Dualisme Pendidikan di Indonesia dari Pe

BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Dualisme pengelolaan pendidikan terjadi pada pembinaan yang dilakukan
oleh dua kementrian, antara Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud) dengan Kementrian Agama (Kemenag). Dilemanya, yaitu dalam
melakukan pembinaan sekolah madrasah di bawah naungan Kemenag
berhadapan dengan sekolah umum di bawah pembinaan Kemdikbud sering
menimbulkan kecemburuan dan tidak secara integral pengelolaan komponen
pendidikan dilaksanakan. sejak di tingkat (SD dan MI) hingga perguruan tinggi.
Hal ini tidak sesuai dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD)
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dinyatakan bahwa salah satu
tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. (Rencana Strategi Kementrian Pendidikan Nasional, 2010: 12). Sejalan dengan pembukaan UUD itu, batang tubuh konstitusi itu di antaranya
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32, juga
mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.1
Sistem pendidikan nasional tersebut harus mampu menjamin pemerataan
kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan kualitas etos serta efisiensi

manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan
perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Untuk itu, perlu dilakukan
pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

1 Lebih jelasnya mengenai landasan tata tertib pelaksanaan kebijakan pendidikan di Indonesia yang
diatur dalam Pembukaan UUD 1945, baca Sistem Pendidikan Nasional. UU RI No 20 Tahun 2003,
beserta peraturan pelaksanaanya, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003).

Atas dasar itulah, dengan mempertimbangkan hasil analisa refleksi dualisme
dan dikotomi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia saat ini, maka diputuskan
untuk memilih judul “Dualisme Pendidikan di Indonesia dari Perspektif
Aksiologi,” sebagai refleksi terhadap kesimpangsiuran sistem pendidikan di
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1)Apa pengertian dualisme dan dikotomi dalam Pendidikan?
2)Apa pengertian pandangan subjektivitas dan objektivitas dalam kajian
aksiologi?
3)Bagaimana kedua pandangan (subjektiv & objektiv) aksiologi dalam
mengevaluasi kembali dualisme dan dikotomi pendidikan yang ada di
Indonesia saat ini?

C. TujuanPenulisan
1)Dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan Dualisme dan Dikotomi
Pendidikan.
2)Dapat mengetahui dua pandangan (subjektiv dan objektiv) dalam kajian
aksiologi.
3)Mengetahui bagaimana pengevaluasian kembali terhadap dualisme dan
dikotomi pendidikan yang ada di Indonesia saat ini dalam perspektif aksiologi.
D. Kerangka Teoritis
Pemakaian landasan teori dalam makalah kami, merujuk dari dua posisi
pandangan ekstrim dalam kajian Filsafat Nilai (aksiologi). Pertama adalah
pandangan

subjektif,

berpandangan

bahwa

nilai


itu

ada

akibat

ditentukan/diadakan oleh subjek, nilai itu ada berdasar dari subjek yang
mengadakan dengan memberi penilaian. Lebih lanjut lagi, bahwa nilai subjektif
tergantung dari selera masing-masing dalam memberikan nilai, ‘de gustibus non
est disputandum’. Kedua, yaitu pandangan objektif, dengan berasumsikan bahwa
nilai itu ada tidak merujuk dari sebuah penilain (subjek), melainkan bahwa nilai

itu secara objektif (an sich) sudah ada sebelum kita tangkap. Maka, nilai akan
tetap ada walaupun tidak diberikan penilain.
Max Scheler, dikenal sebagai filsuf yang populer dalam kajian filsafat nilai
(aksiologi) memberikan penjelaskan, bahwa nilai merupakan suatu kualitas yang
tidak tergantung pada pembawanya (carrier of the value). Merupakan kualitas
apriori (yang telah dapat dirasakan manusia tanpa melalui mengalaman indrawi
terlebih dahulu). (Paulus Wahana, Nilai Etika Aksiologi Max Scheler. 2014:51).
Dalam pembahasan kajian nilai, Max Scheler membedakan nilai baik dan

nilai jahat. Nilai Baik diartikan sebagai nilai yang melekat pada tindakan
mewujudkan nilai positf, sebagai yang berlawanan dengan nilai negatif, yang
melekat pada tindakan mewujudkan nilai dalam tingkatan yang lebih tinggi atau
tertinggi dalam susunan nilai; sedangkan nilai jahat adalah nilai yang melekat
pada tindakan yang mewujudkan suatu nilai negatif, yang melekat pada tindakan
mewujudkan nilai dalam tingkatan yang lebih rendah atau terendah dalam
susunan nilai. (Paulus Wahana. 2004:56).
E. Tinjauan Pustaka
Adnan Mahdi M. Si, pernah melakukan penelitian yang serupa. Di dalam
penelitiannya, Adnan Mahdi menekankan pada dampak yang terjadi atas adanya
dikotomi dan dualisme pendidikan di Indonesia. Solusi yang ditawarkan dari
hasil penelitiannya adalah melakukan perubahan kurikulum pendidikan serta
melakukan integralisasi sistem pendidikan. Penelitian yang dilakukan Adnan
Mahdi, berbeda dengan makalah Dualisme Pendidikan di Indonesia dalam
Perspektif Aksiologi, sebab digunakan sudut pandang atau tinjauan yang berbeda
pula.
Asep Iwan, juga melakukan penelitian hal yang sama. Dalam penelitiannya
tersebut, Asep Iwan utamanya lebih menekankan pada asal muasal terjadinya
dualisme pendidikan di Indonesia. Dalam hal ini, penelitiannya lebih kepada
membicarakan sebab dan solusi. Adapun solusi yang ditawarkannya adalah

melakukan konsistensi dan mengintegralkan pengalokasian layanan pendidikan

di Indonesia. Berbeda dengan makalah ini, yang meninjau pokok permasalahan
tersebut dari sudut pandang aksiologi (subjektiv & objektiv).
BAB II
Pembahasan
a) Mengenal Dualisme dan Dikotomi Pendidikan di Indonesia.
Faktor utama dalam perkembangan dan kemajuan suatu bangsa, apalagi bila
dihadapkan atau disangkutpautkan dengan negara-negara yang sedang pada
tahap perkembangan, tidak dapat terlepas dengan merujuk kesuatu pernyataan
lain, selain faktor penunjang dari kemajuan bangsa itu sendiri. Yakni kumpulan
manusia yang hidup dan mendiami suatu negara (wilayah), yang pada hakikatnya
akan menjadi penentu perkembangan dan kemajuan dari wilayah yang
ditempatinya. Hal ini diketahui, karena sampai saat ini hanya manusialah yang
mampu mengelolah sumber daya alam dan mengatur kehidupannya, serta
memajukan peradaban mereka sendiri.
Sumber daya manusia (SDM) menjadi hal yang sangat krusial dalam
membangun suatu bangsa yang maju dan kuat. Apabila suatu negara memiliki
kelimpahan alam yang sangat kaya, tidak dapat juga kita untuk berambisi dengan
menjamin kemajuan dari wilayah tersebut. Disebabkan SDM sebagai pengelola,

tidak mempunyai keahlian yang baik dan mumpuni dalam mengelola segala
kelimpahan alamnya guna jalan memperbaiki kualitas hidup mereka sendiri.
Kualitas SDM itulah yang menjadi permasalahan yang mendesak. Salah satu
penunjang membaiknya kualitas manusia tidak bisa terlepas dari keluasan
pengetahuan yang dimilikinya. Sekarang ini, salah satu faktor utama dalam
meningkatkan mutu dan kualitas SDM ialah dengan merujuk hanya pada satu
kata yaitu “Pendidikan”. Negara-negara maju saat ini pastilah kualitas sistem
pendidikannya juga bermutu. Dengan memberlakukan suatu sistem pendidikan
yang berpangkal pada satu naungan (sentralisasi). Bukan dengan menyediakan
suatu ruang pembagian yang akan membawa pada titik pemisahan, berdampak

munculnya persaingan antara dua posisi berbeda yang akan berpangkal pada
kecemburuan, ketika apabila terjadi suatu ketidakmerataan hak dari keduanya.
Pembagian dua posisi atau lebih dengan kesetaraan hak dan kewajibannya
dalam satu tujuan yang sama, akan berdampak pada apa yang dimaksud dengan
“Dualisme”. Dualisme biasa diartikan dengan adanya dua hal yang saling
mengimbangi atau setara dalam satu hal. Dan ini mengacu pada penegasian kata
dualisme. Secara etimologi, dualisme apabila dirujuk dari bahasa Inggris berarti
dualism sedangkan dalam bahasa Latin berarti dualis (bersifat dua). Secara
terminologi dualisme merupakan pandangan filosofis yang menegaskan

eksistensi dari dua bidang (dunia dan yang lebih eksplisit yaitu lembaga) yang
terpisah, tidak dapat direduksi, unik. (Kamus Filsafat Lorens Bagus, 1996: 174).
Sedangkan dikotomi, adalah dua hal yang setara, diberlakukan daripadanya
suatu pembedaan kebijakan dan tujuan masing-masing yang akan dicapainya.
Dikotomi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai pembagian
atas dua kelompok yang saling bertentangan. (KBBI, 2010: 45)
Bermula dari pembagian (dualisme) hingga memuncak pada apa yang
dimaksud pemisahan (dikotomi), tidak bisa untuk dielakkan akan menimbulkan
suatu perbandingan yang berakhir pada rasa kecemburuan dari keduanya.
Misalnya, apabila dua orang anak kembar yang masing-masing memiliki hak
yang sama, tapi orang tua dari keduanya malah membeda-bedakan, yaitu anak
yang satu lebih mendapat perhatian ketimbang anak yang satu lagi diperlakukan
secara tidak adil. Maka, yang muncul hanya sebuah persaingan yang tidak sehat,
dan berujung untuk dapat saling mengalahkan satu sama lain (dekadensi
karakter).
Dualisme dan dikotomi seperti yang telah sebelumnya dibahas sangat mudah
untuk didapati. Dengan mengacu pada dua distingsi lembaga yang masingmasing menaungi sistem pengolahan pendidikan, yaitu Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemdikbud) dengan Kementrian Agama (Kemenag).

Dualisme pengelolaan pendidikan yang terjadi pada pembinaan oleh dua

kementrian yaitu Kementrian Pendidikan dan kebudayaan (Kemdikbud) dan
Kementrian Agama (Kemenag). Pembinaan Madrasah di bawah naungan
Kemenag berhadapan dengan sekolah umum di bawah pembinaan Kemdikbud,
sering menimbulkan kecemburuan dan disinkronisasi pengelolaan komponen
pendidikan. Yang dimulai dari sejak di tingkat (SD dan MI) hingga perguruan
tinggi (PTN dan PTAIN) . Dari alokasi dana, perhatian, pembinaan manajerial,
bantuan buku dan media pembelajaran, serta penempatan guru, hingga
pemberian beasiswa pendidikan lanjut sering tidak sama antara yang diterima
oleh sekolah umum (Kemdikbud) dengan madrasah (Kemenag).
b) Subjektivitas dan Objektivitas dalam kajian aksiologi.
Filsafat tidak dipungkiri mencangkup dalam berbagai ranah, ialah sebuah
bidang kajian yang amat luas. Penggunaan kata “Aksiologi” pada judul tulisan
ini, dimaksudkan sebagai pengingat, bahwa tulisan ini tidak berambisi ingin
menjelaskan panjang lebar tentang kondisi persoalan dualisme dan dikotomi
pendidikan di Indonesia seperti yang dilakukan oleh Adnan Mahdi M. Si dan
Asep iwan. Akan tetapi, membatasi diri hanya pada persoalan kajian aksiologi.
Yaitu dengan berdasarkan pada dua pandangan ekstrim dalam kajian filsafat nilai
(aksiologi). Pertama adalah pandangan subjektifitas dan yang kedua ialah
pandangan objektifitas. Hal ini sengaja diberlakukan, mengingat bidang filsafat
yang di dalamnya juga cabang aksiologi, amatlah luas ranah cakupannya.

Sebelum membahas lebih lanjut, satu hal yang sangat penting dan jangan
sampai diabaikan dalam kajian aksiologi adalah persoalan nilai-nya. Pembahasan
dalam kajian aksiologi tentang nilai terlebih dahulu perlu diketahui, bahwa nilai
ditafsirkan sebagai sesuatu yang independen. Hakikat nilai adalah kualitas.
Dibedakan dengan ada being dengan nilai value. Persoalan nilai inilah yang
memicu munculnya dua pandangan ekstrim didalam kajian aksiologi, yaitu
pandangan subjektifitas dan objektifitas. Permasalahan mengenai pencarian

tafsiran carrier of the value (Pengembang nilai) dengan locus of the value
(kedudukan nilai atau substansi nilai).
Menginterpretasi atau mencari keberadaan suatu nilai dalam kajian aksiologi
berdampak pada timbulnya dua pandangan ekstrim. Pandangan pertama yaitu
subjektifitas, adalah berpandangan bahwa nilai itu ada akibat ditentukan
/diadakan oleh subjek dan nilai itu ada berdasar dari subjek yang mengadakan
dengan memberi penilaian. Lebih lanjut lagi, bahwa nilai subjektif tergantung
dari selera masing-masing dalam memberikan nilai (de gustibus non est
disputandum). Jadi jelas, bahwa kedudukan nilai sepenuhnya tergantung dari
subjek yang mengadakan dan memberi penilaian.2
Pandangan kedua adalah objektifitas, yaitu dengan berasumsikan bahwa
nilai itu ada tidak berdasarkan dari sebuah penilain (subjek) semata, melainkan

bahwa nilai itu secara objektif “an sich” sudah ada sebelum kita tangkap
(diberikan penilaian). Maka dari itu nilai akan tetap ada walaupun tidak
diberikan penilain.3 Max Scheler, yang juga dikenal sebagai filsuf paling tersohor
dalam kajian aksiologi menuturkan, bahwa nilai merupakan suatu kualitas yang
tidak tergantung pada pembawanya (objektif), merupakan kualitas apriori (yang
telah dapat dirasakan manusia tanpa melalui mengalaman indrawi terlebih
c)

dahulu). 4
Kajian aksiologi (subjektivitas dan objektivitas) dalam persoalan dualisme
dan dikotomi pendidikan di Indonesia.
Adnan Mahdi M. Si dalam hasil penelitiannya, memaparkan bahwa konsep
dualisme dan dikotomi terhadap dunia pendidikan sekarang ini terjadi tidak
terlepas dari sejarah campur tangan penjajahan diktator belanda, yang pada saat
itu sekolah-sekolah yang didirikan para penjajah pihak belanda memisahkan
antara sekolah yang notabennya terlepas dari nilai-nilai agama (seperti sekolah-

2 Lebih lengkapnya , lihat buku Paulus Wahana, Nilai Etika Aksiologi Max Scheler, (Yogyakarta,

kanisius, 2004), hlm. 45-45.

3 Lih. ibid.
4 Lih. Ibid., hlm. 51.

sekolah yang ada di eropa pada umumnya dengan memisahkan antara sains
dengan agama) dengan sekolah yang berbasis nilai-nilai keagamaan (pesantren
dll).
Menarik dari pernyataan sebelumnya, apabila menelisik lebih jauh asal
dualisme dan dikotomi pendidikan di Indonesia, ini adalah sebuah sistem
lanjutan dari penjajahan para komunis belanda di jaman dulu. Yaitu pemisahan
dualis pendidikan antara ilmu eksakta (sains) dengan ilmu agama, yang karena
itu ulah para penjajah Belanda. Maka demikian, tidaklah heran jika pemisahan
dualisme seperti ini terjadi, Indonesia pada saat itu masih berstatus sebagai
negara jajahan yang belum memiliki daya untuk mengatur pemerintahannya
sendiri, adalah dapatlah dimaklumi. Tetapi saat ini, tidak ada alasan untuk
melanjutkan bentuk pemikiran para diktator belanda itu. Indonesia bukanlah
Negara jajahan lagi. Kuasa pemerintahan Indonesia telah sepenuhnya ada di
bawah naungan pemerintahan negara sendiri tanpa ada lagi campur tangan dari
negara manapun juga.
Dualisme dan dikotomi pendidikan yang terjadi di indonesia saat ini tidak
hanya berhenti pada tahap pembedaan dua lembaga dalam berkonstribusi
menaungi pembinaan pendidikan yaitu Kemenag dan kemendikbud. Tetapi
merabak keaspek yang lainnya, St. Kartono (2002) dalam M. Joko Susilo (2007)
mengeluarkan pernyataan yang amat krusial, yaitu dengan berkata bahwa pejabat
Depdiknas menganggap sekolah swasta sebagai pesaing sekolah negeri yang
harus dilibas. Pendapat St. Kartono tersebut didukung dengan adanya kebijakankebijakan yang merugikan serta tidak mendunkung keberadaan sekolah swasta. 5
Lebih-lebih lagi permasalahan daualisme dan dikotomi dalam hal ini
ternyata juga berdampak pada ketidakmerataan pemberdayaan pendidikan yang
ada di Indonesia saat ini. Pernyataan ini ditegaskan dengan kesimpangsiuran
serta ketidakadilan pemerataan hak warga negara dalam memerdekakan dirinya
5 Lebih lanjut mengenai pemaparan pembahasan oleh St. Kartono mengenai kebijakan-kebijakan yang

merugikan dan tidak mendukung keberadaan sekolah swasta, lihat buku M. Joko Susilo, Pembodohan
Siswa Tersistematis, (Yogyakarta, Pinus, 2007), hlm. 131-132.

sendiri, tidak dapat menikmati fasilitas pendidikan secara merata di semua
daerah terutama bagian pelosok Indonesia-.6
Pemerataan pendidikan merupakan masalah di bidang pendidikan pada
negara berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dari periode 2001/2002 sampai
2005/2006, angka partisipasi murni (APM) SD di Indonesia cukup bagus sebesar
94,20%. Tapi untuk level pendidikan SMP, SMU dan perguruan tinggi (PT)
terjadi ketidak merataan pendidikan dengan angka partisipasi bersekolah yang
kecil.
Jika melihat angka partisipasi murni (APM) untuk usia SMP tahun
2005/2006 (data dari Depdiknas) hanya menunjukkan angka 62,06%, yang
berarti 37,94% tidak dapat melanjutkan kependidikan SMP. Itu pun belum
memperhitungkan jumlah anak yang putus sekolah, maka jumlah partisipasi
murni (APM) tersebut akan semakin berkurang. APM sebesar 42,64% pada level
SMU, menunjukkan lebih besarnya jumlah anak usia SMU yang tidak dapat
melanjutkan pendidikan ke level SMU. Hal ini juga belum memperhitungkan
anak putus sekolah di level pendidikan SMU.7
Hasil data terakhir dari Depdiknas pada tahun 2012/2013, menunjukkan
angka partisipasi murni (APM) untuk usia 7-12 tahun, pada tingkat sekolah dasar
(SD), SDLB, MI, Paket A dan Salafiyah ULA di Indonesia sebesar 95,71% atau
sejumlah 24.922.926 siswa, dari total keseluruhan penduduk usia 7-12 tahun
sebesar 26.040.407. Maka jumlah anak yang tidak dapat mengenyam pendidikan
pada tingkat usia 7-12 tahun sebesar 1.117.481. Sementara data siswa tingkat
sekolah dasar secara keseluruhan adalah 30.175.181, ini lebih banyak dari total
anak usia 7-12 tahun yang hanya 26.040.407.8 Jadi selebihnya itu, angka
partisipan yang sebesar 4.134.774 berkisaran pada usia berapa?
6 Lih. Ibid., hlm. 13-23.
7 Lih. RENSTRA KEMENDIKNAS, Rencana Strategis Kementrian Pendidikan Nasional 2010-2014,

(Jakarta, Kementrian Pendidikan Nasional, 2010), hlm. 7-11.
8 Lih. Siti Sofiah, et. al., APK/APM (Angka Partisipasi Kasar/Angka Partisipasi Murni) tahun 2012/2013,

(Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan Kemdikbud, 2013), hlm. 2-5.

Untuk tingkat sederajat SMP, APM pada usia 13-15 tahun menunjukkan
angka 78,43%, atau sejumlah 10.019.344 siswa, dari total keseluruhan penduduk
usia 13-15 berjumlah 12.775.079. Jadi masih ada 2.755.745 anak yang putus
sekolah. Angka putus sekolah pada tingkat sederajat SMP ini lebih banyak
daripada angka anak tidak sekolah di bangku SD.
Sementara pada tingkat sederajat SMA, jumlah penduduk untuk usia 16-18
tahun sebesar 12.569.500 anak. Sedangkan untuk APM pada usia ini
menunjukkan angka 58,25% atau berjumlah 7.321.529 anak. Jadi anak yang
putus sekolah sebesar 5.247.971. Angka anak putus sekolah pada tingkat SMA,
telah mengalami pembengkakan, yatiu mulai dari APM tingkat SD-SMA sudah
menunjukkan peningkatan jumlah anak yang tidak dapat melajutkan sekolahnya.
Pada tingkat perguruan tinggi (PT), akan semakin berkurang atau angka
anak putus sekolah jauh lebih besar lagi. Hal ini didasarkan dengan melihat
realita bahwa data angka partisipasi kasar (APK) hanya sebesar 28,57%, atau
berjumlah 6.052.054 anak dari total jumlah penduduk usia 19-23 tahun yang
berjumlah 21.185.300 jiwa anak. Angka ini belum termuat pada angka partisipasi
murni (APM) yang bisa saja lebih kecil lagi dari angka partisipasi kasarnya.
Pendidikan tidak dapat dinikmati sepenuhnya semua anak-anak di Indonesia
dengan baik serta merata. Melihat fakta data Depdiknas tahun 2013 yang
menunjukkan bahwa angka partisipasi murni (APM) mulai dari tingkat sekolah
dasar (SD) sampai kejenjang perguruan tinggi nasional (PTN) masih sangat jauh
dari apa yang diharapkan. Sangat disayangkan apabila melihat partisipasi anakanak sekolah di Indonesia untuk menginjakkan kaki menuju kejenjang
pendidikan yang lebih tinggi semakin mengalami penurunan. Padahal pendidikan
begitu penting untuk kemajuan sebuah bangsa, Sindhunata (2001) dalam M. Joko
Susilo (2007) menerangkan bahwa pada tahun 1972 The International Comission
for Education Development dari Unesco, dulu sudah mengingatkan bangsabangsa, jika ingin membangun dan berusaha memperbaiki keadaan suatu bangsa,
harus dimulai dengan pendidikan sebab pendidikan adalah kunci. Tanpa kunci itu

segalanya akan sia-sia. Pendidikan adalah wadah untuk meningkatkan mutu serta
kualitas SDM manusia.
Nilai-nilai pendidikan yang sebagaimana telah termaktub dalam Pembukaan
UUD 1945 alenia IV, batang tubuh konstitusi itu di antaranya Pasal 20, Pasal 21,
Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32, tidak semata harus berbicara untuk
bertujuan memajukan dan meningkatkan mutualitas SDM saja, tapi hal yang
lebih utama adalah bagaimana suatu pengolahan sistem pendidikan dapat
diwujudkan menjadi sentral pembangunan budaya moral yang baik, sehingga
mutualitas dan juga kualitas SDM tentunya dapat saling memenuhi.
Intan Ayu Eko Putri (2012: 18), dalam tesisnya yang berjudul Konsep
Pendidikan Humanistik Ki Hajar Dewantara dalam Pandangan Islam, memuat
bahwa Ki Hajar Dewantara yang dikenal sebagai bapak pendidikan Indonesia
mengartikan pendidikan, yaitu ialah untuk memperhatikan keseimbangan cipta,
rasa, dan karsa tidak hanya sekedar proses alih ilmu pengetahuan saja atau
transfer of knowledge, tetapi sekaligus pendidikan juga sebagai proses
transformasi nilai (transformation of value). Dengan kata lain pendidikan adalah
proses pembentukan karakter manusia agar menjadi sebenar-benar manusia.
Apabila kesimpangsiuran terjadi dalam pemaknaan tujuan pendidikan yang
sebenarnya, yaitu dengan beranggapan bahwa pendidikan yang seharusnya ialah
semata-mata bertujuan untuk menghasilkan produk-produk manusia bermutu saja
yang hanya bekerja seperti mesin (terlepas dari nilai-nilai moral ‘humanis’).
Produk manusia yang hanya mengenal untung dan rugi, dan tanpa ada
pengimbangan asupan pemahaman nilai-nilai moral agama, maka yang terjadi
adalah dekandensi moral, nihillisme.9
Salah satu fakta ketidak suksesan pengelolaan pendidikan di Indonesia
dalam menselaraskan nilai-nilai moral dengan ilmu pengetahuan, juga
diungkapkan oleh Didik Darmanto (2004), dalam M. Joko Susilo (2007) yang
mengatakan, bahwa sistem Pendidikan Nasional sudah gagal dalam mewujudkan
manusia Indonesia seutuhnya, terlihat dari depotisme moral masyarakat. Praktek9 Lih. ST. Sunardi, Nietzsche, (Yoyakarta, Kanisius, 1996), hlm. 17.

praktek korupsi, kolusi, pemerasan dan aksi clepto lainnya, lazim dikoloni oleh
para pejabat negara, yang pada dasarnya mereka mengenyam pendidikan lebih
tinggi dibanding dengan masyarakat awam. Pernyataan ini adalah sebuah
gambaran bagaimana nilai-nilai moral dalam dunia pendidikan di Indonesia
mengalami kepincangan (ketidak seimbangan asupan moral dan ilmu
pengetahuan) serta tidak betul-betul teresapi dengan baik.
Persoalan ini adalah sebuah tantangan bersama dalam mewujudkan
peningkatkan kualitas dan mutualitas manusia Indonesia yang tidak hanya pada
tataran ilmu pengetahuan saja tapi sejalan dengan nilai-nilai moral kemanusiaan.
Jawaban dari kunci persolan ini adalah pendidikan. Pendidikan sejatinya sebuah
wadah dalam mencapai suatu nilai kebaikan dengan peningkatan mutualitas dan
tentunya kualitas manusia. Pendidikan asalinya memuat nilai-nilai baik seperti
yang dicita-citakan Ki Hajar Dewantara, serta juga termuat dalam Pembukaan
UUD 1945. Adapun nilai kebaikan yang dimaksudkan disini adalah, nilai baik
yang diartikan sebagai nilai yang melekat pada tindakan mewujudkan nilai
positf, sebagai yang berlawanan dengan nilai negatif, yang melekat pada
tindakan mewujudkan nilai dalam tingkatan ke tahap lebih tinggi atau tertinggi
dalam susunan nilai.10
Merujuk dari pernyataan sebelumnya, apabila diakui nilai-nilai pendidikan
yang dicita-citakan bangsa Indonesia seperti yang termuat dalam nilai-nilai
Pancasila, utamanya dalam Pembukaan UUD 1945. Maka nilai-nilai pendidikan,
apabila ditarik dalam kajian aksiologi dimaknai sebagai nilai yang objektif (ansich). Nilai yang ada terlepas dari pengembang nilai-nya atau dari penilaian
subjektif. Ini pun sesuai juga dengan pemahaman Max Scheler, yang
menafsirkan bahwa nilai merupakan suatu kualitas yang tidak tergantung pada
pembawanya, merupakan kualitas apriori (yang telah dapat dirasakan manusia
tanpa melalui mengalaman indrawi terlebih dahulu). 11 Tentunya pernyataan
10 Untuk penjelasan lebih lengkap tentang susunan nilai atau hirarki nilai, lihat Paulus Wahana, Nilai

Etika Aksiologi Max Scheler, (Yogyakarta, Kanisius, 2004), hlm. 59-67.
11 Lih. Ibid., hlm. 51.

tersebut didasarkan dengan terlepas dari bentuk pembawa nilai (carrier of the
value) sebagai tempat didalamnya kedudukan nilai (locus of the value) ada
secara independen.
Untuk memperjelasnya, pengembang atau pembawa nilai yang dimaksudkan
ialah wadah dari kedudukan nilai pendidikan itu sendiri (locus of the value),
yaitu adalah sebuah lembaga pembinaan yang dilakukan oleh dua pihak
kementrian, antara Kementrian Pendidikan dan kebudayaan (Kemdikbud) dan
Kementrian Agama (Kemenag). Terlepas dari nilai-nilai luhur sebagai
kedudukan nilai-nya. Berdampak dikemudian timbul tendensi yang bersifat sinn
setzung (pemberian makna) secara subjektif. Melakukan suatu penilaian sepihak
dengan melepaskan dirinya dari apa yang seharusnya dilakukan dalam
mengeksplanasi sesuatu yang masih bersifat tendensi interpretasi. Persoalan
semacam ini mengisyaratkan pada apa yang dimaksud dengan nilai jahat-
melakukan segala sesuatunya atas dasar penilaian subjektif. Lebih jelasnya, nilai
jahat yang dimaksudkan ini, adalah nilai yang melekat pada tindakan dalam
mewujudkan suatu nilai negatif, yang melekat pada tindakan mewujudkan nilai
dalam tingkatan yang lebih rendah atau terendah dalam susunan nilai.12
Sekedar mempertegas bahwa pengelola atau pembinaan pendidikan yaitu
yang dilakukan oleh Kemenag dan kemendikbud adalah dimaknai sebagai
wadah/lembaga dalam mencapai nilai-nilai kebaikan. Oleh karena itu, sebagai
wadah atau lembaga yang mengelola pendidikan, jika ditarik masuk, diposisikan
dalam kajian aksiologi, ialah sebagai pembawa atau pengembang nilai (carrier of
the value). Wujud kongkret dari nilai objektif (nilai yang telah lebih dulu ada
sebelum diberikan penilain), dapat secara intens subjek hadir memberikan suatu
penilain terhadap realitas fakta yang tereduksi. Sedangkan tempat kedudukan
nilai (locus of the value), yaitu ada pada tujuan utama dan cita-cita murni dari
pengadaan dilahirkannya dunia pendidikan di Indonesia. Dengan kembali
berdasar pada apa yang semula telah dicita-citakan, seperti termuat di dalam
12 Lih. Ibid., hlm .56.

Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang
berbudi pekerti luhur. Hal ini terlepas dari pengembang nilainya.
Melanjutkan pernyataan di atas, bahwa persoalan dualisme dan dikotomi
yang saat ini terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia apabila ditinjau dari
kajian pandangan aksiologi, maka hal ini adalah bersifat subjektif. Mengulang
kembali seperti apa yang telah dijelaskan diawal tadi, bahwa dualisme dan
dikotomi pendidikan di Indonesia ini lahir dari benih-benih penjajahan belanda
yang telah tumbuh subur di negeri ini. Padahal apabila didasarkan pada apa yang
dicita-citakan bangsa ini, yaitu bersumber dari ideologi Pancasila (lebih khusus
pada alenia pembukaan UUD 1945), baik itupun juga yang dimaksudkan Ki
Hajar Dewantara, maka dapat ditarik suatu inferensi, bahwa nilai-nilai kebaikan
dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu serta berkualitas, tidak bisa dikata
telah sesuai dengan apa yang diharapkan sebelumnya, malah disikapi secara
subjektif di dalam mengelola pendidikan dan tidak dimaknai secara objektif.
Semestinya bahwa, pelaksanaan pendidikan di Indonesia harus merujuk dan
tidak terlepas dari nilai-nilai luhur kemanusiaan (nilai objektif yang tempat
kedudukan nilai itu ada pada pengembangnya/wadahnya) seperti yang telah
diatur dalam UUD RI TAHUN 1945, BAB XA HAK ASASI MANUSIA yaitu,
Pasal 28A berbunyi bahwa, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Kemudian dalam Pasal 28C juga
termuat dengan jelas bahwa: (l) Setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya,
demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan. (4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Ki Hajar Dewantara sebagaimana juga memaknai arti pendidikan dengan
semboyannya “Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri

handayani”. Seorang guru harus menjadi teladan, lalu ketika di tengah-tengah siswa
harus membangun karsa (kehendak), dan dengan prinsip tut wuri handayani, akan
membiarkan anak kecil tumbuh sesuai dengan usia pertumbuhannya, namun tetap
didampingi.13 Juga sejalan dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 3, yang berbunyi “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”

BAB III
Penutup
a) Kesimpulan
i. Dualisme adalah pembagian dua posisi atau lebih dengan kesetaraan hak dan
kewajibannya dalam satu tujuan yang sama. Dualisme biasa diartikan dengan
adanya dua hal yang saling mengimbangi atau setara dalam satu hal. Yang
mengacu pada penegasian kata dualisme. Sedangkan dikotomi, adalah dua hal
yang setara, diberlakukan daripadanya suatu pembedaan kebijakan dan tujuan
masing-masing yang akan dicapainya.
ii.Subjektivitas aliran yang berpandangan bahwa nilai itu ada akibat
ditentukan/diadakan oleh subjek dan nilai itu ada berdasar dari subjek yang
mengadakan dengan memberi penilaian. Nilai subjektif tergantung dari selera
masing-masing dalam memberikan nilai (de gustibus non est disputandum).
Kedudukan nilai sepenuhnya tergantung dari subjek yang mengadakan dan
memberi penilaian. Pandangan kedua adalah objektivitas, yaitu berasumsikan
bahwa nilai itu ada tidak berdasarkan dari sebuah penilain (subjek) semata,
melainkan bahwa nilai itu secara objektif “an sich” sudah ada sebelum kita
tangkap (diberikan penilaian). Maka dari itu, nilai akan tetap ada walaupun
tidak diberikan penilain.
13 Lih. Intan Ayu Eko Putri, Sinopsis Tesis Magister: “Konsep Pendidikan Humanistik Ki Hajar

Dewantara dalam Pandangan Islam” (Semarang: IAIN Walisongo, 2012), hlm. 15.

iii.Dualisme dan dikotomi pada sistem pembinaan pendidikan di Indonesia
adalah bersandar pada penilaian subjektif. Pengembang nilai-nya ada pada
wadah atau lembaga tersebut, adalah yang dinaungi oleh Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementrian Agama. Sedangkan kedudukan
nilai-nya ada pada nilai-nilai luhur dari pelaksanaan diadakannya sebuah
pendidikan. Pendidikan pada hakikatnya adalah untuk mencapai nilai
kebaikan, dengan mencita-cita untuk memperbaiki mutualitas dan kualitas
SDM dan nilai jahat itu ada karena didasarkan pada penilaian secara subjektif
terhadap nilai guna pendidikan.
b) Saran
Berbagai Pelaksanaan otonomi pendidikan menghadapi banyak
hambatan yang perlu segera dipecahkan bersama. Berbagai hambatan yang
muncul disebabkan perbedaan interpretasi antara kewenangan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, serta inkronisasi pengelolaan komponen
pendidikan yang berada di bawah Kementerian Agama dengan komponen
pendidikan di bawah pemerintah daerah dan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Sehingga sekarang banyak usulan untuk sentralisasi pendidikan.
Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Tidaklah mungkin
cukup merangkup segala bentuk permasalah dualisme dan dikotomi
pendidikan di Indonesia dalam tulisan singkat ini. Makalah ini terbatas hanya
pada kajian aksiologi saja, yang juga membatasi diri pada konsep teori
aksiologi Max scheler dalam pandangannya tentang kedudukan nilai. Maka
pemakalah menyarankan untuk sekiranya pembaca tidak secara dini puas
cukup dalam satu bentuk sudut pandang saja, melainkan untuk dapat
mengupayakan melakukan pendekatan terhadap objek yang ingin pembaca
analisis dengan menggunakan sudut pandang atau dengan bentuk pendekatan
yang lain. Makalah ini hanya sebatas membantu memperkaya informasi objek
kajian yang sebelumnya telah dilakukan oleh pihak yang lain.
DaftarPustaka
Eko Putri, Intan Ayu. Sinopsis Tesis gelar Magister: “Konsep Pendidikan Humanistik
Ki Hajar Dewantara dalam Pandangan Islam”. Semarang: IAIN Walisongo,
2012.
RENSTRA KEMENDIKNAS. Rencana Strategis Kementrian Pendidikan Nasional
2010-2014. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional, 2010.
Sistem Pendidikan Nasional. UU RI No 20 Tahun 2003, beserta peraturan
pelaksanaanya. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003.
Susilo. M. Joko. Pembodohan Siswa Tersistematis. Yogyakarta: Pinus, 2007.

Sofiah, Siti, dkk. APK/APM (Angka Partisipasi Kasar/Angka Partisipasi Murni)
tahun 2012/2013. Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan Kemdikbud,
2013.
Wahana, Paulus. Nilai Etika Aksiologi Max Scheler. Yogyakarta: Kanisius, 2004.