Kenangan seorang ustadzah dgn Frater.doc

  Oleh:

Hikmah Ekawati Kehendakmu

  Tak ada yang salah Bila mencintaimu Walau kadang goyah Dan kemudian jatuh ….

  Walau kadang retak Dan kemudian patah Kuingin tulus mencintai-Mu Disepi malam …. Kubersimpuh meminta ampunan-Mu Mencari keridhaan-Mu

Wahai Yang Esa

  Puisi itu berulang kali kubaca, mencerna dan memaknai setiap kata, walau kadang tak mengerti kadang pula aku hanyut didalamnya. Tak terasa sudah dua jam aku menunggu bus di halte dekat kampusku, hujan semakin deras seakan melarangku untuk cepat pulang. Aku mendelik jam tanganku, wah… sudah pukul 14.50 wita, sebentar lagi masuk waktu ashar, aku mulai gusar, aku takut akan melalaikan panggilan-Mu, tapi aku mencoba menenangkan perasaan ini.

  Hujan tidak begitu deras lagi. Entah, hujan yang tak begitu deras seperti selalu mengingatkanku tentang masa lalu, masa SMA yang manis, yang sarat dengan cerita cinta, begitu juga denganku, saat hujan seperti ini membasahi sekolahku, aku masih saja duduk dikantin sekolah menunggu jemputan, tapi ayahku belum juga datang, padahal semua teman sekolahku sudah pulang. Aku maklum kalau memang ayahku tidak bisa menjemputku hari ini, karena waktu tadi pagi aku melihat dia kurang enak badan. Tapi bagaimana denganku? Bagaimana aku harus pulang? Apa aku harus pulang jalan kaki? Hujan-hujan begini?

  Beribu pertanyaan menyerangku bertubi-tubi, tapi tak tahu apa jawabannya. ”Ya … Allah, berilah petolongan kepadaku”, do’aku dalam hati. Tiba-tiba terdengar suara motor samar-samar dan akhirnya terdengar jelas. Motor itu kemudian singgah di depan gerbang sekolahku. Dia turun dari motornya, mengamati sekolahku, sepertinya mencari sesuatu.

  ”Cari siapa?”, teriakku dari kantin samping sekolahku. Pria itu seketika menoleh kearahku sembari membuka kacamata hitam dan helemnya. Tanpa ragu-ragu dia lalu menghampiriku. ”Kamu kenal Fajri nggak?”, ujarnya IPA 4, masak enggak kenal, yang rambutnya abis dipanen ama guru BP kamu”, ujarnya menjelaskan sembari tersenyum. ”Oh … sibotak yang SKSD itu ya … iya… saya kenal, ah … tahu aja kamu, rambutnya baru dipanen…”, ucapku sembari ketawa. ”Gimana nggak dipanen, dia ngecat biru semua rambutnya, bule aja nggak ada yang rambutnya berwarna biru…, mungkin mau jadi bule Pasar Minggu”, ujarku sembari ketawa. Dia Cuma tersenyum kecut. ”Apa fajri teman kamu?” tanyaku masih menyisakan tawa. ”Dia adikku”, ujarnya dengan intonasi agak ditekan. ”Apa!”, ujarku terperangah. ”Ups … kalau begitu maaf tentang yang tadi… saya nggak bermaksud…”, ujarku ragu-ragu. Nggak apa- apa … emang gitu kok orangnya. Aku malah menjulukinya ”Pentul Korek yang menggemaskan”, ujarnya sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa.

  ”Semua siswa sudah pulang sedari tadi, mungkin Fajri juga, Cuma aku doang yang belum pulang”, ujarku setelah derai tawaku hilang. ”Loh … kok. Kamu kenapa nggak pulang”, tanyanya padaku. ”Aku nunggu jemputan, tapi nggak dateng-dateng, lagian masih hujan, tunggu hujan redah dulu”, ujarku menjelaskan. Dia menatapku dalam-dalam, entah karena aku cantik atau ada alasan lain yang membuatnya menatapku begitu lekat. Aku tak berani membalas tatapannya … bikin aku salah tingkah …

  Aku menengadahkan tanganku kelangit, mencoba menangkap derai hujan yang sedari tadi belum juga reda. ”Semoga Allah menurunkan hujan ini dengan segala keberkatannya”, do’aku pelan. Pria itu tersenyum mendengar do’aku. Namamu siapa?”Aku Ryan”. Tanyanya padaku sambil memperkenalkan diri. ”Aku Aisyah”, ucapku sambil menjabat tangannya. ”Aku antar pulang yah….!”. Ujarnya sembari tersenyum manis. ”Ah … nggak usah”, aku pura-pura menolak. ”Nggak apa-apa kok, ayo!” ujarnya lagi. ”Lagian masih hujan”, ujarku lagi. ”Ada jas hujan, mau nggak”, ujarnya sembari memberi jas hujannya. ”Ah … nanti malah merepotkan”, ujarku basa-basi, padahal aku mau banget. ”Jadi nggak mau, ya udah”, ujarnya agak kesal sambil menghidupkan motornya. ”Eh …iya … aku mau, aku mau”, ujarku sambil naik kejok belakang motornya.

  Setelah kejadian itu, dia selalu datang ke sekolahku. Banyak alasan yang dia katakan padaku untuk datang ke sekolahku, mulai dari alasan jemput Fajri, mau konsultasi sama guru BP sekolahku tentang Fajri, sampai pada alasan yang nggak bisa dicerna dengan nalar ”mau beli es cendol, kata orang es cendol kantin sekolahku paling enak se Sulawesi Selatan”, alasannya waktu itu. Tapi aku tahu, bermacam-macam alasan itu cuma punya satu tujuan, ”menemuiku.”

  Semakin lama kami semakin dekat, bahkan aku sudah tahu prinsip dan tujuan hidupnya, kami tak seagama, tak sepaham, bahkan cara memandang hidup pun agak berbeda. Tapi sungguh aku sangat mencintainya. Kami mencoba mendalami satu sama lain. Mencoba mencari persaman pada cara pandang hidup, paham, tujuan hidup bahkan nilai-nilai agama yang dapat menyatukan kami.

  Cerita cinta itu berakhir dengan tragis, sebagai anak yang lahir dalam lingkungan keluarga yang memegang teguh Islam, aku dituntut untuk menjadi anak yang memegang teguh nila-nilai Islam. ”Carilah pendamping hidup yang dapat menjadi imam yang baik dalam keluargamu, yang dapat menjadi imam dalam shalatmu dan segala perilakumu, nak…”. Nasihat ayahku suatu hari. Perih rasanya luka mengiris hati ini, aku ingin marah, tapi marah pada siapa, aku bingung, ”ambil air wudhu sana, terus shalat yang khusuk, minta petunjuk pada Allah”, Nasihat ibuku sambil menepuk pundakku pelan. Jangan menjalani sesuatu yang meragukanmu”, ujarnya sembari tersenyum bijak. Ibu paling tahu bagaimana keadaanku sekarang.

  Dengan perlahan aku mengambil air wudhu, aku meluangkan waktu untuk menghadap kepadanya, menenangkan hati dan meminta petunjuk-Nya.

  • Lamunanku seketika buyar ketika seseorang tidak sengaja menyenggol pundakku. ”Sorry!, nggak sengaja”, ujarnya sembari berlalu pergi. Ingin sekali aku kembali kemasa lalu, masa dimana cinta masih menjadi prioritas utama, dimana pikiran yang belum mendewasa masih menguasai alam bawah sadarku. Tapi hal itu sungguh tak mungkin terjadi. Sudah tiga tahun aku tidak pernah bertemu dengan Ryan lagi, mungkin lebih tepatnya menghindar darinya. Tapi rasa ini belum juga hilang.

  Aku lebih kecewa lagi saat aku tahu dari temanku bahwa Ryan telah menjadi ”Frater”. Aku tahu kalau dia ingin lebih mendalami agamanya, sama denganku. Aku juga ingin mendalami islam dengan sebenar-benarnya. Dan aku rasa, jarak antara aku dengan Ryan makin jauh. ”Cinta itu buta man, nggak pandang kamu dari ras mana, suku, etnis, budaya bahkan agama, cinta itu dapat menjangkit pada siapa saja, nggak pandang yang berjilbab atau nggak, dia seorang pendeta atau bukan, bahkan pada seorang biksu. Cinta itu lahir alami tak terdefenisi, lahirnya di hati, cuma bisa di rasa jek, ngapain pusing sih …, Frater juga manusia, Ustazah juga manusia, nggak salah khan kalau mereka jatuh cinta, tapi gimana yah kalau Frater dan Ustazah menjalin cinta, wah … seru tuh”, ujar Sinta suatu hari saat aku curhat masalahku dengannya. ” Aku bukan Ustazah Sin”, ujarku padanya waktu itu. ”Ah … sebentar lagi juga, kamu akan jadi ustazah”, ujarnya santai. ”Aku masih banyak kekurangan Sin …, masih jauh untuk jadi ustazah”, jawabku lagi pada Sinta pada waktu itu.

  Aku menengadahkan tanganku menghadap kelangit, menangkap derai hujan yang sedari tadi juga belum reda. Seakan-akan derai hujan yang singgah di telapak tanganku ini berkata, ”Aku juga bagian dari masa lalumu”. Segurat senyum pahit menghiasi bibirku, menggambarkan kata yang selama tiga tahun tersimpan di dalam hatiku. ”Tak rela”.

  Suara adzan menyentakkan aku dari lamunan, waktu ashar sudah tiba, hujan-hujan begini, banyak anak-anak yang mondar-mandir menawarkan jasa ”ojek payung”, namun aneh, hari ini tak satupun anak yang mondar-mandir untuk menawarkan jasa tersebut. Seakan sebuah pertanda, bahwa ada suatu hal yang akan terjadi hari ini.

  ”Ah … ngaco”, ujarku dalam hati, berusaha mengusir pikiran-pikiran itu. Seketika rasa takut menghantui pikiranku, ”Pertanda apa?” pertanyaan bodoh itu membuat aku gusar. Tapi semua itu segera kutepis, aku harus mencari cara untuk sampai ke mesjid itu tanpa kehujanan. ”Aku harus sihir?”, petanyaan bodoh lagi, hinggap dipikiranku. Aku tak tahu harus bagaimana.

  Seketika ada sebuah payung yang meneduhiku, rasa heran menggorogoti perasaanku, aku takut mendelik untuk mengetahui siapa orang yang meneduhiku dengan payungnya, karena rasanya, kehadiran orang ini tak asing bagiku, rasanya seperti menemukan setengah hati yang hilang beberapa tahun yang lalu tetapi mengingatkanku irama yang dapat menoreh luka lama.

  Jantungku memacu dengan kencang, seakan mengikuti ritme jantung orang ini yang sekilas kudengar berdebar-debar. Aku mencoba berbalik, untuk melihat orang itu. ”Deg…” seakan adrenalin makin menyentakkan jantungku. Sosok tinggi, berdada lapang serta berkulit putih itu tersenyum padaku, wajahnya yang selama tiga tahun kucoba untuk menghapusnya dari memoriku namun belum juga berhasil masih saja seperti yang dulu. Senyum ramah yang memancar di bibirnya menyapaku dengan hangat.

  ”Ryan …”, ujarku pelan. Beribu kata yang selama tiga tahun tersimpan rapat di dalam hatiku ingin sekali kuucapkan, tetapi bibir ini hanya mampu berujar. ”Ryan”. ”Sudah adzan, kuantar kamu ke mesjid ya …, shalatnya jangan ditunda”, ujarnya bijak. Kami berjalan menembus derai hujan yang sedari tadi belum juga reda.

  ”Kamu semakin kurus saja, banyak makan dong, jangan diet melulu”, ujarnya mencoba mencairkan suasana. ”Jilbabmu basah, ntar kalau sudah shalat jilbabnya di angin-anginkan dulu di dalam mesjid, nanti rambut kamu bau lho”, ujarnya lagi. Aku tetap saja diam. ”Kamu lebih cantik memakai jilbab”. Kata- katanya yang terakhir menghentikan langkahku. Aku mendelik menatap wajahnya, menatap retina matanya dalam-dalam. Mencoba mencari tahu jawaban dari beribu pertanyaan yang memenuhi pikiranku. Ia tersenyum bijak. ”Kuliahmu bagaimana?, baik-baik aja khan?, kalau aku …” ujarnya terputus. ”Kalau kamu kenapa?” tanyaku mendesak. ”Kalau aku …, setahun lagi aku akan menjadi sarjana Theologi”. Ujarnya dengan nada pelan.

  Senyum pahit lagi-lagi menghiasi bibirku. Secercah harapan yang masih bersinar di sudut hatiku, kini padam seketika. Aku mempercepat langkah menuju ke mesjid. Ia mengikutiku, mencoba melindungiku dari ribuan jarum- jarum air yang semakin deras. ”Sudah sampai, ayo masuk sana”, ujarnya menyuruhku masuk ke mesjid.

  Selangkah demi selangkah aku berjalan masuk. Namun kepala ini Aku berhenti sejenak dan kemudian berbalik, sejenak menatap pria tegap yang masih menungguiku di depan mesjid. ”Aku … aku …, aku kangen sama kamu”, akhirnya kalimat itu terucap juga, merangkai kalimat sederetan defenisi yang memberatkan kepalaku memang sangat sulit. Cukuplah dengan kata itu, sudah mewakili perasaanku yang selama tiga tahun kupendam. ”Aku juga”, ujarnya dengan tersenyum sangat bijak.

  ”Ryan …” sekali lagi kupanggil namanya dengan nada gemetar, mencoba membendung air mata yang ingin membuncah. ”Ryan … jenggotmu dicukur tu, sudah panjang …”, kata-kata konyol itu tanpa sadar terucap di bibirku. Ryan mengenyitkan kedua alisnya tanda keheranan, dan kemudian menyungging senyum termanis yang pernah kulihat.

  Aku segera bergegas menuju ke dalam mesjid, melangkah dengan langkah pasti, walau tahu benar, setelah hari ini, aku tak akan bertemu dengan Ryan lagi.

  • Dua tahun kemudian.

Puisi Sang Pendeta

  Kompas, 23 maret 2005

  Cintailah jalanmu Raihlah segala defenisi pemikiranmu Aku berdiri dibelakangmu Mendukungmu, walau tak bisa ikut denganmu

  Berjalanlah kedepan Jangan mendelik kebelakang Aku mungkin tidak lebih baik dari yang engkau yakini Dalam derai hujan yang tak kunjung reda Aku masih merindukanmu

  Karya: S.Th. Ryan Stephanus

  Tobing

  Puisi terakhir, ini ditemukan dalam genggaman beliau saat almarhum terbunuh dalam insiden pengoboman gereja Santa Petrus 22 maret 2005.

  

The End