3.1 Perkiraan Luas Tutupan Hutan - Valuasi Ekonomi Hutan

VALUASI EKONOMI

  Dalam menentukan kontribusi suatu sektor kegiatan ekonomi terhadap pembangunan nasional pada umumnya dinyatakan dalam nilai uang yang kemudian dikonversi dalam nilai persentase. Setiap sektor kegiatan ekonomi pasti menghasilkan produksi barang atau pun jasa yang diukur secara fisik. Untuk menyatakan seluruh hasil barang dan jasa kemudian menyatakannya dalam satu nilai diperlukan valuasi ekonomi yang menyatakan semua produksi barang dan jasa itu dalam nilai moneter.

3.1 Perkiraan Luas Tutupan Hutan

  Dalam melakukan valuasi ekonomi, langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengidentifikasi fungsi hutan. Setelah semua fungsinya diidentifikasi dan diketahui, maka dilakukan pengukuran berapa besar volume atau besaran masing-masing. Selanjutnya dilakukan valuasi ekonomi baik per unit maupun secara keseluruhan. Demikian pula dalam kaitannya dengan pengukuran deplesi sumber daya hutan, dilakukan identifikasi fungsi apa sajakah yang hilang karena adanya deplesi sumber daya hutan, selanjutnya dilakukan pengukuran berapa banyak fungsi hutan yang hilang dan akhirnya dilakukan valuasi ekonominya.

  Data yang ada adalah data perubahan luas hutan secara keseluruhan. Karena data valuasi yang ada membedakan antara nilai perubahan dari hutan primer ke hutan sekunder dan dari hutan sekunder ke hutan rusak, maka perubahan luas hutan disesuaikan dengan perkiraan luas hutan tersebut di atas. Diperkirakan perubahan dari hutan primer ke sekunder sebesar 35% dari total perubahan luas hutan, sisanya 65% berupa perubahan hutan sekunder ke hutan rusak.

  Hal ini sesuai dengan perkembangan sektor kehutanan di mana pada awal 1970-an hampir seluruh hutan berupa hutan primer; sedangkan menjelang akhir tahun 1990-an sebagian hutan sudah menjadi hutan sekunder. Tabel 3.1 menyajikan luas tutupan hutan (forest cover) di Indonesia antara tahun 1998 sampai dengan tahun 2004. Tampak pada kolom pertama dari Tabel 3.1 itu bahwa dari tahun ke tahun luas tutupan hutan di Indonesia menurun terus dari 101.843.486 Ha pada tahun 1998 menjadi 81.964.217 Ha pada tahun 2004, dengan laju penurunan luas hutan yang semakin cepat yaitu mulai dari sekitar 2,53%/tahun pada tahun 1998 meningkat menjadi 4,82%/tahun pada tahun 2003. Secara rata-rata penurunan luas tutupan hutan itu mencapai 3,55% per tahun dalam kurun waktu 6 tahun sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2003.

  Penurunan luas tutupan hutan paling tinggi terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar 4.149.479 Ha pada tahun 2004. Tampak bahwa pengurangan luas tutupan hutan itu meningkat dengan cepat dimulai saat terjadinya krisis ekonomi di Indonesia dan menjadi semakin cepat lagi setelah berlakunya sistem pemerintahan dengan otonomi daerah yang secara efektif mulai berlaku pada tahun 2001.

  Dalam Tabel 3.1 itu dibedakan antara perubahan luas tutupan hutan dari hutan primer menjadi hutan sekunder, dan dari hutan sekunder menjadi hutan rusak (degraded). Tampak di situ bahwa luas tutupan hutan yang berubah dari hutan primer ke hutan sekunder relatif lebih sempit dibandingkan dengan luas tutupan hutan yang berubah dari hutan sekunder menjadi hutan rusak.

Tabel 3.1 Proyeksi Luas Tutupan Hutan (Forest Cover) dan Perubahannya

  

Indonesia1998 – 2004

(tidak termasuk reboisasi)

Perubahan Luas Primer ke Sekunder ke Total Tahun (ha) Sekunder Degraded (ha) (%) (ha) (ha)

  1998 101.843.486 901.775 1.674.725 2.576.500 2,53 1999 99.266.986 991.953 1.842.198 2.834.150 2,86 2000 96.432.836 1.091.148 2.026.417 3.117.565 3,23 2001 93.315.271 1.200.263 2.229.059 3.429.322 3,67 2002 89.885.950 1.320.289 2.451.965 3.772.254 4,20 2003 86.113.696 1.452.318 2.697.161 4.149.479 4,82 2004 81.964.217 - - - -

  • Total 6.957.746 12.921.525 19.879.270

  Rata-rata perubahan 1.159.624 2.153.588 3.313.212 3,55 per tahun

  Sumber: Departemen Kehutanan

  Dengan perkiraan produksi kayu di hutan primer yang berubah menjadi hutan

  3

  sekunder sebanyak 40 m /ha, dan dari hutan sekunder ke hutan rusak

  3

  diperkirakan volume kayunya adalah setengahnya yaitu 20 m /ha, maka atas dasar perkiraan ini dapat diperoleh angka deplesi sumber daya kayu hutan di Indonesia. Hasil penghitungan deplesi kayu hutan akan disajikan pada bagian berikut dan dibahas lebih dalam pada Bab IV dalam laporan ini.

3.2. Valuasi Ekonomi terhadap Deplesi dan Degradasi

  Selanjutnya seperti yang telah dikemukakan di atas untuk sumber daya alam yang mudah diukur kuantitasnya dan diketahui harganya di pasar baik melalui pasar yang sesungguhnya ataupun pasar tiruan (surrogate), valuasinya dapat menggunakan unit rent atau unit price.

  Untuk fungsi-fungsi hutan yang sifatnya tidak harus melalui penggunaan, valuasinya (non-use value) akan menggunakan “benefit transfer”, karena penghitungan secara langsung biasanya dengan menggunakan survei lapangan yang memakan banyak biaya dan hal ini tidak mungkin dilakukan sekarang. Data nilai ekonomi fungsi hutan salah satunya diadopsi dari perhitungan Natural Resources Management (NRM) seperti tampak pada Tabel 3.2. Nilai ekonomi dibedakan menjadi nilai guna (use value) dan nilai tanpa penggunaan (non-use

  

value). Selanjutnya nilai guna dibedakan menjadi nilai guna langsung dan nilai

  guna tidak langsung. Contoh dari nilai guna langsung adalah nilai untuk kayu bulat, kayu bakar, dan hasil hutan lainnya seperti madu dan air. Nilai guna tidak langsung, di antaranya nilai terhadap konservasi lahan dan air, penyerap karbon, pencegah banjir, dan keanekaragaman hayati. Kemudian nilai tanpa penggunaan meliputi nilai pilihan dan nilai keberadaan. Tabel 3.2 menampilkan nilai rata-rata per hektar hutan untuk masing-masing jenis fungsi hutan .

Tabel 3.2 Nilai Ekonomi Total Hutan Indonesia (US$/Ha/Thn)

  Hutan Produksi Hutan Hutan Macam nilai Hutan Hutan Konservasi Lindung primer sekunder

Nilai guna 182,50 178,51 285,48 285,48

  Nilai Guna langsung 100,20 84,94 123,36 123,36 Kayu 55,68 49,01 55,63 55,63 kayu bakar 0,14 0,14 0,14 0,14 hasil hutan non kayu 43,99 35,40 26,00 26,00 Penggunaan air 0,39 0,39 97,36 97,36 Nilai guna tak langsung 82,29 93,57 106,35 106,35 konservasi tanah dan air 37,97 36,64 37,97 37,97 serapan karbon 6,00 25,00 5,00 5,00 perlindung banjir 23,57 22,40 48,64 48,64 transportasi air 5,30 5,30 5,30 5,30 keanekaragaman hayati 9,45 4,24 9,45 9,45

  

Nilai bukan guna 8,76 6,93 16,37 16,37

Nilai pilihan 3,11 2,69 6,92 6,92 Nilai keberadaan 5,65 4,24 9,45 9,45

  

Nilai ekonomi total 191,25 185,44 301,85 301,85

Note: semua angka dalam US$ at 2000 prices Residual stand damage

  0,00

Sumber : Perhitungan nilai ekonomi total dengan menjumlahkan nilai guna langsung

hasil perkiraan NRM dan nilai jasa lingkungan yang hilang hasil perkiraan Simangunsong. Nilai kayu di hutan konversi dan hutan lindung ditambahkan oleh M.Suparmoko dengan mengadopsi nilai kayu di hutan hutan primer.

  Pada Tabel 3.2 di atas ditampilkan nilai hutan menurut penggunannya dan juga dibedakan antara hutan produksi, hutan konservasi dan hutan lindung. Menurut perhitungan NRM, hanya pada hutan produksi yang diberikan nilai untuk kayu dan kayu bakar yang dihasilkannya, sedangkan untuk hutan konservasi dan hutan lindung tidak diperhitungkan nilai kayu dan kayu bakarnya karena dianggap hutan konservasi dan hutan lindung tidak boleh ditebang dan dimbil kayunya. Namun demikian Suparmoko berpendapat bahwa dalam menilai hutan konservasi dan hutan lindung harus memasukkan nilai kayunya juga, sebab kalau ada penebangan kayu di hutan konservasi dan hutan lindung yang hilang tidak hanya jasa lingkungannya tetapi juga kayunya. Dengan logika valuasi/penghitungan demikian maka nilai hutan konservasi dan hutan lindung akan lebih tinggi daripada nilai hutan produksi, baik itu yang merupakan hutan primer maupun hutan sekunder; masing masing dengan urutan berikut: US$ 191,25/Ha/tahun untuk hutan primer, US$ 185,44/Ha/tahun untuk hutan sekunder; US$ 301,85/Ha/tahun untuk hutan konservasi, dan US$ 301,85 untuk hutan lindung. NRM memberikan nilai guna langsung yang lebih tinggi untuk hutan primer dibanding dengan hutan sekunder; tetapi memberikan nilai yang lebih tinggi untuk nilai guna tidak langsung (seperti untuk konservasi tanah dan air konservasi tanah dan air, serapan karbon, perlindung banjir, transportasi air, dan untuk keanekaragaman hayati) untuk hutan sekunder dibanding dengan untuk hutan primer. Hal ini dimengerti karena memang hutan primer biasanya sudah dikatakan sebagai hutan masak (mature) di mana fungsinya sebagai penyedia layanan atau jasa lingkungan lebih rendah dibanding dengan hutan yang sedang dan masih tumbuh menjadi besar. Walaupun demikian hutan primer tetap memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibanding dengan hutan sekunder, karena sangat tingginya nilai guna dari produk-produk hutan yang ekstraktif seperti kayu dan lain sebagainya.

  Mengenai perkiraan nilai untuk deplesi dan degradasi lingkungan yang berkaitan dengan sumber daya hutan dilakukan 3 (tiga) macam skenario karena adanya perbedaan metode valuasi dan nilai yang diperoleh. Tiga metode atau pendekatan yang digunakan adalah pertama metode dan nilai yang diberikan oleh Natural Resources Management yang merupakan proyek yang dikelola oleh BAPPENAS dan USAID yang kemudian disebut sebagai skenario pertama. Kemudian ada pendekatan yang telah dibuat oleh Bintang Simangunsong yang memberikan nilai yang berbeda terhadap berbagai fungsi hutan, dan ini merupakan skenario kedua. Selanjutnya metode ketiga yaitu pendekatan yang dibuat oleh Suparmoko dkk yang memperkirakan nilai deplesi dan degradasi atas dasar pungutan dana reboisasi dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sebesar 15% dari nilai hutan secara keseluruhan. Nilai sumber daya hutan atas dasar perkiraan ini adalah 100/15 x (nilai PSDH dan nilai degradasi). Ini merupakan skenario ketiga. Hasil dari masing-masing skenario itu ditampilkan dalam Tabel 3.3 – Tabel 3.9.

3.2.1 Skenario I: Valuasi Ekonomi dengan pendekatan NRM

  Dengan menggunakan pendekatan NRM diperoleh nilai deplesi dan degradasi sumber daya alam seperti tampak dalam Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Deplesi Sumber Daya Hutan

  

dan Degradasi Lingkungan Hutan Primer ke Sekunder

Indonesia Tahun 1998 – 2003 (Rp trilyun)

Tahun Deplesi Degradasi Depresiasi

  1998 0,73 0,67 1,40 1999 0,71 0,65 1,36 2000 1,03 0,93 1,96 2001 1,26 1,14 2,40 2002 1,18 1,07 2,25 2003 1,24 1,12 2,36 Total 6,15 5,58 11,73

  Sumber: NRM, data diolah

  Nilai deplesi sumber daya hutan sebagai akibat perubahan hutan dari hutan primer menjadi hutan sekunder diperkirakan meningkat terus sesuai dengan laju penebangan kayu hutan di hutan primer yaitu meningkat dari Rp 0,73 trilyun pada tahun 1998 menjadi Rp 1,24 trilyun pada tahun 2003. Sedangkan degradasi lingkungan karena kegiatan kehutanan diperkirakan rata-rata lebih besar dibanding dengan nilai deplesi sumber daya hutan yaitu dari Rp 0,67 pada tahun 1998 menjadi Rp 1,12 trilyun pada tahun 2003. Kalau nilai deplesi sumber daya hutan ditambah dengan nilai degradasi lingkungan karena kegiatan kehutanan akan diperoleh nilai depresiasi (penyusutan) pada sektor kehutanan dan nilai depresiasi itu mencapai Rp 2,36 trilyun pada tahun 2003. Secara keseluruhan dalam waktu 6 tahun dari 1998 sampai dengan 2003 telah terjadi depresiasi pada hutan primer menjadi hutan sekunder sebesar Rp 11,73 trilyun, atau rata-rata sebesar Rp 1,95 trilyun per tahun dalam kurun waktu 6 tahun 1998 -2003.

  Selanjutnya Tabel 3.4 menyajikan nilai deplesi sumber daya hutan dan juga nilai degradasi lingkungan karena kegiatan pada hutan sekunder. Tampak bahwa nilai deplesi sumber daya hutan maupun nilai degradasi lingkungan pada hutan sekunder lebih tinggi daripada nilai deplesi dan nilai degradasi lingkungan pada hutan primer. Hal ini karena luas penebangan di hutan sekunder ternyata lebih tinggi daripada luas hutan yang ditebang di hutan primer.

Tabel 3.4 Deplesi Sumber Daya Hutan

  

dan Degradasi Lingkungan Hutan Sekunder ke Hutan Rusak

Indonesia Tahun 1998 – 2003

(Rp trilyun)

Tahun Deplesi Degradasi Depresiasi

  

1998 1,15 1,36 2,51

1999 1,12 1,33 2,45

2000 1,62 1,91 3,53

2001 1,98 2,34 4,32

2002 1,86 2,20 4,06

2003 1,95 2,31 4,26

Total 9,68 11,45 21,13

  Sumber: NRM, data diolah

  Di sisi lain nilai deplesi dan nilai degradasi per hektar antara hutan primer dan hutan sekunder tidak jauh berbeda. Akibatnya nilai depresiasi pada hutan sekunder hutan jauh lebih besar dibanding pada hutan primer. Tampak pada

tabel 3.4 bahwa baik nilai deplesi dan nilai degradasi hutan dan lingkungan juga meningkat terus dari tahun ke tahun dan secara keseluruhan dalam waktu 6

  tahun terjadi deplesi di hutan sekunder sebesar Rp 9,68 trilyun dan degradasi lingkungan sebesar Rp 11,45 trilyun. Akibatnya nilai depresiasi sumber daya dan lingkungan hutan mencapai Rp 21,13 trilyun selama 6 tahun. Nilai ini hampir dua kali lipat nilai depresiasi pada sumber daya hutan primer.

  Selanjutnya dengan menjumlahkan nilai deplesi sumber daya hutan dan nilai degradasi lingkungan kehutanan pada Tabel 3.3 dan Tabel 3.4 akan diperoleh nilai deplesi dan nilai degradasi keseluruhan untuk semua jenis hutan di Indonesia dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2003 seperti tampak dalam Tabel 3.5 di bawah ini.

Tabel 3.5 Total Nilai Deplesi dan Degradasi Hutan Indonesia

  

Tahun 1998 - 2003

(Rp trilyun)

Tahun Deplesi Degradasi Depresiasi

  1998 1,88 2,03 3,91 1999 1,83 1,98 3,81 2000 2,65 2,84 5,49 2001 3,24 3,48 6,72 2002 3,04 3,27 6,31 2003 3,19 3,43 6,62 Total 15,83 17,03 32,86 Sumber: NRM, data diolah

  Dalam waktu 6 tahun dari 1998 sampai tahun 2003 telah terjadi depresiasi sumber daya hutan sebesar Rp 32,86 trilyun dengan laju yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata sebesar Rp 6,57 trilyun / tahun untuk kurun waktu 1998 -2003. Dari tabel itu juga terlihat bahwa nilai degradasi lingkungan selalu lebih besar dibanding dengan nilai deplesi sumber daya hutan.

3.2.2 Skenario II: Valuasi Ekonomi dengan Pendekatan Simangunsong

  Bintang Simangunsong memperkirakan nilai ekonomi total (TEV) sumber daya hutan mencapai US$ 1.283 sampai US$ 1.416 /ha/tahun, atau kalau diambil nilai tengahnya menjadi US$ 1.349,5/Ha/tahun. Apabila hutan ditebang diperkirakan oleh Simangunsong akan terjadi kerusakan seperti dalam Tabel 3.6 di bawah ini.

Tabel 3.6 Forest Value Of Goods And Services Loss Due To Timber Cutting

  

(US$/Ha)

No. Services US$/Ha

  Non timber Residual stand damage Soil and water conservation service loss Carbon sink service Flood protection service The option values The existence value

  8.59

  79.41

  1.33 113.01

  1.18

  0.41

  1.41 Total loss 205.34

  Sumber: Bintang Simangunsong

  Perhitungan Simangunsong hanya mencakup degradasi atau kehilangan nilai barang dan jasa hutan karena penebangan hutan. Nilai kayu yang ditebang belum diberikan nilai. Untuk mendapatkan nilai total deplesi dan degradasi hutan, dalam pendekatan ini akan dijumlahkan antara nilai deplesi atas dasar perhitungan NRM dan nilai degradasi atas dasar perhitungan Simangunsong. Hasil perhitungannya ditampilkan seperti yang tampak dalam Tabel 3.7 di bawah ini untuk nilai deplesi dan nilai degradasi serta penjumlahannya yaitu nilai depresiasi hutan primer.

Tabel 3.7 Deplesi Sumber Daya Hutan dan

  

Degradasi Lingkungan Hutan Primer ke Sekunder Indonesia

Tahun 1998 – 2003 (Rp trilyun)

Tahun Deplesi *) Degradasi Depresiasi

  1998 0,73 1,50 2,23 1999 0,71 1,46 2,17 2000 1,03 2,10 3,13 2001 1,26 2,58 3,84 2002 1,18 2,42 3,60 2003 1,24 2,54 3,78

Total 6,15 12,60 18,75

Sumber: Bintang, data diolah

  • ) Perhitungan dengan data NRM

  Tampak dalam Tabel 3.7 tersebut bahwa nilai depresiasi sumber daya hutan dan lingkungan kehutanan di hutan primer jauh lebih besar yaitu Rp 18,75 trilyun dibanding nilai hasil perkiraan atas dasar nilai hutan NRM yang hanya sebesar Rp 11,73 trilyun. Hal ini terjadi karena Simangunsong memberikan nilai yang jauh lebih tinggi terhadap jasa lingkungan kehutanan khususnya dalam hal hutan sebagai penyerap karbon (carbon sink).

Tabel 3.8 menyajikan nilai deplesi dan degradasi kehutanan untuk hutan sekunder yang berubah menjadi hutan yang rusak. Tampak bahwa nilai

  depresiasi hutan sekunder juga lebih tinggi dibanding dengan nilai depresiasi hutan primer untuk metode penilaian yang sama dan juga pada nilainya sebesar Rp 33,08 trilyun dimana nilai ini jauh lebih besar dibanding nilai yang didasarkan atas penilaian NRM sebesar Rp 21,13 trilyun.

Tabel 3.8 Nilai Deplesi Sumber Daya Hutan

  

dan Degradasi Lingkungan Hutan Sekunder ke Hutan Rusak

Indonesia Tahun 1998 – 2003 (Rp trilyun)

Tahun Deplesi*) Degradasi Depresiasi

  1998 1,15 2,79 3,94 1999 1,12 2,71 3,83 2000 1,62 3,90 5,52 2001 1,98 4,78 6,76 2002 1,86 4,50 6,36 2003 1,95 4,72 6,67 Total 9,68 23,40 33,08 Sumber: Bintang, data diolah

  • ) Perhitungan dengan data NRM

  Secara keseluruhan depresiasi sumber daya hutan Indonesia berdasarkan perhitungan Simangunsong tampak pada Tabel 3.9. Karena nilai depresiasi merupakan penjumlahan dari nilai deplesi sumber daya hutan dan nilai degradasi lingkungan hutan, maka secara keseluruhan nilai depresiasi hasil perhitungan Simangunsong (skenario II) Rp

  5 1,83 trilyun tetap lebih besar

  dibanding dengan nilai depresiasi atas dasar perhitungan NRM (skenario I) yaitu sebesar Rp 32,86 trilyun.

Tabel 3.9 Total Nilai Deplesi Sumber Daya Alam

  

dan Degradasi Lingkungan Hutan Indonesia

Tahun 1998 – 2003 (Rp trilyun)

Tahun Deplesi Degradasi Depresiasi

  

1998 1,88 4,29 6,17

1999 1,83 4,17 6,00

2000 2,65 6,00 8,65

2001 3,24 7,36 10,60

2002 3,04 6,92 9,96

2003 3,19 7,26 10,45

Total 15,83 36,00 51,83

Sumber: Bintang, data diolah

  • ) Perhitungan dengan data NRM

3.2.3 Skenario III: Valuasi Ekonomi dengan Pendekatan Suparmoko

  Satu pendekatan lain adalah dengan menggunakan nilai pungutan hutan sebagai proxy terhadap nilai hutan secara keseluruhan baik itu nilai guna dan nilai tanpa penggunannya. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa nilai pungutan hutan paling tidak sebesar 15% dari nilai dasar pungutan itu yaitu nilai hutan secara keseluruhan. Dengan pendekatan ini maka nilai hutan secara keseluruhan akan dapat diperkirakan.

Tabel 3.10 menampilkan rata-rata besarnya beberapa pungutan hutan di Indonesia.Tabel 3.10 Nilai Pungutan Hutan di Indonesia

  3 Tahun 2000, (Rp/m )

  3 No. Pungutan Rp/m Rp/Ha

  1 PSDH 58.000 2.320.000

  2 Dana Reboisasi 160.000 6.400.000

  3 Dana Pihak Ketiga 5.000 2.00.000

  __________

  4 Total Pungutan

  8.920.000 Sumber: Departemen Kehutanan dan Dinas Kehutanan Kabupaten Berau. Dengan pungutan Provisi Sumber Daya Hutan sebesar Rp 58.000 per meter

  1

  3

  kubik, nilai dana reboisasi sebesar US$ 16.00 atau Rp 160.000,- per m dan dana pihak ketiga seperti yang dipraktekkan di Kabupaten Berau sebesar Rp

  3

  5.000,-/m . Karena pada umumnya nilai deplesi sumber daya hutan dan nilai degradasi lingkungan dinyatakan dalam satuan luas hutan (Ha), maka nilai-nilai pungutan di atas dikonversi dalam kolom terakhir dari Tabel 3.10. Karena diperkirakan nilai pungutan sebesar 15% dari produk dan jasa hutan, maka nilai total produk dan jasa hutan adalah 100/15xRp 8.920.000 = Rp 59.470.000/ha/th atau sebesar US$ 5,947/ha/th.

  Nilai ini jauh lebih besar dibanding dengan nilai hasil perkiraan NRM. NRM menilai kerusakan akibat perubahan dari hutan primer ke hutan sekunder sebesar Rp 920.00/ha/tahun, dan dari hutan sekunder ke hutan rusak senilai Rp2.030.000/ha/tahun. Nilai pungutan yang berupa PSDH dan nilai sumbangan pihak ketiga dapat diartikan sebagai pungutan terhadap eksploitasi hasil hutan khususnya kayu hutan, sedangkan dana reboisasi dapat diartikan sebagai nilai yang ada kaitannya dengan kerusakan lingkungan (degradasi lingkungan). Oleh karena itu dengan menggunakan dasar pungutan PSDH dan dana reboisasi, perkiraan nilai deplesi dan degradasinya untuk hutan primer menjadi hutan sekunder dapat dilihat pada Tabel 3.11. Dengan metode penghitungan nilai deplesi sumber daya hutan dan nilai degradasi hutan atas dasar nilai pungutan di sektor kehutanan yang dikenakan, terlihat bahwa nilai depresiasi sumber daya hutan dan lingkungan pada hutan primer yang dieksploitasi menjadi hutan sekunder menjadi jauh lebih tinggi daripada hasil perkiraan atas nilai ekonomi NRM dan nilai ekonomi Simangunsong.

Tabel 3.11 Deplesi Sumber Daya Hutan

  

dan Degradasi Lingkungan Hutan Primer ke Sekunder

Tahun 1998 – 2003 (Rp trilyun)

Tahun Deplesi Degradasi Depresiasi

  1998 2,27 5,77 8,04 1999 2,50 6,35 8,85 2000 2,75 6,98 9,73 2001 3,02 7,68 10,71 2002 3,33 8,45 11,78 2003 3,66 9,29 12,95 Total 17,53 44,53 62,06 1 Sumber: Suparmoko, data diolah

  Dengan asumsi nilai tukar Rp 10.000 per US$ 1 pada tahun 2003 Dalam penghitungan pada hutan primer selama 6 tahun didapatkan angka deplesi total sebesar 17,53 trilyun, angka deplesi hutan primer ini lebih besar dibandingkan penghitungan pada skenario I dan II yaitu sebesar 6,15 trilyun. Begitu juga untuk nilai degradasi total pada hutan primer didapatkan angka sebesar 44,53 trilyun, sehingga secara keseluruhan didapatkan angka depresiasi terhadap hutan primer mulai tahun 1998 hingga 2003 yaitu sebesar 62,06 trilyun.

  Demikian pula hasil penghitungan untuk nilai deplesi dan nilai degradasi hutan sekunder ke hutan rusak,. Hasil perkiraan atas dasar nilai pungutan kehutanan juga jauh lebih besar. (Lihat Tabel 3.12).

  

Tabel.3.12

Nilai Deplesi Sumber Daya Hutan

dan Degradasi Lingkungan Hutan Sekunder ke Hutan Rusak

Tahun 1998 – 2004 (Rp trilyun)

  

Tahun Deplesi Degradasi Depresiasi

1998 4,22 10,72 14,94 1999 4,64 11,79 16,43 2000 5,11 12,97 18,08 2001 5,62 14,26 19,88 2002 6,18 15,69 21,87 2003 6,80 17,26 24,06 Total 32,56 82,70 115,26 Sumber: Suparmoko, data diolah.

  Sebagai hasil akhir, estimasi nilai depresiasi sumber daya hutan Indonesia menjadi jauh lebih besar daripada nilai-nilai depresiasi sumber daya hutan yang dihitung menggunakan nilai hasil estimasi NRM dan Bintang Simangunsong. Estimasi depresiasi total ditampilkan pada Tabel 3.13 berikut ini:

Tabel 3.13 Total Nilai Deplesi Sumber Daya Alam

  

dan Degradasi Lingkungan Hutan

Indonesia Tahun 1998 – 2004 (Rp trilyun)

Tahun Deplesi Degradasi Depresiasi

  1998 6,49 16,49 22,98 1999 7,14 18,14 25,28 2000 7,86 19,95 27,81 2001 8,64 21,94 30,59 2002 9,51 24,14 33,65 2003 10,46 26,55 37,01 Total 50,09 127,23 177,32 Sumber: Suparmoko, data diolah

3.3 Ikhtisar

  Perhatikan hasil rekapitulasi nilai deplesi, nilai degradasi dan nilai depresiasi sumber daya hutan Indonesia hasil ke tiga skenario yang ditampilkan pada

Tabel 3.14 - Tabel 3.16.

  Tim Peneliti Kajian Analisis Kontribusi Sektor Kehutanan kepada Pembangunan Naional Indonesia yakin bahwa cara atau metode pendekatan yang terakhir yang lebih realistis walaupun tidak memperinci secara detail nilai-nilai sumber daya alam dan lingkungan untuk sumber daya kehutanan yang dikelola oleh Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

  Implikasi dari nilai deplesi, degradasi dan depresiasi sumber daya hutan itu adalah bahwa sektor kehutanan memerlukan dana untuk rehabilitasi hutan sebesar nilai depresiasinya. Seperti dalam hal sumber daya modal buatan manusia, depresiasi atau penyusutan diartikan sebagai penyisihan dana untuk keperluan investasi kembali pada saat umur teknis barang modal tersebut sudah habis. Pada saat itu nilai total dana hasil penyusutan dapat digunakan untuk membeli barang modal baru yang sejenis dengan barang modal yang disusut nilainya.

  Demikian pula untuk sumber daya hutan, hilangnya nilai hutan sebesar nilai depresiasi sumber daya hutan dan lingkungan harus digantikan dengan sumber daya hutan baru yang sesuai dengan hutan dan jasa-jasanya yang hilang. Siapa yang harus membayar nilai depresiasi tersebut? Nilai depresiasi tersebut sering pula disebut dengan royalti yaitu pungutan yang dikenakan oleh pemerintah kepada semua pemegang HPH atau sejenisnya yang mengeksploitasi sumber daya hutan. Dengan kata lain royalti tersebut bisa dalam bentuk pungutan retribusi, PSDH ataupun dana reboisasi. Pada Tabel 3.14 berikut ini disajikan perbandingan nilai deplesi sumber daya hutan berdasarkan estimasi dari ketiga skenario.

Tabel 3.14 Deplesi Sumber Daya Hutan Indonesia, 1998-2003

  

(3 skenario)

Tahun Skenario I Skenario II Skenario III

1998 1,88 1,88 6,49 1999 1,83 1,83 7,14 2000 2,65 2,65 7,86 2001 3,24 3,24 8,64 2002 3,04 3,04 9,51 2003 3,19 3,19 10,46

  Total 15,83 15,83 50,09 Sumber: Tabel 3.5, Tabel 3.9, Tabel 3.13

Catatan: Nilai deplesi pada skenario II merupakan asumsi dengan menggunakan

estimasi nilai deplesi yang dilakukan oleh NRM.

  12

10 Skenario III

  8 e s ta n

  6 e rs e P

4 Skenario I & Skenario II

  2 1998 1999 2000 2001 2002 2003

  Tahun

Gambar 3.1 Deplesi Sumber Daya Hutan Indonesia, 1998-2003

  5

  10

  15

  20

  25

  30 1998 1999 2000 2001 2002 2003

  Tahun P e rs e n ta s e

Tabel 3.15 menyajikan angka degradasi sumber daya hutan berdasarkan estimasi ketiga skenario. Pada tabel tersebut terlihat jelas bahwa hasil

  perhitungan degradasi mulai dari skenario I hingga skenario III angkanya semakin besar, terutama pada skenario III angka yang muncul cukup besar dibanding kedua skenario lainnya.

Tabel 3.15 Degradasi Sumber Daya Hutan Indonesia, 1998-2003

  

(3 skenario)

Tahun Skenario I Skenario II Skenario III

1998 2,03 4,29 16,49

1999 1,98 4,17 18,14

2000 2,84 6,00 19,95

2001 3,48 7,36 21,94

2002 3,27 6,92 24,14

2003 3,43 7,26 26,55

  

Total 17,03 36,00 127,23

Sumber: Tabel 3.5, Tabel 3.9, Tabel 3.13

  Untuk lebih jelasnya maka angka pada tabel 3.15 tersebut diterjemahkan dalam bentuk grafik seperti yang disajikan pada Gambar 3.2 di bawah ini:

Gambar 3.2 Degradasi Sumber Daya Hutan Indonesia, 1998-2003

  Skenario III Skenario II Skenario I Berikutnya Tabel 3.16 menyajikan pula secara bersamaan ketiga skenario estimasi terhadap depresiasi sumber daya hutan di Indonesia.

Tabel 3.16 Depresiasi Sumber Daya Hutan Indonesia, 1998-2003

  

(3 skenario)

Tahun Skenario I Skenario II Skenario III

1998 3,91 6,17 22,98

1999 3,81 6,00 25,28

2000 5,49 8,65 27,81

2001 6,72 10,60 30,59

2002 6,31 9,96 33,65

2003 6,62 10,45 37,01

  Total 32,86 51,83 177,32 Sumber: Tabel 3.5, Tabel 3.9, Tabel 3.13

  Dari skenario I diperoleh angka depresiasi sumber daya hutan dan lingkungan yang terlalu rendah, dan tampaknya kurang realistis, karena dalam waktu 6 tahun 1998-2003 diperkirakan hanya terjadi depresiasi sumber daya hutan sebesar Rp 32.86 trilyun, padahal hutan yang ditebang seluas 19.879.270 Ha pada periode waktu yang sama, atau rata-rata hanya sebesar Rp 1.652.978 per hektar.

  Nilai ini dianggap kurang wajar jika dibanding dengan nilai pungutan untuk dana

  3

  reboisasi saja sudah sebesar U$ 16 per m atau sekitar US$ 640 per hektar yang kalau dinyatakan dalam nilai rupiah sebesar Rp 6.400.000,- Dalam skenario II di mana nilai penghitungan depresiasi atas dasar pendekatan nilai Simangunsong berada di posisi tengah yaitu sebesar Rp 51,83 trilyun untuk

  

periode waktu 6 tahun 1998 -2003. Dengan luas tebang sebesar 19.879.270 Ha

  untuk periode waktu yang sama, maka nilai depresiasi hutan dan lingkungan per hektar sebesar Rp 2.607.238,60. Kemudian dalam Skenario III di mana nilai depresiasi diperkirakan atas dasar nilai pungutan kehutanan yang berlaku saat ini, nilai depresiasinya adalah yang paling tinggi yaitu sebesar Rp 177,32 trilyun untuk periode waktu 6 tahun dari 1998 sampai dengan 2003. Dengan luas tebang yang sama (19.879.270 Ha) selama periode 1998-2003 tersebut diperoleh nilai depresiasi hutan sebesar Rp 8.919.844,62 per hektar .

  Untuk lebih jelasnya angka-angka depresiasi pada Tabel 3.16 ditampilkan pula dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 3.3 di bawah ini.

  40,00 35,00 Skenario III

  30,00 e 25,00 s ta n 20,00 e rs e 15,00 P Skenario II

  10,00 5,00 Skenario I

  0,00 1998 1999 2000 2001 2002 2003

  Tahun

Gambar 3.3 Depresiasi Sumber Daya Hutan Indonesia, 1998-2003

  Namun demikian angka-angka tersebut masih merupakan angka potensial. Untuk menjadi angka aktual masih memerlukan perjuangan, karena nilai royalti tersebut harus diperjuangkan dan menyangkut pembagian rejeki berbagai pihak.

  Tentu akan ada saling tarik menarik antar berbagai pihak yang berkepentingan. Misalnya apakah para pengusaha atau pemegang HPH akan rela begitu saja melepas sebagian dari keuntungan yang semula diterima dalam jumlah yang lebih banyak yang akan dikurangi dengan tambahan royalti yang tentu akan menurunkan jumlah penerimaan keuntungannya.

Dokumen yang terkait

Efisiensi pemasaran kayu jenis sengon (paraserianthes falcataria) (studi kasus Hutan Rakyat Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor)

17 93 118

Idioms Used In Real Steel Movie - Digital Library IAIN Palangka Raya

2 4 9

BAB IV HASIL PENELITIAN - Pengaruh Dosis Ragi Terhadap Kualitas Fisik Tempe Berbahan Dasar Biji Cempedak (Arthocarpus champeden) Melalui Uji Organoleptik - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 2 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Uji Kualitas Mikrobiologi Minuman Olahan Berdasarkan Metode Nilai MPN Coliform di Lingkungan Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kelurahan Pahandut Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

1 2 12

PENGARUH ADVERTISING TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN PRODUK KOSMETIK WARDAH DENGAN SELEBRITIS ENDORSER SEBAGAI VARIABEL MODERASI Hema Malina Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Slamet Riyadi Surakarta e-mail: Hemamalina1993gmail.com ABSTRACT

0 1 7

The effect of personal vocabulary notes on vocabulary knowledge at the seventh grade students of SMP Muhammadiyah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 20

BAB IV HASIL PENELITIAN - Penerapan model pembelajaran inquiry training untuk meningkatkan berpikir kritis dan hasil belajar siswa pada pokok bahasan gerak lurus - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 1 23

CHAPTER I INTRODUCTION - The effectiveness of anagram on students’ vocabulary size at the eight grade of MTs islamiyah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 10

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Penelitian Sebelumnya - Perbedaan penerapan metode iqro’ di TKQ/TPQ Al-Hakam dan TKQ/TPQ Nurul Hikmah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 26

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan model Problem Based Instruction (PBI) terhadap pemahaman konsep dan hasil belajar siswa pokok bahasan tekanan Kelas VIII Semester II di SMPN Palangka Raya Tahun Ajaran 2015/2016 - Digital Library IAIN Pala

0 3 80