T1 802012054 Full text

PERFEKSIONISME PADA REMAJA GIFTED

OLEH
BRIGITA ARDITA INDIRA VINDIASARI
802012054

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagaian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016

PERFEKSIONISME PADA REMAJA GIFTED

Brigita Ardita Indira Vindiasari
Enjang Wahyuningrum


Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016

1

PENDAHULUAN
Di Indonesia, penanganan anak gifted masih belum tertangani dengan baik.
Menurut Van Tiel & Widyorini (2014), kurangnya pengetahuan mengenai anak
berbakat sering membuat anak berbakat mendapat diagnosis yang tidak tepat sehingga
anak mendapat label yang tidak tepat dan tidak perlu sebagai anak yang bermasalah dan
memiliki gangguan. Beberapa dampak dari kesalahan diagnosis yang diberikan, yaitu
penempatan dan layanan pendidikan yang salah mengakibatkan anak gifted menjadi
tidak dapat mengembangkan kemampuan yang mereka miliki dan dapat mengakibatkan
anak tersebut menjadi suka menyendiri, penerimaan sosial yang buruk juga dapat terjadi
sehingga anak berbakat mendapat label yang salah dari masyarakat bahkan dari

keluarga mereka sendiri akibatnya kemampuan mereka yang cemerlang tidak dilihat
namun lebih berfokus pada masalah yang mereka miliki.
Selain itu, program pendidikan anak berbakat di Indonesia masih belum terlalu
diperhatikan, hal tersebut terlihat dari jumlah sekolah yang memiliki program khusus
untuk anak gifted yaitu akselerasi dan percepatan yang masih kurang dan memiliki
berbagai dampak seperti menimbulkan masalah sosial dan emosional yaitu depresi
(Kolsenik,dalam Alsa; 2007). Seharusnya anak gifted mendapatkan pendidikan yang
sesuai dengan kapasitas intelektual dan gaya belajarnya, agar anak gifted ini dapat
mengembangkan kapasitas intelektual yang dimilikinya dan dapat berprestasi dengan
lebih baik.
Kecerdasan intelektual yang dimiliki anak giftedmenurut Wechsler (dalam
Hawadi, 2002) adalah anak yang memiliki IQ di atas 115 dengan tingkatan midlygifted
(IQ = 115 - 129), moderatelygifted (IQ = 130 - 144), dan highlygifted (IQ = 145 ke
atas). Menurut Renzulli, selain memiliki tingkat kecerdasan intelektual diatas rata-rata

2

yang menjadi syarat utama, anak gifted juga memiliki kemampuan kreativitas yang
tinggi, serta memiliki komitmen untuk menyelesaikan tugas yang juga tinggi (dalam
Van Tiel & Widyorini, 2014). Ketiga faktor inilah yang disebut Renzulli sebagai the

Three Ring of Renzulli atau Tiga Cincin Renzulli (Van Tiel & Widyorini, 2014).
Salah satu karakteristik kepribadian yang dimiliki anak gifted adalah
perfeksionisme. Perfeksionisme merupakan salah satu karakteristik kepribadian anak
gifted yang paling penting.Menurut Tjahjono (2002)perfeksionisme merupakan salah
satu permasalahan kepribadian yang mungkin muncul pada anak berbakat.Peters (1996)
mengemukakan bahwa perfeksionisme lebih banyak ditemukan pada individu yang
memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi.Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pruett
(2004) menyatakan bahwa tendensi perfeksionisme terlihat pada siswa dengan
kecenderungan gifted.
Perfeksionisme menurut Hewit dan Silverman (dalam Peters, 1996) adalah
keinginan untuk mencapai kesempurnaan diikuti dengan standar yang tinggi untuk diri
sendiri, standar yang tinggi untuk orang lain, dan percaya bahwa orang lain memiliki
pengharapan kesempurnaan untuk dirinya dan memotivasi.
Salah satu dampak negatif dari perkembangan perfeksionisme yang kuat adalah
terbentunya faalangst negatif.Faalangst dalam bahasa Inggris juga disebut sebagai fear
of failure. Menurut Jessica Van Der Speak (2014; dalam Van Tiel & Van Tiel, 2015),
faalangst (fear of failure) secara singkat dapat dikatakan sebagai rasa takut salah atau
takut gagal padahal sebenarnya bisa.Faalangst dapat terbagi menjadi dua, yaitu
faalangst positif dan faalangst negatif (Van Tiel & Van Tiel, 2015).Faalangst positif
merupakan bentuk rasa takut gagal namun individu yang memiliki faalangstpositif ini

masih dapat menimbang-nimbang apakah ia bisa mendapatkan atau mencapat apa yang

3

dikerjakanya. Sedangkan faalangst negatif merupakan suatu masalah psikologis nonkognitif yang yang sangat dominan dalam karakteristik kepribadian yang dimiliki oleh
anak gifted, terutama mereka yang memiliki karakterisik kepribadian yang sangat
perfeksionisme (Van Tiel & Van Tiel, 2015).
Anak gifted dapat memiliki tingkat perfeksionis yang tinggi di bidang akademis,
namun ia juga dapat memiliki tingkat perfeksionis yang rendah di bidang hubungan
interpersonal atau sebaliknya. Perfeksionis anak gifted tidak selalu bersifat positif,
perfeksionisme anak gifted dapat menjadi hal yang negatif dan merugikan anak gifted
sehingga potensi yang mereka miliki tidak dapat berkembang dengan sempurna (Van
Tiel & Van Tiel, 2015).
Menurut Peters (1996), terdapat empat faktor yang menyebabkan seseorang
dapat memiliki perfeksionisme. Pertama, seseorang dapat memiliki perfeksionisme
dikarenakan orang tersebut memiliki harapan yang tinggi. Harapan yang tinggi tersebut
dapat berasal dari diri sendiri maupun dari orang lain. Kedua, faktor yang menyebabkan
orang memiliki perfeksionisme adalah keyakinan yang tinggi pada diri sendiri. Ketiga,
lingkungan yang kompetitif juga dapat membuat orang memiliki perfeksionisme karena
lingkungan yang kompetitif akan membuat orang berusaha untuk mendapatkan hasil

yang paling baik dan memuaskan sehingga orang tersebut dapat mengembangkan sifat
perfeksionisme. Keempat, umur mental lebih tinggi dari umur kronologis juga
merupakan faktor penyebab orang memiliki perfeksionisme, hal ini dapat terlihat dari
individu dengan keberbaktan atau gifted. Selain itu, Van Tiel & Van Tiel (2015)
berpendapat bahwa salah satu penyebab terbentuknya perfeksionisme adalah genetika.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ratna dan Widayat (2012) ditemukan
bahwa kareakteristik perfeksionisme pada remajagifted terdiri dari karakteristik dalam

4

penetapan standar, pencapaian standar, personal, emosional, sosial, dan motivasional.
Sedangkan faktor yang mempengaruhi perfeksionisme pada remaja gifted adalah
harapan yang tinggi dari diri sendiri maupun orang lain, keyakinan tinggi pada diri
sendiri, pembelajaran dari orang tua, dan lingkungan yang kompetitif.Semantara itu
Pranungsari (2010), meneliti hubungan antara kecerdasan dengan perfeksionisme pada
anak gifted di kelas akselerasi. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara variabel kecerdasan dengan perfeksionisme pada anak
gifted di kelas akselerasi.
Ananda dan Mastuti (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh
perfeksionisme


terhadap

akselerasi.Diperoleh

hasil

prokrastinasi
bahwa

terdapat

akademik
pengaruh

pada

siswa

perfeksinisme


program
terhadap

prokrastinasi akademik.
Dari uraian diatas, peneliti tertarik dengan perfeksionisme yang dimiliki oleh
remaja gifted karena masih kurangnya penelitian dan informasi mengenai gambaran
perfeksionisme pada remaja gifted dan masalah yang dimilikinya salah satunya adalah
perfeksionisme karena penelitian sebelumnya hanya meneliti mengenai karakteristik
dan faktor yang mempengaruhi perfeksionisme pada remaja gifted.
Rumusan Masalah
Penelitian ini merumuskan bagaimana gambaran serta efek perfeksionisme pada
remaja gifted.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran serta efek perfeksionisme
pada remaja gifted.

5

TINJAUAN PUSTAKA

a. Definisi Perfeksionisme
Perfeksionisme merupakan salah satu karakteristik kepribadian yang dimiliki
oleh anak gifted. Perfeksionisme menurut Hewit dan Flett Sliverman (dalam Peters.,
1996) adalah keinginan untuk mencapai kesempurnaan yang diikuti dengan standar
yang tinggi untuk dirinya sendiri, standar yang tinggi untuk orang lain, dan percaya
bahwa orang lain memiliki pengharapan kesempurnaan untuk dirinya dan memotivasi.
Sedangkan perfeksionisme menurut Adler (dalam Rice, 1998), merupakan aspek
perkembangan yang normal dan hanya menjadi masalah ketika individu menetapkan
standar-standar superioritas yang tidak realistis dalam mencapai tujuan atau
goals.Sementara itu menurut Hill dkk. (2004), perfeksionisme adalah hasrat untuk
mencapai kesempurnaan yang ditandai dengan conscientious perfectionism yang berasal
dari internal individu dan self-evaluated perfectionism yang berasal dari eksternal
individu.
b. Dimensi Perfeksionisme
Menurut Hill dkk. (2004), perfeksionisme dapat dibagi kedalam delapan
dimensi, yaitu:
1. Concern over mistake adalah kecenderungan untuk mengalami stress dan kecemasan
yang berlebih untuk membuat kesalahan. Hal ini dapat berupa kecemasan ketika
membuat kesalahan dan rasa menyesal.
2. High standards for others adalah kecenderungan untuk membandingkan orang lain

dengan standar yang dimiliki oleh orang yang memiliki perfeksionisme itu sendiri.
3. Need for approval adalah kecenderungan untuk mencari validasi dari orang lain dan
sensitif terhadap kriti.

6

4. Organization adalah kecenderungan untuk menjadi rapi dan terorganisir.
5. Perceived parental pressure adalahkecenderungan untuk merasa harus melakukan
sesuatu secara sempurna demi memuaskan orang tua.
6. Planfulness adalahkecenderungan untuk memiliki rencana masa depan dan memiliki
kesengajaan dalam melakukan sesuatu atau memilih pilihan.
7. Rumination adalah kecenderungan untuk terobsesi dengan kesalahan dimasa lalu,
performa yang kurang sempurna dan hasil kerja yang kurang sempurna dimasa lalu,
dan kesalahan yang mungkin terjadi di masa depan.
8. Striving for excellence adalah kecenderungan untuk mengejar hasil yang sempurna
dan standar yang tinggi.
a. DefinisiGifted
Di Indonesia, istilah gifted sering disebut juga sebagai cerdas istimewa.
Sedangkan di negara-negara Eropa, istilah gifted ini sering disebut sebagai istilah high
ability atau anak yang memiliki potensi yang tinggi (Van Tiel & Widyorini, 2014).

Gifted merujuk pada faktor kapasitas inteligensi yang luar biasa yang juga
diikuti oleh kreativitas yang tinggi dan komitmen yang kuat dalam menyelesaikan
tugasnya (Van Tiel & Widyorini, 2014). Sedangkan menurut Munandar (1999) anak
yang mendapat predikat gifted dan talented adalah mereka yang didefinisikan oleh
orang-orang yang benar-benar profesional atas dasar kemampuan mereka yang luar
biasa dan kecakapan mereka dalam mengerjakan pekerjaan yang berkualitas tinggi
sehingga dapat memberi sumbangan baik terhadap dirinya sendiri maupun masyarakat.

7

b. Karakteristik Gifted
Dalam penelitian ini, karakteristik gifted yang digunakan adalah karakteristik
menurut Renzulli (dalam Van Tiel & Widyorini, 2014) yang meliputi karakteristik
keberbakatan:
1. Kapasitas intelektual di atas rata-rata yang ditandai dengan score IQ (skala
Weschler) diatas 130.
2. Motivasi dan komitmen terhadap tugas yang tinggi.
3. Kreativitas yang tinggi.
METODE
Partisipan

Partisipan

pada

penelitian

ini

adalah

remaja

gifted

yang

memiliki

perfeksionisme. Kriteria gifted ini diperoleh dari pengukuran inteligensi yang memiliki
score IQ tinggi yaitu diatas 130, remaja ini duduk di bangku SMA dan berada di kelas
akselerasi. Kelas akselerasi dipilih karena untuk masuk ke kelas akselerasi siswa harus
memiliki score IQ diatas 130 yang dibuktikan dari hasil tes inteligensi. Peneliti
mengambil 2 orang siswa kelas akselerasi yang memiliki tingkat perfeksionisme tinggi
yang didapat dari hasil wawancara awal dan questionnaire yang diberikan kepada
partisipan.Subjek dalam penelitian ini berusia 16 dan 17 tahun dan duduk di bangku
kelas XI Akselerasi dan XII Akselerasi.Kedua partisipan bersekolah di sekolah negeri.
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena peneliti ingin
mendapatkan gambaran yang mendalam mengenai perfeksionisme pada remaja gifted.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus, penelitian ini berupaya
untuk menjelaskan dan mencoba mendeskripsi dan mempelajari seperti apa gambaran

8

perfeksionisme pada remaja gifted. Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan
adalah observasi dan wawacara.Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis
observasi partisipan yaitu peneliti melakukan penelitian dengan cara terlibat langsung
dalam interaksi dengan objek penelitiannya.Wawancara yang digunakan adalah metode
wawancara terstuktur dengan pertanyaan terbuka dan tertutup.Dalam penelitian ini,
peneliti melakukan uji kredibilitas dengan teknik triangulasi yaitu triangulasi
sumber.Sumber triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah orang tua dan
teman-teman partisipan.
HASIL
Gambaran Umum Partisipan I
a. Identitas Partisipan I
Nama

: P1

Jenis Kelamin

: Perempuan

Usia Sekarang

: 17 Tahun

Tempat dan Tanggal Lahir

: Kabupaten Semarang, 26 Juni 1999

Agama

: Kristen Protestan

Pekerjaan

: Pelajar

Sekolah

: SMA Negeri 1 Salatiga

Kelas

: XII Akselerasi

Statio dalam Keluarga

: Anak pertama dari dua bersaudara

b.Latar Belakang
Partisipan I dalam penelitian ini berinisial P1.Partisipan merupakan anak
pertama dari dua bersaudara.Partisipan memiliki seorang adik laki-laki yang masih
duduk di Sekolah Dasar.Partisipan saat ini bersekolah di salah satu Sekolah Menengah

9

Atas Negeri di Salatiga dan duduk di kelas duabelas program akselerasi.Partisipan
sering mengikuti lomba-lomba seperti kompetisi membuat karya ilmiah. Menurutnya, ia
adalah orang yang memiliki banyak ide dan sangat kreatif sehingga ia harus
menyalurkan ide dan kreativitasnya dengan mengikuti lomba-lomba yang ada. Hal
tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh ibu partisipan jika anaknya adalah orang
yang kreatif dan memiliki banyak ide. Ia bercita-cita sebagai seorang dokter bedah,
menurutnya pekerjaan menjadi dokter bedah adalah pekerjaan yang sangat bagus untuk
masa depannya dan pekerjaan itu adalah pekerjaan yang mulia karena dapat membantu
orang lain. Ayah partisipan bekerja sebagai seorang pegawai negeri sipil, sedangkan ibu
partisipan sebagai ibu rumah tangga. Menurut keluarga dan temannya, partisipan
merupakan orang yang ramah dan menyenangkan, partisipan termasuk orang yang
cerewet dan suka bercerita.Partisipan merupakan orang yang mudah bergaul dan
memiliki banyak tema.Menurut teman-temannya, partisipan adalah orang yang peduli
terhadap temannya.Pada saat partisipan duduk di Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah
Menengah Pertama, partisipan tidak tinggal bersama orang tuanya namun tinggal
bersama dengan kakek dan neneknya. Hal tersebut dikarenakan orang tua partisipan
bekerja di luar kota.
Gambaran Umum Partisipan II
a. Identitas Partisipan II
Partisipan

: P2

Jenis Kelamin

: Perempuan

Usia

: 16 Tahun

Tempat dan Tanggal Lahir

: Kabupaten Semarang, 11 Februari 2000

Agama

: Katholik.

10

Pekerjaan

: Pelajar.

Sekolah

: SMA Negeri 1 Salatiga

Kelas

: XI Akselerasi

Statio dalam Keluarga

: Anak ke dua dari tiga bersaudara.

b. Latar Belakang
Partisipan ke II dalam penelitian ini berinisial P2.Partisipan merupakan anak
kedua dari tiga bersaudara.Partisipan memiliki seorang kakak perempuan yang sudah
bekerja.Partisipan saat ini bersekolah di salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri di
Salatiga dan duduk di kelas sebelas program akselerasi.Partisipan sangat senang dengan
pelajaran matematika.Menurutnya pelajaran tersebut membuat orang dapat berfikir
kreatif untuk memecahkan sebuah permasalahan. Menurut orang tuanya, ia adalah anak
yang penurut dan baik hati. Ayah partisipan bekerja sebagai seorang buruh pabrik,
sedangkan ibu partisipan sebagai ibu rumah tangga. Menurut keluarga dan temannya,
partisipan merupakan orang yang pemalu jika ia belum terlalu dekat dengan orang lain.
Menurutnya ia hanya memiliki teman dekat yang sedikit karena ia tidak terlalu dapat
dengan mudah dekat dengan orang yang baru dikenalnya. Namun jika ia sudah dekat
dengan orang ia sangat akan sangat baik dengan orang tersebut.Menurut temantemannya, partisipan adalah orang yang peduli terhadap temannya dan suka membantu
mereka.

11

Tabel 1.
Kategorisasi Hasil Wawancara
NO

DIMENSI

1.

Concern
over
mistake

2.

3.

High
standards
for others

INDIKATOR

KATEGORISASI
PARTISIPAN I
Perasaan
Merasa menyesal karena 
menyesal dan membuat kesalahan dan
kecewa ketika akhirnya gagal, kenapa
membuat
bisa seperti itu, rasanya
kesalahan.
menyesal.

KATEGORISASI
PARTISIPAN II
Merasa kecewa karena
membuat kesalahan tapi
kekecewaan
itu
mendorong supaya tidak
mengalami kegagalan itu
lagi
dan
akan
mengintrospeksi
diri
mengenai
apa
yang
membuat kegagalan dan
menyebabkan kegagalankegagalan itu, berbuat
lebih baik.



Merasa
menyesal,
bangaimana
bisa
mengalami kesalahan.

Stress
dan
putus asa jika
membuat
kesalahan.
Membandingk
an orang lain
dengan standar
yang dia miliki

Ingin memperbaiki kalau Menangis lama.
sudah lewat seperti tidak
ada harapan lagi.
Merasa kecewa.

Merasa jengkel kalau tidak
memenuhi harapan.

Menuntut
orang lain agar
sesuai dengan
standar yang
dia miliki

Kalau orangnya sama
dengan
dia
akan
menuntut orang tersebut
agar sesuai dengannya..

Jika tidak memenuhi standar
akan
berusaha
untuk
mengarahkan ke standarnya,
tapi
kalau
benar-benar
menolak dan tidak mau
merubah hasil kerjanya akan
di kerjakan sendiri.
Kalau di kritik biasanya
introspeksi dulu, apa benar
yang dikritikkan itu benarbenar
dilakukan,
kalau
memang
benar
akan
introspeksi diri, merubah
diri, supaya lebih baik lagi,
kalau
memang
bukan
perbuatan yang dilakukan

Need for Sensitif
approval
terhadap kritik

Kalau memang jelek
diperbaiki.
Kalau
kritikannya itu jelek tidak
akan dihiraukan, tapi
kalau kritikannya bagus
akan dilakukan.

12

4.

Organizati
on

Keteraturan

Kerapian

5.

6.

Perceived
parental
pressure

akan jengkel dengan orang
yang mengkritik.
Kadang-kadang teratur Sebenarnya
teratur
tapi
tapi tergantung mood. tergantung mood.
Akan merasa nyaman
dan senang jika berada di
tempat yang rapi.
 Dibersihkan
sekitar 
lingkungan
seperti
ditata supaya kalau
dilihat
rasanya
nyaman.

 Jika sedang sibuk
sekali itu baru kotor,
berantakan, tapi jika
sedang santai lumayan
tidak terlalu kotor dan
berantakan.

Merasa jengkel sekali jika
sudah mencari-cari barang
tapi
tidak
ada
di
tempatnya.
Kalau memang mau bersih
itu sekalian bersih sampai
yang kecil-kecil bersih
semua, tapi kalau sudah
tidak peduli dibiarkan
berantakan dulu nanti
akandibersihkan sampai
bersih.
 Sering, tapi kalau kamar
tidak.
Melakukan
Merasa lega tapi merasa Melakukan pekerjaan demi
pekerjaan yang masih kurang orang tua orang tua dan diri sendiri.
sempurna demi sudah bilang jika sudah
orang tua
baik.

Sukses demi Merasa memang wajar
orang tua.
jika
orang
tua
menginginkan
untuk
sukses karena selama ini
sudah
dibiayai
sekolahnya, jika tidak
sukses kasihan orang tua.
Planfulness Memiliki
Dipikirkan dulu segala
rencana dalam resiko yang akan terjadi,
membuat
menguntungkan
apa
keputusan.
merugikan, dan hasil
yang akan dicapai.

Kesengajaan
dalam
membuat

Merasa
terbebani
tapi
memacu untuk menjadi
sukses
dan
bener-bener
sukses.

Pengambilan
keputusan
biasanya
menimbangnimbang
keputusan
itu
mencari
baik
buruknya
disetiap keputusan, kadangkadang
mendiskusikan
dengan orang tuadan temanteman
terdekat.
Jadi
membutuhkan waktu yang
lama.

Meminta pendapat orang Jadi
menimbang-nimbang
tua.
dulu
baik
buruknyalalu
meminta saran dari orang

13

7.

pilihan.
Rumination Khawatir akan 
hal yang belum
terjadi.


Terobsesi
dengan
kesalahan
dimasa lalu

8.

Terobsesi akan
performa yang
kurang
sempurna serta
hasil
kerja
yang kurang
sempurna.
Striving for Mengejar hasil
excellent
yang sempurna

lain.
Merasa
khawatir Sering mengkhawatirkan hal
akanhal-hal
yang yang belum terjadi.
belum terjadi.
Khawatir
kalau
misalnya tidak sesuai
dengan prediksi dan
mengecewakan.

Merasa jika ada masalah Merasa jengkel dengan diri
sendiri,
kenapa
bisa
itu karena dirinya.
melakukan seperti itu
.
Merasa
dalam
sesuatu.






menyesal
dan
kurang teliti Merasa
melakukan menyalahkan diri sendiri jika
sesuatu tidak sempurna.

Membandingkan

pekerjaan
sendiri
dengan
pekerjaan
teman dan merasa jika
perkerjaannya kurang 
sedangkan milik teman
sangat bagus.
Kecewa jika ada yang
lebih bagus.
Takut
hasil
yang
dikerjakan jelek dan
melakukan
segala
sesuatu agar hasilnya
bagus
termasuk
memperbaiki kembali
hasil kerjanya.

Hasil
kerja
tidak
sempurna itu kalau bisa
disempurnakan, berusaha
supaya bisa sempurna.
Sering membandingkan
tugasnya,
membandingkan
kemampuan, dan mencari
motivasi
agar
lebih
berprestasi.

14

PEMBAHASAN
Berdasarkan analisa hasil penelitian diketahui bahwa dimensi perfeksionisme
concern over mistake ini dapat terlihat pada saat kedua partisipan merasa menyesal
karena telah membuat kesalahan dan akhirnya gagal, hal tersebut membuat kedua
partisipan menyalahkan dirinya sendiri dan membuatnya merasa takut untuk membuat
kesalahan.
“Eeeee…Nyesel… Kayak kok bisa sih… tau gitu harusnya
gini. Kemaren gini kalau nggak ya apa ya… ya kayak nyesel
aja… Pengen diperbaiki kalau udah lewat itu kayak udah gak
ada harapan gitu lho… Hehe…”
Menurut Jessica Van Der Speak (dalam Van Tiel & Van Tiel, 2015),
faalangst(fear of failure) dapat dikatakan sebagai rasa takut salah atau takut gagal
padahal sebenarnya ia bisa. Frost dkk., (dalam Mendaglio, 2007) menemukan bahwa
salah satu dari 4 kecenderungan self-critical pada seorang yang memiliki
perfeksionisme

adalah

kekhawatiran

terhadap

kesalahan

(concern

over

mistakes).Namun, P1 tidak memiliki motivasi seperti P2 agar ia tidak berbuat kesalahan
yang sama dan mengintrospeksi dirinya agar menjadi lebih baik, P1 justru menjadi
putus asa karena membuat kesalahan.
“Pengen diperbaiki kalau udah lewat itu kayak udah gak ada
harapan gitu lho… Hehe…” (P1, 5-6).
"E….mungkin mengintrospeksi diri, apa sih yang membuat
kegagalan, apa yang menyebabkan kegagalan-kegagalan itu
dan berbuat lebih baik mungkin, menjadi lebih baik…”
P1 dan P2 juga akan merasa stress dan putus asa ketika P1 dan P2 membuat
kesalahan namun tidak dapat memperbaikinya jika hal tersebut sudah lewat. P1 terlihat
lebih pasrah ketika mengami masalah sedangkan P2 akan menangis dalam waktu yang
lama.Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hill dkk.(2004) mengenai concern over

15

mistake yaitu kecenderungan untuk mengalami stress dan kecemasan yang berlebih
untuk membuat kesalahan.
Ketika kedua partisipan membandingkan orang lain dengan standar yang
dimiliki, hal tersebut membuat kedua partisipan merasa kecewa dengan pendapat orang
lain yang memiliki standar yang berbeda dengan dirinya. Sedangkan P2 merasa jengkel
dan berusaha mengarahkan orang lain agar sesuai dengan standar yang ia miliki. P1 dan
P2 juga akan menuntut orang lain agar sesuai dengan standar yang dia miliki, P1 akan
menuntut orang lain agar sesuai standar yang ia miliki jika orang tersebut sama seperti
dirinya. Namun untuk orang yang tidak sama dengan dirinya P1 tidak terlalu menuntut
agar orang tersebut dapat memenuhi standar yang ia tetapkan.
“Eeemmm…. kalau orangnya… eee apa bisa diajak…. apa
ya....kayak orangnya ya sesuai sama kayak aku, sama kayak
aku, ya ya…kalau nggak ya ngga, liat situasi orangnya sih
mbak… kalau orangnya nggak patek bisa ya wes lah, sak sake
seng penting kowe garap sampek yang semaksimal
mungkin….”
Hal tersebut sesuai dengan Hill dkk. (2004) mengenai high standards for others yaitu
kecenderungan untuk membandingkan orang lain dengan standar yang dimiliki oleh
orang yang memiliki perfeksionisme itu sendiri.
Menurut Hill dkk. (2004), dimensi perfekisonisme need for approval merupakan
kecenderungan untuk mencari validasi dari orang lain dan sensitif terhadap kritik.
Ketika kedua partisipan mendapat kritik dari orang lain mengenai apa yang dilakukan,
P1 mengatakan jika ia mendapat kritik dari orang lain yang menurut P1 kritik tersebut
memiliki dampak positif untuk dirinya, P1 akan memperbaiki apa yang P1 lakukan
sesuai dengan kritik yang didapat. Namun, jika kritik tersebut menurut P1 justru
membuat dampak negatif untuk dirinya, P1 tidak akan menghiraukan kritik tersbut.

16

“Ya kalau misalnya memang jelek gitu ya setidaknya
diperbaiki gitu lho…Kalau misalnya kritikannya itu jelek ya
malah akunya cuek, tapi kalau kritikannya bagus ya tak
lakuin.”
Hal tersebutakan berlaku jika kritik yang P1 dapat sesuai dengan keyakinan dan standar
yang P1 miliki. Sementara itu, P2 akan merasa jengkel jika orang lain mengkritiknya
namun kritikan tersebut salah. P2 juga aka mengintrospeksi dirinya sendiri jika kritikan
yang ia dapat sesuai dengan dirinya dan akan merubah diri.
Terlihat pada saat P1 berada di lingkungan yang berantakan.P1dan P2 merasa
nyaman jika berada di lingkungan yang rapi dan tidak berantakan, P1akan berusaha
untuk membersihkan lingkungannya agar terlihat rapi.Sementara itu, P2 merasa tidak
nyaman jika berada di lingkungan yang kotor kecuali kamarnya. P2 akan membersihkan
kamarnya jika ia memiliki mood yang baik, ia bahkan akan membersihkan hal yang
kecil-kecil agar terlihat rapi.
“Hehehe….kalau saya sih orangnya gimana ya, kalau benerbener ya itu tadi, kalau emang mau bersih itu sekalian bersih
sampai yang kecil-kecil itu bersih semua, tapi kalau udah
nggak peduli biari berantakan dulu nanti sekalian aja dibersihin
sampai bersi”
P2 juga merasa jengkel jika barang yang ia miliki tidak berada di tempatnya, ia akan
menyalahkan orang lain jika hal tersebut terjadi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
yang

dikemukakan

oleh

Hill

dkk.(2004)

mengenai

dimensi

perfeksionisme

organization.Menurut Hill dkk.(2004), organization merupakan kecenderungan untuk
menjadi rapi dan terorganisir.
Perceived parental pressure adalah kecenderungan untuk merasa harus
melakukan sesuatu secara sempurna demi memuaskan orang tua (Hill dkk., 2004).
Dimensi perfeksionisme perceived parental pressure terlihat pada saat P1 melakukan

17

pekerjaan yang sempurna demi orang tua, hal tersebut membuatnya lega ketika dipuji
orang tuanya, namun masih merasa tidak puas akan pekerjaan yang dilakukan.
P1merasa jika pekerjaanya tidak menghasilkan hasil yang sempurna.
“Ya kayak leg…apa ya…dikit leg… ya lega sih, lega…cuma
kayaknya menurutku kurang gini tapi orang tua udah, udah
bilang udah bagus kok…diliatnya udah enak…udah keren,
udah bagus…”
P1 akan melakukan sesuatu agar P1 sukses demi orang tua dirasanya merupakan hal
yang wajar jika orang tua menginginkan untuk sukses. Sementara itu, P2 akan terbebani
jika orang tuanya menginginkan ia untuk sukses, namun hal tersebut memacu P2 agar
menjadi benar-benar sukses.
Hill

dkk.(2004)

juga

berpendapat

mengenai

dimensi

perfeksionisme

planfulness.Menurut Hill dkk. (2004), planfulness merujuk pada kecenderungan untuk
memiliki rencana masa depan dan memiliki kesengajaan dalam melakukan sesuatu atau
memilih pilihan. Hal tersebut terlihat pada saat P1 dan P2 memiliki rencana dalam
membuat keputusan dan memiliki kesengajaan dalam membuat pilihan.Kedua
partisipanakan memikirkan segala resiko yang akan terjadi dan hasil yang akan dicapai
sebelum membuat suatu keputusan. P1 dan P2 juga akan meminta pendapat orang tua
dalam membuat pilihan karena P1 dan P2 menganggap orang tuanya lebih tau, namun
P2 membutuhkan waktu yang lama untuk membuat keputusan.
“Dipikir dulu kedepannya kayak gimana, trus resikonya kalau
ngelakuin ini itu apa…Nguntungin apa ngerugiin…. trus
hasihnya gimana…”
“Pengambilan keputusan… biasanya saya menimbang…
menimbang-nimbang keputusan ituterus apa..cari baik
buruknya
disetiap keputusan itu…ya kadang-kadang
mendiskusikan sama orang tua, sama teman-teman terdekat

18

saya juga, baru saya mengambilkeputusan…Jadi kalau saya
mengambil keputusan lama…”
Dimensi perfeksionisme rumination adalah kecenderungan untuk terobsesi
dengan kesalahan dimasa lalu, performa yang kurang sempurna dan hasil kerja yang
kurang sempurna dimasa lalu, dan kesalahan yang mungkin terjadi di masa depan (Hill,
2004). Dimensi perfeksionisme ini terlihat pada saat kedua partisipan merasa khawatir
akan hal-hal yang belum terjadi di hidupnya. Hal tersebut terlihat pada saat P1 merasa
khawatir akan hal-hal yang belum terjadi, P1 merasa takut kecewa jika tidak sesuai
dengan prediksinya.
“Iya..hehe….E…. ya kalau apa ya… khawatir sih…. kalau
misalnya nanti…e….nggak sesuai dengan prediksi gimana
gitu… kalau ngecewain gimana….”
“Sering
mengkhawatirkan.
Misalnya
dalam
hal
presentasi,tampil di depan orang itu saya sangat khawatir. Jadi
misalnya mau ngomong ini, sebelum maju itu udah hafal tapi
saya sebelum majuitu juga ada rasa takut gimana kalau sampai
di depan nanti lupa satu kata dua kata apa lagi buyar semuanya
gitu…”
Kedua partisipan juga terobsesi dengan kesalahan di masa lalu.P1akan menyalahkan
dirinya sendiri jika ada masalah. P2 merasa jengkel dengan diri sendri dan menyalahkan
diri sendiri mengenai apa yang terjadi. Selain itu, kedua partisipan juga terobsesi akan
performa yang kurang sempurna serta hasil kerja yang kurang sempurna. P1 merasa jika
hal yang dilakukan kurang sempurna. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ratna dan Widayat (2012) yang menemukan bahwa salah satu faktor
penyebab perfeksionisme adalah ekspektasi yang tinggi dari orang lain maupun diri
sendiri. Partisipan memiliki ekspektasi yang tinggi untuk menjadi sempurna dan merasa
dirinya kurang sempurna.Ekspektasi yang tinggi tersebut berasal dari dirinya

19

sendiri.Sementara itu, P2 merasa menyesal jika dimasa lalu performa dan hasil kerjanya
kurang sempurna.
Pada dimensi perfeksionisme striving for excellence menurut Hill dkk.(2004)
merupakan kecenderungan untuk mengejar hasil yang sempurna dan standar yang
tinggi.Hal tersebut terlihat pada saat kedua partisipan mengejar hasil yang sempurna. P1
dan P2 sering membandingkan hasil pekerjaannya dengan temannya yang lain. P1
merasa jika hasil pekerjaanya lebih jelek dari temannya dan hasil pekerjaan temannya
lebih baik dari dirinya.P1 merasa kecewa dengan pekerjaan yang telah dikerjakannya
mendapat hasilnya kurang sempurna menurutnya.P1juga merasa takut hasil yang
dikerjakan jelek.
“Iya tak bandingin..ih..biasanya sih menurutku apa ya misalnya
punyaku kurang, kok punyaku biasa aja ya punya temen-temen
yang lain tu yang wow.. gitu lho.. Tak apain ini biar keliatan
wow… tapi kayaknya sama aja gitu lho… Aku juga nggak
tau.”
Menurut Silverman (1999), seseorang yang memiliki perfeksionisme menetapkan
standar yang tinggi untuk diri mereka sendiri dan mengalami rasa sakit yang mendalam
ketika gagal memenuhi standar tersebut. P1akan melakukan segala sesuatu agar hasil
kerjanya bagus termasuk memperbaiki kembali hasil kerjanya. Hal tersebut sesuai
dengan karakteristik gifed menurut Renzulli yang juga dikenal dengan the Three Ring of
Renzullimengenai motivasi dan komitmen terhadap tugas yang tinggi. Partisipan
memiliki komitmen dan motivasi yang tinggi untuk memperbaiki tugasnya agar
hasilnya sempurna.Menurut Siegle dan Schuler (dalam Thoresen, 2009) salah satu
karakteristik perfeksionisme self-oriented adalah memiliki motivasi yang kuat untuk
sempurna. Sementara itu, P2 lebih mencari motivasi untuk menjadi lebih baik dan
membandingkan kemampuan.

20

“Sering sih…tugas… bandingin tugas ya… ya gimana
ya…misalnya kayak bandingin kemampuan… ya kadang cari
motivasi gitu lho…apa… kok dia bisa kenapa aku nggak…
lebih kesitu…”
Partisipan akan melakukan segala cara termasuk memperbaiki hasil kerjanya merupakan
motivasi kuat untuk sempurna.Hewit dan Silverman (dalam Peters., 1996) berpendapat
bahwa perfeksionisme merupakan keinginan untuk mencapai kesempurnaan diikuti
dengan standar yang tinggi untuk diri sendiri, standar yang tinggi untuk orang lain, dan
percaya bahwa orang lain memiliki pengharapan kesempurnaan untuk dirinya dan
memotivasi. Perilaku partisipan yang sering membandingkan pekerjaannya dengan
orang lain karena menganggap hasil pekerjaannya tidak sempurna dan akan melekukan
segala sesuatu termasuk memperbaiki pekerjaannya agar sempurna sesuai dengan
pendapat Hewit dan Silverman (dalam Peters., 1996) yang menyatakan jika
perfeksionisme adalah keinginan untuk mencapai kesempurnaan. Sedangkan menurut
Hill dkk. (2004), perfeksionisme adalah hasrat untuk mencapai kesempurnaan yang
ditandai dengan conscientious perfectionism yang berasal dari internal individu dan selfevaluated perfectionism yang berasal dari eksternal individu.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
gambaran perfeksionisme remaja gifted pada dimensi concern over mistakeadalah
perasaan menyesal dan kecewa sehingga menyalakan diri sendiri jika membuat
kesalahan, namun terkadang rasa menyesal dan kecewa tersebut dijadikan motivasi agar
tidak berbuat kesalahan yang sama. Dimensi high standards for other partisipan telihat
ketika orang lain tidak memnuhi standarnya, partisipan akan berusaha agar orang lain

21

sesuai dengan standarnya. Gambaran dimensi need for approval terlihat dari ketika
menerima kritik dari orang lain, partisipan akan menerima kritik tersebut jika kritik
tersebut memiliki dampak positif untuk dirinya dan untuk mengintrospeksi diri.Dimensi
organization terlihat pada saat berada di lingkungan yang kotor, partisipan merasa tidak
nyaman dan akan menyalahkan orang lain jika barang-barang yang dimiliki tidak berasa
pada tempatnya.
Dimensi perceived parental pressure terlihat ketika partisipan merasa terbebani
jika orang tua partisipan mengharuskannya untuk sukses namun ketika dipuji merasa
lega. Dimensi planfulness pada partisipan terlihat pada saat membuat keputusan,
partisipan akan memikirkan resiko dan hasil yang akan diperoleh sebelum membuat
keputusan. Partisipan akan meminta pendapat orang tua dan teman-teman mereka
sebelum membuat keputusan dan terkadang membutuhkan waktu yang lama untuk
memutuskan

sesuatu.

Dimensi

rumination

terlihat

ketika

partisipan

sering

mengkhawatirkan hal-hal yang belum terjadi. Dimensi striving for excellent terlihat
ketika partisipan sering membandingkan tugas dengan orang lain dan berusaha untuk
memperbaki tugasnya karena merasa jika pekerjaannya tidak sempurna. Partisipan
membandingkan tugas mereka untuk mencari motivasi untuk lebih berprestasi.
Saran
Dengan adanya saran dari hasil penelitian ini, diharapkan kepada:
1. Bagi peneliti lain:
Peneliti selanjutnya yang ingin melanjutkan, menyempurnakan atau
mengembangkan penelitian ini, dapat meneliti mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi perfeksionisme remaja gifted.Faktor-faktor tersebut dapat berupa
faktor

internal

maupun

faktor

eksternal.

Karena

perfeksionisme

remaja

22

giftedmungkin saja dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut yang tidak diteliti
dalam penelitian ini.
2. Bagi partisipan dalam penelitian ini:
Diharapkan partisipan dalam penelitian ini untuk lebih dapat menerima diri
sendiri apa adanya dan menerima jika membuat kesalahan dan tidak menyalahkan
diri sendiri atas kegagalan dan kesalahan yang dilakukan. Partisipan juga sebaiknya
tidak memikirkan dan mengkhawatirkan hal-hal yang belum terjadi dan sudah
terjadi agar potensi yang ada pada diri partisipan dapat berkembang dengan lebih
baik tanpa merasa takut salah atau gagal.

23

DAFTAR PUSTAKA

Ananda, N. Y., & Masturi E. (2013).Pengaruh perfeksionisme terhadap prokrasinasi
akademikpada siswa program akselerasi.Jurnal Psikologi Pendidikan dan
Perkembangan, 2 (3), 226-231.
Alsa, A. (2007). Keunggulan dan kelemahan program akselerasi di SMA: tinjauan
psikologi pendidikan pidato pengukuhan guru besar pada Fakultas Psikologi.
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Azwar, S. (1986).Rehabilitasi dan validasi.interpretasi dan komputasi. Yogyakarta:
Liberty.
Hawadi, A. R. (2002). Identifikasi keberbakatan intelektual: melalui etode non-tes.
Jakarta: Grasindo.
Hill, R. W., Huelsman, T. J., Furr, R. M., Kibler, J., Vicente, B. B., Kennedy, C. (2004).
A new measure of perfectionism: the perfectionism inventory. Journal of
Personality Assessment, 82 (1).
Mendaglio, S. (2007). Should perfectionism be a characteristic of giftedness?.Gifted
Education International, 23, 88-100.
Munandar, S. C. U. (1999). Kreativitas dan keberbakatan: strategi mewujudkan potensi
kreatif dan bakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Moleong, L. (2009). Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Peters, C. (1996). Perfectionism,www.nwxus.edu.Diakses pada 17 September 2015.
Poerwandari, E. K. (2005). Pendekatan kualitatif. Depok: Perfecta.
Pranungsari, D. (2010). Kecerdasan dengan perfeksionisme pada anak gifted di kelas
akselerasi.Jurnal Humanitas, 7(1), 35-52.
Pruett, G. P. (2004). Intellectually gifted studens’s perfection of personal goals and
work habbits, http:www.highbeam.com/doc/161-1240.Diakses pada 10 Agustus
2016.
Ratna, P. T., & Widayat, I. W. (2012). Perfeksionisme pada remaja gifted (sudi kasus
pada peserta didik kelas akselerasi SMA Negeri 5 Surabaya).Insan, 14(3), 203210.
Rice, K. G. & Slaney, R. B. (1998). Self-esteem as a mediator between perfectionism
and depression: a structural equations analysis. Journal of Counseling
Psychology, 45, 304-314.

24

Silverman, L. K., (1999). Perfectionism: the crucrible of giftedness. Advanced
Development, 8, 47-61.
Thorsen, K. A., (2009). Perfectionism in gifted student: a need for effective service in
gifted programming. Virginia: The Collage of William and Mary, School of
Education Faculty.
Van Tiel, J.M., & Widyorini, E. (2014). Deteksi dan penanganan anak cerdas istimewa
(anak gifted). Jakarta: Prenada.
Van Tiel. J.M.,& Van Tiel. J.F. (2015).Perfeksionisme dan faalangst anakku cerdas
istimewa (anak gifted). Jakarta: Prenada.
Vieth, A.Z.& Trull, T. J. (1999). Family patterns of perfectionism: an examination of
collage students and their parents. Journal of Personality Assessment, 72, 49-67.
Tjahjono, E. (2004). Mengapa aku berbakat?pandangan anak berbakat tentang dirinya.
Anima, Indonesian Psychologycal Journal, 18 (1), 80-90.