyarakat ini,namun program tersebut ternyata masih menyisakan
berbagai persoalan, terutama di seputar sikap dan etika pelayanan dari
penyelenggara pelayanan. Pihak penyelenggara pelayanan pada umumnya
memiliki pandangan yang streotipe terhadap kalangan ini sebagai pihak yang
memanfaatkan sumberdaya birokrasi pelayanan tanpa memberikan kontribusi
pemasukan kepada sumber daya birokrasi itu sendiri. Sebaliknya dari sisi
masyarakat miskin, pendidikan yang rendah dan akses terhadap pengetahuan
yang sangat minim, menyebabkan mereka kurang menyadari hak-hak mereka
9 Budi Mulyawan,” Kualitas Pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah (Studi Tentang Kepuasan
Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas Pada Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
Indramayu)”,Jurnal Aspirasi, Vol.5 No.2, Februari 2015, hlm 1-62.

15

sebagai warga negara (civil right) dalam memperoleh pelayanan kesehatan.Hal
tersebut menjadi penyebab rendahnya kontrol sosial masyarakat miskin
terhadap pihak penyelenggara pelayanan, sehingga penyelenggara pelayanan
tidak

berusaha

untuk

melakukan

perbaikan

kualitas

pelayanan

yang

berimplikasi pada buruknya kualitas pelayanan. Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Kabupaten Indramayu merupakan salah satu SKPD di Kabupaten
Indramayu yang memiliki statusRumah Sakit tipe B dengan menyelenggarakan
13 unit pelayanan.Jumlah pasien yang melakukan kunjungan ke RSUD ini dari
tahun ke tahun memperlihatkan kecenderungan meningkat, baik kunjungan
pasien rawat jalan maupun rawat inap. Adapun dari sisi kunjungan pasien
rawat inap, data tahun 2011sampai dengan tahun 2013 menunjukkan fluktuasi.
Namun demikian, selama jangka waktu tiga tahun tersebut kunjungan
kalangan keluarga miskin yang menggunakan fasilitas Jamkesmas dan Surat
Keterangan Tidak Mampu (SKTM) selalu berada di atas 50% dari total
kunjungan rawat inap. Beranjak dari latar belakang, maka yang menjadi fokus
dari studi ini adalah kepuasan pasien rawat inap peserta Jamkesmas RSUD
Kabupaten

Indramayu,

menimbang

dalam

paradigma

penyelenggaraan

pelayanan publik dewasa ini yang menjadi parameter berkualitas tidaknya
organisasi penyelenggara layanan adalah kepuasan pelanggan (customer
satisfaction). Selanjutnya perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana kepuasan pasien rawat inap peserta Jamkesmas pada RSUD
Kabupaten Indramayu? Adapun tujuannya untuk memahami konsep dan teori
dalam memecahkan permasalahan yang aktual di lapangan, khususnya dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Untuk menjamin akses penduduk miskin
terhadap pelayanan kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam UndangUndang Dasar 1945, sejak tahun 2005 telah diupayakan untuk mengatasi
hambatan dan kendala tersebut melalui pelaksanaan kebijakan Program
Jaminan

Pemeliharaan

Kesehatan

Masyarakat

Miskin.

Program

ini

diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan melalui penugasan kepada PT
Askes (Persero) berdasarkan SK Nomor 1241/Menkes /SK/XI/2004, tentang
Penugasan PT Askes (Persero) dalam pengelolaan program pemeliharaan
kesehatan bagi masyarakat miskin. Untuk menghindari kesalahpahaman dalam
penjaminan terhadap masyarakat miskin yang meliputi sangat miskin, miskin,
dan mendekati miskin, program ini berganti nama menjadi Jaminan Kesehatan
16

Masyarakat yang selanjutnya disebut Jamkesmas dengan tidak ada perubahan
jumlah sasaran.Tujuan umum Jamkesmas adalah meningkatnya akses dan
mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh masyarakat miskin dan tidak
mampu agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara
efektif dan efisien. Aspek Kepuasan Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas
pada RSUDKabupaten Indramayu. Seluruh informan yang menjadi subjek
dalam penelitian ini memiliki harapan untuk mendapatkan pertolongan dan
pelayanan yang baik ketika menjalani perawatan, baik dari segi kenyamanan,
fasilitas, keramahan perawat dan petugas rumah sakit, ketelitian dokter dan
perawat dalam menangani mereka. Harapan seperti ini dikemukakan oleh
seorang informan yangsudah tiga hari menjalani rawat inap karena penyakit
typus yang dideritanya: “…yang saya harapkan pastinya dari segi kenyamanan
dan kemudian fasilitas yang memadai, lalu keramahan perawat, kesigapan dan
ketelitian dokter dan perawat dalam merawat saya.” Selanjutnya ketika
informan

tersebut

diminta

tanggapannya

mengenai

kesesuaian

antara

harapannya itu dengan realita yang dialami setelah beberapa hari menjalani
perawatan, informan menjawab tidak sepenuhnya, bahkan banyak hal yang
tidak sesuai dengan harapannya. “Sejauh yang saya ketahui, rumah sakit
merupakan tempat yang seharusnya jauh dari kegaduhan dan mengutamakan
kenyamanan.” Dengan demikian, kenyataan yang dialami berbeda dengan
harapannya. Ketika pertanyaan yang sama ditujukan kepada beberapa
informan lain, ditemukan enam orang yang memberikan esensi jawaban sama,
yakni pelayanan RSUD Kabupaten Indramayu tidak sesuai dengan harapan
mereka karenapelayanannya tidak terlalu baik. Pelayanan yang dimaksud
ditujukan pada aspek keramahan dan sopan santun (courtesy) serta kecepatan
dalam menanggapi permintaan medis. Adapula informan yang merasa tidak
puas terhadap pelayanan rumah sakit yang ditujukan pada dimensi reliability,
yakni keandalan pelayanan yang diberikan pihak rumah sakit, seperti
pernyataan informan berikut: “Saya tidak puas dengan pelayanan rumah sakit
ini karena sudah pulang kambuh lagi dan dirawat lagi.” Menurut informan
tersebut, rawat inap yang dijalaninya saat ini merupakan yang kedua kalinya.
Rawat inap pertama dijalaninya selama 3 hari, baru pulang selama 4 hari,
penyakitnya kambuh dan harus menjalani rawat inap kembali. Kejadian seperti
ini menurut pihak rumah sakit, seringkali terjadi disebabkan banyak pasien
17

yang memaksa pulang ke rumah walaupun dokter belum merekomendasikan
kesembuhan bagi pasien bersangkutan. Kasus seperti ini yang dikonstatir
menjadi salah satu penyebab masih rendahnya capaian ALOS (Average Length
of Stay) atau rata-rata lamanya pasien dirawat di rumah sakit tersebut. Studi
ini menginformasikan bahwa sebagian besar informan memiliki keinginan
untuk secepatnya sembuh dan segera pulang ke rumah. Suatu keinginan dan
harapan yang tentunya ada pada diri setiap orang yang sedang menjalani
perawatan di rumah sakit, walaupun mereka dibebaskan dari biaya perawatan
maupun pengobatan. Dengan demikian, pasien yang pulang paksa tidak
semata-mata karena kualitas pelayanan yang buruk. Kualitas pelayanan yang
baik pun tidak sepenuhnya menjamin pasien betah untuk berlama-lama
dirawat di sebuah rumah sakit, menimbang bahwa pasien rawat inap
Jamkesmas mayoritas berpendidikan rendah sehingga tidak memahami kondisi
kesehatan mereka. Pada umumnya mereka beranggapan bahwa setelah
mendapatkan pengobatan dan perawatan, mereka merasa sudah sembuh dari
penyakit yang diderita. Dalam konteks ini, yang dibutuhkan oleh pasien adalah
informasi mengenai kondisi kesehatan mereka. Dengan demikian pihak rumah
sakit seyogyanya lebih meningkatkan upaya-upaya yang bersifat informatif,
misalnya menjelaskan kepada pasien maupun anggota keluarga mengenai
perkembangan kesehatan mereka dengan penggunaan bahasa yang mudah
dipahami dan melalui cara-cara persuasif. Hal sudah tentu ini menuntut adanya
kedekatan psikologis antara petugas medis dan pasien sehingga di antara
keduanya tercipta komunikasi yang baik. Namun hubungan yang dilandasi
afeksi tampaknya tidak ditemukan dalam pola hubungan antara pasien dan
petugas medis di RSUD Kabupaten Indramayu. Hal ini diindikasikan dengan
jawaban sebagian besar responden yang mengatakan “biasa saja” ketika
pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan perasaan mereka pada saat
berhubungan dengan dokter maupun perawat. Adapun responden yang
menjawab secara tegas pelayanan rumah sakit sudah sesuai dengan harapan
sejumlah 6 orang, diantaranya seorang bapak yang sepanjang wawancara
berlangsung mengekspresikan kegembiraan, dengan wajah selalu tersenyum
mengemukakan tanggapan sebagai berikut: “ Pelayanan rumah sakit ini sesuai
dengan harapan saya dan saya puas dengan pelayanan rumah sakit ini.
Semoga pelayanan rumah sakit dengan kartu Jamkesmas lebih baik lagi untuk
18

ke depannya.” Sementara itu ada dua orang informan yang agak ragu
memberikan pernyataan ketika diminta pendapatnya mengenai kesesuaian
antara harapan dengan kenyataan yang mereka dapatkan selama menjalani
rawat inap. Menurut mereka, sebenarnya harapan mereka tidak sepenuhnya
didapatkan, namun ketika ditanya apakah informan merasa puas dengan
pelayanan rawat inap di rumah sakit ini. Responden pertama menjawab: “Puas
saja karena sudah ditolong sih ya, terimakasih.”Dari beberapa tanggapan
informan di atas dapat dikemukakan bahwa kategori informan yang menjawab
puas dengan pelayanan RSUD Kabupaten Indramayu adalah informan yang
merasa harapan mereka terpenuhi.Hal ini berhubungan dengan apresiasi
mereka

yang

positif

terhadap

lima

(tangible,reliability,responsiveness,assurance,

dimensi

mutu

danempathy)

pelayanan
yang

diselenggarakan rumah sakit. Sebaliknya, kategori informan yang merasa tidak
puas maupun kurang puas, karena merasa harapan mereka tidak terpenuhi.
Hal ini dapat ditelusuri dari jawaban-jawaban mereka ketika diminta tanggapan
terhadap lima dimensi kualitas pelayanan, mayoritas memiliki apresiasi negatif
terhadap satu atau lebih dimensi kualitas pelayanan. Pernyataan beberapa
responden di atas – setidaknya − menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa
masih banyak warga Kabupaten Indramayu yang berobat ke rumah sakitrumah sakit di luar Indramayu. Sebagaimana pernah diungkap oleh Bupati
Indramayu, H. Anna Sophanah pada suatu kesempatan sebagai berikut: “Jujur
saja, masyarakat Indramayu saat menderita sakit, masih banyak yang berobat
di luar Indramayu. Ini menjadi bahan introspeksi bagi kami. Jangan-jangan
rumah sakit yang ada di Indramayu belum memenuhi harapan masyarakat.”
(Sindo, 21 Pebruari 2013). Dari kajian di atas dapat dikemukakan bahwa
berdasarkan klasifikasi tipe-tipe kepuasan maupun ketidakpuasan pasien rawat
inap pengguna Jamkesmas di RSUD Kabupaten Indrmayu ditemukan dua tipe
pasien yang cenderung bersikap pasif dalam menuntut perbaikan pelayanan,
yakni pasien bertipe resigned customer satisfaction dan stable customer
dissatisfaction. Namun ada hal mendasar yang membedakan sikap pasif dari
kedua tipe tersebut.Sikap pasif yang mendasari tipe pertama adalah sikap
mawas diri(self-fulfilling) untuk tidak berharap lebih dari sekedar mendapatkan
pertolongan. Menurut Dwiyanto (2010:115) masyarakat dalam kategori ini
pada umumnya menganggap pelayanan publik merupakan kebaikan dan
19

kedermawanan pemerintah atau negara, sehingga cenderung pasrah dan
menerima apa adanya pelayanan dari pemerintah dan birokrasinya. Mereka
pada umumnya kurang peduli terhadap penyelenggaraan pelayanan publik.
Sementara Wasistiono (2003:15) memandang hal tersebut dari aspek masih
rendahnya kesadaran anggota masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai
warga negara maupun sebagai konsumen, sehingga mereka cenderung
menerima begitu saja layanan yang diberikan oleh instansi pemerintah,
terlebih lagi apabila layanan yang diberikan bersifat cuma-Cuma. Sementara
tipe kedua, stable customer dissatisfaction, yakni pasien bersikap pasif
didorong perasaan pesimistis bahwa pihak rumah sakit akan melakukan
perbaikan ke depan. Hasil wawancara dengan informan menyatakan bahwa
ditemukan pengaduan pasien inap peserta Jamkesmas, namun jumlahnya tidak
terlalu

banyak.

Pada

umumnya

pengaduan

ditujukan

pada

aspek

ketidakramahan petugas medis (khususnya ruang rawat kebidanan) dan
petugas kebersihan. Sedangkan pasien yang merasa tidak puas memiliki tipe
stable customer dissatisfaction, yaitu pasien tidak puas, namun cenderung
bersikap pasif dalam menuntut perbaikan. Pasien yang merasa tidak puas
berpotensi menyebabkan word of mouth negatif yang dapat merugikan citra
lembaga di mata publik Indramayu. Maka dari itu pihak Manajemen RSUD
Kabupaten Indramayu hendaknya lebih serius melakukan berbagai peningkatan
kualitas pelayanan, menimbang berdasarkan hasil studi ini sebagian besar
informan masih mengeluhkan kualitas pelayanan terutama ditujukan pada
beberapa dimensi kualitas pelayanan di atas. Dalam hal ini pasien bertipe
resigned customer satisfaction belum dapat dijadikan parameter bagi pihak
penyelenggara layanan untuk mengklaim bahwa kualitas pelayanan yang
diselenggarakan telah baik. Mereka merasakan puas didorong rasa mawas diri
dengan kondisi sosial ekonomi kehidupan mereka. Selain itu, rendahnya
penganduan

dikonstatasikarena

banyak

pasien

rawat

inap

peserta

Jamkesmasbertipe stable customer dissatisfaction, yaitu pasien merasa tidak
puas terhadap pelayanan, namun cenderung bersikap pasif dalam menuntut
perbaikan. Pasien tipe terakhir ini memiliki potensi word of mouth negatif yang
dapat merugikan citra lembaga di mata publik.
BAB III
KESIMPULAN
20

A.Kesimpulan
Dari ketiga bahasan yang bersumber dari rumusan masalah tersebut dapat
disimpulkan yaitu:
1. Hak asasi manusia sering didefinisikan sebagai hak manusia memiliki hanya
berdasarkan martabat mereka yang melekat10
2.Liberalisme di kalangan sektor kesehatan pada saat ini telah menjadi isu
nasional. Urusan pelayanan kesehatan tidak lagi menjadi kendali penuh
pemerintah tetapi telah banyak diambil alih oleh instansi intansi seperti rumah
sakit. Tanda kemunculan liberalisme di sektor kesehatan ditandai dengan
banyak sekali rumah sakit pemerintah dan swasta yang melakukan pelayanan
dengan berorientasi pada uang atau sekedar menjalankan bisnis. Maka dari itu
beberapa rumah sakit swasta berlomba-lomba melabeli rumah sakit mereka
dengan titel “Rumah Sakit Internasional” yang mengakibatkan mahalnya
hampir seluruh item layanan kesehatan di Rumah Sakit Internasional tersebut.
Bahkan beberapa rumah sakit pemerintah mulai mengikuti jejak Rumah Sakit
Internasional untuk menjadikan Rumah Sakit Pemerintah menjadi bertaraf dan
bertarif Internasional.
2. Hasil penelitian memperlihatkan pasien miskin di rumah sakit pemerintah
dan rumah sakit swasta, umumnya memiliki tingkat kepuasan yang kurang
memadai, antara lain pada pelayanan administrasi yang dinilai rumit, berbelit,
kurang informasi, petugas yang kurang ramah, tidak diberikan resep obat
generik, dan pelayanan yang memakan waktu cukup lama. Khusus rumah sakit
pemerintah, telah mengemban tanggung jawab sosial rumah sakit kepada
orang miskin atau saat keadaan gawat darurat.
B.Saran
Pemerintah perlu membuat pengaturan yang jelas tentang pembagian
tanggung jawab negara dan pengelola sarana pelayanankesehatan agar rumah
sakit memberi perlindungan kepada pasien, masyarakat, dan sumber daya
manusia di rumah sakit, serta memelihara dan meningkatkan mutu pelayanan.
Perlu pengaturan tentang pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM),
termasuk standar teknis yang menjamin keamanan pasien sehingga setiap
rumah sakit berkewajiban menetapkan target pencapaian indikator standar
pelayanan kesehatan. Diperlukan kemudahan prosedur administrasi yang
10 Laura Valentini, “Dignity and Human Rights ; A Reconceptualisation”, Oxford Journal Of Legal
Studies, doi: 10.1093/ojls/gqx011, hlm 1-24.

21

dapat menghilangkan perbedaan perlakuan antara pasien menengah kebawah
dengan pasien jaminan asuransi, terutama asuransi non komersial. Perlu
ditetapkan standar terkait penghitungan biaya, agar pasien membayar
pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. Untuk itu,
perlu mengatur mekanisme dan prosedur audit pelayanan kesehatan oleh
lembaga independen. Evaluasi terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan
akan menjamin pasien mendapatkan pelayanan kesehatan yang diperlukan
sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Dalam hal ini perna serta pemerintah
sangatlah

penting

demi

mengendalikan

arus

liberalisme

yang

dapat

mengancam nasib masyarakat menegah kebawah yang memerlukan jaminan
atas terpenuhinya layanan kesehatan terutama pada instansi-instansi rumah
sakit milik pemerintah sehingga masyarakat mendapatkan hak-haknya dalam
sektor kesehatan secara penuh dan adil.
DAFTAR PUSTAKA
A.Buku
Effendi, Mahsyur. 2005. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia & Proses
Dinamika HAM.
Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM),Bogor: Penerbit
Ghalia.
Effendi, Mahsyur. 2010.HAM Dalam Dinamika/Dimensi Hukum,Politik,Ekonomi,
dan Sosial,
Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Gerung, Rocky.2006.Hak Asasi Manusia, Teori Hukum, Kasus.Jakarta: Filsafat UI
Press.
Rahayu.2015.Hukum Hak Asasi Manusia. Semarang:Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
B.Jurnal
Arum Puteri Nurdhila. 2017.Hubungan Mutu Pelayanan dengan Kepuasan
Pasien Peserta
BPJS di Rumah Sakit Umum Daerah Yogyakarta. Yogyakarta:Jurnal
Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Vol.11, No.2: 165-173.
Budi Mulyawan. 2015. Kualitas Pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah (Studi
Tentang Kepuasan
22

Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas Pada Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten
Indramayu). Indramayu: Jurnal Aspirasi. Vol.5, No.2: 1-62.
Mustajab. 2013. Analisis Yuridis Hubungan Hukum Antara Dokter dan Pasien
Dalam Pelayanan
Kesehatan. Jakarta: Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion. Vol.1,No.4: 1-11.
Rheza Imadasari. 2017. Penyelesaian Klaim Asuransi Jiwa Menurut Klaim ExGratia. Semarang:
Unnes Law Journal. Vol.2, No.2: 1.
Tri Rini Puji Lestari.2010.Pelayanan Rumah Sakit bagi Masyarakat Miskin (Studi
Kasus di
Enam Wilayah Indonesia).Jakarta:Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional.
Vol.5,
No.1:1-8.

23