wejangan syekh amongraga kepada niken tambang raras

www.alangalangkumitir.wordpress.com
AAK Culture Library

WEJ ANGAN SYEKH AMONGRAGA KEPADA
NI KEN TAMBANGRARAS
( MANUNGGALI NG KAWULO KELAWAN GUSTI DALAM SERAT CENTHI NI )

Ini adalah bagian dari Serat Cent hini yang membahas tent ang
tahap-tahap perjalanan seseorang saat mengalami ekstase. Yait u
sebuah kondisi spiritual saat seseorang mengalami “ penyatuan”
dengan Dzat-NYA atau manunggaling kawulo kelawan Gusti.
Serat Centhini, kita tahu, adalah babon serat -serat Jawa yang
terdiri dari 12 jilid dan bila dikumpulkan mencapai 6000
halaman lebih. Semoga pembaca mendapatkan secuil manfaat
dari terjemahan ini. Rahayu. (Mas Kumitir)
Syekh Amongraga memberikan wejangan kepada istrinya yang
bernama

bernama Niken Tambangraras selama 40 hari/malam,

baik yang berkenaan dengan makna hidup dan bagaimana cara

manusia mendapatkan makrifat kepada Tuhan Dzat Yang Maha
Besar, maupun

yang

berkenaan

dengan

kehidupan

keluarga.

Berikut bait-bait yang kamu dikutip dari Serat Centhini yang
menggambarkan

tentang

kemanunggalan


antara

Tuhan

dan

manusia :
1. Yen nuli / winisik basa sempurna / sareng miarsa Ki Bayi /
senggruk-senggruk anangis / tangis cumeplong ing kalbu / manah
padang nerawang / ngraos tuwuk tanpa bukti / pangaraose wus
ana sangisor aras.
“Kemudia ia membisikkan kata-kata sempurna, ketika itu didengar
oleh Ki Bayi dia mulai menangis tersedu-sedu, tetapi ia sekaligus ia
merasakan suatu kepuasan batin yang besar. Batinnya menjadi
terang-benderang, ia merasa kenyang tanpa menyantap sesuatu, ia
merasa seolah-olah terangkat ke hadapan tahta Tuhan.”
2. Ambalik sami sekala / kramane mring Amongragi / mehmeh kaya
ngabekti / saking tan nyipa kakalih / mung mangsud guru yekti /

www.alangalangkumitir.wordpress.com

AAK Culture Library
1

www.alangalangkumitir.wordpress.com
AAK Culture Library

Ki Bayi aris turipun / rayi dalem kalihnya / sumangga ing kersa
sami / ingkang mugi wontenan sih wulang tuan.
“Pada saat yang sama sikapnya terhadap Amongraga berubah sama
sekali, ia hampir berbakti kepadanya, karena sekarang ia hanya
memikirkan satu-satunya ini, aku mendapatkan seorang guru sejati,
kemudian dengan suara lembut Ki Bayi berkata, semoga anda
berkenan, agar juga kedua adik anda menerima rahmat ajaran
anda.”
3. Inggih kang basa punika / Mongraga umatur aris / gih putranta
sekalihan / sampun kaula wejangi / ing ratri kala wingi / kalihewus
sami suhud / matur alkamdu lilah / kaula dados wuragil /
sakelangkung panrima kula satitah.
“Yakni kata-kata yang tadi anda sampaikan, Amongraga mejawab,
kedua putra Bapak sudah saya berikan ajaran itu tadi malam,

keduanya sudah maklum akan kebenaran. Syukur kepada Tuhan,
kalau demikian akulah yang bungsu, kata Ki Bayi, saya puas sekalai
dengan urutan ini.”
4. Amongraga pan wus wikan / ing dalem papanceneki / Ki Bayi lan
putranira / Jayengwesti / beda ganjaraneki / Ki Bayi ganjaranipura
/ sih kamulyan ing donya / kang putra ganjaraneki / pan cacalon
ganjaran mulyeng akerat.
“Amongraga tahu, apa yang ditujukan kepada Ki Bayi dan apa yang
dituakan kepada kedua putranya, Jayengwesti dan Jayengraga.
Ganjaran disediakan kemuliaan dunia ini, bagi kedua anaknya
kemuliaan di akhirat.”
5. Kewawa ngelmi makripat / de Ki Bayi panurteki / kahidayat
ngelmu sarak / Sarengat utameng urip / Mongraga matur aris /
paduka ingkang akasud / tepakur maring Allah / lan tangat kala
ning wengi / lawan ngagengena salat perlu kala.

www.alangalangkumitir.wordpress.com
AAK Culture Library
2


www.alangalangkumitir.wordpress.com
AAK Culture Library

“Kedua anak itu mampu menerima ngelmu makrifat, sedangkan
kepada Ki Bayi Panurta diberi tuntunan ngelmu sarak (agama
menurut hukum), sehingga ia hidup dengan utama. Kemudian
Amongraga berkata dengan lirih, tekunlah dalam menjalankan dan
lakukanlah

olah

bakti

malam

hari,

junjunglah

sholat


yang

diwajibkan pada saat-saat tertentu.”
6. Ywa pegat adarus mulang / ing kitan Kur’an amerdi / ing janma
pekir kasihan / Ki Bayi nor raga ajrih / ing wulang Amongragi.
“Daraskanlah

(membaca)

ayat-ayat

Al-Qur’an,

rajinlah

dalam

mengajarkan Kitab Suci. Berilah sedekah kepada orang-orang
miskin. Ki Bayi merendahkan diri ketika ia menerima ajaran

Amongraga.”
7. Mongraga denya kasud / sunad wabin nem rekangatipun / tigang
salam sawus ing bakda anuli / tangat kiparat tawajuh / kalih salam
bakda manggon.
“Guna mencapai keadaan ekstasis Amongraga melakukan sholat
sunat wabin dengan enam rekaat dan tiga salam (pujian), sesudah
itu olah kifarat tawajuh (pemulihan dan terarah kepada Tuhan)
dengan dua salam, sesudah itu duduk tidak bergerak.”
8. Amapanaken junun / pasang wirid isbandiahipun / satariah
jalalah barjah amupid / pratingkahe timpuh wiung / tyas napas
kenceng tan dompo.
“Sambil mempersiapkan diri untuk manunggal dengan Tuhan, ia
melakukan wirid menurut (tarekat) Isbandiah, Satariah, Jalalah,
dan Barjah, terserap olehnya, ia duduk bersimpuh (kakinya terlekuk
ke belakang), hati sanubari dan pernapasan dalam keselarasan.”
9. Nulya cul dikiripun / lapal la wujuda ilalahu / kang pinusti dat
wajibulwujudi / winih napi isbatipun / pinatut tyas wusa anggatok.

www.alangalangkumitir.wordpress.com
AAK Culture Library

3

www.alangalangkumitir.wordpress.com
AAK Culture Library

“Kemudian ia mengawali dikirnya dengan kata-kata, la wujuda
ilalahu (tak ada sesuatu selain Allah), Dat yang niscaya ada, itulah
yang

menjadi

pusat

perhatiaannya,

dasar

penyangkalan

dan


pengakuan dan dengan itulah hatinya diselaraskan.
10. Angguyer kepala nut / ubed ing napi lan isbatipun / derah ing
lam kang akir wit puserneki / tinarik ngeri minduwur / lapal ilaha
angengo.
“Kepalanya mulai bergerak memutar, silih berganti menyangkal dan
mengakui, pada lingkaran lam terakhir kepalanya bergerak dari
pusat ke kiri ke atas. Pada ucapan ilalah kepalanya bergerak.”
11. Nganan pundak kang luhut / angleresi lapal ila mengguh /
penjajahe kang driya mring napi gaib / ilalah isbat gaibu / ing susu
kiwa kang ngisor.
“Ke kanan ke atas ke arah bahunya, pada saat ia berkata ila
inderanya

memasuki

penyangkalan

tersembunyi,


ilalah

ialah

pengakuan gaib di sebelah kiri dadanya.”
12. Nakirahe wus brukut / lapal la ilaha ilalahu / winot seket
kalimah senapas nenggih / senapas malih motipun / ilalah tri atus
manggon.
“Demikianlah nakirah menjadi paripurna, kata-kata la ilalahu
dirasakannya 50 kali dalam suatu pernapasan, kemudian 300 kali
ilalah pada pernapasan berikut. Istirahat sebentar.”
13. Anulya lapal hu

hu

/ senapas ladang winotan sewu

/

pemancade tyas lepas lantaran dikir / kewala mung wrananipun /

muni wus tan ana raos.
“Lalu

hu,

hu,

1000

kali

dalam

satu

pernapasan

panjang,

demikianlah hatinya naik lepas bebas tanpa rintangan, dengan
perantara dikir yang fungsinya hanya sebagai sarana. Suara-suara
yang dikeluarkannya tak ada arti lagi.”
www.alangalangkumitir.wordpress.com
AAK Culture Library
4

www.alangalangkumitir.wordpress.com
AAK Culture Library

14. Wus wenang sedayeku / nadyan

a a e e i i u u / sepadane

sadengah-dengan kang uni / unine puniku suwung / sami lawan
orong-orong.
“Segalanya diperbolehkan, entah itu aa, ee, ii atau uu atau lain
sebagainya, terserah apa saja. Kemudian suara-suara itu tiba-tiba
lenyap seperti suara seekor orong-orong (yang tiba-tiba diam
seketika).”
15. Ing sanalika ngriku / coplok ing satu lan rimbagipun / dewedewe badan budine tan tunggil / nis mikrad suhul panakul / badan
lir gelodog.
“Pada saat yang sama bata-bata dan bentuk terlepas, artinya badan
dan budi masing-masing berdiri sendiri-sendiri, ia lenyap dan mi’raj,
terlebur dalam Dat Ilahi, badannya tertinggal bagaikan sebatang
glodog.”
16. Tinilar lagya kalbu / yekti ning napi puniku suwung / komplang
nyenyed jaman ing mutelak haib / wus tan ana darat laut / padang
peteng wus kawios.
“Yang ditinggalkan oleh lebah-lebah, kosong. Kalbunya merupakan
ketiadaan sejati, kosong sepi. Tiada ada lagi daratan maupun laut,
terang dan gelap tiada lagi.”
17. Pan amung ingkang mojud / wahya jatmika jro ning gaibu / pan
ing kono suhule dinera mupid / tan pae-pinae jumbuh / nora siji
nora roro.
“Yang ada hanya indah itulah yang meliputi yang batiniah dan
lahiriah di alam gaib. Di sanalah usaha Amongraga untuk mencapai
kemanunggalan sampai pada titik penghabisan. Tak ada lagi
perbedaan, hanya kesamaan yang sempurna, mereka bukan satu
bukan dua lagi.”

www.alangalangkumitir.wordpress.com
AAK Culture Library
5

www.alangalangkumitir.wordpress.com
AAK Culture Library

18. Wus tarki tanajul / mudun sing wahya jatmika ngriku / aningali
tan lawan netranireki / Dat ing Hyang Kang Maha Luhur / patang
prekara ing kono.
“Sesudah tarakki menyusullah tanazzul, ia turun dari alam lahir
dan atin (wahya jatmika), ia memandang lagi tetapi bukan dengan
matanya, Dat Yang Maha Luhur, di sana terdapat empat hal.”
19. Sipat jalal gaibu / jamal kamal kahar gaibipun / wusna mijil
saking gaib denyaa mupid / wiwit beda jinisipun / Gusti lan kawula
reko.
“Sifat jalal yang gaib, keindahan, kesempurnaan dan kekuasaan
(jamal, kamal dan kahar) yang gaib. Sesudah keluar dari keadaan
gaib mulailah perbedaan dua jenis, yaitu Gusti dan kawula.”
20. Dat ing gusti puniku / jalal kamal jamal kahar nengguh / sipat
ing kawula pan akadiati / wahdat wakidiatipun / alam arwah adsam
mengko.
“Adapun hahekat Gusti itu ialah jalal, kamal, jamal adapun sifatsifat kawula itu ialah ahadiyya, wahda, wahadiyya, alam arwah,
alam ajsam.”
21. Misal insan kamilu / beda ning gusti lan kauleku / yekti beda
ingriku lawan ingriki / kejaba kang wus linuhung / pramateng
kawroh kang wus wroh.
“Alam misal dan insan kamil. Perbedaan antara Gusti dan kawula
ialah perbedaan antara dua jenis sifat-sifat itu, kecuali bagi manusia
yang istimewa (linuhung) yang sudah mengetahui ilmu sejati.”
22. Sawusira aluhut / lir antiga tumiba ing watu / pan kumeprah
tyasira lagyat tan sipi / tumitah ing jamanipun / aral ing kula
katonton.

www.alangalangkumitir.wordpress.com
AAK Culture Library
6

www.alangalangkumitir.wordpress.com
AAK Culture Library

“Sesudah ektasinya lewat, ia menyerupai sebutir telur yang jatuh di
atas sebuah batu, demikian rasa terkejut di dalam hatinya ketika
kembali

dalam

keadaan

makhluk

dan

melihat

kembali

keterbatasannya selaku seorang hamba (kawula).”
23. Luaran denya suhul / angaringaken senapas landung / mot
saklimah La ilaha ilalahi / mulya andodonga sukur.
“Sesudah kemanunggalannya dengan Tuhan larut, ia bernafas
panjang sambil mengucapkan satu kali syahadat, la ilaha ilalah,
kemudian memanjatkan doa syukur.”
24. Yen wus munggah budimulya / Sang Hyang Mahamulya lan
mulya ning budi / abeda nora neda / pan wus jumbuh sembah
lawan puji / puji amuji ing dawakira / iya dewe nora dewe / tanpa
dewe pupus.
“Bila budi sudah naik ke tempat yang mulia, maka dalam keadaan
mulia itu Yang Mahamulia dan budi berbeda dan tidak berbeda.
Sembah dan pujian menjadi serupa. Pujian merupakan pujian
terhadap dirinya. Manusia sendiri yang mengalami itu, tetapi juga
bukan diri sendiri. Tiada lagi dirinya, hanya itulah yang dapat
dikatakan.”
25. Bakda dikir anuli / adonga sukur Hyang Agung / sawusira
dodonga / asujud sumungkem siti / takrub asru tepekurira
nelangsa.
“Sesudah dikir ia memanjatkan doa syukur kepada Yang Agung,
sesudah itu ia bersujud, merebahkan diri ke tanah, dan mendekati
Tuhan dengan merasakan kerendahannya.”
26. Rumasa kinarya titah / beda ning kawula gusti / lir lebu
kelawan mega / bantala lawan wiati.

www.alangalangkumitir.wordpress.com
AAK Culture Library
7

www.alangalangkumitir.wordpress.com
AAK Culture Library

“Ia menyadari bahwa dia hanya buah ciptaan dan bahwa antara
kawula dan Gusti ada perbedaan, seperti antara debu (di tanah) dan
awan, atau seperti antara bumi dan ruang angkasa.”
Dari beberapa butir yang ada dalam Serat Centhini ini, dapat
memberikan suatu gambaran bahwa Tuhan dan manusia tidak
sama, karena manusia adalah ciptaan Tuhan. Namun manusia bisa
mencontoh

sifat-sifat

memperbanyak

dikir

Tuhan
sehingga

dan
dapat

mengingatnya
menjadi

ekstasis,

dengan
yakni

kemanunggalan dengan Dzat Mutlak Tuhan.

www.alangalangkumitir.wordpress.com
AAK Culture Library
8