T1 802009054 Full text
FORMASI IDENTITAS DIRI REMAJA PUTRI YANG
BERGABUNG MENJADI ANGGOTA GENG PREDATOR
(PREMAN DARI TORAJA) DI TORAJA
OLEH
HAPRIOMEGA PUTRININGSIH
802009054
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
FORMASI IDENTITAS DIRI REMAJA PUTRI YANG
BERGABUNG MENJADI ANGGOTA GENG PREDATOR
(PREMAN DARI TORAJA) DI TORAJA
Hapriomega Putriningsih
Aloysius L. S. Soesilo
Chr. Hari Soetjiningsih
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
Abstrak
Masa remaja merupakan masa pembentukan identitas diri. Proses pembentukan identitas
diriini sering kali mengalami hambatan yang terkadang diwujudkan dalam tindakan
menyimpang yaitu menjadi anggota kelompok (geng) yang melanggar norma-norma.
Kondisi ini juga dialami oleh remaja putri di Toraja yang menjadi anggota geng
Predator. Berdasarkan hal tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah mengeksplorasi
motivasi remaja putri masuk menjadi anggota geng Predator , menjelaskan proses
inisiasi yang mereka lalui dalam geng, mendeskripsikan aktivitas mereka serta
memahami pandangan mereka terhadap diri sendiri dan reaksi terhadap pandangan
masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan metode
pengambilan data yaitu wawancara dan observasi.Penelitian ini melibatkan tiga orang
partisipan, terdiri dari tiga orang remaja putri mantan anggota geng Predator, yang
berusia 17-20 tahun saat wawancara dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
keinginan untuk dikenal dan disegani banyak orang, keinginan untuk memiliki banyak
teman,serta adanya perasaan nyaman, rasa kekeluargaan dan kebebasan yang mereka
terima menjadi motivasi semua partisipan bergabung dengan geng Predator. Salah satu
partisipan harus melalui proses inisiasi sebelum dinyatakan resmi menjadi anggota geng
Predator. Partisipan selalu melakukan aktivitas apapun secara bersama-sama (terutama
dalam hal menjual diri untuk menafkahi kehidupan mereka), memandang dirinya hebat
(namundi sisi lain mereka juga merasa tidak berarti akibat kenakalan yang telah mereka
lakukan), serta hanya bisa berlaku tidak peduli dan mengabaikan apapun pendapat
masyarakat tentang mereka.
Kata kunci :remaja putri, identitas diri, kenakalan remaja, geng Predator.
Abstract
Individuals self-identification is formed during adolescence. The process of selfidentification forming often encounters some difficulties. When the teenagers face those
difficulties, they tend to do some deviant behavior such as being the member of a group
which against the social norms. There was a group of teenage girls in Toraja called
gang Predator which developed juvenile delinquencies. The purposes of this research
are exploring the motivations of being a member of gang Predator, explaining the
initiation process to be the member, describing their activities as the member,
understanding their point of view about them selves and their response to society's
opinion. This research was conducted by using the qualitative method which involved
interview and observation process to collect the data. 3 teenage girls ex-member of
gangPredator were involved to be participants. When this research was conducted,
their age ranged about 17-20 years old. The result showed that all of the participants
were motivated by need of being popular, need to be watched out by the society, need to
make a lot of friends, sense of belongingness among the members, and also the sense of
freedom. A participant have passed the initiation process before she was declared
officially as the member of gang Predator. The participants always do any activities
together with all of gang Predator's member, particularly when they prostituted. They
appreciate themselves as superior people but in the other hand they feel inferior
because of the delinquencies they have done. They only ignored any society's opinion
about them.
Keyword :teenage girls, self-identity, juvenile delinquency, gang Predator.
1
PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa di mana seseorang mencari jati diri. Tidak dapat
dipungkiri bahwa dalam proses pencarian jati diri, remaja sering kali mengalami
hambatan yang menimbulkan dampak negatif bagi dirinya sendiri dan orang lain di
sekitarnya. Menurut Hurlock (1999) remaja berasal dari bahasa Latin adolescence yang
berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Adolescence diartikan sebagai periode
transisi perkembangan antara masa anak dengan masa dewasa, yang melibatkan
perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional (Santrock, 2003). Masa
remaja yaitu usia rata-rata 12 sampai 21 tahun untuk remaja putri, dan 13 sampai 22
tahun untuk remaja putra (Chaplin, 2006). Menurut Hall (dalam Santrock, 2003) masa
remaja dikenal sebagai masa yang penuh dengan topan dan tekanan, yang ditandai
dengan konflik dan perubahan suasana hati. Masa remaja ini adalah masa krisis penuh
ketidakpastian dan kegelisahan dalam menentukan identitas dirinya yang akan diakui
oleh dirinya sendiri dan orang lain.
Identitas merupakan suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan gambaran
diri dari masa lampau dengan masa sekarang, ke dalam suatu kesatuan baru tentang
siapakah dia dan siapakah dia semenjak dahulu yang diakui oleh orang lain dan dirinya
sendiri (Erikson, 1989). Erikson menyebut pembentukan identitas ini bersifat
psikososial, yang berakar dan berlangsung di dalam lapisan inti jiwa seseorang,
sekaligus menyangkut inti pusat kebudayaan masyarakat, atau dengan kata lain
seseorang membentuk identitasnya seturut cita-cita pribadi serta cita-cita bersama
kelompoknya. Hal itu terjadi sedemikian sehingga masyarakat mengakui dan menerima
si remaja selaku pribadi yang patut menjadi sebagaimana ia ada sekarang (Erikson,
2002).
2
Erikson (dalam Hurlock, 1999) menjelaskan bahwa identitas diri yang dicari
remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam
masyarakat, serta apakah ia seorang anak atau seorang dewasa. Pada masa ini remaja
sedang mengalami krisis identitas, yang merupakan krisis yang paling berat dan paling
berbahaya, dikarenakan penyelesaian yang gagal atau berhasil dari krisis identitas itu
sendiri mempunyai akibat yang memengaruhi seluruh masa depan dari remaja, di mana
mereka harus bisa menentukan siapakah dan apakah mereka ketika itu, dan ingin
menjadi siapakah dan apakah mereka pada masa depan (Erikson, 1989). Tanpa
penetapan suatu identitas yang terintegrasi dengan baik pada masa remaja, seorang
individu selama masa dewasanya akan mengalami kesulitan terus-menerus dan tetap
akan dibebani dengan berbagai macam konflik yang mengacaukan dan membingungkan
(Erikson, 1989).
Menurut Erikson (dalam Santrock, 2003), remaja yang tidak berhasil mengatasi
krisis identitas akan menderita kebingungan identitas (identity confusion). Kebingungan
identitas akan mengakibatkan suasana ketakutan, ketidakpastian, ketegangan, isolasi
dan ketidaksanggupan mengambil keputusan, sehingga remaja yang tidak dapat
menyelesaikan krisis identitasnya akan menjadi seseorang yang tidak memiliki arahan
hidup yang jelas, terisolasi, kosong, cemas, bimbang, serta remaja tersebut tidak akan
siap untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi ketika memasuki masa
dewasa nantinya (Erikson, 1989).
Kebingungan identitas ini disebabkan oleh
ketidaksanggupan remaja untuk mengintegrasikan identifikasi-identifikasi masa kanakkanaknya dengan tugas-tugas masa remajanya.
Sementara, remaja yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan krisis
identitas pada identity versus identity confusion dengan baik, akan membentuk individu
3
yang memiliki rasa kesejahteraan psikososial di mana perasaan-perasaan yang paling
jelas dirasakan ialah rasa aman, dan krasan dalam dirinya sendiri. Remaja tersebut
cukup mampu mengetahui dan menentukan jalan yang akan ditempuhnya ke depan,
serta memiliki keyakinan batin mengenai pengakuan yang diharapkannya dari orangorang yang penting bagi dirinya. Remaja tersebut akan tumbuh menjadi orang dewasa
yang dapat menerima dirinya dan orang lain, dan ia merasa bahwa ia menduduki tempat
bermakna dalam keseluruhan kenyataan. Keseluruhan hal tersebut merupakan dasar
yang paling baik dan kuat bagi perkembangan selanjutnya sehingga hal tersebut menjadi
awal yang paling baik untuk dihadapkan dengan krisis pada masa dewasa berikutnya
(Erikson, 1989).
Makna dari periode adolesensi ini terdapat dalam pergumulan keras remaja untuk
merebut identitasnya sendiri, yaitu usaha menyiapkan diri untuk memasuki kehidupan
sebagai orang dewasa dan mencari tempatnya sendiri yang dapat diakui oleh
lingkungannya (Erikson, 1989).
Priyatno (Soenarjati, Priyanto & Suripno, 2007) mengungkapkan bahwa pada usia
remaja, terjadi proses perubahan menuju kepada proses pematangan kepribadian yang
penuh dengan pemunculan sifat-sifat pribadi yang terkadang berbenturan dengan
rangsang-rangsang dari luar. Benturan-benturan inilah yang sering menimbulkan
persoalan bagi remaja yang kadang-kadang diwujudkan dalam suatu tindakan yang
menyimpang yang sering disebut dengan kenakalan remaja. Kenakalan remaja ini
digolongkan dalam tindakan-tindakan yang bersifat amoral, perkelahian antar remaja,
sampai pada tindak kejahatan.
Erikson (2002) mendefinisikan juvenile delinquency sebagai kejahatan atau
kenakalan remaja yang melanggar hukum sehingga kejahatan itu tidak disetujui secara
4
sosial. Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam
menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada
masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat,
dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Tekanan-tekanan
sebagai akibat perkembangan fisiologis pada masa remaja, ditambah dengan tekanan
akibat perubahan kondisi sosial budaya, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang demikian pesat seringkali mengakibatkan timbulnya masalah-masalah
psikologis berupa gangguan penyesuaian diri atau ganguan perilaku (Hurlock, 1999).
Kenakalan dan geng merupakan dua hal yang saling terkait, oleh karena dalam
geng terdiri dari sekumpulan para remaja yang cenderung melakukan kenakalan atau
menjadi pelaku kenakalan. Menurut Chaplin (2006), geng adalah unit sosial terdiri atas
individu-individu yang diikat oleh minat dan kepentingan yang sama. Seringkali, tetapi
tidak selalu demikian, geng bersifat antisosial dalam pandangan dan kegiatannya. Geng
identik dengan obat-obatan terlarang dan kekerasan. Dalam literatur kriminologi adanya
gagasan bahwa geng adalah kelompok sosial yang memfasilitasi kekerasan dan perilaku
illegal lainnya (Fleisher & Krienert, 2004).
Kartono (2002) mengungkapkan bahwa saat ini geng delinkuen banyak tumbuh
dan berkembang di kota-kota besar maupun di kota kecil. Mereka bertanggung jawab
atas banyaknya kejahatan dalam bentuk pencurian, perusakan milik orang lain, dengan
sengaja melanggar dan menentang otoritas orang dewasa, melakukan tindak kekerasan,
menteror lingkungan, dan lain sebagainya. Pada umumnya remaja ini sangat agresif
sifatnya, suka berbaku-hantam dengan siapa pun juga tanpa suatu sebab yang jelas
dengan tujuan sekedar untuk mengukur kekuatan kelompok sendiri, serta membuat onar
di tengah lingkungan. Demikian halnya yang terjadi di daerah Kabupaten Toraja Utara,
5
Sulawesi Selatan, tepatnya di kota kecil Rantepao, ada sebuah geng
yang muncul
sekitar awal tahun 2011. Geng tersebut dikenal di masyarakat dengan nama Geng
Predator , yang merupakan singkatan dari ”Preman dari Toraja”. Geng Predator adalah
sekelompok remaja nakal yang sering berbuat onar dan selalu membuat keributan di
Toraja yang beranggotakan para remaja putri. Geng Predator terdiri dari sekumpulan
gadis-gadis berusia sekitar 15-23 tahun, rata-rata pelajar SMP-SMA serta ada beberapa
diantara mereka yang mahasiswa (Parubak, 2012).
Banyak laporan yang masuk di kantor kepolisian setempat mengenai munculnya
geng Predator yang dianggap meresahkan dan memunculkan kekhawatiran bagi para
orang tua akan dampak negatif yang ditimbulkan bagi generasi muda terutama anakanak mereka. Kapolsek daerah setempat mengakui bahwa persoalan geng pelajar,
seperti Predator sudah sering dibicarakan masyarakat, pihak Gereja, maupun
pemerintah. Ia mengungkapkan bahwa mereka pernah menahan beberapa anggota geng
Predator dan anggota dari geng itu mengakui jika mereka masuk menjadi anggota geng
oleh karena tidak mendapat perhatian lebih dari orang tuanya (Palopo Pos, 2012).
Menurut Shoemaker (2009), remaja putri lebih mungkin melakukan pelanggaran
status dibandingkan remaja putra, di mana pelanggaran status yang dimaksudkan ialah
perilaku membolos dari sekolah, minum minuman keras, melarikan diri dari rumah dan
sebagainya. Shoemaker (2009) menjelaskan bahwa kebanyakan remaja putri ketika
ditanya mengapa mereka lari dari rumah, mereka menyatakan bahwa di dalam rumah
mereka pernah mengalami kekerasan dan sering diabaikan, dan pelaku pengabaian
tersebut ialah orang tua mereka sendiri di mana orang tua khususnya ayah merupakan
pendukung keluarganya secara finansial. Seringkali pula didapati bahwa ada trauma
6
terhadap kondisi lingkungan, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah
diri, maupun karena krisis kasih sayang dari keluarga terdekat (Sarwono, 2003).
Keterbatasan ekonomi dapat memperlemah pengasuhan orang tua yang baik
sehingga dukungan sosial dari keluarga menjadi kurang. Remaja yang miskin memiliki
kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan tindak antisosial dibandingkan remaja
yang keluarganya berkecukupan (Papalia, dkk., 2009). Hal ini disebabkan kurangnya
kesempatan remaja dari kelas sosial rendah untuk mengembangkan ketrampilan yang
diterima oleh masyarakat (Santrock, 2003).
Seperti dikemukakan dalam teori Bronfenbrenner (dalam Papalia, dkk., 2009),
perilaku antisosial remaja dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bertingkat dan saling
berinteraksi, seperti pengasuhan orang tua dan penyimpangan teman sebaya sampai
pada struktur masyarakat dan dukungan lingkungan sosial. Pada dasarnya keluarga
berperan penting baik itu mendorong atau meningkatkan, mengurangi, dan
mengkontekstualisasikan kenakalan pada remaja. Kurangnya perhatian ataupun
ketidakpedulian orang tua terhadap anak, ketidakmampuan dalam mengasuh anak, serta
perceraian dari kedua orang tua merupakan salah satu faktor penyebabnya. Adanya
asumsi sebelumnya mengatakan bahwa keluarga mempunyai peran menghasilkan atau
mencegah kenakalan, di mana keluarga yang dimasudkan yaitu merujuk kepada kedua
orang tua dan anak. Ketidakpeduliaan orang tua terhadap anak, kedisiplinan dan
pengawasan yang terlalu ketat dan lemah, serta kurangnya keharmonisan dalam
keluarga merupakan prediktor dari kenakalan. Anak- anak yang tinggal dan dibesarkan
dalam keluarga yang penuh dengan kekerasan berdampak pada keterlibatan mereka
pada kenakalan remaja (Shoemaker, 2009).
7
Thomas (dalam Shoemaker, 2009) menjelaskan bahwa para remaja putri tersebut
sering meninggalkan rumah demi mencari kegembiraan di luar rumah, yang kemudian
membawa mereka ke dunia prostitusi yang rentan akan resiko kehamilan yang tidak
diinginkan (Miller, 2011). Di sana mereka kemudian mampu memperoleh kegembiraan
mereka melalui hubungan intim dengan pria untuk seks dan uang. Thomas menegaskan
bahwa kenakalan remaja putri awalnya berasal dari keluarga mereka yang bermasalah
(disfungsi), kemiskinan, dan kurangnya dukungan dari masyarakat. Sebelumnya,
kenakalan remaja putri telah terutama terdiri dari prostitusi, namun sekarang wanita bisa
ditemukan melakukan tindak kekerasan juga. Kriminolog Freda Adler (dalam
Shoemaker, 2009) menjelaskan peningkatan kenakalan remaja putri melalui wawancara
dengan pelaku kriminal tersebut. Ia menemukan bahwa para remaja putri pelaku
kriminal tersebut percaya bahwa mereka juga bisa melakukan apapun yang dilakukan
pria dan mereka tampak menikmati kegembiraan saat melakukan tindak kriminal yang
demikian. Hal tersebut didorong oleh perbedaan jenis kelamin dan stereotip gender yang
meyakini bahwa wanita lebih rendah daripada pria dalam berbagai hal.
Mereka mungkin saja merasa bahwa mereka akan mendapatkan perhatian dan
status dengan cara melakukan tindakan antisosial. Menjadi “tangguh” dan “maskulin”
adalah contoh status yang tinggi bagi remaja dari kelas sosial yang lebih rendah, dan
status seperti ini sering ditentukan oleh keberhasilan remaja dalam melakukan
kenakalan dan berhasil meloloskan diri setelah melakukan kenakalan (Santrock, 2003).
Mereka mendapatkan keuntungan dari perilaku antisosial, saat mereka berperilaku
buruk, mereka bisa mendapatkan perhatian atau mendapatkan apa yang mereka
inginkan (Papalia, dkk., 2009).
8
Pola negatif di masa awal ini dapat membentuk pengaruh teman sebaya yang
negatif yang mendorong perilaku antisosial (Papalia, dkk., 2009). Memiliki temanteman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan risiko remaja untuk menjadi
nakal. Pada sebuah penelitian Santrock (2003) terhadap 500 pelaku kenakalan dan 500
remaja yang tidak melakukan kenakalan di Boston, ditemukan persentase kenakalan
yang lebih tinggi pada remaja yang memiliki hubungan reguler dengan teman sebaya
yang melakukan kenakalan. Pengabaian yang mereka terima dari keluarga dan
masyarakat membuat para remaja mencari kegembiraan di luar hingga menemukan
tempat nyaman di dalam geng.
Mereka memilih untuk bergabung dalam kelompok/geng, karena mereka ingin
memiliki dan menciptakan suasana/rasa kekeluargaan (Hunt, & Laidler, 2001). Di
dalam geng mereka dapat menemukan hal-hal yang tidak ditemukan dalam keluarga dan
lingkungan sekitarnya yaitu berupa posisi sosial, status sosial, pribadi ideal, aksi-aksi
bersama, ikatan, kasih sayang, prestis, harga diri, dan rasa aman terlindungi. Mereka
merasa diakui pribadi dan eksistensinya, dan merasa memiliki martabat diri. Dengan
demikian, geng merupakan basis bagi perasaan diri, harga diri, dan kehormatan dirinya
(Kartono, 2002).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi apa yang menjadi motivasi
para remaja putri di Toraja sehingga tertarik masuk dan bergabung menjadi anggota
geng Predator , bagaimana proses inisiasi yang mereka alami untuk masuk dan
bergabung menjadi anggota geng Predator , mendeskripsikan apa saja aktivitas mereka
di dalam geng Predator , memahami cara mereka memandang dirinya sebagai bagian
dari anggota geng Predator , serta memahami reaksi mereka terhadap pandangan
masyarakat terhadap diri mereka yang merupakan bagian dari anggota geng Predator.
9
Manfaat dari penelitian ini bagi peneliti adalah diharapkan menjadi sarana belajar untuk
dapat mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan dengan terjun langsung sehingga
dapat melihat, merasakan dan menghayati bagaimana sebenarnya permasalahan yang
terjadi dalam masyarakat saat peneliti melakukan penelitian. Bagi disiplin ilmu,
penelitian ini dapat memberi sumbangan pengetahuan dalam bidang psikologi sosial dan
psikologi perkembangan, terutama mengenai proses perkembangan remaja dalam masa
mencari identitas dirinya dan kenakalan-kenakalan yang rentan mereka lakukan pada
masa tersebut. Bagi partisipan diharapkan dapat memperoleh insight dalam menghadapi
lingkungan baru setelah keluar dari geng Predator , sedangkan bagi lembaga-lembaga
yang menangani remaja hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi
positif untuk kemudian dapat memberi arahan positif kepada para remaja di Toraja agar
tidak lagi terjerumus di dalam geng Predator .
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini disesuaikan dengan tujuan penelitian,
sehingga karakteristiknya yaitu remaja putri asli Toraja yang pernah atau masih menjadi
anggota geng Predator, rentang usia 12 tahun sampai 21 tahun, dan minimal bergabung
dalam geng Predator selama 1 tahun serta bersedia menjadi partisipan penelitian.
Dalam penelitian ini sumber data akan disebut sebagai partisipan penelitian. Partisipan
penelitian dipilih oleh peneliti secara purposif, yaitu memilih partisipan penelitian yang
sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan. Berdasarkan karakteristik tersebut
peneliti memperoleh tiga partisipan penelitian yang bersedia terlibat dalam penelitian
10
ini, ketiga partisipan secara berurutan masing-masing berusia 20 tahun, 18 tahun dan 17
tahun ketika wawancara dilakukan.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua metode pengumpulan data, yaitu
wawancara dan observasi. Teknik analisis data kualitatif yang akan digunakan terdiri
dari empat tahapan, menurut Miles dan Huberman (dalam Herdiansyah, 2010), yaitu:
Pengumpulan data, Reduksi data, Display data dan Kesimpulan. Pengujian keabsahan
data digunakan untuk memastikan kebenaran dari data yang telah diperoleh. Dalam
penelitian ini peneliti akan menggunakan teknik trianggulasi dan member check.
HASIL PENELITIAN
Semua partisipan dalam penelitian ini ialah remaja putri keturunan asli Toraja
yang pernah menjadi anggota geng Predator dan berasal dari keluarga dengan status
ekonomi menengah kebawah yang bertempat tinggal di Kabupaten Toraja Utara. P1 dan
P2 berstatus sebagai ibu muda, dimana P1 telah memiliki seorang anak dan P2 memiliki
dua orang anak serta sudah menikah dua kali, sedangkan P3 masih berstatus sebagai
siswi kelas 2 SMA. Ketiga partisipan masuk menjadi anggota geng Predator masingmasing pada usia 18 tahun, 17 tahun dan 15 tahun.
Pada awal sebelum menjadi anggota geng Predator, ketiga partisipan memandang
remeh dan menganggap geng Predator sebagai geng yang biasa-biasa saja. Syaratsyarat yang harus mereka penuhi untuk menjadi anggota geng Predator adalah pandai
berkelahi, harus menjadi peminum, perokok, mengkonsumsi narkoba dan tidak
perawan. Bagi P1 adanya persyaratan tidak perawan, menjadi bukti bahwa calon
anggota yang bersangkutan berani melakukan hubungan seks bebas dan berani menjadi
anggota geng Predator . Hal tersebut kemudian menjadi promosi bahwa geng Predator
11
lebih hebat dibanding geng lainnya. Sedangkan bagi P3 persyaratan tidak perawan
tersebut digunakan untuk dapat menjual diri melalui seks. Ia menjelaskan bahwa calon
anggota yang masih perawan saat ingin bergabung dengan geng Predator, harus rela
kehilangan keperawanannya dengan cara apapun, entah melakukan seks dengan
seseorang ataupun menjual keperawanannya terlebih dahulu, setelah itu barulah ia dapat
diterima menjadi anggota geng Predator. Ia menambahkan adanya syarat yang
mengharuskan calon anggota mengikuti semacam upacara melepas pakaian di atas
kuburan dengan maksud mengajarkan kepada anggota untuk tidak tahu malu dan berani
tampil beda serta tidak takut untuk menerima resiko apapun yang dilakukan. Ada pula
syarat yang diungkapkan ketiga partisipan bahwa calon anggota yang ingin masuk
dalam geng Predator harus berani ditelanjangi di depan laki-laki sebagai bukti mereka
berani melakukan apapun yang diperintahkan oleh senior yang ada dalam geng serta
lebih kepada kepentingan menjual diri untuk mendapatkan upah.
Semua partisipan mengungkapkan adanya peraturan yang ditetapkan dan wajib
dilakukan sebagai anggota geng Predator, yaitu ketika salah seorang dari anggotanya
memiliki masalah perkelahian dengan orang lain, maka semua anggota geng Predator
diwajibkan ikut membantu anggota tersebut untuk melawan musuhnya, karena jika
tidak turut membantu maka akan dianggap egois, tidak gentle, dan tidak akan dianggap
sebagi anggota geng Predator. Sebaliknya ketika anggota yang tidak ikut membantu
tersebut juga mengalami masalah, maka geng Predator juga tidak akan membantunya.
Ingin terlihat hebat dan berbeda dari geng lainnya menjadi dasar bagi mereka
untuk menetapkan dan menampilkan identitas diri mereka sebagai anggota geng
Predator , yaitu dengan mengenakan sarung berwarna hitam, memakai alis hitam,
berpenampilan seksi, berboncengan 3-5 orang, begadang sampai pagi, berkelahi, dan
12
jarang pulang ke rumah. P1 dan P3 menuturkan bahwa mereka berpenampilan seksi
untuk menarik perhatian laki-laki, kemudian melakukan tindak kekerasan yang
melanggar aturan agar dikenal oleh masyarakat.
Adanya keinginan untuk dikenal banyak orang serta keinginan untuk memiliki
banyak teman menjadi alasan kuat bagi P1 bergabung menjadi anggota geng Predator.
Alasan lainnya ialah karena ia memiliki kegemaran yang sama yaitu suka berkelahi,
sehingga melalui geng Predator P1 mengharapkan akan mendapat bantuan dan
pertolongan pada saat ia juga mengalami masalah dengan orang lain khususnya dalam
hal perkelahian dengan sang lawan atau musuh. Adapun alasan yang memotivasi P2
untuk bergabung dengan geng Predator ialah keinginan untuk membalas budi atas apa
yang telah diterimanya dari geng Predator. Selain itu, faktor kenyamanan yang
didapatkan P2 ketika hidup bersama geng Predator semakin memantapkan pilihannya
untuk ikut bergabung. Kehadiran, kesetiaan, serta support dan solusi yang diberikan
oleh anggota geng Predator ketika ia menghadapi masalah membuatnya semakin
merasakan kenyamanan. Senada dengan kedua partisipan yang lain, motivasi P3 untuk
bergabung dengan geng Predator ialah adanya keinginan untuk dipandang hebat dan
disegani oleh banyak orang, serta adanya kesenangan dan kebebasan yang ditawarkan di
dalam geng Predator membuat ia merasa nyaman dan betah. Ia ingin selalu bersamasama dengan geng Predator, di mana ia dapat merokok, minum-minum dan melakukan
hal
lainnya
sesuka
hatinya
seperti
hal
yang
biasanya
laki-laki
lakukan.
Ketidakperawanannya menjadi modal baginya untuk dapat bergabung sebagaimana hal
tersebut menjadi ketentuan dalam geng Predator.
Setiap partisipan memiliki pengalaman tersendiri hingga pada akhirnya mereka
memilih dan memutuskan untuk bergabung dan menjadi anggota geng Predator . P1 dan
13
P2 masuk menjadi anggota geng Predator tanpa melalui proses inisiasi dan didorong
atas keinginan diri sendiri. Mereka memiliki kisahnya masing-masing yang membuat
mereka tidak perlu melalui proses inisiasi oleh karena mereka sudah terlebih dahulu
memenuhi kriteria dari persyaratan yang ditetapkan, sehingga mereka dianggap layak
menjadi anggota geng Predator , di antaranya ialah syarat sudah tidak perawan, harus
pandai berkelahi, dan harus mengonsumsi minuman keras, rokok serta narkoba.
Sebaliknya, P3 harus melalui proses inisiasi dan berdasarkan ajakan dari teman ia
memutuskan untuk bergabung. P3 terlebih dahulu harus melakukan hal-hal yang
menjadi persyaratan yaitu merokok dan minum-minuman keras dihadapan semua
anggota geng Predator, lalu diberi pertanyaan terkait orang yang telah menghilangkan
keperawanannya, kemudian geng Predator sendiri yang akan menanyakan kepada orang
tersebut untuk memastikan bahwa P3 benar sudah tidak perawan.
Aktivitas yang dilakukan oleh anggota geng Predator secara bersama-sama
mencakup saling membantu menyelesaikan masalah khususnya dalam hal perkelahian
yang dialami oleh anggota geng nya, minum-minuman keras, merokok, saling
mencurahkan perasaan, bermain leng (bermain kartu) sambil berjudi, dan saling
bertukar pakaian. Bagi ketiga partisipan kebersamaan yang terjalin diantara anggota
geng Predator , menimbulkan perasaan nyaman yang justru tidak mereka dapatkan
dalam keluarga. Di dalam geng Predator seks bebas merupakan hal yang tidak lazim
lagi terlebih untuk melayani para pelanggan yang nota bene adalah om-om. Hal tersebut
mereka lakukan untuk mendapatkan uang guna menafkahi kehidupan mereka. Namun,
hal tersebut tampak berbeda dengan pendirian dari P1, baginya ia tidak akan menjual
diri demi mendapatkan uang, ia hanya akan melakukan hubungan seks dengan orang
yang ia sayangi dan dengan berlandaskan cinta dan kasih sayang. Selaras dengan hal itu,
14
P2 mengaku bahwa dirinya tidak menjual diri melainkan hanya menipu pria hidung
belang untuk mendapatkan uang, baginya ia tidak akan membuang harga diri hanya
untuk mendapatkan kesenangan sesaat.
Berbeda dengan kedua pertisipan yang lain, bagi P3 berhubungan seks dipandang
sebagai cara untuk menghasilkan uang dan melampiaskan hawa nafsu, karena merasa
sudah terlanjur nakal sehingga ia memanfaatkan ketidakperawanannya sebagai alat
untuk mendapatkan uang. Semua partisipan juga menerima uang dari seseorang yang
mereka anggap sebagai bos, dan melalui perantara bos tersebut mereka kemudian
diperkenalkan dengan om-om ataupun bos-bos besar. Mereka akan menerima upah
ketika mereka menemani om-om untuk tidur bersama, baik itu melayani seks atau hanya
menemani tidur di hotel ataupun di tempat-tempat penginapan. Terkadang mereka juga
harus merelakan bagian tubuh mereka untuk diraba-raba serta diajak berfoto oleh
pelanggan untuk mendapatkan upah. P1 mengaku bahwa ia merasa senang melakukan
pekerjaannya tersebut karena baginya pekerjaan yang demikian lebih mudah dan cepat
mendapatkan uang.
Dibalik perasaan senang dan bangga yang dirasakan ketiga partisipan karena
mampu melakukan segala hal yang mereka inginkan, terselip rasa bersalah dan takut.
Mereka menyadari bahwa semua kegiatan yang mereka lakukan baik itu memukul,
berkelahi, mencuri, melakukan kebohongan, serta mengkonsumsi narkoba, merupakan
tindakan yang salah dan tidak benar. Meski demikian mereka tetap melakukannya,
karena bagi mereka hal tersebut telah menjadi kebiasaan, serta sebagai wujud dari
kepatuhan mereka terhadap peraturan yang telah ditetapkan di dalam geng.
Sebagai anggota geng Predator, semua partisipan memandang dirinya sebagai
individu yang hebat dan gaul karena hal-hal yang laki-laki lakukan dapat juga mereka
15
lakukan, yaitu berjudi, berkelahi, merokok, mengonsumsi narkoba dan minum-minuman
keras. P1 mengungkapkan dirinya memiliki peran yang penting dalam geng Predator,
yaitu sebagai salah seorang tukang pukul karena setiap ada masalah seperti berkelahi,
dirinya salah satu yang diandalkan maju melawan musuhnya, sedangkan kedua
partisipan lainnya hanya merupakan anggota biasa di dalam geng Predator . Ia
menginginkan diri ideal seperti sosok Sheena dalam film “Hercules”, ia ingin menjadi
perempuan tangguh yang mempunyai kekuatan setara dengan laki-laki, yang ditakuti
seperti bos, dan seperti seorang raja yang memiliki prajurit. P2 mengaku bahwa awalnya
ia memang sudah nakal terutama sejak ia bercerai dengan suami pertamanya, dan
setelah ia menjadi anggota geng Predator ia merasa dirinya semakin nakal dan
menganggap dirinya sudah tidak ada artinya lagi karena sudah banyak melakukan halhal negatif. Sedangkan P3 memandang dirinya pribadi yang baik sebelum menjadi
anggota geng Predator, namun selanjutnya ia merasa sudah hancur, rusak, bahkan liar
setelah menjadi anggota geng Predator.
Menanggapi pandangan masyarakat terhadap dirinya, P1 hanya bisa berlaku tidak
peduli dan mengabaikan apapun pendapat masyarakat tentang dirinya, namun ia merasa
malu dan tidak ingin jika masyarakat memandang bahwa ia nakal oleh karena tidak
dididik orang tuanya. P3 merasa dirinya dipandang buruk karena ia jarang berada di
rumah, ia selalu merasa minder ketika sedang berkumpul dengan masyarakat. Ia menilai
masyarakat sekitarnya adalah orang-orang yang suka bergosip dan suka mencampuri
urusan orang lain. Sebaliknya P2 merasa masyarakat sekitarnya adalah orang-orang
yang patut ia hormati. Ia merasa nyaman dan merasa keberadaannya lebih diterima di
dalam masyarakat karena masyarakat tidak ikut campur dalam setiap pekerjaan yang ia
16
lakukan sehingga membuat ia merasa hidupnya lebih berharga saat berkumpul dengan
masyarakat dibanding ketika ia harus keluyuran malam bersama-teman gengnya.
PEMBAHASAN
Fokus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan motivasi para remaja putri di
Toraja yang tertarik masuk menjadi anggota geng Predator , menjelaskan proses inisiasi
yang mereka lalui dalam geng, selain itu untuk menggambarkan aktivitas keseharian
mereka serta untuk memahami pandangan mereka terhadap diri sendiri dan reaksi
terhadap pandangan masyarakat. Untuk memahami proses tersebut, penting untuk
mengetahui terlebih dahulu tentang identitas remaja di mana dalam hal ini merujuk pada
anggota geng Predator . Menurut Erikson (1989) identitas merupakan suatu kesadaran
akan kesatuan dan kesinambungan gambaran diri dari masa lampau dengan masa
sekarang, ke dalam suatu kesatuan baru tentang siapakah dia dan siapakah dia semenjak
dahulu yang diakui oleh orang lain dan dirinya sendiri. Pada masa ini, remaja sedang
mengalami krisis identitas, yang merupakan krisis yang paling berat dan paling
berbahaya, dikarenakan penyelesaian yang gagal atau berhasil dari krisis identitas itu
sendiri mempunyai akibat yang memengaruhi seluruh masa depan dari remaja, di mana
mereka harus bisa menentukan siapakah dan apakah mereka ketika itu, dan ingin
menjadi siapakah dan apakah mereka pada masa depan (Erikson, 1989). Hal tersebut
tergambarkan pada para remaja putri anggota geng Predator .
Motivasi untuk bergabung menjadi anggota geng Predator
Dorongan akan keinginan untuk dikenal dan disegani banyak orang, keinginan
untuk memiliki banyak teman, serta mengharapkan untuk mendapat bantuan dan
pertolongan pada saat mengalami masalah dengan orang lain khususnya dalam hal
17
perkelahian. Selain hal itu, keinginan untuk membalas budi atas apa yang telah
diterimanya dari geng Predator, faktor kenyamanan, kehadiran, kesetiaan, support, dan
solusi yang diberikan oleh anggota geng Predator ketika menghadapi masalah, serta
adanya kesenangan dan kebebasan yang ditawarkan di dalam geng Predator yang
membuat mereka merasa betah. “Selain pengen terkenal, saya juga mau masuk biar
banyak teman, terusss dimana kalau saya ada masalah saya bisa minta tolong sama
geng Predator .” (P1)
Keluarga merupakan salah satu faktor timbulnya kenakalan
Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor keluarga mempunyai peran yang sangat
penting, yang kemudian memunculkan dorongan atau motivasi mereka untuk ikut
bergabung menjadi anggota geng Predator . Ketidakpedulian sesama anggota keluarga,
dikarenakan sibuk dengan urusan masing-masing yang berdampak buruk pada relasi
khususnya anak dengan orang tua, dimana orang tua jarang memberi solusi yang terbaik
bagi anak-anaknya, berasal dari keluarga yang broken home, adanya sikap terlalu
mengekang sehingga mengakibatkan konflik antara ibu dan anak yang berujung pada
pertengkaran maupun perkelahian, pengabaian dari ayah sejak bercerai dengan ibu
memunculkan dendam, serta pengalaman perceraian akibat perselingkuhan yang
dilakukan oleh suami. “Keluarga saya itu keluarga yang broken, jarang memberi solusi
yang terbaik buat anak-anaknya, mereka sibuk dengan urusannya masing-masing.”
(P2)
Pada dasarnya keluarga berperan penting baik itu mendorong atau meningkatkan,
mengurangi, dan mengkontekstualisasikan kenakalan pada remaja. Kurangnya perhatian
ataupun ketidakpedulian orang tua terhadap anak, ketidakmampuan dalam mengasuh
anak, serta perceraian dari kedua orang tua merupakan salah satu faktor penyebabnya.
18
Shoemaker (2009) menjelaskan bahwa kebanyakan remaja putri ketika ditanya mengapa
mereka lari dari rumah, mereka mengatakan bahwa di dalam rumah mereka pernah
mengalami kekerasan dan sering diabaikan, dan pelaku pengabaian tersebut ialah orang
tua mereka sendiri di mana orang tua khususnya ayah merupakan pendukung
keluarganya secara finansial. Seringkali pula didapati bahwa ada trauma terhadap
kondisi lingkungan, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri,
maupun karena krisis kasih sayang dari keluarga terdekat (Sarwono, 2003). Seperti yang
telah dijelaskan bahwa semua partisipan berasal dari keluarga yang berstatus ekonomi
menengah ke bawah, kurangnya kepedulian orang tua terhadap anak, dan satu diantara
mereka berasal dari keluarga yang broken home. Hal tersebut kemudian memicu
dorongan untuk mencari kenyamanan di luar lingkungan rumah, yaitu dengan cara
bergabung dengan geng Predator .
Proses inisiasi
Adapun proses inisiasi yang harus dilalui sebelum menjadi anggota geng Predator
yaitu, terlebih dahulu harus melakukan hal-hal yang menjadi persyaratan diantaranya
merokok dan minum-minuman keras dihadapan semua anggota geng Predator, dan
diberi pertanyaan terkait status keperawanannya. “Saya disuruh merokok, minum dan
ditanya masih perawan atau tidak, terus ditanya lagi siapa yang ambil perawanmu ?,
saya jawab pacarku namanya LB, mereka bilang betulankah ? ki tanya itu pacarmu
kalau betul atau tidak dia yang ambil perawanmu.” (P3). Menurut Johnson dan
Johnson (dalam Walgito, 2010), ada beberapa tahapan di mana seseorang akan masuk
dalam geng, tahapan pertama yaitu calon anggota (prospective member ), dalam tahapan
ini baik calon anggota maupun geng yang akan dimasuki, masing-masing mengadakan
evaluasi atau penilaian. Tahapan yang kedua, anggota baru (new member ), dalam tahap
19
ini, anggota baru akan menyesuaikan diri dengan hal-hal yang dituntut oleh geng.
Tahapan yang ketiga, anggota penuh (full member ), dalam tahapan ini anggota sudah
cukup mapan dalam geng, sehingga memungkinkannya memperoleh status dan peran
yang berbeda dengan saat berkedudukan sebagai new member. Tahapan keempat,
anggota marginal (marginal member ), dengan perkembangan yang ada, ada
kemungkinan anggota mempunyai keraguan terhadap geng yang bersangkutan. Anggota
mungkin sudah tidak cocok dengan norma-norma yang ada dalam geng, sehingga ia
tidak sepenuh hati ada dalam geng yang bersangkutan. Tahapan kelima, mantan anggota
(ex-member ), dalam tahapan ini anggota yang bersangkutan sudah tidak terikat pada
geng semula dan ada kemungkinan ia pindah ke geng lain.
Aktivitas dan cara pemenuhan kebutuhan dalam geng
Setelah dinyatakan telah diterima menjadi anggota geng Predator , adapun
aktivitas yang mereka lakukan bersama-sama dalam geng
yaitu membantu
menyelesaikan masalah khususnya dalam hal perkelahian yang dialami oleh anggota
gengnya, minum-minuman keras, merokok, saling mencurahkan perasaan, bermain
kartu (leng) sambil berjudi, dan saling bertukar pakaian. Aktivitas tersebut yang
dilakukan secara bersama-sama, menimbulkan perasaan nyaman yang justru tidak
mereka dapatkan dalam keluarga. Setelah bergabung dalam geng Predator dengan
demikian intensitas mereka untuk pulang ke rumah sangat berkurang, sehingga mereka
dihadapkan pada tuntutan untuk mencari uang guna menafkahi hidup mereka, salah
satunya dengan cara menjual diri terlebih untuk melayani para pelanggan yang nota
bene adalah om-om. Cara lain yang dilakukan untuk mendapatkan uang yaitu dengan
mengantarkan anggota lainnya ke hotel untuk bertemu dan melayani pelanggan,
kemudian menunggu hingga selesai, dengan begitu mereka juga mendapatkan uang dari
20
pelanggan dan teman tersebut. “Eee keseharian ki yaa berkelahi yang biasanya
memang kami yang cari-cari masalah, eee kumpul sama teman-teman, eee setiap
malam masuki geng-geng cowok di Rantepao dan minum bersama di tempat mereka
kumpul, pergi cari om-om dimana-mana, eee masuk karaoke “Selatan” menyanyinyanyi temani om-om, sambil merokok dan minum.” (P3)
Perasaan dan pandangan terhadap diri sendiri sebagai anggota geng Predator
Saat menjadi anggota geng Predator, mereka memandang dirinya sebagai
individu yang hebat dan gaul karena hal yang laki-laki lakukan dapat juga mereka
lakukan, seperti berkelahi, berjudi, merokok, mengonsumsi narkoba dan minumminuman keras. Mereka merasa senang dan bangga karena mampu melakukan segala
hal yang mereka inginkan. Mereka ingin menjadi perempuan tangguh yang mempunyai
kekuatan setara dengan laki-laki, yang ditakuti, seperti bos, dan seperti seorang raja
yang memiliki prajurit. “Eee pandanganku terhadap diriku, yah saya merasa gaul,
terussss hebat karena apa yang laki-laki lakukan saya juga bisa, seperti merokok,
minum-minuman keras.” (P1). Namun tidak dapat dipungkiri bahwa mereka juga
memiliki pandangan negatif terhadap dirinya bahwa mereka terlanjur nakal, rusak,
hancur, bahkan liar dan tidak berarti lagi karena sudah banyak melakukan hal-hal
negatif. Menyadari bahwa semua kegiatan yang mereka lakukan baik itu memukul,
berkelahi, mencuri, melakukan kebohongan, serta mengkonsumsi narkoba, merupakan
tindakan yang salah dan tidak benar, terselip rasa bersalah dan takut. Meski demikian
mereka tetap melakukannya, dikarenakan hal tersebut telah menjadi sebuah kebiasaan,
serta sebagai wujud dari kepatuhan mereka terhadap peraturan yang telah ditetapkan.
Kriminolog Freda Adler (dalam Shoemaker, 2009) menjelaskan bahwa para remaja
putri pelaku kriminal tersebut percaya bahwa mereka juga bisa melakukan apapun yang
21
dilakukan pria dan mereka tampak menikmati kegembiraan saat melakukan tindak
kriminal yang demikian. Hal tersebut didorong oleh perbedaan jenis kelamin dan
stereotip gender yang meyakini bahwa wanita lebih rendah daripada pria dalam
berbagai hal.
Reaksi terhadap pandangan masyarakat
Dikalangan masyarakat Toraja, geng Predator memiliki image yang sangat
negatif akibat dari ulah dan tindakan mereka yang dianggap meresahkan masyarakat.
Menanggapi pandangan masyarakat terhadap mereka, hanya bisa berlaku tidak peduli
dan mengabaikan apapun pendapat masyarakat tentang mereka, namun ada perasaan
malu dan minder ketika sedang berkumpul dengan masyarakat. Mereka menilai
masyarakat sekitarnya adalah orang-orang yang suka bergosip dan suka mencampuri
urusan orang lain. “Yaaa palingan saya cuek aja, nggak mau dengar apa kata mereka.”
(P1)
Menurut Erikson (dalam Santrock, 2003), remaja yang tidak berhasil mengatasi
krisis identitas akan menderita kebingungan identitas (identity confusion). Kebingungan
identitas akan mengakibatkan suasana ketakutan, ketidakpastian, ketegangan, isolasi
dan ketidaksanggupan mengambil keputusan, sehingga remaja yang tidak dapat
menyelesaikan krisis identitasnya akan menjadi seseorang yang tidak memiliki arahan
hidup yang jelas, terisolasi, kosong, cemas, bimbang, serta remaja tersebut tidak akan
siap untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi ketika memasuki masa
dewasa nantinya (Erikson, 1989). Kenakalan remaja yang dilakukan oleh anggota geng
Predator
merupakan dampak dari kebingungan identitas, di mana suasana
ketidakpastian serta ketegangan yang mereka hadapi tergambarkan lewat perilaku dari
orang tua yang bersikap membiarkan serta konflik yang terjadi dalam keluarga yang
22
menyebabkan ketegangan antara anak dan orang tua, hal tersebut kemudian
memunculkan pandangan akan arahan hidup yang tidak jelas, yang kemudian
mendorong remaja putri untuk ikut mencoba dan bergabung dalam geng Predator .
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, maka diperoleh kesimpulan
sebagai berikut, motivasi ketiga partisipan untuk bergabung menjadi anggota geng
Predator ialah karena adanya keinginan untuk dikenal dan disegani banyak orang,
keinginan untuk memiliki banyak teman, faktor kenyamanan, kehadiran, kesetiaan,
support, dan solusi yang diberikan oleh anggota geng Predator ketika menghadapi
masalah, serta adanya kesenangan dan kebebasan yang ditawarkan di dalam geng
Predator yang membuat mereka merasa betah berada di dalamnya. Untuk dapat masuk
menjadi anggota geng Predator mereka harus melalui proses inisiasi terlebih dahulu,
yaitu harus melakukan hal-hal yang menjadi persyaratan di antaranya merokok dan
minum-minuman keras dihadapan semua anggota geng Predator, dan diberi pertanyaan
terkait status keperawanannya. Namun, dalam hal ini hanya partisipan ketiga yang
melalui proses inisiasi tersebut, sedangkan kedua partisipan lainnya tidak melalui proses
inisiasi oleh karena alasan tertentu yang membuat mereka layak menjadi anggota geng
tanpa perlu melalui proses inisiasi.
Dalam melakukan aktivitas keseharian di dalam geng, ketiga partisipan dan
anggota geng Predator lainnya selalu melakukan aktivitas secara bersama-sama, yaitu
membantu menyelesaikan masalah khususnya dalam hal perkelahian yang dialami oleh
anggota gengnya, minum-minuman keras, merokok, saling mencurahkan perasaan,
23
bermain kartu (leng) sambil berjudi, dan saling bertukar pakaian. Aktivitas tersebut
yang dilakukan secara bersama-sama, menimbulkan perasaan nyaman dan kekeluargaan
yang justru tidak mereka dapatkan dalam keluarga. Ketidakpedulian sesama anggota
keluarga, dikarenakan sibuk dengan urusan masing-masing yang berdampak buruk pada
relasi khususnya anak dengan orang tua, dimana orang tua jarang memberi solusi yang
terbaik bagi anak-anaknya, berasal dari keluarga yang broken home, adanya sikap
terlalu mengekang sehingga mengakibatkan konflik antara ibu dan anak yang berujung
pada pertengkaran maupun perkelahian, pengabaian dari ayah sejak bercerai dengan ibu
memunculkan dendam, serta pengalaman perceraian akibat perselingkuhan yang
dilakukan oleh suami membuat ketiga partisipan kemudian mencari kenyamanan dan
menciptakan suasana kekeluargaan di luar rumah yang dalam hal ini di dalam geng
Predator. Demi menafkahi kehidupan mereka di dalam geng, mereka dihadapkan pada
tuntutan untuk mencari uang salah satunya dengan cara menjual diri terlebih untuk
melayani para pelanggan yang nota bene adalah om-om.
Ketiga partisipan memandang dirinya sebagai individu yang hebat dan gaul ketika
menjadi anggota geng Predator, oleh karena hal yang laki-laki lakukan dapat juga
mereka lakukan, seperti berkelahi, berjudi, merokok, mengonsumsi narkoba dan
minum-minuman keras. Mereka merasa senang dan bangga karena mampu melakukan
segala hal yang mereka inginkan. Namun, di sisi lain mereka juga memiliki pandangan
negatif terhadap dirinya bahwa mereka terlanjur nakal, rusak, hancur, bahkan liar dan
tidak berarti lagi karena sudah banyak melakukan hal-hal negatif. Meski demikian
mereka tetap melakukan kenakalan bersama geng Predator , oleh karena hal tersebut
telah menjadi sebuah kebiasaan, serta sebagai wujud dari kepatuhan mereka terhadap
peraturan yang telah ditetapkan.
24
Dalam menanggapi pandangan masyarakat terhadap mereka, ketiga partisipan
hanya bisa berlaku tidak peduli dan mengabaikan apapun pendapat masyarakat tentang
mereka, namun dibalik itu ada perasaan malu dan minder ketika sedang berkumpul
dengan masyarakat sekitar.
Saran
Dari hasil penelitian yang diperoleh, saran yang dapat diberikan peneliti dari
penelitian ini yaitu :
1.
Bagi partisipan, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman
kepada partisipan untuk mengerti bahwa hal-hal yang telah mereka alami
merupakan pengalaman berharga yang juga merupakan sebuah proses untuk
melihat diri lebih jauh karena menyangkut tentang penetapan identitas diri untuk
menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi.
2.
Bagi orang tua, diharapkan para orang tua dapat belajar dari apa yang telah terjadi
terhadap anak mereka sebagai bahan edukasi untuk memperbaiki hubungan dalam
keluarga, terutama dalam hubungannya dengan anak.
3.
Bagi peneliti selanjutnya, yaitu untuk melakukan penelitian dengan memfokuskan
pada relasi anggota geng Predator dengan keluarga, teman sebaya dan masyarakat
sebagai salah satu faktor munculnya perilaku nakal mereka. Selain hal tersebut,
peneliti selanjutnya dapat mengkaji lebih dalam mengenai makna hidup anggota
geng Predator saat masih bergabung menjadi anggota geng Predator dan setelah
keluar dari geng Predator .
25
DAFTAR PUSTAKA
Chaplin, J.P. (2006). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Erikson, E.H. (1989). Identitas dan siklus hidup manusia, bunga rampai I. Jakarta:
Gramedia.
Erikson, E.H. (2002). Identitas diri, kebudayaan, dan sejarah: Pemahaman dan
tanggung jawab, bunga rampai II . Ledalero-Maumere-Flores: Lembaga
Pembentukan Berlanjut Arnold Janssen (LPBAJ).
Erikson, E.H. (2010). Childhood and society: Karya monumental tentang hubungan
penting antara masa kanak-kanak dengan psikososialnya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Fleisher, M.S., & Krienert, J.L. (2004). Life-course events, social networks, and the
emergence of violence among female gang members. Journal of Community
Psychology, 5, 607-622.
Herdiansyah, H. (2010). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial.
Jakarta: Salemba Humanika.
Hunt, G., & Laidler, K.J. (2001). Situations of violence in the lives of girl gang
members. Health Care for Women International, 22, 363-384.
Hurlock, E.B. (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Kartono, K. (2002). Patologi sosial 2. Kenakalan remaja. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Miller, E., Levenson, R., Herrera, L., Kurek, L., Stofflet, M., & Marin, L. (2011).
Exposure to partner, family, and community violence: Gang-affiliated Latina
women and risk of unintended pregnancy. Journal of Urban Health: Bulletin of
the New York Academy of Medicine, 1, 74-86.
Palopo Pos. (2012). Orang tua harus waspadai geng predator. Diakses Mei 12, 2012 dari
http://www.palopopos.co.id/?vi=detail&nid=51583.
Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human development:
Perkembangan manusia (jilid 2). Jakarta: Salemba Humanika.
Parubak, F.G. (2012). Predator toraja. Diakses Maret 13, 2012 dari
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/03/13/predator-toraja/.
Santrock, J.W. (2003). Adolescence : Perkembangan remaja . Jakarta: Erlangga.
26
Santrock, J.W. (2007). Remaja (jilid 1). Jakarta: Erlangga.
Sarwono, S.W. (2003). Psikologi remaja . Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Shoemaker, D.J. (2009). Juvenile delinquency. United States of America: Rowman &
Littlefield.
Soenarjati, Priyanto, A., & Suripno. (2007). Kriminologi dan kenakalan remaja .
Jakarta: Universitas Terbuka.
BERGABUNG MENJADI ANGGOTA GENG PREDATOR
(PREMAN DARI TORAJA) DI TORAJA
OLEH
HAPRIOMEGA PUTRININGSIH
802009054
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
FORMASI IDENTITAS DIRI REMAJA PUTRI YANG
BERGABUNG MENJADI ANGGOTA GENG PREDATOR
(PREMAN DARI TORAJA) DI TORAJA
Hapriomega Putriningsih
Aloysius L. S. Soesilo
Chr. Hari Soetjiningsih
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
Abstrak
Masa remaja merupakan masa pembentukan identitas diri. Proses pembentukan identitas
diriini sering kali mengalami hambatan yang terkadang diwujudkan dalam tindakan
menyimpang yaitu menjadi anggota kelompok (geng) yang melanggar norma-norma.
Kondisi ini juga dialami oleh remaja putri di Toraja yang menjadi anggota geng
Predator. Berdasarkan hal tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah mengeksplorasi
motivasi remaja putri masuk menjadi anggota geng Predator , menjelaskan proses
inisiasi yang mereka lalui dalam geng, mendeskripsikan aktivitas mereka serta
memahami pandangan mereka terhadap diri sendiri dan reaksi terhadap pandangan
masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan metode
pengambilan data yaitu wawancara dan observasi.Penelitian ini melibatkan tiga orang
partisipan, terdiri dari tiga orang remaja putri mantan anggota geng Predator, yang
berusia 17-20 tahun saat wawancara dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
keinginan untuk dikenal dan disegani banyak orang, keinginan untuk memiliki banyak
teman,serta adanya perasaan nyaman, rasa kekeluargaan dan kebebasan yang mereka
terima menjadi motivasi semua partisipan bergabung dengan geng Predator. Salah satu
partisipan harus melalui proses inisiasi sebelum dinyatakan resmi menjadi anggota geng
Predator. Partisipan selalu melakukan aktivitas apapun secara bersama-sama (terutama
dalam hal menjual diri untuk menafkahi kehidupan mereka), memandang dirinya hebat
(namundi sisi lain mereka juga merasa tidak berarti akibat kenakalan yang telah mereka
lakukan), serta hanya bisa berlaku tidak peduli dan mengabaikan apapun pendapat
masyarakat tentang mereka.
Kata kunci :remaja putri, identitas diri, kenakalan remaja, geng Predator.
Abstract
Individuals self-identification is formed during adolescence. The process of selfidentification forming often encounters some difficulties. When the teenagers face those
difficulties, they tend to do some deviant behavior such as being the member of a group
which against the social norms. There was a group of teenage girls in Toraja called
gang Predator which developed juvenile delinquencies. The purposes of this research
are exploring the motivations of being a member of gang Predator, explaining the
initiation process to be the member, describing their activities as the member,
understanding their point of view about them selves and their response to society's
opinion. This research was conducted by using the qualitative method which involved
interview and observation process to collect the data. 3 teenage girls ex-member of
gangPredator were involved to be participants. When this research was conducted,
their age ranged about 17-20 years old. The result showed that all of the participants
were motivated by need of being popular, need to be watched out by the society, need to
make a lot of friends, sense of belongingness among the members, and also the sense of
freedom. A participant have passed the initiation process before she was declared
officially as the member of gang Predator. The participants always do any activities
together with all of gang Predator's member, particularly when they prostituted. They
appreciate themselves as superior people but in the other hand they feel inferior
because of the delinquencies they have done. They only ignored any society's opinion
about them.
Keyword :teenage girls, self-identity, juvenile delinquency, gang Predator.
1
PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa di mana seseorang mencari jati diri. Tidak dapat
dipungkiri bahwa dalam proses pencarian jati diri, remaja sering kali mengalami
hambatan yang menimbulkan dampak negatif bagi dirinya sendiri dan orang lain di
sekitarnya. Menurut Hurlock (1999) remaja berasal dari bahasa Latin adolescence yang
berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Adolescence diartikan sebagai periode
transisi perkembangan antara masa anak dengan masa dewasa, yang melibatkan
perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional (Santrock, 2003). Masa
remaja yaitu usia rata-rata 12 sampai 21 tahun untuk remaja putri, dan 13 sampai 22
tahun untuk remaja putra (Chaplin, 2006). Menurut Hall (dalam Santrock, 2003) masa
remaja dikenal sebagai masa yang penuh dengan topan dan tekanan, yang ditandai
dengan konflik dan perubahan suasana hati. Masa remaja ini adalah masa krisis penuh
ketidakpastian dan kegelisahan dalam menentukan identitas dirinya yang akan diakui
oleh dirinya sendiri dan orang lain.
Identitas merupakan suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan gambaran
diri dari masa lampau dengan masa sekarang, ke dalam suatu kesatuan baru tentang
siapakah dia dan siapakah dia semenjak dahulu yang diakui oleh orang lain dan dirinya
sendiri (Erikson, 1989). Erikson menyebut pembentukan identitas ini bersifat
psikososial, yang berakar dan berlangsung di dalam lapisan inti jiwa seseorang,
sekaligus menyangkut inti pusat kebudayaan masyarakat, atau dengan kata lain
seseorang membentuk identitasnya seturut cita-cita pribadi serta cita-cita bersama
kelompoknya. Hal itu terjadi sedemikian sehingga masyarakat mengakui dan menerima
si remaja selaku pribadi yang patut menjadi sebagaimana ia ada sekarang (Erikson,
2002).
2
Erikson (dalam Hurlock, 1999) menjelaskan bahwa identitas diri yang dicari
remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam
masyarakat, serta apakah ia seorang anak atau seorang dewasa. Pada masa ini remaja
sedang mengalami krisis identitas, yang merupakan krisis yang paling berat dan paling
berbahaya, dikarenakan penyelesaian yang gagal atau berhasil dari krisis identitas itu
sendiri mempunyai akibat yang memengaruhi seluruh masa depan dari remaja, di mana
mereka harus bisa menentukan siapakah dan apakah mereka ketika itu, dan ingin
menjadi siapakah dan apakah mereka pada masa depan (Erikson, 1989). Tanpa
penetapan suatu identitas yang terintegrasi dengan baik pada masa remaja, seorang
individu selama masa dewasanya akan mengalami kesulitan terus-menerus dan tetap
akan dibebani dengan berbagai macam konflik yang mengacaukan dan membingungkan
(Erikson, 1989).
Menurut Erikson (dalam Santrock, 2003), remaja yang tidak berhasil mengatasi
krisis identitas akan menderita kebingungan identitas (identity confusion). Kebingungan
identitas akan mengakibatkan suasana ketakutan, ketidakpastian, ketegangan, isolasi
dan ketidaksanggupan mengambil keputusan, sehingga remaja yang tidak dapat
menyelesaikan krisis identitasnya akan menjadi seseorang yang tidak memiliki arahan
hidup yang jelas, terisolasi, kosong, cemas, bimbang, serta remaja tersebut tidak akan
siap untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi ketika memasuki masa
dewasa nantinya (Erikson, 1989).
Kebingungan identitas ini disebabkan oleh
ketidaksanggupan remaja untuk mengintegrasikan identifikasi-identifikasi masa kanakkanaknya dengan tugas-tugas masa remajanya.
Sementara, remaja yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan krisis
identitas pada identity versus identity confusion dengan baik, akan membentuk individu
3
yang memiliki rasa kesejahteraan psikososial di mana perasaan-perasaan yang paling
jelas dirasakan ialah rasa aman, dan krasan dalam dirinya sendiri. Remaja tersebut
cukup mampu mengetahui dan menentukan jalan yang akan ditempuhnya ke depan,
serta memiliki keyakinan batin mengenai pengakuan yang diharapkannya dari orangorang yang penting bagi dirinya. Remaja tersebut akan tumbuh menjadi orang dewasa
yang dapat menerima dirinya dan orang lain, dan ia merasa bahwa ia menduduki tempat
bermakna dalam keseluruhan kenyataan. Keseluruhan hal tersebut merupakan dasar
yang paling baik dan kuat bagi perkembangan selanjutnya sehingga hal tersebut menjadi
awal yang paling baik untuk dihadapkan dengan krisis pada masa dewasa berikutnya
(Erikson, 1989).
Makna dari periode adolesensi ini terdapat dalam pergumulan keras remaja untuk
merebut identitasnya sendiri, yaitu usaha menyiapkan diri untuk memasuki kehidupan
sebagai orang dewasa dan mencari tempatnya sendiri yang dapat diakui oleh
lingkungannya (Erikson, 1989).
Priyatno (Soenarjati, Priyanto & Suripno, 2007) mengungkapkan bahwa pada usia
remaja, terjadi proses perubahan menuju kepada proses pematangan kepribadian yang
penuh dengan pemunculan sifat-sifat pribadi yang terkadang berbenturan dengan
rangsang-rangsang dari luar. Benturan-benturan inilah yang sering menimbulkan
persoalan bagi remaja yang kadang-kadang diwujudkan dalam suatu tindakan yang
menyimpang yang sering disebut dengan kenakalan remaja. Kenakalan remaja ini
digolongkan dalam tindakan-tindakan yang bersifat amoral, perkelahian antar remaja,
sampai pada tindak kejahatan.
Erikson (2002) mendefinisikan juvenile delinquency sebagai kejahatan atau
kenakalan remaja yang melanggar hukum sehingga kejahatan itu tidak disetujui secara
4
sosial. Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam
menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada
masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat,
dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Tekanan-tekanan
sebagai akibat perkembangan fisiologis pada masa remaja, ditambah dengan tekanan
akibat perubahan kondisi sosial budaya, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang demikian pesat seringkali mengakibatkan timbulnya masalah-masalah
psikologis berupa gangguan penyesuaian diri atau ganguan perilaku (Hurlock, 1999).
Kenakalan dan geng merupakan dua hal yang saling terkait, oleh karena dalam
geng terdiri dari sekumpulan para remaja yang cenderung melakukan kenakalan atau
menjadi pelaku kenakalan. Menurut Chaplin (2006), geng adalah unit sosial terdiri atas
individu-individu yang diikat oleh minat dan kepentingan yang sama. Seringkali, tetapi
tidak selalu demikian, geng bersifat antisosial dalam pandangan dan kegiatannya. Geng
identik dengan obat-obatan terlarang dan kekerasan. Dalam literatur kriminologi adanya
gagasan bahwa geng adalah kelompok sosial yang memfasilitasi kekerasan dan perilaku
illegal lainnya (Fleisher & Krienert, 2004).
Kartono (2002) mengungkapkan bahwa saat ini geng delinkuen banyak tumbuh
dan berkembang di kota-kota besar maupun di kota kecil. Mereka bertanggung jawab
atas banyaknya kejahatan dalam bentuk pencurian, perusakan milik orang lain, dengan
sengaja melanggar dan menentang otoritas orang dewasa, melakukan tindak kekerasan,
menteror lingkungan, dan lain sebagainya. Pada umumnya remaja ini sangat agresif
sifatnya, suka berbaku-hantam dengan siapa pun juga tanpa suatu sebab yang jelas
dengan tujuan sekedar untuk mengukur kekuatan kelompok sendiri, serta membuat onar
di tengah lingkungan. Demikian halnya yang terjadi di daerah Kabupaten Toraja Utara,
5
Sulawesi Selatan, tepatnya di kota kecil Rantepao, ada sebuah geng
yang muncul
sekitar awal tahun 2011. Geng tersebut dikenal di masyarakat dengan nama Geng
Predator , yang merupakan singkatan dari ”Preman dari Toraja”. Geng Predator adalah
sekelompok remaja nakal yang sering berbuat onar dan selalu membuat keributan di
Toraja yang beranggotakan para remaja putri. Geng Predator terdiri dari sekumpulan
gadis-gadis berusia sekitar 15-23 tahun, rata-rata pelajar SMP-SMA serta ada beberapa
diantara mereka yang mahasiswa (Parubak, 2012).
Banyak laporan yang masuk di kantor kepolisian setempat mengenai munculnya
geng Predator yang dianggap meresahkan dan memunculkan kekhawatiran bagi para
orang tua akan dampak negatif yang ditimbulkan bagi generasi muda terutama anakanak mereka. Kapolsek daerah setempat mengakui bahwa persoalan geng pelajar,
seperti Predator sudah sering dibicarakan masyarakat, pihak Gereja, maupun
pemerintah. Ia mengungkapkan bahwa mereka pernah menahan beberapa anggota geng
Predator dan anggota dari geng itu mengakui jika mereka masuk menjadi anggota geng
oleh karena tidak mendapat perhatian lebih dari orang tuanya (Palopo Pos, 2012).
Menurut Shoemaker (2009), remaja putri lebih mungkin melakukan pelanggaran
status dibandingkan remaja putra, di mana pelanggaran status yang dimaksudkan ialah
perilaku membolos dari sekolah, minum minuman keras, melarikan diri dari rumah dan
sebagainya. Shoemaker (2009) menjelaskan bahwa kebanyakan remaja putri ketika
ditanya mengapa mereka lari dari rumah, mereka menyatakan bahwa di dalam rumah
mereka pernah mengalami kekerasan dan sering diabaikan, dan pelaku pengabaian
tersebut ialah orang tua mereka sendiri di mana orang tua khususnya ayah merupakan
pendukung keluarganya secara finansial. Seringkali pula didapati bahwa ada trauma
6
terhadap kondisi lingkungan, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah
diri, maupun karena krisis kasih sayang dari keluarga terdekat (Sarwono, 2003).
Keterbatasan ekonomi dapat memperlemah pengasuhan orang tua yang baik
sehingga dukungan sosial dari keluarga menjadi kurang. Remaja yang miskin memiliki
kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan tindak antisosial dibandingkan remaja
yang keluarganya berkecukupan (Papalia, dkk., 2009). Hal ini disebabkan kurangnya
kesempatan remaja dari kelas sosial rendah untuk mengembangkan ketrampilan yang
diterima oleh masyarakat (Santrock, 2003).
Seperti dikemukakan dalam teori Bronfenbrenner (dalam Papalia, dkk., 2009),
perilaku antisosial remaja dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bertingkat dan saling
berinteraksi, seperti pengasuhan orang tua dan penyimpangan teman sebaya sampai
pada struktur masyarakat dan dukungan lingkungan sosial. Pada dasarnya keluarga
berperan penting baik itu mendorong atau meningkatkan, mengurangi, dan
mengkontekstualisasikan kenakalan pada remaja. Kurangnya perhatian ataupun
ketidakpedulian orang tua terhadap anak, ketidakmampuan dalam mengasuh anak, serta
perceraian dari kedua orang tua merupakan salah satu faktor penyebabnya. Adanya
asumsi sebelumnya mengatakan bahwa keluarga mempunyai peran menghasilkan atau
mencegah kenakalan, di mana keluarga yang dimasudkan yaitu merujuk kepada kedua
orang tua dan anak. Ketidakpeduliaan orang tua terhadap anak, kedisiplinan dan
pengawasan yang terlalu ketat dan lemah, serta kurangnya keharmonisan dalam
keluarga merupakan prediktor dari kenakalan. Anak- anak yang tinggal dan dibesarkan
dalam keluarga yang penuh dengan kekerasan berdampak pada keterlibatan mereka
pada kenakalan remaja (Shoemaker, 2009).
7
Thomas (dalam Shoemaker, 2009) menjelaskan bahwa para remaja putri tersebut
sering meninggalkan rumah demi mencari kegembiraan di luar rumah, yang kemudian
membawa mereka ke dunia prostitusi yang rentan akan resiko kehamilan yang tidak
diinginkan (Miller, 2011). Di sana mereka kemudian mampu memperoleh kegembiraan
mereka melalui hubungan intim dengan pria untuk seks dan uang. Thomas menegaskan
bahwa kenakalan remaja putri awalnya berasal dari keluarga mereka yang bermasalah
(disfungsi), kemiskinan, dan kurangnya dukungan dari masyarakat. Sebelumnya,
kenakalan remaja putri telah terutama terdiri dari prostitusi, namun sekarang wanita bisa
ditemukan melakukan tindak kekerasan juga. Kriminolog Freda Adler (dalam
Shoemaker, 2009) menjelaskan peningkatan kenakalan remaja putri melalui wawancara
dengan pelaku kriminal tersebut. Ia menemukan bahwa para remaja putri pelaku
kriminal tersebut percaya bahwa mereka juga bisa melakukan apapun yang dilakukan
pria dan mereka tampak menikmati kegembiraan saat melakukan tindak kriminal yang
demikian. Hal tersebut didorong oleh perbedaan jenis kelamin dan stereotip gender yang
meyakini bahwa wanita lebih rendah daripada pria dalam berbagai hal.
Mereka mungkin saja merasa bahwa mereka akan mendapatkan perhatian dan
status dengan cara melakukan tindakan antisosial. Menjadi “tangguh” dan “maskulin”
adalah contoh status yang tinggi bagi remaja dari kelas sosial yang lebih rendah, dan
status seperti ini sering ditentukan oleh keberhasilan remaja dalam melakukan
kenakalan dan berhasil meloloskan diri setelah melakukan kenakalan (Santrock, 2003).
Mereka mendapatkan keuntungan dari perilaku antisosial, saat mereka berperilaku
buruk, mereka bisa mendapatkan perhatian atau mendapatkan apa yang mereka
inginkan (Papalia, dkk., 2009).
8
Pola negatif di masa awal ini dapat membentuk pengaruh teman sebaya yang
negatif yang mendorong perilaku antisosial (Papalia, dkk., 2009). Memiliki temanteman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan risiko remaja untuk menjadi
nakal. Pada sebuah penelitian Santrock (2003) terhadap 500 pelaku kenakalan dan 500
remaja yang tidak melakukan kenakalan di Boston, ditemukan persentase kenakalan
yang lebih tinggi pada remaja yang memiliki hubungan reguler dengan teman sebaya
yang melakukan kenakalan. Pengabaian yang mereka terima dari keluarga dan
masyarakat membuat para remaja mencari kegembiraan di luar hingga menemukan
tempat nyaman di dalam geng.
Mereka memilih untuk bergabung dalam kelompok/geng, karena mereka ingin
memiliki dan menciptakan suasana/rasa kekeluargaan (Hunt, & Laidler, 2001). Di
dalam geng mereka dapat menemukan hal-hal yang tidak ditemukan dalam keluarga dan
lingkungan sekitarnya yaitu berupa posisi sosial, status sosial, pribadi ideal, aksi-aksi
bersama, ikatan, kasih sayang, prestis, harga diri, dan rasa aman terlindungi. Mereka
merasa diakui pribadi dan eksistensinya, dan merasa memiliki martabat diri. Dengan
demikian, geng merupakan basis bagi perasaan diri, harga diri, dan kehormatan dirinya
(Kartono, 2002).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi apa yang menjadi motivasi
para remaja putri di Toraja sehingga tertarik masuk dan bergabung menjadi anggota
geng Predator , bagaimana proses inisiasi yang mereka alami untuk masuk dan
bergabung menjadi anggota geng Predator , mendeskripsikan apa saja aktivitas mereka
di dalam geng Predator , memahami cara mereka memandang dirinya sebagai bagian
dari anggota geng Predator , serta memahami reaksi mereka terhadap pandangan
masyarakat terhadap diri mereka yang merupakan bagian dari anggota geng Predator.
9
Manfaat dari penelitian ini bagi peneliti adalah diharapkan menjadi sarana belajar untuk
dapat mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan dengan terjun langsung sehingga
dapat melihat, merasakan dan menghayati bagaimana sebenarnya permasalahan yang
terjadi dalam masyarakat saat peneliti melakukan penelitian. Bagi disiplin ilmu,
penelitian ini dapat memberi sumbangan pengetahuan dalam bidang psikologi sosial dan
psikologi perkembangan, terutama mengenai proses perkembangan remaja dalam masa
mencari identitas dirinya dan kenakalan-kenakalan yang rentan mereka lakukan pada
masa tersebut. Bagi partisipan diharapkan dapat memperoleh insight dalam menghadapi
lingkungan baru setelah keluar dari geng Predator , sedangkan bagi lembaga-lembaga
yang menangani remaja hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi
positif untuk kemudian dapat memberi arahan positif kepada para remaja di Toraja agar
tidak lagi terjerumus di dalam geng Predator .
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini disesuaikan dengan tujuan penelitian,
sehingga karakteristiknya yaitu remaja putri asli Toraja yang pernah atau masih menjadi
anggota geng Predator, rentang usia 12 tahun sampai 21 tahun, dan minimal bergabung
dalam geng Predator selama 1 tahun serta bersedia menjadi partisipan penelitian.
Dalam penelitian ini sumber data akan disebut sebagai partisipan penelitian. Partisipan
penelitian dipilih oleh peneliti secara purposif, yaitu memilih partisipan penelitian yang
sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan. Berdasarkan karakteristik tersebut
peneliti memperoleh tiga partisipan penelitian yang bersedia terlibat dalam penelitian
10
ini, ketiga partisipan secara berurutan masing-masing berusia 20 tahun, 18 tahun dan 17
tahun ketika wawancara dilakukan.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua metode pengumpulan data, yaitu
wawancara dan observasi. Teknik analisis data kualitatif yang akan digunakan terdiri
dari empat tahapan, menurut Miles dan Huberman (dalam Herdiansyah, 2010), yaitu:
Pengumpulan data, Reduksi data, Display data dan Kesimpulan. Pengujian keabsahan
data digunakan untuk memastikan kebenaran dari data yang telah diperoleh. Dalam
penelitian ini peneliti akan menggunakan teknik trianggulasi dan member check.
HASIL PENELITIAN
Semua partisipan dalam penelitian ini ialah remaja putri keturunan asli Toraja
yang pernah menjadi anggota geng Predator dan berasal dari keluarga dengan status
ekonomi menengah kebawah yang bertempat tinggal di Kabupaten Toraja Utara. P1 dan
P2 berstatus sebagai ibu muda, dimana P1 telah memiliki seorang anak dan P2 memiliki
dua orang anak serta sudah menikah dua kali, sedangkan P3 masih berstatus sebagai
siswi kelas 2 SMA. Ketiga partisipan masuk menjadi anggota geng Predator masingmasing pada usia 18 tahun, 17 tahun dan 15 tahun.
Pada awal sebelum menjadi anggota geng Predator, ketiga partisipan memandang
remeh dan menganggap geng Predator sebagai geng yang biasa-biasa saja. Syaratsyarat yang harus mereka penuhi untuk menjadi anggota geng Predator adalah pandai
berkelahi, harus menjadi peminum, perokok, mengkonsumsi narkoba dan tidak
perawan. Bagi P1 adanya persyaratan tidak perawan, menjadi bukti bahwa calon
anggota yang bersangkutan berani melakukan hubungan seks bebas dan berani menjadi
anggota geng Predator . Hal tersebut kemudian menjadi promosi bahwa geng Predator
11
lebih hebat dibanding geng lainnya. Sedangkan bagi P3 persyaratan tidak perawan
tersebut digunakan untuk dapat menjual diri melalui seks. Ia menjelaskan bahwa calon
anggota yang masih perawan saat ingin bergabung dengan geng Predator, harus rela
kehilangan keperawanannya dengan cara apapun, entah melakukan seks dengan
seseorang ataupun menjual keperawanannya terlebih dahulu, setelah itu barulah ia dapat
diterima menjadi anggota geng Predator. Ia menambahkan adanya syarat yang
mengharuskan calon anggota mengikuti semacam upacara melepas pakaian di atas
kuburan dengan maksud mengajarkan kepada anggota untuk tidak tahu malu dan berani
tampil beda serta tidak takut untuk menerima resiko apapun yang dilakukan. Ada pula
syarat yang diungkapkan ketiga partisipan bahwa calon anggota yang ingin masuk
dalam geng Predator harus berani ditelanjangi di depan laki-laki sebagai bukti mereka
berani melakukan apapun yang diperintahkan oleh senior yang ada dalam geng serta
lebih kepada kepentingan menjual diri untuk mendapatkan upah.
Semua partisipan mengungkapkan adanya peraturan yang ditetapkan dan wajib
dilakukan sebagai anggota geng Predator, yaitu ketika salah seorang dari anggotanya
memiliki masalah perkelahian dengan orang lain, maka semua anggota geng Predator
diwajibkan ikut membantu anggota tersebut untuk melawan musuhnya, karena jika
tidak turut membantu maka akan dianggap egois, tidak gentle, dan tidak akan dianggap
sebagi anggota geng Predator. Sebaliknya ketika anggota yang tidak ikut membantu
tersebut juga mengalami masalah, maka geng Predator juga tidak akan membantunya.
Ingin terlihat hebat dan berbeda dari geng lainnya menjadi dasar bagi mereka
untuk menetapkan dan menampilkan identitas diri mereka sebagai anggota geng
Predator , yaitu dengan mengenakan sarung berwarna hitam, memakai alis hitam,
berpenampilan seksi, berboncengan 3-5 orang, begadang sampai pagi, berkelahi, dan
12
jarang pulang ke rumah. P1 dan P3 menuturkan bahwa mereka berpenampilan seksi
untuk menarik perhatian laki-laki, kemudian melakukan tindak kekerasan yang
melanggar aturan agar dikenal oleh masyarakat.
Adanya keinginan untuk dikenal banyak orang serta keinginan untuk memiliki
banyak teman menjadi alasan kuat bagi P1 bergabung menjadi anggota geng Predator.
Alasan lainnya ialah karena ia memiliki kegemaran yang sama yaitu suka berkelahi,
sehingga melalui geng Predator P1 mengharapkan akan mendapat bantuan dan
pertolongan pada saat ia juga mengalami masalah dengan orang lain khususnya dalam
hal perkelahian dengan sang lawan atau musuh. Adapun alasan yang memotivasi P2
untuk bergabung dengan geng Predator ialah keinginan untuk membalas budi atas apa
yang telah diterimanya dari geng Predator. Selain itu, faktor kenyamanan yang
didapatkan P2 ketika hidup bersama geng Predator semakin memantapkan pilihannya
untuk ikut bergabung. Kehadiran, kesetiaan, serta support dan solusi yang diberikan
oleh anggota geng Predator ketika ia menghadapi masalah membuatnya semakin
merasakan kenyamanan. Senada dengan kedua partisipan yang lain, motivasi P3 untuk
bergabung dengan geng Predator ialah adanya keinginan untuk dipandang hebat dan
disegani oleh banyak orang, serta adanya kesenangan dan kebebasan yang ditawarkan di
dalam geng Predator membuat ia merasa nyaman dan betah. Ia ingin selalu bersamasama dengan geng Predator, di mana ia dapat merokok, minum-minum dan melakukan
hal
lainnya
sesuka
hatinya
seperti
hal
yang
biasanya
laki-laki
lakukan.
Ketidakperawanannya menjadi modal baginya untuk dapat bergabung sebagaimana hal
tersebut menjadi ketentuan dalam geng Predator.
Setiap partisipan memiliki pengalaman tersendiri hingga pada akhirnya mereka
memilih dan memutuskan untuk bergabung dan menjadi anggota geng Predator . P1 dan
13
P2 masuk menjadi anggota geng Predator tanpa melalui proses inisiasi dan didorong
atas keinginan diri sendiri. Mereka memiliki kisahnya masing-masing yang membuat
mereka tidak perlu melalui proses inisiasi oleh karena mereka sudah terlebih dahulu
memenuhi kriteria dari persyaratan yang ditetapkan, sehingga mereka dianggap layak
menjadi anggota geng Predator , di antaranya ialah syarat sudah tidak perawan, harus
pandai berkelahi, dan harus mengonsumsi minuman keras, rokok serta narkoba.
Sebaliknya, P3 harus melalui proses inisiasi dan berdasarkan ajakan dari teman ia
memutuskan untuk bergabung. P3 terlebih dahulu harus melakukan hal-hal yang
menjadi persyaratan yaitu merokok dan minum-minuman keras dihadapan semua
anggota geng Predator, lalu diberi pertanyaan terkait orang yang telah menghilangkan
keperawanannya, kemudian geng Predator sendiri yang akan menanyakan kepada orang
tersebut untuk memastikan bahwa P3 benar sudah tidak perawan.
Aktivitas yang dilakukan oleh anggota geng Predator secara bersama-sama
mencakup saling membantu menyelesaikan masalah khususnya dalam hal perkelahian
yang dialami oleh anggota geng nya, minum-minuman keras, merokok, saling
mencurahkan perasaan, bermain leng (bermain kartu) sambil berjudi, dan saling
bertukar pakaian. Bagi ketiga partisipan kebersamaan yang terjalin diantara anggota
geng Predator , menimbulkan perasaan nyaman yang justru tidak mereka dapatkan
dalam keluarga. Di dalam geng Predator seks bebas merupakan hal yang tidak lazim
lagi terlebih untuk melayani para pelanggan yang nota bene adalah om-om. Hal tersebut
mereka lakukan untuk mendapatkan uang guna menafkahi kehidupan mereka. Namun,
hal tersebut tampak berbeda dengan pendirian dari P1, baginya ia tidak akan menjual
diri demi mendapatkan uang, ia hanya akan melakukan hubungan seks dengan orang
yang ia sayangi dan dengan berlandaskan cinta dan kasih sayang. Selaras dengan hal itu,
14
P2 mengaku bahwa dirinya tidak menjual diri melainkan hanya menipu pria hidung
belang untuk mendapatkan uang, baginya ia tidak akan membuang harga diri hanya
untuk mendapatkan kesenangan sesaat.
Berbeda dengan kedua pertisipan yang lain, bagi P3 berhubungan seks dipandang
sebagai cara untuk menghasilkan uang dan melampiaskan hawa nafsu, karena merasa
sudah terlanjur nakal sehingga ia memanfaatkan ketidakperawanannya sebagai alat
untuk mendapatkan uang. Semua partisipan juga menerima uang dari seseorang yang
mereka anggap sebagai bos, dan melalui perantara bos tersebut mereka kemudian
diperkenalkan dengan om-om ataupun bos-bos besar. Mereka akan menerima upah
ketika mereka menemani om-om untuk tidur bersama, baik itu melayani seks atau hanya
menemani tidur di hotel ataupun di tempat-tempat penginapan. Terkadang mereka juga
harus merelakan bagian tubuh mereka untuk diraba-raba serta diajak berfoto oleh
pelanggan untuk mendapatkan upah. P1 mengaku bahwa ia merasa senang melakukan
pekerjaannya tersebut karena baginya pekerjaan yang demikian lebih mudah dan cepat
mendapatkan uang.
Dibalik perasaan senang dan bangga yang dirasakan ketiga partisipan karena
mampu melakukan segala hal yang mereka inginkan, terselip rasa bersalah dan takut.
Mereka menyadari bahwa semua kegiatan yang mereka lakukan baik itu memukul,
berkelahi, mencuri, melakukan kebohongan, serta mengkonsumsi narkoba, merupakan
tindakan yang salah dan tidak benar. Meski demikian mereka tetap melakukannya,
karena bagi mereka hal tersebut telah menjadi kebiasaan, serta sebagai wujud dari
kepatuhan mereka terhadap peraturan yang telah ditetapkan di dalam geng.
Sebagai anggota geng Predator, semua partisipan memandang dirinya sebagai
individu yang hebat dan gaul karena hal-hal yang laki-laki lakukan dapat juga mereka
15
lakukan, yaitu berjudi, berkelahi, merokok, mengonsumsi narkoba dan minum-minuman
keras. P1 mengungkapkan dirinya memiliki peran yang penting dalam geng Predator,
yaitu sebagai salah seorang tukang pukul karena setiap ada masalah seperti berkelahi,
dirinya salah satu yang diandalkan maju melawan musuhnya, sedangkan kedua
partisipan lainnya hanya merupakan anggota biasa di dalam geng Predator . Ia
menginginkan diri ideal seperti sosok Sheena dalam film “Hercules”, ia ingin menjadi
perempuan tangguh yang mempunyai kekuatan setara dengan laki-laki, yang ditakuti
seperti bos, dan seperti seorang raja yang memiliki prajurit. P2 mengaku bahwa awalnya
ia memang sudah nakal terutama sejak ia bercerai dengan suami pertamanya, dan
setelah ia menjadi anggota geng Predator ia merasa dirinya semakin nakal dan
menganggap dirinya sudah tidak ada artinya lagi karena sudah banyak melakukan halhal negatif. Sedangkan P3 memandang dirinya pribadi yang baik sebelum menjadi
anggota geng Predator, namun selanjutnya ia merasa sudah hancur, rusak, bahkan liar
setelah menjadi anggota geng Predator.
Menanggapi pandangan masyarakat terhadap dirinya, P1 hanya bisa berlaku tidak
peduli dan mengabaikan apapun pendapat masyarakat tentang dirinya, namun ia merasa
malu dan tidak ingin jika masyarakat memandang bahwa ia nakal oleh karena tidak
dididik orang tuanya. P3 merasa dirinya dipandang buruk karena ia jarang berada di
rumah, ia selalu merasa minder ketika sedang berkumpul dengan masyarakat. Ia menilai
masyarakat sekitarnya adalah orang-orang yang suka bergosip dan suka mencampuri
urusan orang lain. Sebaliknya P2 merasa masyarakat sekitarnya adalah orang-orang
yang patut ia hormati. Ia merasa nyaman dan merasa keberadaannya lebih diterima di
dalam masyarakat karena masyarakat tidak ikut campur dalam setiap pekerjaan yang ia
16
lakukan sehingga membuat ia merasa hidupnya lebih berharga saat berkumpul dengan
masyarakat dibanding ketika ia harus keluyuran malam bersama-teman gengnya.
PEMBAHASAN
Fokus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan motivasi para remaja putri di
Toraja yang tertarik masuk menjadi anggota geng Predator , menjelaskan proses inisiasi
yang mereka lalui dalam geng, selain itu untuk menggambarkan aktivitas keseharian
mereka serta untuk memahami pandangan mereka terhadap diri sendiri dan reaksi
terhadap pandangan masyarakat. Untuk memahami proses tersebut, penting untuk
mengetahui terlebih dahulu tentang identitas remaja di mana dalam hal ini merujuk pada
anggota geng Predator . Menurut Erikson (1989) identitas merupakan suatu kesadaran
akan kesatuan dan kesinambungan gambaran diri dari masa lampau dengan masa
sekarang, ke dalam suatu kesatuan baru tentang siapakah dia dan siapakah dia semenjak
dahulu yang diakui oleh orang lain dan dirinya sendiri. Pada masa ini, remaja sedang
mengalami krisis identitas, yang merupakan krisis yang paling berat dan paling
berbahaya, dikarenakan penyelesaian yang gagal atau berhasil dari krisis identitas itu
sendiri mempunyai akibat yang memengaruhi seluruh masa depan dari remaja, di mana
mereka harus bisa menentukan siapakah dan apakah mereka ketika itu, dan ingin
menjadi siapakah dan apakah mereka pada masa depan (Erikson, 1989). Hal tersebut
tergambarkan pada para remaja putri anggota geng Predator .
Motivasi untuk bergabung menjadi anggota geng Predator
Dorongan akan keinginan untuk dikenal dan disegani banyak orang, keinginan
untuk memiliki banyak teman, serta mengharapkan untuk mendapat bantuan dan
pertolongan pada saat mengalami masalah dengan orang lain khususnya dalam hal
17
perkelahian. Selain hal itu, keinginan untuk membalas budi atas apa yang telah
diterimanya dari geng Predator, faktor kenyamanan, kehadiran, kesetiaan, support, dan
solusi yang diberikan oleh anggota geng Predator ketika menghadapi masalah, serta
adanya kesenangan dan kebebasan yang ditawarkan di dalam geng Predator yang
membuat mereka merasa betah. “Selain pengen terkenal, saya juga mau masuk biar
banyak teman, terusss dimana kalau saya ada masalah saya bisa minta tolong sama
geng Predator .” (P1)
Keluarga merupakan salah satu faktor timbulnya kenakalan
Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor keluarga mempunyai peran yang sangat
penting, yang kemudian memunculkan dorongan atau motivasi mereka untuk ikut
bergabung menjadi anggota geng Predator . Ketidakpedulian sesama anggota keluarga,
dikarenakan sibuk dengan urusan masing-masing yang berdampak buruk pada relasi
khususnya anak dengan orang tua, dimana orang tua jarang memberi solusi yang terbaik
bagi anak-anaknya, berasal dari keluarga yang broken home, adanya sikap terlalu
mengekang sehingga mengakibatkan konflik antara ibu dan anak yang berujung pada
pertengkaran maupun perkelahian, pengabaian dari ayah sejak bercerai dengan ibu
memunculkan dendam, serta pengalaman perceraian akibat perselingkuhan yang
dilakukan oleh suami. “Keluarga saya itu keluarga yang broken, jarang memberi solusi
yang terbaik buat anak-anaknya, mereka sibuk dengan urusannya masing-masing.”
(P2)
Pada dasarnya keluarga berperan penting baik itu mendorong atau meningkatkan,
mengurangi, dan mengkontekstualisasikan kenakalan pada remaja. Kurangnya perhatian
ataupun ketidakpedulian orang tua terhadap anak, ketidakmampuan dalam mengasuh
anak, serta perceraian dari kedua orang tua merupakan salah satu faktor penyebabnya.
18
Shoemaker (2009) menjelaskan bahwa kebanyakan remaja putri ketika ditanya mengapa
mereka lari dari rumah, mereka mengatakan bahwa di dalam rumah mereka pernah
mengalami kekerasan dan sering diabaikan, dan pelaku pengabaian tersebut ialah orang
tua mereka sendiri di mana orang tua khususnya ayah merupakan pendukung
keluarganya secara finansial. Seringkali pula didapati bahwa ada trauma terhadap
kondisi lingkungan, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri,
maupun karena krisis kasih sayang dari keluarga terdekat (Sarwono, 2003). Seperti yang
telah dijelaskan bahwa semua partisipan berasal dari keluarga yang berstatus ekonomi
menengah ke bawah, kurangnya kepedulian orang tua terhadap anak, dan satu diantara
mereka berasal dari keluarga yang broken home. Hal tersebut kemudian memicu
dorongan untuk mencari kenyamanan di luar lingkungan rumah, yaitu dengan cara
bergabung dengan geng Predator .
Proses inisiasi
Adapun proses inisiasi yang harus dilalui sebelum menjadi anggota geng Predator
yaitu, terlebih dahulu harus melakukan hal-hal yang menjadi persyaratan diantaranya
merokok dan minum-minuman keras dihadapan semua anggota geng Predator, dan
diberi pertanyaan terkait status keperawanannya. “Saya disuruh merokok, minum dan
ditanya masih perawan atau tidak, terus ditanya lagi siapa yang ambil perawanmu ?,
saya jawab pacarku namanya LB, mereka bilang betulankah ? ki tanya itu pacarmu
kalau betul atau tidak dia yang ambil perawanmu.” (P3). Menurut Johnson dan
Johnson (dalam Walgito, 2010), ada beberapa tahapan di mana seseorang akan masuk
dalam geng, tahapan pertama yaitu calon anggota (prospective member ), dalam tahapan
ini baik calon anggota maupun geng yang akan dimasuki, masing-masing mengadakan
evaluasi atau penilaian. Tahapan yang kedua, anggota baru (new member ), dalam tahap
19
ini, anggota baru akan menyesuaikan diri dengan hal-hal yang dituntut oleh geng.
Tahapan yang ketiga, anggota penuh (full member ), dalam tahapan ini anggota sudah
cukup mapan dalam geng, sehingga memungkinkannya memperoleh status dan peran
yang berbeda dengan saat berkedudukan sebagai new member. Tahapan keempat,
anggota marginal (marginal member ), dengan perkembangan yang ada, ada
kemungkinan anggota mempunyai keraguan terhadap geng yang bersangkutan. Anggota
mungkin sudah tidak cocok dengan norma-norma yang ada dalam geng, sehingga ia
tidak sepenuh hati ada dalam geng yang bersangkutan. Tahapan kelima, mantan anggota
(ex-member ), dalam tahapan ini anggota yang bersangkutan sudah tidak terikat pada
geng semula dan ada kemungkinan ia pindah ke geng lain.
Aktivitas dan cara pemenuhan kebutuhan dalam geng
Setelah dinyatakan telah diterima menjadi anggota geng Predator , adapun
aktivitas yang mereka lakukan bersama-sama dalam geng
yaitu membantu
menyelesaikan masalah khususnya dalam hal perkelahian yang dialami oleh anggota
gengnya, minum-minuman keras, merokok, saling mencurahkan perasaan, bermain
kartu (leng) sambil berjudi, dan saling bertukar pakaian. Aktivitas tersebut yang
dilakukan secara bersama-sama, menimbulkan perasaan nyaman yang justru tidak
mereka dapatkan dalam keluarga. Setelah bergabung dalam geng Predator dengan
demikian intensitas mereka untuk pulang ke rumah sangat berkurang, sehingga mereka
dihadapkan pada tuntutan untuk mencari uang guna menafkahi hidup mereka, salah
satunya dengan cara menjual diri terlebih untuk melayani para pelanggan yang nota
bene adalah om-om. Cara lain yang dilakukan untuk mendapatkan uang yaitu dengan
mengantarkan anggota lainnya ke hotel untuk bertemu dan melayani pelanggan,
kemudian menunggu hingga selesai, dengan begitu mereka juga mendapatkan uang dari
20
pelanggan dan teman tersebut. “Eee keseharian ki yaa berkelahi yang biasanya
memang kami yang cari-cari masalah, eee kumpul sama teman-teman, eee setiap
malam masuki geng-geng cowok di Rantepao dan minum bersama di tempat mereka
kumpul, pergi cari om-om dimana-mana, eee masuk karaoke “Selatan” menyanyinyanyi temani om-om, sambil merokok dan minum.” (P3)
Perasaan dan pandangan terhadap diri sendiri sebagai anggota geng Predator
Saat menjadi anggota geng Predator, mereka memandang dirinya sebagai
individu yang hebat dan gaul karena hal yang laki-laki lakukan dapat juga mereka
lakukan, seperti berkelahi, berjudi, merokok, mengonsumsi narkoba dan minumminuman keras. Mereka merasa senang dan bangga karena mampu melakukan segala
hal yang mereka inginkan. Mereka ingin menjadi perempuan tangguh yang mempunyai
kekuatan setara dengan laki-laki, yang ditakuti, seperti bos, dan seperti seorang raja
yang memiliki prajurit. “Eee pandanganku terhadap diriku, yah saya merasa gaul,
terussss hebat karena apa yang laki-laki lakukan saya juga bisa, seperti merokok,
minum-minuman keras.” (P1). Namun tidak dapat dipungkiri bahwa mereka juga
memiliki pandangan negatif terhadap dirinya bahwa mereka terlanjur nakal, rusak,
hancur, bahkan liar dan tidak berarti lagi karena sudah banyak melakukan hal-hal
negatif. Menyadari bahwa semua kegiatan yang mereka lakukan baik itu memukul,
berkelahi, mencuri, melakukan kebohongan, serta mengkonsumsi narkoba, merupakan
tindakan yang salah dan tidak benar, terselip rasa bersalah dan takut. Meski demikian
mereka tetap melakukannya, dikarenakan hal tersebut telah menjadi sebuah kebiasaan,
serta sebagai wujud dari kepatuhan mereka terhadap peraturan yang telah ditetapkan.
Kriminolog Freda Adler (dalam Shoemaker, 2009) menjelaskan bahwa para remaja
putri pelaku kriminal tersebut percaya bahwa mereka juga bisa melakukan apapun yang
21
dilakukan pria dan mereka tampak menikmati kegembiraan saat melakukan tindak
kriminal yang demikian. Hal tersebut didorong oleh perbedaan jenis kelamin dan
stereotip gender yang meyakini bahwa wanita lebih rendah daripada pria dalam
berbagai hal.
Reaksi terhadap pandangan masyarakat
Dikalangan masyarakat Toraja, geng Predator memiliki image yang sangat
negatif akibat dari ulah dan tindakan mereka yang dianggap meresahkan masyarakat.
Menanggapi pandangan masyarakat terhadap mereka, hanya bisa berlaku tidak peduli
dan mengabaikan apapun pendapat masyarakat tentang mereka, namun ada perasaan
malu dan minder ketika sedang berkumpul dengan masyarakat. Mereka menilai
masyarakat sekitarnya adalah orang-orang yang suka bergosip dan suka mencampuri
urusan orang lain. “Yaaa palingan saya cuek aja, nggak mau dengar apa kata mereka.”
(P1)
Menurut Erikson (dalam Santrock, 2003), remaja yang tidak berhasil mengatasi
krisis identitas akan menderita kebingungan identitas (identity confusion). Kebingungan
identitas akan mengakibatkan suasana ketakutan, ketidakpastian, ketegangan, isolasi
dan ketidaksanggupan mengambil keputusan, sehingga remaja yang tidak dapat
menyelesaikan krisis identitasnya akan menjadi seseorang yang tidak memiliki arahan
hidup yang jelas, terisolasi, kosong, cemas, bimbang, serta remaja tersebut tidak akan
siap untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi ketika memasuki masa
dewasa nantinya (Erikson, 1989). Kenakalan remaja yang dilakukan oleh anggota geng
Predator
merupakan dampak dari kebingungan identitas, di mana suasana
ketidakpastian serta ketegangan yang mereka hadapi tergambarkan lewat perilaku dari
orang tua yang bersikap membiarkan serta konflik yang terjadi dalam keluarga yang
22
menyebabkan ketegangan antara anak dan orang tua, hal tersebut kemudian
memunculkan pandangan akan arahan hidup yang tidak jelas, yang kemudian
mendorong remaja putri untuk ikut mencoba dan bergabung dalam geng Predator .
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, maka diperoleh kesimpulan
sebagai berikut, motivasi ketiga partisipan untuk bergabung menjadi anggota geng
Predator ialah karena adanya keinginan untuk dikenal dan disegani banyak orang,
keinginan untuk memiliki banyak teman, faktor kenyamanan, kehadiran, kesetiaan,
support, dan solusi yang diberikan oleh anggota geng Predator ketika menghadapi
masalah, serta adanya kesenangan dan kebebasan yang ditawarkan di dalam geng
Predator yang membuat mereka merasa betah berada di dalamnya. Untuk dapat masuk
menjadi anggota geng Predator mereka harus melalui proses inisiasi terlebih dahulu,
yaitu harus melakukan hal-hal yang menjadi persyaratan di antaranya merokok dan
minum-minuman keras dihadapan semua anggota geng Predator, dan diberi pertanyaan
terkait status keperawanannya. Namun, dalam hal ini hanya partisipan ketiga yang
melalui proses inisiasi tersebut, sedangkan kedua partisipan lainnya tidak melalui proses
inisiasi oleh karena alasan tertentu yang membuat mereka layak menjadi anggota geng
tanpa perlu melalui proses inisiasi.
Dalam melakukan aktivitas keseharian di dalam geng, ketiga partisipan dan
anggota geng Predator lainnya selalu melakukan aktivitas secara bersama-sama, yaitu
membantu menyelesaikan masalah khususnya dalam hal perkelahian yang dialami oleh
anggota gengnya, minum-minuman keras, merokok, saling mencurahkan perasaan,
23
bermain kartu (leng) sambil berjudi, dan saling bertukar pakaian. Aktivitas tersebut
yang dilakukan secara bersama-sama, menimbulkan perasaan nyaman dan kekeluargaan
yang justru tidak mereka dapatkan dalam keluarga. Ketidakpedulian sesama anggota
keluarga, dikarenakan sibuk dengan urusan masing-masing yang berdampak buruk pada
relasi khususnya anak dengan orang tua, dimana orang tua jarang memberi solusi yang
terbaik bagi anak-anaknya, berasal dari keluarga yang broken home, adanya sikap
terlalu mengekang sehingga mengakibatkan konflik antara ibu dan anak yang berujung
pada pertengkaran maupun perkelahian, pengabaian dari ayah sejak bercerai dengan ibu
memunculkan dendam, serta pengalaman perceraian akibat perselingkuhan yang
dilakukan oleh suami membuat ketiga partisipan kemudian mencari kenyamanan dan
menciptakan suasana kekeluargaan di luar rumah yang dalam hal ini di dalam geng
Predator. Demi menafkahi kehidupan mereka di dalam geng, mereka dihadapkan pada
tuntutan untuk mencari uang salah satunya dengan cara menjual diri terlebih untuk
melayani para pelanggan yang nota bene adalah om-om.
Ketiga partisipan memandang dirinya sebagai individu yang hebat dan gaul ketika
menjadi anggota geng Predator, oleh karena hal yang laki-laki lakukan dapat juga
mereka lakukan, seperti berkelahi, berjudi, merokok, mengonsumsi narkoba dan
minum-minuman keras. Mereka merasa senang dan bangga karena mampu melakukan
segala hal yang mereka inginkan. Namun, di sisi lain mereka juga memiliki pandangan
negatif terhadap dirinya bahwa mereka terlanjur nakal, rusak, hancur, bahkan liar dan
tidak berarti lagi karena sudah banyak melakukan hal-hal negatif. Meski demikian
mereka tetap melakukan kenakalan bersama geng Predator , oleh karena hal tersebut
telah menjadi sebuah kebiasaan, serta sebagai wujud dari kepatuhan mereka terhadap
peraturan yang telah ditetapkan.
24
Dalam menanggapi pandangan masyarakat terhadap mereka, ketiga partisipan
hanya bisa berlaku tidak peduli dan mengabaikan apapun pendapat masyarakat tentang
mereka, namun dibalik itu ada perasaan malu dan minder ketika sedang berkumpul
dengan masyarakat sekitar.
Saran
Dari hasil penelitian yang diperoleh, saran yang dapat diberikan peneliti dari
penelitian ini yaitu :
1.
Bagi partisipan, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman
kepada partisipan untuk mengerti bahwa hal-hal yang telah mereka alami
merupakan pengalaman berharga yang juga merupakan sebuah proses untuk
melihat diri lebih jauh karena menyangkut tentang penetapan identitas diri untuk
menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi.
2.
Bagi orang tua, diharapkan para orang tua dapat belajar dari apa yang telah terjadi
terhadap anak mereka sebagai bahan edukasi untuk memperbaiki hubungan dalam
keluarga, terutama dalam hubungannya dengan anak.
3.
Bagi peneliti selanjutnya, yaitu untuk melakukan penelitian dengan memfokuskan
pada relasi anggota geng Predator dengan keluarga, teman sebaya dan masyarakat
sebagai salah satu faktor munculnya perilaku nakal mereka. Selain hal tersebut,
peneliti selanjutnya dapat mengkaji lebih dalam mengenai makna hidup anggota
geng Predator saat masih bergabung menjadi anggota geng Predator dan setelah
keluar dari geng Predator .
25
DAFTAR PUSTAKA
Chaplin, J.P. (2006). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Erikson, E.H. (1989). Identitas dan siklus hidup manusia, bunga rampai I. Jakarta:
Gramedia.
Erikson, E.H. (2002). Identitas diri, kebudayaan, dan sejarah: Pemahaman dan
tanggung jawab, bunga rampai II . Ledalero-Maumere-Flores: Lembaga
Pembentukan Berlanjut Arnold Janssen (LPBAJ).
Erikson, E.H. (2010). Childhood and society: Karya monumental tentang hubungan
penting antara masa kanak-kanak dengan psikososialnya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Fleisher, M.S., & Krienert, J.L. (2004). Life-course events, social networks, and the
emergence of violence among female gang members. Journal of Community
Psychology, 5, 607-622.
Herdiansyah, H. (2010). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial.
Jakarta: Salemba Humanika.
Hunt, G., & Laidler, K.J. (2001). Situations of violence in the lives of girl gang
members. Health Care for Women International, 22, 363-384.
Hurlock, E.B. (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Kartono, K. (2002). Patologi sosial 2. Kenakalan remaja. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Miller, E., Levenson, R., Herrera, L., Kurek, L., Stofflet, M., & Marin, L. (2011).
Exposure to partner, family, and community violence: Gang-affiliated Latina
women and risk of unintended pregnancy. Journal of Urban Health: Bulletin of
the New York Academy of Medicine, 1, 74-86.
Palopo Pos. (2012). Orang tua harus waspadai geng predator. Diakses Mei 12, 2012 dari
http://www.palopopos.co.id/?vi=detail&nid=51583.
Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human development:
Perkembangan manusia (jilid 2). Jakarta: Salemba Humanika.
Parubak, F.G. (2012). Predator toraja. Diakses Maret 13, 2012 dari
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/03/13/predator-toraja/.
Santrock, J.W. (2003). Adolescence : Perkembangan remaja . Jakarta: Erlangga.
26
Santrock, J.W. (2007). Remaja (jilid 1). Jakarta: Erlangga.
Sarwono, S.W. (2003). Psikologi remaja . Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Shoemaker, D.J. (2009). Juvenile delinquency. United States of America: Rowman &
Littlefield.
Soenarjati, Priyanto, A., & Suripno. (2007). Kriminologi dan kenakalan remaja .
Jakarta: Universitas Terbuka.