ORDONANSI PERKAWINAN ORANG-ORANG INDONESIA-KRISTEN DI JAWA, MINAHASA DAN AMBON

www.legalitas.org

ORDONANSI PERKAWINAN
ORANG-ORANG INDONESIA-KRISTEN DI JAWA,
MINAHASA DAN AMBON
(Huwelijksordonnantie Christen-Indonesiers Java, Minahasa en Amboina)
Ketentuan-ketentuan mengenai
Kristen di Jawa dan Madura,
dengan nama Minahasa dan di
dan Banda, tanpa pulau-pulau
Karesidenan Maluku.

hukum perkawinan orang-orang Indonesiadi bagian residensi Manado yang dikenal
onderafdeling-onderafdeling Ambon, Saparua
Teun,Nila dan Serua di afdeling Ambon di

(Ord. 15 Febr. 1933) S. 1933-74 jo. S. 1936-607
Berdasarkan S. 1936-607 mulai berlaku 1 Jan. 1937 untuk semua daerah
tersebut dalam judul di atas.
Berdasarkan Ordonansi Pelaksanaan Perkawinan Luar Biasa (S. 1947-64)
singkatan untuk Ordonansi Perkawinan ini (S. 1933-74): P.; HCI.

Idem untuk Reglemen catatan sipil untuk orang-orang Indonesia-Kristen
(S.1933-75): BSCI.

.
s
a

TITEL I. Perkawinan.

it
l
a

Pasal 1.
Undang-undang memandang perkawinan
keperdataannya. (KUHPerd. 26.)

ww

l

.
w

eg

hanya

g
r
o

dalam

hubungan-hubungan

Sub 1. Persyaratan-persyaratan Materiel Untuk Melakukan Perkawinan.
Pasal 2.
Pada waktu yang sama seorang lelaki hanya dapat terikat dalam
perkawinan dengan satu orang perempuan saja, dan seorang perempuan
hanya dengan satu orang lelaki saja. (KUHPerd. 27.)

Pasal 3.
Sebagai asas perkawinan dipersyaratkan adanya persetujuan sukarela
antara calon suami-istri. (KUHPerd. 28.)
Pasal 4.
(1) (s.d.u. dg. S. 1936-247.) Seorang anak lelaki yang belum
mencapai umur delapan belas tahun penuh dan seorang anak
perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak
boleh melakukan perkawinan.
(2) Bila umur para calon suami-istri tidak diketahui, mereka tidak
boleh
melakukan
perkawinan,
kecuali
bila
didapat
cukup
kepastian, bahwa mereka telah mencapai umur yang disebut dalam
ayat (1) pasal ini, dan sekali-kali tidak boleh bila ternyata
mereka belum cukup matang untuk kawin.
(3) (s.d.u. dg. S. 1936-247; S. 1939-288.) Residen di daerah-daerah

gubernemen di Jawa dan Madura dan kepala Pemerintahan Daerah di
luar Jawa dan Madura bila ada alasan-alasan panting, dapat
meniadakan larangan ini dengan memberikan dispensasi. (KUHPerd.
29.)

www.legalitas.org

2

Pasal 5.
(1) Perkawinan dilarang antara orang-orang yang mempunyai hubungan
keluarga dalam garis lurus ke atas dan garis ke bawah, baik
karena
kelahiran
sah
maupun
tidak
sah,
karena
hubungan

perkawinan atau adopsi; dan dalam garis ke samping antara
saudara lelaki dan saudara perempuan, baik karena kelahiran sah
maupun tidak sah, atau karena adopsi. (KUHPerd. 30.)
(2) (s.d.t. dg. S. 1936-247; S. 1939-288.) Residen di daerah-daerah
gubernemen di Jawa dan Madura dan Kepala Pemerintahan Daerah di
luar Jawa dan Madura dapat meniadakan larangan ini, sejauh yang
mengenai hubungan keluarga karena adopsi, dengan memberikan
dispensasi. .
Pasal 6.
(1) Juga dilarang perkawinan antara paman atau uwa laki-laki dengan
kemenakan perempuan atau cucu-kemenakan perempuan, bibi atau uwa
perempuan dengan kemenakan laki-laki atau cucu-kemenakan lakilaki, sah atau tidak sah.
(2) Kepala Pemerintahan Daerah, bila ada alasan-alasan yang panting
dapat meniadakan larangan ini dengan memberikan dispensasi.
(KUHPerd. 31.)

.
s
a


Pasal 7.
Di Minahasa perkawinan dilarang antara
mengaku dengan anak diaku. Ayat (2) pasal
bila diperlihatkan suatu keterangan yang
orang dari kerabat terdekat dari kedua
perkawinan itu.

w
w

.l e

g

it
l
a

g
r

o

ibu mengaku atau bapak
yang lalu juga berlaku,
membuktikan bahwa empat
belah pihak mengizinkan

Pasal 8.
Seorang perempuan, setelah putusnya perkawinan yang terdahulu, tidak
dapat melakukan perkawinan baru sebelum lampau 300 hari, kecuali
bila ternyata bahwa dia tidak hamil, dan dalam hal itu dia dapat
melakukan perkawinan setelah lampau 100 hari. (KUHPerd. 34.)

w

Pasal 9.
(1) Untuk melangsungkan perkawinan, anak-anak yang dilahirkan dari
suatu perkawinan, memerlukan izin orang tua mereka.
(2) Bila salah seorang dari orang tua mereka telah meninggal, atau
berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk menyatakan

kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang lain.
(KUHPerd. 35; HCI. 11 dst., 13.)
Pasal 10.
Bila kedua orang tua telah meninggal dunia atau berada dalam keadaan
yang tidak memungkinkan untuk menyatakan kehendak mereka, orang yang
belum dewasa memerlukan izin dari walinya atau pemeliharanya dan
kakekneneknya, bila mereka masih hidup dan tidak dalam keadaan yang
tidak memungkinkan untuk menyatakan kehendak mereka. (KUHPerd. 38;
HCI. 13.)
Pasal 11.
Bila antara orang-orang yang tersebut dalam pasal 9 dan 10, yang
izinnya diperlukan untuk melakukan perkawinan, timbul perselisihan
pendapat, atau seorang atau lebih dari antara mereka tidak
memberikan pendapatnya, pengadilan negeri di daerah hukum tempat

www.legalitas.org

3
tinggal orang yang belum dewasa itu dapat memberikan izin untuk
melakukan perkawinan, atas permohonan orang itu, setelah mendengar

atau mengadakan pemanggilan secukupnya kepada pemohon, para orang
tuanya, kakek-neneknya, walinya atau pemeliharannya, beserta para
keluarga sedarah dan keluarga semenda orang yang belum dewasa itu.
(HCI. 13 dst.)
Pasal 12.
(1) Bila orang yang belum dewasa itu yang hendak melakukan
perkawinan, diadopsi, ia memerlukan di samping persetujuan dari
para orang tuanya juga dari para orang tua yang mengadopsi.
Bila timbul perselisihan pendapat antara orang-orang yang baru
saja disebut, yang persetujuannya dipersyaratkan, pasal 11
berlaku juga. (HCI. 13.)
(2) Bila kedua orang tua anak yang diadopsi yang belum dewasa telah
meninggal atau berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan
untuk
menyatakan
kehendak
mereka,
ia
hanya
memerlukan

persetujuan para orang tua yang mengadopsinya.
(3) Bila juga para orang tua yang mengadopsi telah meninggal atau
berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk menyatakan
kehendak
mereka,
ataupun
ada
perselisihan
pendapat,
maka
berlakulah ketentuan dalam pasalpasal 10 dan 11.
(4) Dengan adopsi dalam arti peraturan ini tidak dimaksudkan mengaku
anak di Minahasa, sejauh dalam hal ini tidak terjadi peralihan
dalam lingkungan kerabat lain.

it
l
a

.

s
a

g
r
o

Pasal 13.
(1) (s.d.u. dg. S. 1936-247.) Yang dimaksud dengan orang yang belum
dewasa, bila umurnya dapat diketahui, untuk penerapan ordonansi
ini di Jawa dan Madura, ialah orang yang tidak kawin yang belum
mencapai umur delapan- belas tahun, dan di luar daerab itu,
orang yang tidak kawin yang belum mencapai umur dua puluh tahun.
(2) Bila tidak ada kepastian, setiap orang yang berkepentingan dapat
memohon kepada pengadilan negeri di daerah hukum terletak tempat
tinggal orang yang hendak melakukan perkawinan, untuk memutuskan
apakah orang itu dewasa ,ataukah belum dewasa.

w

w
w

.l e

g

Pasal 14.
Pemanggilan dan pendengaran kakek-nenek, wali, pemelihara atau
keluarga sedarah dan semenda, di Jawa dan Madura yang bertempat
tinggal di luar kabupaten dan di tuar Jawa dan Madura yang bertempat
tinggal di luar onderafdeling tempat kedudukan pengadilan negeri
itu,
dilakukan,
bila
pengadilan
itu
menganggap
perlu
untuk
menanyakan pendapat mereka, dengan mendelegasikan seorang pegawai
pamong
praja
yang
bertempat
tinggal
berdekatan,
yang
akan
menyampaikan berita acara yang harus dibuatnya mengenai hal itu
kepada pengadilan negeri.
Pasal 15.
(1) Keluarga sedarah dan semenda sedapat mungkin akan selalu
dipanggil dalam jumlah empat dan dari yang terdekat sedapat
mungkin dipilih dari kedua garis. (KUHPerd. 333.)
(2) Keluarga sedarah atau semenda tidak akan dipanggil selain yang
sudah dewasa dan bertempat tinggal atau berdiam di Indonesia.
(HCI. 13.)

www.legalitas.org

4
Pasal 16.
(1) Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan, selama mereka
masih belum dewasa, tidak dapat melakukan perkawinan tanpa
persetujuan orang tuanya, selama keduanya diketahui masih hidup
dan tidak berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk
menyatakan kehendak mereka. Anak-anak yang diadopsi di samping
itu masih memerlukan persetujuan orang tua yang mengadopsi
mereka. (HCI. 12.)
(2) Bila ada perselisihan pendapat antara orang-orang tersebut di
atas yang persetujuan mereka dipersyaratkan untuk melakukan
perkawinan, atau seorang atau lebih dari mereka tidak memberikan
pernyataan, pengadilan negeri dalam daerah hukum tempat tinggal
orang yang belum dewasa itu, atas permohonan orang itu, setelah
mendengar atau setelah secukupnya memanggil para orang tua atau
orang tua yang mengadopsinya, berwenang untuk memberikan izin
untuk melakukan perkawinan itu.
(3) Bila baik ayah maupun ibunya tidak diketahui, telah meninggal
dunia atau berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk
menyatakan
kehendak
mereka,
bagi
anak
yang
diadopsi
dipersyaratkan izin dari orang tua yang mengadopsinya, bila
mereka ini masih hidup dan dalam keadaan yang memungkinkan untuk
memberi keterangan; bila anak itu tidak diadopsi atau orang tua
yang mengadopsinya telah meninggal dunia atau dalam keadaan yang
tidak memungkinkan untuk menyatakan kehendaknya, dipersyaratkan
izin dari walinya atau dari pemelihara anak itu.
(4) Bila orang ini menolak untuk memberi izin, atau tidak menyatakan
kehendaknya, atas permohonan anak yang belum dewasa itu,
pengadilan negeri di daerah tempat tinggal anak itu, setelah
mendengar atau memanggil secukupnya wali atau pemeliharanya,
berwenang untuk memberi izin untuk melakukan perkawinan itu.
(KUHPerd. 39.)

w

w
w

.l e

g

it
l
a

.
s
a

g
r
o

Pasal 17.
Terhadap pemanggilan atau pendengaran para orang tua, orang tua yang
mengadopsi, pemelihara dan wali dari anak yang dilahirkan di luar
perkawinan, berlaku ketentuan pasal 14.
Pasal 18.
Ketetapan-ketetapan
pengadilan
negeri
diberikan
tanpa
melalui
persidangan tertentu. Ketentuan-ketentuan itu tidak dapat dimintakan
banding pada badan yang lebih tinggi. (KUHPerd 41.)

Sub 2. Laporan Dan Pelaksanaan Perkawinan.
Pasal 19.
(1) Orang-orang
yang
hendak
melakukan
perkawinan,
harus
melaporkannya kepada pegawai catatan sipil atau pemuka agama di
mana salah satu pihak bertempat tinggal. (KUHPerd. 50)
(2) (s.d.u. dg. S. 1936-247, 607.) Bila dalam ordonansi ini, dengan
kekecualian p&sal 76, disebutkan pemuka agama, maka yang
dimaksud dengan itu ialah seseorang yang berdasarkan pasal 6
Peraturan catatan sipil untuk orang-orang Indonesia-Kristen
diturduk sebagai pemuka agama.

www.legalitas.org

5
Pasal 20.
(1) Laporan itu dilakukan secara piibadi, ataupun dengan surat-surat
yang dengan cukup pasti memperlihatkan niat para calon suamiistri. (KUHPerd. 51.)
(2) Pegawai catatan sipil atau pemuka agama itu dengan cara yang
mereka tentukan mengumumkan seluas-luasnya tentang laporan yang
telah mereka terima.
(3) (s.d.u. dg. S. 1936-247, 607.) Dengan menyimpang dari ayat (2)
pasal ini, Kepala Pemerintahan Daerah berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan tentang cara pendaftaran dan pengumuman
laporan bagi pegawai catatan sipil, bila dianggapnya ada alasan
untuk itu.
Pasal 21.
Sebelum melaksanakan perkawinan, pegawai catatan sipil atau pemuka
agama yang telah menerima laporan itu, meminta agar disampaikan
kepadanya:
1. akta ke dari masing-masing calon suami-istri, ataupun bila
mengenai mereka yang kelahiannya sekiranya tidak didaftarkan
dalam suatu daftar catatan sipil atau yang sekiranya karena
alasan tertentu berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan
untuk memperlihatkan akta kelahiran, akta pembaptisan mereka.
Mengenai mereka yang dalam hal termaksud di atas karena suatu
alasan juga tidak mempunyai suatu akta pembaptisan, pegawai
catatan sipil atau pemuka agama itu dapat meyakinkan diri
melalui segala cara tentang kedudukan perdata mereka, khususnya
dengan
menanyakan
kepada
kepala-kepala
kampung
dari
yang
bersangkutan;
2. akta di bawah tangan atau akta otentik berisi persetujuan
ayahnya, ibunya, ayah yang mengadopsi, ibu yang mengadopsi,
kakeknya, neneknya, walinya atau pemeliharanya, ataupun izin
hakim yang telah diperolehnya dalam hal-hal di mana ini
dipersyaratkan. Persetujuan itu dapat juga diberikan pada akta
perkawinan itu sendiri;
3. dalam hal perkawinan kedua atau berikutnya, akta perceraian
perkawinan atau akta kematian suami atau istri yang dahulu,
ataupun, bila akta-akta ini tidak terdaftar dalam daftar catatan
sipil mana pun, atau bila para pihak itu karena alasan tertentu
dalam keadaan tidak mungkin untuk memperlihatkannya, bukti lain
yang demikian dari perceraian perkawinan atau dari kematian
suami atau istri yang dahulu, yang akan dianggap cukup oleh
pegawai catatan sipil atau pemuka agama, ataupun salinan izin
dari hakim yang diberikan dalam hat ketidakhadiran suami atau
istri yang lain;
4. akta kematian, ataupun, bila hat ini tidak terdaftar dalam
daftar catatan sipil mana pun atau para pihak itu karena -alasan
lain dalam keadaan tidak mungkin untuk memperlihatkannya, bukti
lain dari kematian yang sedemikian yang oleh pegawai catatan
sipil atau pemuka agama akan dianggap cukup dari mereka semua
yang scharusnya membeiikan izin mereka untuk perkawinan itu;
5. dispensasi-dispensasi yang telah diberikan;
6. persetujuan untuk perwira-perwira dan anggota militer yang
berpangkat lebih rendah yang dipersyaratkan untuk melakukan
perkawinan. (KUHPerd. 71.)

w

w
w

.l e

g

it
l
a

.
s
a

g
r
o

www.legalitas.org

6
Pasal 22.
Pemuka agama dapat menolak pelaksanaan suatu perkawinan. Dia dalam
hal itu menyuruh para pihak segera pergi kepada pegawai catatan
sipil yang berwenang untuk melakukan laporan baru. Dia wajib untuk
menolak dan melakukan surahan, bila dia tidak yakin, bahwa tidak ada
halangan menurut undang-undang dan bahwa surat-surat yang diminta
itu lengkap dan beres.
Pasal 23.
(1) Pegawai catatan sipil akan menolak pelaksanaan perkawinan, bila
kepadanya terbukti bahwa untuk pelaksanaan perkawinan itu ada
suatu halangan menurut undang-undang atau bila surat-surat dan
keterangan-keterangan, yang diminta oleh ordonansi ini tidak
lengkap.
(2) Dalam hal penolakan olehnya atas permohonan salah satu pihak,
disampaikan keterangan tertulis tentang penolakan itu yang
menyebutkan alasan-alasannya.
(3) Masing-masing pihak, dengan surat permohonan yang disertai surat
keterangan yang dimaksud dalam ayat yang terdahulu, berhak
memperoleh keputusan dari pengadilan negeri tempat kedudukan
pegawai catatan sipil yang telah menolak pelaksanaan perkawinan
itu, dan pengadilan setelah mengadakan pemeriksaan sedemikian
yang menurut pendapatnya perlu, tanpa melalui persidangan
tertentu dan tanpa hak banding, mempertahankan penolakan itu
ataupun
memutuskan
bahwa
pelaksanaan
perkawinan
itu
akan
dilakukan.

g

it
l
a

.
s
a

g
r
o

Pasal 24.
(1) Pegawai catatan sipil tidak akan melaksanakan perkawinan itu
sebelum hari kesepuluh setelah diterimanya laporan, hari itu
sendiri tidak termasuk.
(2) Kepala
afdeling
tempat
dilakukannya
laporan
perkawinan,
berdasarkan alasan-alasan penting dapat memberikan dispensasi
tentang jangka waktu tersebut dalam ayat yang lalu. (KUHPerd.
75.)

w

w
w

.l e

Pasal 25.
(s.d.t. dg. S. 1936-247, 607.) Pemuka-pemuka agama menentukan
sendiri jangka waktu yang harus dilampaui sebelum melaksanakan
perkawinan. Jangka waktu ini tidak boleh lebih pendek daripada satu
hari.
Pasal 26.
Pelaksanaan perkawinan oleh pegawai catatan sipil atau pemuka agama
yang di daerah hukumnya bertempat tinggal salah seorang dari pihak
itu, dilakukan di muka umum dengan dihadiri dua orang saksi.
(KUHPerd, 76.)
Pasal 27.
Kepala afdeling menentukan kapan oleh pegawai catatan sipil dapat
diberikan kesempatan untuk melakukan perkawinan tanpa biaya.
Pasal 28.
(1) Pelaksanaan perkawinan oleh pegawai catatan sipil dilakukan di
gedung, dimana akta-akta catatan sipil dibuat. (KUHPerd. 76.)
(2) Bila salah satu dari para pihak itu berdasarkan suatu halangan
yang menurut pendapat pegawai catatan sipil sah, tidak dapat

www.legalitas.org

7
pergi ke gedung tersebut, perkawinan itu dapat dilaksanakan
dalam suatu rumah khusus, yang terletak dalam daerah hukum
pegawai catatan sipil itu. (KUHPerd. 77.)
Pasal 29.
(s.d.u. dg. S. 1936-247, 607.)
(1) Untuk tiap-tiap pelaksanaan perkawinan di luar gedung tempat
dibuatnya akta-akta catatan sipil, atau pada suatu hari atau jam
yang tidak diperuntukkan untuk itu, terutang untuk keuntungan
Kas Negara sejumlah sepuluh gulden yang dipungut dan disetorkan
dalam kas iiu baik oleh yang berkepentingan ataupun oleh pegawai
catatan sipil. Tanda penyetoran dilekatkan pada aktanya.
(2) Akan tetapi bila para pihak itu menyatakan tidak mampu membayar
dengan diperkuat oleh surat keterangan yang di luar Jawa dan
Madura dikeluarkan oleh kepala daerah setempat dan di Jawa dan
Madura di luar daerah Kasultanan dan Kasunanan oleh bupati dan
di daerah Kasultanan dan Kasunanan atau oleh kepala afdeling
atau oleh seorang pegawai yang ditunjuk untuk mengeluarkan surat
keterangan yang demikian, maka pelaksanaan perkawinan yang
dilakukan di luar gedung tempat pembuatan akta-akta catatan
sipil tanpa biaya pula.
(3) Pegawai catatan sipil yang melaksanakan perkawinan, sebelum
biaya
yang
terutang
dipenuhi,
bertanggung
jawab
atas
pembayarannya. (BS. 33a, 33b.)

it
l
a

.
s
a

g
r
o

Pasal 30.
Pelaksanaan perkawinan oleh pemuka agama dilakukan di tempat dan
waktu yang ditentukan olehnya, tanpa biaya.

.l e

g

Pasal 31.
Para calon suami-istri, dengan tidak mengurangi apa yang ditentukan
dalam
pasal
32,
pada
waktu
pelaksanaan
perkawinan
mereka
berkewajiban untuk datang sendiri di hadapan pegawai catatan sipil
atau pemuka agama. (KUHPerd. 78; lihat wewenang kelonggaran dalam S.
1947-137.)

w

w
w

Pasal 32.
(1) Karena alasan-alasan yang penting salah seoiang dari calon
suami-istri dapat diwakili oleh seorang yang diberikan kuasa
pada petaksanaan perkawinan.
(2) Pemegang kuasa harus menyerahkan kepada pegawai catatan sipil
atau pemuka agama surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang
oleh kepala afdeling dari ibu kota pemberi kuasa diberikan
keterangan yang ditandatangani olehnya bahwa peinberi kuasa
karena alasan-alasan penting berhalangan untuk datang sendiri di
hadapan
pegawai
catatan
sipil
atau
pemuka
agama,
yang
melaksanakan perkawinan itu.
(3) Bila pemberi kuasa, sebelum perkawinan itu dilaksanakan, telah
kawin secara sah dengan orang lain, maka perkawinan yang
dilaksanakan dengan seorang pemegang kuasa, dianggap tidak
pernah berlangsung. (KUHPerd. 79.)
Pasal 33.
(1) Para calon suami-istri menerangkan di hadapan pegawai catatan
sipil atau pemuka agama dan dengan dihadiri saksi-saksi, bahwa
mereka secara suka-rela saling menerima sebagai suami-istri dan
bahwa mereka secara setia akan memenuhi segala kewajiban yang

www.legalitas.org

8
ditentukan
undang-undang
terhadap kedudukan
sebagai
suanti
istri. (KUHPerd. 80.)
(2) Pegawai catatan sipil atau pemuka agama kemudian menerangkan
atas nama undang-undang bahwa para pihak itu telah terikat dalam
perkawinan. (BSCI. 48.)

Sub 3. Bukti Perkawinan.
Pasal 34.
Suatu perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ordonansi ini,
tidak dapat dibuktikan secara lain kecuali dengan akta perkawinan
yang didaftar dalam daftar-daftar catatan sipil, dengan tidak
mengurangi sebagaimana yang diatur dalam pasal 35. (KUHPerd. 100;
BSCI. 48 dst.; S. 1947-64 pasal 5.)
Pasal 35.
Bila ternyata, bahwa tidak pernah ada daftar-daftar atau hal itu
telah hilang atau dihilangkan atau juga bahwa akta perkawinannya
tidak ada, maka pembuktian tentang adanya perkawinan itu diserahkan
kepada penilaian penguasa yang bersangkutan, asalkan secara lahiriah
kelihatan ada hubungan sebagai suami-istri. (KUHPerd. 101; S. 194764 pasal 5.)

it
l
a

.
s
a

g
r
o

Sub 4. Pernyataan Batalnya Perkawinan.
Pasal 36.
Kebatalan suatu
(KUHPerd. 85.)

perkawinan

w
w

.l e

g

hanya

dapat

diputuskan

oleh

hakim.

Pasal 37.
(1) Pernyataan batalnya suatu perkawinan yang telah dilakukan
bertentangan dengan pasal 2 atau dilakukan dengan melanggar
keterituan dalam pasal 5, 6 dan 7, dapat dituntut oleh setiap
orang yang mempunyai kepentingan pada pernyataan batal itu, dan
oleh kepala jaksa.
(2) Bila dalam hal pelanggaran pasal 2 kebatalan perkawinan yang
terdahulu dipertahankan, maka tentang hal itu harus diputuskan
lebih dahulu. (KUHPerd. 86.)

w

Pasal 38.
(1) Sahnya suatu perkawinan yang telah dilakukan tanpa persetujuan
bebas kedua Suami-istri, atau juga dari salah seorang di antara
mereka, hanya dapat disangkal oleh suami-istri itu atau oleh
salah seorang dari mereka yang persetujuannya telah tidak bebas.
(2) Bila
telah
terjadi
kekhilafan mengenai
orang
yang
telah
dikawininya, sahnya hanya dapat disangkal oleh salah seorang
dari antara suami-istri yang sejak khilaf.
(3) Bila telah berlangsung kehidupan bersama yang terus-menerus
selama waktu tiga bulan dalam suatu rumah tersendiri, sejak
suami
atau
istri
memperoleh
kebebasan
penuh,
atau
sejak
kekhilafan diketahui olehnya, maka hak untuk menuntut kebatalan
perkawinan itu hapus. (KUHPerd. 87.)

www.legalitas.org

9
Pasal 30.
(1) Bila suatu perkawinan telah dilakukan oleh seorang yang berada
dalam pengampuan karena menderita cacat jiwa, sahnya perkawinan
dapat disangkal oleh ayahnya, ibunya dan keluarga-keluarga
sedarah yang lain dalam garis ke atas, orang tuanya yang
mengadopsi, anak-anaknya, cucu-cucunya, anak-anak adopsinya,
saudara-saudaranya laki-laki dan perempuan, paman-paman dan
bibi-bibinya, serta pengampunya, dan akhimya oleh jaksa.
(2) Setelah pengampuan dihentikan, pembatalan itu hanya dapat
diminta oleh suami atau istri yang pernah berada dalam
pengampuan.
(3) Setelah tinggal bersama selama enam bulan terhitung dari
penghentian
pengampuan
itu,
hak
untuk
menuntut
kebatalan
perkawinan itu hapus. (KUH-Perd. 88.)
Pasal 40.
(1) Bila suatu perkawinan telah dilakukan oleh orang yang belum
mencapai umur yang dipersyaratkan pada pasal 4, kebatalannya
dapat diminta, baik oleh suami atau istri itu, ataupun oleh
jaksa.
(2) Namun sahnya perkawinan itu tidak dapat disangkal:
1. bila pada hari dilakukannya tuntutan untuk kebatalan itu,
suami atau istri atau kedua-duanya telah mencapai umur yang
dipersyaratkan;
2. bila sang istri yang belum mencapai umur yang dipersyaratkan,
sebelum hari dilakukannya tuntutan telah hamil. (KUHPerd.
89.)

.l e

g

it
l
a

.
s
a

g
r
o

Pasal 41.
(1) Bila suatu perkawinan telah dilakukan tanpa persetujuan ayah,
ibu, orang-orang tua yang mengadopsi, kakek-nenek, wali atau
pemeliharanya, kebatalannya hanya dapat dituntut oleh mereka
yang persetujuannya berdasarkan ordonansi ini dipersyaratkan.
(2) Tuntutan
untuk
kebatalan
oleh
mereka
yang
persetujuannya
dipersyaratkan tidak dapat dilakukan, bila perkawinan itu oleh
mereka telah disetujui secara tegas atau diam-diam, atau bila
telah lampau enam bulan tanpa sanggahan dari pihak mereka, sejak
saat mereka mengetahui perkawinan itu. (KUHPerd. 91.)

w

w
w

Pasal 42.
(1) Kebatalan suatu perkawinan yang telah dilaksanakanan tidak di
hadapan pegawai catatan sipil yang berwenang atau di hadapan
pemuka agama yang berwenang, dan di hadapan sejumlah ? yang
dipersyaratkan, dapat dituntut oleh setiap orang yang mempunyai
kepentingan dalam hal itu, dan oleh jaksa.
(2) Bila secara lahiriah kelihatan ada hubungan sebagai suami-istri
dan dapat diperlihatkan suatu akta pelaksanakan perkawinan di
hadapan seorang pegawai catatan sipil atau di hadapan pemuka
agama, suami-istri itu tidak dapat meminta pembatalan perkawinan
mereka berdasarkan pasal ini. (KUHPerd. 92.)
Pasal 43.
Setelah
pembubaran
perkawinan
pembatalannya. (KUHPerd. 94.)

jaksa

tidak

dapat

lagi

minta

www.legalitas.org

10
Pasal 44.
(1) Kecuali bila pengadilan memutuskan lain, suatu perkawinan yang
telah
dinyatakan
batal,
masih
mempunyai
akibat-akibat
keperdataannya seperti biasanya, kecuali bila hakim memutuskan
lain.
(2) Suami atau istri yang telah melakukan perkawinait dengan itikad
buruk yang dinyatakan batal dapat dihukum untuk penggantian
biaya-biaya, kerugian dan bunga-bunga terhadap pihak yang lain.
(KUHPerd. 95.)

Sub 5. Hak-hak Dan Kewqiiban-kewqiiban Suami-Istri Selama Perkawinan.
Pasal 45.
(1) Suami-istri mempunyai kewajiban secara timbal-balik untuk saling
setia, saling menolong dan membantu. (KUHPerd. 103.)
(2) Suami berkewajiban untuk melindungi istrinya dan memberikan
kepadanya
apa
yang
diperlukan
menurut
kedudukan
dan
kemampuannya. (KUHPerd. 1072.)
Pasal 46.
Suami-istri - dengan perbuatan perkawinan - mengikatkan diri secara
timbal-balik
untuk
memelihara
dan
mendidik
anak-anak
mereka.
(KUHPerd. 104.)

it
l
a

.
s
a

g
r
o

Pasal 47.
(1) Bila pada waktu pelaksanaan perkawinan para calon suami-istli
itu menerangkan, bahwa mereka adalah ayah dan ibu dari anak yang
dilahirkan di luar perkawinan, yang setelah perkawinan akan
menempati kedudukan anak yang dilahirkan dari perkawinan, maka
nama-nanta
dan
umur
anak
itu
dicantumkan
dalam
akta
perkawinannya. (BSCI. 49.)
(2) Anak-anak yang secara demikian disebutkan dalam akta perkawinan,
mempunyai
kedudukan
sebagai
anak
yang
dilahirkan
selama
perkawinan.
(3) Kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang tidak
disebutkan dalam akta perkawinan, ditentukan oleh hukum adat.

w

w
w

.l e

g

Pasal 48.
(1) Suami-istri dengan perbuatan perkawinan itu mengikatkan diri
hanya untuk bertempat tinggal bersama. (HCI. 59, 68, 71.)
(2) (s.d.u. dg. 1936-247, 607.) Suami menentukan tempat tinggal
bersama. (KUHPerd. 106 2, 1071.)
Pasal 49.
(1) (s.d.u.
dg.
S.
1936-247,
607;
S.
1938370,264.)DiresidensiMaluku, para calon suan-d-istri pada waktu
melaksanakan perkawinan dapat bersepakat, bahwa semua atau
beberapa anak menurut jenis kelamin dan menurut urutan kelahiran
yang kemudian akan diturduk, tidak akan meneruskan keturunan
suaminya, melainkan keturunan ayah istrinya. (HCI. 65 2.)
(2) Akibat-akibat hukum persetujuan itu ditentukan oleh hukum adat.
(AB. 15.)
(3) Persetujuan ini harus dicantumkan dalam akta perkawinan, sedang
catatan mengenai hal itu dilakukan dalam akta ketahiran anakanak yang dilahirkan dari perkawinan yang demikian itu; hal itu
hanya dapat dibuktikan dengan akta perkawinan itu. (BSCI. 49.)

www.legalitas.org

11

Sub 6. Harta Benda Suami-Istil.
Pasal 50.
(1) Masing-masing
suami-istri
tetap
memiliki
apa
yang
telah
dibawanya ke dalam perkawinan atau yang selama perkawinan
diperoleh
sendiri;
barangbarang
lain
adalah
milik
mereka
bersama.
(2) Pada waktu melakukan perkawinan para calon suami-istri dapat
bersepakat, bahwa juga barang-barang yang mereka bawa ke dalam
perkawinan dan yang mereka peroleh secara pribadi selama
perkawinan menjadi milik mereka bersama, kecuab bila hukum adat
melarang hal itu. (KUHPerd. 119 dst., 139 dst.)
(3) Persetujuan ini harus dimuat dalam akta perkawinan; hal itu
hanya dapat dibuktikan dengan akta itu. (BSCI. 49.)
(4) Bila istri bekerja untuk keuntungan rumah tangga, maka semua
barang yang diperoleh selama perkawinan meroadi milik bersama
suami-istri, kecuali bila hal itu telah diperoleh oleh salah
seorang dari mereka dari pembagian, wasiat, atau pewarisan.

g
r
o

TITEL II. Pembubaran Perkawinan.
Sub 1.

.
s
a

Ketentuan Umum.

it
l
a

Pasal 51.
Perkawinan bubar:
0
1 . karena kematian;
0
2 . karena ketidakhadiran salah seorang dari suami-istri di tempat
tinggalnya selama dua tahun tanpa adanya berita tentang hidup
atau matinya diikuti oleh perkawinan baru salah satu suami-istri
itu yang dilakukan dengan izin pengadilan negeri di tempat
tinggal terakhir yang diketahui dari pihak yang dalam keadaan
tak
hadir
itu,
sedapat-dapatnya
setelah
mendengar
kepala
kampungnya dan setelah memerintahkan pemanggilan terhadapnya
yang dianggap perlu oleh pengadilan negeri, dan dilaksanakan
sebelum masuk suatu bukti tentang masih hidup atau matinya orang
yang dalam keadaan tidak hadir;
0
3 . karena keputusan hakim tentang perceraian perkawinan. (KUHPerd.
199.)

w

w
w

.l e

g

Sub 2. Pembubaran Perkawinan Karena Perceraian.
Pasal 52.
Dasar-dasar
yang
dapat mengakibatkan
perceraian
perkawinan
adalah sebagai berikut:
0
1 . perzinahan; (HCI. 55.)
0
2 . pergi dengan niat buruk; (HCI. 56.)
0
3 . penghukuman karena kejahatan untuk hukuman kebebasan selama
dua tahun atau lebih lama lagi, yang diputuskan setelah
perkawinan;
0
4 . pencederaan berat atau penganiayaan yang sedemikian yang
dilakukan oleh salah satu pihak dari suami-istri terhadap

www.legalitas.org

12
yang lain, sehingga membahayakan hidupnya, atau menyebabkan
dia mendapat luka-luka yang berbahaya; (KUHPerd. 209.)
0
5 . cacat-cacat
badan,
atau
penyakit
yang
timbul
setelah
pelaksanaan perkawinan, yang menyebabkan suami atau istri
menjadi tidak cocok untuk perkawinan; (HCI. 57 dst.)
0
6 . perpecahan yang tak mungkin disembuhkan antara sualw-istri.
(HCI. 58 dst.)
Pasal 53.
Selama persidangan pengadilan negeri akan mencoba mendamaikan suamiistri. (Rv. 834.)
Pasal 54.
(1) Bila antara suami-istri telah tercapai perdamaian, maka tidak
dapat diputuskan perceraian perkawinan atas dasar yang telah
timbul sebetum perdamaian dan yang pada waktu perdamaian
diketahui oleh suami-istri itu. (KUH-Perd. 216.)
(2) Suatu
tingkah-laku
salah
seorang
dari
suami-istri,
yang
sebelumnya telah mendapat persetujuan dari yang lain, tidak
dapat menjadi dasar untuk perceraian perkawinan.

g
r
o

Pasal 55.
(1) Bila salah seorang dari suami-istri telah mendapat hukuman
dengan
putusan
hakim
yang
membuktikan
telah
dilakukannya
perzinahan, maka untuk memperoleh perceraian perkawinan tidak
perlu
mengindahkan
fonnalitas-formalitas
lain
daripada
menyampaikan kepada pengadilan negeri salinan putusan hakim itu,
dengan menambahkan pada surat bukti itu bahwa putusan hakim itu
tidak dapat dimintakan banding.
(2) Ketentuan pada ayat (1) berlaku juga, bila perceraian perkawinan
itu diminta berdasarkan penghukuman salah seorang dari suamiistri karena kejahatan untuk hukuman kebebasan setama dua tahun
atau lebih lama lagi. (KUHPerd. 210.)
(3) Bila pihak yang lain dari suan-d-istri itu berdiam diri dalam
lampaunya waktu enam bulan terhitung dari hari diperolehnya
keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti itu,
dia tidak dapat diterima dengan tuntutan perceraian perkawinan.
Bila yang seorang dari suami-istri itu berada di luar Indonesia
pada saat penghukuman pihak yang lain, jangka waktu enam bulan
itu akan mulai pada hari dia kembali di Indonesia. (KUHPerd.
219.)

w

w
w

.l e

g

it
l
a

.
s
a

Pasal 56.
(1) Gugatan
untuk
perceraian
perkawinan
berdasarkan
alasan
meninggalkan tempat kediaman bersama dengan itikad buruk, hanis
diajukan kepada pengadilan negeri dari tempat tinggal penggugat.
Dia hanya dapat diperkenankan, bila seorang di antara suamiistri yang meninggalkan rumahnya tanpa alasan sah, tetap
bertahan dalam penolakannya untuk kembali kepada suami atau
istrinya. (HCI. 54.)
(2) Tuntutan hukum untuk itu tidak dapat dimulai sebelum dua tahun
lampau terhitung dari saat suami atau istri itu meninggalkan
rumahnya.
(3) Bila kepergiannya mempunyai alasan yang sah, jangka waktu
tersebut dalam ayat (2) akan mulai berjalan sejak saat
berhentinya sebab itu. (KUHPerd. 207, 211, 218.)

www.legalitas.org

13

Pasal 57.
Pengadilan negeri akan mengadakan penyelidikan secara mandiri dengan
alat-alat yang diperuntukkan bagi keperluan itu untuk memperoleh
kebenaran dari kenyataan-kenyataan dan tingkah laku-tingkah laku
yang diajukan sebagai alasan untuk perceraian perkawinan itu.
Pasal 58.
Tentang adanya percekcokan yang tak mungkin didamaikan kembah, tidak
boleh diterima oleh pengadilan negeri, sebelum mengenai keadaan yang
menyebabkan percekcokan itu menjadi tak mungkin untuk didamaikan
kembali, baginya menjadi nyata setelah mendengar suami atau istri
yang telah mengajukan gugatan perceraian perkawinan dan bila
mungkin, setelah mendengar pihak yang lain dari suami-istri itu dan
orang-orang yang termasuk kalangan keluarga atau kalangan pergaulan
hidup suami-istri itu.
Pasal 59.
(1) Pengadilan negeri selama berjalannya persidangan perceraian
perkawinan dapat meniadakan kewajiban untuk tinggal bersama bagi
para pihak itu dan sekaligus memerintahkan, bahwa kepada suami
atau istri yang meninggalkan tempat kediaman bersama diserahkan
barangyang
diperlukan
untuk
dipergunakan
sehari-hari.
(KUHPerd. 212.)
(2) Istri berhak untuk menuntut pembayaran untuk nafkah, yang
setelah
ditentukan
oleh
pengadilan
negeri,
suami
wajib
memenuhinya kepada istri selama persidangan. (KUHPerd. 213.)

.l e

g

it
l
a

.
s
a

g
r
o

Pasal 60.
(1) Pengadilan negeri dapat memerintahkan tindakan-tindakan yang
dianggap perlu guna pemeliharaan anak-anak dan untuk pengamanan
hak-hak suami-istri itu atas barang-barang mereka atau barangbarang
harta
bersama,
yang akan
berlaku
selama
jalannya
persidangan. (KUHPerd. 214 dst.)
(2) Sebelum mengadakan penetapan itu, dia menanyakan lebih dahulu
sedapat mungkin keluarga suami-istri yang seharusnya didengar
dan kepala kampung mereka.

w

w
w

Pasal 61.
Dalam persidangan untuk perceraian perkawinan, keluarga sedarah dan
semenda dari pihak-pihak yang berperkara dalam kedudukan mereka
seperti itu, mereka tidak akan tidak cakap untuk memberikan
kesaksian atau mengundurkan diri untuk memberi kesaksian, kecuati
para orang tua dan anak-anak mereka.
Pasal 62.
Bila sang istri yang atas permohonannya diputuskan perkawinannya
dengan perceraian, tidak mempunyai pendapatan yang mencukupi untuk
pemeliharaan hidupnya, maka pengadilan negeri akan memberikan
pembayaran kepadanya dari harta suaminya untuk pemeliharaan hidup.
(KUHPerd. 225.)
Pasal 63.
(1) Pembayaran itu ditentukan menurut penghasilan suami.
(2) Pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak, setelah
mendengar atau memanggil secukupnya pihak yang lain, dapat
mengubah atau menarik kembali putusannya. (KUHPerd. 226.)

www.legalitas.org

14

Pasal 64.
Kewajiban untuk memberi pemeliharaan hidup berakhir karena kematian
salah seorang dari suami-istri. (KUHPerd. 227.)
Pasal 65.
(1) Pengadilan negeri setelah mendengar saudara-saudara dari suamiistri yang dianggap perlu dan dengan memperhatikan hukum adat,
dalam putusan perceraian perkawinan, juga menentukan siapa dari
suami istri yang bercerai dibebani dengan pengurusan pendidikan
dan
pemeliharaan
masing-masing
anak
yang
dilahirkan
dari
perkawinan itu, demikian pula berapa bantuan dalam pembiayaan
untuk itu harus dipenuhi oleh pihak yang lain dari suami-istri
itu. (AB. 15)
(2) Untuk anak-anak yang telah dibuatkan persyaratan perjardian
seperti termaksud dalam pasal 49, pengadilan negeri dapat
menentukan bahwa seorang keluarga sedarah laki-laki dari pihak
istri
akan
dibebani
dengan
pengurusan
pendidikan
dan
pemeliharaan
mereka,
demikian
pula
berapa
bantuan
dalam
pembiayaan harus dipenuhi oleh suami-istri itu atau seorang dari
mereka.
(3) Atas tuntutan dari salah seorang kedua suami-istri setelah
mendengar atau memanggil secukupnya pihak yang lain dan keluarga
yang dianggap perlu dalam hal ini, ketentuan-ketentuan ini
kemudian dapat diubah, bila ada alasan-alasan untuk itu.
(KUHPerd. 229.)

g

it
l
a

.
s
a

g
r
o

Pasal 66.
Pengadilan negeri bila ada alasan-alasan, setelah berunding dengan
suami-istri dan dengan memperhatikan hukum adat, juga akan mengatur
pembagian barang-barang yang merupakan milik mereka bersama. (AB.
15.)

w

w
w

.l e

Pasal 67.
(1) Panitera pengadilan negeri mengirimkan segera setelah putusan
pengadilan
yang
menyatakan perceraian
perkawinan
mempunyai
kekuatan pasti, salinan putusan itu tanpa meterai kepada pegawai
catatan sipil di resort suami itu bertempat tinggal, demikian
pula kepada pegawai catatan sipil yang menyimpan daftar-daftar
di, mana perkawinan itu terdaftar, bila perkawinan suami-istri
yang bercerai itu telah didaftar dalam daftar-daftar yang
diselenggarakan berdasarkan ordonansi ini.
(2) Bila panitera lalai melakukan pengiriman yang dalam ayat (1)
ditugaskan kepadanya, dia bertanggung jawab untuk kerugian yang
timbul dari kelalaian itu bagi para bekas suami-istri itu.
(BSCI. 59.)
Pasal 67a.
(s.d.t. dg. S. 1946-136.) Bila telah dibuktikan, bahwa daftar-daftar
kematian tidak pernah ada, bahwa hal itu telah hilang, bahwa suatu
akta yang telah didaftarkan tidak ada, atau bahwa keadaan-keadaan
khusus telah menghalangi pendaftaran akta kematian itu, maka
kematian itu dapat dibuktikan baik dengan saksi-saksi maupun dengan
surat-surat.

www.legalitas.org

15

TITEL III.

Penghapusan Kewajiban Untuk Bertempat Tinggal Bersama.

Pasal 68.
(1) Dalam hal-hal yang memberikan alasan perceraian perkawinan,
suami-istri bebas untuk minta pengbapusan kewajiban untuk
bertempat tinggal bersama kepada pengadilan negeri di tempat
tinggal salah seorang dari mereka.
(2) Bila suami-istri itu telah mengatur segala akibat-akibat dari
penghapusan itu baik yang mengenai anak-anak mereka maupun
mengenai harta benda mereka, maka pengaturan itu dicantumkan
dalam putusannya.
(3) Bila pengaturan demikian itu tidak ada, pengadilan negeri
menetapkannya setelah diadakan pemeriksaan. (HCI. 71.)
Pasal 69.
Apa yang ditentukan dalam pasal-pasal 53 sampai dengan 64 dalam hal
ini berlaku.
Pasal 70.
Putusan di mana ditetapkan tentang penghapusan kewajiban bertempat
tinggal bersama yang diminta dapat dimintakan banding.

.
s
a

g
r
o

Pasal 71.
(1) Kewajiban bertempat tinggal bersama bagi suami-istri yang telah
dibebaskan dengan putusan hakim, menurut hukum berlaku kemball
karena perdamaian antara suami-istri.
(2) Pengaturan tersebut dalam ayat (2) dan (3) pasal 68 dengan
sendirinya menurut hukum juga hapus.

w
w

.l e

g

it
l
a

TITEL IV. Peraturan Peralihan Dan Peraturan Perselisihan.

w

Pasal 72.
(s.d.u. dg. S. 1936-247, 607.)
(1) Terhadap perkawinan-perkawinan yang telah dilaksanakan tidak
menurut
ketentuan-ketentuan
ordonansi
ini
dan
peraturan
penyelenggaraan
Reglemen
catatan
sipil
untuk
orang-orang
Indonesia-Kristen (S. 1933-75.), ordonansi ini berlaku, bila
kedua suami-istri telah atau baru masuk agama Kristen, tidak
dibedakan apakah perkawinan itu telah dilaksanakan sebelum atau
sesudah berlakunya ordonansi ini, kecuali dalam hal-hal dimana
suami terikat oleh perkawinan dengan lebih dari satu orang
istri.
(2) Kecuali apa yang dftentukan dalam pasal berikut, perkawinanperkawinan yang dilaksanakan sebelum perpindahan salah seorang
dari suami-istri ke agama Kristen tetap dikuasai oleh hukum yang
berlaku terhadap perkawinan pada waktu peralihan itu terjadi.
Pasal 73.
(1) (s.d.u. dg.
S. 1936-247, 607.) Bila salah seorang dari antara
suami-istri sebelum atau sesudah mulai berlakunya ordonansi ini,
setelah pelaksanaan perkawinan, berpindah kepada agama Kristen,
suami-istri itu dapat bersama-sama mohon kepada pengadilan
negeri untuk menentukan dengan keputusan hakim, bahwa perkawinan
itu untuk selanjutnya akan dikuasai oleh ketentuanketentuan
ordonansi ini.

www.legalitas.org

16
(2) Pengadilan negeri mengadakan pemeriksaan yang olehnya dianggap
perlu, dan bila baginya telah nyata bahwa perkawinan itu
memenuhi persyaratan-persyaratan yang diadakan oleh pasal 2
sampai dengan 7, menyatakan dalam instansi tertinggi bahwa
perkawinan itu terhitung dari tanggal pendaftaran aktanya akan
dikuasai oleh ketentuan-ketentuan ordonansi ini.
(3) Sebuah salinan surat keputusan hakim itu oleh suami-istri
disampaikan kepada pegawai catatan sipil tempat tinggal salah
seorang dari suami-istri itu, yang menanganinya seperti yang
diperintahkan dalam pasal 58 Reglemen catatan sipil untuk orangorang Indonesia-Kristen.
Pasal 74.
Terhadap
suatu
perkawinan
yang
telah
dilaksanakan
dengan
memperlakukan apa yang ditentukan dalam ordonansi ini, atau yang
kemudian atasnya berlaku ordonansi ini, tetap berlaku ordonansi ini,
juga bila suan-d-istri itu atau salah seorang dari mereka pindah ke
agama lain daripada agama Kristen.
Pasal 75.
(1) Perkawinan seorang laki-laki bukan Kristen dengan seorang wanita
Kristen atas permohonan kedua suami-istri dapat dilaksanakan
dengan
memperlakukan
ketentuan-ketentuan ordonansi
ini dan
ketentuan-ketentuan peraturan penyelenggaraan Reglemen catatan
sipil untuk orang-orang Indonesia-Kristen.
(2) Perkawinan suami-istri dalam hal itu dikuasai seluruhnya oleh
ordonansi ini.

.l e

g

it
l
a

.
s
a

g
r
o

Pasal 75a.
(s.d.u. dg.
S. 1936-247, 607.) Pasal 72 ayat (1), 73 dan 74 juga
berlaku atas perkawinan-perkawinan campuran. (S. 1898-158.)

w

w
w

Pasal 76.
(s.d.u. dg. S. 1936-24 7, 607.) Keadaan-keadaan berikut dapat
dijadikan
sebagai
bukti,
bahwa
seseorang
itu
Kristen
dalam
pengertian ordonansi ini:
0
1 . bahwa dia adalah anggota suatu jemaah gereja Kristen, suatu
perkumpulan gereja Kristen atau perkumpulan Zending atau suatu
perkumpulan keagamaan Kristen;
0
2 . bahwa dia telah menerima pembaptisan Kristen;
0
3 . bahwa dia dilahirkan dari orang tua Kristen;
0
4 . bahwa seorang pemuka agama menerangkan bahwa dia menjalani agama
Kristen; (HCI. 191.)
0
5 . bahwa dia oleh umum dikenal sebagai orang Kristen. (BSCI. 2.)
Pasal 77.
Bila ordonansi ini mulai berlaku di daerah berlakunya ordonansi 24
Mei 1861 (S. 1861-38.) yang berisi penetapan beberapa ketentuan
lanjutan mengenai pelaksanaan perkawinan oleh orang-orang Indonesia
Kristen di daerah gubernemen pulau-pulau Maluku, baik antara mereka
sendiri maupun dengan orangorang Eropa dan keturunan-keturunan
mereka, maka hilanglah kekuatan berlakunya ordonansi 24 Mei 1961
itu.

www.legalitas.org

17
Pasal 78.
(1) Ordonansi ini mulai berlaku untuk daerah-daerah yang ditunjuk
oleh Gubernur Jenderal pada saat-saat yang akan ditentukan lebih
lanjut oleh Beliau. (Berdasarkan S. 1936-607 berlaku mulai 1
Januari 1937 untuk semua bagian daerah tersebut pada judul
ordonansi ini.)
(2) Ketentuan ini dapat disebut Ordonansi Perkawinan Orang-orang
Indonesia Kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon.

w

w
w

.l e

g

it
l
a

.
s
a

g
r
o