Melacak Jejak Gerakan Transnasional Revolusioner Bermotifkan Agama di Indonesia.

Diterbitkan:
Unit Penerbitan
Fakultas Sastra Unud

I ス^jiセ@

I

Volume XJII

I

Nomorl

I

Halaman
1 - 128

Denpasar
Februari 2013


ISSN
0215-9198

----···--·--·-···--------·------- .

r"'ID
PUSTAKA
Jurnal llmu-Ilmu Budaya
ISSN 0215-9198
JS.212.13
Volume XIII, Nomor l · Februari 2013

Terbit dua kali setahun pada bulan Februari danAgustus. Berisi tulisan yang diangkat
dari hasil penelitian dan kaj ian analitis-kritis bidang kebudayaan. ISSN 0215-9198
Ketua Penyunting
Made Jiwa Atmaja

Sekretaris Penyunting
I Ketut Sudewa


Penyunting Pelaksana
IB. Putra Yadnya
I Nyoman Suarka
I Ketut Kaler
Maria Maltidis Banda
Mitra Bestari
I Wayan Cika (Unud)
I Dewa Putu Wijana (UGM)
Nengah Bawa Atmadja (UNDIKSHA)
Henricus Supriyanto (IKIP Negeri Surabaya)
I Ketut Subagir.sta (IHDN Denpasar)

Pelaksana Tata Usaha
I Gusti Bagus Ngurah Antara, SE.,MM

Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Fakultas Sastra Unud
Jln. Nias 13, Denpasar-Bali, Telp (0361) 224121, E-milatmajajiwa@yahoo.com
Pustaka Jumal Ilmu-ilmu Budaya terbit pertama kali dengan nama Widya Pustaka
Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pemah diterbitkan dalam

media lain. Naskah diketik di atas kerta HVS kuarto spasi ganda sepanjang lebih
kurang 20 halaman, dengan format seperti tercantum pada Petunjuk Bagi (calon)
Penulis Pustaka di bagian belakang jurnal ini. Naskah yang masuk dievaluasi dan
disunting untuk keseragaman fonnat, istilah dan tata cara lainnya.

PJIB
PUSTAKA
Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya
ISSN 0215-9198
Volume XIII, Nomor 1 • Februari 2013

DAFTARISI

Kata Pengantar ........................................................................................







.





iii

MELACAKJEJAK GERAKAN TRANSNASIONAL
REVOLUSIONER BERMOTIFKAN AGAMA
DI INDONESIA
I Gusti Ketut Gde Arsana
Jurusan Antrpologi Fakultas Sastra Unud ................................

1-18

BALI DAI.AM GLOBALISASI ABAD XVI-XX:
DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
I Gde Parimartha
Fakultas Sastra Universitas Udayana .........................................


19-28

DIASPORA RUANG GLOBAL DI KAWASAN TURISTIK:
DOMINASI NEOKAPITALISTIK ATAS IDENTITAS
DAN RUANG BUDAYA LOKAL
IGN A Eka Darmadi
Program Studi Magister Kajian Budaya ....................................
29-45
TINJAUAN TENTANG SEMIOTIKA
Ni Wayan Sartini
Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra
Universitas Airlangga ...................................................................

46-57

"AKU" SANG DIRI DI DEPAN CERMIN LACAN
(Kajian Psikoanalisis Puisi GセォオB@
Chairil Anwar)
JiwaAtmaja

Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Unud .......................

58-70

Volume XIII, No. 1 • Febr..iari 2013





.

FRASA NOMINA BAHASA INGGRIS
KAJIAN KATEGORI, FUNGSI DAN MAKNA
I Nengah Sudipa
Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Unud ..........................

71 - 85

KESAHIHAN DALAM KALIMAT IMPERATIF

(Kajian Pragmatik Bahasa Jepang)
Ngurah Indra Pradhana
Program Magister Linguistik Jepang
Fakulta::; Sastra Universitas Padjadjaran ....................................

86 - 91

IRAWAN: MUJIZAT BAGI SANG ARJUNA
I Made Wijana
Sastta Jawa Kuno Fakultas Sastra Unud ...................................

92 - 103



A GLlMPSE ON ENGLlSHES: AMERICAN, BRITISH
AND AUSTRALIAN ENGLISH
I Gede Budiasa
English Department, Faculty of Letters
Udayana University ...................................................................... 104-114




ABREVIASI DALAM BAHASA BAU :
CARA MEMBACA DAN MEMAHAMI 'SINGKATAN
DALAM NASKAH BERAKSARA BAU
I K.etut Ngurah Sulibra
Jurusart · Sastra Bali Fakultas Sastta Unud ................................ 115 -126

Pedoman Bagi Penulis UntukJurnal
Ilmu-ilmu Budaya PUSTAKA .............................................................. 127 - 128

11

KATA PENGANTAR

Studi kebudayaan, lebih khusus lagi studi agama di Indonesia yang
menggunakan skala makro akan berhadapan dengan. masalah-masalah yang
berkaitan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk, pandangan
keagamaan yang cenderung tertutup clan eksklusif, globalisasi clan berbagai

dampak yang ditimbulkannya. Studi yang dilakukan J.S. Furnivaal dalam
Netherlands India: A Study of Plural Economy (1944), misalnya telah
menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda ·
merupakan suatu masyarakat majemuk, yakni suatu masyarakat yang terdiri
atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada perbauran satu
sama lain terutama di dalam suatu kesatuan politik. Di dalam kehidupan politik
masa itu, tanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang majemuk adalah
tidak adanya kehendak bersama di antara berbagai kelompok masyarakat yang
ada. Masyarakat Indonesia masa kolonial, bila dilihat sebagai keseluruhan.
Terdiri atas elemen-elemen yang satu sarna lain saling terpisah, masing-masing
lebih merupakan kumpulan individu daripada sebagai kesatuan politik yang
orgarus.
Dalam bagian lain dari studinya itu, Furnivall juga menyatakan bahwa di
dalam setiap masyarakat senantiasa terdapat konflik kf':pentingan antarberbagai
kelompok dan dalam masyarakat majemuk seperti itu, konflik kepentingan itu
menemukan sifatnya yang lcbih tajam, karena perbedaan-perbedaan ekonomi
jatuh bersamaan dengan perbedaan rasial.
Clifford Geertz tampaknya juga setuju dengan konsep masyarakat
majemuk yang diajukan Furnivall, dan kemajemukan ini dilihatnya masih
terbawa sampai ke masa pasca-kemerdekaan Indonesia (Clifford Geetz, The

Integrative Revolution, dalam Clifford Geetz (ed) Old Societies and New
Nations, 1963). Han ya Geertz melihat pluralisme masyarakat tidak lagi bersifat
vertikal, karena situasi clan kondisi politik telah berubah, kekuatan politik.
koloriial yang· menjaga status quo kemajemukan masyarakat Indonesia atas
dasar perbedaan ras, akses dan kontrol pada kekuasaan politik clan ekonomi
itu bersamaan dengan berakhirnya Perang Dunia Kedua, telah mengalami
kehancuran. Sejak Indonesia merdeka, negara bangs a ini telah dihadapkan pada
111

Volume Xlll, No. 1 • Februari 2013

pluralisme horizontal, yaitu pcngelompokan masyarakat Indonesia yang lebih
banyak diikat oleh apa yang disebut Geertz, ikatan-ikatan primordial, seperti
ikatan-ikatan kekerabatan, ras, bahasa, daerah asal, agama clan suku bangsa.
Primordial inila.h sebenarnya merupakan pengikat asli masyarakat Indonesia,
clan· atas dasar. ikatan itulah pengelompokan-pengelompokan masyarakat
Indonesia tumbuh clan berkembang, baik dalam organisasi-organisasi sosial
informal clan formal, asosiasi-asosiasi, organisasi massa, pemerintahan, partai
politik, maupun pada organisasi-organisasi yang bertujuan ekonomi.
Tidak ada yang salah dalam kondisi masyarakat yang demikian itu,

persoalan kemudian adalah ketika proses-proses kemajemukan itu, dipandang
sebagai sesuatu yang telah selesai, certutup clan tidak mungkin berubah. Kondisi
ini kemudian c{iberi tatnbahan masalah krusial ketika sporadis itu berhadapan
dengan kekuatan globalisasi dan modernisasi. Dalam Konteks inilah kemudian
I Gusti Ketut Gde Arsana dalam tulisrui "MelacakJejak Gerakan Transnasional
Revolusioner Bermotifkan Agama di Indonesia" melihat gerakan keagamaan
berhadapan dengan gerakan kapitalisme yang mendorong ideologi Barat.
Ideologi kapitalisme itu, telah menciptakan manusia-manusia semu yang
telah kehilangan jati dirinya secara azali, manusia-manusia temporal yang
lebih mengedepankan hawa nafsu libidal. Ideologi kapitalisme cenderung
melahirkan manusia-manusia yang semakin tergantung pada produk-produk
kapital yang nota-bene berasal dari Barat.
Gangguap kapitalisme itu sendiri melahirkan gerakan-gerakan
revolusioner keagamaan, yang antara. lain dalam bentuk pencarian otertsitas
keagamaan dengan kecenderungan pandangan tertutup sehingga melihat
hal lain sebagai sesuatu yang harus dilawan dan ditindak dengan kekerasan.
Perlawanan terhadap globalisasi yang menyuburican kapitalisme itu, juga
mendapat perlawanan dengan caranya sendiri juga tampak di kawasan turistik
Kuta sebagaimana diungkapkan IGN A Eka Darmadi dalam tulisan "Diaspora
Ruang Global di Kawasan Turistik: Dominasi Neokapitalisti.k atas Identitas
dan Ruang Budaya". Gerakan ini tidak saja dalam bentuk persaingan akses
ekonomi, tetapi juga memperkuat identitas diri.
Proses pencarian identitas diri itu, juga dibicarakan Jiwa Atmaja dalam
Sang Diri di Depan Cermin Lll.can: Kajian Psikoanalisis Puisi
tulisan GセォオB@
GセォオB@
Chairil Anwar" sebagai proses individu menu ju tingkat kedewasaan yang
ketika direpresenta·sikan secara verbal akan ·berhadapan dengan "sang liyan"
dalam bentuk ayah, bahkan ideologi negara. Dalam kajian ini, juga ditemukan
hubungan antara vitalitas kepenyairan Chairil Anwar dengan kepadatan katakata yang membangun larik-larik puisi bebas, yang individualistik.

IV

I
I

Soal globalisasi itu, juga diingatkan I Gde Parimartha bahwa globalisasi
telah tampak di Bali pada abad ke- 16--ke-17, melalui perdagangan be bas,
yang belum menunjukkan kekuatan macam apa yang dimiliki Bali dalam
:nenghadapi globalisasi, kecuali kekuatan untuk mendorong orang asing
datang ke Bali.
Dengan sejumlah tulisan lain, yang menarik untuk dibaca juga disajikan
dalam terbitan Pustaka kali ini. Semoga bermanfaat bagi pembaca, terutama
para mahasiswa Fakultas Sastta Universitas Udayana.

v

MELACAK JEJAK GERAKAN TRANSNASIONAL
REVOLUSIONER BERMOTIFKAN AGAMA
DI INDONESIA
I Gusti Ketut Gde Arsana

f urusan Antrpologi Fakultas Sastra Unud
Abstract:
This paper describe< the revolutionary movements which have religious motive i.t1 Indonesia
by showing its connection with similar movements elsewhere. This religious movements,
there are only carry out enlightenment mission (dak'wah). However, they also tend to reflect
resistance forms that generally appears as a sense of concern for the excesses brought about
by the spread of modernization in all aspects. It was also found , sometimes also lead to violence.

Keywords: Movement, Religious and modernization

1.

Pendahuluan

Dari semua realitas yang ada agama tampaknya mengundang daya tarik
tersendiri untuk diperbincangkan, terlebih-lebih ketika simbol-simbolnya
dihadirkan ke dalam pelaku tindak kekerasan, seperti yang marak terjadi dalam
pertengahan dekade 90-an sampai menjelang akhir 2009 clan tampaknya juga
belum berakhir sainpai belakangan ini, di Indonesia. Pada pertengahan dekade
90-an kita banyak terusik oleh berbagai tindak kekerasan yang berlatar belakang
isu SARA, seperti kasus Ambon, Poso, Sampit, clan sebagainya. Kemudian,
bersamaan itu pula menjelang akhir dekade 90-an negeri ini juga diusik oleh
munculnya berbagai isu sektarian yang tampaknya masih menyisakan agenda
sampai kini, seperti Pemurtadan ajaran agama yang dialamatkan terhadap
Jamaat Ahmadiyah. Belum tuntasnya isu-isu tersebut, negeri ini masih harus
dihadapkan kepada kemunculan kembali gerakan-gerakan bermotif agama
seperti isu terorisme yang mengusung atribut-atribut yang lazimnya terdapat
dalam institusi agama Islam. Belum lagi persoalan-persoalan tersebut tuntas,
isu-isu gerakan separatis, Seperti RMS di Maluku clan GPK di Papua serta
gerakan-gerakan yang mengaral1 kepada deideologi Negara turut menambah
panjangnya agenda persoalan dalam negeri. Keterlibatan lembaga pendidikan
yang berbasis agam_a (kasus _Jawa セS。イエ@
clan Sumbawa) yang disinyalir juga
menjadi sarang gerakan separatisme juga mewarnai problem kedudukan
Negara clan agama di Indonesia yang masih dipersoalkan.
Apa pun itu motifnya, tetapi yang pasti bahwa semua persoalan tersebut

1

berrnuara clari persoalan "tuntutan akan aclanya rasa keaclilan'', yang selama ini
dirasakan sernakin mengalarni disparitas. Hal itu, utarnanya disebabkan oleh
aclanya distribusi yang timpang clalam pemenuhan kebutuhan clasar hiclup
manusia, baik secara material maupun inrnaterial.
Keclua macarn kebutuhan clasar rnanusia tersebut menjadi sangat azali
clan clengan clernikian, ia akan senantiasa hadir utamanya rnanakala salah satu
di antaranya menghaclapi ketimpangan. lclealnya, di sarnping keclua-cluanya
rnesti dipenuhi tetapi juga keclua-duanya harus beracla di clalarn hubungan
yang bersirnbiosis pacla diri manusia. Wacana "rne-rnanusia-kan manusia",
tidak lain aclalah sirnbiosa dari keclua kebutuhan itu. Pertanyaannya, mengapa
manusia perlu di-manusia-kan lagi? Jawabannya yang paling urnum adalah
karena manusia telah clan atau sedang kehilangan "jati diri"-nya yang azali (an
authentic-self). Merajalelanya kemelaratan, peninclasan, perang, krisis moral,
clan atau krisis kcmanusiaan di berbagai belahan clunia, mengindikasikan
telah berlangsungnya apa yang sering disebut sebagai: gejala clehumanisasi,
clemoralisasi clan istilah lainnya seputar bencana krisis kernanusiaan yang
sangat serius.
Kapitalisme dengan icleologi iklannya yang diintrocluksi Barat, sering
dituding rnenjadi salah satu biang clari scrnua tragedi itu. Icleologi kapitalisme
tersebut telah menciptakan manusia-manusia sernu yang telah kehilangan jati
dirinya secara azali, manusia-manusia temporal yang lebih mengeclepankan
hawa nafsu yang libiclal. lcleologi kapitalisrne cenderung melahirkan manusiamanusia yang semakin tergantung dari produk-produk kapital yang nota-bena
berasal clari Barat; Moeslim Abdurrahman (2003) rnenyebutnya sebagai the
consumer society. Kondisi semacarn itu biasanya sangat rentan mengusik
munculnya motivasi gerakan moral pembebasan yang scringkali dimotori oleh
tokoh-tokoh keagarnaan.
Kehadiran gerakan-gerakan revolusioner berbasis agarna atau lebih
dikenal dengan "teologi pembebasan" dengan mengarnbil bentuknya secara
beragam, seringkali lahir terinspirasi dari persoalan-persoalan semacam
itu. Misi yang diembannya utamanya adalah bertujuan untuk membebaskan
manusia dari nafsu keangkaramurkaan dan menuntunnya menemukan kembali
jati dirinya sebagai insan Tuhan. Di lain pihak gerakan-gerakan yang bermotif
keagamaan yang mengarah kepada pertanyaan-pertanyaan seputur kesesuaian
ideologi Negara yang -Sekalipun secata konstitusional telah dianggap final,
tetapi bagi kalangan tertentu masih sering dipandang menjadi persoalan.
Maraknya gerakan-gerakan terselubung ("Gerakan Bawah Tanah") yang
bercita-cita menerapkaQ. Syariat Islam, sejak berdirinya Republik ini masih

.l.

terus menggulir sampai belakangan ini.
Alih-alih bermaksud menegakkan kembali iman (kembali ke jalan
Tuhan) aktualisasi clan atau program aksi clari gerakan-gerakan yang berbasis
keagamaan itu seringkali terjebak ke clalam konflik; visi yang diusungnya
tidal-:: selamanya menuntun manusia (umatnya) ke jalan fitrah tetapi justeru
tergelincir ke jalan kekerasan. Ambivalensi sikap semacam ini akan menjadi
pokok bahasan dalam memahami relasi antara agama dan politik kekerasan
seperti yang marak clapat disaksikan di Tanah Air, sampai belakangan ini.

2.

Sifat Ambivalensi pada Agama

Di bandingkan dengan realitas lainnya, seperti politik clan ekonomi,
agama menempati posisi yang unik dalam jantung kehiclupan manusia. Jika
ekonomi secara langsung dan konkret bersentuhan dengan pemenuhan
kebutuhan manusia secara fisik, maka agama ticlakiah clemikian. Agama
adalah realitas langit, bersumber clari realitas ontologis yang mutlak, sehingga
pembumian clan pemanusiaan agama melewati rentang antropologis, sosiologis
clan historis yang berliku clan panjang.
Dalam diri manusia memang terclapat potensi religious (fitrah
majbulah), sehingga dipanclang dari suclut ini, agama yang dihadirkan melalui
proses pewahyuan melalui utusan Tuhan "sekaclar" mengafirmasikan potensi
tersebut. Meskipun clemikian, penerimaan seseorang kepada agama sampai
pacla proses fungsionalisasinya ticlaklah seketika. Adanya jarak waktu, sejarah
clan geografi, fungsionalisasi agama pertama-tama akan menghaclapi persoalan
otentisitas. Beberapa ahli agama biasanya yakin, bahwa persoalan otentisitas ini
clapat diatasi jika manusia (umat) kembali ke akar tradisi agama yang otoritatif,
yaitu kitab suci. Namun, persoalannya ticlak clapat diselesaikan clengan sebuah
retorika yang seseclerhana itu, sebab kanclungan bahasa dalam kitab suci
memberi peluang seluas-luasnya bagi munculnya beragam panclangan (tafsir)
yang sangat menyulitkan mana yang bisa dianggap paling otentik, kecuali sebatas
pada truth claim saja yang dilakukan oleh masing-masing paham tersebut.
Sejarah perkembangan 。ァセ@
ternyata cukup direpotkan oleh p!'!rsoalan ini,
karena clemikian banyaknya paham keagamaan yang san:ia-sama bersikuknh
terhaclap hasil pengembaraan hermeneutiknya guna menemukan apa yang
dianggap paling otentik dari paham keagamaan yangdikembangkan. Meskipun
jalan berliku pengetahtian (termasuk pengetahuan agama) clapat menjebak
seorang pengembara ke clalam apa yang disebut sebagai "ilmu pengetahuan
palsu" (pseudo-science) utamanya ketika telah menclapat rekonstruksi clan

3

menjadi ideologi; yang oleh Marx dikatakan sebagai ilmu tentang kesadaran
palsu (false consciousness) (Piliang, 2003).
Di samping persoalan otentisitas di atas yang memang melekat dalam
agama itu sendiri, fungsionalisasi agama berhadapan dengan realitas yang ada
di luar dirinya yang terlebih dahulu mempunyai struktur yang mapan. Dalam
kajian sosiologi realitas ini disebut dengan realitas sosial agama (the social
reality of religion). Bagaimana ::iengaruhnya terhadap agama? Jelas, agama
tidak lagi dapat memposisikan clan menjalankan perannya secara monolitik,
tetapi harus berbagi fungsi dengan instititusi sosial lainnya yang memang
telah memiliki fungsi pokok (functional imperative) yang berbeda. Seperti
dalam teori sistem-nya Talcott Parsons, agama berfungsi memberi makna
clan orientasi yang eksistensial tcrhadap realitas yang paripurna. Sedang
ekonomi menjalankan fungsi penyesuaian (adaptation) dengan dunia luar
secara fisik maupun organik; Dan politik menjalankan fungsi untuk mencapai
tujuan-tujuan kolektif. Idealnya, masing-masing institusi itu berada dalam
keseimbangan dinamis-stasioner (homestatic equilibrium) sebagai prasarat
terciptanya integrasi dan menghindari adanya dominasi antarinstitusi yang
satu dengan yang lainnya (Parsons, dalam: Suwarsono, 1991).
Namun, realitas empirik tidak selamanya menampilkan perkembangan
yang demikian. Jika kita menapaktilasi kembali jejak-jejak realitas kebudayaan
manusia, akan dijumpai adanya persaingan, pertentangan, bahkan adanya
dominasi atau hegemoni, yang dapat memarginalkan salah satu atau mungkin
beberapa institusi sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks semua
perkembangan itu, agama mempunyai catatan sejarah kelabu, yaitu pada saat
episteme manusia dalam hegemoni rasio. Itu terjadi pada abad ke-19 dan
ke-20 yang dikenal sebagai zaman modern. Padahal, pada abad sebelumnya,
agama cukup mendominasi episteme manusia di mana pemaknaan terhadap
semua realitas secara absolut merujuk kepada penjelasan agama. Namun,
ketika zaman modern muncul, realitas berkembang secara terbalik. Agama,
seperti dikatakan oleh Saint Simont, tidak lagi menjadi institutionalizing force
(kekuatan yang mclembagakan semua kehidupan), tetapi secara sistematis dan .
sistemik digantikan oleh akal-kecerdasan manusia (KJ. Veeger, 1990). Melihat
perkembangan yang seperti itu, tidak saja Saint Simont, banyak juga kalangan
ilmuwan sosial yang lain, terutama yang berpikir dalam kerangka paradigma
bahwa legitimasi agama
positivis-sekulari::;tik, sampai pada .suatu ォ・ケ。ゥョセL@
dalam memberikan pemaknaan terhadap realitas berakhir, clan digantikan oleh
ilmu pengetahuan yang nyata-nyata mampu membawa kemajuan kehidupan
manusia secara konkret. Nictzxche bahkan menggambarkannya secara lebih
4

ij,
,,

i•:

ekstrim, bahwa gerak sejarah akan mengarah kepada bentuk nihilisme yang
radikal yangditandai dengan "kematian Tuhan" (St. Sunardi, 1996). Terbuktikah
keyakinan semacam itu? Agama ternyata tetap eksis dalam perkembangannya.
Sebagai . bukti tetap eksisnya agama itu, justru belakangan ini kehidupan
spiritualitas manusfa memperlihatkan antusiasme yang bisa dikatakan sebagai
proses pembangkitan kemhaµ kehidupan spiritualitas manusia. Will Durant
(dalam:Syamsul Arifin, 2005) menyebutnya agama itu memiliki seratus jiwa,
sekalipQn harus tetap mempertimbangkan realitas clan tantangan eksternal
yang sangat potensial memarginalkan agama. Hal itu dapat terjadi manakala
agama gagal memberikan respon yang memuaskan clan meyakinkan manusia
sesuai dengan perkembangan epistememanusia.
Agama memang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari,
karena ia sendiri sebagai realitas sosial, yakni sebagai hasil konstruksi para
pemeluknya. Meskipun secara ontologis bersuµiber dari realitas yang tunggal,
maka yang terlihat pada perkembangan selanjutnya agama: menjadi. gejala
psikologis, kultural dan pengelompokan sosial. Dalam konteks ini, jッセォyエゥョァ@
(1999) memetakan ke dalam tiga kemungkinan yang akan mewarnai ruang
sosial keagamaan di dalam masyarakat. Pertama, agama melakukan penetrasi
terhadap kehidupan sosial clan kultural masyarakat yang berkecenderungan
melahirkan pandangan-pandangan yang lebih mengedepankan "absolutisme
identitas". Identitas dipandang sebagai sebuah kepastian yang sudah
"given", yang sakral, tak boleh diubah clan tak boleh dicemari oleh unsurunsur luar. Kecenderungan semacam ini dapat saja mengembangkan sikapsikap eksklusivisme, yang menempatkan orang clan atau kelompok tertentu
sebagai entitas berbeda clan terpisah secara absolut (contoh peng-kafir-an).
Kedua, agama dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal · yang menekankan
terjadinya pertukaran budaya (cultural exchange) secara terbuka; persilangan
norma-norma clan nilai-nilai, peleburan batas-batas serta eklektisisme dalam
berbagai bentuk ekspresi. Ketiga, terjadinya dialektika antara kedtianya yang
berkecenderungan melahirkan pandangan inklusivisme yang bersikap kritis.
Menurut Ahmed Gurnah (1997), setiap ·pertukaran budaya agama yang
disertai dengan sikap keterbukaan yang bersifat kritis
sehat itu ィセゥイオウャ。@
(critical openness) sehingga memungkinkan berkembangnya mek-..anisme
"saringan budaya" (cultural filtei) untuk menjaga identitas agama itu secara
eksistensialnya. _
Dagaimanapun prosesnya, suatu hal yang sudah pasti ketika agama
telah direkonstruksi oleh pemeluknya adalah terjadinya keragaman atau
. kemajemukan pandangan. Dari sinilah awal munculnya konflik baik yang

5

Volume XIII, No. 1 • Februari 2013

bersifat internal maupun eksternal. Dengan mengatakan kemajemukan
agama (pandangan beragama) potensial memendam benih-benih konflik
bisa mengundang kontroversi. Karena meskipun secara eksoteris terjadi
perbedaan pandangan beragama, secara esoterik semua agama mengajarkan
hal yang sama, yakni tentang cinta kasih, rahmat, dharma. Tetapi memang
begitulah ambivalensi yang akan terjadi pada agama ketika berhadapan dengan
realitas kemajemukan. Di satu sisi, dengan ajaran cinta kasihnya itu, agama
menjadi faktor perekat sosial (uniting !actoi). Namun, di sisi lain, agama juga
seringkali menjadi faktor pemisah atau pemecah (deviding !actoi). Lalu kenapa
agama bisa terjebak pada ambivalensi? Pertama, karena dalam agama terdapat
kecenderungan absolutisme. Ini merupakan kecenderur1gan universal yang
terdapat pada semua agama. Adanya keyakinan bahwa agama yang dipeluknya
bersumber dari Tuhan, realitas yang absolut (absolute realitj), dengan
sendirinya membawa implikasi epistemologis bahwa agama yang dipeluknya
mengandung kebenaran mutlak, suatu kebenaran yang harus diterima dan
dipercayai.
Masalah muncul ketika -apa yang dianggap benar mutlak tersebut
dihadapkan dengan apa yang dianggap benar mutlak pula yang berasal dari
agama lain. Karena begitu yakin terhadap kebenaran agama yang dipeluknya,
klaim kebenaran (truth claim), yang memunculkan klaim penyelamatan
(salvation claim), menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Dari sudut
sosiologis, truth claim dan salvation claim telah menjadi sumber konflik
sosial, politik, yang membawa berbagai macam ketegangan bahkan perang
antaragama.
Kecenderungan absolutisme di atas, seringkali dapat memunculkan
kecenderungan ekspansionistik, yakni kecenderungan untuk menyebarluaskan agama kepada orang lain. Sedikitnya terdapat dua alasan mendasar
yang mendorong munculnya sikap ekspansionistik. Pertama, adanya
pandangan agama selain yang dipeluknya tidak benar, sesat, kafir, yang perlu
diluruskan kembali. Tindakan pelurusan kembali dengan demikian dipandang
sebagai tugas suci yang harus dilaksanakan bagi setiap pemeluk agama. Kedua,
secara sosiologis penyebaran agama dalam rangka memperkokoh komunitas
keagamaan yang telah ada. Dengan semakin banyaknya jumlah pemeluk
agama, semakin kuat pula agama tersebut secara sosiologis. Apabila setiap
agama memiliki kecenderungan semacam "itu, maka ketegangan hubungan
antarkomunitas keagamaan- akan selalu mewarnai kehidupan masyarakat.
Pemahaman arti tugas suci agama seperti itu seolah mendapat legitimasi agama;
clan manakala dalam realitasnya memperoleh dukungan dari lembaga-lembaga
6

-'----

keagamaan, maka penghalalan berbgai tindakan kekerasan memperoleh
jastifikasi, karena dipandang telah mendapat legalitas yang bersifat sacral (sacred
canopj). Banyak contoh kasus kekerasan/ keberingasan massa yang berak::ir
dari fondasi pemahaman bcragama semacam ini yang mewarnai kehidupan
beragama di Indonesia. Praktik-praktik yang berdalih untuk melaksanakan
agenda purifikasi (pemurnian) agama clan ataupun yang berdalih sebagai upaya
penegakan moral yang terjadi di negeri ini clan seolah mendapat legalitas
secara institusional misalnya, menunjukkan bahwa masih berkelanjutannya
agenda-agenda puritanisasi maupun proselitanisasi di pelbagai tempatdi Tanah
Air. Agenda ini secara gemilang telah berhasil memberangus ratusan aliran
kepercayaan yang sebenarnya telah hidup ribuan tahun sebelum masuknya
。ァュMセ@
besar di Indonesia (Ahmad Baso, 2005). Adanya fatwa MUI,
tampaknya sering dipahami sebagai seolah-olah "mandat'' untuk melegalisasi
pembenaran berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan orang-orang tertentu
terhadap sesamanya. Gejala semacam itu juga terlihat dalam kasus penyesatan
terhadap sempalan agama yang dinamakan Jemaah Ahmadiyah. Fatwa MUI,
seakan menjadi senjata ampuh dalam menyikapi keberadaannya di Tanah Air.
Dampak dari caranya dalam menyikapi berkembangnya aliran tersebut telah
menyebabkan terlantarnya warga Ahmadiyah di berbagai wilayah, sampai
belakangan ini. Kasus kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah di sekitar Nusa
Tenggara Barat khususnya di pulau Lombok dapat dirujuk di sini. Hampir 7
tahun lamanya, yakni sejak peristiwa Pancor di Lombok Timur (2002) sampai
peristiwa Ketapang di Lombok Barat (2006) mengakibatkan tak kurang dari
300 warga Ahmadiyah di wilayah tersebut, sampai saat ini masih terisolasi
dan hidup di pengungsian. Hal itu terjadi akibat gagalnya proses reunifikasi,
lantaran kedua kubu tetap bersikukuh untuk mempertahankan keyakinannya
masing-masing yang dianggapnya paling benar (Arsana, 2009).
Begitu pula, kasus-kasus pencrtiban yang lebih dikenal dengan aksi
'swipping-nya", seperti yang sering terjadi di saat-saat menunaikan ibadah
puasa di bulan Ramadhan, dengan jelas juga menunjukkan adanya ambivalensi
sikap beragama ketika agama dihadapkan pada realitas. Agama yang semestinya
dapat menyantuni kejiwaan manusia yang haus akan hadirnya ruh ketuhanan ·
(rahmatan iii alamin)i, direkonstruksi menjadi klaim pembenar untuk
melampiaskan berbagai tindakan kekerasan, yang sesungguhnya tidak pernah
ada dalam ajaran agama itu; clan bah!:\.an sangat bertentangan dengan qaidahqaidah agama.

7

Volume Xlll, No. 1 • l:'ebruari L.U!

3.

j.

Gerakan Transnasional Revolusioner Bermotif Keagamaan

Gerakan-gerakan revolusioner bermotif keagamaan atau populernya
juga disebut Bエセッャァゥ@
pembebasan" baik yang sebatas hanya mengemban
misi pencerahan (dakwah) maupun yang mengarah kepada bentuk-bentuk
perlawanan (resistensi) yang umumnya muncul di seputaran abad ke- 20-an;
didorongoleh adanya rasa keperihatinan terhadap ekses-ekses yang ditimbulkan
oleh merebaknya modernisasi dalam segala aspek kehidupan manusia.
Modernisasi yang porosnya berasal dari epistemologi Barat, di satu sisi
memang telah gemilang mengantarkan manusia paC:.a kesejahteraan material
tetapi pada saat yang bersamaan, bencana muncul di mana-mana. Perebutan
sumber-sumber produksi yang berlanjut dengan munculnya perang di berbagai
belahan, kelaparan, penindasan sampai pada tirik krusial terjadinya degradasi
moral di mana-mana. Sekali lagi, semua itu dapat dirujuk sebagai apa yang
manusia menjadi semakin
disebut "tragedi kemanusiaan"yang sangat ウ・セオ[@
jauh dari hakikat dasar dirinya, yaimi sebagai insan Tuhan yang bertaqwa.
Berkaitan dengan kondisi tersebut, banyak pihak menjadi prihatin. Agama
sebagai salah satu benteng dalam penegakan moral manusia, dengan beragam
bentuknya mengambil bagian untuk mengemban misi yang bertujuan untuk
menyadarkan umatnya agar kembali ke jalan fitrah.
Kegiatan-kegiatan misi semacam itu tampak menguat di sekitaran
tahun 60-an dengan kemunculan dari organisasi-organisasi keagamaan,
seperti di antaranya: gerakan teologi yang dimotori oleh Uskup Agung
Rio de Janeiro yang bermarkas di Amerika Latin. Gerakan teologi tersebut
secara aktif menentang kehadiran kapitalisme Barat di negeri itu, yakni yang
menyasar pada munculnya perusahan-perusahan trans-nasional (fNE: transnational enterprise) yang dikenal mengusung etika protestan kalvinistiknya,
yang selanjutnya banyak dipelajari Max Weber (2003). Perlawanan terhadap
dominasi pemsahan-perusahan trans-nasional tersebut terus berlanjut, yakni
ditandai dengan munculnya "gerakan Operasi Harapan" (Acao-esperanza)
yang mengambil bentuk sebagai "gerakan teologi pembebasan".
Di kawasan-kawasan lainnya, gerakan bermotif keagamaan semacam
itu juga: muncul seperti di· Flipina, Korea Selatan, clan Hongkong; yang
umumnya dimotori oleh gereja-gereja Katolik setempat. Di India, ada dua
orgartisasi besar yang berpengaruh yang pada hakikatnya juga mengemban
misi yang sama seperti: "gerakan spiritualnya Mahatma Gandhi" yang dikenal
mengusung prinsip ahimsa clan satyagraha-nya clan, Vinoba Bhave dengan
"revolusi spiritualnya" serta Swami Agnivesh dengan dengan "gerakan
8

keimanan clan land-reform-nya; yang selanjutnya, banyak dianut oleh sekte
Hindu Aria Samaj (Abdurrahman Wahid, dalam: Muh.Shaleh Isre, 1999).
Di bagian lainnya, Islam juga telah ban yak mengambil bagian dalam misimisi semacam itu yang biasanya bertujuan untuk "meng-Islam-kan Muslimin"
atau menegakkan kembali "syari ah.
Dalam perjalanannya, baik disebabkan oleh kondisi-kondisi geo-sosio
clan politis, maka gerakan-gerakan penegakan "syariah" semacam itu seringkali
berkembang secara beragam. Abdurrahman Wahid (dalam: Muh. Shaleh Isre,
1999) mensinyalir, gerakan-gerakan Islam di Indonesia secara umum meliputi
spektrum yang membentang antara dua titik diametral: di satu pihak, ada
motivasi untuk mewujudkan sebuah "kerajaan Tuhan" di muka bumi"; clan di
pihak lain, penolakan sasaran perjuangan seperti itu. Sejalan dengan pemikiran
Abdurrahman Wahid, dalam tulisan Koentowijoyo (1993) diuraikan pula arah
perkembangan dari gerakan-gerakan Islam di tTnah Air meyempal ke dala..-n
dua kelompok, yaitu: pertama, kelompok sempalan dalam arti agama, clan
kedua kelompok sempalan dalam arti politik.
Kelompok sempalan pertama dapat dikenal dalam gerakan-gerakan
seperti Dari.JI Hadits, Islam Jama ah, clan sebagainya. Gerakan-gerakan
ini juga muncul sebagai reaksi dari merebaknya ekses-ekses modernisasi di
dalam kehidupan masyarakat yang sering tanpa disadari telah menyebabkan
kaum muslimin semakin terpinggirkan, serta semakin kehilangan pegangan
dalam mengahadapi proses sosial baru; atau istilahnya: "atomisasi Islam".
Polarisasi yang semakin manajam yang dibawa oleh peradaban modern,
mengakibatkan banyak orang merasa terlempar clari solidaritas komunalnya
yang baru. Kemudian ketika dikondisikan lagi oleh sebab-sebab yang lainnya
(ekonomi clan psikologis) mendorong mereka untuk mencoba menemukan
bentuk soliclaritas baru. Itu sebabnya mereka terclorong untuk membentuk
jamaah, yaitu semacam peguyuban sebagai wadah interaksi sosial alternatif
dalam upaya menemukan kembali identitas kolektif mereka yang hilang.
Waclah semacam ini clalam sosiologi disebut umwelt, yakni, tempat di mana
orang biasanya berlindung clari adanya tekanan fsikologis. Dengan demikian,
di clalam wadah ini pula mereka clapat berinteraksi clan atau berkomunikasi
antarsesama berdasarkan keseragaman irama. Masjid, Musola, Pesantren clan
atau tempat-tempat pengajian lainnya, biasanya merupakan waclah-wadah
yang umum ditemukan clalam proses sosial semacam itu.
\Valaupun wadah. itu dirasakan sebagal sarana · untuk menemukan
keserasian sosial, tetapi sesungguhnya mereka juga akhirnya kehilangan diri
mereka sendiri, kehilangan kebebasan pribadi yang dipengaruhi oleh hubungan
9

patronistik yang biasanya kuat dianut dalam tradisi umwelt semacam itu.
Guru-guru (Kyai, atau Ustad) sering dipandang memiliki otoritas yang absolut
sehingga dapat menyebabkan para peserta umwe/thanya dapat bertindak sesuai
dengan perintah-perintah yang diintrodoknir oleh Sang Ulama terse but. Mereka
harus taat kepada norma-norma setempat termasuk melaksanakan semua
perint.ah pemimpinnya. Kehidupan dalam wadah semacam itu juga seringkali
dapat mengembangkan sikap-sikap ekslusif untuk berupaya menjauhkan
diri dari dunia sekitar. Mereka sering menafikan hubungan interaksi dengan
orang-orang di luar kelompoknya, termasuk juga orang-orang Islam sendiri
yang berbeda. Ada pula yang
yang dipandangnya memiliki paham ォ・。ァセョ@
menetapkan larangan untuk tidak mengikuti siaran-siaran berita seperti televisi,
radio, koran-koran tertentu, utamanya yang tidak berpihak kepada Islam.
Kendatipun di masa-masa yang lalu ada sejumlah orang yang juga tergabung
dalam gerakan Darul Hadits maupun Islam Jama'ah terlibat sebagai partisan
partai-partai politik, seperti: di Lemkari milik Golkar, di Jamiatul Muslimin
milik PNI, clan ataukah di Ikhwanul Muslimin milik PKI; namun hal itu hanya
dilakukan selJatas untuk memperoleh perlindungan politik semata clan bukan
kekuasaan. Dengan begitu, umumnya mereka menjadi tidak militan.
Berbeda halnya clengan kelompok sempalan kedua, biasanya memiliki
kecenderungan berkarakter politis sehingga memiliki kecenderungan menjadi
militan. Di antara mereka yang tergabung clalarp. kelompok sempalan kedua ini
masih dapat dibedakan lagi ke clalam dua karakternya secara khusus: kelompok
militan yang tidak ekstrim terhadap Negara sekuler sekalipun mereka terus
melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang dipandangnya tidak
berpihak kepada kaum Muslimin yang tertinclas. Mereka tersebut, oleh
Kuntowijoyo disebut sebagai kelompok yang cenderung bergerak "ke kirikirian" clan sekaligus tidak potensial menjadi ancaman bagi Negara.
Sedangkan yang cenderung "ke kanan-kanan"yang umumnya adalah
orang-orang yang frustrasi karena alasan-alasan keagamaan seperti rasa
kecewa terhadap para ulama mereka yang dianggapnya tidak memiliki
kepekaan terhadap eksistensi Islam yang semakin jauh dari qaidah-qaidahnya,
serta kebencian terhadap mereka yang berselingkuh dengan penguasa yang
dipandangnya sebagai kafir atau musuh Islam. Kemudian, mereka mencari
guru-guru agama yang dipandangnya memiliki kesungguhan, komitmen, tekad
serta keberanian ("jihad ) dalarp. membela Islam. Kelompok inilah menurut
Kuntowijoyo berpotensi untuk berkembang menjadi gerakan radikalisme
ekstrim yang dikenal mengusung metode gital -nya, yakni mengedepankan
'jihad Ashghar Gihad terkecil), yaitu jihad yang dilakukan dengan
10

mengangkat senjata, peperangan, clan kekerasan atau juga disebut gital' di
dalam al-Qur'an. Kelompok ini biasanya memanfaatkan pemahaman agama
tersebut sebagai pembenaran untuk berperang melawan bangsa atau Negara
kafir, baik mereka diserang maupun tidak. Mereka sepertinya kurang terkesan
menempuh ibadah pendakwaan Islam melalui jihad yang lainnya, seperri:
jihad Kabir Gihad besar) yaitu menyebarkan ajaran Islam lewat pendidikan
rohani bagi kaum Muslimin. Selain itu, mereka juga cenderung mengabaikan
jihad Akbar Gihad terbesar) yaitu perjuangan melawan hawa nafsu untuk
menciptakan tingkat kesempurnaan budhi pekerti umat Muslimin (Periksa
dan bandingkan dengan: Asep Burhanudin, 2005: 105-162).
Nama organisasi 'jamaah ai-Islamiyah"OI) terutama yang mengusung
misi keagamaan melalm cara-cara kekerasan menjadi semakin populer di
Indonesia, lataran banyak di antara pelaku pemboman yang tertangkap
sejak Born Bali pertama sampai pada peristiwa-peristiwa yang berlangsung
sampai belakangan ini, menyebut-nyebut dirinya sebagai bagian dari jaringan
organisasi tersebut. Pertanyaannya, lalu apakah Jamaah al-Islamiyah itu
memang didirikan berlandaskan pada perangai kekerasan semacam itu, atau
dengan kata lain, apakah benar ia adalah organisasi "terorisme" khususnya
sebelum berkembang di negeri ini. Untuk mengenali asal-usul maupun wajah
aslinya, selanjutnya akan disajikan wajah azalijemaah al-Islamiyah itu menurut
versiJohn L. Esposito danJohn O.Voll (2002).
Sebagairnana di banyak dunia Muslim lain, tahun 1978-1979 tcrbukti
menjadi suatu titik balik politik dalam kehidupan ·Rachid Ghannoushi
sang pendiri Jamaahal-Islamiyah dan pelaku sejarah pergerakan Islam asal
Tunisia.
Buruknya kondisi rli Tunisia (Afrika) serta kenyataan bahwa pergerakan
Islam sering terpinggirkan dalam arena politik meyakinkan Ghannoushi dan
pemimpin-pemimpin pergerakan lain akan perlunya bergerak melampaui
pernyataan ideologis pergerakan. Mereka merasa yakin akan perlunya
menghubungkan Islam secara langsung dan khusus dengan masalah nyata
yang dihadapi masyarakat sehari-hari (politik, ekonomi dan sosial). Islam
harus dipandang sebagai suatu sumber bagi identitas dan juga sumber dari
kebebasan yang sebenarnya bagi semua orang dan masyarakat. Arah baru ini
menempatkan para aktivis Islam pada suatu arah yang akan mengakibatkan
bentrokan dengan sikap non-politik Qur an Preservation Society, pada 1978
mereka dikeluarkan, dicela sebagai reaksioner yang tidak fleksibel. Transformasi
pergerakan dari kekuatan religious kultural menjadi pergerakan sosial politik
diresmikan dengan didirikannya "Islamic Association pada 1979, yakni cikal
11

Volume XIII, No. 1 • t'ebruan -'Vl.:>

bakal dari ''Jemaah al-Islamiyah" itu. Organisasi tersebut'diresmikan bertepatan
dengan bangkitnya revolusi Iran. Wadah organisasi pergerakan tersebut telah
menjadi wadah baru bagi kelompok-kelompok yang biasanya secara informal
mengkonsolidasi diri lewat per:temuan-pertemuan yang tak terorganisir.
Organisasi pergerakan tersebut secara cepat berkembang menjadi sebuah
organisasi aktivis partisipatoris yang terstruktur (memiliki aturan, arah clan
komitmen) terhadap aksi-aksi sosial. Selain itu, mereka juga memiliki dewan
pertimbangan yang terpilih (majlis al-shura). Pergerakan tersebut memiliki
agenda pertemuan atau konfrensi serta aktif mempubiikasikan programprogramnya lewat terbitan yang bernama "al-marifa". Anggota pt>rgerakan
tersebut umumnya adalah kaum perkotaan dengan strata ekonomi menengah
clan menengah ke bawah. Perjuangan utama mereka adalah membela hak-hak
kaum miskin clan tertindas; clan dengan demikian, mendapat simpati luas di
kalangan masyarakat clan juga kalangan mahasiswa.
Ghannoushi dalam kepemimpinannya di Jemaah al-Islamiyah selalu
bicara soal-soal hak kaum pekerja, identi.tas Islam ymg otentik, serta partisipasi
politik yang adiL Dalam era kepemimpinarinya itu, karakteristik Islam yang ia
bangun adalah penegasan kembali keyakinan terhadap ke-esaan Tuhan yang
absolute ( tauhid) clan juga sebagai sumher kebebasan. Pcrgerakan irii berjuang
untuk membangun kembali, membangkitkan kembali, mengislamkan kembali
masyarakat Muslim yang teiah lama terdistorsi oleh budaya Barat yang
modernis yang diyakininya telah mengakibatkan berkembangnya orientasi
Barat yang sekuler, di tengah kehidupan Muslimin. Ia mengemban misi utama:
"pembenahan atau pendifinisian kembali identitas Arab/ IslamTunisia". Hal
tersebut dilatari oleh adanya keprihatinannya yang mendalam berkenaan dengan
merebatnya peradaban Barat modernis di Tunisia sehingga mengakibatkan
orang-orang (Kaum Muslimin) ibarat menjadi wisatawan di negerinya sendiri.
Walaupun cara berpikirnyademikian, ia sesungguhnya tidaksecara ekstrim
menentang Barat apalagi hcl itu ditempuh melalui cara-cara konfrontatif/
kekerasan. Tetapi yang diinginkannya adalah upaya untuk menafsirkan kembali
prinsip-prinsip clan nilai-nilai Islam clan lalu kemudian diimplementasi kembali
untuk kehidupan Muslim modern. Ada sekitar 7 (tujuh) butir yang ditawarkan
sebagai ideologi. alternatif yang dianggapnya paling sesuai dengan kehidupan
Muslim di Tunisia, antara lain: (1) kesempurnaan clan kelengkapan Islam
sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an clan Hadits Nabi Muhammad; (2)
totalitas Islam, petunjuknya bagi kehidupan pribadi clan masyarakat, keyakinan
dan politik, serta kehidupan ekonomi clan social; (3) sifat egaliter masyarakat
Islam, yang merupakan pergerakan social massa yang bersifat populis bukan

12
i."

pergerakan social golongan clan elit tertentu; (4) pencukupan diri Islam, yang
meskipun tidak tergantung pada Barat, dapat terbuka terhadap Barat; (5)
kesatuan clan kepaduan masyarakat Muslim, yang hanya dapat dicapai melalui
pembentukan kembali Negara Islam, !iebuah tujuan yang harus dicapai; (6)
penerimaan nasionalisme sebagai suatu komponen universalitas Islam, bukan
sebagai anti-tesisnya, sebagaimana pendapat beberapa pemimpin Islam lain;
clan [!) pengakuan kebebasan clan demokrasi sebagai prasarat susunan Islam
baru.
Di bagian lain, Channoushi juga sering melontarkan kritik terhadap
pemimpin-pemimpin Islam lain yang dinilainya tidak mau instropektif
terhadap kelemahan pergerakan Islam selama ini yang dianggapnya telah gagal
memperjuangkanislam.Kecenderungan yangadadalam pergerakan-pergerakan
Islam selama ini lebih memfokuskan perjuanganya untuk menegakkan citacita monolitik ketimbang mengapresiasi realita atau keragaman dunia Islam.
Ia juga memandang perjuangan semacam itu menjadi kontra-produktif clan
tanpa disadarinya bahwa hal itu dapat memerosotkan kekuatan clan kejayaan
Islam itu sendiri. Untuk itu Channoushi mendeklarasikan bahwa Jemaah alIslamiyah itu sebagai "ussuliyah waqiyah clan atau suatu fundamentalisme
realistis atau realisme yang otentik ( waqiyah muasalah ).

4.

Kekerasan Berjubah Agama: Politisasi Pergerakan Islam di
Indonesia

Seperti telah disebutkan terdahulu, Abdurrahman Wahid (dalam Muh.
Shaleh Isre, 1999) maupun Kuntowijoyo (2003) mensinyalir bahwa, pergerakan
Islam di Indonesia memang sejak lama ada yang telah mengarah pada
gerakan da1..-wah yang berbau politis. Gerakan-gerakan semacam ini biasanya
berkembang disebabkan oleh adanya pengaruh berbagai faktor seperti: cara
pemahaman ajaran Islam itu sendiri, geo-sosio maupun kondisi politik gelobal
(Islam vs. Barat).
Terutama di Indonesia, peluang untuk mengarahkan gerakan revolusi
Islam seperti itu tampaknya relatif potensial. Hal ini terutama disebabkan
oleh luasnya geografi wilayah, kondisi ekonomi serta terdapatnya kelompokkelompok yang memang secara historisnya memiliki tujuan-tujuan sejalan
dengan pergerakan semacam itu. Kelompok sempalan Islam yang .disebut
Kuntowijoyo beraliran "ke kanan-kananan" terutama yang menganut paham
fundamentalisme radikal, memang telah berjuang di Indonesia sejak masa
awal berdirinya republik ini. Sejarah perjuangan Kartosuwiryo misalnya,
13

vo1umc .l'U.1.1, l'IU. 1 • C"coi:uan -'VlJ

dengan Tentara Nasional Indonesia-nya (fll) sejak lama bercita-cita untuk
mendirikan Negara Islam Indonesia (NII.). Hal tersebut menunjukkan bahwa
memang terdapat benih-benih perjuangan Islam yang bersifat politis yang
tampaknya masih hidup di Indonesia, sampai sekarang. Kendatipun secara
kuantitatif jumlahnya sangat kecil, tetapi kelompok ini biasanya sangat militan.
Hal itu terutama disebabkan oleh adanya etos agama yang diyakininya, yakni
dikenal dengan metode "gital -nya yang memang terdapat dalam al-Qur'an
seperti ajaran tentang jihad ashghar, yang mereka pahami secara simplistik
dan dipandangnya sebagai satu-satunya bentuk pengamalan ibadah. Mereka
umumnya adalah kelompok-kelompok kecil dengan sistem rekruitmen yang
sangat tertutup dan in-breeding. Pemikirannya cenderung ke dalam, tak ada
upaya membuka wawasan maupun cakrawala yang lebih meluas ke luar dan
cenderung menolak input yang terbuka. Radikalisme sikapnya menyebabkan
mereka mudah emosional; alhasil, tradisi berpikirnya cenderung politis.
Mereka memandang Republik Indonesia ini dikuasai oleh "person", yaitu apa
yang oleh mereka sebut Fir aun yang sekuler, kafir, murtad. Oleh karena itu,
penguasa-penguasanya dipandangnya adalah musuh-musuhnya Islam. Dengan
tcsisnya yang simplistik clan sangat mikro ini, tidaklah heran jika terapi yang
ditawarkan pun menjadi sangat simplistik dan nai"f; dengan begitu mereka
sangat mudah didoktrinir tanpa sikap kritis. Dengan demikian pula, mereka
menjadi rentan dari bujukan-bujukan yang berdalih membela agama. Karena
mati untuk membela agama diyakininya sebagai jalan menuju surga (sahid).
Etos semacam inilah selanjutnya berpotensi dapat mendorong mereka untuk
bertindak di luar batasan norma-norma hukum yang berlaku secara universal.
Malahan justru mereka nilai bahwa tindakannya itu adalah cara yang paling
benar untuk sebuah perjuangan dalam menegakkan ataupun membela agama
(Islam). Potensinya yang semacam inilah tampaknya kemudian merelasikannya
dengan pergerakan-pergerakan trannasional yang memiliki tujuan sejenis
seperti Jemaah al-Islamiyah versi al-Qaidah yang kini bermarkas di Afganistan.
Karena pada umumnya, langsung maupun tidak, kelompok-kelompok yang
disebut "teroris" di lnd?nesia, disinyalir dimotori oleh para gembongnya yang
memiliki hubungan dengan organisasi tersebut.
Memang agaknya sulit untuk dipahami clan cenderung membingungkan
apabila aktualisasi dari misi luhur yang diembannya itu kemudian ditunjukkan
dengan cara-cara kekerasan dan atau dengan mengorbankan diri melalui cara
"bunuh diri". Secara rasional, memang agaknya sulit untuk memperoleh
pembenaran. Tetapi yang jelas bahwa fenomena semacam itu adalah merupakan
hasil rekonstruksi ajaran agama yang oleh kelompoknya memperoleh
14



'
セ@t

I.



jastifikasi pembenaran sehingga tertanam sugesti, imitasi clan selanjutnya
menggelorakan emosi clan sentimen yang imajiner. Moeslim Abdurrahman
(2003) berpandangan bahwa, di balik karakter perbuatan seperti itu terdorong
kuat oleh adanya rasa kebersamaan dalam ketersingkiran secara sosial atau
politik, yang bisa diartikulasikan melalui ungk:lpan simbol yang tersedia, yakni
"jihacl'dalam ajaran agama ·Islam, sehingga masuk akal menurut keyakinan
mereka. Tampaknya benar apa yang dikatakan Roland Barthes (dalam:
Yasraf Amir Piliang, 2003). bahwa sebuah teks bukanlah sebaris .kata-kata
yang menan1pilkan scbuah makna teologis tunggal (sabda Tuhan) meiainkan
sebuah ruang multidimensi yang di dalamnya beraneka ragam tulisan, tak
satu pun darinya yang orisinal, bercampur aduk, clan sating berbenturan. Hal
ini ditunjukkan dari pemaharnan tentang makna "jihad" sebagai teks agama
menjadi sangat subyektif clan tergantung "untuk kepentingan apa": kemuclian
memberikan makna terhadap teks tersebut. Jadi "jihad" sebagai jastifikasi
telah menopengi realitas yang sesungguhnya tidak ada. Sebagai sebuah
tanda, "jihad" yang telah digunakan untuk menjelaskan ー・イゥウセキ。Mエ@
masa lampau (dengan konteks ruang, waktu dan tempatnya yang khas), kini
digunakan untuk menjelaskan peristiwa masa kini yang sesungguhnya berbeda
atau tidak ada sama sekali. Terjadi semacam proses dekontekstualisasi tanda
(decontextualisation), yaitu tanda-tanda masa lampau dicabut dari konteks
ruang waktu aslinya (makna aslinya), lalu didaur u!ang (recycled signs) di
dalam konteks ruang waktu yang baru untuk berbagai tujuan, kepentingan
clan strategi tertentu.
Satu ha! yang juga sruna sulitnya untuk dipahami; apa yang menjadi
tujuan dari perbuatan semacam itu?; Para pelaku "born bunuh diri" misalnya,
tujuan imajinernya adalah cara instan menuju surga. Mereka telah terobsesi
oleh suatu keyakinan kuat bahwa apa yang dilakukannya itu adalah bagian
dari dakwah agama yang berpahala tinggi. Dalam imajinasinya, mereka
meyakini bahwa tindakannya itu akan disambut oleh para bidadari untuk
diantarkan masuk surga. Para pelaku born bunuh diri yang terjadi belakangan
ini di Indonesia, dengan demikian populer disebut para "calon pengantin
surga". Hal itu hanyalah hasil introdiknasi dari para pemimpin mereka yang
sangat dipercayainya. Potret semacam inilah tampaknya yang membuat para ·
penganut Marxis mendifinisikan "agama adalah madat bagi rakyat'' (Moeslim
Abdurrahman, 2003). Terilusi ingin masuk surga tanpa menyadari.diri terseret
ke jurang neraka.
Namun yang memiliki tujuan yang agak realistis sesungguhnya ada
pada para pemimpinnya, yakni tujuan politis. Walaupun begitu, mereka ini
15

Volume XIII, No. 1 • Februari. 2013

juga bisa disebut memiliki tujuan yang sifatnya imajiner. Apakah cita-cita '
mendirikan Negara Islam di Indonesia seinstan macam itu caranya? Apakah
dianggapnya cukup hanya dengan berbekal born-born rakitan ataupun yang
agak lebih canggih, sambil berpekik "allahu.akbbar", lalu kemudian bermimpi
melakukan deidiologi Negara tanpa mendapatkan dukungan mayoritas
Muslim lainnya di negeri foi. "ferlebih-lebih (kalau dapat dikatakan) mayoritas
Muslim di Indonesia tampaknya mengutuk keras cara-cara dakwah semacam
itu; terlebih-lebih para gembongnya banyak yang berasal dari luar Indonesia
seperti Malaysia. Di samping imajiner sifatnya, cara-cara perjuangan seperti
itu sangatlah merugikan citta Islam. Berkembangnya wacana yang berstigma
Barat bahwa Islam menyebarkan agama dengan perang (a wal), tampaknya
aksi-aksi semacam ini.
terkonsttuksi 」ャセ@
Abdurrahman Wahid memandang aksi seperti itu sebagai bentuk
petjuangan yang betlandaskan pemikiran "konyol" dan "nihilisme". Karena
menurutnya, tak akan pernah ada yang namanya Negar