ANALISIS LANSKAP MANGROVE TERHADAP POTENSI DAN NILAI EKONOMI KEPITING BAKAU DI SEGARA ANAKAN CILACAP

  

“Tema: 2 pengelolaan wilayah kelautan, pesisir dan pedalaman”

ANALISIS LANSKAP MANGROVE TERHADAP POTENSI DAN

NILAI EKONOMI KEPITING BAKAU

DI SEGARA ANAKAN CILACAP

  

Oleh

1*

  1

  1

  1

  2 Endang Hilmi , Lilik Kartika Sari , Setijanto , Isdy Sulistyo , Devi Kumalasari

  1. Staf Pengajar Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan, Universitas Jenderal Soedirman.

  2. Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Universitas Jenderal Soedirman

dr.endanghilmi@gmail.com

ABSTRAK

  Landskap ekosistem mangrove di Segara Anakan Cilacap yang dipengaruhi oleh beberapa sungai merupakan habitat penting bagi kepiting bakau (Scylla serrata). Kepiting bakau merupakan organisme perairan komersial yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi membutuhkan mangrove sebagai tempat memijah, membesarkan dan mencari makan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberadaan landskap mangrove terhadap potensi kelimpahan dan nilai ekonomi kepiting bakau. Penelitian ini menggunakan metode penangkapan dengan menggunakan alat tangkap wadong pada tiga sungai yaitu sungai Donan, Kembang Kuning dan Sapuregel. Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) potensi jumlah tangkapan kepiting bakau di Segara Anakan 2 adalah 1 – 9 ekor kepiting pada setiap 300 m areal mangrove dengan nilai kelimpahan berkisar 2 antara 0.0033 – 0.0288 ekor/m . (2). Potensi total kepiting bakau adalah sekitar 78 ekor/ha – 211 ekor/ha atau sekitar 26 – 70 kg/ha. (3) Nilai ekonomi kepiting bakau adalah sekitar sekitar Rp 1.814.815/ha – Rp 4.925.926/ha, dengan nilai total ekonomi penangkapan kepiting bakau di Segara Anakan sekitar Rp 15,245,569,630 - Rp 41,380,831,852 Kata Kunci: kepiting bakau, mangrove, Segara Anakan, kelimpahan, nilai ekonomi

ABSTRACT

  The mangrove landscaping in Segara Anakan Cilacap is influenced by some rivers as a main habitat for the mangrove crab (Scylla serrata). Mangrove crab is a commercial of aquatic organism has the high of economic value need mangrove ecosystem as an area of spawning ground, feeding ground and nursery ground. This research aims to analysis function of mangrove landscaping toward abundance and economic value of mangrove crab. This research used fishing method with wadong as a tool in three rivers that were Donan, Kembang Kuning and Sapuregel. The results of 2 this research were (1) potential of mangrove crab numbers reached 1 – 9 crabs/300m with 2 abundance 0.0033 – 0.0288 crab/m , (2) total potential of mangrove crab reached 78 – 211 crabs/ha or 26 – 70 kg/ha. (3) The economic value of mangrove crab was Rp 1.814.815/ha – Rp 4.925.926/ha with the total of economic value for mangrove crabs in Segara Anakan Cilacap reached Rp 15,245,569,630 - Rp 41,380,831,852.

  Keyword : mangrove crab, mangrove, Segara Anakan, abundance, economic value

PENDAHULUAN

  Segara Anakan Cilacap merupakan ekosistem laguna yang terdiri dari ekosistem mangrove (Hilmi et al., 2017), ekosistem estuarian (Hilmi et al., 2015), dan ekosistem khas lainnya. Ekosistem laguna segara anakan dipengaruhi oleh suplai air laut dari Samudera Hindia (Nursid, 2002; Ardli, 2008) dan suplai air tawar dari berbagai sungai seperti sungai baik dari Cimeneng, Cibereum, Citanduy, Palindukan, Cikonde, Kembang Kuning, Sapuregel dan Donan (Yulianti, 2012; Ardli, 2008; Asmara et al., 2011). Selain itu ekosistem laguna di Segara Anakan dipengaruhi oleh berbagai faktor oceanografi seperti pasang surut, penggenangan air, arus dan gelombang (Ragavan et al., 2014; Cahyo, 2012; Ariani et al., 2016). Segara Anakan Cilacap secara o o o o geografis terletak pada koordinat pada 7 39'-7 43' LS dan 108 50'-109 00' BT (Zalindri dan Sastranegara, 2014) dan terbagi menjadi dua yaitu Segara Anakan Bagian Barat dan Segara Anakan Bagian Timur.

  Ekosistem laguna di Segara Anakan Cilacap yang terintegrasi dari berbagai ekosistem memiliki fungsi penting yaitu sebagai areal tempat memijah (spawning ground), mencari makan

  

(feeding ground), daerah asuhan (nursery ground), tempat perlindungan (Hamidy, 2010) dan

  sebagai model adatif yang kompleks yang membutuhkan berbagai integrasi dari berbvagai faktor yang mempengaruhinya (Hagstrom dan Levin, 2017). Kestabilan ekosistem laguna di Segara Anakan sangat dipengaruhi oleh kelimpahan dan keanekaragaman ekosistem mangrove. Kelimpahan menunjukan penyebaran jenis dalam suatu areal yang sangat penting dalam penguasaan ruang suatu jenis di dalam suatu ekosistem (Zanden et al, 2017). Salah satu ekosistem yang penting sebagai tempat pemijahan, mencari makan, daerah asuhan organisme adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove di Segara Anakan Cilacap didominasi oleh Rhizophora spp., Avicennia spp.,, Sonneratia spp., Bruguiera spp., dan Ceriops spp. (Hilmi et al, 2017) yang dijadikan sebagai habitat berbagai organisme termasuk organisme perairan.

  Salah Satu organisme yang menjadikan segara anakan sebagai habitatnya adalah kepiting bakau (Scylla serrata). Ekosistem mangrove merupakan habitat alami utama bagi Kepiting bakau akan menjalani sebagian besar hidupnya yang menjadikan ekosistem mangrove sebagai tempat mencari makan, tempat berlindung dan masa pembesaran (Kordi, 2012). Kepiting ini akan menghasilkan regenerasi melalui proses bertelur dengan jumlah sekitar 2000-8000 telur (Ansari, 2007). Potensi kelimpahan dan regenerasi kepiting bakau akan berdampak pada nilai ekonomi dari kepiting bakau tersebut. Nilai ekonomi kepiting bakau ini akan memberikan dampak pada tingkat pendapatan dari nelayan kepiting bakau di Segara Anakan. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis status kelimpahan dan total potensi kepiting bakau serta untuk menganalisis nilai ekonomi dari kepiting bakau (Scylla serrata) di Segara Anakan Cilacap.

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat

  Penelitian Analisis Lanskap Mangrove Terhadap Potensi Dan Nilai Ekonomi Kepiting Bakau di Segara Anakan Cilacap dilakukan di Segara Anakan Cilacap bagian Timur pada tahun 2017 dengan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Penelitian ini dilakukan pada areal mangrove dan laguna Segara Anakan Cilacap.

  Gambar 1. Lokasi Penelitian Di Segara Anakan Bagian Timur Cilacap

  Penelitian Analisis Lanskap Mangrove Terhadap Potensi Dan Nilai Ekonomi Kepiting Bakau di Segara Anakan Cilacap dibangun untuk mengetahui jumlah dan kelimpahan kepiting bakau serta potensi nilai ekonomi dari kepiting bakau (Scylla serrata). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

  Pengambilan Sampel Kepiting Bakau (Scylla serrata)

  Potensi jumlah kepiting diambil dengan menggunakan alat tangkap wadong yang memiliki ukuran panjang 55 cm dan diameter 25 cm. Wadong dipasang pada habitat kepiting di setiap transek 10 x 10 m dengan 4 titik penempatan wadong yaitu pojok kanan atas, tengah, pojok kanan bawah dan pojok kiri bawah. Wadong dipasang pada waktu pagi hari dan diangkat pada pagi hari keesokan harinya secara bersamaan.

  Pengukuran Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla serrata)

  Kelimpahan kepiting bakau diukur menurut persamaan Soegianto (1994) dan Serosero (2005) yaitu

  Ni Keterangan; Ni = Kelimpahan jenis ke-i (ind./ )

  = Jumlah individu jenis ke-i (ind./ ) A = Luasan areal pengambilan contoh (

  Pengukuran Nilai ekonomi Kepiting Bakau (Scylla serrata)

  Nilai ekonomi kepiting bakau (Scylla serrata) diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut Nilai Ekonomi (Rp) = potensi bobot kepiting (kg) x harga kepiting (Rp/kg)

  Analisis Data

  Nilai kelimpahan, jumlah dan nilai ekonomi kepiting bakau dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif melalui sistem tabulasi data.

HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Di Segara Anakan Cilacap (SAL)

  Potensi jumlah individu kepiting bakau (Scylla serrata) di Segara Anakan Cilacap dapat dilihat pada Tabel 1. Kepiting bakau merupakan salah satu komoditi perikanan yang memiliki prosfek yang tinggi di masa yang akan datang, karena permintaan setiap tahunnya cenderung meningkat (Putro et al, 2015). Penyediaan potensi kepiting bakau di Indonesia cenderung dilakukan dengan menangkap kepiting di alam (Putro et al, 2015). Untuk itu keberadaan kepiting bakau di alam sangat dipengaruhi oleh habitatnya. Ekosistem mangrove di Segara Anakan dipengaruhi oleh sebaran jenis dan kelas diameter dari vegetasi mangrove (Hilmi et al, 2017). Ekosistem mangrove Segara Anakan telah mengalami proses degradasi. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya potensi pohon (diameter > 10 cm) yang dapat ditemukan di ekosistem mangrove Segara Anakan (Hilmi et al, 2017).

  Berdasarkan hasil penelitian Kumalasari (2017) di dapatkan data bahwa ekosistem mangrove di Segara Anakan Cilacap bagian Timur sedang mengalami kerusakan karena potensi pohon yang berdiameter > 10 cm hanya berkisar antara 33 pohon – 133 pohon/ha. Namun ekosistem mangrove di Segara Anakan bagian Timur saat ini sedang mengalami proses suksesi sekunder yang jika dibiarkan akan menjadi ekosistem mangrove klimak. Hal ini dapat dilihat dari potensi mangrove berdiameter > 4 cm mencapai 1933 pohon/ha – 3833 pohon/ha.

Tabel 1. Potensi Kepiting Bakau di Segara Anakan Cilacap

  jumlah kepiting (indv) Stasiun Koordinat U2

  U1 U3 S1 S2 S3 total S1 S2 S3 total S1 S2 S3 total

  Donan 1 108 59’ 29.10”E

  2

  1 3 1 1 2 1 1

  2 07 42’ 46.06”S Donan 2 108 59’ 10.78”E 1 1 2 1 1 1

  3

  1

  1 07 43’ 48.07”S Kembang kuning 1 108 57’ 37.81”E 2 2 1 5 2 2 1 5 2 2 1

  5 07 41’ 47.97”S Kembang kuning 2 108 57’ 42.07”E 1 3 1 5 1 2 1 4 2 1

  3 07 42’ 54.20”S Sapuregel 1 108 55’ 13.23”E 3 3

  6

  2

  2 4 2 2 2

  6 07 42’ 30.79”S Sapuregel2 108 55’ 07.32”E 4 2 3 9 1 2 2 5 2 1 2

  5 07 42’ 32.82”S Kerusakan ekosistem mangrove akan berdampak pada kerusakan areal mangrove yang berfungsi sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah pemijahan (spawning ground) dan sebagai sumber makanan (feeding ground) (Gunarto, 2004) khususnya bagi kepiting bakau (Siahainenia, 2008). Kondisi kerusakan ini berdampak pada berkurangnya potensi tangkapan kepiting bakau di alam. Dari hasil penelitian ditemukan sekitar 1 – 9 ekor kepiting pada setiap 300 2 m areal mangrove di Segara Anakan.

  Kelimpahan Kepiting Bakau di Segara Anakan Cilacap

  Kelimpahan kepiting bakau (Scylla serrata) di Segara Anakan Cilacap khususnya Cilacap Bagian Timur dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 2. Dari data pada Tabel 2 dan Gambar 2 didapatkan hasil bahwa potensi kelimpahan kepiting bakau di alam berkisar antara 0.0033 –0.0288 2 indv/m . Kelimpahan Kepiting Bakau di Segara Anakan Cilacap. Dan dari Gambar 2 menunjukan bahwa sebaran kelimpahan di Sapuregel 2 dan Sapuregel 1 lebih tinggi dibandingkan kelimpahan kepiting di sungai Donan dan Kembang Kuning

  Tabel 2. Kelimpahan Kepiting Bakau di Segara Anakan Cilacap

  kelimpahan (indv/m2) stasiun U1 U2 U3 max med min rata-rata stdv

  Donan 1 0.010 0.007 0.007 0.0078 0.0019 0.0097 0.0078 0.0059 Donan 2 0.007 0.010 0.003 0.0067 0.0033 0.0100 0.0067 0.0033 Kembang kuning 1 0.017 0.017 0.017 0.0167 0.0000 0.0167 0.0167 0.0167 Kembang kuning 2 0.017 0.013 0.010 0.0133 0.0033 0.0167 0.0133 0.0100 Sapuregel 1 0.020 0.013 0.020 0.0178 0.0038 0.0216 0.0178 0.0139 Sapuregel2 0.030 0.017 0.017 0.0211 0.0077 0.0288 0.0211 0.0134

  Hal ini menunjukan bahwa kelimpahan kepiting di Segara Anakan Bagian Timur termasuk rendah. Kelimpahan kepiting bakau yang rendah sangat berkaitan erat dengan rendahnya potensi vegetasi mangrove sebagai habitat kepiting bakau untuk mencari makan, tempat berlindung dan masa pembesaran, termasuk keberadaan sumber pakannya (Marcus, 2011), suhu perairan yang diharapkan berkisar antara 26,5°C-35°C, kebutuhan minimum oksigen terlarut dari organisme akuatik sekitar 3 mg/L (Cheng et al., 2003), kisaran pHnya 6,50-7,50 (Siahanenia, 2008) dan salinitas dari 2-50 ppt (Serosero, 2005)

Gambar 2. Sebaran Kelimpahan Kepiting Bakau di Segara Anakan Jumlah Total Kepiting Bakau di Segara Anakan

  Jumlah total kepiting bakau di landskap mangrove Segara Anakan Bagian Timur (ESAL) menunjukan potensi kepiting bakau di sungai Sapuregel lebih baik dibandingkan dengan potensi kepiting bakau di Kembang Kuning dan Donan (Tabel 3). Potensi terendah kepiting bakau ditemukan di Sungai Donan. Hal ini dikarenakan ekosistem mangrove di sungai Donan cenderung mengalami tekanan akibat limbah industri, eksploitasi bakau dan konversi ekosistem bakau (Hilmi et al, 2017).

  Dengan luasan ekosistem mangrove di seluruh Segara Anakan adalah sekitar 8400.62 ha dan Segara Anakan bagian Timur adalah 3056.62 ha. maka potensi kepiting di wilayah mangrove yang ditangkap sekitar 78 ekor/ha – 211 ekor/ha memberikan potensi keseluruhan untuk Segara Anakan adalah sekitar 653.382 ind – 1.493.444 individu.

Tabel 3. Potensi Jumlah Total Kepiting Bakau di Segara Anakan

  potensi (indv/300m2) potensi kepiting Stasiun total SAL Total ESAL

  U1 U2 U3 rata-rata indv/hektar (indv) (indv) 653,382 237,737

  Donan 1

  3

  2

  2

  2.3

  78 560,041 203,775

  Donan 2

  2

  3

  1

  2.0

  67 1,400,103 509,437

  Kembang kuning 1

  5

  5

  5 5.0 167 1,120,083 407,549

  Kembang kuning 2

  5

  4

  3 4.0 133 1,493,444 543,399

  Sapuregel 1

  6

  4

  6 5.3 178 1,773,464 645,286

  Sapuregel2

  9

  5

  5 6.3 211

  Potensi Nilai Ekonomi Kepiting Bakau Di Segara Anakan

  Nilai ekonomi biota di ekosistem mangrove akan dipengaruhi oleh kondisi dari ekosistem mangrove tersebut in mangrove ecosystem (Roya et al., 2012; Jennerjahn and Mitchell, 2013). Nilai ekonomi ditunjukan oleh potensi kepiting bakau (kg) di areal mangrove Segara Anakan dengan harga ekonomi yang ditetapkan oleh harga pasar (Fauzi, 2003) (Tabel 4)

  Tabel 4 menunjukan bahwa nilai ekonomi dari penangkapan kepiting bakau per hektar berkisar antara Rp 1.814.815 – Rp 4.925.926. Sedangkan total nilai ekonomi dari kegiatan penangkapan kepiting bakau di Segara Anakan Timur adalah Rp 5.547.199.259 – Rp 15,056,683,704. Sedangkan potensi nilai ekonomi total dari seluruh areal Segara Anakan adalah antara Rp 15,245,569,630 - Rp 41,380,831,852.

Tabel 4. Potensi Nilai Ekonomi Kepiting Bakau Di Segara Anakan

  potensi ekonomi Stasiun

  Potensi Nilai ekonomi total SAL Ekonomi SAL total ESAL Ekonomi ESAL (kg/ha) (Rp/ha) (kg) (Rp) (Kg) (Rp)

  Donan 1 26 1,814,815 217,794 15,245,569,630 79,246 5,547,199,259 Donan 2 22 1,555,556 186,680 13,067,631,111 67,925 4,754,742,222 Kembang kuning 1 56 3,888,889 466,701 32,669,077,778 169,812 11,886,855,556 Kembang kuning 2 44 3,111,111 373,361 26,135,262,222 135,850 9,509,484,444 Sapuregel 1 59 4,148,148 497,815 34,847,016,296 181,133 12,679,312,593 Sapuregel2 70 4,925,926 591,155 41,380,831,852 215,095 15,056,683,704

KESIMPULAN

  Landskap ekosistem mangrove di Segara Anakan termasuk Segara Anakan Bagian Timur memegang peranan penting bagi potensi tangkap kepiting bakau baik dari segi potensi individu, kelimpahan dan nilai ekonominya. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa nilai potensi individu 2 kepiting bakau sekitar sekitar 1 – 9 ekor kepiting pada setiap 300 m areal mangrove dengan 2 kelimpahan sekitar antara 0.0033 –0.0288 indv/m dan nilai ekonomi sekitar Rp 1.814.815/ha – Rp

  4.925.926/ha. Sedangkan nilai total ekonomi dari kegiatan penangkapan kepiting bakau di Segara Anakan adalah sekitar Rp 15,245,569,630 - Rp 41,380,831,852. Dari keseluruhan potensi kepiting bakau yang ditangkap menunjukan bahwa sungai Sapuregel memiliki tingkat landskap mangrove yang lebih baik dibandingkan dengan sungai Donan dan sungai Kembang Kuning.

UCAPAN TERIMA KASH

  Terima kasih kami ucapkan kepada LPPM Universitas Jenderal Soedirman yang telah membantu penelitian ini melalui program Pnelitian Unggulan BLU Unsoed. Kami mengucapkan terima kasih juga kepada Dr. H. Isdy Sulistyo selaku dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unsoed, juga kepada anggota peneliti yaitu Dr. Lilik Kartika Sari dan Drs. Setijanto, M.Sc St serta seluruh mahasiswa yang terlibat di dalam kegiatan penelitian ini.

  DAFTAR PUSTAKA Ansari, R. N. 2007. Status Usaha Kepiting Bakau Ditinjau dari Aspek Peluang dan Prospeknya.

  Jurnal Perikanan. 14 (1): 90-100.

  Ardli, E.R. 2008. A trophic flow model of the Segara Anakan lagoon, Cilacap, Indonesia.

  Dissertation. Faculty of Biology and Chemistry (FB 2) UNIVERSITY OF BREMEN Bremen, May 2008. Ariani, F., Effendi, H., Suprihatin. 2016. Water and sediment oil content spread in Dumai coastal waters, Riau Province, Indonesia. Egyptian Journal of Aquatic Research (2016) 42, 411–

  416. Asmara, H., Etty, R., Agus, S. 2011. Analisis Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting Bakau (Scylla

  Serrata) Di Perairan Segara Anakan,Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Jurnal Matematika, Saint dan Teknologi. 12(1): 30-36. Cahyo, T.N. 2012. Hidrodinamika dan distribusi TDS di Pelawangan Bagian Barat. Thesis.

  Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Cheng, W., C.H., Liu, C.M., Kuo. 2003. Effect of dissolved oxygen on haemolymph parameters of freshwater giant prawn Macrobrachium rosenbergii (de Man). Aquaculture. 22(1) :843-

  856. Fauzi, A. 2003. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi, Gramedia Pustaka Utama.

  Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian.

  23 (1):15-21.

  Hagstrom, G.I., Levin, S.A. 2017. Marine Ecosystems as Complex Adaptive Systems: Emergent Patterns, Critical Transitions, and Public Goods. Ecosystems (2017) 20: 458–476. DOI: 10.1007/s10021-017-0114-3.

  Hilmi, E., Parengrengi., Vikaliana, R., Kusmana, C., Iskandar, Sari, L.K., Setijanto. 2017. The carbon conservation of mangrove ecosystem applied REDD program. Regional Studies in Marine Science 16 (2017) 152–161. Hilmi, E., Sari, L.K., Setijanto. 2017. Integrasi Visi Lanscape, Pengelolaan Dan Konservasi

  Ekosistem Mangrove Untuk Menjaga Kesetabilan Ekosistem Pesisir Dan Pengurangan Resiko Bencana Di Segara Anakan . Laporan Penelitian Penelitian Unggulan BLU Universitas Jenderal Soedirman.

  Hilmi, E., Syakti, A.D., Siregar, A.S., 2015. Strategi konservasi dari ekosistem pesisir dan mangrove untuk mengurangi tsunami, pencemaran dan kemampuan mangrove untuk menyerap karbon (sinker karbon). Laporan Akhir HIKOM. Universitas Jenderal Soedirman.

  Jennerjahn, T.C., Mitchell, S.B. 2013. Pressures, stresses, shocks and trends in estuarine ecosystems - An introduction and synthesis. Estuar. Coast. Shelf Sci. 130, 1–8. Kumalasari, D. 2017. Hubungan Kerapatan Mangrove Dengan Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla

  Serrata) Di Segara Anakan Cilacap Bagian Timur. Skripsi. Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK. Unsoed.

  Marcus, J. 2011. Keanekaragaman Jenis Nekton Di Mangrove Kawasan SegoroAnak Taman Nasional Alas Purwo. Jurnal Agroforestri, 6 (2) : 53-58. Nursid, M. 2002. Distribusi dan Kelimpahan embrio ikan di laguna Segara anakan Cilacap. Thesis.

  Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Putro, S.P., Fahrian, H.H., Widowati., Suhartana. 2015. Application Of Environmental

  Management On The Farming Practice Of Mud Crab Scylla Serrata At Coastal Area Of Ujung Alang, Cilacap, Indonesia: Efforts Toward Sustainable Aquaculture. Procedia Environmental Sciences 23 ( 2015 ) 297 – 306.

  Ragavan, P., Ravichandran, K., Jayaraj, R.S.C., Mohan, P,M., Saxena, A., Saravanan, S.,Vijayaraghavan, A. 2014. Distribution of mangrove species reported as rare in Andaman and Nicobar islands with their taxonomical notes. Biodiversitas. Volume 15, Number 1, April 2014. Pages: 12 – 23.

  Roya, M., Raya, S., Ghosh, P.G. 2012. Modelling of impact of detritus on detritivorous food chain of sundarban mangrove ecosystem, India. Environ. Sci. 8, 377–390. Serosero, H.R. 2005. Studi Distribusi dan Habitat Tiga Jenis Kepiting Bakau (Scylla serrata,

  Scylla paramamosain, dan Scylla olivacea) di Perairan Pantai Desa Mayangan Kabupaten Subang, Jawa Barat. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

  Siahainenia, L. 2008. Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp) di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Soegianto. 1994. Ekologi Kuantitatif. Penerbit Usaha Nasional, Surabaya Zalindri, M., Sastranegara, M.H. 2014.Struktur Komunitas Kepiting Intertidal pada Mangrove yang Terdegradasi di Segara Anakan Cilacap. Biosfera. 31 (3) : 124-130. Zanden, M.J.V., Hansen, G.J.A., Latzka, A.W. 2017. A Framework for Evaluating Heterogeneity and Landscape-Level Impacts of Non-native Aquatic Species. Ecosystems (2017) 20: 477–

  491. DOI: 10.1007/s10021-016-0102-z.