HUBUNGAN JENIS KELAMIN, TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN TERHADAP KEJADIAN SKABIES PADA SANTRI PONDOK PESANTREN QOTRUN NADA KOTA DEPOK

HUBUNGAN JENIS KELAMIN, TINGKAT

  

PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN TERHADAP

KEJADIAN SKABIES PADA SANTRI PONDOK

PESANTREN QOTRUN NADA KOTA DEPOK

THE PREVALENCE OF SCABIES CORRELATED TO SEX, EDUCATION LEVEL,

AND KNOWLEDGE ON QOTRUN NADA ISLAMIC BOARDING SCHOOL STUDENTS

DEPOK CITY

  

Zaira Naftassa, Tiffany Rahma Putri

Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta

Korespondensi: Zaira Naftassa. Email:

  

ABSTRAK

Skabiesis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi tungau Sarcoptes

Scabiei Varietas Hominis. Penyakit ini menginfeksi sebagian besar pelajar yang tinggal di asrama, hal ini bisa

disebabkan oleh beberapa kemungkinan, diantaranya: kurangnya higienitas kamar tidur dan personal. Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui hubungan jenis kelamin, tingkat pendidikan dan pengetahuan terhadap kejadian

penyakit skabies di Pondok Pesantren Qotrun Nada Cipayung, Depok tahun 2017. Penelitian ini bersifat deskriptif

analitik dengan desain cross sectional. Subjek penelitian ini adalah santri MTs dan MA Pondok Pesantren

Qotrun Nada dengan jumlah sampel sebanyak 50 santri. Analisis data berdasarkan kejadian penyakit skabies

menggunakan uji Chi-Square (p < 0,05) dan CI 95%. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan

antara jenis kelamin, tingkat pendidikan dan pengetahuan terhadap penyakit skabies.

  Kata Kunci: Pengetahuan, Pendidikan, Skabiesis

  

ABSTRACT

Scabiesis is one of many skin disease caused by an infestation and sensitization of Sarcoptes scabiei var.

  

Hominis. It can infected almost students living in boarding school, caused by several abilites, such as room

facilities and personal hygiene. This study held on Qotrun Nada Islamic Boarding School, Cipayung, Depok, on

year 2017, and focused on prevalence of scabies correlated to sex, education level and knowledge of students.

The study used cross – sectional analytical- descriptive methode. Subjects were all students of Qotrun Nada

Islamic Boarding School, and 50 samples were taken. All data based on prevalence of scabies were analized by

Chi - square test (p < 0,05) and CI 95%. The result showed positive correlation among sex, education level, and

knowledge towards scabies. Some suggenstions could be given by school management and government to take

actions on demolishing the parasite and took some preventions against S. Scabiei infection to maintain students

healthcare on boarding school.

  Keywords: Knowledge, Education, Scabiesis

  

PENDAHULUAN 14 provinsi mempunyai prevalensi penyakit kulit

  Penyakit kulit merupakan salah satu diatas prevalensi nasional, yaitu Nangroe Aceh penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan Darussalam, Sumatera Barat, Bengkulu, Bangka masyarakat Indonesia. Menurut data depkes RI Belitung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, prevalensi penyakit kulit diseluruh Indonesia DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Kakimantan

  Tengah, Kalimantan selatan, Sulawesi Tengah, dan ditahun 2012 adalah 8,46 % kemudian meningkat Gorontalo (Badan Penelitian dan Pengembangan ditahun 2013 sebesar 9 % dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit yang Kesehatan Republik Indonesia, 2013). tersering (Badan Penelitian dan Pengembangan Skabies adalah penyakit kulit menular yang Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Sebanyak disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi Biomedika

  Sarcoptes

HASIL DAN PEMBAHASAN

  31

  variabel jenis kelamin, tingkat pendidikan dan pengetahuan memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian skabies sebab memiliki nilai pvalue dibawah 0.05. Pada jenis kelamin,

  62.0 Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa

  38.0

  32.0

  62.0

  52.0

  48.0

  18.0

  82.0

  31

  19

  19

  Biomedika scabiei var. hominis. Tungau ini tidak bisa terbang

  atau melompat tapi merangkak dengan kecepatan 2,5 cm per menit pada kulit yang hangat. Tungau skabies dapat bertahan selama 2-6 jam pada suhu ruangan dan masih tetap mampu berpenetrasi. Skabies menular dengan dua cara yaitu secara kontak langsung dan tidak langsung (Handoko, 2009). Penyakit skabies diperkirakan mencapai sekitar 300 juta kasus per tahunnya di seluruh dunia dan menyerang semua umur, jenis kelamin, ras, serta tingkat sosioekonomi. Tingkat kejadian skabies dalam literatur terbaru mencapai sekitar dari 0,3% sampai 46%, namun anak-anak paling rentan terjangkit skabies. Masyarakat dengan sumber daya yang rendah sangat rentan terjangkit penyakit skabies. Faktor yang berperan pada tingginya angka kejadian skabies di negara- negara berkembang terkait dengan kemiskinan yang berhubungan dengan rendahnya tingkat kebersihan diri (

  24

  9

  41

  Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Kejadian Skabies, Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan Dan Pengetahuan Karakteristik Responden Jumlah Persentase Kejadian Skabies Positif Negatif Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Tingkat Pendidikan SMP SMA Pengetahuan Kurang baik Baik

  Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa 82% responden mengalami skabies (Tabel 1). Angka ini masih tinggi dan seharusnya dilakukan pencegahan agar penyakit skabies tidak semakin menyebar. Meskipun tidak menyebabkan kematian, namun skabies dapat mempengaruhi konsentrasi belajar para santriwan dan santriwati karena gatal pada malam hari yeng disebabkan karena aktifitas tungau lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab. Selain itu juga, kepadatan hunian menjadi salah satu penyebab terjadinya skabies, dengan kepadatan hunian yang tinggi menjadikan kontak langsung antar santri menjadi tinggi sehingga mudah untuk tertularnya skabies. Kejadian skabies lebih banyak terjadi pada responden perempuan lebih banyak 52% dari responden laki-laki 48%. Berdasarkan tingkat pendidikan, diketahui bahwa responden tingkat SMP lebih banyak 62% dari responden tingkat SMA 32% sedangkan berdasarkan pengetahuan, responden dengan pengetahuan baik lebih tinggi 62% dibanding responden dengan pengetahuan kurang baik 38%.

  menggunakan uji chi-square (x 2 ) dengan analisis univariat dan bivariat.

  accidental sampling. Analisis pada penelitian ini

  VII – XII dengan jumlah 50, dan dilakukan secara

  Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan menggunakan desain studi cross sectional. Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Qotrun Nada kota Depok pada bulan September Tahun 2017. Sampel pada penelitian ini adalah santriwan dan santriwati kelas

  METODE

  Penyakit ini banyak ditemukan pada tempat dengan penghuni padat seperti asrama tentara, penjara dan pondok pesantren. Tempat yang berpenghuni padat ditambah lingkungan yang tidak terjaga kebersihannya akan memudahkan transmisi dan penularan tungau skabies. Penyakit skabies terjadi karena personal hygiene yang kurang baik karena perilaku kebiasaan seperti pinjam meminjam alat dan bahan perlengkapan mandi (sabun, sarung atau handuk), jarang membersihkan tempat tidur (menjemur kasur, mengganti sarung bantal dan sprei). Untuk melakukan personal higiene seperti mandi, cuci dan kakus (MCK) sumber air berasal dari sumur bor kemudian dialirkan pada bak mandi besar. Hal ini terjadi terutama pada santri pondok pesantren karena padatnya aktivitas yang dilakukan oleh mereka sehingga kebersihan sering dianggap sepele (Muafidah dan Santoso, 2017).

  yang sulit, dan kepadatan penduduk (Strong and Johnstone, 2011).

  personal hygiene), akses air

  26

  Biomedika

  71

  Variabel tingkat pendidikan diketahui memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian skabies, dengan nilai p=0.001. Pada penelitian ini santri SMP/Tsanawiyah lebih banyak mengalami skabies (96.8%) dari pada santri SMA/Aliyah. Pada penelitian ini prevalensi skabies berhubungan dengan tingkat pendidikan santri. Prevalensi skabies lebih rendah pada santri yang memiliki tingkat pendidikan aliyah dibandingkan tsanawiyah. Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Ratnasari yang menyatakan prevalensi skabies pada santri aliyah lebih rendah dibandingkan tsanawiyah (Ratnasari dan Sungkar, 2014). Wahjoedi juga melaporkan bahwa prevalensi skabies berhubungan dengan pendidikan, yaitu prevalensi skabies lebih tinggi pada santri tsanawiyah dibandingkan Aliyah (Wahjoedi, 2008). Kuspriyanto pada penelitiannya di pesantren di Pasuruan, Jawa Timur melaporkan hubungan antara prevalensi skabies dengan tingkat pendidikan (Kuspriyanto, 2013).

  2.440 1.125 0.702 195.075 1.765

  0.080 21.818 1.049 0.009

  29 0.009 0.001 0,009

  42.1

  3.2

  3.8

  33.3

  9

  8

  1

  1

  8

  57.9 100

  ditemukan bahwa 66.7% responden laki-laki mengalami skabies dan 96.2% responden perempuan mengalami skabies. Pada variabel tingkat pendidikan, diketahui bahwa 96.8% responden dengan tingkat pendidikan SMP mengalami skabies, 57.9% responden dengan tingkat pendidikan SMA mengalami kejadian skabies. Pada poin pengetahuan, diketahui bahwa 100% responden yang memiliki pengetahuan kurang baik mengalami skabies dan 71% responden yang memiliki pengetahuan baik mengalami skabies.

  96.8

  96.2

  66.7

  22

  19

  11

  30

  25

  16

  Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Tingkat Pendidikan SMP SMA Pengetahuan Kurang baik Baik

  P value OR 95% CI Positif Negatif Lower Upper n % n %

  

Tabel 2. Hubungan Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan Dan Pengetahuan Terhadap Kejadian Skabies

Variabel Kejadian Skabies

  Hasil analisis menunjukan bahwa adanya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian skabies dengan nilai p < dari 0.05 yaitu 0.009. Pada penelitian ini, santri perempuan lebih banyak mengalami skabies yaitu 96.2%. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ratnasari yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin terhadap kejadian penyakit scabies (Ratnasari dan Sungkar, 2014). Penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian Al Audhah yang menyebutkan bahwa laki-laki lebih berisiko terkena skabies sebanyak 24 kali dibandingkan perempuan (Al Audhah et al., 2012). Hal ini menunjukkan bahwa baik jenis kelamin laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama untuk mengalami scabies (Handoko, 2009). Selain itu, jumlah kamar yang tidak sesuai dengan santri yang ada, semakin meningkatkan risiko terjadinya kejadian penyakit skabies sehingga terjadi kepadatan penghuni dalam kamar santri tersebut. Kepadatan penghuni ini menjadi salah satu faktor yang berperan dalam penularan penyakit scabies (Notoatmodjo, 2007).

  Tingkat pendidikan berhubungan dengan usia, santri tsanawiyah memiliki usia lebih muda dari santri aliyah. Usia responden merupakan karakteristik yang membedakan tingkat kedewasaan seseorang. Usia seseorang demikian besarnya dalam memengaruhi pengetahuan, sikap, dan perilaku. Dalam kaitannya dengan kejadian skabies pada seseorang, pengalaman keterpaparan sangat berperan karena mereka yang berumur

SIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA

  Handoko, R. P. 2009. Skabies: Ilmu Penyakit Kulit, in

  Muafidah, N. dan Santoso, I. 2017. Hubungan Personal Higiene dengan Kejadian Skabies pada Santri Pondok Pesantren Al Falah Putera Kecamatan Liang Anggang Tahun 2016 The Relation of Personal Hygiene with The Incidence of Scabies at Al Falah Male Boarding School Students

  Jurnal Geografi, 11(21). Pp: 64–73.

  Kuspriyanto . 2013. Pengaruh Sanitasi Lingkungan dan Perilaku Sehat Santri Terhadap Kejadian Skabies di Pondok Pesantren Kabupaten Pasuruan Jawa Timur.

  Jurnal Profesi Medika, 10(1). Pp: 33–45.

  Ibadurrahmi, H., Veronica, S. dan Nugrohowati, N. 2016. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Santri di Pondok Pesantren Qotrun Nada Cipayung Depok Februari Tahun 2016.

  Jkki, 6(3), Pp: 148–157.

  Ed. Pp: 25–122. Hilma, U. dan Ghazali, L. 2014 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Skabies di Pondok Pesantren Mlangi Nogotirto Gamping Sleman Yogyakarta.

  Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5 th

  Biomedika

  lebih tinggi dan mempunyai pengalaman terhadap skabies berpotensi lebih baik dalam mengetahui cara pencegahan serta penularan penyakit skabies. Di beberapa negara yang sedang berkembang, prevalensi skabies cenderung tinggi pada anak- anak serta remaja (Handoko, 2009).

  Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia. 2013.

  Jurnal Buski, 4(1), pp. 14–22.

  Al Audhah, N., Rahmah Umniyati, S. dan Ser Siswati, A. 2012. Faktor resiko skabies pada siswa pondok pesantren (Kajian di Pondok Pesantren Darul Hijrah, Kelurahan Cindai Alus, Kecamatan Martapura, Kabupaten Banjar,Provinsi Kalimantan Selatan.

  Diharapkan adanya kerjasama antara pengurus pondok pesantren, guru, dan pemerintah untuk menindak lanjuti dalam upaya penanggulangan dan pencegahan penyakit skabies di pondok pesantren, khususnya pondok pesantren Qotrun Nada Depok.

  Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa penyakit skabies di pondok pesantren masih terbilang tinggi, sehingga dibutuhkan intervensi untuk menurunkan angka kejadian tersebut dan upaya pencegahannya. Penyakit skabies terjadi disebabkan oleh banyak faktor yang pada penelitian kali ini faktor jenis kelamin, tingkat pendidikan dan pengetahuan memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian skabies.

  Pengetahuan dapat diketahui jika seseorang telah berhubungan dengan objek tersebut yang mana sebagian besar pengetahuan dapat diperoleh dari melihat dan mendengar. Pengetahuan merupakan awal pengenalan terhadap suatu objek yang diamati, sehingga jika pengetahuan kurang baik terhadap suatu objek maka akan memengaruhi perilaku yang akan dilakukan. Masih banyaknya santri yang tidak tahu mengenai cara penularan skabies berdampak pada kontinuitas penyakit tersebut di kalangan santri (Notoatmodjo, 2007).

  antara pengetahuan dengan kejadian scabies (Ibadurrahmi et al., 2016). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Rohmawati yang menyebutkan bahwa dari 155 santri, 81,58% santri berpengetahuan kurang lebih banyak yang menderita scabies (Rohmawati, 2010). Hal ini didukung oleh penelitian Hilma yang menyebutkan bahwa prevalensi skabies lebih tinggi terjadi pada santri dengan pengetahuan kurang, yaitu dari 46 santri yang berpengetahuan kurang, 28 santri menderita skabies (60,9%) (Hilma dan Ghazali, 2014).

  al. yang menyatakan bahwa adanya hubungan

  Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa adanya hubungan antara pengetahuan dengan kejadian skabies dengan nilai p=0.009. Data penelitian menunjukan bahwa responden dengan pengetahuan kurang baik lebih banyak menderita skabies dengan presentase 100%. Penelitian ini sejalan dengan penelitian ibadurrahmi et

  Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. doi: 1 Desember 2013. Sub-district of Lian. 1(1). Pp: 1–9. Notoatmodjo, S. 2007. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

  Rohmawati, R.N. 2010.

  Hubungan Antara Faktor Pengetahuan dan Perilaku Dengan Kejadian Skabies Di Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Available

  at: http://eprints.ums.ac.id/9272/. Ratnasari, A. F. dan Sungkar, S. 2014. Prevalensi Skabies dan Faktor-faktor yang Berhubungan di Pesantren X, Jakarta Timur.

  Prevalensi Skabies. 7(1). doi: 10.23886/ejki.2.3177.

  Strong, M. and Johnstone, P. 2011. Interventions for treating scabies ( Review ),

  Evid-Based Child Health: A Cochrane Review Journal, 6(6). Pp: 1790–1862. doi: 10.1002/ebch.861.

  Wahjoedi, I. 2008.

  Faktor Risiko Kejadian Penyakit Skabies pada Pondok Pesantren di Kabupaten Kulon Progo (Studi Ekologi). Universitas Gajah Mada. Available at: http://etd.repository.ugm.

  ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_ id=37781.

  Biomedika