Ritual Yawe Adat Desa Walla Ndimu Kecamatan Kodi Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam Negara Republik Indonesia ini, adat yang dimiliki oleh

  masyarakat kita adalah berbeda-beda menurut daerah dan suku-suku bangsa, meskipun dasar serta sifatnya adalah satu, yaitu ke-Indonesiaan. Setiap daerah dan suku bangsa mempunyai adat kebiasaan sendiri-sendiri yang hingga kini tetap melekat dan tetap dijalankan oleh warganya. Tingkatan peradapan maupun cara penghidupan yang modern tidak mampu menghilangkan adat kebiasaan yang hidup dalam setiap masyarakat, tetapi dengan adanya proses kemajuan ini adat hanya disesuaikan dengan kemajuan dan perkembangan, sehingga adat yang hidup dalam masyarakat tersebut tetap kekal. Adanya keragaman adat daerah dan suku bangsa di Indonesia memperkaya budaya bangsa Indonesia, oleh karena itu maka adat harus selalu dipelihara kelestariannya.

  Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Oleh karena itu, maka tiap bangsa di dunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang berbeda antara satu dengan yang lainya. Oleh karena perbedaan itulah maka dapat merupakan unsur terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan.

  Kabupaten Sumba Barat Daya yaitu salah satu kabupaten yang termasuk dalam propinsi Nusa Tenggara Timur. Ciri-ciri geografis sumba barat daya yaitu beriklim tropis, terdiri dari daerah dataran rendah dan daerah dataran tinggi, pegunungan, rawa-rawa, hutan dan pertanian. Hingga kini meskipun jaman dan peradapan telah berubah maju, namun adat kebiasaan yang dianut masyarakat masih sangat kuat, salah satunya adat untuk menghormati arwah leluhur (orang mati).

  Penghormatan terhadap arwah leluhur ini disebabkan karena masyarakat Sumba masih mepercayai Marapu. Dalam KBBI (2016) leluhur/le·lu·hur/ adalah adalah “keyakinan hidup” yang masih dianut oleh orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat Sumba yang masih menganut kepercayaan Marapu atau “ajaran para leluhur” senantiasa melakukan upacara dan perayaan ritual untuk mengiringi berbagai sendi kehidupan mereka. Kepercayaan ini dilambangkan dengan ritual, perayaan upacara, dan pengorbanan untuk penghormatan kepada sang pencipta juga arwah para leluhur mereka. Marapu dalam bahasa Sumba berarti “Yang dipertuan atau dimuliakan” terutama untuk menyebut arwah-arwah para leluhur mereka.

  Menurut Hadiwijono (1977: 29-31) mengemukakan tentang Marapu sebagai berikut:” Marapu adalah tokoh ilahi yang di dalamnya termasuk alam gaib, baik dalam arti dewa maupun dalam arti roh, jiwa serta barang-barang duniawi yang menajdi tanda-tanda atau symbol kehadiran Marapu dan alam gaib tadi.”

  Adat yang dipegang kuat dalam masyarakat Sumba Barat Daya dikarenakan dalam diri manusia, keteraturan menyata dalam bentuk hati yang tenang damai, atau tubuh yang sehat segar lagi kuat. Keteraturan dalam masyarakat terwujud kalau sudah ada hubungan yang baik antara manusia dengan ina-ama. Untuk memelihara hubungan baik ini manusia mesti melaksanakan banyak peraturan dan kewajiban. Misalnya upacara- upacara, menolong orang lain, menghormati ina-ama. Bila semua peraturan dan kewajiban itu dilaksanakan dengan teliti, hidupnya kan menjadi sejahtera (Ujan, 2012: 20).

  Mengingat adat (berasal dari Bahasa Melayu) dan tradisi (berasal dari magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli, yang meliputi nilai-nilai budaya, norma-norma hukum dan aturan yang saling berkaitan dan kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan tradisional (Suyono dalam Rochwulaningsih 2009: 1), yang kemudian sering disebut sebagai secara umum sebagai hukum adat.

  Dalam penelitian ini, peneliti akan melaksanakan penelitian tentang salah satu ritual adat yaitu ritual Yawe atau pemanggilan roh di desa Walla Ndimu Kecamatan Walla Ndimu Kodi. Ritual Yawe adalah ritual pemanggilan roh orang mati (leluhur). Leluhur atau nenek moyang merupakan nama yang normalnya dikaitkan pada

  

dan

  seterusnya). Bebrapa pertimbangan yang mendasari kegiatan pemujaan leluhur adalah 1) roh leluhur tidak mati;2) mereka tetap tinggal bersama keturunanannya;3) mereka mengatur keberuntungan dan ketidakberuntungan keluarga yang masih hidup;4) mereka hidup dalam alam roh dan bergantung pada sajian yang diberikan keluarga;5) jasa, anugerah dan posisi social selama hidup berlanjut di alam roh, 6) kewajiban dari keturunan untuk memuja leluhurnya, dan pemujaan leluhur adalah moralitas penting;7) pemujaan leluhur diperlukan untuk memelihara keteraturan etika diantara keluarga(Hui, 2016).

  Orang Sumba sangat menghargai orang yang sudah meninggal dan leluhurnya. lni ditandai dengan dikuburnya orang yang telah meninggal di depan rumah atau di tengah kampung. Karena beranggapan, leluhur inilah yang telah menetapkan tata cara adat-istiadat yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, kematian, perekonomian dan sebagainya. Personifikasi Marapu binatang, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain. Semua itu diletakkan dalam tempat yang baik dan kuat disimpan di atas loteng rumah. Pada tempat itulah roh leluhur hadir.

  Orang Sumba percaya bahwa roh nenek moyang ikut menghadiri upacara penguburan dan karenanya hewan dipersembahkan kepada mereka. Roh hewan untuk roh nenek moyang dan daging atau jazat hewan dimakan oleh orang yg hidup. Sama halnya dengan upacara yg lain (Kebamoto, 2015).

  Bagi orang Sumba menganggap kematian itu sebagai hal yang penting. Kematian berarti memulai kehidupan baru di alam akhirat. Karena itu memberikan bekal bagi orang yang telah meninggal bukanlah tindakan mubazir.

  Semakin tinggi kedudukan seseorang didalam masyarakat, dari golongan bangsawan (maramba) semakin besar upacara yang dikehendaki untuk diselenggarakan. Pelaksanan ritual Yawe adalah bentuk kepatuhan masyarakat adat di desa Walla Ndimu kecamatan Walla Ndimu Kodi pada hukum adat.

  Hukum adat seperti halnya dengan semua sistem hukum di bagian lain di muka bumi ini senantiasa tumbuh, berkembang serta dipertahankan oleh masyarakat adatnya. Hal tersebut timbul dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup, dan pandangan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku. Aturan dan nilai adat awalnya dibuat dan disesuaikan dengan kebutuhan serta konteks masyarakat adat itu sendiri (Siboro 2010).

  Berdasarkan deskripsi yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang Ritual Yawe adat di daerah sumba, yang diajukan adalah: “Ritual Yawe Adat Desa Walla Ndimu Kecamatan Kodi Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya”.

  B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah,

  1. Apa asal-usul Ritual Yawe Adat Desa Walla Ndimu Kecamatan Kodi Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya?

  2. Bagaimana proses Ritual Yawe Adat Desa Walla Ndimu Kecamatan Kodi Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya?

  3. Apa sarana dan prasarana Ritual Yawe Adat Desa Walla Ndimu Kecamatan Kodi Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya?

  4. Bagaimana makna Ritual Yawe Adat Desa Walla Ndimu Kecamatan Kodi Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya?

  C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah:

  1. Mengetahui asal-usul Ritual Yawe Adat Desa Walla Ndimu Kecamatan Kodi Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya.

  2. Mengetahui proses Ritual Yawe Adat Desa Walla Ndimu Kecamatan Kodi Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya.

  3. Mengetahui sarana dan prasarana Ritual Yawe Adat Desa Walla Ndimu

  4. Mengetahui makna Ritual Yawe Adat Desa Walla Ndimu Kecamatan Kodi

  Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya

D. Kegunaan Penelitian

  1. Bagi Penulis Kegunaan penelitian ini bagi penulis adalah sebagai salah satu sarana belajar untuk melatih cara berpikir kritis, ilmiah, dan untuk memperdalam pengetahuan yang telah diperoleh selama perkuliahan. Selain itu penulisan ini juga merupakan salah satu tugas atau syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai Gelar Sarjana di IKIP Budi Utomo Malang.

  2. Bagi masyarakat Sumba Dengan diadakannya penelitian ini diharapkan agar masyarakat tetap mempertahankan nilai-nilai budaya yang ada terutama untuk mengkaji norma-norma yang berlaku dalam masyarakat sebagai pedoman hidup bermasyarakat.

  3. Bagi lembaga Sebagai referensi bagi yang membutuhkan terutama mahasiswa dalam melengkapi literatur tentang masalah adat dan Ritual Yawe.

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Budaya

1. Pengertian Budaya

  Defenisi kebudayaan tradisonal pada dasarnya menggabungkan antara pengertian pertama dan ketiga, di dalamnya termasuk puncak-puncak kebudayaan disebet sebagai peradapan. Jenis kebudayaan inilah yang disebut sebagai kebudayaan yang sesungguhnya, yang dengan sendirinya harus dipelihara, dilestarikan, dipertahankan strukturnya. Kajian budaya diturunkan gabungan antara defenisi antara dua dan ketiga, di dalamnya terkandunng berbagai pengertian yang bersifat berbagai politis, memihak, tetapi tetap memiliki makna tertentu, sesuai dengan kepentiangan masarakat luas, khususnya masahrakat minoritas. Dengan kalimat lain, perkembangan kajian budaya ingris diawali dengan perbedaan sudut pandang tersebut, yang secara nyata tampak melalui perbedaan antara kelas elite dengan kelas pekerja, sastra tinggi dengan sastra populer.

  Istilah kajian budaya jelas merupakan terjemahan Cultural Studies. Secara leksikal gramatikal sesunggunya terjemahan yang lebih tepat adalah Studi (- studi) Kultural (cf. Ratna, 2015: 105). Bentuk jamak studi memberikan makna frgmentasi, minoritas, sehari-hari. Dari ssegi makna penggunaan kata ‘studi’ dan ‘kaajian’ mungkin tidak perlu di permasalahkan, keduanya memiliki fungsi dan kedudukan yang relatif sama tergantung dari pemakai. Yang menjadi masalah adalah penggunaan kata budaya yang justru merupakaan unsur pokok.

  Pertama, kata budaya masih sangat kuat implikasinya dengan kebudayaan , sebagai wilaya kajian antropologi, yang justru didekontruksi dalam kajian budaya dalam pengertian naraasi besar. Kedua, seperti diatas, kata kultural jelas berasal dari cultural (colere) yang sekaligus mewakili pengertian aktifitas.

  Ketiga, studi kultural jelas diadopsi dari tradisi kritik intelektual Inggris yang sejak awal kelahirannya didominasi oleh perbedaan pemahaman antara kebudayan dengan culturalism itu sendiri. Meskipun demikian, untuk kasus Indonesia rupanya istilah kajian budaya sudah diterima secara umum (Ratna, 2015: 105).

  Secara histori (Sardar dan Loon,1997:24,54) kajian budaya lahir di Inggris sekitar 1960-an melalui lembaga Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS). Para pelopornya diantaranya: Richard Honggart (The Use of Literacy,1958), Raymond Williams (The Long Revolution,1961), E.P.

  Thompson (The Making of English Working class, 1963), Stuart Hall, Paul Willis, dan Dick Hebdige. Buku ketiga pelopor pertama sekaligus diangagap sebagai teks dasar, sedangkan ide dasarnya adalah Marxisme, seperti pertentangan kelasnya dan hidup manusia.

  Kajian budaya Australia yang secara langsung di pengaruhi oleh akademikus Inggris, secara teoritis menunjukan banyak persamaan dengan kajian budaya Birhingman. Perbedaanya, Australia memberikan intensitas pada teks-teks lokal filem. Kajian budaya Perancis mengentangkan maasalaah tranformasi total budaya sebagai akibat dekolonisasi di stau pihak, revolusi masiswa tahun 1968 di pihak lain. Masalah pokok menjadi pertanyaan, apa dan siapakah sesungguhnya perancis itu? Kajian budaya berkembang secara pesat dan khas di India dengan masalah utama hubungan antara manusia dengan alam dan hubungan dengan bahasa Inggris asli dengan bahasa Inggris asli dengan bahasa Ingggris yang berkembang di India.

  Di Indonesia kajian budaya mulai dibicarakan sekitar tahu 1990-an, dalam bidang sastra suda mulai dengan pembicaraan kritik sastra, seperti perdebatan dan sosiologi sastra neo-Marxis paada umumnya. Dalam kaitannya dengan emansipasi perempuan model kajian budaya yang di bicarakan dalam berbagai jurnal, seperti: Kalam,Horison, dan Basis dan dengan sendirinya perempuan. Pembicaraan lain melalui kajian-kajian media, kelas-kelas khusus di berbagai bidang studi, baik S1 maupun S2. Sebagai program studi yang relatif baru, timbul perbedan pendpat untuk menentukan lembaga mana yang di anggap pendiri pertama kajian budaya Indonesia. Penggunaan nama fakultas sastra yang kemudian juga di tambah dengan kebudayaan mempersulit usaha-usaha untuk mempertemukan persamaan pendapat tersebut. Terlepas dari perbedaan pendapat yang terjadi, untuk mengevaluasi berbagai kecendrungan sekaligus memberikan arah baru, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia (2002) mengadakan pelatihan untuk memahami aspek-aspek terpenting Cultural Studies.

  Banyaknya karya siswa, besarnya minat, dan keberagamaan masalah yang berhasil untuk diungkap, baik sebagai tesis (S2) maupun disertasi (S3), melahirkan cita-cita untuk membentuk suatu aliran yang diesbut sebagai kajian budaya Mazhab Nias, dengan ciri sebagai berikut:

  1) Secara akademis, khususnya pada program studi magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana mengembangkan tiga pengutamaan, yaitu: pengendalian sosial, pariwisata budaaya, dan estetika.

  2) Secara teknis kajian budaya Universitas Udayana mengembangkan pendekatan bentuk, fungsi, dan makna. internasional, kajian budaya Universitas Udayana memberikan intensitas terhadap khazanah kearifan lokal bali, seperti; tri hita karana (keselarasan hubungan antar tuhan dengan manusia, manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan manusia lainnya), desa kala patra (menerima perbedaan sebagai akibat faaktor tempat, waktu dan keadaaan), karmaphala (hubungna timbal balik antara perbuatan dengan hasil yang diperoleh), dan sebagainya. Ciri khyas ini dengan sendirinya di dukung oleh dan sejalan dengan ciri-ciri kajian budaya dan pada umumnya (Ratna, 2015: 106).

  Sebagai disiplin yang baru , kajian budaya banyak dipermasalaahkan, antara kelompok yang menerima dan menolaknya. Di Indonesia pun perbedaan pendapat seperti ini masih tampak dengan jelas termasuk pro dan kontra terhadap teori-teori yang menyertainya, yaitu postrukturalisme. Meskipun demikian , dengan pertimbangan bahwa kajian budaya teryata sudah berhasil untuk memenuhi syarat-syarat sebagaimana diperlukan bagi sebuah disiplin yang baru, maka kajian budaya dianggap secara sah sudah di terima sebagai sebuah disiplin ilmiah. Menurut Storey (1996:1-13) tiga syarat yang harus dipenuhi sebagi disiplin ilmiah, yaitu: a) Ada objek studinya

  b) Ada asumsi dasar yang melandasi metode dan teorinya

  c) Disiplin tersebut memiliki sejarahnya sekaligus mengimlikasikan makna dan manfaatnya untuk perkembangan manusia.

  Dengan singkat, kajian Budaya adalah disiplin, ilmu pengetahuan yang sudaah memiliki kedudukan yang sah, baik secara formal maupun informal, baik secara teoritis maupun praktis. Secara epistemologi kajian budaya termasuk ranah postmodernisme, oleh karna itu analisinya dilakukan meloalui teori-teori postrukturalisme. Sama dengan ilmu pengetahuan yang lain, secara aksiologis kajian budaya berfungsi untuk memahami keseluruan aspek kebudayaan.

  Perbedaannya apabilah ilmu pengetahuan yang lain cendrung mempertahankan eksitensi yang sudah ada, sebaliknya kajian budaya melakukan secara kritis, politis, dan partisipotaris, bahkan secara dekonstruktif (Storey, 2007: 2-3).

  Pada dasarnya sastra, khususnya dalam proses analisis memiliki sejumlah persamaan dengan kajian budaya.

  Pertama , kajian budaya menganalisis teks,wacana, sedangkan teks atau wacana merupakan masalah utama dalam sastra. Kedua, Teori-teori kajian budaya, sebagai teori kontemporer, seperti: strukturalisme, semiotik, feminisme, resepsi, interteks, postkolonialisme dan dekontruksi berasal dari sastra. Ketiga, dikaitkan dengan dua analisis sastra, yaitu analissi intriksi dan ekstrinsik, maka kajian budaya memiliki ciri-ciri yang relaiti dengan analisis terakhir. Keempat, perkembangan antropologi sastra juga merupakan salah satu indikator hubungan antara sastra dan kajian budaya Kelima, keyataan kajian budaya yaang dianggap berasl dari Inggris pada awalnya di mulai dari perdebatan antra sastra serius dan sastra populer

  (Ratna, 2015: 105).

2. Wujud kebudayan

  Koentjaraningrat (2015:6-8) menyatakan bahwa budaya itu mempunyau tiga wujud ialah : 1) Wujud budaya sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala atau dengan kata lain dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana budaya itu hidup.

  Warga masyarakat menyatakan gagasan dalam tulisan dan budaya ideal berada dalam karangan dan buku-buku hasill karya para penulis warga masyarakat yang bersangkutan.

  Budaya ideal disebut juga adat tata kelakuan atau secara singkat adat dalam arti khusus atau adat istiadat dalam, bentuk jamaknya.

  Maksudnya tata kelakuan menunjukkan bahwa budaya ideal berfungsi sebagai tata kelaksanaan yang mengatur, mengendali dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam fungsi itu secara khusus adat terdiri dari beberapa lapisan yaitu dari yang paling abstrak dan luas sampai yang paling konkret dan sistem hukum yang bersandar kepada norma-norma adalah lebih konkret.

  Sedangkan peraturan-peraturan khusus mengenai berbagai aktivitas peraturan sehari-hari dalam kehidupan masyarakat manusia (seperti misalnya aturan sopan santun) merupakan lapisan adat istiadat yang paling konkret tetapi terbatas ruang lingkupnya.

  2) Wujud budaya sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarkat.

  Wujud budaya dari budaya yang disebut sistem sosial atau sosial system, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, ke hari dan tahun ke tahun selalu mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat kelakuan.

  Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kehidupan manusia sehari-hari, sehingga sistem sosial bisa diobservasi dan didokumentasi.

  3) Wujud budaya sebagai benda-benda hasil karya manusia.

  Wujud ketiga dari budaya disebut budaya fisik dan memerlukan keterangan hanya karena merupakan seluruh total hasil fisik dari aktivitas perbuatan dan akrya semua manusia dalam masyarakat yang sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto.

3. Unsur kebudayaan

  Koentjaraningrat (2015: 2) mengemukakan bahwa ada tujuh unsur budaya yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia yaitu : 1) Sistem religi dan upacara keagamaan 2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan

  3) Sistem pengetahuan 4) Bahasa 5) Kesenian 6) Sistem mata pencaharian hidup 7) Sistem teknologi dan peralatan

  Sujarwa (2016; 38) perkembangan kebudayaan dibagi atas tiga tahap: pertama tahap mistis, kedua tahap ontologis, dan ketiga tahap fungsional.

  Yang dimaksud tahap mistis adalah tahap dimana manusia merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib disekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan. Kecenderungan bersifat mistis seperti ini masih sering dijumpai di daerah-daerah yang tingkat modernitasnya rendah.

  Tahap kedua disebut tahap ontologis ialah sikap manusa yang tidak lagi hidup dalam kepungan kekuasaan mistis, tetapi secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang pada masa lalu dunia mistis merupakan kepungan bagi dirinya.

  Tahap ketiga adalah tahap fungsional, yaitu sikap menandai adanya kehidupan manusia modern. Manusia pada tahap ini tidak lagi terpesona dengan lingkungannya dan kepungan kehidupan mistis, juga tidak lagi dengan kepala dingin mengambil jarak terhadap obyek yang menjadi objek penyelidikannya. Manusia pada yahap ini berusaha mengadakan relasi-relasi baru dengan alam serta lingkungannya. Manusia mulai melakukan penyeldikan terhadap alam dan lingkungannya untuk dimanfaatkan berdasarkan fungsinya (Sujarwa, 2016; 39).

B. Masyarakat

1. Pengertian masyarakat

  Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), di mana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas- entitas.

  Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur(Wikipedia, 2016).

  Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.

  Masyarakat adalah sejumlah besar orang yang tinggal dalam wilayah yang sama, relatif independen dan orang orang di luar wilayah itu, dan memiliki budaya yang relatif sama. (Richard T. Schaefer dan Robert P. Lamm, 1998). Masyarakat adalah orang orang yang berinteraksi dalam sebuah wilayah tertentu dan memiliki budaya bersama. (John J. Macionis, 1997).

  Dalam Ensiklopedi Indonesia, pengertian masyarakat ada tiga yaitu (1) Bentuk tertentu kelompok sosial berdasarkan rasional yang ditranslasikan (diterjemahkan) sebagai masyarakat patembayan dalam ikatan naluri kekeluargaan (family) disebut gemain-scaft atau masyarakat Paguyuban. Pengertian kedua masyarakat berdasarkan ensiklopedi manusia yaitu merupakan keseluruhan masyarakat manusia meliputi seluruh kehidupan bersama (3), Menunjukkan suatu tata kemasyarakatan tertentu dengan ciri sendiri (identitas) dan suatu otonomi (relatif) seperti masyarakat barat, masyarakat primitif yang merupakan suku yang belum banyak berhubungan dengan dunia sekitarnya.

  2. Karakteristik masyarakat adalah: 1) Aglomerasi dari unit biologis dimana setiap anggota dapat

  melakukan reproduksi dan beraktivitas

  2) Memiliki wilayah tertentu 3) Memiliki cara untuk berkomunikasi 4) Terjadinya diskriminasi antara warga masyarakat dan bukan warga

  masyarakat

  5) Secara kolektif menghadapi ataupun menghindari musuh.(Basic of

  Society oleh Ayodoha Prasad, goolebooks) Dan berbagai definisi yang ada, dapat dicatat beberapa unsur penting masyarakat sebagai berikut: 1) Adanya sekelompok manusia yang hidup bersama. Dalam hal ini, tidak dipersoalkan berapa jumlah manusia yang hidup bersama itu. Sedikitnya ada dua orang.

  Ungkapan “cukup lama” bukanlah sebuah ukuran angka. Melainkan, hendak menunjukkan bahwa kehidupan bersama tersebut tidak bersifat insidental dan spontan, namun dilakukan untuk jangka panjang. 3) Adanya kesadaran di antara anggota bahwa mereka merupakan satu kehidupan bersama. Dengan demikian, ada solidaritas di antara warga dan kelompok manusia tersebut. 4) Kelompok manusia tersebut merupakan sebuah kehidupan bersama.

  Maksudnya, mereka memiliki budaya bersama yang membuat anggota kelompok saling terikat satu sama lain.

  Dalam kenyataan, ada perbedaan antara kelompok masyarakat yang sama dengan kelompok masyarakat lainnya. Perbedaan itu terjadi karena masyarakat mengalami evolusi, atau perkembangan secara lambat. Berdasarkan tahap yang dicapai dalam proses evolusi, terdapat beberapa tipe kelompok masyarakat.

  Menurut Gerhard Lenski dan Jean Lenski (Macionis,1997). Berbagai tipe masyarakat ini memiliki beberapa persamaan Salah satunya adalah kesediaan saling membantu antar-warga masyarakat ketika menghadapi kesulitan (krisis). Namun, umumnya warga masyarakat akan enggan memberikan bantuan kepada anggota yang hidup tidak sesuai dengan budaya dan norma yang berlaku dalarn masyarakat tersebut. Mekanisme ini relatif sudah terlembaga dalam masyarakat

C. Tradisi di Masyarakat Sumba

  Pulau ini oleh suku bangsanya sendiri disebut "Tana Humba". Menurut ceritera, kata humba berasal dari nama isteri nenek moyang pertama orang Sumba yang datang dan mendiami Sumba, yakni ibu model Rambu Humba, isteri kekasih hati Umbu Walu Mandoku. Salah satu peletak landasan suku¬- suku atas kabisu-kabisu Sumba. Kata 'humba'atau 'sumba'artinya 'asli', jadi tana humba artinya 'tanah asli'(Soeriadiredja, 2002).

  Pulau Sumba terbagi atas empat kabupaten, yakni Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, KAbupaten Sumba Tengah dan Sumba Timur. Pulau ini terletak dibelahan luar paling selatan dari untaian pulau-pulau di Indonesia yang termasuk ke dalam wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur.

  Atau pada 10 LS dan 120 BT, tepatnya di Tenggara Pulau Bali, sebelah selatan Pulau Flores, di sebelah barat daya Pulau Timor, di sebelah barat laut Darwin — Australia. Sebagai sebuah pulau, Pulau Sumba merupakan salah satu dari 3 pulau terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu Pulau Flores, Timor dan Sumba. Dalam peta, pulau Sumba bagaikan sebuah atol di tengah lautan dengan karakteristik kehidupan yang begitu spesifik dan unik. Keunikannya, karena pulau Sumba terkenal dengan ragam atraksi kesenian, upacara adat dan kampung adat yang sangat spesifik dengan kuburan batu dan menhir peninggalan zaman megalitikum.

  Tempat upacara pemujaan kepada para marapu bukan hanya di dalam rumah saja, tetapi juga di luar rumah, yaitu di katuada. Katuada merupakan tempat upacara pemujaan berupa tugu (semacam lingga-yoni) yang dibuat dari sebatang kayu kunjuru atau kayu kanawa serta sisi-sisinya diletakkan batu pipih.

  Batu pipih tersebut merupakan tempat untuk meletakkan bermacam-macam sesaji kepada Umbu-Rambu (dewa-dewi) yang berada di tempat itu, antara lain berupa pahapa (sirih pinang), kawadaku (keratan mas), dan uhu mangejingu

1. Marapu

  Kepercayaan Marapu (atau Merapu) adalah “keyakinan hidup” yang masih dianut oleh orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat Sumba yang masih menganut kepercayaan Marapu atau “ajaran para leluhur” senantiasa melakukan upacara dan perayaan ritual untuk mengiringi berbagai sendi kehidupan mereka. Kepercayaan ini dilambangkan dengan ritual, perayaan upacara, dan pengorbanan untuk penghormatan kepada sang pencipta juga arwah para leluhur mereka. Marapu dalam bahasa Sumba berarti “Yang dipertuan atau dimuliakan” terutama untuk menyebut arwah-arwah para leluhur mereka.

  Menurut Hadiwijono (1977: 29-31) mengemukakan tentang Marapu sebagai berikut:” Marapu adalah tokoh ilahi yang di dalamnya termasuk alam gaib, baik dalam arti dewa maupun dalam arti roh, jiwa serta barang-barang duniawi yang menajdi tanda-tanda atau symbol kehadiran Marapu dan alam gaib tadi.”atas dasar yang dikemukakan itu, berikut adalah penggolongan Marapu sesuai dengan kedudukan, pangkat, dan kekuasaan (Daeng, 2008:118): 1) Marapu Inyangita (Marapu Langit) atau Marapu Awange (Marapu Awan).

  Marapu-marapu jenis ini hidup di alam sana, jadi tidak termasuk alam manusia. Mereka berkuasa atas hidup dan mati manusia. Kedalam golongan

  Marapu Inyangita atau Marapu Awange dimasukkan marapu-marapu berikut: a) Marapu yang tertinggi, yang hidup samar-samar dalam kenang- kenangan; oleh masyarakat Marapu yang tertinggi dikatakan sebagai yang menjadikan dan pengayam manusia. Di Sumba Barat, Marapu yang kelompok etnik lain diberi nama Inna Matunggu- Ama Matunggu.

  b) Marapu yang memerintah, pelaksana kehendak Marapu tertinggi. Marapu ini disebut Inna Nuku-Ama Hara, karena merekalah yang menjamin bahwa nuku (hukum) dan hara (cara) yang terpelihara dalam masyarakat.

  c) Marapu Pengawas untuk para dewa sebagai pelaksana segala-galanya yang direncanakan oleh Marapu yang memerintah.

  2) Marapu yang tergolong dalam alam manusia, yang selanjutnya dirinci sebagai berikut; a) Marapu mete (Marapu orang mati) ialah Marapu arwah orang yang sudah mati, yang berpindah dari alam nyata kea lam gaib.

  b) Marapu Moripa (marapu hidup) ialah roh-roh yang karena keadaannya memang menjadi marapu; mereka hanya dapat didekati manusia dengan perantara Marapu mate. 3) Di samping marapu-marapu yang disebut diatas, ke dalam Marapu digolongkan: a) Watu Kabala (batu meteor) yang dijadikan perantara dalam hubungan dengan Marapu Kabala yang dapat dimintai pertolongan untuk tujuan- tujuan destruktif bagi orang lain. Oranng sering membawa sesajian pada watu kabala.

  b) Peralatan kerja dan senjata yang pernah digunakan oleh nenek moyang; peralatan itu dipandang berpengaruh positif maupun negative bagi manusia. dijadikan tempat untuk meletakkan sesajian yang diteruskan kepada Marapu yang bersangkutan (Daeng, 2008: 120).

  'Marapu' terdiri dari dua kata, ma dan rapu. Kata ma berarti 'yang'. Sedangkan kata rapu berarti 'dihormati' dan 'didewakan'. Atau mera dan appu.

  

Mera artinya 'serupa' dan appu artinya 'nenek moyang'. Jadi Marapu artinya

  'serupa dengan nenek moyang'. Dalam kaitannya ini, 'Marapu" merupakan kepercayaan asli orang Sumba. Pemujaan arwah nenek moyang atau leluhur yang didewakan merupakan unsur yang menonjol. Mereka disebut 'Marapu', yang dipertuan, yang diperdewa, yang diperilah adalah para leluhur yang sangat dihormati oleh anak cucunya turun temurun (Boim, 2010).

  Marapu terbagi menjadi dua golongan, yaitu Marapu dan Marapu Ratu. Marapu yang pertama merupakan arwah leluhur yang didewakan dan dianggap menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu (keluarga luas, clan). Sedangkan marapu Ratu ialah merapu yang dianggap turun dari langit dan merupkan leluhur dari para Marapu lainnya.

  Kehadiran para marapu bagi masyarakat sumba di dunia nyata diwakili dan dilambangkan dengan lambang-lambang suci yang berupa perhiasan mas atau perak (ada pula berupa patung atau guci) yang disebut Tanggu Marapu. Lambang-lambang suci itu disimpan di Pangiangu Marapu, yaitu di bagian atas dalam menara uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) suatu kabihu. Walaupun mempunyai banyak Marapu yang sering disebut namanya, dipuja dan dimohon pertolongan, tetapi hal itu sama sekali tidak menyebabkan pengingkaran bukan semata-mata kepada arwah para leluhur saja, tetapi kepada Mawulu Tau- Majii Tau (Pencipta dan Pembuat Manusia), Tuhan Yang Maha Esa(Wacana, 2012).

  Pengakuan adanya Sang Maha Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata- kata atau kalimat kiasan. Itu pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa penting saja. Dalam keyakinan Marapu, Sang Maha Pencipta tidak campur tangan dalam urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk menyebut nama-Nya pun dipantangkan.

  Sedangkan para Marapu itu sendiri dianggap sebagai media atau perantara untuk menghubungkan manusia dengan Penciptanya. Kedudukan dan peran para Marapu itu dimuliakan dan dipercaya sebagai lindi papakalangu – ketu papajolangu (titian yang menyeberangkan dan kaitan yang menjulurkan, sebagai perantara) antara manusia dengan Tuhannya(Daeng, 2008:118).

  Hampir seluruh segi-segi kehidupan masyarakat Sumba diliputi oleh rasa keagamaan. Bisa dikatakan agama Merapu sebagai inti dari kebudayaan mereka, sebagai sumber nilai-nilai dan pandangan hidup, serta mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Orang Sumba juga percaya bahwa manusia merupakan bagian dari alam semesta yang tak terpisahkan(Wacana, 2012).

  Bagi masyarakat Sumba, hidup manusia harus selalu disesuaikan dengan irama gerak alam semesta dan selalu mengusahakan agar ketertiban hubungan antara manusia dengan alam tidak berubah. Selain itu manusia harus pula ada di setiap bagian alam semesta ini. Bila selalu memelihara hubungan baik atau kerja sama antara manusia dengan alam, maka keseimbangan dan ketertiban itu dapat dipertahankan (Wacana, 2012).

  Hal tersebut berlaku pula antara manusia yang masih hidup dengan arwah- arwah dari manusia yang sudah mati. Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang telah berani melanggar segala nuku-hara sehingga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu (Wacana, 2012).

  Untuk memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, maka manusia harus melaksanakan berbagai upacara (Wacana, 2012).

2. Upacara Kematian dan Pemakaman Masyarakat Sumba

  Upacara-upacara keagamaan dan lingkaran hidup yang dilaksanakan, terutama upacara kematian, diselenggarakan secara relatif mewah sehingga terkesan pemborosan. Namun, bagi orang Sumba, hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, tanda hormat dan bakti pada para leluhur, serta menjalin rasa solidaritas kekerabatan di antara mereka(Daeng, 2008:118).

  Saat kematian merupakan saat perubahan atau perpindahan dari alam nyata ke alam gaib yang dalam luluku dikatakan njulu la kura lukuhalubu la Tubuh yang mati hanyaiah sebagai tada (kulit) atau haruma (selaput) dan tidak bersifat kekal, sedangkan yang hidup kekal ialah ndiawa (roh). Roh inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau — Majii Tau. Akan tetapi, Selama tubuh yang mati itu belum dikebumikan dengan berbagai upacara, maka selama itu pula rohnya masih melayang-layang dan dapat membawa bahaya, baik terhadap kerabatnya maupun terhadap orang lain(Daeng, 2008:118).

  Orang Umalulu membedakan dua macam kematian, yaitu meti mbana (kematian panas) dan meti maringu (kematian dingin). Adapun yang dimaksud dengan meti mbana ialah kematian yang bukan disebabkan oleh ketuaan atau penyakit, melainkan karena mati terlantar (njadangu), kecelakaan ( manjurangu) dan akibat perang ( meti la pabiara). Sedangkan meti maringu ialah kematian yang disebabkan oleh usia tua atau penyakit (Daeng, 2008:118).

  Pada saat kematian seseorang diumumkan, keluarga dan kenalan dekatnya datang dengan membawa kain kapan, sarung, selimut dan ikat kepala. Pahapa dan mangejingu dipersiapkan, gong dibunyikan disertai lagu duka dan ludu ratu. Kemudian dilakukanlah upacara Pahadangu, yaitu upacara pemasukan janazah ke dalam kabangu (keranda) secara duduk dengan lutut dilipat dan bertopang dagu serupa janin dalam rahim ibu. Semua kain bawaan orang yang datang melayat diselubungkan pada jenazah. Kemudian jenazah dipindahkan ke kaheli bokulu (balai besar) dan selama empat malam dijaga bergiliran oleh kaum keluarganya. Pada waktu itu pula dipersembahkan korban kerbau, kuda, babi dan ayam(Daeng, 2008:118).

  Kematian dan pemakaman menurut adat Sumba berkaitan dengan 1. Saat Wafat.

  Bila seorang Bangsawan wafat, tidak diperkenankan untuk menangis dan belum boleh memberitahu keluarga lain. Jika wafat di rumah sakit, maka almarhum dibawa ke kampungnya untuk diadakan acara Memanggil. Salah satu orang tua harus melakukan pemanggilan dengan menyebutkan nama orang yang wafat sebanyak empat kali. Jika tidak menjawab, maka dikatakan sudah wafat. Ungkapan wafat bagi orang Sumba adalah jika yang wafat seorang bangsawan perempuan, dikatakan " Namberanyaka mbalu, Nanjorunyaka

  Au " artinya tempayan airnya pecah, balai-balai dapurnya roboh. Jika yang

  wafat seorang bangsawan laki-laki maka dikatakan " Na Njorunyaka

  Njara, Na mbatanyaka Landu " artinya Jatuh dari Kuda, patah jambul di kepalanya.

2. Pa Hadangu artinya "Membangunkan"

  Kepercayaan Marapu berkeyakinan bahwa yang wafat sudah kembali ke negeri leluhur, karena itu Jenazahnya harus disimpan dengan cara duduk, menyerupai keadaan semula ketika masih dalam kandungan.

  Membangunkan berarti membuat rohnya berada kembali di dalam tubuh atau jenazah sehingga dapat diberi sirih pinang dan makanan. Pada hari itu dipotong seekor kuda sebagai Dangangu ( kurban ). Gong mulai dibunyikan pada siang dan malam sebagai tanda berduka. Bunyi dan irama Gong pad upacara kematian berbeda dengan bunyi dan disebut Pa Hengingu dan Patambungu, sedangkan pada upacara pesta

  disebut Pahandakilungu dan Kabokangu. Arti dari bunyi dan irama Gong ada beberapa macam tapi dalam penafsiran mengandung kalimat-kalimat tanya jawab sebagai berikut : Ka Nggikimunya Dumu? Artinya Kau mengapakan dia? Dan dijawab Ba Meti Mana Duna artinya dia mati sendiri.

  3. Membuat Kuburan.

  Kuburan asli orang sumba (Na Kahali Manda Mbata, Na Uma Manda Mabu) artinya balai-balai yang tidak akan patah, rumah yang tidak akan lapuk = negeri yang baka. Terdiri dari lubang bulat, setelah jenazah diturunkan, ditutup lebih dahulu dengan batu bulat kecil disebut Ana Daluna lalu ditutup dengan batu yang lebih besar. Sesudah itu dilindungi dengan batu besar yang ditopang oleh empat batang batu sebagai kakinya.

  Kuburan seperti itu namanya " Reti Ma Pawiti ". Biasanya hanya untuk Bangsawan karena biayanya mahal. Rakyat biasa, kuburannya cukup ditutup dengan batu besar saja.

  4. Dundangu (Mengundang).

  Tergantung pada musyawarah keluarga inti, apakah pemakaman dilakukan dalam waktu dekat atau waktu yang lama (dua sampai enam bulan, atau tahunan bahkan puluhan tahun). Kalau masih lama dikuburkan, maka jenazah disimpan di salah satu kamar dalam rumah (Puhi La Kurungu) atau dikuburkan sementara dengan jauh maupun dekat harus diberitahu dengan mengutus " Wunang = Delegasi " hanya untuk pemeberitahuan bahwa yang bersangkutan sudah mati. (Supaya keluarga yang jauh jangan menyangka bahwa yang bersangkutan masih sehat saja).

  Mendekati waktu penguburan, diadakan musyawarah untuk : a) Menentukan Waktu Penguburan.

  

b) Mengetahui kekuatan keluarga pengundang dengan melihat kehadiran

dalam musyawarah itu.

  c) Penentuan jumlah dan siapa saja keluarga yang akan diundang.

  Wunang atau delegasi yang mengundang, biasanya berjumlah dua orang. Sebelum mereka berangkat, dilengkapi dengan tata cara penyampaian undangan secara adat dan kelengkapan undangan secara adat, yang disebut " Kawuku ".

5. Lodu Taningu.

  Keluarga yang jauh biasanya sudah datang pada hari sebelum pemakaman, tetapi pada umumnya datang pada hari pemakaman. Urutan upacara pemakaman, sebagai berikut : a) Papanapangu (Penyambutan).

  Para tamu disambut dengan tata cara adat Sumba Timur dengan membunyikan Gong dan Tambur, pelayanan pertama adalah pemberian sirih - pinang. Dimana para penjaga jenazah harus menangis dengan memperkeras suaranya. Masing-masing kelompok undangan menyampaikan pernyataan tibanya melalui juru bicara (wunang), sambil

  b) Pangandi (Pembawaan) Pihak La Yea (anak mantu) membawa satu Mamuli Emas, satu utas Lulu Amahu dan dua ekor kuda yang cukup umur, sedangkan pihak Yera (paman) membawa dua lembar "tenun ikat".

  c) Padudurungu (meratap/menangis).

  Semua perempuan dari tiap rombongan naik ke atas untuk menangis di keliling jenazah atau peti mati, bertanda turut berduka. Selesai menangis, bagian rombongan dipindahkan ke tempat yang sudah ditentukan untuk mengikuti upacar selanjutnya.

  d) Pawondungu (makan untuk persiapan bagi jenazah sehingga kuat) Diadakan ritual Marapu dengan memotong seekor anaak kerbau, lalu diambil hatinya untuk dimasak dan diberikan sebagai makan persiapan bagi jenazah.

  e) Papapurungu (menurunkan jenazah menuju tempat penguburan).

  Pada waktu jenazah dibawa turun ke pendopo depan, Gong dan Tambur dibunyikan dengan irama cepat sebagai tanda bahwa penguburan akan segera dilaksanakan. Sementara jenazah diusung ke kubur, diadakan pemotongan seekor kuda besar sebagai kurban (Daeng, 2008:118).

  f) Taningu (menguburkan) Jenazah dimasukkan ke dalam lubang kubur kemudian ditutup dengan batu pipih kecil lalu ditutup dengan batu besar. Di keempat sudut dipasang batang batu yang tegak untuk menopang batu yang besar. Sementara itu dipotong lagi beberapa ekor kuda atau kerbau.

  Selesai pemakaman, seorang Wunang (juru bicara) dari keluarga akan naik diatas kubur atau tempat yang lebih tinggi untuk berbicara menyampaikan isi hati keluarga dan beberapa pengumuman. Kata-katanya demikian "masih banyak yang yang harus kita bicarakan, masih ada yang perlu dituntaskan. Oleh karena itu, diminta untuk kembali lagi ke tempat duduk semula" (Daeng, 2008:118) .

  h) Tuangu Kameti (menjamu tamu).

  Keluarga-keluarga inti dari jenazah akan menerima tamu, masing-masih satu "Kawuku" (kepala keluarga atau kepala rombongan) bahkan ada yang menerima tamu lebih dari satu Kawuku. Masing-masing penerima tamu akan memotong satu sampai dua ekor babi atau sapi untuk makan bersama.

i) Warungu Handuka (berhenti berkabung).

  Beberapa hari kemudian, semua keluarga dekat dan tetangga diundang untuk bersama-sama mengikuti penutupan "masa berkabung" (warungu handuka). Dalam acara ini, dipotong babi atau sapi untuk makan bersama. Keluarga menyampaikan ucapan terima kasih atas kebersamaan dan gotong royong dalam urusan penguburan dan di dalam menerima keluarga yang datang menghadiri upacara penguburan. Ucapan terima kasih ini ditandai dengan membagikan sisa-sisa pembawaan kepada jenazah berupa mamuli (lempeng emas), lulu amahu dan kuda. Barang-barang yang dibagikan disebut "rihi yubuhu" dan "rihi dangangu" (Daeng, 2008:118) . j) Palundungu (Penyelesaian). alam barsyah (negeri dewa atau khayangan). Dalam acara ini, arwah jenazah berangkat bersama dengan arwah leluhur lainnya ke negeri Marapu. Arwah ini akan datang lagi kalau diundang (melalui sembahyang atau Hamayangu) dalam pesta negeri yang disebut "Langu Paraingu".

  Adat-Istiadat tidak akan habis, bersifat dinamis sehingga selalu berkembang dari waktu ke waktu. Namun sifat-sifat fundamen harus diketahui sehingga yang sifatnya luhur dan menjadi jati diri bangsa dapat dipertahankan dan yang merugikan diganti atau dihilangkan (Iki, 2016).

D. Adat

  Adat (berasal dari Bahasa Melayu) dan tradisi (berasal dari Bahasa Inggris) mengandung pengertian sebagai kebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli, yang meliputi nilai-nilai budaya, norma-norma hukum dan aturan yang saling berkaitan dan kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan tradisional (Suyono dalam Rochwulaningsih 2009: 1).

  Menurut KBBI, Adat adalah: 1) aturan (perbuatan dsb) yg lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; 2) cara (kelakuan dsb) yg sudah menjadi kebiasaan; kebiasaan; 3) wujud gagasan kebudayaan yg terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yg satu dng lainnya berkaitan menjadi suatu sistem.

  Cooley (1962: 2-4) menyebutkan adat adalah pemberian nenek moyang atau leluhur dan harus di patuhi, adat juga merupakan representasi dari perintah kehidupan bermasyarakat didalam komunitas. Kedua dimensi ini saling berhubungan satu dengan yang lain. Dalam penjelasannya, Cooley menguraikan bahwa Leluhur yang adalah pendiri dari komunitas, mendirikan desa (baca: negri) dan menetapkan adat sebagai sebuah sistem yang mengatur hidup mereka dimasa kini maupun mengatur hidup keturunan mereka di masa depan. Cooley menambahkan bahwa mereka yang menjalankan adat mendapatkan berkat dari leluhur (baca: Tete Nene Moyang), sedangkan mereka yang mengabaikan adat mendapat sebuah kutukan.

Dokumen yang terkait

Analisis Struktur Jaringan Komunikasi dan Peran Aktor Dalam Penerapan Teknologi Budidaya Kentang (Petani Kentang Desa Ngantru Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang) Structure Analysis of Communication Network and The Role Players Technology Application in R

0 1 11

Analisis Kepuasan Petani Bunga Krisan Potong terhadap Insektisida X di Desa Sidomulyo, Kecamatan Batu, Kota Batu Satisfaction Analysis of Crop-Chrysanthemum Farmers for using Insecticides X in Sidomulyo Village, Batu Sub-District, Batu City

0 0 9

Pengaruh Stres Kerja dan Beban Kerja terhadap Kinerja SKPD Kabupaten Sintang Kalimantan Barat

1 4 13

Pengaruh Audit Internal dan Akuntabilitas Suber Daya Manusia terhadap Perwujudan Good Governance pada Lembaga SKK Migas

0 0 24

Analisis pedigree gangguan pendengaran dan ketulian pada penduduk dusun Sepang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat

0 0 5

Pendugaan Nilai Heterosis dan Daya Gabung Beberapa Komponen Hasil pada Persilangan Dialel Penuh Enam Genotipe Cabai (Capsicum annuum L.) Estimation of Heterosis and Combining Ability for Yield Components of Six Chili (Capsicum annuum L.) Genotypes in Full

0 0 8

Uji Daya Hasil Pendahuluan dan Mutu Beras 21 Padi Hibrida Harapan Preliminary Yield Trials and Grain Quality of 21 Promising Hybrid Rice

0 0 7

Daya Gabung dan Heterosis Ketahanan Pepaya (Carica papaya L) terhadap Penyakit Antraknosa

0 0 8

Heterosis dan Daya Gabung Karakter Agronomi Cabai (Capsicum annuum L.) Hasil Persilangan Half Diallel Heterosis and Combining Ability of Chilli Genotypes (Capsicum annuum L.) for Agronomy Characters in Half Diallel Crosses

0 0 9

Evaluasi Daya Pemulih Kesuburan Padi Lokal dari Kelompok Tropical Japonica Evaluation for Fertility Restoration Ability of Tropical Japonica Land Races

0 0 6